Rabu, 22 Februari 2012

Surat untuk Presiden

Acep Iwan Saidi

Selamat malam, Pak Presiden! Dari Daniel Sparringa, salah seorang staf Anda, yang berbicara pada acara Soegeng Sarjadi Syndicate di TVRI�maaf lupa tanggal tayangnya�saya mendapat informasi bahwa Anda sering bangun malam. Katanya lagi, Anda membaca dan merenung, memikirkan berbagai permasalahan bangsa yang kian hari kian jelimet, kian ruwet.

Oleh karena itu, saya alamatkan surat ini kepada Anda yang begitu �mengakrabi malam�. Saya pun menulisnya dalam larut, sehari setelah menyaksikan kesaksian Angelina Sondakh untuk kasus yang kita semua sudah tahu belaka itu.

Angie yang cantik, kita juga tahu, adalah salah satu pejabat tinggi di partai yang Bapak bina. Artinya, langsung atau tidak, Angie adalah binaan Anda.

Pak Presiden, sebelumnya perlu Anda ketahui bahwa pada pemilihan presiden tahun 2004, saya adalah salah seorang yang memilih Anda.

Tentu saja, sebagai orang yang merasa diri intelektual, saya tidak sembarang memilih. Sebelum menentukan pilihan, saya merasa wajib untuk melakukan �riset kecil-kecilan�, mulai dari menelusuri kehidupan masa kecil hingga perilaku paling mutakhir para calon presiden saat itu.

Pilihan saya jatuh kepada Anda karena pada waktu itu Anda mengingatkan saya pada sosok Arok dalam roman Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.

Tentang Arok

Dengarlah apa yang dicatat Pram tentang Arok melalui mulut tokoh Dang Hyang Lohgawe berikut ini. �Dengan api Hyang Bathara Guru dalam dadamu, dengan ketajaman parasyu Hyang Ganesya, dengan keperkasaan Hyang Durga Mahisa suramardini, kaulah Arok, kaulah pembangun ajaran, pembangun negeri sekaligus. Dengarkan kalian semua, sejak detik ini, dalam kesaksian Hyang Bathara Guru yang berpadu dalam Brahma, Syiwa, dan Wisynu dengan semua syaktinya, aku turunkan pada anak ini nama yang akan membawanya pada kenyataan sebagai bagian dari cakrawati. Kenyataan itu kini masih membara dalam dirimu. Arok namamu� (1999: 53).

Demikianlah, Pak Presiden, imajinasi saya tentang Anda kala itu. Namun, dalam perjalanannya, perlahan-lahan imajinasi tersebut pupus. Entah karena apa, dalam mata batin saya, gambaran tritunggal (Brahma, Syiwa, dan Wisynu) sirna dari diri Anda. Saya tidak lagi merasakan sorot mata Sudra, sikap Satria, dan esensi Brahmana.

Hingga hari ini, Anda memang sangat santun, tetapi kesantunan itu terasa tak memiliki aura. Memandang Anda�artinya mencoba mengerti dan menerima kepemimpinan Anda�saya seperti menatap sebuah potret dalam bingkai. Sebuah potret, tentu bukanlah realitas sebenarnya. Ia adalah realitas citra.

Barangkali tidak ada yang salah dengan Anda, Pak Presiden. Kekuasaan, dalam sejarah bangsa mana pun, memang memiliki karakter pengisap. Barangsiapa tidak mampu menaklukkannya, ia akan tersedot hingga ke rangka. Sirnanya tritunggal yang saya imajinasikan terdapat pada sosok Anda kiranya juga karena isapan gravitasi kuasa tersebut.

Matinya tritunggal sedemikian meniscayakan hidupnya kelemahan tak terelakkan pada diri Anda. Lihatlah, sayap Anda patah. Anda tidak mampu menjadi �Garuda Yang Terbang Sendiri��meminjam judul drama Sanoesi Pane. Ada semacam kekhawatiran pada diri Anda jika terbang sedemikian, yakni kecemasan untuk tidak bisa kembali hinggap pada takhta yang notabene mengisap Anda secara terus-menerus itu. Anda lebih suka diisap daripada menyedot habis daya kuasa. Anda dikuasai, bukan menguasai.

Itulah kiranya, disadari atau tidak, yang membuat Anda selalu terjaga saat larut seperti dikisahkan Sparringa. Tanpa keluh kesah kepada Sparringa, saya pikir tubuh Anda sendiri telah berbicara. Di balik baju kebesaran presiden, Anda tidak bisa mengelak kalau sorot mata Anda makin sayu, satu-dua keriput bertambah di wajah Anda. Jika saja Anda bukan presiden, barangkali sepanjang hari Anda akan tampak lusuh, layaknya seorang bapak yang capek memikirkan ulah anak-anaknya yang kelewat nakal. Wajah Anda tak lagi bersinar seperti sebelum jadi penguasa.

Gara-gara Korupsi

Pemberantasan korupsi yang menjadi jargon partai binaan Anda, Pak Presiden, itulah yang saya pikir menambah satu-dua kerutan di wajah Anda tahun-tahun terakhir ini. Saya yakin Anda dan keluarga tidak melakukan tindakan kriminal tersebut, tetapi Anda terjebak dalam kepungan para bandit.

Kiranya Anda juga sang pemilik gagasan besar jargon pemberantasan korupsi tadi sehingga dengan sangat yakin Anda memasang badan di barisan paling depan pendekar pembunuh koruptor. Sayang, nyatanya Anda dikhianati. Anda jadi sandera di dalam jargon yang Anda gagas. Akibatnya, Anda menjadi sangat lemah. Anda tahu kepada siapa Anda mesti marah, tetapi Anda juga tahu hal itu tidak mungkin dilakukan. Ah, betapa menyakitkan hidup seperti itu.

Pak Presiden yang terhormat,

Malam semakin larut, tetapi kian gelap dan sunyi di luar, kian benderang hati kita di dalam. Drama Nazar dan Angie pastilah akan semakin jelas jika ditatap dalam suasana seperti ini.

Ketahuilah, penyelesaian kasus pelik yang menimpa mereka, juga banyak kasus lain, hanya bertumpu kepada Anda. Sekuat apa pun KPK, saya tidak yakin lembaga ini bisa menyelesaikannya. Anda mungkin tidak mengintervensi KPK dan penegak hukum dalam arti negatif, tetapi ketahuilah, tangan Anda bisa memanjang tanpa Anda ketahui, kekuasaan Anda bisa membengkak tanpa Anda sadari.

Ingatlah selalu bahwa Anda sedang terus-menerus dikhianati. Jadi, mohon keluarlah. Anda sudah mampu menguasai malam. Itu artinya Anda bisa menyongsong fajar saat semua makhluk sedang lelap. Ini kali saatnya Anda meradang, dan menerjang�meminjam sajak Chairil Anwar. Jadilah garuda agar kami menjadikan Anda lambang yang selamanya terpatri di dada.

Saya seorang dosen, Pak Presiden. Nyaris setiap hari saya membicarakan hal-hal ideal dengan mahasiswa. Kepada para mahasiswa saya selalu mengajarkan mimpi tentang Indonesia yang lebih baik di masa depan. Jadi, tolong saya, Pak Presiden, tolong bantu saya untuk menjadikan ajaran itu bukan ilusi, apalagi dusta.

Maka, jawablah permohonan ini dengan sebuah tindakan: bahwa besok pagi, saat fajar tuntas memintal malam, Anda akan menjadi presiden yang revolusioner. Atas apa pun yang bernama kuasa, jadikanlah diri Anda Arok, sang pembangun itu!

Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB

Selasa, 21 Februari 2012

Jati Diri Kultural

Radhar Panca Dahana

Diterimanya ahli genetik dan pediatrisian Inggris, Stephen Oppenheimer�penulis buku Eden in the East�oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, beberapa waktu lalu, mengindikasikan pemerintah puncak negeri ini mulai memberi perhatian pada diskursus tentang eksistensi sebuah peradaban. Sebuah diskursus yang cukup agung dalam ukuran masa kini dan tempo lalu di kawasan Nusantara, yang pada kemudian hari menjadi negara dan bangsa bernama Indonesia.

Diskursus ini tidak hanya melahirkan kelompok, komunitas, klub diskusi, buku, artikel, seminar, serta mungkin puluhan ribu komentar dan tulisan di berbagai blog atau media sosial, tetapi juga memunculkan semacam kepercayaan diri di berbagai kalangan, terutama yang bertaut dengan (identitas) lokal tertentu. Hal ini sebenarnya bisa dianggap cukup fenomenal mengingat sebaran diskursus ini sudah merentang mulai dari ujung timur hingga barat, utara, dan selatan negeri ini.

Sinisme Ilmuwan

Semua itu menjadi wajar jika pada akhirnya mengundang reaksi, sebagian sinis, dari mereka yang selama ini kita anggap sebagai ilmuwan. Mereka yang lebih memercayai data material, dalam bentuk artefak, sebagai dasar utama untuk menafsir dan menyimpulkan sesuatu. Dan, data material itu netral, bersih dari hal-hal yang mistis, khayali, atau dibumbui oleh spekulasi spiritual.

Sebuah posisi yang memang sangat memungkinkan mereka, para ilmuwan �sejati��setidaknya yang terlatih dan terdidik dalam logosentrisme european�melihat semua hal yang berkait dengan �fenomen� di atas sebagai salah satu ekspresi dari pribadi yang mitikal dan mistikal. Konon, pribadi sejati bangsa Indonesia.

Tak ada yang keliru dengan pandangan itu. Jika kita bersetuju atau sekurangnya memahami wilayah intelektual, dalam hal ini rasionalitas yang dibangun para sarjana Eropa, lengkap dengan metodologi, epistemologi, juga ontologinya masing-masing. Tafsir, kesimpulan, dan data arkelogis, juga palentologis, kita hormati sebagai dasar obyektif untuk menilai zaman, masa lalu, hingga konstitusi dari kebudayaan/peradaban serta manusia yang mengisi dan membentuknya.

Namun, hanya sebagai diskusi kecil, betapapun ilmu memberi pengaruh besar pada kehidupan manusia, termasuk perkembangan adab dan kebudayaannya, siapa pun mestinya memahami adab dan kebudayaan itu ternyata berlangsung, berproses, hidup dan mati, jauh lebih luas semestanya ketimbang runtutan kata-kata dan proposisi yang disebut ilmiah. Sebagian besar hidup ada di luar jutaan teori dan asumsi. Kata (tertulis)�sebagai bagian dari artefak�hanyalah sebagian, jika tidak dibilang kecil, dari perangkat atau medium yang digunakan sebuah bangsa mengembangkan dirinya.

Di titik ini mungkin hipotesis�jika istilah ini mau digunakan�bisa diajukan bahwa sebagian (suku) bangsa di dunia, terutama di negeri ini, tidak memandang tulisan sebagai medium utama dalam ia beradab dan berbudaya. Bangsa-bangsa di Nusantara mengembangkan dan memproduksi karya kebudayaannya yang kini kian banyak terkuak dahsyatnya (ingat I La Galigo) tidak melalui proses literasi semacam itu. Pengembangan dan pewarisan melalui lisan, perilaku, dan kesepakatan sosial adalah cara-cara utama itu. Kita dapat menemukannya dengan mudah di berbagai tradisi hingga karya-karya artistik di pelbagai suku bangsa negeri ini.

Model pemberadaban semacam ini tentu menciptakan kesulitan tersendiri bagi ilmu-ilmu sosial modern. Setidaknya bagi ilmu sejarah, antropologi, arkeologi, atau paleontologi untuk menegaskan realitas masa lalu suku bangsa-suku bangsa itu.

Sebagai contoh, sebagaimana dituturkan Zoetmoelder dalam kita babonnya, Kalangwan, sastra Jawa kuno sebenarnya adalah usaha melakukan transliterasi dari bahasa Jawa purba ke bahasa Sanskerta dengan huruf Pallawa. Namun, ternyata usaha itu tidak seluruhnya berhasil. Cukup banyak kosakata Jawa purba yang tidak sukses ditransliterasi. Sekurangnya, Zoetmoelder mencatat lebih dari 1.500 kata Jawa purba yang tak dapat dialihteraskani menjadi Sanskrit dan Pallawa.

Keberanian Politik

Paparan di atas tak lain hanya semacam praasumsi yang menyatakan sebuah realitas pada masa lalu, bahkan pada masa kini, tidaklah sesederhana bukti-bukti kebudayaan yang ditinggalkannya. Peradaban Nusantara, dengan seluruh karakteristiknya yang khas, yang maritim itu (oh� betapa kata ini adalah gadis paling seksi untuk kita telusuri tubuhnya), tidaklah dapat direduksi hanya oleh data materi, teori, atau sembarang epistemologi. Begitu pun jati diri manusia yang dihasilkan peradaban itu tentu bukanlah jati diri arkeologis atau paleontologis.

Pertimbangan yang lebih komprehensif, setidaknya multidipliner, harus dilakukan dengan kerja keras untuk kita bisa mendekati atau lebih mengenali jati diri itu. Saya ingin menyebut pertimbangan itu sebagai �kultural�. Pertimbangan yang melihat manusia dan adab yang diproduksinya tidak hanya bebas dari prasangka-prasangka rasional (European), tetapi juga mengikutsertakan peralatan-peralatan budaya yang mereka gunakan sendiri, yang kebanyakan justru tidak material.

Seperti budaya lisan, yang tidak bisa dimaterialisasi menjadi sekadar kata, kemudian menjadi buku. Sebab, di dalamnya terdapat dimensi metalingual atau paralingual, yang turut menentukan makna dan sukses tidaknya transmisi sebuah kebudayaan.

Jati diri kultural yang terbentuk dalam proses pemberadaban bangsa Nusantara inilah sesungguhnya yang ada di balik gairah besar kebangkitan �nasionalisme� baru Indonesia saat ini. Nasionalisme yang tidak diinisiasi atau diformulasi oleh teori atau gagasan-gagasan abad XIX dan XX dalam politik ini. Nasionalisme yang jauh lebih lokal, berakar, sebutlah: genuine!

Dalam tatar kebangsaan, Indonesia yang kini given, arus keras diskursus di bagian awal tulisan�tidak peduli dengan isu-isu murahan tentang �Atlantis� atau celotehan fiksional Plato itu�memang sudah sepantasnya menjadi perhatian para petinggi republik ini. Bukan sekadar sebagai kegenitan atau romantisme, melainkan sebagai usaha politik. Lebih tepatnya usaha peradaban (saya kerap menggunakan kata ini karena Nusantara dalam perhitungan saya bukan hanya melahirkan kebudayaan, juga sebuah peradaban, dalam perhitungan apa pun) menegakkan bangsa dan negara ini.

Dan, saya tidak akan pernah berhenti mengatakan hal ini. Sebab, semua itu tidak bisa tidak membutuhkan bukan sekadar political will, tetapi lebih utama political courageous. Sebuah modal mental dari negarawan kita untuk berhadapan dengan dunia lewat klaim kebudayaan.

Kita tahu, pada masa ini, kata terakhir itu (baca: kebudayaan) kini berkembang menjadi mantra paling ampuh. Bukan hanya untuk survive, berjaya, bahkan berkuasa, hingga tingkat dunia.

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Jumat, 17 Februari 2012

Jalan Panjang Ratifikasi

Anis Hidayah

Setelah 13 tahun, akhirnya amanat presiden untuk ratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Seluruh Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya�dikenal sebagai Konvensi Buruh Migran�ditandatangani pada 7 Februari 2012.

Pada 9 Februari, amanat presiden tersebut diserahkan kepada Ketua DPR. Dalam skema perlindungan buruh migran, ratifikasi terhadap konvensi tersebut merupakan instrumen paling mendasar bagi Pemerintah Indonesia sebagai negara pengirim. Oleh karena itu, hal ini harus jadi momentum bersama untuk menata kembali manajemen perlindungan buruh migran yang selama ini selalu menjadi korban pelanggaran HAM, terutama di sejumlah negara tujuan.

Konvensi Buruh Migran yang disahkan Majelis Umum PBB pada 18 Februari 1990 melalui Resolusi No 45/158 merupakan instrumen internasional, berisikan prinsip-prinsip dan kerangka perlindungan global bagi buruh migran dan anggota keluarganya berdasarkan standar HAM. Konvensi berlaku efektif setelah 20 negara meratifikasinya.

Sejak Timor Leste menjadi negara ke-20 yang meratifikasi konvensi tersebut pada Maret 2003, sejak 1 Juli 2003 konvensi tersebut menjadi perjanjian berkekuatan hukum mengikat. Hingga 12 Februari 2012, konvensi ini sudah diratifikasi oleh 45 negara. Sebanyak 33 negara di antaranya telah menandatanganinya.

Tak Bernalar

Dibandingkan Timor Leste yang notabene negara baru, Indonesia sesungguhnya jauh lebih berkepentingan untuk meratifikasi konvensi ini. Sebab, lebih dari 6 juta warga negara Indonesia bekerja di luar negeri dengan sistem perlindungan sangat minim. Anehnya, selama ini pemerintah tidak memiliki komitmen untuk menjadikan ratifikasi sebagai agenda prioritas.

Kalkulasi untung-rugi yang sering mengabaikan kondisi obyektif buruh migran Indonesia dengan perlindungan yang ala kadarnya selalu jadi alasan untuk menghindari ratifikasi. Ketakutan pemerintah terhadap konsekuensi ratifikasi yang selalu dipandang akan membebani kerja birokrasi terbukti tak dapat dinalar. Ketidaknalaran itu juga tergambar jelas ketika Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi memasang iklan resmi di satu harian nasional pada 24 Februari 2009. Isinya: ratifikasi Konvensi Buruh Migran belum mendesak bagi Pemerintah RI.

Padahal, sejak Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) 1999-2003, pemerintah telah menetapkan ratifikasi sebagai salah satu agenda, kemudian diperbarui dalam RAN HAM 2004-2009 dan 2011-2014. Pada 22 September 2004, Pemerintah Indonesia menandatangani konvensi tersebut dengan janji segera meratifikasi. Selain itu, TAP MPR No V/2002 juga telah mengamanatkan Pemerintah RI agar meratifikasi Konvensi Buruh Migran. Tahun 2005-2009, DPR juga menetapkan ratifikasi sebagai agenda Program Legislasi Nasional.

Ironisnya, dalam berbagai kesempatan di forum-forum regional dan internasional, Pemerintah Indonesia tampak sangat membangun pencitraan dengan janji segera melaksanakan ratifikasi. Misalnya, dalam High Level Dialogue on Migration and Development tahun 2006, dalam Pledge on UN HRC Candidacy (United Nation of Human Rights Council), dalam Universal Periodic Report, dalam Global Forum on Migration and Development sejak 2007, dalam Colombo Process (forum pertemuan tingkat menteri tenaga kerja di Asia) sejak 2003, dalam Abu Dhabi Dialogue (forum antara negara pengirim dan penerima di Asia), dan dalam forum ASEAN, janji ratifikasi selalu diobral.

Desakan kepada Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi ini tidak hanya dilakukan kalangan masyarakat sipil di Indonesia, tetapi juga dari berbagai komunitas internasional. Di antaranya, pertama, rekomendasi umum Komite CEDAW No 26 on Women Migrant Workers poin 29 pada 2008, �Negara pihak didorong untuk meratifikasi semua instrumen internasional yang relevan dengan perlindungan HAM perempuan pekerja migran, khususnya Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.�

Kedua, rekomendasi pelapor khusus PBB bagi pekerja migran tahun 2006 (A/HRC/4/24/Add.3) poin 66: �Pemerintah Indonesia harus meningkatkan usahanya untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.�

Ketiga, concluding comment Komite CEDAW tahun 2007 (poin 44) mendesak Pemerintah Indonesia meratifikasi traktat yang belum diratifikasi Indonesia sebagai negara pihak, yaitu Konvensi mengenai Perlindungan Hak Semua Tenaga Kerja Migran dan Anggota Keluarganya.

Sikap Pemerintah Indonesia yang selalu menunda agenda ratifikasi Konvensi Buruh Migran mengakibatkan lemahnya perlindungan buruh migran Indonesia selama ini. Banyak kebijakan diambil Pemerintah Indonesia, baik nasional maupun bilateral dengan negara tujuan yang tidak mencerminkan standar HAM.

Di tingkat nasional, UU No 39/2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI (saat ini sedang dalam tahap revisi di legislatif) sama sekali tidak mengatur perlindungan buruh migran karena lebih mengatur bisnis penempatan. Sementara berbagai nota kesepahaman (MOU) dengan negara tujuan juga terbukti tidak efektif, seperti MOU dengan Malaysia�ditandatangani pada 13 Mei 2006�yang akhirnya harus direvisi setelah memakan waktu 2,5 tahun karena secara substantif tidak memenuhi standar HAM. Demikian pula dengan banyak MOU lain.

Akibatnya, menurut catatan Migrant Care, setiap tahun selalu terjadi pelanggaran HAM serius, terutama terhadap pekerja rumah tangga (PRT) migran di luar negeri. Tahun 2011, 228.193 buruh migran Indonesia menghadapi berbagai permasalahan, seperti ancaman hukuman mati, kematian, pelecehan seksual, gaji tidak dibayar, kelebihan tinggal, deportasi, dan trafficking. Dengan demikian, tak keliru kiranya jika dikatakan bahwa menunda ratifikasi sama artinya membiarkan dengan sengaja buruh migran Indonesia dalam ancaman pelanggaran HAM.

Langkah Awal

Kini, setelah amanat presiden ditandatangani dan diserahkan kepada Ketua DPR, kita semua berharap legislatif segera melakukan upaya proaktif untuk meratifikasi konvensi tersebut tanpa reservasi (pengecualian terhadap pasal tertentu). Dengan ratifikasi, pemerintah memiliki kewajiban untuk membentuk mekanisme perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya yang mengedepankan HAM.

Meski demikian, ratifikasi Konvensi Buruh Migran ini sesungguhnya bukan akhir dari tanggung jawab negara. Justru ini merupakan langkah awal dan harus menjadi tonggak penanda perubahan yang lebih baik dalam perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya yang sudah sangat nyata telah memasok devisa bagi negara.

Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care

Senin, 13 Februari 2012

Kemana NU Menuju?

Salahuddin Wahid

Organisasi Nahdlatul Ulama didirikan pada 16 Rajab 1344/31 Januari 1926. Dalam perjalanan kesejarahan yang panjang, NU mengalami pasang surut dan dinamika luar biasa. Wajar jika sebagian warga NU khawatir akan masa depan NU. Ke mana NU menuju?

Pertama, NU adalah ajaran keagamaan. Kedua adalah ulama dan pesantren. Ketiga adalah keluarga dan warga. Keempat adalah organisasi. Ajaran NU sudah berabad-abad hidup dalam masyarakat Islam di wilayah Nusantara, jauh sebelum organisasi NU didirikan. Ajaran disebarkan oleh para ulama, termasuk Wali Sanga, lazim disebut ahlussunnah wal jama�ah (Aswaja). Namun, tidak semua penganut Aswaja bergabung dalam organisasi NU.

Ajaran itu mengakui empat mazhab fikih: mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali; dalam masalah Tauhid mengikuti Imam Asy�ari dan Imam Maturidi; dalam masalah tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junaidi al-Baghdadi.

Bertambahnya jumlah tamatan pesantren yang belajar ke negara Barat menimbulkan perbedaan penafsiran terhadap ajaran Aswaja di kalangan NU. Muncul keinginan memperoleh ruang lebih besar bagi kebebasan berpikir. Yang paling bebas adalah mereka yang tergabung di dalam �Jaringan Islam Liberal�. Dalam waktu 25-30 tahun ke depan, jumlah itu akan semakin banyak. Harus ada langkah nyata untuk menjembatani perbedaan itu.

Ulama dan Pesantren

Pengertian NU sebagai ajaran perlu ditambah ajaran masalah politik setelah Muktamar 1984 menerima Pancasila sebagai dasar negara. Keputusan itu didasarkan dokumen historis Hubungan Islam dan Pancasila. Keputusan NU itu membuat pemilih NU jadi cair di dalam menentukan pilihan politik. Yang belum banyak dibahas, ajaran Aswaja dalam masalah ekonomi, padahal kebijakan ekonomi amat besar pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat kelas bawah yang mayoritas warga NU.

Organisasi NU didirikan ulama pengasuh pesantren. Mereka mendidik umat Islam di Nusantara dan menyebarkan ajaran Aswaja. Penggagas berdirinya organisasi NU, KHA Wahab Hasbullah, yakin organisasi NU hanya berkembang jika didirikan ulama di bawah pimpinan Hadratus Syekh KHM Hasyim Asy�ari, guru para kiai terkemuka di Jawa termasuk Kiai Wahab.

Namun, Hadratus Syekh butuh waktu lebih dari setahun untuk setuju, dihitung dari setelah menerima pesan dan simbol berupa tongkat dan tasbih dari gurunya, Syaikhona Kholil, dari Bangkalan. Di awal berdirinya NU tak bisa lepas dari jaringan alumni Tebuireng, sebagian dari mereka mendirikan pesantren yang menjadi besar dan terkenal. Dengan cepat organisasi NU menyebar dan berkembang, khususnya di Jatim dan Jateng. Pesantren mampu mempertahankan keberadaan dalam dunia pendidikan, bahkan jumlah pesantren meningkat tajam beberapa tahun terakhir.

Survei berbagai lembaga 2001-2009 menunjukkan, sebagian besar umat Islam merasa jadi bagian komunitas NU. Tahun 2001 jumlahnya 42 persen, tahun 2009 jadi 39 persen. Namun, tak semua anggota organisasi NU. Sebagian besar warga NU mereka yang tertinggal dalam ekonomi, pendidikan, kesehatan. Petani, pedagang tradisional, pedagang kaki lima, buruh termasuk buruh migran, pekerja rumah tangga. Mungkin lebih dari 50 persen mereka warga NU. Tampaknya, organisasi dan politisi NU belum banyak membantu warga NU yang belum sejahtera ini.

Ada warga masyarakat yang merasa jadi bagian komunitas NU karena berasal dari keluarga NU. Hasil survei ini tampaknya jadi acuan politisi sehingga mereka mendekati komunitas NU sebagai potensi pemilih. Namun, ternyata NU sebagai entitas politik sudah cair. Partai Kebangkitan Bangsa yang didirikan para tokoh puncak PBNU (secara pribadi) termasuk Gus Dur, pada puncak pencapaiannya (1999), hanya meraih 12-13 persen jumlah pemilih. Bandingkan dengan jumlah pemilih Partai NU pada pemilu 1955 yang 18 persen.

Organisasi NU didirikan bukan sebagai organisasi politik, tetapi ormas keagamaan. Sejak usia belasan tahun organisasi NU lekat dengan kehidupan politik dan di usia 26 tahun beralih jadi parpol pada 1952. Keberhasilan jadi pemenang ketiga Pemilu 1955 mengubah total jati diri NU. Muktamar NU 1984 mencetuskan Khitah NU kembali sebagai ormas keagamaan. Namun, harus diakui organisasi NU kini masih memakai paradigma parpol.

Organisasi NU sejatinya didirikan untuk membantu NU dalam tiga pengertian di atas: ajaran, ulama plus pesantren, dan warga NU, tetapi secara nasional belum banyak dilakukan. Mungkin di Jatim organisasi NU sudah baik, tetapi dibandingkan Muhammadiyah Jatim, masih banyak yang harus dilakukan. Syafii Maarif pernah mengatakan, �Dibandingkan dengan mitra NU-nya, secara kuantitatif posisi Muhammadiyah jelas minoritas, tetapi tidak secara kualitatif. Apakah militansi Muhammadiyah Jatim ini didorong perasaan minoritas yang harus unggul dalam kerja pendidikan sosial keagamaan? Saya tak bisa menjawab.�

Tanpa ada organisasi NU, ajaran NU tetap bisa berkembang sebagai hasil dari para mubalig dan ulama yang tetap aktif membimbing warga NU. Mungkin organisasi NU bisa berperan menjembatani perbedaan �kelompok liberal� dengan kelompok yang lain. Hanya organisasi NU yang bisa melakukan hal itu. Tanpa dukungan organisasi NU, pesantren tumbuh dan berkembang. Mungkin 70-80 persen pesantren didirikan dan dikelola warga NU. Jumlah pesantren meningkat pesat, kini sekitar 27.000.

Mungkinkah organisasi NU membuat pusat data pesantren yang akan merekam semua informasi tentang pesantren dan membantu pesantren yang tertinggal sehingga bisa maju? Badan otonom di lingkungan NU yang telah banyak membantu warganya adalah Muslimat NU, khususnya di Jatim dan Jateng. Di Jatim, keberadaan Muslimat NU terlihat sampai ke tingkat dusun. Banyak TK, sekolah, panti asuhan, klinik, rumah bersalin, dan rumah sakit didirikan. Di sejumlah kota di Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera, cukup banyak kerja nyata organisasi NU, tetapi belum memuaskan dibandingkan potensinya.

Peran Ideal, Mungkinkah?

Titik lemah NU adalah aspek organisasi. Banyak tokoh NU bergurau mengatakan bukan NU kalau organisasinya baik. Itu mitos yang harus dilawan. Contohlah organisasi Muslimat NU, yang menurut saya, ormas perempuan terbaik di Indonesia. Organisasi NU 1940-an dan 1950-an dikelola baik dan menunjukkan kinerja baik. Juga ada organisasi NU provinsi dan kabupaten yang berjalan dengan baik.

Organisasi NU harus fokus benahi diri supaya bisa jadi organisasi efektif. Paradigma parpol harus diubah jadi paradigma ormas berorientasi kerja nyata. Struktur NU harus melepaskan diri dari keterkaitan dengan parpol termasuk PKB. Bukan berarti NU antipolitik. Organisasi NU harus terlibat politik kebangsaan atau kemasyarakatan, bukan politik praktis atau politik kepartaian. NU harusnya tak mendukung calon tertentu dalam pemilihan. Organisasi NU harus jadi salah satu unsur utama masyarakat sipil dan memanfaatkan warga NU yang jadi anggota DPR/DPRD untuk bisa menghasilkan UU atau perda serta kebijakan pro rakyat. Berarti juga harus kritis terhadap UU dan kebijakan pemerintah/pemda yang tak pro rakyat. Mungkinkah NU memainkan peran ideal itu?

Salahuddin Wahid, PENGASUH PESANTREN TEBUIRENG

Selasa, 07 Februari 2012

Dikti di Seberang Harapan?

Franz Magnis-Suseno

Pada tanggal 27 Januari lalu Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengirim surat edaran kepada semua perguruan tinggi di Indonesia. Isinya mengejutkan banyak orang, khususnya pihak-pihak terkait.

Sesudah mengeluhkan bahwa keluaran (output) karya ilmiah perguruan tinggi Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan Malaysia, diberikan ketentuan: mulai Agustus 2012, untuk bisa lulus sarjana harus dihasilkan makalah yang terbit pada sebuah jurnal ilmiah, untuk lulus magister makalah harus terbit dalam jurnal ilmiah nasional, dan untuk mau menjadi doktor harus di jurnal internasional.

Astaghfirullah! Itukah obat bagi anemia output ilmiah bangsa Indonesia? Muncul dua pertanyaan. Pertama, dapatkah rencana Pak Dirjen direalisasikan? Kedua, kalau dapat direalisasikan, siapa yang akan membaca ribuan makalah setiap bulan di jurnal-jurnal itu?

Pertanyaan Pertama

Mengikuti beberapa rekan (di internet), mari kita berhitung. Andai makalah calon lulusan S-1 sepanjang 10 halaman�makalah S-2 dan S-3 15 halaman�dan kalau setiap tahun rata-rata ada 100.000 calon lulusan S-1, perlu disediakan sejuta halaman �jurnal ilmiah�. Kalau satu jurnal rata-rata 150 halaman dan terbit 12 kali (!) setahun, yang harus disediakan adalah sekitar 555 �jurnal ilmiah� baru. Namun, dengan kemungkinan �jurnal ilmiah� online, pelaksanaan fisik bisa diatur.

Lain hal jurnal �ilmiah nasional� yang diharuskan bagi para calon magister dan tidak bisa hanya online. Andai ada 3.000 calon magister per tahun, perlu disediakan 45.000 helai, jadi 25 jurnal (terbit 12 kali per tahun) baru.

Masalah ini pun masih bisa dipecahkan. Biarlah perguruan tinggi (PT) menerbitkan jurnal �ilmiah nasional�, biayanya ditagih ke mahasiswa yang mau memublikasikan makalahnya (seperti penerbit Brill di Leiden, Belanda, yang spesialisasinya memublikasikan disertasi-disertasi yang tidak menemukan penerbit bermutu asal penulis membayar).

Kewajiban para calon doktor untuk mendaratkan makalah di jurnal internasional lebih sulit. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) luput memperhatikan sesuatu: antara lingkungan akademik kita dan lingkungan akademik luar negeri (LN) tidak �nyangkut�. Kemungkinan besar tulisan orang kita yang an sich cukup ilmiah, tetapi dari segi diskursus ilmiah di LN tetap kelihatan polos, di luar konteks, �ketinggalan zaman�. Saya sendiri selama 43 tahun sebagai dosen filsafat memang bisa memublikasikan cukup banyak tulisan di LN, tetapi hanya dua dalam majalah filsafat kelas I! Memang, barangkali bisa ditemukan sebuah jurnal obscure di India yang bersedia memuat karangan-karangan calon lulusan S-3 kita. Namun, apa itu yang dimaksud Ditjen Dikti?

Mensyaratkan publikasi di LN bagi calon lulusan S-3, begitu pula dalam rangka kenaikan pangkat akademis dan sertifikasi, menurut saya betul-betul salah kaprah. Suatu gagasan yang lahir dari otak para birokrat yang tidak tahu realitas akademik, tetapi bikin susah orang lain.

Namun, saya punya jalan keluar, jalan cemerlang! Begini! Katakanlah setiap tahun ada 300 calon lulusan S-3, ditambah 1.000 dosen yang mengurus rangka kenaikan pangkat/sertifikasi. Jadi, setiap tahun 1.300 makalah, 19.500 helai, perlu dipublikasi di LN. Nah, biar Dikti membuka perwakilan di Timor Leste. Di sana Dikti mendirikan 10 jurnal ilmiah saja (terbit 12 kali setahun, pembiayaan ditagih dari para penulis). Masalah pun terpecahkan.

Solusi Timor Leste itu mempunyai tiga keuntungan: para calon doktor/dosen kita terjamin publikasinya di LN, Dikti bisa menaikkan pendapatan sekian karyawannya (mereka yang terlibat dalam produksi 10 jurnal itu), dan Indonesia memberi sumbangan kepada perekonomian Timor Leste. Cukup genial, bukan?

Pertanyaan Kedua

Jadi, surat edaran Pak Dirjen bisa saja dilaksanakan. Hanya, ada dua masalah. Pertama, siapa yang mau membaca ribuan makalah setiap bulan itu yang ditulis oleh mahasiswa yang belum lulus dan yang banyak akan lulus dengan nilai B atau C? Apa Dikti sendiri bisa mengecek 1.450.000 halaman makalah-makalah itu?

Namun, dan itu masalah kedua, kalau mahasiswa tahu bahwa makalahnya tidak mungkin dibaca dengan sungguh-sungguh, mereka tidak punya motivasi apa pun untuk menulis sesuatu yang bermutu. Jadi, mereka akan menulis �sampah�. Dengan lain kata, surat edaran Dirjen Dikti ini adalah sarana mujarab untuk mengajak para calon akademisi kita untuk memproduksi sampah!

Jadi, kebijakan Dikti justru bisa bikin celaka. Alih-alih mendorong mutu output ilmiah PT-PT kita, Dikti malah mengharuskan kebijakan yang hasilnya adalah menciptakan budaya asal-asalan, yang lebih buruk daripada yang ada sekarang: budaya asal tulis 10 halaman, budaya asal tulisan itu bisa ditampung di jurnal.

Menurut saya, maaf, dalam hal ini Dikti salah besar, yakni mau meningkatkan mutu dengan paksaan dan ancaman. Bahkan, dengan cara yang�kalau mau dilaksanakan menurut maksud Pak Dirjen�mustahil terlaksana. Hal yang justru terlupakan: hanya ada satu dasar bagaimana mutu intelektual bisa mencuat, yakni motivasi di batin para dosen dan mahasiswa. Ironisnya, motivasi itu justru akan dibunuh dengan surat edaran baru itu.

Masihkah Ada Harapan?

Sebenarnya masalah yang mendasari defisit naluri peneliti-ilmiah di kalangan mahasiswa (dan dosen) kita sudah sering diangkat, tetapi barangkali belum di Dikti: pola pendidikan kita, mulai dari SD, harus diubah. Dari pendekatan yang memperlakukan anak-anak sebagai obyek pasif yang kelakuannya dimanipulasi dan otaknya diisi oleh guru/sekolah/Kemdikbud ke pendekatan yang memandang anak (anak kecil!) sebagai subyek yang dihormati identitasnya. Oleh karena itu, perlu dirangsang semangatnya untuk ingin tahu, untuk mencari yang baru, berani bertanya, bertanya �mengapa�, dan untuk berani mengemukakan pendapat sendiri.

Jadi, kreativitasnya dirangsang. Mereka yang melawan tren dipuji, perbedaan pendapat dihormati, bahkan dihargai oleh guru. Anak juga dirangsang belajar berdebat. Jadi, dari anak yang diharapkan manutan alias penurut menjadi anak yang percaya diri, terbuka, berani, dan kreatif.

Itu tentu tidak mungkin dilaksanakan dalam satu tahun. Namun, Kemdikbud bisa berbuat sesuatu, misalnya semakin memperhatikan pendidikan karakter. Guru-guru memberi dorongan supaya berani membebaskan diri dari pola pendekatan �menggurui�.

Kunci perkembangan intelektual mahasiswa adalah para dosen. Merekalah yang menentukan suasana belajar. Maka, Dikti diharapkan memberi dukungan agar dosen dapat berkembang secara terbuka, intelektual, dan kreatif. Untuk itu, perlu segala �kebijakan� yang berupa harassment, pelecehan, dihentikan. (Misalnya, pengecekan terhadap data untuk kenaikan pangkat/sertifikasi yang sudah kegila-gilaan sehingga portal Kopertis/Dikti kelebihan beban [overloaded]. Sampai-sampai karyawati kami dianjurkan mengunduh [men-download] gunung data itu pagi-pagi menjelang subuh). Segala kebijakan positif seperti sertifikasi (tetapi, ya, tanpa harassment tadi) perlu diteruskan.

Pertanyaan saya, seorang pensiunan tua, kepada rekan-rekan di perguruan tinggi: berapa lama kita�perguruan tinggi di Indonesia�membiarkan diri dipermainkan oleh birokrat-birokrat yang wawasannya kadang-kadang berkesan beyond hope, melampaui harapan?

Akan tetapi, tentu harapan masih ada, bahkan di Kemdikbud dan Ditjen Dikti.

Franz Magnis-Suseno, GURU BESAR PENSIUNAN SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA