Jumat, 29 Maret 2013

Bebas dalam Kasih

Franz Magnis-Suseno

Bagi umat Kristiani di seluruh dunia, hari Paskah, yang oleh Gereja Katolik dan Gereja Protestan tahun ini dirayakan pada tanggal 1 April, pada hari minggu pertama sesudah bulan purnama musim semi pertama, merupakan hari gembira. Pada hari itu, mereka memperingati momen Yesus dibangkitkan Allah dari kematian-Nya di salib.

Dengan demikian, hari Paskah merupakan hari kemenangan atas kematian, tetapi bukan kemenangan dengan tari gembira, bukan kemenangan yang menghancurkan musuh. Tidak ada musuh yang mau dikalahkan Yesus.

Di salib, Yesus memaafkan mereka yang membawanya ke tempat itu. �Bapak, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.� Kemenangan Yesus bukan kemenangan balas dendam, melainkan kemenangan cinta kasih. Mereka yang memusuhi-Nya pun masih dirangkul.

Jadi, kemenangan Paskah adalah kemenangan kebaikan hati terhadap kebencian, kemenangan pengampunan terhadap balas dendam, kemenangan hati yang baik terhadap hati yang keras. Dalam kemenangan Paskah, mereka yang sesat hatinya pun dirangkul dan dicintai.

Waktu masih mengajar di Palestina, Yesus mengalami saat tidak dipercayai, ditolak, dicurigai, dibenci, mengalami kekerasan, siksaan, dan akhirnya dibunuh.

Waktu Yesus mau ditangkap dan murid-Nya, Petrus, menarik pedang, Yesus menegur, �Masukkan pedangmu ke tempatnya. Bukankah Bapak-Ku dapat mengirim kepada-Ku dua belas pasukan malaikat untuk menyelamatkan Aku? Tetapi, bagaimana lantas Kitab Suci akan terpenuhi?�
Membebaskan

Dari sikap Yesus, kita dapat mengetahui bahwa Allah tidak membenci pendosa, tidak membalas, melainkan bersedia mengampuni. Di hadapan Allah, tak ada orang yang perlu putus asa. Di hadapan Allah, segala-galanya dapat menjadi baik karena Allah adalah cinta kasih.

Terlalu sering kita, manusia, sudah menjadi tawanan ketertutupan hati kita sendiri. Begitu kita sedikit saja dicurigai atau tidak disukai, kita menutup diri dan menjadi curiga juga.

Dari curiga, hati kita menjadi keras. Dan, kekerasan hati akan semakin memperkuat sikap negatif mereka yang dianggap lawan. Kita terbelenggu dalam lingkaran setan ketakutan, kecurigaan, dan kebencian yang dapat melibatkan kita dalam permusuhan dan kekerasan.

Dari Yesus kita boleh memperoleh keberanian untuk keluar dari lingkaran setan itu. Kita mengalami kebebasan hati orang yang bersikap baik terhadap siapa pun, termasuk terhadap musuhnya. Pepatah Jawa mengatakan dengan bagus, sing becik dibeciki, sing ala dibeciki (yang baik kita perlakukan dengan baik, yang tidak bersikap baik kita perlakukan dengan baik juga).

Dengan demikian, kita menjadi bebas. Kita tidak lagi terbelenggu otomatisme benci melawan yang membenci. Kita dapat berhadapan dengan siapa pun dengan hati yang baik. Kita menjadi bebas dari rasa-rasa yang membuat gelap hati kita, yang membuat kita keras, terbelenggu dalam kepicikan kita sendiri yang meracuni hati kita, dari belenggu dendam kesumat.

Kita tak lagi di bawah hukum �gigi lawan gigi, mata lawan mata�. Sekarang kita mengerti kata Yesus: �Siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.� Sikap ini bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan.

Tentu kita tidak selalu boleh �memberikan pipi kiri� juga. Sikap �menyerahkan pipi kiri� adalah tanda kebebasan kita dari hukum balas dendam.

Agar kebebasan itu mungkin, masyarakat-masyarakat dunia sejak ribuan tahun membangun struktur-struktur yang menunjang hubungan antarmanusia: segala macam adat istiadat, aturan sopan santun, hukum, peraturan dan norma, serta sistem peradilan yang bertugas menjamin keadilan. Melalui struktur itu, masyarakat mengatur agar pemukulan pipi tidak gampang terjadi, dan kalau terjadi agar ada cara penyelesaiannya.

Karena itu, kita tentu boleh menuntut, seperlunya di depan pengadilan agar hak-hak kita itu dihormati.
Kita bahkan sering wajib membela diri karena kita tidak hidup sendirian. Dari kita bergantung orang lain, ruang kebebasan hidupnya, kita tidak boleh membiarkan mereka yang berada dalam tanggung jawab kita diperlakukan tidak adil.

Yang dapat diberikan oleh kegembiraan Paskah, kegembiraan bahwa cinta dan kebaikan menang atas kebencian dan kejahatan, adalah kebebasan hati mendalam yang tidak lagi tergerogoti nafsu kebencian gelap, yang dengan senyum kebaikan menawarkan pipi kiri untuk dipukul juga.
Suatu kebebasan hati dari keprihatinan terhadap diri sendiri, suatu kebebasan yang membuat kita juga bebas dari rasa resah. Bebas mencintai, bebas membuka hati, bebas mengharapkan biji kebaikan bahkan di hati mereka yang memusuhi kita.

Seperti ditulis seseorang yang mengalami pembaruan dalam harapan kebangkitan, �Cinta buah kebangkitan itu sabar, murah hati, tidak cemburu. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Cinta percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Cinta tidak berkesudahan.�

Sepintas cinta macam itu kelihatan bodoh. Namun, kalau kita bersentuhan dengannya, kita tahu bahwa cinta itulah kekuatan yang sebenarnya.

Senin, 25 Maret 2013

Hukum Rimba

Azyumardi Azra

Serbuan sekitar 17 orang yang disebut petinggi TNI AD di Jateng sebagai �gerombolan� bersenjata api laras panjang, pistol, dan granat ke Lapas Cebongan, Sleman, DIY, Sabtu (23/3) dini hari, agaknya adalah indikasi �paling sempurna� tentang kian merajalelanya hukum rimba di negeri ini.

Mengambil hukum ke tangan mereka (taking into their hands), �gerombolan� tersebut menewaskan empat orang asal Nusa Tenggara Timur, tahanan titipan Polri yang merupakan tersangka pengeroyokan yang menewaskan anggota Kopassus TNI AD, Sertu Santoso, Selasa (19/3), di sebuah kafe di Sleman.

Sebelumnya, Kamis (7/3), masih segar dalam ingatan, sejumlah oknum TNI AD Armed 76/15 Martapura menyerbu kompleks Markas Polres Ogan Komering Ulu (OKU). Serbuan ini meluluhlantakkan sebagian bangunan beserta peralatan kantor dan arsip, puluhan motor dan mobil, serta menewaskan satu orang sipil. Aksi ini adalah buntut dari tewasnya anggota TNI AD dari satuan tersebut, Pratu Heru, oleh Brigadir Wijaya, anggota Satlantas Polri, Minggu (27/1). Tak sabar menunggu proses hukum yang sedang dilakukan polda di Palembang, kumpulan anggota TNI AD tersebut menjalankan hukum rimba.

Lampu Merah

Hukum rimba jelas kian merajalela di berbagai pelosok negeri ini sehingga dapat dikatakan sudah mencapai tingkat �lampu merah�. Meruyaknya hukum rimba telah menjangkiti berbagai lapisan masyarakat, mulai dari perkampungan hingga pusat keramaian, seperti terminal bus atau pasar. Celakanya, hukum rimba juga mewabahi kalangan penegak hukum dan pemelihara keamanan yang memiliki senjata api yang dapat digunakan kapan saja.

Wabah main hakim sendiri terlihat jelas seiring dengan merosotnya kewibawaan negara dan penegak hukum pasca-pemerintahan Soeharto, khususnya beberapa tahun terakhir. Sangat banyak kasus hukum rimba yang dipertontonkan oleh �massa tidak dikenal� (anonymous mass) terhadap orang yang dicurigai sebagai pencopet di terminal atau pencuri di perkampungan dan kompleks perumahan. Massa mengamuk, menggebuki atau membakar orang-orang yang tercurigai sampai mati. Hukum rimba juga terlihat di jalan raya ketika bus kota dan kendaraan pribadi melindas pengguna jalan lain. Massa anonim dengan segera merusak dan membakar kendaraan tersebut di bawah tatapan petugas Polri yang seolah tidak berdaya apa-apa.
Hukum tak ada daya menghadapi massa yang main hakim sendiri. Hampir tidak ada penegakan hukum terhadap massa pelaku yang membunuh mereka yang tercurigai bakal atau telah melakukan aksi kriminalitas.
Massa pelaku kekerasan dan hukum rimba pada praktiknya memiliki impunitas�kebal terhadap ketentuan dan sanksi hukum.

Berbeda dengan massa anonim yang menewaskan orang-orang tercurigai dengan pentungan, golok, atau bensin, mereka yang menjalankan hukum rimba di Mapolres OKU dan Lapas Sleman memegang senjata api (lethal weapons) dalam berbagai bentuk dan ukuran. Dengan menggunakan senjata api, hampir tidak ada orang atau petugas yang berani menghentikan aksi main hakim sendiri semacam itu, kecuali jika mereka mau menjadi sasaran tambahan atau siap �perang� dalam skala yang sulit diduga.

Karena itu, bisa dibayangkan dampak dan akibat lebih jauh�selain kematian�dari aksi hukum rimba yang dimainkan kelompok bersenjata api. Secara psikologis, kian terlihat semacam kecanggungan lembaga dan aparat hukum lain berhadapan langsung dengan kelompok-kelompok bersenjata api. Sementara di kalangan masyarakat luas, tindakan main hakim sendiri oleh kelompok pemegang senjata api menimbulkan semacam �psikologi ketakutan� (psychology of fear). Psikologi semacam ini memunculkan rasa tidak aman dan ketakutan yang kian mencekam dalam masyarakat luas.

Negara Gagal

Kian mewabahnya hukum rimba dan meluasnya keberantakan hukum (lawlessness) tidak ragu lagi merupakan salah satu indikator pokok negara gagal (failed state). Para pejabat tinggi Indonesia boleh saja amat gusar ketika Indonesia dikatakan secara moderat sebagai berada �di tubir negara gagal� karena�mereka mengklaim�ekonomi Indonesia terus tumbuh lebih dari 6 persen per tahun, menjadi keajaiban yang hanya bisa dikalahkan oleh China dan India.

Akan tetapi, meminjam kesimpulan When States Fail: Causes and Consequences (ed Robert I Rotberg, 2003), negara gagal adalah negara yang tidak mampu memberi kebajikan umum (public good) kepada warga, khususnya keamanan atas harta benda dan jiwa. Pemerintah Indonesia beserta aparat hukum dan keamanan sejak dari pusat sampai daerah terlihat kian tidak mampu memenuhi tugas dan kewajiban delivering public good ini.

Jika Indonesia diproyeksikan lebih jauh ke dalam parameter �negara gagal� ini, terlihat dari tidak adanya kemampuan dan kesungguhan menegakkan hukum; kegagalan mencegah kekerasan di antara kelompok masyarakat; ketidakmampuan menghentikan keresahan sosial ekonomi (socio-economic discontents) di antara kelompok warga berbeda atau di antara warga dan aparat negara atau bahkan sesama aparat negara.
Jika dilihat dalam parameter lebih lanjut, negara gagal adalah negara yang tidak mampu mencegah meningkatnya gerombolan kriminal terorganisasi (organized crime) atau premanisme, meluasnya penjualan narkoba, dan perdagangan manusia. Ketika aparat penegak hukum terlihat tidak mampu memberantas kriminalitas semacam itu, mereka kian kehilangan kredibilitasnya di mata warga. Akhirnya, kian sering mereka menjadi sasaran amuk massa yang menyerbu ke kantor kepolisian.

Mengapa sebuah negara yang secara ekonomi bisa bertumbuh dengan baik dapat terjerumus ke dalam labirin negara gagal? Hal ini terkait banyak dengan kegagalan kepemimpinan negara�yang kemudian menular ke daerah�dan menunjukkan komitmen yang tidak bisa ditawar pada penegakan hukum. Sekali para pejabat publik�baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif�terlihat oleh masyarakat luas dan anggota aparat keamanan/penegak hukum tidak sungguh-sungguh, tidak memiliki komitmen penuh, tidak berintegritas, tidak menyelaraskan perkataan dengan perbuatan, terciptalah keadaan anomie. Jika keadaan anomie yang disertai disorientasi dan dislokasi kian meluas dalam masyarakat, bisa dipastikan hukum rimba menjadi order of the day.

Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta dan Anggota Dewan Penasihat International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Stockholm

Sabtu, 23 Maret 2013

Berharap Loyang jadi Emas

Yudhistira ANM Massardi

Di sekolah gratis yang kami kelola, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi, kurikulum diberikan secara individual, bukan massal, dan tidak disakral-sakralkan.

Seperti di Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik saat ini, para guru membuat kurikulum berdasarkan kebutuhan tiap siswa. Untuk itu, mereka harus memahami tahap perkembangan (piaget), kecerdasan jamak (gardner), cara kerja otak (medina) dan gen (ridley/murakami), serta domain kurikuler.

Pembelajaran diselenggarakan dengan Metode Sentra dari AS yang diadopsi oleh Wismiarti Tamin di Sekolah Al-Falah, Jakarta Timur, tahun 1996. Kurikulum mengalir fleksibel, berpusat kepada siswa, dikemas secara tematik-integratif-eksploratif, dan membangun rasa bahagia. Tujuannya: membangun insan kamil yang cinta belajar.

Program Gagal

Tulisan Mendikbud Mohammad Nuh, �Kurikulum 2013� (Kompas, 7/3), dengan semangat �pokoknya Kurikulum 2013 harus jalan�, selain defensif, juga terlalu normatif dan simplistis karena mengabaikan proses pelaksanaan di lapangan.

Mendikbud juga menegaskan, Kurikulum 2013 dikembangkan atas dasar �...kajian KBK 2004 dan KTSP 2006� yang merupakan program gagal, tetapi tetap dijadikan landasan menjawab �tantangan abad ke-21 serta penyiapan Generasi 2045�.

Kurikulum 2013 adalah proyek yang anggarannya membengkak dari rencana awal, menjadi Rp 2,49 triliun. Konon, untuk biaya pelatihan 1,1 juta guru Rp 1,09 triliun dan pengadaan 72,8 juta eksemplar buku Rp 1,3 triliun. Siapa bisa menjamin itu tidak dikorupsi, misalnya, untuk dana politik 2014? Kenyataannya, di sekolah-sekolah tertentu pelaksanaan dirancang dengan pendampingan berjenjang yang persiapan teknis dan sumber daya manusianya begitu rumit sehingga saat ini belum ada langkah nyatanya.

Proses sosialisasi pun belum dilaksanakan secara nasional sehingga para guru masih melongo tak paham. Padahal, tahun ajaran baru tinggal beberapa bulan lagi. Dengan kata lain, jika proyek yang mahal dan gaduh itu gagal, harap dimaklumi saja.

Tantangan Masa Depan

Tantangan abad ke-21 dan generasi 2045 (menandai 100 tahun Proklamasi Kemerdekaan) adalah membangun manusia bebas yang berkeahlian sesuai minat dan kemampuan individual (era intelegensia). Jadi, proses pendidikan seharusnya tidak lagi totaliter seperti awal abad ke-19 (memenuhi kehendak politik para diktator), robotik (memenuhi kehendak para industrialis), dan kolonialistik/kleristik (memenuhi kehendak para penjajah dan melahirkan mental pegawai).

Pendidikan menuju masa depan adalah pendidikan yang membebaskan, membuka pintu bagi anak didik agar bisa mewujudkan cita-cita sesuai minat dan bakat masing-masing. Mereka akan menjadi pribadi mandiri yang siap saling berkolaborasi.

Kata kuncinya adalah kurikulum harus bisa menjawab secara konkret-operasional problematik yang disebutkan Mendikbud dalam tulisannya, �...para peserta didik SD belum terlatih berpikir abstrak�. Siapa yang harus membangun kemampuan berpikir abstrak anak-anak SD itu? Benar, untuk itu, �peran bahasa menjadi dominan�. Namun, memangnya penguasaan, pemakaian, dan pola pengajaran bahasa Indonesia di republik ini sudah baik dan benar, khususnya kalangan pendidik dan pemimpin?

Di semua akademi seni rupa, setiap calon pelukis harus mengawali proses pembelajaran dengan penguasaan teknis anatomis/realis. Para maestro abstrak, seperti Affandi, Fadjar Sidik, Widajat, Picasso, dan Piet Mondriaan melewati proses realismenya dengan sangat cantik.

Menurut teori tahap perkembangan dan cara kerja otak, kemampuan berpikir abstrak hanya bisa dibangun dengan basis pemahaman konkret. Pemahaman konkret yang lemah mengakibatkan pemahaman abstrak lemah. Ini penyakit kronis bangsa kita sehingga semua aturan dilanggar dan korupsi merajalela!

Solusi pembangunan fondasi yang kokoh pada setiap anak adalah peningkatan kualitas pendidikan anak usia dini! Itu sebabnya, usia 0-7 tahun disebut golden age. Pada masa itu kemampuan berpikir konkret dibangun melalui pembelajaran secara konkret. Jika di TK pembangunan penalaran konkret sudah selesai, di SD dan jenjang selanjutnya anak sudah siap dengan penalaran abstrak!

Jika anak sudah siap dengan pemikiran abstrak, dia siap menjadi manusia yang berpendidikan dan berkebudayaan.

Pendidikan Usia Dini

Presiden Amerika Serikat Barack Obama serius terhadap pendidikan anak usia dini. Untuk menciptakan �generasi Apollo� baru, ia berjuang meloloskan anggaran 10 miliar dollar AS per tahun untuk peningkatan kualitas pendidikan anak usia 4 tahun. Ia, didukung kalangan bisnis Amerika, percaya pada analisis ekonom penerima Nobel, James J Heckman, yang menyatakan, investasi pendidikan anak usia dini lebih efektif dan ekonomis. Tanpa itu, perusahaan harus memberikan pelatihan lagi kepada para karyawan.

Di sini, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi terpaksa harus berencana meningkatkan kualitas 53,9 juta tenaga kerja yang mayoritas lulusan SD dengan anggaran Rp 10 triliun per tahun! Itu pula sebabnya, Pemerintah China menggenjot program peningkatan kualitas pendidikan anak usia dini.

Kurikulum 2013 sama sekali tidak menyentuh pendidikan anak usia dini (PAUD) yang begitu strategis dan fundamental. Padahal, saat ini setiap tahun sekitar 20 juta anak Indonesia tidak bisa ikut PAUD karena kemiskinan dan kelangkaan fasilitas. Dengan anggaran Rp 2,3 triliun, kita hanya akan menciptakan generasi loyang yang tidak akan bisa jadi emas tanpa peningkatan kualitas PAUD!

Yudhistira ANM Massardi; Praktisi Pendidikan

Jumat, 22 Maret 2013

Jalan Asketisme Politik

Asep Salahudin

  Ketika kawannya, Sultan Muhammad Ibnu Malik, menjadi penguasa dinasti Saljuk, seorang ulama asketik, Imam Al-Ghazali, mengirimkan ucapan selamat dalam bentuk risalah berisi sejumlah petuah sekaligus harapan agar kekuasaan yang telah ada di genggaman karibnya itu mendatangkan berkah dan menjadi saluran yang mewariskan faedah bagi semua.

Al-Ghazali merasa mumpung kekuasaan itu baru saja berada di pangkuan, kecendekiaannya merasa terpanggil untuk turun gunung, lekas mengingatkan bahaya kekuasaan apabila tidak dikontrol dengan nasihat.

Petuah itu ditulis dalam sebuah kitab terkenal dan sampai kepada kita hari ini: At-Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk �Senarai Mutiara Nasihat untuk Para Penguasa�. Ada baiknya juga di tahun 2013 menjelang Pemilu 2014 buku ini menjadi bahan renungan bagi politikus. Toh, pada akhirnya karakter kekuasaan itu dari dulu sampai hari ini tidak jauh berbeda. Kekuasaan selalu cenderung korup kecuali sejak awal pemegang kekuasaan itu dengan ikhlas bersedia menjaga kebeningan hati dan menyimak setiap nasihat kebaikan dari mana pun datangnya.

Nasihat Al-Ghazali laiknya zaman skolastik, tentu berpusat pada pusaran nilai-nilai religiusitas dan pedoman etik moralitas yang diyakininya dan saat itu semakin lamat terdengar, bahkan nyaris absen dari ruang publik. Nasihat yang dijangkarkan pada pentingnya kesadaran metafisik sebagai haluan utama menata kekuasaan yang sudah semakin kehilangan nalar.

Nasihat yang disampaikannya betul-betul tanpa pamrih, nyaris di belakangnya tak ada motif meraih kuasa seperti yang dilakukan Sengkuni dalam dunia pewayangan. Sejak awal, seperti dapat juga dibaca dalam kitab Al-Ihya, dia sudah meneguhkan simpulan bahwa kerusakan penguasa itu sebermula ketika bersekongkol dengan ulama dan partai berjubahkan dakwah yang kerjanya membajak ayat-ayat Tuhan, memperjualbelikan fatwa dan kharismanya.

Ketika terjadi persekongkolan jahat antara kuasa dan jaringan simbolis keagamaan yang ditafsirkan secara salah kaprah, mesin kekuasaan akan mewajahkan raut mengerikan.

Karena itu, menjadi sangat dapat dipahami bahwa hal pertama yang diterakan Al-Ghazali dalam risalahnya itu adalah keniscayaan menancapkan rasaning daif dalam diri penguasa. Bahwa kursi yang ada di tangan kawannya harus dijadikan sarana untuk berkhidmat kepada Yang Mahakuasa sebagai pemilik absolut seluruh kekuasaan dengan cara menjadi pelayan makhluk Tuhan.

Bahwa kekuasaan yang kita genggam hanyalah fragmen-fragmen kecil amanat dari kuasa Tuhan, dari bayangan kodrat dan iradat-Nya. Karena amanat, maka imperatif moral susulannya adalah bagaimana kekuasaan itu kemudian dikelola dengan saksama. Amanat menjadi sebuah panggilan dari kedalaman iman karena hanya pemimpin amanah yang dapat menjadi garansi terdistribusikannya rasa aman kepada seluruh warganya tanpa pandang bulu.

Penguasa harus bisa mengerangkeng watak tiranik, hubbul istila�; bisa meredam keinginan primitif hegemonik, hubbul isti�la�'; nafsu untuk selalu diprioritaskan dalam hal ihwal, takhshish; dan menghindari kecenderungan menganggap diri yang paling benar, hubbul istibdad.

Dalam pasal selanjutnya, Al-Ghazali mengaitkan kekuasaan dengan kesadaran-kesadaran eskatologis. Bahwa kekuasaan itu bukanlah cek kosong, tetapi seluruhnya akan dimintai pertanggungjawaban. Justru pertanggungjawaban yang hakiki dan tidak mungkin dimanipulasi adalah ketika tubuh terpisah dari raga, saat menggetarkan berhadap-hadapan dengan pemilik sah daulat kekuasaan hakiki.

Terakhir, Al-Ghazali menyuntikkan �politik profetis� sebagai landasan kekuasaan agar kuasa ini menemukan �kebenaran�. Bahwa �jalan kenabian� merupakan teladan yang tidak hanya berkaitan dengan aspek ritual, tetapi juga tarekat sosial yang dapat mengantarkan kehidupan menemukan harkatnya yang luhur, ruang sosial tidak kemudian kehilangan adab.

Nasihat Machiavelli

Berbeda dengan Al-Ghazali adalah Niccolo Machiavelli. Ia se- orang politikus ulung yang telah malang melintang di panggung politik praktis. Pernah bertemu dengan Raja Perancis Louis XII, Paus Julius II, Kaisar Romawi Suci Maximilian (1459-1519), Raja Ferdinand (1452-1516) dari Spanyol, hingga para penguasa Turki. Adalah Cesare Borgia (1476-1507), putra Paus Alexander VI, yang paling dikagumi Machiavelli.

Halnya Al-Ghazali, dia juga memberikan nasihat kepada penguasa Firenze, Lorenzo de� Medici, yang sedang berkuasa saat itu dalam surat panjang yang kemudian menjadi kitab terkenal, Il Principe �Sang Penguasa�.

Nasihat Machiavelli berbeda dengan Al-Ghazali. Justru sebaliknya, Niccolo Machiavelli menasihati sang penguasa agar menjauhi moral seandainya kekuasaannya itu ingin abadi. Karena itu, ia kerap dituduh sebagai biang penyebar asas tujuan menghalalkan cara, the end justifies the means.

Berangkat dari pengalamannya sebagai praktisi politik, Machiavelli menyimpulkan bahwa agar kekuasaan tersebut abadi, haluan moral harus disingkirkan. Bagi dia, penguasa tidak ada urusan dengan aspirasi rakyat sehingga ditakuti rakyat jauh lebih penting daripada sekadar dicintai, apalagi kecintaan itu hanya sekadar keterpesonaan pada politik pencitraan yang serba artifisial.

Di samping itu, menurut Machiavelli, untuk melangsungkan pemerintahan yang efektif, sang penguasa harus menciptakan sebanyak mungkin �laskar berani mati� yang memiliki kesediaan membela kekuasaannya, cakap mendirikan �ormas-ormas� yang dapat pasang badan untuk menghalau setiap serangan lawan, baik fisik maupun opini.

Atas nama mempertahankan kekuasaan, seluruh muslihat dibenarkan; yang dikedepankan bukan logika, melainkan retorika; bukan kecakapan menyusun argumen yang koheren dan sistematis, melainkan kecerdikan mencuci otak warga agar kemudian mendapatkan kepatuhan mutlak.

Kekuasaan yang �benar� harus melampaui hukum, bukan bersujud pada pasal-pasal undang-undang.
Hari-hari seperti sekarang, ketika setiap partai sedang menyusun calon anggota badan legislatif, tentu saya sebagai warga berharap semoga penguasa dan kerumunan calon penguasa dapat menjadi politikus otentik dan merambah asketisme politik, di antaranya kesediaan menyimak nilai-nilai inklusif nasihat Al-Ghazali sehingga kekuasaan itu mendatangkan keberkahan bagi semua.

Kita tetap berharap, walaupun tetap dengan rasa cemas, seluruh janji yang disampaikan dapat direalisasikan. Kata seorang arif, �Tidak ada yang lebih mulia kecuali ketika janji itu menjadi fakta. Dan tidak ada yang lebih hina kecuali janji-janji yang telah disampaikan terus dipercakapkan warga karena tidak pernah direalisasikan.�

Asep Salahudin,  Esais dan Dekan di IAILM Pesantren Suryalaya , Tasikmalaya, Jawa Barat

Kamis, 21 Maret 2013

Pejabat Jujur Sulit Dicari

Salahuddin Wahid

Berita tentang korupsi melalui TV, koran, radio, majalah, dan media online selama beberapa tahun terakhir telah menjadi makanan kita sehari-hari. Mulai dari pagi, siang, sampai malam kita dijejali berita semacam itu, hingga banyak yang merasa bosan.

Menteri, gubernur, bupati, anggota DPR, politisi papan atas, jenderal polisi dan pejabat pemerintah diduga melakukan korupsi. Banyak yang telah dijatuhi hukuman. Bahkan, ada berita tentang dugaan bahwa wakil presiden juga terlibat sebuah kasus besar, entah sejauh mana kebenarannya. Berita tentang Nazaruddin sejak 2011 muncul hampir setiap hari, diikuti berita korupsi oleh beberapa anggota DPR. Terakhir adalah berita tentang Irjen Djoko Susilo yang mempunyai sekitar dua puluh rumah dan beberapa pompa bensin, yang diduga berasal dari hasil korupsi kasus simulator SIM. Kita langsung teringat berita tentang rekening gendut milik beberapa jenderal polisi pada 2010, di mana nama Djoko Susilo ada di dalamnya. Tentu banyak yang menduga nama petinggi polisi yang lain itu juga mempunyai harta sebanyak Djoko Susilo.

Masyarakat yang sebagian besar mendukung langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mulai sedikit kehilangan kepercayaan kepada KPK setelah beredar fotokopi draf surat perintah penyidikan (sprindik) terhadap Anas Urbaningrum. Dalam upaya menjaga kepercayaan masyarakat itu, KPK membentuk Komite Etik untuk memeriksa pimpinan dan pejabat KPK terkait kebocoran itu.

Tindakan tegas perlu diterapkan kepada pembocor itu. Sebenarnya banyak yang menduga ada oknum di KPK pada lapisan menengah yang mungkin bermain sehingga kasus korupsi yang telah dilaporkan ke KPK dan didasarkan bukti yang kuat dan gamblang ternyata tidak ditindaklanjuti. Beberapa pihak datang ke saya dan menyampaikan masalah tersebut. Semoga pimpinan KPK bisa mengawasi pejabat KPK yang layak diduga bermain seperti di atas dan membenahi.

Berbagai berita itu membuat masyarakat berkesimpulan dalam survei bahwa untuk memperoleh pemimpin yang paling dibutuhkan adalah kejujuran, bukan kepandaian, ketegasan, atau keberanian. Yang jadi masalah, saat ini pejabat atau politisi jujur sulit dicari. Tokoh-tokoh yang berkata �katakan tidak pada korupsi� dalam iklan TV ternyata terlibat korupsi. Bisa jadi para tokoh partai lain juga begitu. Mungkin kejujuran telah hilang dari kamus para pejabat negara dan politisi.

Korupsi dan ajaran agama

Semua agama pasti menganjurkan kejujuran. Nabi Muhammad SAW bersabda: �Yang paling ringan dalam beragama Islam ialah membaca syahadat atau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah rasulullah. Sedang yang paling berat ialah hidup jujur (dapat dipercaya). Sesungguhnya tidak ada agama bagi orang yang tidak jujur. Bahkan, tidak ada salat dan tidak ada zakat bagi mereka yang tidak jujur� (Hadis riwayat Ahmad Bazzar). Anas RA berkata: �Dalam hampir setiap khotbahnya, Rasulullah selalu berpesan tentang kejujuran. Beliau berpesan: �Tidak ada iman bagi orang yang tidak jujur. Tidak ada agama bagi orang yang tidak konsisten memenuhi janji�.

Tentu agama lain juga mengandung ajaran sama tentang pentingnya kejujuran dalam kehidupan. Masalahnya, bagaimana kita bisa menanamkan kesadaran tentang pentingnya kejujuran itu. Umat Islam yang selalu menyatakan akan meneladani perilaku Rasulullah ternyata banyak yang hanya meneladani aspek hablum minallah saja, tetapi sering lupa meneladani beliau dalam aspek hablumminannas.

Surah al Ma�un menegaskan, muslimin yang tidak peduli kepada orang miskin dan mengabaikan anak yatim adalah para pendusta agama. Mereka tidak jujur terhadap perintah agama. Namun, tak banyak muslimin yang sepenuhnya menjalankan perintah surah al Ma�un itu. Bagaimana kita bisa menemukan cara efektif dalam menanamkan kejujuran ke dalam diri kita, anak-anak kita, dan kepada anak didik kita. Pendidikan dimulai dari keluarga. Saya tak tahu sejauh mana para orangtua sadar bahwa para guru di sekolah bukanlah yang paling utama dalam membentuk karakter anak, melainkan justru orangtua itu sendiri. Sekolah lebih besar perannya dalam mengajar anak atau transfer ilmu pengetahuan. Tentu saja, sekolah juga ikut membentuk akhlak anak.

Sejauh mana para orangtua meluangkan waktu untuk membentuk akhlak si anak? Apalagi para orangtua yang harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Banyak sekali orangtua yang tak paham bahwa merekalah yang menjadi pendidik utama si anak, bukan guru di sekolah. Banyak juga yang tidak sempat menyediakan waktu untuk membentuk pribadi si anak sehingga si anak lebih banyak menonton TV yang kita tahu tidak mendidik.

Menanamkan kejujuran

Saat mulai menjadi pengasuh Pesantren Tebuireng pada 2006, saya menekankan tiga hal yang perlu ditanamkan kepada para santri atau siswa: kejujuran, antikekerasan, dan kebersihan. Sejak tahun lalu dipasang CCTV di sekolah. Jika ada siswa ketahuan mencontek dalam ulangan, ia harus mengulang ulangan itu di depan guru. Juga harus meminta maaf di depan semua murid setelah salat duha yang dilakukan setiap pukul 06.45. Syukurlah, kini hampir tidak ada siswa mencontek, paling satu-dua orang setiap tahun.

Kalau ada santri mengambil barang milik orang lain, orangtuanya dipanggil dan santri itu diberi peringatan terakhir. Apabila dia mengulangi lagi, dia langsung dikeluarkan dari Pesantren Tebuireng. Santri yang memukul kawannya, orangtuanya juga dipanggil dan diberi peringatan kedua. Kalau sudah memukul tiga kali, santri dikeluarkan. Saat memberi nasihat kepada lebih kurang 1.500 santri setelah salat magrib di masjid Pesantren Tebuireng, sering kali saya sampaikan kisah tentang manfaat dan pentingnya kejujuran.

Menurut seorang ahli pendidikan di dalam sebuah tulisan, kalau mau berhasil maka penanaman kejujuran di kelas harus didukung oleh kepala sekolah dan juga lembaga yang menaungi sekolah tersebut. Pesantren Tebuireng telah memenuhi syarat tersebut. Namun, setelah santri tamat dari SMA atau madrasah aliyah, dia akan hidup di tengah dunia kampus yang belum tentu menerapkan apa yang kami lakukan di Tebuireng. Dia juga akan menerima pengaruh di dalam masyarakat yang justru bisa menghapuskan apa yang telah kami lakukan di Pesantren Tebuireng, yaitu contoh negatif dari para pejabat negara yang amat kuat diduga telah melakukan korupsi, tetapi tidak ditindak. Mungkin apa yang ditanamkan di Pesantren Tebuireng bisa tergerus secara perlahan dan saat mahasiswa tamat dari perguruan tinggi daya tahannya melawan godaan yang datang dari lingkungan kerjanya akan menjadi minim. Mungkin sekali dia akan larut dalam praktik korupsi berjemaah.

Diperlukan metode yang tepat dan dilakukan pada usia yang tepat dalam upaya menanamkan kejujuran kepada putra-putri kita di rumah. Para ahli psikologi bisa memberi penyuluhan dan pelatihan tentang metode tersebut kepada masyarakat luas. Ikhtiar menanamkan kejujuran ini harus menjadi kesadaran bersama dan perjuangan bersama. Semoga kelak kita tidak sulit lagi mencari pejabat jujur di Indonesia.

Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng

Minggu, 17 Maret 2013

Bahasa sebagai "Parole"

Acep Iwan Saidi

Tanggapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh terhadap beberapa penulis tentang Kurikulum 2013 (Kompas, 7/3/2013) menarik disimak. Tulisan saya sendiri, �Petisi untuk Wapres� (Kompas, 2/3/2013), tampak menjadi fokus bahasan Mendikbud.

Oleh sebab itu, kiranya menjadi penting untuk memberi tanggapan balik. Akan tetapi, saya tidak akan menulis sebagaimana Mendikbud menulis. Saya pikir, tak perlu membantah tanggapan Mendikbud. Biarkan teks itu menetap dalam kepala publik yang cerdas. Lebih bermakna kiranya jika mengelaborasi butir yang saya anggap penting dalam esai Mendikbud, yakni perspektifnya tentang bahasa Indonesia. Dengan begitu, diharapkan dialog akan menjadi konstruktif.

Strukturalisme Bahasa

Saya sepakat dengan Mendikbud bahwa selama ini pelajaran Bahasa Indonesia tidak disenangi guru dan murid. Oleh karena itu, model pembelajarannya mutlak harus diubah. Saya sendiri berpendapat, pelajaran Bahasa Indonesia tak menarik karena pembelajarannya berpijak pada paradigma strukturalisme. Dalam paradigma ini, bahasa disikapi sebagai sistem (langue), bukan peristiwa dalam wacana (narrative discourse). Apa yang dipahami sebagai subyek, misalnya, adalah subyek dalam kalimat.

Sebagai contoh, kalimat �Budi pergi ke sawah dan Wati membantu Ibu di dapur� hanya dipahami sebagai kalimat majemuk setara. Siswa tidak diberi ruang untuk mengerti mengapa Budi (laki-laki) yang harus ke sawah, sedangkan Wati (perempuan) hanya membantu ibu di dapur. Lebih jauh, semua siswa di seluruh Indonesia harus menerima Budi dan Wati dalam kalimat tersebut. Tidak boleh siswa Batak menggantinya dengan Tigor, siswa Sunda menukarnya dengan Ujang, dan seterusnya.

Pada ranah pragmatik, strukturalisme menempatkan bahasa sebagai obyek mati, yakni sebagai sarana belaka. Oleh sebab itu, definisi bahasa yang populer diketahui adalah alat komunikasi. Sebagai alat dalam komunikasi, fokus bahasan tentu komunikasi. Sebagai alat, bahasa mesti ditata sedemikian rupa agar komunikasi berlangsung baik. Dari sinilah dikenal istilah kalimat efektif, yakni kalimat yang harus efisien dalam menyampaikan pesan komunikasi. Namun, masalah lalu timbul. Kategori kalimat yang disebut efektif ditentukan oleh kuasa ilmu yang acap tak berpijak pada karakter masyarakat.

Efektivitas bahasa, lagi-lagi, didasarkan strukturalisme atau lebih luas, modernisme, yang salah satu cirinya antitradisi. Dalam dunia desain dan arsitek, misalnya, sejak awal paham ini menyebut ornamen, sebuah kode tradisi, sebagai kriminal (Adolf Loose, 1909).

Di dalam bahasa, modernisme mengharamkan kalimat yang memiliki kode tradisi. Kalimat �Rumahnya Pak Ahmad bagus� segera akan disebut menyalahi struktur bahasa Indonesia karena enklitika-nya merupakan pengaruh bahasa Sunda (na, bumina) atau Jawa (he, omahe). Bayangkan, karakter budaya sendiri telah diusir dari struktur bahasa Indonesia. Akibat model pembelajaran demikian, bahasa Indonesia menjadi berjarak dengan siswa. Wajar jika pelajaran Bahasa Indonesia tidak disukai. Rasa memiliki bahasa yang hidup dalam ketaksadaran kolektif masyarakat telah dipreteli. Bahasa Indonesia hanya disikapi sebagai ilmu, bukan entitas budaya. Mereka tidak pernah mendapat pemahaman bahwa subyek bahasa Indonesia sebenarnya adalah dirinya, identitasnya sebagai individu dan sebagai bangsa.

Apakah Kurikulum 2013 menjawab persoalan tersebut? Tidak! Eksplisit dalam Kompetensi Dasar
(KD) pelajaran ini bahwa kata kunci untuk bahasa Indonesia adalah pemanfaatan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia kembali diletakkan sebagai alat. Artinya, secara konseptual, kurikulum ini masih menggunakan paradigma lama. Walhasil, jika ia diberlakukan, penghormatan siswa terhadap bahasa akan kian terkikis. Maka, jangan bicara soal nasionalisme di situ. Di samping itu, ambisi mempragmatikkan bahasa tanpa dibarengi pemahaman yang memadai tentang fungsi bahasa sebagai ekspresi individu telah menyebabkan KD pelajaran ini terkesan dipaksakan. Ini yang dalam �Petisi untuk Wapres� saya sebut mengada-ada.

Supaya lebih tegas, perhatikan KD untuk kelas III SD sebagai berikut: �Memiliki kedisiplinan dan tanggung jawab untuk hidup sehat serta merawat hewan dan tumbuhan melalui pemanfaatan bahasa Indonesia dan/atau bahasa daerah�. Silakan periksa logika bahasanya: bagaimana bisa kita merawat hewan dengan pemanfaatan bahasa Indonesia? Kalau tidak mau disebut mengada-ada, baiklah saya sebut itu kalimat nirnalar. Bagaimana mungkin perubahan terjadi kalau logika bahasa kurikulumnya saja sudah sedemikian rancu.

Ekspresi Individu

Salah satu penanda penting abad XXI adalah bergesernya pusat filsafat dari otak (rasio) ke bahasa. Ungkapan penegas yang sederhana, buat apa otak jika tak dibahasakan. Namun, yang dimaksud bahasa di sini tak berhenti sebagai alat. Dalam konteks ini, bahasa lebih dilihat sebagai sumbu artikulasi dan kreativitas, sebuah perspektif yang sangat luas dan dinamis. Bahasa adalah sesuatu yang bergerak dalam pengalaman keseharian yang kompleks. Dalam perspektif bahasa sebagai sumbu artikulasi dan kreativitas, benda-benda produksi�termasuk di dalamnya produk teknologi�telah bergeser ke digit kedua. Bahasalah yang menduduki urutan pertama. Kini, konsumsi manusia terhadap benda-benda teknologi lebih banyak digerakkan oleh bahasa.

Konsumsi keseharian kita adalah image, citra, demikian dikatakan Shcroeder (2002). Nilai benda kini tidak bertumpu pada benda itu sendiri, tetapi pada nilai tanda yang dibangunnya. Nilai tanda adalah nilai citra. Bagaimana citra diciptakan adalah topik dalam bahasa.

Bagaimana bahasa Indonesia dapat menduduki posisi demikian? Tak ada cara lain kecuali dipelajari sebagai sumbu artikulasi dan kreativitas, bukan sebagai alat. Jika ilmu bahasa mengatakan frase �kerupuk kulit ikan� berterima secara gramatikal, pembelajaran bahasa sebagai sumbu kreativitas harus berlanjut pada pertanyaan bagaimana dengan �kerupuk kulit pisang�? Jika sama-sama berterima, mengapa Anda tak berpikir tentang penciptaan kerupuk kulit pisang juga? Itu hanya amsal kecil.

Bahasa Indonesia punya potensi luar biasa jadi sumbu artikulasi dan kreativitas sedemikian. Caranya dengan mengalihkan tumpuan pembelajaran bahasa pada parole, bahasa sebagai ekspresi individu dalam peristiwa keseharian yang dinamis.

Dengan begini, bahasa Indonesia bukan hanya berfungsi sebagai penyampai ilmu pengetahuan, melainkan juga sumber pengetahuan itu sendiri. Riset saya menunjukkan bahwa konsep ini dapat diturunkan secara teknis sebagai model pembelajaran mulai tingkat sekolah dasar.

Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB

Jumat, 15 Maret 2013

Presiden 2014

Ahmad Syafii Maarif 

Jika proses ritual demokrasi Indonesia berjalan lancar, tahun 2014 akan ada lagi pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat untuk parlemen pusat, DPD, dan pemilihan presiden RI yang ketujuh (atau kedelapan jika Sjafruddin Prawiranegara sebagai Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia dimasukkan dalam daftar).

Pemilihan presiden langsung baru dimulai 2004 sebagai pelaksanaan amendemen UUD 1945 yang mengharuskan presiden dan wakil dipilih secara langsung, sebagaimana juga berlaku dalam pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Biayanya memang sangat besar, tetapi inilah risiko yang harus dipikul negara sesuai dengan perubahan UUD yang terasa dikerjakan kurang cermat di tengah euforia demokrasi yang eksesif.

Peradaban Demokrasi Rendah

Karena tingkat peradaban demokrasi Indonesia masih berada di bawah standar jika diukur dengan tujuan yang hendak diraih oleh Indonesia Merdeka, Pilpres 2014 menjadi sangat krusial dan penting. Jika sosok yang terpilih punya potensi menjadi negarawan, ada harapan demokrasi Indonesia akan meninggalkan corak yang serba ritual dan prosedural menuju terciptanya sebuah demokrasi substansial yang sepenuhnya berpihak ke kepentingan rakyat banyak. Isu-isu keadilan dan kesejahteraan yang selama ini masih tergantung di awan tinggi, di bawah pimpinan para negarawan dari pucuk tertinggi sampai ke akar yang paling bawah, secara berangsur dan pasti akan menjadi kenyataan dalam formatnya konkret.

Namun, jika yang tampil adalah mereka yang miskin visi dan tunamoral, kondisi Indonesia yang sudah lama berkubang dalam dosa dan dusta akan kian rontok, tunamartabat, dan sunyi dari keadilan. Dengan demikian, 2014 akan jadi momen krusial bagi sistem demokrasi yang tidak saja sangat kritikal, tetapi juga akan menentukan corak hari depan bangsa dan negara ini, apakah masih berdaulat atau kedaulatan pindah tangan melalui agen-agen domestik pihak asing yang telah kehilangan harga diri sebagai manusia merdeka. Di bawah kendali para agen ini, tidak banyak gunanya bagi tuan dan puan untuk berbicara tentang kedaulatan politik dan kedaulatan ekonomi, sebuah cita-cita mulia yang dulu dijadikan pedoman dan acuan utama oleh para pendiri bangsa dan negara tercinta ini. Setelah lebih enam dasawarsa pascaproklamasi, cengkeraman kuku asing atas kekayaan bangsa malah semakin menguat dan melilit kita semua.

Berbagai perjanjian dagang telah disepakati, tetapi sering sangat merugikan posisi Indonesia. Kasus Freeport yang menghebohkan itu hanyalah salah satu contoh betapa leluasanya asing mengeruk keuntungan dari bumi Papua gara-gara pihak Jakarta melakukan blunder politik yang sangat fatal. Akibatnya sangat jelas, kita tidak lagi sepenuhnya menjadi tuan di rumah kita. Inilah jadinya, bila bangsa dan negara dipimpin londo ireng yang tidak punya nyali berhadapan dengan pihak asing. Harga diri kita dengan mental terjajah sangatlah rendah sekalipun masih saja berlagak sebagai manusia merdeka. Padahal, syarat bagi seorang manusia merdeka ada dalam ungkapan Bung Karno, �Mana dadamu, ini dadaku.� Bangsa-bangsa lain kita hormati, tetapi jika mau mendikte, tunjukkan bahwa kita adalah manusia merdeka yang punya harga diri.

Kriteria Calon Presiden 2014

Adakah tokoh yang mampu membalik situasi demi kedaulatan bangsa pada 2014? Saya tidak pesimistis. Pastilah dari rahim Indonesia telah lahir sosok yang diharapkan itu. Sosok inilah yang harus dimunculkan dalam tempo dekat ini. Dilihat jejak rekamnya jika sudah pernah menjabat, dinilai integritas moralnya, dipantau pula sikapnya terhadap benda dan kekuasaan, dan yang tak kurang pentingnya adalah ditimbang nyalinya dalam mengambil keputusan kenegaraan penting sekalipun mungkin tidak populer.

Dalam situasi situasional kritikal ini, usia calon tidak terlalu mustahak dijadikan syarat. Saya berharap parpol bisa menjinakkan ego politiknya untuk turut menemukan dan mendukung figur nasional yang memenuhi kriteria di atas, tidak perlu harus dari kalangan partainya.

Dalam bacaan saya sejak proklamasi, telah dikenal beberapa tokoh negarawan yang dinilai cukup punya kemampuan mengisi kemerdekaan secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab, tetapi tak diberi kesempatan menjadi orang pertama. Dari sisi mana pun kita meneropong, mereka memenuhi semua kriteria di atas. Mereka adalah Bung Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan M Jusuf Kalla. Amat disayangkan, karena lemahnya visi kenegarawanan elite politik nasional, mereka tak dapat peluang dan dukungan untuk tampil memimpin bangsa dan negara demi terwujudnya cita-cita suci kemerdekaan berupa tegaknya keadilan dan meratanya kesejahteraan rakyat yang sampai kini masih menjadi mimpi nasional.

Pengamat migas, Kurtubi, sudah lama berteriak agar politik migas kita diubah secara radikal. Disarankan agar pemerintah dan Pertamina mendirikan kilang-kilang pemroses minyak mentah dalam jumlah lebih banyak lagi. Namun, saran ini tak pernah digubris dengan dalih untungnya tak banyak. Menurut Kurtubi, untung memang tak banyak, tetapi pasti beruntung. Cara ini akan jauh lebih bermartabat dibandingkan apa yang ditempuh selama ini dengan membeli BBM lewat agen-agen tengkulak di Singapura.

Adalah kebiasaan buruk pemerintah dan Pertamina yang sering menempuh jalan mudah sekalipun dalam jangka panjang pasti menggerogoti kekuatan ekonomi nasional. Dalam perspektif ini, saya berharap presiden 2014 membuka telinga dan mata mendengarkan saran-saran positif dari para ahli perminyakan untuk membalik politik migas yang tidak tepat selama ini. Indonesia adalah sebuah benua maritim dengan ribuan pulau berserakan. Karena aparat pengawal dan penjaga laut yang luasnya jauh melebihi daratan masih dalam posisi lemah, tidak mengherankan pencuri ikan telah merampok kekayaan laut kita dengan kerugian negara mencapai Rp 30 triliun saban tahun. Sebagai negara maritim, semestinya kekuatan Angkatan Laut kita setidak-tidaknya setanding dengan kekuatan Angkatan Darat. Dengan AL yang tangguh, para perampok dan pencuri kekayaan laut akan berpikir 1.000 kali sebelum meneruskan petualangan kriminalnya yang sangat merugikan negara itu.

Akhirnya, presiden yang kita harapkan muncul pada 2014 adalah figur yang mengenal betul peta Indonesia secara utuh dengan segala sisi kekuatan dan kelemahannya. Berdasarkan peta itu, dibuat strategi pembangunan nasional yang sepenuhnya berpihak kepada rakyat jelata, bukan �memanjakan� kelompok elitis yang kebanyakan telah lama mati rasa.

Ahmad Syafii Maarif , Pendiri Maarif Institute

Jumat, 08 Maret 2013

Media Bebas Antikorupsi

Azyumardi Azra

Korupsi seolah-olah tiada habisnya di negeri ini. Bahkan, tampaknya tambah meruyak dengan skala korupsi kian besar.

Lihatlah kasus Inspektur Jenderal Djoko Susilo, misalnya, yang kekayaannya begitu banyak, khususnya properti yang jumlahnya sekitar 12 rumah besar dan rumah mewahnya disita KPK di sejumlah kota. Ini belum terhitung asetnya yang lain. Tidak masuk akal kalau petinggi Polri�seperti juga pejabat tinggi lain dengan gaji relatif terbatas�mampu memiliki kekayaan amat berlimpah. Kalau hanya dari gaji, mana mungkin punya uang untuk membeli aset demikian banyak.

Penting dicatat, penyitaan aset yang dilakukan KPK merupakan terobosan penting ke arah pemiskinan koruptor. Sepatutnya terobosan ini terus dilakukan pada kasus korupsi lain. Saat yang sama, perlu antisipasi adanya modus-modus baru dalam pencucian uang hasil korupsi. Jika Djoko Susilo diduga kuat melalui beberapa pernikahan bawah tangan yang tidak tercatat, bukan tidak mungkin koruptor lain melakukan pencucian uang korupsi melalui cara tersembunyi lain.

Meski korupsi tampak kian mewabah dan nyaris membuat masyarakat frustrasi dan skeptis dengan pemberantasan korupsi, publik Indonesia masih memiliki modal sosial antikorupsi. Dalam sejumlah konferensi di dalam dan luar negeri, saya sering menyatakan, memang korupsi masih sangat endemis di Indonesia, tetapi keadaannya bukan tanpa harapan.

Harapan itu, selain pada KPK, juga ada pada modal sosial berupa dua pilar demokrasi, yakni media bebas antikorupsi dan kelompok atau organisasi masyarakat sipil. Peran kedua pilar ini sangat vital dalam merespons tantangan besar memerangi korupsi tatkala lembaga-lembaga penegak hukum, Polri, Kejaksaan, dan Kehakiman/Peradilan belum mampu menegakkan integritas seluruh pejabat dan pegawainya untuk tidak korupsi.

Media Antikorupsi

Seperti bisa disaksikan masyarakat, media di Indonesia baik cetak maupun elektronik sangat bebas. Bisa dikatakan, media di Indonesia paling bebas di seluruh dunia. Kebebasan juga ada ekses negatifnya. Namun, jelas jauh lebih banyak sisi positifnya, terutama dalam pengungkapan kasus-kasus terindikasi sebagai tindak pidana korupsi. Berkat kebebasan pers, media, baik di tingkat nasional maupun lokal, tidak sungkan mengungkapkan bau busuk yang menguap, mengindikasikan ketidakberesan, dan penyimpangan dana publik.

Memang tidak selalu mudah bagi media bebas antikorupsi mengungkapkan kasus-kasus tertentu yang terindikasi korupsi. Hal ini terjadi khususnya ketika kasus-kasus tersebut terkait dengan pejabat tinggi tertentu atau politisi yang merupakan anggota keluarga atau kerabat pejabat tinggi.

Menghadapi kasus-kasus semacam itu, media bebas antikorupsi kian pintar mencari celah dan trik tertentu untuk dapat menggelindingkan kasus seperti itu kepada khalayak luas. Melalui cara ini, kasus demi kasus akhirnya menjadi pengetahuan publik secara luas, menciptakan persepsi�yang mungkin belum tentu sepenuhnya benar tentang pejabat atau politisi yang bersangkutan.

Kasus ini, misalnya, terlihat dalam pemberitaan harian The Jakarta Post pada awal Februari 2013 tentang SPT tahun 2011 keluarga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bocornya SPT keluarga RI-1 ini jelas sangat sensitif, apalagi isinya mengandung diskrepansi yang dapat memancing munculnya tak hanya dugaan penyimpangan pajak, tetapi juga indikasi penambahan kekayaan secara tidak jelas.

Terlepas dari hal apakah isi SPT itu benar atau tidak, sensitivitas masalahnya membuat tak ada media lain yang awalnya cukup berani memberitakan kasus ini, kecuali The Jakarta Post. Namun, dalam perkembangan berikutnya, melalui teknik pendekatan dan pengolahan tertentu yang cerdas dan menggelikan, masalah ini menjadi pembicaraan terbuka baik di media cetak maupun elektronik lainnya.

Media bebas antikorupsi, selain mahir dalam teknik pemberitaan, juga pintar memainkan data atau bocoran dokumen. Kini hampir tidak ada lagi jaminan dokumen tertentu tidak bocor. Ini, misalnya, terlihat dari bocornya SPT tadi sampai bocoran daftar penerima aliran dana proyek Hambalang. Media elektronik dengan lihai memberi stabilo pada nama tertentu dalam daftar itu yang kemudian disorot dekat sehingga para pemirsa dapat membacanya dengan jelas.

Hasilnya, ketika dugaan kasus korupsi dan bocoran dokumen semacam itu menjadi konsumsi publik, damage has been done�kerusakan telah menimpa orang yang bersangkutan. Citra, persepsi, dan kecurigaan yang selama ini mungkin telah ada dalam masyarakat tentang figur politik tertentu tak bisa lain kecuali kian menguat; nyaris tidak lagi menyisakan ruang untuk dapat dipulihkan kembali.

�Lesson Learned�

Jika para pejabat publik juga cermat dan cerdas mengamati tendensi media di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dalam hal korupsi, mestinya mereka lebih mawas diri menjaga integritas pribadi, lembaga, instansi, bahkan keluarga masing-masing. Sekali lagi, sekarang hampir tidak ada lagi hal yang tak bisa diberitakan media�apalagi, menyangkut dugaan atau indikasi tindakan koruptif yang dilakukan pejabat publik dan politisi.

Berhadapan dengan media bebas, para pejabat publik dan politisi ibarat orang yang memegang mata pisau, sedangkan hulunya ada di pihak media. Artinya, jika pisau itu ditarik, tangan pejabat publik atau politisi itulah yang bakal berdarah-darah, sedangkan media pemegang hulu pisau sulit terluka. Inilah dilema pejabat publik atau politisi yang terduga atau terindikasi korupsi; posisi yang juga bisa disebut sebagai �maju kena mundur kena�. Supaya tidak terjebak dalam dilema ini, tidak ada cara lain, kecuali jangan pernah korupsi.

Namun, jelas, meskipun media bebas antikorupsi hampir tidak pernah lengah memberitakan atau bahkan berpanjang-panjang mengulasnya dalam talk show di TV atau laporan investigatif di media cetak, tetap saja kian banyak pejabat publik atau politisi yang tidak mampu mengendalikan syahwatnya untuk korupsi. Mereka seolah-olah tidak takut korupsi, apalagi hukuman yang dijatuhkan pengadilan sering sangat ringan. Tambahan lagi, aset dan harta hasil korupsi tak disita dan dikembalikan kepada negara. Dengan remisi berlipat-lipat, mereka segera bebas dan sambil senyum-senyum menikmati kekayaan hasil korupsi.

Di lain pihak, karier pejabat publik atau politisi seperti ini agaknya tidak lagi bisa terpulihkan. Namun, menjelang Pemilu 2014 ini, bukan tidak mungkin mereka diam-diam menyelinap ke dalam parpol kontestan pemilu. Di sinilah media bebas antikorupsi dan masyarakat luas perlu mencermati daftar calon legislatif pada keseluruhan tingkatan lembaga legislatif sehingga mereka (yang calon koruptor) tidak begitu saja melenggang kangkung maju sebagai calon �wakil rakyat�.

Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; dan Anggota Dewan Penasihat International Institute for Democracy and Electoral Assistance, Stockholm

Jumat, 01 Maret 2013

Petisi untuk Wapres

Acep Iwan Saidi

Selamat pagi, Pak Wakil Presiden. Ketika tahun lalu Anda menulis esai bertajuk �Pendidikan Kunci Pembangunan� (Kompas, 27 Agustus 2012), harapan mengenai perubahan sistem pendidikan ke arah yang lebih baik membuncah di benak saya.

Bukan semata-mata karena gagasan Anda yang brilian pada tulisan itu, melainkan yang utama dan pertama adalah kebesaran hati Anda untuk berkenan menyapa publik, rakyat yang Anda pimpin. Sudah terlalu lama kita tidak mendengar �suara intelektual� seorang pemimpin di ruang publik melalui sebuah tulisan.

Anda pun ternyata bukan sekadar menulis, melainkan juga mengambil tanggung jawab untuk merealisasikan gagasan tersebut dengan membentuk Tim Kurikulum 2013, tentu saja melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sungguh pekerjaan yang mulia. Kurikulum adalah kompas bagi dunia pendidikan. Jika kita yakin pendidikan merupakan fondasi kehidupan, jelas kurikulum adalah petunjuk arah ke mana bangsa ini akan melangkah.

Kita semua tahu belaka hasil kerja Tim Kurikulum itu menuai banyak masalah. Pro dan kontra terjadi. Sebagian pihak memang menganggap itu hal biasa ketika kita mau mengadakan perubahan. Namun, saya tidak sepakat. Sekecil apa pun derau hendaknya disikapi. Ini bukan soal politik. Jangan sampai keputusan pemberlakuan kurikulum berdasar pada perbandingan jumlah yang pro dan kontra, sebagaimana sinyalnya telah dikirim Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah beberapa waktu lalu. Bahwa, kurikulum akan tetap dijalankan sebab jumlah yang mendukung lebih banyak daripada yang menolak (Kompas, 14/2).

Pak Wakil Presiden, bagi saya soalnya bukan pada pro dan kontra sedemikian, tetapi pada sebatas mana kurikulum tersebut dapat dijelaskan �secara rasional� kepada publik. Saya melihat Mendikbud tidak bekerja dalam nalar demikian, tetapi cenderung memilih mekanisme defensif dalam kebersikukuhan kuasa. Ia memang melakukan uji publik, tapi tampak istilah ini hanya nama lain dari sosialisasi.

Sebagai sebuah sosialisasi, kurikulum tetap akan dijalankan. Apa pun tanggapan publik. Dengan kata lain, uji publik hanya sebuah alibi untuk legitimasi politik bahwa kurikulum telah mendapat persetujuan publik.

Simplifikasi

Faktanya, Kurikulum 2013 memang layak dipertanyakan. Berikut saya tunjukkan beberapa bagian pada bidang yang sesuai dengan konsentrasi studi saya, yakni pelajaran Bahasa Indonesia pada jenjang sekolah dasar, yang secara lebih jauh ditinjau dalam perspektif kebudayaan. Saya berharap hal ini bisa menjadi perhatian Pak Wapres.

Pada bagian Kompetensi Inti (KI) bidang studi Bahasa Indonesia tertulis empat KI, yakni: �(1) Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya; (2) Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru; (3) Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, sekolah; dan (4) Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia�.

Empat KI ini sama untuk seluruh kelas (I-VI). Dalam dunia tulis-menulis, kita biasa mengatakan kasus semacam ini dengan istilah tempel-salin (copy-paste).

Empat KI yang sama tiap kelas tersebut dikembangkan menjadi beberapa kompetensi dasar (KD) yang sangat formalistik. Untuk KI pertama terdapat dua KD; KI kedua sampai keempat masing-masing lima KD. Itu untuk kelas I-V. Untuk kelas VI, KI pertama dua KD; KI kedua sampai keempat masing-masing empat KD.

Sekilas perumusan itu mungkin tak bermasalah. Namun, ditelaah lebih jauh tampak bagaimana pola pikir positivisme menjadi basis dan membelenggu kurikulum ini. Soal kemanusiaan (bahasa) direduksi atau disimplifikasi dengan penyeragaman pada lapis permukaan. Jadi, apa bedanya Kurikulum 2013 dengan kurikulum lama jika dasar ontologi dan efistemologinya sama. Tentu yang berbeda hanyalah kemasannya. Di samping itu, pola tersebut juga menjadi kontradiktif dengan semangat yang sering digemborkan, yakni menciptakan siswa kreatif dan berkarakter.

Petisi

Baiklah, Pak Wapres, meskipun rumusan KI dan KD tersebut tetap harus diperdebatkan, saya tidak ingin memperpanjangnya. Sekarang tolong perhatikan dengan saksama isi dari tiap KI yang dikutip di atas. Saya pikir, �barang siapa� yang berpikir dengan jernih pasti tidak akan pernah mengerti, bagaimana mungkin sebuah bidang studi yang dinamai Bahasa Indonesia, di dalam KI-nya tidak sedikit pun bicara inti pelajaran Bahasa Indonesia. Demikian halnya dalam KD-nya (silakan Bapak periksa sebab tidak mungkin dikutip di sini).

Jika dipersingkat, studi saya atas kurikulum bidang pelajaran Bahasa Indonesia sampai pada kesimpulan bahwa secara substansial sebenarnya bahasa Indonesia tidak pernah diajarkan. Bahasa Indonesia hanya disikapi sebagai alat dalam sebuah bidang studi yang dinamai Pelajaran Bahasa Indonesia. Perhatikan, misalnya, salah satu KD untuk kelas VI adalah �memiliki kepedulian dan tanggung jawab tentang ciri khusus makhluk hidup dan lingkungan melalui pemanfaatan bahasa Indonesia�.

Saya mengerti Kurikulum 2013 bersifat integratif sehingga dalam KD di atas pengetahuan alam diintegrasikan ke dalam bidang studi Bahasa Indonesia (meskipun terkesan mengada- ada). Namun, nama sebuah bidang studi adalah pusat dari berbagai disiplin yang diintegrasikan pada bidang bersangkutan. Jadi, untuk pelajaran Bahasa Indonesia, pokok kalimat KI dan KD-nya harus bahasa Indonesia. Pada kasus KD tadi, memiliki kepedulian dan tanggung jawab melalui pemanfaatan bahasa jelas berbeda dengan memahami bahasa untuk memiliki kepedulian dan tanggung jawab. Yang terakhir itulah yang mestinya menjadi KD bidang studi Bahasa Indonesia.

Baiklah, Pak Wapres, ruang ini terlalu sempit untuk mengurut berbagai kekacauan pada kurikulum tersebut. Sebagai penutup, mewakili semua pihak yang mempertanyakan kurikulum ini, dengan tegas saya menyatakan menolak. Esai ini adalah sebuah petisi. Demi masa depan bangsa, mohon kiranya Bapak mempertimbangkan kembali pemberlakuan kurikulum ini. Masih banyak waktu. Saya kira kita sepakat bahwa tergesa-gesa justru sering mengurangi kecepatan.

Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB