Senin, 30 September 2013

�Profiling� dalam Pemberantasan Korupsi

Moh Rozaq Asyhari

Istilah profiling beberapa waktu terakhir kerap kita dengar dalam upaya penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi oleh KPK. Profiling membandingkan potensi pendapatan seseorang dengan harta yang dimilikinya. Ketidaksesuaian antara profil seorang tersangka korupsi dan harta atau aset yang dimiliki menjadi salah satu kunci investigasi.

Profiling pertama kali diterapkan di Indonesia pada Djoko Susilo untuk kasus korupsi simulator SIM di Korlantas Polri. Majelis Hakim pada kasus itu berpendapat harta kekayaan milik terdakwa pada 2003- 2010 yang berjumlah Rp 54,625 miliar tidak sesuai dengan penghasilan terdakwa sebagai anggota Polri. Harta kekayaan terdakwa patut diduga hasil tindak pidana korupsi.
Secara umum majelis hakim Tipikor sependapat dengan dakwaan yang dikemukakan jaksa KPK. Bahwa selama 2010-Maret 2012 Djoko menjabat sebagai Kapolres Bekasi, Kapolres Metro Jakarta Utara, Dirlantas Polda Metro Jaya, Wadirlantas Babinkam Polri, Dirlantas Babinkam Polri, dan Kakorlantas, dan Gubernur Akpol.

Djoko seharusnya hanya memiliki pendapatan sebesar 235 juta plus penghasilan lain dengan total Rp 1,2 miliar. Namun, selama periode tersebut, menurut jaksa KPK, Djoko membeli aset seperti tanah, bangunan, SPBU, dan kendaraan dengan total Rp 63,7 miliar. Karena itu, jaksa menduga harta kekayaan Djoko ada yang berasal dari tindak pidana korupsi.

Profiling serupa juga dilakukan jaksa KPK terhadap terdakwa Lutfi Hasan Ishaq dalam berkas dakwaan kasus dugaan korupsi kuota impor daging. Jaksa mendasarkan pada Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) tahun 2003 saat hendak mencalonkan diri sebagai anggota DPR, LHI hanya memiliki kekayaan sebesar Rp 381,3 juta. Menurut jaksa KPK, perolehan harta setelah itu tidak sesuai profil penghasilan terdakwa sebagai anggota DPR.

Sebagian pihak menilai ini adalah langkah progresif KPK dan putusan kasus Djoko Susilo dapat menjadi yurisprudensi. Namun, perlu disadari, preseden ini membawa beberapa konsekuensi yuridis. Pertama, konstruksi profiling  sebenarnya adalah pembalikan beban pembuktian atau yang dikenal sebagai Omkering van het Bewijslastatau Reversal Burden of Proof.

Jaksa penuntut umum yang sebenarnya memiliki kewajiban untuk melakukan pembuktian, membebankan kewajiban kepada terdakwa untuk membuktikan asal usul harta yang dimilikinya.

Kedua, dengan melakukan profiling jaksa tidak menguraikan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Jaksa hanya menyajikan ketimpangan yang terjadi antara harta terdakwa dan pendapatan yang sepatutnya diperoleh.

Membebankan kepada terdakwa agar membuktikan bahwa hartanya bersumber dari perolehan yang sah tidak berkesesuaian dengan Pasal 66 KUHAP. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.

Secara filosofis profiling tidak berangkat dari asas presumption of innocent  (praduga tidak bersalah) yang selama ini digunakan dalam penegakan hukum. Konstruksi ini secara filosofis lahir dari asas presumption of guilty, di mana seseorang terlebih dahulu dianggap bersalah kecuali bisa membuktikan sebaliknya.

Dalam UU Tipikor konstruksi pembuktian oleh terdakwa merupakan hak dari terdakwa, bukan kewajiban atas beban pembuktian pidana. Pasal 37 Ayat (1) UU Tipikor menyatakan, �Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi�. Oleh karena itu, pembuktian oleh terdakwa pada UU ini adalah sebuah hak untuk menjawab dakwaan jaksa. Jaksa sebagai penuntut umum berkewajiban membuktikan dakwaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat (3) UU Tipikor.

Konstruksi berpikir

Sebagai sebuah konstruksi berpikir, profiling akan banyak membantu penyidik ataupun jaksa penuntut umum dalam menjalankan tugas. Konstruksi logis ini akan mengukur kesesuaian profil seseorang dengan keadaan faktualnya dan menuntun seorang penyidik dan penuntut umum pada alur berpikir yang benar. Profiling ini tidak hanya untuk mencari kesesuaian antara harta yang dimiliki dan pendapatan yang patut diperoleh, tetapi juga untuk mendalami suatu fakta atau keterlibatan seseorang dalam sebuah tindak pidana korupsi.

Misalkan pada kasus dugaan korupsi kuota daging impor, profiling dapat dilakukan saat pemeriksaan saksi. Pada hasil penyadapan KPK terdapat beberapa nama yang sempat disebut. Dengan profiling penyidik dapat mengukur kapasitas setiap nama yang disebut dan menjadi petunjuk jaksa mengenai siapa yang mungkin bermain dalam kasus ini. Tentunya seorang pengusaha lebih memiliki kapasitas dan probabilitas untuk bermain dalam impor daging daripada seorang lulusan SMK. Seharusnya demikianlah profiling dimanfaatkan oleh penyidik ataupun penuntut umum untuk menuntun pada sebuah konstruksi perkara yang logis.

Penggunaan profiling tidak tepat bila ditujukan untuk membalikkan beban pembuktian karena jaksa penuntut umum tidak bisa �cuci tangan� dari kewajiban tersebut. KUHAP ataupun UU Tipikor masih mewajibkan jaksa penuntut umum untuk membuktikan sebuah tindakan tindak pidana. Apalagi prinsip hukum pidana di Indonesia masih menganut asas �praduga tidak bersalah� sebagaimana Penjelasan Umum KUHAP butir ke-3 huruf c serta ketentuan Pasal 8 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.

Penegakan hukum haruslah dilakukan dengan hukum acara yang berlaku agar memberikan kepastian hukum karena Indonesia adalah recht staat sebagaimana Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Di sisi lain, kepatuhan terhadap pelaksanaan hukum acara merupakan implementasi dari equality before the law yang merupakan amanat Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945.

Moh Rozaq Asyhari Kandidat Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia

APEC dan Indonesia

Sri Adiningsih

Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang didirikan tahun 1989 dan beranggotakan 21 perekonomian memiliki peranan yang semakin penting pada perekonomian dunia. Oleh karena itu, APEC Economic Leader�s Week dan beberapa pertemuan terkait yang akan diselenggarakan pada 1-8 Oktober 2013 di Bali akan mendapatkan banyak perhatian masyarakat internasional.

APEC merupakan kekuatan ekonomi dunia utama saat ini karena menjadi tempat tinggal bagi 40 persen penduduk dunia, menguasai 44 persen perdagangan dunia, dengan kekuatan ekonomi 55 persen produk domestik bruto (PDB) dunia. Karena itu, maju mundurnya ekonomi dunia banyak ditentukan oleh maju mundurnya ekonomi APEC.

Peranan APEC di dunia semakin penting di tengah gejolak pasar keuangan yang dialami perekonomian-perekonomian yang tengah bertumbuh (emerging economies) serta melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia. Sementara itu, kontraksi ekonomi Eropa masih berlanjut, demikian juga ekonomi Amerika Serikat masih menghadapi banyak masalah, sehingga peranan APEC dalam pemulihan ekonomi dunia semakin penting. Stabilitas ekonomi dunia ditentukan oleh keberhasilan ekonomi APEC menjaga stabilitas ekonominya. Demikian juga meningkatnya pertumbuhan ekonomi dunia tergantung kemampuan ekonomi APEC meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya, sehingga harapan dunia pada APEC saat ini besar. Semua perhatian dunia akan tertuju ke Bali awal Oktober ini.

APEC penggerak ekonomi dunia?

Kekuatan ekonomi APEC yang besar di dunia membuat maju mundurnya ekonomi dunia bergantung pada maju mundurnya ekonomi APEC. Apalagi data dari Sekretariat APEC menunjukkan bahwa sejak APEC berdiri tahun 1989 hingga tahun 2000 total perdagangan internasional anggota APEC meningkat lima kali dari 3,1 triliun dollar AS menjadi 16,8 triliun dolar AS. Lapangan kerja yang tercipta di kawasan APEC dari 1999 hingga 2001 sebesar 10,8 persen, dan kemiskinan turun 35 persen pada periode yang sama. Dari data tersebut jelas dapat dilihat bahwa ekonomi kawasan APEC berkembang dengan cepat dan semakin makmur.

Berkembangnya ekonomi APEC didukung oleh meningkatnya perdagangan sesama anggota APEC karena turunnya tarif rata-rata dari 17 persen menjadi 5,8 persen dari tahun 1989 ke tahun 2010. Selain itu, biaya transaksi dalam perdagangan juga turun 5 persen pada periode 2002-2006, dan terus berlanjut turun lagi 5 persen pada periode 2007-2010. Dengan demikian, anggota APEC berdagang lebih banyak dengan sesama anggota APEC dibandingkan dengan kawasan non-APEC. Demikian juga investasi, baik langsung maupun portofolio, sesama anggota APEC juga semakin besar. Kerja sama ekonomi antaranggota APEC semakin meningkat.

Ekonomi APEC yang besar dengan kerja sama ekonomi antaranggota yang semakin kuat telah tumbuh pesat selama ini dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun 7,39 persen dari 2003 hingga 2012. Demikian juga nilai perdagangan internasional APEC meningkat 11,69 persen rata-rata per tahun pada periode yang sama, sementara nilai perdagangan dunia tumbuh rata-rata 11,44 persen pada periode yang sama. Demikian juga aliran arus modal asing langsung (FDI) ke APEC tumbuh rata-rata 19,83 persen per tahun pada 2003-2012, sementara pertumbuhan FDI rata-rata per tahun dunia 13,28 persen pada periode yang sama. Selain itu, tingkat daya saing internasional ataupun kualitas sumber daya manusia ekonomi APEC pada umumnya tinggi dibandingkan dengan ekonomi lainnya di dunia.

Kawasan APEC yang dinamis dan berkembang pesat akan terus berkembang karena memiliki komitmen untuk mengurangi hambatan perdagangan dan investasinya. APEC telah mendeklarasikan Bogor Goals yang dicanangkan pada 1994 di Bogor untuk mencapai pasar yang bebas dan terbuka dalam perdagangan dan investasi dengan target waktu tahun 2010 untuk negara-negara maju dan tahun 2020 untuk negara-negara berkembang. Hal itu dicapai dengan mendorong arus bebas barang, jasa, dan modal. Bogor Goals menjadi tonggak penting dalam liberalisasi aliran barang, jasa, dan modal di kawasan APEC dalam rangka integrasi ekonomi APEC.

Perkembangan dalam memenuhi Bogor Goals oleh Sekretariat APEC disebutkan �� APEC Leaders concluded that while more work remains to be done, significant progress has been made toward achieving the Bogor Goals�� . Jelas bahwa hambatan perdagangan barang, jasa, dan modal telah dipangkas di kawasan APEC, meningkatkan arus perdagangan barang, jasa, dan kapital, yang pada akhirnya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, menciptakan lebih banyak lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat APEC.

Kawasan APEC yang dinamis dan berkembang pesat berkomitmen untuk meningkatkan kerja sama ekonominya dengan memangkas hambatan yang ada. Dengan demikian, kerja sama ekonomi, khususnya dalam perdagangan barang, jasa, dan modal, akan semakin meningkat. Apalagi beberapa anggota kelompok BRIC (Brasil, Rusia, India, China) seperti China dan Rusia yang berkembang pesat juga menjadi anggotanya. Demikian juga perekonomian negara anggota yang berada di Asia Timur juga berkembang dengan pesat. Oleh karena itu, perekonomian APEC diperkirakan akan tetap berkembang pesat pada masa mendatang sehingga kekuatan ekonomi APEC di dunia akan semakin meningkat dan semakin penting, ekonomi APEC tetap akan dominan dalam perekonomian dunia dan menjadi motor penggerak ekonomi dunia.

Peran APEC bagi Indonesia

Indonesia sebagai salah satu pendiri APEC memiliki peranan yang penting dalam menentukan arah APEC ke depan. Apalagi pada tahun ini Indonesia menjadi ketua APEC sehingga diharapkan bisa memainkan peranan yang penting seperti pada 1994 yang berhasil membuat deklarasi Bogor Goals yang sangat terkenal tersebut. Oleh karena itu, mestinya Indonesia bisa memanfaatkan keketuaannya dalam APEC untuk ikut menentukan arah APEC ke depan. Mudah-mudahan muncul Deklarasi Bali yang bisa menjadi tonggak penting peningkatan kerja sama APEC awal Oktober yang akan datang.

Tentu saja yang juga tidak kalah penting dari keikutsertaan Indonesia di APEC adalah terkait dengan manfaat apa yang diperoleh Indonesia dari APEC. Peran APEC bagi Indonesia adalah penting karena perkembangan ekonomi Indonesia banyak dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi APEC (perdagangan Indonesia dengan sesama negara APEC lebih besar dibandingkan dengan negara-negara non-APEC) sehingga masa depan ekonomi Indonesia banyak dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi APEC. Apalagi kawasan APEC tengah berkembang dengan pesat, menjadi motor penggerak ekonomi dunia. Untuk itu, Indonesia harus bisa menjaga agar perkembangan APEC ke depan akan terus pada jalurnya (on track), kerja sama ekonomi meningkat dan ekonomi kawasan terus berkembang, yang pada akhirnya memberikan manfaat atau menguntungkan bagi Indonesia. Untuk itu, Indonesia perlu menjaga agar perkembangan kerja sama di APEC selaras dengan kepentingan Indonesia.

Demikian juga Indonesia harus bisa memanfaatkan berbagai kerja sama dalam APEC agar berbagai skim kerja sama yang ada menguntungkan baik dalam ekonomi, sosial, maupun pariwisata. Meski demikian, peringkat daya saing ataupun kualitas manusia Indonesia dalam masyarakat APEC berada pada peringkat bawah sehingga kemampuan Indonesia mendapatkan manfaat dari APEC juga terbatas. Meskipun neraca perdagangan intra APEC kita masih surplus, angkanya semakin mengecil, itu pun karena banyak tertolong ekspor sumber daya alam.

Jangan ulang kesalahan manajemen kita dalam menghadapi Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA) yang diimplementasikan 2010, di mana kinerja perdagangan internasional kita yang dulu surplus dengan ASEAN dalam beberapa tahun terakhir ini selalu defisit dengan nilai yang cenderung meningkat. Untuk itu, kita perlu memodernisasi ekonomi kita agar siap bersaing di pasar APEC 2020. Kita perlu mengerjakan pekerjaan rumah kita agar kualitas sumber daya manusia dan daya saing internasional berada pada jajaran menengah atas APEC. Demikian juga iklim investasi kondusif bagi investor. Selain itu, diseminasi berbagai skim kerja sama APEC yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat ataupun pengusaha perlu ditingkatkan agar berbagai skim yang ada bisa dimanfaatkan secara maksimal. Dengan demikian, keikutsertaan Indonesia di APEC akan memberi manfaat yang besar bagi bangsa Indonesia. Indonesia mestinya juga bisa memanfaatkan kesempatan Leader�s Meeting Bali untuk menjual Indonesia, meningkatkan pariwisata ataupun investor dari APEC. Semoga Leader�s Meeting di Bali sukses.

Sri Adiningsih, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis; Direktur P2EB UGM

Relevansi APEC bagi Perekonomian Kita

A Prasetyantoko

Pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bali beriringan dengan meningkatnya intensitas gejolak perekonomian, baik domestik maupun global. Goldman Sachs beberapa tahun lalu merilis laporan yang menjuluki Indonesia sebagai �The Next 11 Countries�, atau kelompok 11 negara sangat prospektif, yang akan segera menyusul keberhasilan Brasil, Rusia, India, China (BRIC). Belum lama berselang, Indonesia kini ditempatkan dalam �Fragile Five� oleh Morgan Stanley. Itu julukan bagi negara paling bermasalah dalam depresiasi nilai tukar, bersama Brasil, Turki, Afrika Selatan, dan India.

Buruknya depresiasi di lima negara ini terkait dengan berbagai persoalan domestik, seperti tingginya inflasi, besarnya defisit transaksi berjalan, dan terkoreksinya pertumbuhan ekonomi. Aneka persoalan ini bermunculan seiring dengan proses penemuan titik keseimbangan baru secara global. Prospek pemulihan ekonomi negara maju direspons investor global melalui reposisi portofolio investasi. Adapun negara berkembang dengan kinerja buruk mengalami tekanan lebih besar.

Indonesia menghadapi kompleksitas persoalan tersebut. Dalam jangka pendek ada persoalan likuiditas yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar, dan dalam jangka panjang kita menghadapi transformasi struktur ekonomi yang terancam mandek. Dua tantangan inilah yang mestinya mendapat perhatian khusus dalam pertemuan APEC. Mampukah kita memanfaatkan forum tersebut? Meskipun informal dan tidak mengikat, APEC tetap memiliki peran strategis karena bisa mendorong lembaga formal seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan Organisasi Perdagangan Dunia menindaklanjutinya.

Pertemuan APEC tahun ini bertema �Resilient Asia-Pacific Engine of Global Growth�. Ada tiga prioritas yang ingin dicapai. Pertama, pencapaian Target Bogor (Bogor Goals) yang sudah ditetapkan pada pertemuan APEC 1994. Kedua, merealisasi pertumbuhan berkelanjutan melalui pemerataan (sustainable growth with equity). Ketiga, mempromosikan konektivitas. Pertemuan Bogor telah menyepakati tujuan bersama liberalisasi perdagangan dan investasi pada 2010 bagi negara maju dan 2020 untuk negara berkembang. Target tersebut beririsan dengan komitmen pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

Agak ironis, semakin kita mendekati tenggat implementasi perdagangan bebas (dan investasi), justru kita tengah bergulat mengatasi persoalan terkait neraca eksternal kita.

Defisit perdagangan Juli lalu mencatat rekor terbesar dalam sejarah, sebesar 2,31 miliar dollar AS atau secara kumulatif dari awal tahun mencapai 5,65 miliar dollar AS. Transaksi berjalan defisit 9,8 miliar dollar AS pada triwulan II tahun ini, atau 4,4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Akibat buruknya defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan itulah rupiah mengalami tekanan yang cukup besar, mencapai sekitar 20 persen dibandingkan dengan kinerja awal tahun.

Seakan-akan kita berada pada dua tebing persoalan yang semakin mengimpit. Pada satu sisi semakin dekat menghadapi implementasi perdagangan bebas, di sisi lain terimpit oleh makin besarnya defisit. Jika tidak ada perubahan lanskap kebijakan ekonomi, liberalisasi perdagangan dan investasi justru akan menjerumuskan kita pada jurang persoalan yang makin pelik. Apa yang bisa kita lakukan dalam Forum APEC guna mengatasi persoalan domestik tersebut?

Sebanyak 21 negara anggota APEC memiliki peran sentral karena menguasai kurang lebih 60 persen PDB dunia dan merupakan 70 persen dari pangsa pasar ekspor kita. Dari sisi investasi, peranannya juga tak kalah penting. Dalam pertemuan CEO Summit di Bali, misalnya, akan berkumpul tak kurang 1.200 pemimpin tertinggi perusahaan besar di dunia. Mereka adalah motor yang menggerakkan investasi ke penjuru dunia.

Sebenarnya persoalannya bukan lagi terletak pada kesempatan yang tersedia, melainkan justru pada kemampuan kita melakukan transformasi fundamental perekonomian kita sehingga kita memiliki kesiapan untuk terjun dalam arena tersebut. Tingginya investasi langsung asing ternyata memberi efek buruk karena hampir semua kebutuhan investasi dipenuhi dengan bahan baku dan bahan penolong impor. Perekonomian domestik tak mampu menyediakan bahan baku tersebut secara proporsional sehingga tingginya investasi langsung asing berimplikasi terhadap melonjaknya bahan baku impor.

Sama halnya dengan terbukanya sistem perdagangan melalui liberalisasi, justru membuat aliran barang dan jasa lebih banyak mengalir ke perekonomian domestik ketimbang peningkatan ekspor produk nonmigas kita. Daya saing produk kita begitu kedodoran karena produktivitas ekonomi kita yang tak mengalami perubahan berarti.

Terkait isu jangka pendek, Forum APEC bisa menjadi sarana sangat baik untuk melakukan lobi dalam rangka meningkatkan cadangan devisa kita, khususnya melalui perjanjian swap antarnegara. Pendekatan ini penting untuk meningkatkan cadangan devisa yang sekarang berada pada kisaran 92,8 miliar dollar AS. Sementara, isu konektivitas dan pertumbuhan dengan pemerataan perlu diturunkan dalam ramifikasi program yang menjawab isu pokok kita hari ini.

Pada isu ini tercakup berbagai program, mulai dari infrastruktur fisik, akses keuangan, hingga kerangka kelembagaan yang memadai bagi transformasi perekonomian domestik. Agenda domestik jangka panjang tersebut terasa begitu klise karena sudah sekian lama kita paham betul situasinya, tetapi tak pernah ada upaya konkret yang sistematis dan berkelanjutan. Kalaupun ada beberapa inisiatif, terkesan insidental dan responsif yang cepat menguap.

Pendek kata, forum informal APEC ini bisa sangat berguna bagi perekonomian kita yang sedang terancam pelambatan, selain dinamika jangka pendek yang menantang ini. Untuk itu, dibutuhkan koordinasi yang baik di antara pejabat pemerintah. Jangan sampai pejabat yang tidak berwenang memberikan pernyataan di media yang justru menunjukkan tidak adanya koordinasi. Dalam situasi seperti ini, soal kredibilitas menjadi sangat penting sehingga perlu ada upaya maksimal mengupayakannya.

A Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta

Konvensi Demokrat di TVRI

Atmakusumah Astraatmadja

Ramai-ramai tentang penolakan terhadap siaran konvensi Partai Demokrat di TVRI pada 15 September, selama 2 jam 23 menit, menimbulkan pertanyaan: mengapa harus sepenuhnya ditolak?

Timbul pula pertanyaan lain: tidakkah konsep tata pemerintahan yang dijelaskan dalam peristiwa ini oleh para calon pemimpin negara cukup penting sebagai informasi yang diperlukan oleh publik?

Informasi seperti itu sulit diharapkan dari siaran televisi swasta yang lebih mementingkan tujuan komersial dan rating. TVRI, sebagai televisi publik, hampir-hampir jadi harapan satu-satunya bagi masyarakat untuk memperoleh informasi mendalam tentang para calon pemimpin kita di masa depan.
Ternyata, TVRI juga pernah melakukan siaran serupa, terfokus semata-mata pada kegiatan satu partai politik atau lembaga sosial, umpamanya ulang tahun Fraksi Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan organisasi karyawan SOKSI. Direktur Utama TVRI Farhat Syukri malah menjelaskan bahwa kesempatan yang sama akan diberikan kepada partai politik yang lain dengan durasi yang sama lamanya.

Program seperti ini patut dihargai. Yang penting, TVRI tidak meminta bayaran untuk siaran ini, kecuali jika berbentuk iklan. Bahkan, durasi tayangan tak harus sama karena bobot peristiwa dan informasi bagi kepentingan publik yang terkandung di dalamnya perlu dipertimbangkan.

Independensi-netralitas

Hal yang penting, independensi kebijakan redaksi harus dihormati oleh semua pihak. Ini berarti, baik direksi TVRI maupun kekuatan politik, ekonomi, dan sosial di luar TVRI tidak dapat menekan kebijakan redaksi. Kekuatan-kekuatan dan kalangan di luar redaksi hanya mungkin mengajukan saran dan pendapat yang sejalan dengan kebijakan yang sudah ditetapkan oleh redaksi.

Akan tetapi, independensi tak harus berarti netralitas. Inilah istilah-istilah yang sering disalahpahami, seolah-olah independen hanya mengandung makna netral. Independensi mengandung sikap yang mengembangkan kemandirian dalam pendirian. Dalam independensi redaksi, memang, dapat terjadi sikap netral. Media siaran lebih-lebih lagi diharapkan bersikap senetral mungkin karena stasiun radio dan stasiun televisi menggunakan frekuensi radio yang merupakan milik publik dengan beragam pendirian.

Namun, dalam independensi juga dapat timbul pendapat yang berpihak pada pendirian atau visi yang oleh redaksi dianggap paling baik bagi kepentingan masyarakat seluas mungkin. Yang terpenting, redaksi perlu bersikap imparsial, yang tidak hanya mementingkan pihak-pihak tertentu agar sebanyak mungkin kalangan mendapat peluang untuk diliput oleh media pers.

Agaknya yang masih perlu dipertimbangkan dalam siaran TVRI adalah formatnya. Siaran seperti ini sebaiknya tak sekadar menampilkan pandangan teoretis para calon pemimpin negara itu, tetapi juga memberikan gambaran tentang prestasi nyata dalam karier mereka selama ini.

Malahan program ini sebaiknya dipertimbangkan oleh stasiun-stasiun televisi lain. Adapun yang lebih perlu dikecam oleh para pengamat sebenarnya adalah stasiun-stasiun televisi yang hanya mementingkan peliputan kegiatan lembaga-lembaga yang dipimpin oleh pemilik stasiun televisi tersebut. Stasiun televisi seperti ini seakan-akan lupa bahwa mereka sedang meminjam frekuensi milik masyarakat, yang tidak semuanya sejalan dengan pendirian lembaga-lembaga itu.

Menjelang Pemilu 2014

Peliputan tentang para calon pemimpin negara kita oleh media pers independen semakin diperlukan sekarang ini, pada saat-saat menjelang pemilihan umum bagi para anggota parlemen dan pemilihan presiden pada 2014 yang kian dekat. Peliputan pers seperti itu juga diperlukan dalam pemilihan para kepala daerah.

Adalah penting bagi pers untuk menyajikan selengkap mungkin konsep dan program partai-partai politik serta para pemimpinnya tentang pembangunan yang mereka rencanakan untuk negeri ini. Selain itu, penting pula menampilkan informasi tentang latar belakang karier para pemimpin itu agar masyarakat dapat menilai apakah mereka patut memimpin negeri ini.

Dengan demikian, peliputan oleh pers bukan sekadar menonjolkan karakter dan citra para pemimpin yang sedang mencalonkan diri. Peliputan itu terutama sekali menampilkan kemampuan sebagai pengelola tata pemerintahan yang maju dan demokratis, yang hendaknya tecermin dalam perjalanan karier mereka serta dalam konsep dan program pemerintahan yang mereka rancang.

Sepanjang yang dapat kita amati, hasil penelitian lembaga-lembaga survei di Indonesia hanya terpusat pada citra dan karakter para calon pemimpin politik. Dengan kata lain, para responden survei itu tampaknya hanya mendasarkan pilihan mereka pada popularitas tokoh. Popularitas dimaksudkan tidak harus berarti karena keberhasilan karya-karya pembangunan berdasarkan konsep mereka, tetapi karena seringnya mereka tampil dalam sejumlah kampanye politik atau sebagai narasumber pemberitaan pers dan muncul dalam iklan di media massa.

Karena pers dipandang memiliki posisi yang dominan dalam menciptakan citra para pemimpin, kewajiban pers pula memberikan gambaran yang jelas dan lengkap mengenai tokoh-tokoh tersebut. Dengan demikian, publik tidak akan memperoleh kesan dan penafsiran yang keliru tentang sosok dan pendirian politik mereka. Dengan mendapat bekal informasi yang benar dari pers, publik yang �sarat informasi� dapat menentukan pilihan yang lebih tepat bagi para calon pemimpin negara kita dalam pemilihan umum. Dengan kata lain, media pers dapat memperkaya informasi yang diperlukan oleh para pemilih.

Atmakusumah Astraatmadja, Pengamat Pers dan Pengajar Jurnalisme di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) di Jakarta

Menakar Retorika �M� di Papua

Pierre Marthinus

Pada 15 Agustus 2013 diresmikan kantor Free West Papua Campaign (FWPC) di Den Haag, Belanda. Sebelumnya, 28 April 2013, peresmian kantor serupa di Oxford, Inggris, menuai reaksi dan kecaman keras dari dalam negeri.

Pelajaran berharga apa yang dapat diambil bagi rekonsiliasi dan pembangunan Papua? Pernyataan bahwa �banyak orang Papua berteriak merdeka� mungkin tak sepenuhnya salah. Namun, pernyataan itu masih gagal memberikan gambaran akurat soal tindakan serta aspirasi di belakang retorika merdeka itu.

Para pihak yang mengangkat retorika merdeka di Papua sebenarnya memiliki tingkat ideologisasi dan tendensi kekerasan sangat beragam. Sayangnya, mereka kerap digeneralisasikan sebagai ancaman keamanan yang sama, diberi stigma separatis, dinilai layak menerima respons kekerasan seragam dari negara.
Empat �M� berbeda

Pada dasarnya, tiap kelompok memiliki ketidakpuasan berbeda dan mengartikulasikannya melalui bentuk-bentuk resistensi yang beragam pula. Dengan demikian, negara seharusnya mampu memberikan respons yang terdiferensiasikan dan proporsional bagi tiap kelompok. Berdasarkan tingkat ideologisasi dan tendensi kekerasan, terdapat empat kategori utama kelompok yang mengangkat retorika merdeka yang akrab disebut sebagai �M�.

Pertama, kategori hipokritikal, yakni mereka yang kritis tapi tak pernah menolak segala insentif yang ditawarkan Jakarta. Tingkat ideologisasi dan tendensi kekerasan kalangan ini sangat rendah. Ironisnya, retorika �M� kalangan ini kadang terlontar dari mereka yang sudah PNS. Di kalangan petinggi, tak jarang mereka yang habis masa jabatan dan kehilangan pendapatan ataupun privilese, lalu �bersuara sumbang� dan mengangkat retorika �M�.

Retorika �M� terutama digunakan untuk mengakses berbagai konsesi politik dan ekonomi yang ditawarkan negara. Retorika �M� juga menyediakan kesempatan untuk menjaga kehormatan sembari menjustifikasikan kelengseran mereka karena kasus-kasus korupsi, inkompetensi dalam tugas, skandal pribadi, ataupun popularitas elektoral yang menurun dalam pentas demokratik.

Kedua, kategori hiperkritikal, yakni mereka dengan sikap kritis selalu menilai semua kebijakan dari Jakarta adalah jebakan, salah kaprah, dan pasti akan gagal. Kalangan ini punya tingkat ideologisasi rendah dan sesekali terlibat kekerasan fisik dengan aparat dalam aksi-aksi demonstrasi. Umumnya, pengalaman pribadi terkait diskriminasi, marjinalisasi, dan kekerasan negara telah menempa sikap nonkooperatif yang sangat kuat di kalangan ini.

Ketiga, kalangan radikal, yakni mereka dengan tingkat ideologisasi tinggi, yang mengartikulasikan �M� sebagai nasionalisme Papua yang sepenuhnya terpisah dari nasionalisme Indonesia. Dalam perkembangannya, tendensi kekerasan di kalangan ini hampir tak ada dan telah muncul komitmen tinggi dalam melakukan perlawanan non-kekerasan.

Kalangan ini terbukti mampu menyinergikan retorika �M� dengan retorika global lain, seperti HAM, lingkungan hidup, hak-hak masyarakat asli, hak menentukan nasib sendiri, dan demokratisasi. Bentuk resistensi konvensional mereka, yakni pengibaran bendera, kini telah berevolusi menjadi berbagai bentuk advokasi transnasional, seperti orasi di ruang publik internasional, kampanye internet, serta pentas budaya dengan lagu, cerita, instrumen musik serta tarian tradisional yang mengedepankan akar kebudayaan Melanesia Papua. Kelompok inilah yang cenderung berkembang pesat di luar negeri, berhasil memenangi dukungan dari beberapa simpatisan non-negara, dan merupakan satu-satunya kelompok yang berpotensi �mempertanyakan� kedaulatan Indonesia di Papua, tanpa mengeluarkan sebutir peluru pun.

Keempat, kalangan radikal-ekstrem, yakni mereka yang memiliki tingkat ideologisasi tinggi dan mendukung penggunaan kekerasan. Mereka yang bergerak dalam kapasitas sipil kerap dengan sengaja melakukan aksi kekerasan kecil untuk memancing reaksi berlebihan dari aparat yang diharapkan mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa sipil. Kalangan ini merindukan terjadinya insiden Santa Cruz kedua dan intervensi internasional ala Timor Leste bagi Papua. Popularitas kalangan ini terlihat berkembang di antara segelintir kalangan muda Papua.

Sementara itu, kalangan radikal-ekstrem yang bergerak dalam kapasitas kombatan, yang kerap disebut sebagai Tentara Pembebasan Nasional (TPN), cenderung terlalu terfragmentasi, tidak populer, dan gagal memenangi dukungan, baik dari aktor negara maupun non-negara di tingkat internasional.

Dialog dan insentif

Jadi, apakah kehadiran empat kalangan yang berteriak �M� ini berarti pendekatan berbasis insentif dalam UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah gagal dan sudah saatnya kembali ke pendekatan punitif (stick)? Tentu tidak.

Pertama, negara harus bisa membedakan antara politik �potong jari� dan politik �potong babi� yang terjadi di Papua. Kelompok �potong jari�, yakni mereka yang telah betul-betul mengecap kepahitan diskriminasi, marjinalisasi, dan kekerasan negara seyogianya diikutsertakan dalam proses rekonsiliasi berbasis dialog yang inklusif. Di sisi lain, kelompok �potong babi�, yakni mereka yang mendambakan kemanfaatan dan kesejahteraan dari kehadiran negara, juga perlu dimenangkan dengan menggunakan insentif-insentif yang memiliki nilai tawar sosio-kultural yang tinggi.

Kedua, sebelum memasuki dialog yang inklusif dengan kelompok yang tergolong radikal, harus dipetakan konsesi-konsesi apa saja yang bisa dan mampu ditawarkan negara tanpa melangkahi batasan-batasan konstitusional. Bagi mereka yang menginginkan kedaulatan, negara bisa menawarkan konsesi �kedaulatan simbolik� di bidang-bidang yang umumnya menjadi ranah eksklusif negara, misalnya moneter, hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan.

Konsesi kedaulatan simbolik bisa berupa mata uang rupiah yang dicetak khusus untuk beredar di Papua (model poundsterling Skotlandia) yang menampilkan simbol-simbol budaya Papua, seperti tifa, rumah honai, tombak, parang, pisau belati, busur dan panah, burung cenderawasih, dan puncak Jayawijaya. Dalam hubungan luar negeri bisa dialokasikan pos-pos diplomatik tertentu atau dibentuk pos-pos baru yang dikhususkan bagi orang Papua untuk mewakili kepentingan Indonesia, seperti duta besar untuk kawasan Pasifik Selatan.

Dalam pertahanan-keamanan, misalnya, bisa dirancangkan lencana kehormatan atau lencana HAM yang akan diberikan oleh gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) beserta Majelis Rakyat Papua (MRP) kepada perwira TNI/Polri yang dianggap memiliki andil besar bagi perdamaian dan penghormatan HAM di Papua. Jika dilengkapi komponen kepangkatan dan tunjangan ekonomi, tentunya pendekatan HAM yang berbasis insentif ini bisa menjadi suatu alternatif bagi Indonesia untuk memperbaiki kondisi di Papua sembari menjawab berbagai kritik dari luar negeri.

Ketiga, negara harus mencari bentuk-bentuk insentif dengan nilai tawar sosio-kultural yang mampu memenangkan kepatuhan para aktor lokal. Pendekatan punitif dan insentif (stick and carrot) memang penting, tapi pemilihan insentif yang salah kaprah bisa membuat orang Papua merasa selalu dipukuli dengan carrot dan diberi makan stick.

Proyek pembangunan berbasis kelapa sawit, misalnya, dapat dipastikan akan memarjinalkan orang asli Papua yang sudah terbiasa menanam kopi, kakao, dan karet selama 50 tahun terakhir. Proyek pembangunan sekolah dan rumah sakit tanpa tersedia dokter, perawat, dan pengajar yang bertugas rutin pun tidak jarang malah membuat geram masyarakat.

Intinya, skema otonomi khusus �plus� yang tengah digodok harus cermat dalam mengidentifikasi insentif-insentif dengan nilai sosio-kultural tinggi yang mampu memberdayakan sekaligus memenangkan hati masyarakat Papua. Selain untuk membangun legitimasi politik, proses dialog yang inklusif juga penting untuk mencari dan menyetujui bersama solusi-solusi kreatif serupa dalam membangun perdamaian di Papua.

Pierre Marthinus, Peneliti di Pusat Kajian Papua (Papua Center) UI

Minggu, 29 September 2013

Tawaran Metodologi Penelitian Sastra Indonesia

Sudarmoko 

Tulisan ini pada awalnya adalah semacam wujud dari kegelisahan dan sekaligus ambisi untuk menemukan metode yang dapat digunakan dalam meneliti sastra Indonesia. Hal-hal pertama yang menjadi kegamangan peneliti dalam melakukan kajian sastra Indonesia adalah menentukan: (1) memilih karya sastra yang akan dipilih, (2) menentukan tema atau topik apa yang akan dipilih, (3) menemukan informasi yang lengkap tentang karya dan pengarang, (4) menemukan sumber data dan referensi tentang sastra Indonesia secara menyeluruh, (5) apa yang membedakan satu pengarang dengan pengarang lain, atau (6) adakah perbedaan budaya memengaruhi karya dan pengarang satu dengan lainnya?

Persoalan ini menjadi besar, mengingat Indonesia tak dapat direpresentasikan dengan satu budaya khusus, nilai sosial tersendiri, muatan karya sastra yang memiliki semangat nasional untuk dapat dibicarakan sebagai Indonesia. Karena itu, ketika kajian-kajian sastra Indonesia dibicarakan dalam semangat dan tema tertentu, selalu meninggalkan pertanyaan besar apakah ia dapat merangkum keragaman dan kekhasan budaya, dan lebih khusus lagi, apakah ia dapat membongkar isi di dalam karya sastra yang tersebar itu?

Untuk menyusun semacam tawaran dalam mengatasi masalah tersebut, selama beberapa tahun saya mengamati dan menyusun gagasan regionalisme sastra, baik karena keterlibatan langsung atau juga karena sekadar dorongan untuk menemukan jalan yang lebih jelas, dalam wilayah Sumatera Barat. Alasan geografis merupakan langkah pertama dalam mengajukan metodologi regionalisme sastra ini. Bagi peneliti sastra, perkembangan dan fenomena sastra yang ada dan terjadi di sekitarnya merupakan bagian intim yang dapat digali.

Mobilitas tinggi dan kediaman yang paling memungkinkan untuk mengeksplorasi habis-habisan persoalan di lingkungan terdekat adalah sebuah langkah yang menguntungkan. Risiko kehilangan informasi, melakukan dialog, diskusi, menemukan sumber karya dan informasi kesejarahan masih dapat ditanggulangi dengan biaya dan waktu yang minim.

Peneliti juga dapat melakukan peran lain dengan menggerakkan kesadaran komunitas dan lingkungannya untuk membangun sejarah dan kehidupan sastra di daerahnya. Apalagi, dukungan lembaga dan institusi yang memiliki wilayah kerja kebudayaan hampir dimiliki oleh setiap lembaga pemerintah daerah, lembaga pendidikan, komunitas seni, lembaga swadaya, yang bagi saya menyimpan potensi luar biasa untuk dikembangkan.

Alasan kedua adalah kebebasan yang dimiliki oleh peneliti atau pengkaji sastra untuk menentukan sendiri apa yang akan ditelitinya. Kebebasan ini dapat diarahkan dengan menyusun agenda, payung penelitian, dan juga peta jalan penelitian yang secara terus-menerus dilakukan guna melengkapi khazanah pustaka sastra sebuah wilayah.

Contoh terakhir yang saya dapatkan adalah apa yang coba dilakukan oleh salah seorang dosen sastra Indonesia di Kalimantan. Ia mencoba mulai memilih tawaran skripsi mahasiswa untuk meneliti karya-karya pengarang di daerahnya. Contoh ini sangat menarik, karena membawa napas bagi pengetahuan yang komprehensif untuk membongkar karya-karya dan perkembangan sastra berdasarkan peta geografis. Demikian juga yang dapat dilakukan oleh media massa atau lembaga seperti badan bahasa atau badan pelestarian nilai budaya, yang ada di sejumlah daerah.

Jika ini dilakukan secara bersamaan di berbagai daerah, maka akan muncul gerakan dan gelombang besar dalam metodologi penelitian dan apresiasi sastra Indonesia. Pada tingkatan tertentu, metode ini tidak membatasi pilihan dan kebebasan peneliti atau lembaga yang melakukan penelitian. Apalagi, jika ada kesadaran untuk memberikan pemaknaan lain dalam pendekatan sastra perbandingan, untuk melakukan kajian-kajian perbandingan sastra antara satu daerah dengan daerah lain di Indonesia, untuk kemudian memperkuat kajian sastra perbandingan di tingkat yang lebih tinggi. Kajian yang mendalam terhadap perkembangan sastra di daerah-daerah tertentu sebenarnya telah dilakukan oleh misalnya George Quinn, Nyoman Darma Putra, Maman S Mahayana, dan sejumlah peneliti di Badan Bahasa. Oleh karena itu, paparan dalam tulisan ini sebenarnya hanya menegaskan apa dan bagaimana pendekatan penelitian sastra yang dapat dilakukan di Indonesia.

Kajian

Kajian yang terfokus, dalam hal ini secara geografis, dapat memberikan peluang dalam menggali kekhasan dan kekayaan estetika dan budaya, yang selama ini nyaris tidak mengemuka dalam berbagai kajian yang dilakukan. Karena itu, jika dilakukan regionalisasi kajian, dokumentasi, strategi pengembangan, penyediaan fasilitas pendukung dan jaringan antar lembaga atau komunitas, upaya tersebut dalam dilakukan secara bertahap dan teratur.

Melihat kekuatan potensi yang ada tersebut, tidak diragukan lagi bahwa peluang untuk bersama-sama membangun kesenian dan sastra dapat dilakukan. Namun, peta ini akan tetap kabur jika tidak ada benang merah berupa kerja sama dan program yang efisien dalam meraih tujuan bersama untuk mengembangkan seni dan budaya. Belakangan ini tidak pernah terdengar lagi pertemuan atau musyawarah untuk membicarakan rencana atau desain besar kebudayaan. Program dan desain kebudayaan biasanya muncul begitu saja, tanpa arah dan strategi yang jelas untuk pengembangan dan kelangsungannya.

Kegiatan dan daerah yang memiliki peluang untuk pengembangan seni budaya patut didukung secara bersama sehingga akan muncul model strategi yang dapat dikembangkan. Sebuah daerah dapat mengoptimalkan kekhasan budayanya untuk dikaji dan diolah, yang pada akhirnya akan mendapatkan dialog dan dialektika, dikenal dan dipelajari, dan jika memungkinkan menjadi ikon yang dapat dibanggakan.

Bagi pengembangan apresiasi sastra, dari pengalaman bersama beberapa orang dalam mengadakan diskusi bergilir di sejumlah kabupaten/kota dan juga diskusi rutin yang dilakukan, kebutuhan ruang untuk mendiskusikan berbagai persoalan sastra masih sangat diperlukan. Banyak generasi muda yang tertarik untuk membaca dan mengapresiasi, serta berlatih untuk menulis karya sastra. Melalui forum dan media diskusi inilah akan lahir pertemuan-pertemuan pikiran, pembahasan ide-ide, hingga kritik dan masukan yang berarti bagi para sastrawan dan juga calon penulis.

Di samping itu, manfaat lain yang meskipun sudah diketahui umum, namun belum mendapat tempat yang semestinya, adalah segi ekonomi dari sastra dan seni. Secara profesional, sastra merupakan karya personal. Akan tetapi, kehidupan sastra sangat berkait hubung dengan kehidupan sosial. Bukan hanya nilai kemanusiaan dan moral, akan tetapi juga didukung oleh aspek penerbit, media massa, pendidikan, budaya, pemerintahan, komunitas, pembaca, hingga toko buku atau jalur distribusi.


Regionalisme sastra, membuka peluang baru dalam merancang dan menemukan pola pengembangan sastra yang lebih jelas. Kerja sama, tujuan yang sama, meskipun dengan cara kerja yang berbeda, akan membuka kemungkinan pengembangan sastra menemukan bentuknya. Karena tawaran metode regionalisme sastra Indonesia ini berangkat dari pengalaman dan pembacaan terhadap perkembangan kesusasteraan yang terjadi, rumusan atau konsepsi yang terangkum dari/dalam buku ini bisa jadi masih perlu diperdebatkan. Setidaknya, tulisan ini menawarkan sebuah langkah kerja yang mungkin dapat diterapkan. Atau karena kesalahan dalam membaca perkembangan, tawaran ini belum merangkum semangat dan arah perkembangan.

Sudarmoko, Peneliti Sastra Indonesia

Minyak dan Presiden 2014

Garin Nugroho

�Kemenangan di Vietnam sangat penting untuk mengontrol Indonesia, bila Indocina hilang, maka beberapa hal akan terjadi. Tanjung Malaka akan sulit dipertahankan. Timah dan tungstern akan berhenti. Burma dalam posisi yang sulit dipertahankan. Semua posisi sangatlah tidak menyenangkan. Jika kita kehilangan semua itu, bagaimana bisa mempertahankan Indonesia yang kaya.�

Ucapan di atas muncul dari Eisenhower?�Presiden Amerika tahun 1953, yang melihat Indonesia sebagai permata dunia, di tengah gejolak perang dingin Rusia dengan Amerika, serta berubahnya situasi politik di Vietnam hingga Indonesia di masa Soekarno.

Sejarah mencatat, bahwa nilai penting kekayaan alam Indonesia untuk Amerika sudah terbaca sebagai catatan panjang. Tahun 1939, lewat East Indies, Belanda memasok lebih dari separuh konsumsi total sumber daya alam yang dibutuhkan Amerika.

Bisa diduga, jika kemudian Amerika mendukung masuknya kembali Belanda ke Indonesia pasca-kemerdekaan lewat dana Marshall Plan, temasuk penguasaan kembali kilang-kilang minyak di Sumatera. Namun, dukungan ditarik ketika perlawanan terjadi secara tak terduga, termasuk bumi hangus kilang minyak serta fasilitasnya. Sebuah perlawanan bumi hangus, yang memberi kecemasan terhadap masa depan perusahaan-perusahaan minyak Amerika hingga Inggris di Indonesia.

Uraian di atas menunjukkan, bahwa sejarah daya hidup Indonesia serta kepemimpinannya senantiasa berkait dengan kekuatan minyak serta sumber daya alamnya.

�Zaman sudah merdeka, saatnya melayani rakyat dengan masuk politik, tapi kalau jadi politikus harus punya mental politik, kalau tidak punya mental politik, hanya akan jadi benalu rakyat.�

Ucapan Uskup Soegija dalam film Soegija di akhir agresi kedua Belanda ini, ketika Amerika menekan Belanda untuk mengakhiri Perang, mengisyaratkan bahwa mental politik menjadi nilai utama bagi kepemimpinan Indonesia pasca-kemerdekaan di tengah kekayaan sumber daya alamnya.

Celakanya, justru pasca-68 tahun kemerdekaan ini, berbagai persoalan menyangkut sumber daya alam khususnya minyak dan pertambangan dipenuhi persoalan, dari kasus korupsi, produktivitas, perizinan dan pengolahan serta pertambangan ilegal, konflik lahan hingga hilangnya daya dukung lingkungan dalam eksploitasi sumber daya alam.

�Mutilasi Ibu Pertiwi� inilah cetusan Susilo Siswoutomo, Wakil Menteri ESDM, mengomentari wilayah-wilayah yang rusak oleh eksploitasi sumber daya alam, dalam sebuah obrolan di warung kopi dengan pengamat politik Sukardi Rinakit. Lebih lanjut wakil menteri ini dengan serius mengatakan perlunya kerja sama dengan KPK hingga aparat keamanan membasmi para jagal mutilasi alam Indonesia ini.

Kegelisahan ini juga muncul dari pernyataan Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto: �Sekarang di hilir (pembangunan), banyak penyakit dan bencana, yang akhirnya berbiaya besar, uang hasil pembangunan tak cukup untuk membiayainya.�

Agaknya, kegelisahan terhadap mental politik dalam berhadapan dengan sumber daya alam menjadi sebuah orkestra bersama berbagai kalangan menjelang Pemilu 2014.

Catatan di atas mengisyaratkan, bahwa Pemilu 2014 selayaknya melahirkan berbagai kepemimpinan yang mampu mengelola kekayaan alam Indonesia menjadi sumber pelayanan kesejahteraan sekaligus strategi daya hidup produktivitas bangsa di tengah persaingan bangsa-bangsa.

Jika Nixon tahun 1965 menyatakan �Indonesia adalah hadiah terbaik Asia Tenggara untuk Amerika�, selayaknya Pemilu 2014 melahirkan hadiah �Presiden Indonesia dengan mental politik terbaik Asia Tenggara�.

Garin Nugroho, Sutradara Film

Sabtu, 28 September 2013

Lingkungan Alam dan Perilaku Warga

Eko Wijayanto

GUBERNUR DKI Joko Widodo mengatakan tak ada gunanya menambah truk pengangkut sampah di Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan. Menurut dia, perilaku wargalah yang menjadi kunci bersihnya sungai dari sampah.

�Cara penyelesaian seperti ini tidak tepat. Bawa dump truck ke sini itu tidak diperlukan kalau masyarakat tidak buang sampah,� ujarnya saat meninjau Pintu Air Manggarai.

Menurut Jokowi, yang lebih pas adalah kampanye besar-besaran bagi masyarakat umum, terutama yang bermukim di bantaran sungai, untuk tak membuang sampah sembarangan, apalagi ke aliran sungai.

Hak dan kewajiban

Benarkah kerusakan lingkungan sudah sedemikian parah? Sebenarnya sudah semakin banyak yang mengkhawatirkan kerusakan lingkungan, terutama dari sisi dampaknya terhadap manusia. Namun, tidak banyak yang peduli dengan organisme hidup lain yang mungkin saja musnah akibat kerusakan lingkungan.

Berbasis pengetahuan bahwa pada hakikatnya manusia mengutamakan kepentingannya sendiri, pendekatan lingkungan harus diubah dengan mengajak masyarakat untuk melakukan kewajibannya terhadap diri sendiri. Filsuf Imannuel Kant mengatakan, karena kewajiban untuk diri sendiri adalah sebuah hal utama yang penting, seharusnya kewajiban ini mendapat tempat yang membanggakan.
Oleh karena itu, perilaku warga menjadi kunci. Sayangnya, kewajiban warga untuk memelihara lingkungan dan tidak membuang sampah masih mencemaskan.

Dalam hal ini, kata �kewajiban� sangat aneh karena memiliki logika sempit jika dikaitkan dengan legalitas, di sisi lain memiliki logika yang sangat luas karena seolah menyelimuti seluruh atmosfer moral.
Mengatakan �mereka tidak memiliki kewajiban� atau �Anda tidak punya kewajiban terhadap mereka� sebetulnya sama saja dengan mengatakan satu pesan sederhana, �Mereka tidak penting�.

Ketika dominasi kebenaran dan kewajiban berhenti, lahirlah dominasi pilihan. Apa yang bukan menjadi kewajiban mungkin hanya masalah selera, gaya, atau perasaan, tetapi itu tidak bisa menjadi sesuatu yang memaksa perhatian kita, baik kita suka maupun tidak. Ketika klaim kewajiban masuk ke wilayah ini, klaim itu bisa ditanggapi secara serius.

Kant mengatakan bahwa kita tidak memiliki kewajiban langsung terhadap hewan karena mereka tidak rasional; tetapi bahwa kita harus memperlakukan mereka sepantasnya sebagai �kewajiban tidak langsung� kemanusiaan kita. Jika kita memperlakukan hewan secara tidak baik, kita pun akan memperlakukan sesama manusia secara tidak baik.

Abai kepedulian

Kita mungkin masih berpikir bahwa kata �keadilan� telah kehilangan makna normalnya. Dalam kehidupan sehari-hari kita berpikir bahwa kewajiban dari keadilan tersebut telah menekan kita lebih jauh ketika kita berhadapan dengan yang lemah.

Kita memiliki banyak kewajiban termasuk terhadap binatang, tumbuhan, bahkan alam semesta. Membicarakan ini, lebih baik kita meninggalkan sejenak kata kewajiban dan hak lalu menggantinya dengan kata yang lebih luas artinya, seperti �salah�, �benar�, dan �mungkin�. Hal ini akan mungkin dilakukan, tetapi tidak menyenangkan.

Isu tentang kewajiban akan menjadi lebih jelas apabila kita melihat kembali pandangan Kant dan John Stuart Mill mengenai kewajiban untuk diri sendiri. Mill menunjukkan bahwa integritas, otonomi, pengetahuan diri, dan harga diri bukanlah kewajiban seseorang dalam arti biasa.

Kebutuhan setiap orang adalah berbeda. Hak tampaknya tidak hanya dapat dikaitkan dengan munculnya kewajiban. Anda tidak dapat berutang kepada orang lain seperti Anda dapat berutang kepada diri sendiri. Begitu juga ketika memaksa diri sendiri untuk berintegritas, kita tidak dapat serta merta memerintahkan orang lain berbuat sama.

Seperti dikatakan Kant, kepentingan atau urusan kita adalah untuk mempromosikan kesempurnaan kita dan kebahagiaan orang-orang. Kesempurnaan ini merupakan tujuan yang mereka miliki. Sebuah kehormatan atau penghargaan memang kita berikan kepada diri kita sendiri dan orang lain. Akan tetapi, Kant menekankan bahwa penghargaan diri merupakan hal yang berbeda dan membutuhkan persyaratan lebih dalam.

Pada faktanya, kewajiban terhadap seseorang adalah kewajiban yang memiliki bentuk berbeda. Mereka tidak jauh dari kewajiban terhadap utang, misalnya utang dalam bentuk uang. Uang adalah benda yang bisa diberikan kepada seseorang, siapa pun itu dan apabila uang tersebut diberikan kepada diri sendiri, tandanya utang tersebut hilang. Dengan kata lain, kita tidak berutang terhadap diri kita sendiri.

Kewajiban setiap orang tidaklah sama, tetapi utilitarianisme menginginkan �kesamaan� kewajiban.
Itulah pandangan Mill, yakni motif setiap orang adalah sama-sama wajib mencapai kebahagiaan bersama milik semua orang. Oleh karena itu, ia memandang semua kewajiban dan moralitas di dunia luar secara sosial diperlukan pembatasan terhadap keinginan dan ekspresi, yaitu keinginan orang lain untuk mencapai kebahagiaan.

Kisah Crusoe

Barangkali Jokowi mirip Robison Crusoe. Bedanya, Crusoe hanya sendirian di sebuah pulau. Jadi, kewajibannya mutlak untuk menjaga pulau. Kewajiban menjaga pulau itu merupakan hal yang sama dengan kewajiban bertanggung jawab dan peduli terhadap Tanah Air. Kepedulian lahir dan berakar semakin kuat ketika si penghuni sudah tinggal lama di tempat tersebut.

Kemungkinan pertama yang akan terjadi adalah timbul pemikiran bahwa penghormatan diberikan terhadap pohon-pohon yang sebenarnya, pegunungan, danau, sungai, dan apa pun yang ditemukan di sana.


Kemungkinan kedua akan muncul ketika Crusoe menunjukkan kebanggaan dengan kewajibannya menjaga tanah dengan baik. Keidealan Crusoe terlihat ketika bersikap menghormati alam di sekeliling dengan berkampanye agar penghuni pulau (yang sebenarnya hanya dia) tidak mengeksploitasi, merusak lingkungan, dan membuang sampah sembarangan.

Eko Wijayanto, Dosen Filsafat UI

Memfilmkan Soekarno

Asvi Warman Adam

Film Soekarno yang dibuat Ram Punjabi dan disutradarai Hanung Bramantyo menuai protes dari Rachmawati Soekarnoputri.

Tulisan ini tidak menyoal pertengkaran itu, tetapi mengungkap beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat film tentang tokoh sejarah. Tentu saja lebih mudah jika film itu merupakan narasi beberapa penutur tentang seorang tokoh; bisa saja wacana itu berbeda bahkan bertentangan, terserah kepada pemirsa menyimpulkannya.

Pilihan berikutnya adalah menyelipkan tokoh fiktif dalam kelompok tokoh sejarah yang utama. Tokoh fiktif, misalnya, sepasang muda-mudi yang menjalin hubungan asmara dan berakhir dengan tragis, seperti dalam film Sang Kiai, pemuda yang pergi berjuang dan menemui ajal, sementara perempuan yang dikasihinya telah hamil. Ini menjadi semacam bumbu penyedap dalam film tersebut agar alur cerita tidak kering.

Lebih sulit kalau sang tokoh sejarah itu yang langsung bertindak dan bertutur. Kegiatan tokoh sekaliber Soekarno telah banyak dikisahkan dalam sejumlah buku dan arsip. Jika semua buku dijadikan rujukan, tentu pembuat film perlu menyadari bahwa semua buku itu tidak sama kualitas dan validitasnya.

Disadari bahwa tidak cukup sebuah film untuk menggambarkan perjuangan Soekarno sedari muda, kemudian menjadi proklamator dan berkuasa selama dua dekade. Film yang disutradarai Hanung dengan pemeran sentral Ario Bayu dan Maudy Koesnaedi dimulai sejak penangkapan Soekarno tahun 1929 sampai proklamasi, 17 Agustus 1945. Film lain, yang didanai Dirjen Kebudayaan Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan, mengambil periode saat Soekarno di Ende (1934-1938), dengan pemeran utama Baim Wong dan Ria Irawan. Yayasan Bung Karno yang dipimpin Guruh Soekarnoputra juga akan membuat film tentang tahun-tahun kemenangan Bung Karno, 1958-1963 (pada periode ini terjadi Dekrit Presiden, 5 Juli 1959; pembebasan Irian Barat; Asian Games, dan Ganefo). Sukmawati berencana membuat film Soekarno dengan sutradara dari AS atau Tiongkok. Rachmawati ingin memfokuskan pembuatan film tentang hari-hari terakhir Bung Karno (1965-1970).

Harus dicermati

Buku Cindy Adams merupakan salah satu rujukan dari kehidupan Bung Karno. Namun, buku yang dibuat tahun 1965 itu perlu dicermati saksama. Tidak sempat dikoreksi oleh Bung Karno karena situasi kritis menjelang 1 Oktober 1965, buku itu terbit juga tanpa diperiksa lebih dulu oleh orang-orang dekat Soekarno yang ikut mengalami peristiwa pada zaman yang sama.

Tak mengherankan jika Syafii Maarif menuding Bung Karno merendahkan Hatta dan Sjahrir karena terdapat dua alinea dalam buku Penyambung Lidah Rakyat itu yang bernada demikian. Saya meminta kepada Syamsu Hadi dari Yayasan Bung Karno untuk mengecek dan menerjemahkan ulang. Ternyata dua alinea yang melecehkan itu tidak ada dalam karya asli berbahasa Inggris. Jadi, siapa yang menambahkan dalam edisi bahasa Indonesia?

April 1968, Gatot Mangkupraja menulis di jurnal Indonesia terbitan Cornell AS, menanggapi buku Cindy Adams tersebut. Pertama, tak benar bahwa PNI yang didirikan Soekarno dan kawan-kawan di Bandung tahun 1927 itu memiliki anggota dan mengadakan rapat di lokasi pelacuran yang berpenghuni sekitar 670 orang itu. Menurut Gatot, hanya ada satu-dua pelacur yang sudah bertobat dan menikah dengan aktivis PNI. PNI juga melakukan seleksi kepada calon anggota agar citranya tetap terjaga. Jelas salah kalau PNI disebutkan berdiri tahun 1921.

Percintaan antara Soekarno dan gadis Belanda, Nona Mien Hessels, dipertanyakan oleh Mangkupraja. Mungkin saja Soekarno menaksir gadis bule tersebut, tapi tidak sampai melamar kepada orangtuanya dan dipermalukan sebagai inlander. Saya kira adegan ini jika dimuat bisa digambarkan sutradara sebagai impian Bung Karno. Jadi pemuda Soekarno bermimpi melamar cewek itu dan�masih dalam mimpi�ditolak mentah-mentah oleh orangtua di gadis.

Soekarno mengatakan bahwa tahun 1922 ia bertemu seorang petani yang bernama Marhaen. Menurut Gatot Mangkupraja, baru tahun 1928�setahun setelah PNI didirikan�wacana itu mulai muncul sebagai pengganti istilah Kromo. Ketika Bung Karno dibuang ke Ende, ia memang merenung atau melakukan semadi, tetapi jelas waktu itu tidak pernah disebutkan secara nyata bahwa di bawah sebatang pohon Soekarno memikirkan dasar negara.

Semasa penjajahan Jepang, menurut Gatot, tidak benar ada perjanjian secara eksplisit antara Soekarno-Hatta dan Sjahrir mengenai pembagian wilayah tugas mereka: satu di dalam (bekerja sama dengan Jepang) dan satu lagi di luar (melakukan gerakan tanah secara terbatas). Jadi, mungkin saja kelak di kemudian hari hal tersebut terlihat seperti itu, tetapi tanpa skenario.

Film Soekarno yang dibuat oleh Multivision sudah selesai shooting dengan durasi 9 jam tayang dan tinggal disunting menjadi sekitar dua jam tayang. Produser dan sutradara perlu berkonsultasi dengan sejarawan profesional untuk mendiskusikan penyuntingannya jika menginginkan keakuratan fakta sejarah film ini dapat dipertanggungjawabkan. Sementara itu, foto, rekaman suara, dan film-film dokumenter periode terkait di Arsip Nasional perlu diperhatikan agar bahasa tubuh sang tokoh lebih meyakinkan.

Asvi Warman Adam, Sejarawan di LIPI

Penunggang Bebas Popularitas

Gun Gun Heryanto 

Banyak cara membangun pencitraan. Mulai dari tampil di sejumlah media, turun ke basis-basis pemilih, hingga membanjiri area publik dengan beragam peraga kampanye.

Seantero bumi pertiwi nyaris seragam: disesaki spanduk dan baliho yang muncul bak cendawan di musim hujan. Ada pencitraan yang taat aturan, banyak pula yang serampangan menabrak etika politik dan regulasi kampanye yang telah ditetapkan. Praktik tak etis ataupun pelanggaran aturan kerap kali disamarkan dengan beragam modus.

Modus pencitraan

UU No 8/2012 Pasal 83 memang memberi peluang kampanye pemilu legislatif sejak 11 Januari 2013 hingga 5 April 2014. Setelah itu akan ada agenda kampanye untuk pemilihan presiden/wakil presiden. Wajar, jika partai politik sudah memanaskan mesin pemenangannya. Salah satu metodenya melalui pemasaran politik para caleg dan capres.

Yang patut disikapi secara kritis adalah sejumlah perilaku pencitraan yang jelas-jelas menerabas kepatutan dan melanggar aturan. Idealnya kampanye jadi bagian pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab. Realitasnya, dengan mudah kita bisa mengidentifikasi sejumlah modus pencitraan yang menjengkelkan.

Pertama, konsep publisitas politik pejabat publik yang kian hari kian intensif. Di sepanjang jalan utama di banyak kota, terpampang baliho dan reklame besar-besaran mengatasnamakan program kementerian. Misalnya narasi untuk mencintai produk Indonesia. Sekilas tak ada masalah, tapi kian hari intensitas iklan jenis ini kian marak di berbagai saluran komunikasi.

Bisa saja sang menteri berkilah, tak ada aturan yang dilanggar karena modusnya memakai pendekatan publisitas politik, bukan kampanye pemilu yang lazimnya mengumbar visi/misi, program, dan mengajak orang untuk memilih. Tapi jika diraba lebih dalam, ada konflik kepentingan dalam publisitas politik tersebut, yakni soal kepatutan sang menteri yang menjadi penunggang bebas popularitas.

Jika iklan kementerian tersebut membutuhkan endorser yang bisa memalingkan perhatian publik pada isi pesan, sesungguhnya bisa menggunakan publik figur lain yang tidak tumpang tindih dengan kepentingan politik partisan. Hal seperti ini tidak hanya dilakukan oleh beberapa menteri SBY, juga pimpinan DPR, DPRD, dan kepala daerah yang jadi petahana.

Kedua, modus pemanfaatan akses teknologi simulasi realitas. Ini terkait dengan media yang banyak ditunggangi secara serampangan oleh para pemiliknya. Memang sejak lama para pengkaji menilai, media sebagai �medan pertempuran� banyak hal. Jhon Sinclair dkk (New Patterns in Global Television: Peripheral Vision, 1996) menyebutkan, televisi sebagai medium cangkokan yang megah.

Lebih umum lagi, media massa dalam tulisan Michael Schudson (The Power of News, 1995), dipandang sebagai �sebab� terjadinya pendistribusian informasi dengan memilih konsumen yang visible dan terukur. Karakteristik media seperti ini, biasa dibaca secara ganda, sebagai sumber daya ekonomi sekaligus politik. Saat media mengalami konsentrasi kepemilikan di grup besar yang dikendalikan oleh pengusaha-politisi, maka sempurnalah media-media tersebut menjadi jejaring pencitraan, bahkan manipulasi.

Jangan heran jika beragam momentum yang disediakan media-media yang bergabung di grup media milik politisi pengusaha tersebut bagi lingkaran elite utama partainya.

Gurita media sang pengusaha politisi mampu menggilas aturan main yang sesungguhnya sudah ada.
Misalnya, pada Pasal 96 UU No 8/2012, diatur soal larangan menjual blocking segment dan blocking time. Pada Pasal 97, batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu di TV secara kumulatif sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik, untuk radio 10 spot berdurasi paling lama 60 detik per hari.

Pun demikian di Peraturan KPU (PKPU) Nomor 1 Tahun 2013 yang sudah direvisi menjadi PKPU No 15/2013, di mana pedoman pelaksanaan kampanye sudah jelas. Namun, aturan tinggal aturan: anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Terlebih KPU, Bawaslu, KPI, Dewan Pers pun kerap kali hanya bersikap normatif sehingga akhirnya pelanggaran pun menjadi hal lumrah dan dianggap biasa saja.

Mekanisme kampanye

Satu hal lagi yang sepatutnya mendapat perhatian publik, yaitu penunggang bebas popularitas selama perhelatan konvensi milik Demokrat. Selama delapan bulan ke depan, Partai Demokrat tentu akan memanfaatkan konvensi ini sebagai etalase citra politiknya. Partai yang dipimpin SBY ini akan menggenjot popularitas dan elektabilitasnya melalui konvensi yang dikampanyekan mereka sebagai mekanisme demokratis dalam pencarian capres.

Kekhawatiran publik soal penunggang bebas mulai terkonfirmasi dengan munculnya kontroversi siaran tunda konvensi oleh TVRI. Tindakan TVRI tersebut dianggap membahayakan eksistensinya sebagai Lembaga Penyiaran Publik, sebagaimana diamanatkan UU No 32/2002. Bukan semata soal pelanggaran etika, melainkan ditabraknya sejumlah regulasi siaran.

Harus ada kejelasan yang mengatur mekanisme kampanye para kontestan di luar jadwal komite konvensi. Jika tak diatur, akan berpotensi besar berbenturan dengan aturan kampanye yang ada saat ini.
Semua peserta konvensi harusnya memelopori transparansi anggaran kampanye. Siapa saja pihak ketiga penyumbang dana kampanye mereka. Jika tidak transparan, sangat mungkin muncul �investor hitam� dan �penunggang gelap� di konvensi Demokrat. Pencitraan politik boleh-boleh saja dilakukan, tetapi tidak dengan melanggar aturan dan mencederai kepatutan.

Gun Gun Heryanto Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute

Bencana Kebahasaan

Teuku Kemal Fasya

Tragedi wawancara artis Zaskia Shinta dan Vicky Prasetyo, awal September lalu, telah menjadi topik perbincangan di media sosial dan media massa.

Wawancara pertunangan sehari mereka pun telah muncul di Youtube. Dalam lima hari, 288.000 pengunjung telah melihat �bencana kebahasaan� itu dan menjadi olok-olok publik.
Saya tidak akan menambah olok-olok itu lagi di sini, tetapi mencoba berhenti sejenak dan merefleksikan mengapa hal seperti itu bisa terjadi. Kesimpulannya, di samping faktor psikologi kompleks sang penutur, masalah ini memang sedang merasuki psikologi sosial kebahasaan kita di media, terutama TV.

Gaya sosialita

Media televisi telah memengaruhi kultur kebahasaan masyarakat. Acara seperti talk show, music show, sinetron, reality show, dan kuis telah menghadirkan kiblat baru dalam berkomunikasi ala sosialita dan Jakarta. Coba perhatikan model komunikasi acara Master Chef Indonesia. Juri seperti Arnold Poernomo, Degan Septoadji, dan Ririn Marinka tak hanya profesional, tetapi juga pernah mendapat pendidikan dan meniti karier di luar negeri sehingga penguasaan bahasa asing (terutama Inggris) terlihat baik.

Mungkin penggunaan bahasa asing itu bukan pamer, melainkan ekspresi alam bawah sadar karena telah menjadi model wicara, parole, harian. Ditambah lagi program lisensi luar negeri itu mensyaratkan pakem bahasa global sebagai bagian standardisasi pertunjukan yang elegan.

Padahal, secara histori-linguistik, tak ada jaring penghubung Indonesia dan Amerika, kecuali melalui televisi dan film Hollywood. Jaring-jaring pertautan histori-linguistik kita sesungguhnya lebih lekat dengan bahasa Sanskerta, India-Urdu, Arab, Persia, Belanda, Spanyol, baru kemudian Inggris (British).

Itu pula mengapa dalam sejarah serapan kata, kita mengenal kata-kata khabar, ashram, presis, syakti, syirna, aktie, proclamatie, studen sebelum dikodifikasi dalam Ejaan yang Disempurnakan. Atau penggunaan meminimilir dan  informil  yang awalnya pengaruh Belanda diubah menjadi  meminimalisasi  dan informal  sebagai pengaruh Inggris-Amerika.

Saat ini, seperti ada jebakan, ketika berbicara di ruang publik atau televisi tidak menggunakan American style dan gaya bahasa Jakarta, kita dianggap tidak standar dan belum intelek. Belum lagi jika ingin dianggap kaum sosialita (istilah yang muncul belakangan mendefinisikan komunitas pesohor atau artis), mau tak mau ber-Inggris ria menjadi rukun dan syarat. Itu satu hal!

Hal lainnya adalah penggunaan istilah. Sesungguhnya penggunaan istilah atau terminologi merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan ketika bahasa telah berkembang dari sekadar alat komunikasi menjadi tanda pengetahuan dengan struktur makna yang khusus dan disiplin. Istilah, derivasi bahasa asing, makna konotasi, dan metafora adalah bagian dari perkembangan bahasa karena fungsi bahasa yang tidak selalu denotatif atau bermakna langsung.

Pengaruh antrolinguistik

Dalam keseharian, kita tidak hanya menggunakan kata makan, menyinta,  terjengkang, tunggang langgang, tetapi juga mengenal kata sinkronisasi, sofistikasi, resiliensi, polarisasi yang telah terpapar atau terderivasi ke dalam bahasa Indonesia. Sejarah leksikalitas itu akan panjang jika diurai, tetapi satu hal yang ingin disinggung di sini, efek fonetis -sasi memengaruhi antrolinguistik masyarakat untuk berkomunikasi secara serampangan.

Jadilah kalimat seperti �harmonisasi dari yang terkecil hingga terbesar�, seperti yang diungkap Vicky. Padahal, bisa digunakan penyesuaian, kompromi, atau penyelerasan untuk konteks kalimat itu.
Ada nasihat baik dari Jacques Derrida, filsuf bahasa asal Perancis, bahwa dalam komunikasi lisan (atau untuk konteks sekarang komunikasi pseudo-tulisan seperti Twitter), gunakanlah bahasa yang bersifat langsung, sederhana, dan umum karena kita sedang berhadapan dengan audiens yang meluas atau massa.

Berbeda dengan bahasa tulisan (L'�criture), diperlukan persiapan kedalaman dan memaksimalkan fungsi diff�rence: menunda/menunggu (to defer) dan memberikan perbedaan (to differ) dengan bahasa lisan. Mengapa? Itu karena bahasa tulisan dimaksudkan menghidupkan semesta pengetahuan (logosentrisme) dan bukan hanya berhenti di logika bunyi (fonosentrisme) sehingga setiap omongan hanya jadi sesuatu yang berlepas tangkap lalu menghilang.

Secara lebih praksis, sederhanalah dalam berbicara dan cermatlah dalam menulis. Jangan melewati batas, apalagi jika Anda hanya ingin memuaskan para pemirsa televisi. Tak perlu kalimat �mengkudeta apa yang kita miliki� dan �konspirasi kemakmuran� yang gramatikal kacau dan secara sosial terkesan ingin kelihatan intelek.

Teuku Kemal Fasya Dosen Antropolinguistik Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh

Paradoks Kemacetan Institusi

Harun al-Rasyid 

Ketika bus rapid transit atau busway di Bogota, Kolombia, sukses, model BRT sejenis sontak ingin ditiru di banyak kota di dunia termasuk kota besar di Indonesia.

Kini BRT yang berkualitas menyebar di kota besar dan menengah, mulai dari Bogota (Kolombia), Curitiba (Brasil), Guangzhou (China), hingga Ahmedabad (India). Semua kota demam dan antusias membangun BRT, dengan harapan mengurangi kemacetan yang jadi mimpi buruk warga kota. Selayaknya meniru, tentu ada yang berhasil ada yang tidak. Busway transjakarta, yang termasuk terbaik di Tanah Air, secara peringkat kinerjanya pun masih jauh di bawah BRT kelas dunia yang mampu mengangkut 20.000-30.000 penumpang per jam per arah. BRT dan bis konvensional di Tanah Air keadaannya masih sangat memprihatinkan. Untuk mendongkrak daya angkut, semua masih perlu berjuang menambah koridor lintasan, meningkatkan pelayanan, dan menambah stok armada bus.

Kereta rel listrik Jabodetabek yang notabene peninggalan Belanda masih terus berbenah manajemen. Tarik-menarik antara PT KAI dan Direktorat Jenderal Perkeretaapian terus berlanjut. Monorel yang digagas 2004 oleh PT Jakarta Monorel, sempat vakum mulai 2008, sekarang kembali dalam trek walaupun komposisi saham dominan sudah berpindah tangan. Penyelesaian pembangunan mass rapid transit (MRT) Tahap Pertama Lebak Bulus-HI dipastikan molor dari target 2016 menjadi 2018, tak lain karena terhalang ketidakmampuan dan kompetensi institusi publik sebagai implementatornya.

Akselerasi membangun MRT dari HI hingga Kota dan sinkronisasi MRT Timur-Barat dalam tanda tanya besar. Jangan sampai penyelesaian MRT Jakarta yang berulang kali disalip Delhi Metro, kemudian Bangkok, Manila, dan Ho Chi Minh, sebentar lagi akan disalip juga oleh Dhaka Metro, Banglades, yang kini baru akan memulai perancangan dasar. Apa sesungguhnya yang terjadi, mengapa eksekusi dan pemberdayaan sistem angkutan umum terus telat dan terhambat?

Raja sesungguhnya

Dalam menata transportasi kota, siapa sesungguhnya yang menjadi raja menjadi penting. Delhi Metro Rail Corporation (DMRC) diberi otoritas penuh dalam menetapkan lokasi strategis stasiun. Gubernur dan wali kota pun harus tunduk. Jika terlalu banyak raja, hampir dipastikan debat dan lempar bola (baca alih risiko) antara tingkat pemerintahan apalagi dengan swasta akan berkepanjangan. Akibatnya, semua molor. Paradoks kemacetan terjadi hampir di semua kota di dunia. Awalnya semua beranggapan dengan menambah pasokan jalan raya ataupun jalan tol, kemacetan bisa dan pasti teratasi.

Pikiran dalam benak dan tradisi insinyur, hanya bagaimana memenuhi permintaan dan pertumbuhan lalu lintas yang terus meningkat dengan menambah kapasitas dan ruas jalan. Kenyataannya yang terjadi, menambah jalan menambah kemacetan karena membangun jalan dan jalan tol di dalam kota akan menambah gairah masyarakat memiliki dan menggunakan mobil pribadi�induced demand.

Bertolak dari itu, kebijakan transportasi mulai beralih ke strategi transportasi terpadu. Yang semula hanya berpikir dari sisi penyiapan hardware, kini beralih menjadi berpikir soft, cara mengubah perilaku dan pilihan masyarakat dalam berkendara, lewat beragam kebijakan memberi insentif kepada angkutan umum (carrots) dan disentif bagi angkutan pribadi (stick)�travel demand management. Kuncinya, bagaimana mengatur skedul implementasi beragam instrumen kebijakan agar hasilnya saling mendukung dalam perubahan perilaku. Belum lagi tugas berat mengubah pilihan dan perilaku para pengendara sepeda motor, yang telah menelan hampir separuh pasar angkutan umum, semula 50-60 persen kini tersisa 25-35 persen di sejumlah kota di Tanah Air. Kemacetan bisa diatasi asalkan perilaku dan kebiasaan masyarakat berkendara bisa diubah, prioritas memberdayakan angkutan umum menjadi mutlak dan upaya ke arah sana seyogianya diberi kemudahan.

Debat tentang pembangunan enam ruas tol dalam kota, dan baru-baru ini mobil LCGC (low cost green car), tidak saja menambah kebingungan masyarakat akan konsistensi kebijakan pemerintah, tetapi memberi kesan bahwa yang macet bukan sekadar ruang dan jalan kota, melainkan lembaga (institusi) publik macet tidak berkomunikasi meski saling bicara, terjadi paradoks kemacetan institusi. Untuk itu, usulan pembentukan Badan Otoritas Transportasi di setiap kota besar dan metropolitan di Tanah Air perlu disegerakan dalam pemerintahan baru pada masa akan datang, agar setiap kebijakan transportasi kota dikaji secara holistik dan dampak kebijakan diantisipasi matang.

Antusiasme monorel

Setelah demam BRT, sekarang hampir semua kota antusias mau membangun monorel, seperti kota Palembang, Medan, Bandung, dan Makassar. Monorel, karena keterbatasan daya angkut, bermula melayani lintas kurus dan pendek atau sebatas wilayah taman hiburan atau antarterminal di bandara. Sejak keberhasilan monorel di kota Chongqing, China, yang dapat mengangkut penumpang 30.000-40.000 penumpang per jam per arah, kini banyak sistem monorel mulai dibangun, seperti di Mumbai (India), Riyadh (Arab Saudi), Daegu (Korea Selatan), dan S�o Paulo (Brasil). Pelajaran PT Jakarta Monorel yang menghadapi kesulitan meneruskan proyek monorel seakan terlupakan, MRT Timur-Barat juga belum ada percepatan. Tiba-tiba muncul gagasan baru monorel yang dimotori kontraktor PT Adhi Karya. Rencana jaringannya akan menjangkau sampai ke pinggiran kota Jakarta.

Semua rencana monorel yang diprakarsai investor swasta dan BUMN ini mengambil risiko, mereka akan membiayai sendiri pembangunan monorel tanpa dukungan pendanaan publik APBN/APBD. Dua nota kesepahaman sudah ditandatangani investor bersama para kepala daerah, seperti di Kota Bandung dan Metro Bandung Raya. Semua masih dalam kajian kelayakan, belum sampai tahap negosiasi atau Perjanjian Pembangunan, apalagi Kontrak Konsesi. Masih sangat lama. Data empiris di dunia mana pun belanja modal angkutan umum massal, 60-90 persen harus dari publik. Biaya operasi dan pemeliharaan dipikul operator, tetapi tetap mendapat subsidi untuk memastikan tarif senantiasa terjangkau penumpang.

Pendapatan MTRC Hongkong dari mengelola properti dan iklan mencapai 27,4 persen dari total
pendapatan, BTS Skytrain Bangkok 15 persen, Belanda NS 22 persen, MRT Taipei 12 persen, London Underground 8,7 persen, PT KAI 2 persen, itu pun setelah dipupuk cukup lama. Tanpa kepastian pendapatan nontiket ini, kalau ada entitas swasta bermaksud mengambil alih peran pemerintah dan menjadi sinterklas membangun monorel, sudah barang tentu ada persyaratan khusus yang akan muncul di belakang hari. Kewajiban regulator, dalam hal ini pemerintah, hanya memastikan agar subsidi menjadi minimum dan iklim usaha memungkinkan terjadi kompetisi dan efisiensi produksi.

Mengapa dari awal tidak digelontorkan saja pendanaan publik untuk menyegerakan pembangunan angkutan umum di kota-kota besar di Tanah Air, dan setelah itu baru dilakukan kontrak operasi dan pemeliharaan kepada operator swasta? Terobosan ini perlu diwadahi dengan payung kebijakan, pedoman, dan tata cara yang menegaskan, untuk realisasi Sistem angkutan umum massal di kota-kota besar 50 persen pendanaan berasal dari pemerintah pusat, 25 persen pemerintah daerah, dan 25 persen dapat berasal dari entitas swasta sebagai calon operator. Berapa lama lagi publik harus menunggu?

Harun al-Rasyid Dosen ITB, Direktur Eksekutif Institut Perkeretaapian Indonesia

Rendahnya Kesadaran Akan Data

James Luhulima 

Tanggal 26 September lalu, kita dikejutkan oleh data yang dikemukakan Komisi Pemilihan Umum bahwa ada sekitar 30 persen data pemilih yang tidak tercatat. Dalam kasus ini, angka 30 persen itu sama dengan 65 juta orang. Sulit rasanya untuk percaya bahwa hal seperti itu dapat terjadi.

Jika pendataan daftar pemilih tetap (DPT) dari pemilu-pemilu sebelumnya betul, seharusnya hal seperti itu tidak boleh terjadi. Memang pemilu berlangsung setiap lima tahun, dan dalam waktu lima tahun, ada sekian banyak pemilih baru dan juga ada sekian pemilih yang meninggal dunia. Namun, sisanya, sebagian besar tentunya, seharusnya tidak berubah. Bahkan, ada sebuah keluarga dengan tiga anak, yang awalnya terdaftar sebagai penduduk suatu kelurahan, tiba-tiba yang terdaftar hanya ayahnya saja. Istri dan tiga anaknya hilang dari daftar.

Melihat ada kekacauan data seperti itu, pertanyaan yang langsung muncul adalah, apakah DPT dari pemilu yang lalu tidak disimpan? Jika tidak, lalu data itu dikemanakan. Timbul kecurigaan bahwa data itu sengaja dikacaukan agar partai tertentu, dalam hal ini partai yang berkuasa, dapat mengambil keuntungan dari kekacauan yang terjadi pada DPT.

Namun, kali ini, bukan hal itu yang dibahas. Kali ini, yang dibahas adalah rendahnya kesadaran akan data, terutama data pribadi yang sesungguhnya sangat penting. Data merupakan hal yang sering kali diabaikan di negeri ini. Contohnya, dalam kehidupan sehari- sehari di sekeliling kita, sangat mudah kita menemukan orang yang memiliki lebih dari satu kartu tanda penduduk (KTP), sesuatu hal yang sesungguhnya tidak boleh terjadi.

Jika orang yang bersangkutan tertib atau taat pada peraturan, seharusnya hal seperti itu tidak akan terjadi. Demikian juga dengan petugas kelurahan, yang memberikan KTP. Jika petugas kelurahan itu taat pada peraturan, tidak mungkin seseorang dapat memiliki lebih dari satu KTP.

Dasar dari pemberian KTP adalah kartu keluarga. Jika seseorang memiliki kartu keluarga, barulah ia diberikan KTP. Namun, sering kali terjadi, seseorang dapat memperoleh KTP dari suatu kelurahan tertentu, padahal ia sudah tidak lagi tinggal di kelurahan tersebut. Dengan kata lain, ketika seseorang, atas alasan apa pun, pindah rumah ke kelurahan lain, ia seharusnya meminta surat pindah dari kelurahan tempatnya tinggal untuk mengurus kartu keluarga baru di kelurahan tempatnya pindah. Setelah kartu keluarganya yang baru selesai, ia pun memperoleh KTP baru dan KTP lamanya ditarik. Namun, yang terjadi, orang itu tetap mempertahankan KTP lamanya walaupun ia sudah memperoleh KTP baru. Dengan demikian, ia memiliki dua KTP. Ironisnya, ia dapat memperpanjang KTP lamanya kendati ia sudah tak memiliki kartu keluarga lagi di kelurahan itu.

Ketika kepadanya ditanyakan mengapa ia melakukan hal seperti itu? Jawaban yang diberikan adalah, soalnya repot mengurus pergantian data yang sudah tercatat di SIM (surat izin mengemudi), di STNK (surat tanda nomor kendaraan), di rekening bank, dan masih banyak alasan lain yang dikemukakan atas tindakannya itu. Padahal, persoalannya bukan pada repot atau tidak, tetapi pada kenyataan bahwa ia sudah tidak tinggal di alamat yang lama lagi.

Ia tidak menyadari bahwa dengan melakukan tindakan seperti itu, bukan tidak mungkin, ia akan tercatat sebagai penduduk di dua kelurahan, bahkan di provinsi yang berbeda. Seandainya hal itu yang terjadi, jangan heran jika terjadi kekacauan data pada DPT. Bukan itu saja, data sensus penduduk pun akan kacau.

Seharusnya, begitu pindah, seseorang langsung mengubah semua data pribadinya, baik itu KTP, SIM, STNK, di bank, ataupun di tempat-tempat lainnya. Jika seseorang tertib, dengan sendirinya petugas kelurahan juga tidak terdorong untuk melakukan tindakan yang melawan peraturan. Kepatuhan seperti itu penting.

Nama pemilik lama

Hal yang juga lazim terjadi adalah, saat seseorang menjual mobil, orang yang membeli mobil itu tetap mempertahankan nama pemilik lama sebagai pemilik sah kendaraan itu. Dengan kata lain, ia tidak segera mengurus surat pergantian nama pemilik kendaraan. Akibatnya, ketika mobil itu ditelusuri berdasarkan pelat nomor polisinya, nama pemilik mobil yang lama muncul sebagai pemiliknya yang sah.

Jika praktik seperti ini dibiarkan terus berlangsung, akan sangat mengacaukan jika pemerintah memberlakukan ERP (electronic road pricing). Sebab, pemilik mobil yang lama yang akan menerima tagihan yang seharusnya dibayar oleh pemilik mobilnya yang baru. Untunglah, akhir-akhir ini, pemilik mobil lama akan langsung meminta pembeli mobilnya untuk mengurus pergantian nama pemilik karena ia enggan terkena keharusan membayar pajak progresif.

Bukan itu saja, kita juga tahu, sangat mudah bagi seseorang mendapatkan KTP di Indonesia. Cukup memberikan sejumlah uang tertentu di kelurahan, maka KTP akan diberikan. Bahkan, banyak imigran gelap yang memegang KTP.

Ketika mengikuti program �War on Terrorism� di Amerika Serikat tahun 2003, Kompas sempat diberi tahu bahwa Indonesia diberikan �rapor merah� untuk urusan kepemilikan kartu identitas. Itu sebabnya, orang-orang yang memegang dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia (seperti paspor) diberi perhatian khusus. Seharusnya kita malu dengan reputasi seperti itu.

Sesungguhnya, masalah kepemilikan lebih dari satu KTP dapat diatasi program e-KTP (KTP elektronik) berjalan dengan baik dan data kependudukan terintegrasi secara nasional. Dengan terekamnya data seseorang secara nasional, tidak mungkin baginya memperoleh lebih dari satu KTP. Sayangnya, program e-KTP belum berjalan sebagaimana yang diharapkan sehingga masih banyak orang yang memiliki lebih dari satu KTP.

James Luhulima Wartawan Senior Kompas

Jumat, 27 September 2013

Evaluasi Program MIFEE

Maria SW Sumardjono

Setelah diresmikan tanggal 11 Agustus 2010, program Merauke Integrated Food and Energy Estate tidak banyak terdengar gaungnya.

Cukup mengejutkan, ketika sejumlah LSM nasional ataupun internasional menyurati PBB agar menghentikan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) karena dianggap mengancam kelangsungan hidup suku Malind (Kompas, 26/7). Program yang diproyeksikan meliputi 1,2 juta hektar lahan untuk memproduksi bahan pangan dan bioenergi itu pasti berdampak luas dan jangka waktu panjang.

Pertanyaannya, apakah program tersebut dapat menjamin keadilan dalam alokasi sumber daya alam sesuai dengan semangat konstitusi? Salah satu tujuan MIFEE adalah memperkuat cadangan pangan dan bioenergi nasional untuk memantapkan dan melestarikan ketahanan pangan nasional serta memasuki pasar bahan pangan dunia melalui ekspor produk pangan.

Untuk mempercepat pelaksanaan program MIFEE diterbitkan Inpres Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009, khususnya untuk mempersiapkan program MIFEE dan Inpres No 1/2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010, yang antara lain mengamanatkan penyusunan Grand Design Food and Energy Estate di Merauke. Dari sekitar 46 perusahaan yang berminat berinvestasi, sampai saat ini sekitar 11 perusahaan mulai beraktivitas. Siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari program ini? Perusahaan jelas berpeluang diuntungkan dalam jangka panjang; sebaliknya masyarakat hukum adat (MHA), terutama suku Malind sebagai pemilik tanah ulayat, mulai merasakan dampak negatifnya.

Secara fisik, pada wilayah MHA yang sudah dibuka, hutan adat untuk bahan obat, kayu bakar, kayu perahu dan bangunan, rawa sagu, serta binatang-binatang buruan sebagai sumber kehidupan masyarakat semua ikut (di)lenyap(kan). Hilangnya tempat-tempat keramat sesuai kepercayaan masyarakat dan tanaman-tanaman yang berharga untuk ritual adat jelas merupakan ancaman terhadap kepercayaan, identitas budaya, dan simbol leluhur MHA. Permasalahannya, apakah kebijakan izin lokasi yang tak membolehkan perusahaan menghilangkan tempat keramat dan sumber kehidupan MHA bisa diterjemahkan di lapangan?

Dampak sosial-ekonomi benturan antara ekonomi berbasis pasar dan ekonomi subsisten tampak dalam beberapa hal. Pertama, hilangnya sumber kehidupan MHA, di samping tingkat pendidikan yang rendah dan tiadanya keterampilan mengakibatkan MHA tersingkir dari sektor pertanian berbasis pasar. Kedua, terbatasnya tenaga kerja dari MHA mengharuskan perusahaan mendatangkan tenaga kerja dari luar Papua, yang membuat MHA kian tersingkir dari akses terhadap sumber ekonomi. Ketiga, peluang ekonomi yang besar untuk memperoleh jabatan dalam perusahaan ataupun pemerintahan lebih mudah diraih orang luar Papua yang memiliki akses ekonomi dan akses politik.

Dampak lingkungan beroperasinya perusahaan dapat dilihat dari pencemaran air yang mengakibatkan lenyapnya binatang-binatang air sebagai sumber kehidupan, juga menimbulkan beragam penyakit kulit, gangguan pencernaan, dan gangguan kesehatan lain. Mencari air bersih mengharuskan jarak tempuh yang sangat jauh, yang berpotensi mengancam keamanan dan kenyamanan hidup MHA.

Keberpihakan

Desain program MIFEE cenderung memihak investor yang butuh kepastian hukum dan kepastian berusaha. Perhatian yang seimbang belum diberikan kepada MHA sebagai pemilik tanah yang diperlukan investor. Ada sekitar 18 peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum program MIFEE, tetapi tak satu pun dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi MHA. Setidaknya perlu dua peraturan untuk melindungi MHA ketika berhadapan dengan kepentingan investor agar jaminan keadilan dapat diberikan bagi kedua belah pihak. Pertama, terkait dengan kesepakatan. Selama ini, MHA mengeluh karena dalam negosiasi tak pernah disampaikan informasi komprehensif dan obyektif oleh perusahaan terkait kegiatan dan dampak positif maupun negatifnya.

Rencana investasi sama sekali tak melibatkan MHA; negosiasi juga tak melibatkan MHA secara keseluruhan. Aturan main yang harus ditempuh perusahaan terkait sejumlah perizinan juga tak disampaikan ke masyarakat. Tidak jarang kesepakatan dihasilkan melalui tekanan, tipu daya, atau bujuk rayu.

Penandatanganan �perjanjian� dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (satu hari), disertai upacara adat; isi perjanjian tidak dipahami MHA, dan salinannya tidak selalu diserahkan kepada MHA.

Kedua, jika dua pihak dengan posisi tawar jauh berbeda berhadapan, hak dan kewajiban setiap pihak akan
cenderung tak seimbang. Hal ini, antara lain, tampak dalam penentuan ganti kerugian/imbalan yang diterima MHA. Contoh: untuk tanah MHA 40.000 hektar yang diserahkan kepada perusahaan selama 25 tahun, diberikan �tali asih� Rp 6 miliar. Jika dihitung, tanah MHA dihargai Rp 6.000 per hektar per tahun! Contoh lain, untuk per meter kubik kayu, dihargai Rp 12.500 oleh perusahaan. Padahal, jika masyarakat menjual kayu yang sudah dibersihkan kepada pembeli kayu yang datang ke kampung mereka, masyarakat mendapat Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per meter kubik kayu.

Dampak negatif ini mengindikasikan kekurangsiapan pemerintah menyusun peraturan komprehensif terkait: (1) tata cara melakukan negosiasi dengan MHA melalui free, prior and informed consent (FPIC) sesuai dengan aturan main dalam sejumlah konvensi internasional serta (2) pedoman penetapan ganti kerugian/imbalan untuk tanah ulayat yang dimanfaatkan perusahaan. Ganti kerugian yang hanya didasarkan nilai ekonomis tanah tak dapat diterapkan dalam kasus tanah ulayat.

MHA memberikan nilai sosial-budaya dan magis-religius secara khusus, selain nilai ekonomis tanahnya. Jika dikehendaki, pedoman FPIC dapat dikembangkan berdasarkan konvensi internasional dan pedoman-pedoman yang sudah ada. Dengan FPIC, MHA dapat memberikan persetujuan, mengusulkan perubahan, atau menolak, berdasarkan informasi yang disampaikan dalam tahap awal, yang menjelaskan secara komprehensif kegiatan yang akan dilakukan di atas tanahnya, meliputi dampak positif ataupun negatif yang mungkin timbul. Penentuan besarnya ganti kerugian tanah ulayat juga dapat merujuk pada pengalaman-pengalaman negara-negara lain.

Meski peraturan terkait FPIC dan penetapan ganti rugi telah disiapkan, pemanfaatan tanah ulayat harus dilandasi pemahaman yang benar terkait subyek hak ulayat sesuai struktur kemasyarakatan MHA bersangkutan dan kepastian hukum terkait wilayah adatnya untuk meminimalkan persoalan yang mungkin timbul.

Perlu ketegasan

Pelaksanaan MIFEE perlu dievaluasi. Hingga kini, dari enam tujuan MIFEE, belum satu pun menunjukkan arah ke sana, bahkan cenderung berlawanan arah, antara lain terkait kesejahteraan masyarakat Merauke, percepatan pemerataan pembangunan, dan penciptaan lapangan kerja. Sebelum peraturan perundang-undangan dan kebijakan terkait hak MHA dibentuk, seyogianya program MIFEE dihentikan sementara waktu. Terhadap perusahaan yang telah beroperasi perlu evaluasi terkait semua perizinan yang telah terbit disertai sanksi tegas terhadap pelanggarannya. Koordinasi, supervisi, dan evaluasi program MIFEE merupakan keniscayaan jika pemanfaatan SDA dimaksudkan untuk tercapainya kesejahteraan, khususnya bagi masyarakat Merauke.

Maria SW Sumardjono Guru Besar Hukum Agraria FH UGM

Abnormalitas Pengaturan Pilkada

Bahrul Ilmi Yakup 

Pemilihan kepala daerah dapat disebut buah pahit produk era Reformasi. Konsekuensinya menelurkan pengalaman pahit bagi perjalanan pemerintahan negara, dan masyarakat.

Salah satu penyebabnya, pilkada langsung dipilih secara tergesa-gesa dalam euforia kebebasan pasca-keterkungkungan pada era Orde Baru tanpa pemahaman dan pengaturan yang memadai.

Pilkada langsung dipilih tanpa kajian akademik dan empiris yang determinatif. Hal itu kian diperparah dengan pengaturan secara sumir serta tidak jitu dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No 22/1999. Oleh karena itu, logis jika dalam implementasi dan praksisnya saat ini pilkada langsung menimbulkan sejumlah permasalahan.

Dari sekian banyak noktah hitam pilkada, Pilkada Gubernur Provinsi Lampung yang saat ini berada dalam tahapan penyelenggaraan layak dirujuk sebagai contoh guna memberi masukan perbaikan untuk pengaturan dan praktik pilkada mendatang. Pilkada Gubernur Lampung saat ini terhenti tahapan penyelenggaraannya karena tidak ada anggaran yang dialokasikan dalam APBD. Kenapa pengalaman pahit demikian sampai terjadi dan tidak mampu diatasi?

Kejadian pahit Pilkada Gubernur Lampung dilatarbelakangi sejumlah faktor, antara lain, politik dan hukum. Dari aspek politik tentu bagian dari pertarungan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Sementara dari aspek hukum, kejadian tersebut merefleksikan pengaturan yang buruk terhadap urusan pilkada.

Buruknya kualitas pengaturan merupakan salah satu karakter perundang-undangan Indonesia, terutama era Reformasi. Pada era Reformasi, muncul tren produk perundang-undangan asal jadi, asal menampung ide dan kepentingan sesaat secara instan. Akibatnya, produk perundang-undangan lebih banyak menimbulkan permasalahan pada tahap implementasi dan praksis.

Perbaikan pengaturan

Sejumlah masalah implementasi dan praksis yang muncul pada pilkada selama rezim UU No 32/2004, berikut perubahannya, seyogianya jadi masukan konstruktif guna memperbaiki pengaturan pilkada mendatang. Apalagi saat ini Rancangan UU Pilkada sedang dibahas di DPR.

Namun, patut disayangkan, sepertinya RUU Pilkada mendatang belum (tidak) akan memproduk pengaturan pilkada yang baik, berkualitas, apalagi komprehensif. Sebab banyak permasalahan pilkada yang tidak (belum) diatur secara baik, menyeluruh, dan sistemik.

Konstruksi RUU Pilkada yang sekarang dibahas Komisi II DPR hanya merujuk persoalan inti secara terbatas. Padahal, masih banyak persoalan krusial yang harus mendapat porsi pengaturan secara runtut, lengkap, dan sistem yang sesuai asas pengaturan dan penormaan yang baik.

Isu krusial yang belum mendapat pengaturan antara lain soal anggaran pilkada. Anggaran pilkada dalam RUU Pilkada hanya diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 163, sebagai metamorfosis Pasal 112 UU No 32/2004, yang nyatanya menimbulkan masalah praksis seperti dalam Pilkada Gubernur Lampung saat ini. Juga masalah pencalonan wakil kepala daerah oleh kepala daerah, dan RUU belum pula mengatur prosedur, mekanisme, dan solusi jika muncul sengketa dalam pencalonan wakil kepala daerah.

Selain itu, masalah harmonisasi dengan norma UU terkait lainnya. RUU Pilkada tidak menyinggung harmonisasi norma dengan UU Pemerintahan Daerah Khusus DKI, Aceh, dan Yogyakarta. Tidak pula menjelaskan ratio legis  pengembalian wewenang mengadili sengketa pilkada dari Mahkamah Konstitusi kepada Mahkamah Agung. Mengapa wewenang mengadili sengketa pilkada harus dikembalikan kepada Mahkamah Agung?

Pengaturan pilkada mendatang seyogianya lebih baik daripada yang sekarang. Karena itu, diharapkan pengaturan mendatang sesuai dengan ilmu legal drafting dan asas pengaturan yang baik dan konstruktif. Hal ini agar kualitas pengaturan memiliki kapasitas mengatur semua permasalahan dan kompeten untuk menjawab sejumlah permasalahan yang akan timbul.

Bahrul Ilmi Yakup  Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK), Ketua Pusat Kajian BUMN

Revisi UU Devisa

Beni Sindhunata 

Produktivitas dan berhemat adalah kata kunci mengatasi krisis ekonomi saat ini, demikian M Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden, di Kompas (23/9).

Berangkat dari sikap dan semangat itu, penulis mengkajinya dari aspek defisit neraca perdagangan dan tata kelola hasil kerja berupa devisa ekspor. Produktivitas industri tidak banyak berarti jika hasil kerjanya, berupa devisa ekspor, tak bisa maksimal dikelola otoritas moneter selaku pengelola devisa.
Itulah salah satu titik lemah yang berdampak luas bagi perekonomian domestik, yang mendorong otoritas moneter selalu fokus pada dinamika Federal Open Market Committee (FOMC) dengan paket stimulusnya�dikurangi atau ditambah� laksana obat kuat sementara waktu.

Dari Januari ke Agustus 2013 cadangan devisa kita menyusut 16 miliar dollar AS, sedangkan devisa hasil ekspor (DHE) sebelum dikurangi impor: 87,5 miliar dollar AS. Jika seluruh DHE itu wajib ditahan atau disimpan di bank devisa dalam negeri selama jangka waktu tertentu, di atas kertas cadangan devisa bisa menjadi 179 miliar dollar AS, menghadapi utang luar negeri yang 259,5 miliar dollar AS.

Peraturan Bank Indonesia No 13/20/PBI/2011 tentang Peneri- maan DHE dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri sebagai turunan UU No 24/1999 tentang Devisa tak mewajibkan DHE harus disimpan dan ditahan sementara waktu. Kecuali hanya wajib lapor dan catat di bank devisa de- ngan toleransi waktu maksimal Desember 2012. Itu pun tak semuanya melapor, maksimal baru sekitar 85 persen.

Tak heran jika dana korporasi Indonesia (devisa ekspor) dan WNI kelas superkaya di Singapura diperkirakan 140 miliar dollar AS. Sementara ini, mereka parkirkan uang itu di bank asing luar negeri dan baru pulang kampung setelah kondisi keuangan kondusif, aman, dan menarik.

Tak ada yang bisa memastikan dan menjamin para eksportir itu melaporkan seluruh transaksi ekspornya karena sebagian disimpan di bank luar negeri untuk transaksi impor, di samping keperluan lindung nilai yang sekarang baru seperlima terlindung. Karena pentingnya devisa mendukung gerak mesin perekonomian nasional, perlu penyesuaian tata kelola devisa. Dengan mewajibkan eksportir menyimpan dan menahan sementara waktu DHE di bank domestik dengan merevisi Peraturan BI No 13/20/PBI/2011, kemudian dilanjutkan revisi UU No 24/1999 agar punya payung hukum lebih kuat, serangkaian UU berjiwa liberal yang lahir pada era Reformasi di bawah bayangan IMF dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan 15 tahun terakhir.

Segera selesai

Oleh sebab itu, beda pendapat antara DPR (Komisi XI) dan BI soal strategi tata kelola lalu lintas devisa dapat segera selesai menu- ju kesepakatan. Silang pendapat yang berlarut dan terbuka mubazir. Legislatif minta UU No 24/1999 direvisi, sementara BI berpendapat tidak ada pemikiran merevisi UU Devisa atau mengontrol devisa karena dianggap tak lazim. Semakin panjang dan lebar silang pendapat ini, semakin untung spekulan di pasar uang dan pasar modal.

Bahwa investor asing akan lari atau keluar dari Indonesia sehingga membahayakan neraca pembayaran tak selamanya berlaku atau harus jadi acuan dasar. Ancaman pelarian modal (capital outflow) bisa terjadi setiap saat, sebaliknya jangan berharap terlalu besar dilanjutkannya stimulus oleh The Fed bisa berdampak signifikan terhadap capital inflow. Apalagi kini berlangsung persaingan merebut dana global dari sesama negara maju, negara berkembang, sampai negara-negara mini yang porsinya kian laris manis sebagai tempat favorit sekaligus sumber penting FDI.

Merevisi UU Lalu Lintas Devisa atau revisi Peraturan BI soal DHE akan memberi kepastian hukum bagi tata kelola devisa agar otoritas moneter bisa maksimal mengaturnya bagi perekonomian nasional. Perlu diwajibkan menahan dan menyimpan selama waktu tertentu. Jika tidak, devisa hanya mampir sebentar dan kemudian keluar lagi, menyisakan sebagian untuk negara yang telah mendorong dan menumbuhkembangkan usaha.

Untuk menggiring DHE agar pulang kampung, memang perlu insentif, misalnya suku bunga yang menarik. Ini kalkulasi bisnis (jangan dilihat dari kacamata nasionalisme). Perlu jaminan dan fleksibilitas penggunaannya oleh eksportir dan aman karena standarnya berkiblat ke Singapura.


Kebijakan menjaga status sebagai negara yang sopan dan disenangi di pentas global tidak menjamin kantong dan perut 250 juta WNI penuh, aman, dan kenyang. Hanya pemerintah sebagai penggerak dan pelindung yang harus menjamin dan mengusahakannya. Sudah bangga dengan citra negara demokrat, liberal, dan surga bagi investor asing? Dunia usaha juga diminta berkorban demi kepentingan nasional dengan mengikuti aturan tata kelola devisa yang lebih baik. Tipisnya cadangan devisa akan berdampak pada depresiasi rupiah yang saling menyeret dunia usaha.

Beni Sindhunata  Direktur Eksekutif Investment and Banking Research Agency