Rabu, 01 Januari 2014

Quo Vadis DPR Bersih dan Prorakyat

Tim Kompas
Pengantar Redaksi:
Dalam sebuah negara demokrasi, kehadiran lembaga legislatif yang dipercaya adalah keniscayaan. Hal itu juga yang diharapkan rakyat saat menggulirkan reformasi. Sayangnya, setelah 15 tahun berjalan dan tiga pemilu dilewati, yang terjadi justru sebaliknya. DPR yang seharusnya menjadi tumpuan rakyat dalam mengawasi pemerintahan justru tidak sedikit yang bersekongkol �merampok� uang rakyat. Kepercayaan rakyat kepada lembaga DPR pun pupus. Pemilu 2014 ini merupakan momentum untuk memperbaikinya. Untuk itu, harian �Kompas� menggelar diskusi terbatas bertema �Qua Vadis DPR Bersih dan Prorakyat�. Sebagai panelis: Wakil Ketua DPR Pramono Anung, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, anggota Komisi I Ahmad Muzani, anggota Komisi II Nurul Arifin, serta Direktur Eksekutif Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang, dan sejumlah peserta aktif. Laporan hasil diskusi disajikan di rubrik �Indonesia Satu� halaman 25, 26, 27, dan 28, ditulis Sutta Dharmasaputra, M Hernowo, Khaeruddin, dan Haryo Damardono.

SUATU hari, di tahun 1998, seorang ibu tua berpakaian lusuh dan tanpa alas kaki mendatangi posko logistik pergerakan mahasiswa di Gedung DPR. Ia menyerahkan satu set rantang berisi makanan sederhana: nasi putih dan sayur labu. Sebagai buruh cuci harian, ia hanya berpesan singkat, �Ini sumbangan kecil saya untuk anak mahasiswa. Kalau berhasil, mudah-mudahan hidup saya lebih baik.�

Itulah kenangan ketika mencoba mengingat bagaimana awal era Reformasi bergulir. Kini, ibu itu entah masih hidup atau sudah tiada. Yang pasti, harapan itu belum bisa dipenuhi lembaga DPR.

Jajak pendapat Kompas sejak tahun 2007 hingga 2010 menunjukkan, 54,7 persen hingga 65,9 persen responden menilai kinerja DPR buruk. Jajak pendapat Kompas awal Maret 2013 juga menunjukkan, 58 persen responden menyatakan wakil rakyat saat ini lebih banyak membela kepentingan diri sendiri dan partai masing-masing daripada kepentingan rakyat dan bangsa.

Hasil penelitian sejumlah lembaga survei bahkan menyimpulkan, DPR adalah lembaga yang dipersepsikan paling korup. Indonesia Corruption Watch merilis, tercatat sudah 81 anggota DPR yang terjerat korupsi. Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri mencatat, jumlah anggota DPRD provinsi yang terjerat kasus hukum sudah 431 orang dan 83,7 persen di antaranya kasus korupsi.

Kinerja DPR, diakui, kian tahun memang kian memprihatinkan. Dari tiga periode DPR di era Reformasi, DPR periode 1999-2004 dirasakan merupakan yang terbaik karena masih diisi banyak aktivis yang sebelumnya banyak memperjuangkan nasib rakyat meski juga sempat diterpa kasus dana nonbudgeter Bulog.

Motivasi anggota DPR periode-periode berikutnya lebih bergeser lagi. DPR periode 2009-2014 bahkan dirasa yang paling menyedihkan. Motivasi untuk menjadi anggota DPR bukan lagi karena adanya cita-cita politik yang diperjuangkan, melainkan hanya untuk meraih kekuasaan atau uang. Bahkan, ada yang menganggap lembaga DPR bak badan usaha untuk mendapatkan keuntungan ekonomi semata.

Padahal, semestinya ideologi atau cita-cita politiklah yang mendorong seorang wakil rakyat untuk duduk di DPR. Sebab, cita-cita politiklah yang menyatukan rakyat dan wakil rakyat. Pada saat rakyat tidak mempunyai keyakinan terhadap suatu partai politik, sebetulnya rakyat itu hanyalah segerombolan orang yang memuja anarkisme. Begitu juga wakil rakyat tanpa ideologi hanyalah segerombolan orang yang mencari nafkah dengan berlindung di bawah jargon demokrasi.

Kekuasaan tanpa kontrol

DPR yang semakin berkuasa di pasca-Reformasi juga mendorong orang-orang tertentu untuk masuk ke lembaga DPR. Sekarang ini tidak ada satu pun jabatan politik yang tidak melibatkan DPR dalam proses seleksinya. Mulai dari pemilihan pemimpin Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, hingga Deputi dan Gubernur Bank Indonesia, semuanya melibatkan campur tangan partai politik melalui wakilnya di DPR. Studi KPK pun memperlihatkan, sebagian undang-undang justru terus memperluas kewenangan DPR.

Namun, kekuasaan yang sangat besar ini tidak diimbangi dengan mekanisme kontrol yang juga besar. Tidak ada aturan yang mengatur secara tegas soal konflik kepentingan. Akhirnya, kondisi ini mendorong terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Seperti halnya teori korupsi, kewenangan yang meningkat dan meluas tanpa disertai mekanisme kontrol akhirnya mendorong terjadinya korupsi.

Di Komisi III DPR yang membidangi masalah hukum, misalnya, sejumlah anggotanya ada yang berprofesi sebagai penasihat hukum atau memiliki asosiasi terkait. Akhirnya, dalam rapat kerja lebih banyak menanyakan kasus-kasus yang ditanganinya ketimbang mengawasi kebijakan pemerintah dalam penegakan hukum.

Komisi energi pun dipenuhi orang-orang yang memiliki kepentingan pribadi karena punya saham di perusahaan energi. Tak heran, ketika pemerintah memberi tahu DPR soal rencana kenaikan tarif gas, ada yang berkeras menyatakan ketidaksetujuannya. Akan tetapi, motifnya hanya untuk mengulur waktu semata. Setelah berhasil membeli perusahaan-perusahaan gas yang hampir sekarat atau menikmati keuntungan dari kenaikan harga gas, langsung berbalik menyetujui rencana pemerintah.

Pemilihan Gubernur atau Deputi Bank Indonesia pun ternyata memiliki agenda tersembunyi yang terkait dengan transaksi valuta asing. Tujuannya adalah mendapatkan akses informasi lebih awal agar bisa mencari keuntungan dari selisih nilai tukar mata uang. Hal ini sudah terlacak otoritas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Kondisi itu pula yang terjadi saat DPR bersama pemerintah membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Begitu DPR periode 2004-2009 memasukkan kewenangannya untuk membahas APBN sampai satuan 3 (mata anggaran proyek), peluang penyalahgunaan pun terjadi di lembaga legislatif, selain di eksekutif.

Pada satu sisi, pengawasan APBN oleh DPR ini sangat penting. Sebab, sampai saat ini kewenangan Kementerian Keuangan dirasa sangat besar dan tidak bisa disentuh. Kementerian Keuangan, misalnya, bisa mencegah atau menyetujui pelepasan anggaran dalam jumlah besar hingga ratusan miliar rupiah untuk suatu kementerian tertentu dalam waktu sangat singkat. DPR pun hampir tidak pernah diberi tahu anggaran sebenarnya yang diajukan oleh kementerian teknis. Kalaupun ada, waktunya sangat pendek sehingga pembahasan keuangan atau APBN di DPR selalu terbentur waktu.

Belum lagi memantau akuntabilitas penggunaan uang negara oleh ratusan badan usaha milik negara (BUMN). Ada sekitar Rp 650 triliun lebih modal negara yang digunakan untuk BUMN. Akan tetapi, hanya ada 12 dari 148 BUMN yang mampu memberikan dividen kepada negara, yaitu di sektor perbankan atau tambang. Artinya, masih ada segudang problem dalam pengelolaan keuangan negara.

Pada sisi lain, DPR juga tidak dilengkapi alat kelengkapan pendukung untuk mengawasi penggunaan anggaran sampai detail. Akhirnya, setiap anggota DPR hanya memperhatikan anggaran yang terkait dengan proyek-proyek untuk kepentingan sendiri di daerah pemilihanl, bukan mendorong lembaga-lembaga negara untuk menggunakan anggaran secara efisien dan efektif. Konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan pun lagi-lagi tak terhindarkan.

Pada akhirnya, APBN yang besarnya mencapai lebih dari Rp 1.800 triliun tidak maksimal digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Harapan sang ibu tua kepada DPR agar segera mengubah nasibnya menjadi lebih baik tampaknya masih menjadi harapan semata. DPR yang dipilih rakyat dan diberi mandat oleh rakyat melalui partai politiknya untuk mewujudkan cita-cita bersama ternyata lebih banyak memperjuangkan cita-cita dirinya semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar