Senin, 30 Desember 2013

Konsolidasi Usaha Tani

Udi H Pungut

Sensus Pertanian 2013 mengirim kabar penting tentang rasionalisasi usaha tani. Selama 10 tahun terakhir telah terjadi pengurangan 5,1 juta rumah tangga pertanian. Pengurangan terjadi pada jumlah petani tunalahan (buruh tani) dan petani berlahan sempit (petani gurem). Buruh tani dan petani gurem itu�terpaksa atau sukarela�telah beralih ke sektor lain, meninggalkan sektor pertanian.

Kabar menarik lain dari Sensus Pertanian 2013 adalah adanya petani gurem yang �naik kelas�, menggarap lahan lebih luas. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan jumlah petani dengan penguasaan lahan lebih dari setengah hektar. Selain itu, kita jadi makin yakin betapa penting pertanian padi bagi petani. Jumlah rumah tangga yang mengusahakan pertanian padi relatif tidak berubah. Sementara itu, usaha pertanian lain, seperti menangkap ikan, beternak, dan menanam hortikultura, semakin ditinggalkan.

Penurunan peran sektor pertanian dalam penciptaan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja adalah proses lumrah dalam perekonomian yang berkembang. Karena itu, kabar di atas sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Tidak perlu membuat kita terlalu khawatir atau berbesar hati. Yang membuat kita sedikit miris: pergeseran komposisi pekerja yang diperoleh dari survei angkatan kerja nasional.

Limpahan pekerja dari sektor pertanian idealnya terserap sektor industri. Sayangnya, peningkatan peran sektor industri relatif kecil, hanya menyerap sebagian kecil pekerja baru. Kenaikan pesat terjadi pada peran sektor jasa, terutama perdagangan dan jasa perorangan. Pekerja yang keluar dari sektor pertanian, boleh jadi, masuk ke sektor tersebut.

Pergeseran pekerja dari sektor pertanian ke sektor jasa memang bukan pola normal dalam perubahan struktur ekonomi. Meski demikian, perubahan dari buruh tani atau petani gurem menjadi buruh atau pengusaha jasa informal tidak selalu berarti menjadi lebih buruk. Informasi yang tersedia kelihatannya tidak cukup untuk membuktikan terjadinya proses pemiskinan pada mantan petani.

Skala usaha tani

Penurunan jumlah rumah tangga petani adalah akibat langsung dari proses konsolidasi untuk mencapai skala usaha tani yang ekonomis. Peningkatan rata-rata penguasaan lahan oleh rumah tangga petani membuktikan adanya proses konsolidasi tersebut. Rata-rata penguasaan lahan sawah, misalnya, naik dua kali lipat. Rata-rata penguasaan lahan pertanian bukan sawah juga naik dengan tingkat kenaikan lebih tinggi. Rata-rata skala usaha tani semakin membesar.

Rumah tangga petani tampaknya makin fokus pada usaha pertanian. Pada tiap rumah tangga petani, jumlah anggota rumah tangga (ART) yang terlibat pada usaha pertanian makin bertambah. Keterlibatan ART petani pada kegiatan usaha nonpertanian berkurang. Rumah tangga petani jadi semakin bergantung pada usaha tani. Kegagalan usaha tani makin berdampak besar pada penurunan pendapatan petani.

Hasil sensus itu kian menegaskan pentingnya industrialisasi di pedesaan. Idealnya, kegiatan industri dapat memberi tambahan nilai pada komoditas pertanian dan menyerap limpahan pekerja dari sektor pertanian. Agar industri dapat tumbuh, peran pemerintah tentu tidak cukup hanya menyediakan infrastruktur fisik. Kapasitas dan kualitas petani perlu disesuaikan dengan kegiatan ekonomi yang berubah.

Perlindungan bagi petani semakin diperlukan: bukan hanya dari dampak volatilitas harga komoditas pertanian, melainkan juga dari risiko gagal panen. Soal perlindungan petani memang belum banyak mendapat perhatian. Namun, perlindungan bukan berarti mengalihkan semua risiko kegagalan kepada pihak lain, termasuk pemerintah. Pemerintah perlu menyediakan skema perlindungan berbiaya rendah dan mendorong petani untuk mengelola risiko berbasis pasar.

Udi H Pungut, Peneliti pada Indonesia Research and Strategic Analysis

Merindukan Sang Pemimpin

Bambang Widodo Umar

DAHULU, Erich von D�niken, seorang ahli kosmologi, menganggap kesatria-kesatria Nazca dan Palenque merupakan astronot-astronot dunia luar yang tersesat ke Bumi dan lama-lama berkurang serta akhirnya musnah.

D�niken tampaknya hendak memberi tahu kita, pada zaman dahulu saja jumlah kesatria atau pemimpin di dunia ini sudah berkurang, apalagi masa kini. Sayangnya kita kurang menyadari hal itu, hingga pada akhirnya kita sadar tiba-tiba kesatria atau pemimpin itu sudah tidak ada lagi.

Di negeri ini, pemimpin mungkin masih ada, tetapi yang muncul tampaknya mengalami krisis karena erosi �tanggung jawab�. Figur yang semula tampak seperti pemimpin penuh tanggung jawab ternyata setelah menduduki jabatan malah jadi �pelempar tanggung jawab�. Penyakit kepemimpinan yang sangat berbahaya karena ia bukannya menjadi trouble solver, melainkan justru trouble maker.

Misalnya, kita belum pernah mendengar ada pemimpin yang berani meletakkan jabatan karena salah mengambil kebijakan atau salah dalam memberikan perintah sehingga berakibat fatal dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, benar yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer: �Bagaimana pemimpinnya, begitulah suatu bangsa.� Dan, bangsa ini ternyata surplus pembesar, tetapi defisit pemimpin.

Saya kira itulah yang membuat masyarakat merasa tak berdaya, bahkan sebagian frustrasi. Setiap malam banyak saudara kita yang menangisi ketidakadilan yang menimpa dirinya. Mereka berlari ke berbagai arah, berjalan menurut jejak kaki, mungkin seraya berurai air mata, tetapi keadilan tetap saja tak tersua. Di mana pemimpin itu?

Sementara sejumlah masalah (sosial, politik, hukum, budaya, dan ekonomi) bersilang sengkarut mencipta konflik. Perilaku busuk dan kotor makin biasa dan umum, korupsi kian sistemik. Mafia terselubung kian berjaya menggerogoti pembangunan dan merecoki pengambilan kebijakan. Di luar itu, batas negara seolah tak terjaga. Negara tetangga, yang dulu sungkan, segan, dan penuh hormat, kini tanpa takut dan gegabah memindahkan patok-patok batas negara dan menyadap kerahasiaan kita. Kedaulatan seperti kusen kayu lapuk oleh rayap kekuasaan yang menggerogoti bangsanya sendiri.

Semua masalah itu, mau tak mau mengikis rasa percaya masyarakat atas kapasitas dan kapabilitas negara serta pemimpinnya. Peringatan yang dilontarkan rakyat tidak digubris, malah dicurigai, dicemooh, dan disepelekan. Bencana sebagai azab tak dihiraukan atau dijadikan peringatan. Bebalkah mereka?

Masalah yang timbul saat ini makin kompleks dan rumit. Oleh karena itu, cara-cara tradisional yang digunakan untuk mengatasi tidak sesuai lagi. Realitas kontemporer bangsa ini kian runyam, tradisi dan kegotongroyongan sebagai salah satu nilai utamanya berantakan.

Di sinilah sesungguhnya masyarakat atau satu bangsa memerlukan kehadiran seorang yang berani, akrab, lekat dengan emosi, bertanggung jawab, mau berkorban, melindungi, mau berbagi susah dan senang, punya keteladanan paripurna, serta bisa membangkitkan semangat untuk bersama-sama memperbaiki nasib bangsanya. Seseorang yang pantas menjadi �pemimpin�.

Sang pemimpin

Hampir setiap bangsa di dunia ini memiliki seseorang sebagai pemimpin bangsanya. Mahatma Gandhi merupakan seseorang buat India, pemimpin yang lahir di tengah kesengsaraan bangsanya. Ketajaman hati dan pikirannya mampu menerjemahkan arti-arti tak terbatas sebagai Juru Selamat. Winston Churchill merupakan seseorang buat bangsa Inggris. Ia bangsawan brilian, mudah naik darah, tetapi selalu melindungi bangsanya selama Perang Dunia Kedua. Demikian pula George Washington bagi Amerika Serikat, Charles de Gaulle bagi Perancis, Deng Xiaoping bagi rakyat China, atau Ho Chi Minh bagi bangsa Vietnam, dan tentu Nelson Mandela bagi rakyat Afrika Selatan, Afrika, bahkan dunia.

Kita pun, dulu, memiliki seseorang itu: Soekarno namanya. Orator ulung, pembangkit semangat yang andal buat bangsanya untuk melawan kolonialisme dan imperialisme. Kedudukan mereka tentu tidak sama dengan rasul dan nabi yang dimuliakan. Para rasul dan nabi menguasai wilayah iman, sedangkan dia menguasai wilayah fisik dan perilaku. Para nabi dan rasul majikan dari semangat teologis-religius, sedangkan pemimpin bangsa adalah majikan dari semangat geometris-historis dan kultural.

Apabila dalam diri kita muncul rasa hormat sewaktu menyebut namanya, tentu bukan lantaran takut, tetapi terdorong kualitas kepemimpinannya yang memiliki karisma sebagai refleksi logos pancaran energi bening dari alam semesta. Demikian pula tanggung jawabnya tidak sekadar lahir dari niat, tetapi terlatih melalui rintangan, gemblengan, cobaan yang dialami sejak muda. Dia berani menghadapi �sendiri� risiko-risiko berat atas tindakannya serta berani �mengakui� dengan jantan kata-kata atau perbuatan yang pernah dilakukan.

Tinjauan ke depan, kita merindukan pemimpin yang berani bergerak pada tiga bidang yang berkaitan. Pertama, reformasi institusi. Membuat keseimbangan kekuatan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif melalui bandul kekuasaan yang bergerak antara pembagian kekuasaan dan pemisahan kekuasaan. Beragam kasus yang saling menyandera antarpartai politik merefleksikan bahwa eksekutif dan legislatif cenderung lebih kuasa daripada yudikatif.

Kedua, filosofi politik. Memulihkan konsensus nasional. Nilai-nilai Pancasila perlu dijabarkan dalam paradigma ekonomi, hukum, politik, dan sosial budaya. Hal ini dilandasi kesadaran bahwa kontradiksi-kontradiksi dari bidang-bidang yang ada kini telah menimbulkan karut-marut dalam kehidupan masyarakat.

Ketiga, membangun kepercayaan. Pemimpin harus menjadikan teman bagi rakyatnya dan harus membangun kepercayaan untuk tidak curiga atau menentang setiap tindakannya. Di sinilah terutama diperlukan kejujuran, tanggung jawab, dan pengorbanan.

Problem-problem masa kini memang sangat mudah menyeret kita ke jurang keputusasaan. Namun, hal itu justru menuntut dilakukannya suatu penyelesaian. Penyelesaian tidak dengan melakukan perombakan hal-hal yang sudah jenuh atau hal-hal yang dipandang basi atau lama, juga bukan menjungkirbalikkan kondisi yang ada dengan mengganti yang baru. Namun, lebih baik memelihara dan memperbaiki kelembagaan yang telah ada, yang dimiliki bangsa ini sepanjang sejarahnya, yang terbukti sukses melahirkan pemimpin-pemimpin (besar).

Bambang Widodo Umar, Guru Besar Sosiologi Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia; Pengamat Kepolisian

Mistisisme Waktu

Asep Salahudin     

TAHUN 2014 segera datang. Tahun 2013 kita tinggalkan bersama kenangan dan setumpuk kekurangan.

Awal tahun kita sambut dengan harapan bahwa tahun-tahun yang akan kita lalui adalah semburat fajar yang akan mempercepat terwujudnya hidup menemukan adabnya. Tahun baru dengan terhunjamkannya spirit �kelahiran kembali�: lahir dengan kesadaran baru.

Kelahiran dan kebaruan hakikatnya adalah khitah agama yang bukan saja diusung Al-Masih, juga digelorakan semua nabi, termasuk Muhammad SAW. Sebuah kearifan abadi dan melintasi batas-batas agama dan budaya (al-hikmah al-khalidah).

�Lahir� sebagai simbol terlepasnya diri (dan bangsa) dari sekapan kegelapan, dari keyakinan menikung yang tak membawa pencerahan dan dari gelegak nafsu yang dapat menjungkalkan marwah kemanusiaan ke tubir kehinaan. Dan, �baru� sebagai metafora kehidupan dengan semangat yang berbeda dari sesuatu yang kita anggap �lama�.

�Baru� itu interaksi simboliknya dapat merujuk kepada situasi politik yang memuliakan  akal budi, ekonomi yang berporos pada terdistribusikannya rasa keadilan merata. Lebih luas lagi, �baru� itu bersatu dengan kebudayaan yang berjangkar pada etos penciptaan kebeningan batin (Cicero), keluhuran nalar (Raymond Williams), kekukuhan menjunjung tinggi nilai universal (Kant), daya imajinasi kreatif (Schiller), terus mengupayakan  terwujudnya masyarakat sempurna (EB Taylor) melalui gelegak daya kehidupan dengan membiarkan insting natural menemukan katupnya yang optimal (Nietzsche).

Tahun politik

Negara orde �baru� tempo hari dikedepankan sebagai antitesis orde �lama� yang dianggap serba �mitologis�, terlampau �politis�, dan hanya gaduh dengan orasi yang tidak menyentuh hajat hidup orang banyak. �Bung Besar� harus ditumbangkan. Tragisnya, kebaruan yang ditawarkan justru berubah jadi �mitos baru� yang tak kalah mengerikan. Selama 32 tahun hidup dalam suasana yang seolah-olah baru, padahal sesungguhnya dengan sempurna mewarisi mentalitas lama, mentalitas yang terpelanting jauh pada zaman-zaman kerajaan kuno ketika ruang publik dikelola secara turun-temurun (dinasti), antikritik, bebal,  dan korup.

Tahun 2014 bukan sekadar peralihan tahun baru, tetapi dalam konteks kebangsaan  kita sedang memasuki  tahun-tahun politik. Kita akan merayakan pesta demokrasi lima tahunan memilih secara langsung. Tahun politik bisa jadi bagi sebagian kalangan dilihat dengan waswas ketika persoalan daftar pemilih tetap masih simpang siur,  masyarakat yang kian apatis, dan kabar tiap hari mengenai politisi yang selalu berperilaku tak ubahnya para bandit: korup dan rakus.

Tentu semua harus tetap berjalan. Mesin waktu tidaklah bisa dihentikan. Heraclitos menyebutnya  panta rhei kai uden menei. �Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap. Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama�.
Tentu saja tak ada yang sempurna. Justru ketaksempurnaan ini yang jadi alasan utama pentingnya melakukan introspeksi di tahun baru. Menjadi modus eksistensial untuk merayakan pergantian tahun itu sendiri.

Hakikat tahun baru

Bukan sekadar perayaan kembang api, kenduri material, pesta semalam suntuk atau hura-hura yang acap kali menyisakan  upacara jadi tak cukup bermakna. Namun, perayaan peralihan tahun yang penuh kesungguhan, mengacu pada etos kebaktian sekaligus sebagai ekspresi pemujaan pada Sang Pemilik Waktu.

Tahun baru jadi pintu masuk meraih pembebasan sekaligus momen meneguhkan sikap keterbukaan dan penegasan. Bagaimanapun, manusia meriwayatkan konsep dirinya sepenuhnya melalui waktu. Salah satunya lewat fragmen peralihan tahun, melalui renungan tentang hari- hari yang dianggap memiliki nilai tak ubahnya Natal dan lain sebagainya.

Ini juga barangkali yang jadi alasan metafisis, dalam ajaran Islam, Tuhan banyak bersumpah menggunakan diksi yang berdimensi waktu. Sebut saja: demi masa (wal 'ashri), demi malam (wal laili), demi siang (wan nahari), demi fajar (wal fajri), demi bulan (wal qamari), demi matahari (wasy syamsi), demi waktu duha (wadh dhuha). Kata sang Nabi, �Dua hal yang acap kali terabaikan dalam kehidupan manusia: sehat dan peluang.�

Tidak mungkin Tuhan sampai bersumpah segala, kecuali di seberangnya terhamparkan realitas yang dianggap penting dan harus jadi perhatian seluruh ciptaannya. Hanya manusia (pejabat) yang menganggap sumpah tidak penting sehingga sumpah pun berubah jadi sampah.  Kesadaran waktu mistis sekaligus fana inilah yang bikin Chairil Anwar ingin hidup seribu tahun lagi, sekaligus menggerakkan seorang Amir Hamzah di pengujung usianya menulis penuh kesunyian: �Lalu waktu-bukan giliranku� menapaki waktu, mencipta jejak sambil menunggu giliran yang barangkali masih jauh�.

Asep Salahudin, Esais dan Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat

Selasa, 24 Desember 2013

2014: Petruk (Harus) Jadi Raja

Yudhistira ANM Massardi


TAHUN 2014 tahun politik. Maka, Petruk harus jadi raja. Sebagai wong cilik, sebagai pemilik suara rakyat (vox populi) yang adalah  pengejawantahan dari suara Tuhan (vox Dei), dalam demokrasi Petruk adalah rakyat yang mahakuasa.  Dialah yang menentukan siapa yang akan ditetapkannya sebagai penguasa, yang berhak atas mandat yang akan dititipkannya untuk masa lima tahun ke depan.

Dia akan melakukan evaluasi dan koreksi. Kelemahan, kekacauan, dan kebusukan rezim penguasa terdahulu harus dihukum berat: tidak dipilih lagi! Dalam pewayangan, Petruk salah satu dari�bersama Gareng dan Bagong)�punakawan, kelompok pengiring/penghibur/penasihat  para ksatria pimpinan Semar, yang diposisikan sebagai wakil kaum jelata.

Salah satu lakon carangan yang spektakuler dalam kisah wayang adalah �Petruk Dadi Ratu� (�Petruk Jadi Raja�). Itu kisah revolusioner. Bukan kisah tentang si pungguk merindukan bulan atau katak hendak jadi lembu. Tatkala pemerintahan begitu lemahnya, dan pusaka negara yang begitu saktinya, Jamus Kalimasada, hilang dicuri Dewi Mustakaweni dari Kerajaan Imantaka, yang menyaru sebagai Gatotkaca, itu berarti kiamat sudah dekat. Untuk menyelamatkan negara dan bangsa, koreksi total harus dilakukan. Segera.

Ketika itu, Petruk �terpanggil�. Setelah operasi perebutan kembali Jamus Kalimasada dilakukan, dan jimat sakti itu berada di tangannya, Petruk segera menaruhnya di atas kepalanya. Seketika itu juga energi kosmik-spiritual merasuk ke tubuhnya. Ia jadi sakti mandraguna. Bahkan, para dewa di Jonggring Salaka tak ada yang mampu mengalahkannya. Lelaki buruk rupa yang juga disebut Dawala dan Kanthong Bolong itu pun menobatkan diri sebagai raja di Keraton Lojitengara, bergelar Prabu Welgeduwelbeh. Raja dan dewa tunduk dan takluk kepadanya.

Paradigma Petruk

Revolusi yang dilakukan Petruk hanya semusim. Namun, koreksi yang dilakukannya tak hanya menimbulkan kehebohan hebat, melainkan juga mampu mengembalikan seluruh tatanan ke relnya yang benar. Para raja dan dewa mendapatkan pelajaran berharga.

Fenomena Jokowi-Ahok yang terpilih menjadi pimpinan Ibu Kota, kemudian menduduki peringkat tertinggi di semua jajak pendapat untuk calon presiden, sejenis fenomena �Petruk Jadi Raja� yang revolusioner dan korektif tadi.

Para (calon) pemimpin di negeri ini seharusnya tak hanya belajar meniru langkah blusukan-nya, tetapi juga melihat seluruh paradigmanya. Terpilih dan teridolakannya Jokowi (-Ahok) adalah ekspresi dari perasaan rakyat yang secara fundamental telah terzalimi oleh kedua rezim pascareformasi. Rakyat sudah letih, bosan, dan benci melihat kinerja dan performa seluruh abdi rakyat dan abdi negara di lembaga-lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif yang begitu bobrok dan tak becus. Rakyat sudah muak pada politik pencitraan yang dhaif, palsu, dan membodohi.

�Paradigma Petruk� adalah paradigma paradoks: kelindan antara dekonstruksi-parodi dan semangat antihero. Alhasil, cara-cara menjual diri para calon anggota legislatif ataupun calon presiden yang masih bertumpu pada gebyar iklan televisi, baliho, seremoni, dan pidato-pidato omong kosong, bukan hanya sudah basi dan menunjukkan sikap antiperubahan, juga langkah bunuh diri yang bodoh. Rakyat tidak akan memilih mereka, apalagi yang punya rekam jejak hitam di masa lalu yang belum lagi jauh. Rakyat hanya akan memilih para �Petruk buruk muka� yang bersahaja dan kerja nyata.

Ya, rakyat yang sebelum ini� meminjam seloroh seorang teman�mendambakan datangnya Ratu Adil, tetapi yang muncul Ratu Atut; mendambakan Satria Piningit, tapi yang muncul Satria Bergitar, kini mendambakan seorang Petruk for president!

Yudhistira ANM Massardi; Pengamat Pendidikan

Senin, 23 Desember 2013

Koneksi Mandela-Soekarno

Yudi Latif

NELSON Mandela terkejut bukan kepalang. Berkunjung ke Gedung Merdeka Bandung pada tahun 1990, ia tidak menemukan foto Bung Karno. �Mana foto Soekarno? Semua pemimpin Asia Afrika datang ke Bandung karena Soekarno. Di mana gambarnya?� tanya Mandela kepada pejabat Indonesia yang mendampinginya.

Menengok ruang sidang, kenangan masa lalunya kembali membayang. Pada usia 37 tahun, sebagai pejuang kemerdekaan antiapartheid dari The African National Congress (ANC), ia terinspirasi pidato Presiden Soekarno. Dalam membuka Konferensi Asia Afrika pada 18 April 1955, Bung Karno mengingatkan:

�Perjuangan melawan kolonialisme berlangsung sudah sangat lama, dan tahukah Tuan-tuan, bahwa hari ini adalah hari ulang tahun yang masyhur dalam perjuangan itu? Pada tanggal 18 April 1775, kini tepat 180 tahun yang lalu, Paul Revere pada tengah malam mengendarai kuda melalui Distrik New England memberitahukan tentang kedatangan pasukan-pasukan Inggris dan tentang permulaan Perang Kemerdekaan Amerika, perang antikolonial yang untuk pertama kali dalam sejarah mencapai kemenangan.�

Bung Karno lantas menyadarkan kembali perjuangan dan penderitaan rakyat Asia Afrika. Gedung Merdeka sekarang ini, menurut dia, tidak hanya diisi pemimpin-pemimpin Asia Afrika yang hidup, tetapi juga oleh semangat dan jiwa �yang tak dapat dimatikan, tak dapat dijinakkan, dan tak dapat dikalahkan� dari generasi yang lalu dalam perjuangan kemerdekaannya.

Akhirnya beliau berpesan: �Dan saya minta kepada Tuan-tuan, janganlah hendaknya melihat kolonialisme dalam bentuk klasiknya saja, seperti yang kita di Indonesia dan saudara-saudara kita di berbagai wilayah Asia Afrika mengenalnya. Kolonialisme mempunyai juga baju modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektual, penguasaan material, dilakukan oleh sekumpulan kecil orang-orang asing yang tinggal di tengah-tengah rakyat.... Di mana, bilamana, dan bagaimanapun ia muncul, kolonialisme adalah hal jahat yang harus dilenyapkan di muka bumi.�

Semangat Bandung Historical Walks dan api inspirasi dari pidato Bung Karno berpengaruh besar pada mental juang Mandela. Ia mengenang Bandung, seperti sebutan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, sebagai �ibu kota Asia dan Afrika�. Lewat Konferensi Asia Afrika, Bandung berperan sebagai �pusat koneksi� dari negara dan rakyat Asia Afrika dalam menyusun barisan kesetiakawanannya. Bandung juga berfungsi sebagai �dalang�� dalam kelanjutan proses sejarah kebangkitan bangsa-bangsa yang masih dijajah (Roeslan Abdulgani, 2013).

Semangat Bandung, dengan cepat memompa darah perjuangannya. Mandela menggunakan pidato-pidato Bung Karno sebagai alat perjuangannya dan menjadikan Konferensi Asia Afrika sebagai titik tolak pembebasan bangsanya. Melalui ANC, ia melancarkan unjuk rasa, boikot, mogok kerja, dan aksi lainnya. Apa yang dikatakan Bung Karno sebagai jiwa �yang tak dapat dimatikan, tak dapat dijinakkan, dan tak dapat dikalahkan� itu mengantarkan perjuangan Mandela sebagai pemenang.

Begitu dalam kesan Mandela terhadap Indonesia. Setelah mendekam 27 tahun di penjara, salah satu tempat pertama yang dikunjungi adalah makam Sheikh Yusuf Al-Makassari di Cape Town, pejuang Indonesia yang memberinya pelajaran tentang ketabahan dan konsistensi perjuangan. Ikatan batinnya dengan Indonesia, ia tandai dengan menjadikan batik sebagai pakaian kebesarannya.

Utang budinya terhadap inspirasi Indonesia ia tunjukkan saat kunjungan Megawati ke Johannesburg pada September 2002. Lazimnya, pemimpin negara lain sebagai tamu yang datang berkunjung ke kediamannya. Namun, dalam kasus ini, justru Mandela-lah yang menemui Presiden Megawati, putri Bung Karno yang dikaguminya.

Soekarno dan Mandela laksana belahan jiwa. Bung Karno merintis jalan Asia Afrika dalam memperjuangkan kemerdekaan; sedangkan Mandela menuntaskan jalan Asia Afrika dalam memperjuangkan perdamaian. �Kita barangkali sulit melupakan, tetapi harus bisa memaafkan!� Kalimat itu dilontarkan Mandela saat membujuk Miriam Makeba untuk kembali ke Afrika Selatan dari tempat pengasingan. Mandela berpetuah, �Untuk berdamai dengan musuh, seseorang harus bisa bekerja sama dengan musuh, dan musuh itu menjadi mitramu.�

Kini, Soekarno dan Mandela telah pergi. Namun, arwahnya masih menitipkan pesan kepada kita, seperti dalam lirik puisi Chairil Anwar:

Kami sudah coba apa yang kami bisa/Tapi kerja belum selesai... belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa/Kami cuma tulang-tulang berserakan/Tapi adalah kepunyaanmu/Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan/Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan/Atau tidak untuk apa-apa/Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata/Kaulah sekarang yang berkata. 

Yudi Latif, Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan

Jumat, 20 Desember 2013

Perubahan Iklim dan Kemiskinan

Ivan Hadar

KORBAN jiwa topan Haiyan berkecepatan 300 kilometer per jam yang meluluhlantakkan kota-kota dan desa-desa di Filipina melebihi 10.000 orang. Ini adalah bencana alam terburuk yang pernah terjadi di Filipina. Menurut Laporan Iklim Dunia, kecepatan angin dan curah hujan pada siklon tropis akan terus meningkat akibat pemanasan bumi yang memicu perubahan iklim.

Setidaknya ada lima sektor penting yang terkena dampak perubahan iklim dan berpengaruh buruk pada pembangunan manusia (UNDP, 2008).

Pertama, produksi pertanian dan ketahanan pangan. Perubahan iklim memengaruhi curah hujan, suhu udara, dan ketersediaan air bagi pertanian. Kedua, kebanjiran dan kekurangan air. Ketiga, meningkatnya permukaan laut. Peningkatan suhu udara 3-4 derajat celsius, menyebabkan banjir dan rob sehingga 330 juta penduduk dunia menjadi pengungsi, masing-masing lebih dari 70 juta di Banglades, 6 juta di dataran rendah Mesir, 22 juta di Vietnam dan jutaan di Pantura Jawa.

Keempat, gonjang-ganjing sistem ekologi dan punahnya keragaman hayati. Perubahan iklim telah pula mengubah sistem ekologi. Separuh sistem terumbu karang dunia yang juga menjadi salah satu kekayaan Indonesia, misalnya, rusak (bleaching) akibat pemanasan laut.

Kelima, ancaman bagi kesehatan manusia. Sekitar 220-400 juta jiwa di negara miskin diperkirakan akan tertular malaria. Begitu pula demam berdarah diperkirakan akan semakin buruk.

Sebenarnya, secara jangka panjang, penggunaan teknologi nonfosil seperti tenaga surya, biogas dan panas bumi akan menjadi penyumbang terbesar kelestarian alam.

Meskipun demikian, sulit dipastikan, apakah krisis iklim bisa diatasi hanya dengan kemajuan teknologi.

Reduksi CO2 secara radikal, misalnya, mensyaratkan �perubahan pola hidup konsumtif secara radikal,� ungkap Sandra Postel dari yayasan World Watch. Tanpa itu, akan selalu ada benturan antara kepentingan ekonomi dan upaya melestarikan alam.

Peran Indonesia

Sebagai penghasil karbon dioksida terbesar ketiga dunia, Indonesia seharusnya telah mengidentifikasi sektor-sektor yang berperan dalam penurunan emisi dan mekanisme pembangunan bersih.

Sebagai negara kepulauan dengan 65 persen penduduk tinggal di pesisir, pemanasan global yang berdampak pada kenaikan permukaan laut harus dilihat sebagai ancaman serius.

Sementara itu, sebagai negara agraris, produktivitas pertanian negeri ini pun terancam gangguan tak kalah serius akibat dampak perubahan iklim (Gayatri et.al. 2012).

Periode 2000-2005, Indonesia menjadi juara dunia perusak hutan karena dalam kurun waktu tersebut hutan kita yang rusak mencapai 1,87 juta hektar per tahun. Bencana lingkungan pun merebak di mana-mana. Salah satu perusak hutan dan lingkungan hidup adalah sektor pertambangan.

Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam, 2006), kontribusi sektor tambang terhadap APBN relatif kecil, lebih kecil dibandingkan dengan sektor kehutanan. Nilai tambahnya juga rendah karena bahan tambang diekspor sebagai bahan mentah, ditambah rendahnya penyerapan tenaga kerja massal di tingkat lokal.

Contoh paling kasat mata adalah PT Freeport, korporasi tambang skala besar pertama di Indonesia yang telah beroperasi selama hampir 40 tahun di Papua.

Hingga kini, setidaknya 1.448 ton emas, belum lagi tembaga dan perak telah dikeruk. Menurut Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, keuntungan salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia ini dari hasil tambangnya di Papua mencapai Rp 4.000 triliun dihitung dari laporan cadangan mineral 2010 (Tambang.co.id, 18/11/2011).

Ironisnya, meskipun produk domestik bruto (PDB) Papua menduduki peringkat ketiga, nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah, yang mencerminkan rendahnya rata-rata lama sekolah, buruknya kesehatan seperti tingginya angka kematian ibu melahirkan, bayi dan anak balita, serta penghasilan masyarakat.

IPM Provinsi Papua menempati urutan buncit, sedangkan Provinsi Papua Barat pada urutan ke-29 dari 33 provinsi Indonesia.

Papua juga memiliki persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia, di atas 25 persen.

Kemiskinan

Kemiskinan dan kerusakan lingkungan memiliki hubungan kausalitas. Indonesia sebenarnya memiliki strategi pembangunan berbasis pro-poor, pro-job, dan pro-growth, yang dilengkapi denganpro-environment sehingga bisa dipandang sebagai implementasi komprehensif dari Tujuan Pembangunan Milenium (MDG).

Namun, statistik kemiskinan bisa menjadi dasar evaluasi, sejauh mana kinerja strategi tersebut. Saat ini, persentase kemiskinan 11,4 persen, masih jauh dari target MDG sebesar 7,5 persen untuk Indonesia.

Bagi Amartya Sen, seseorang disebut miskin karena tidak memiliki akses untuk memenuhi kebutuhannya. Akses yang menjadi hak setiap orang itu ditentukan oleh nilai diri yang dimiliki.

Bagi kebanyakan orang, nilai yang dimiliki sebatas tenaga kerja. Karena itu, kemiskinan tidak bisa diatasi dengan sekadar memperbesar produksi. Orang miskin harus mempunyai pekerjaan.

Pelestarian lingkungan secara partisipatif, dalam arti yang luas, ikut memperluas lapangan pekerjaan.

Pemerintah yang mewakili negara terkait konstitusi, memiliki kewajiban, misalnya memberikan pengakuan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan dan tambang dengan kearifan lokal, membantu nelayan dan petani dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sambil mengembangkan pendidikan, kesehatan, dan penghasilan.

Jeffrey Sachs dalam bukunya The End of Poverty (2006) menyimpulkan �sementara investasi pada kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur mungkin dapat mengatasi perangkap kemiskinan yang sudah ekstrem kondisinya, degradasi lingkungan pada skala lokal, regional, dan global dapat meniadakan manfaat investasi�.

Dengan kata lain, ada banyak variabel penting yang ikut menentukan kesejahteraan dan kemiskinan, tetapi lingkungan alam bisa dipandang sebagai salah satu yang terpenting.

Ivan Hadar; Direktur Eksekutif IDE (Institute for Democracy Education); Ketua Dewan Pengurus IGJ (Indonesia for Global Justice)

Senin, 16 Desember 2013

Menebak Akhir Kabinet Indonesia Bersatu II

Umi Kulsum

PEMERIKSAAN sejumlah menteri dalam kasus dugaan korupsi membangkitkan pertanyaan publik tentang kredibilitas menteri-menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II. Isu miring yang menimpa sejumlah menteri ditambah minimnya prestasi menonjol membuat wajah kabinet tak kunjung membaik di mata publik.
Upaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa kali merombak anggota kabinet sejak Oktober 2011, bahkan menambah struktur wakil menteri (wamen), tampaknya belum membawa perubahan berarti.

Hingga jelang pergantian tahun 2013, kepuasan publik terhadap kinerja para menteri kabinet tetap bergeming. Alih-alih membaik, yang terjadi justru sebaliknya, yakni terjadi penurunan tingkat kepuasan publik.

Jajak pendapat triwulanan yang diselenggarakan sejak awal pemerintahan periode kedua SBY (Januari 2010 sampai Oktober 2013) merekam, persepsi positif publik tak pernah beranjak dari angka maksimal 20 hingga 30 persen.

Bahkan, dari tahun 2010 hingga 2013, setiap tahun terjadi penurunan gradual dari rata-rata 27,2 persen pada 2010, menurun curam hingga rata-rata sekitar 20,8 persen pada 2011 hingga 2013.

Jika ditelusuri lebih jauh, penurunan kepuasan publik tampaknya sangat terkait dengan terjadinya kasus-kasus hukum. Sebanyak 83,1 persen responden menyatakan tidak puas dalam hal penegakan hukum.
Sebaliknya, yang merasa puas justru semakin turun. Kepuasan responden pada Oktober 2013 hanya mencapai 15,3 persen, turun dari 20,9 persen dibandingkan jajak Juli 2013.

Persoalan selain hukum yang cukup besar disorot adalah problem ekonomi, yakni terkait dengan mahalnya harga kebutuhan hidup sehari-hari.
Persoalan lain adalah terpaan sejumlah isu moral yang melibatkan individu menteri yang bisa memengaruhi penilaian publik dan aspek keseluruhan sistem pemerintahan yang melingkupi menteri.

Sebagaimana diketahui, sistem pemerintahan saat ini sangat terkait dengan kewenangan pemerintah daerah, terutama dalam bidang pendidikan dan kesehatan, dua bidang yang langsung bersentuhan dan dirasakan masyarakat manfaatnya.

Dibandingkan citra pemerintahan SBY secara keseluruhan pun, kinerja para menteri masih berada di bawahnya, terpaut hampir 1,5 kali angka kepuasan pada pemerintahan SBY.

Jika dirunut pada periode pertama kepemimpinan SBY (2004-2009), pola apresiasi yang sama terlihat. Namun, berbeda dengan periode kedua ini, akhir periode pertama pemerintahan SBY (tahun 2009), ada rebound apresiasi publik yang signifikan kepada menteri, yaitu mencapai hingga 38 persen responden.

Dengan demikian, ada dua hal yang khas pada akhir tahun jelang berakhirnya periode kepemimpinan Presiden Yudhoyono saat ini.

Pertama, apresiasi terhadap pemerintahan SBY tampaknya tak �mengikutsertakan� apresiasi terhadap para menteri sebagai anggota kabinet.
Kedua, tak ada perbaikan penilaian publik atas kinerja para menteri di akhir periode sebagaimana yang terjadi di periode pertama pemerintahan.

Hal ini tak mengherankan karena dari sejumlah jajak pendapat sebelumnya, apresiasi terhadap pemerintah tampak masih �terkatrol� oleh keberadaan sosok SBY yang secara individu masih cukup diapresiasi separuh lebih responden (58 persen).

Sebaliknya, para menteri yang sebagian besar berlatar belakang partai politik justru banyak �terseret� citra parpol yang sedang disangkutpautkan dengan sejumlah kasus dugaan korupsi.

Persoalan mendesak

Terpuruknya penilaian terhadap Kabinet Indonesia Bersatu II ini bersamaan dengan besarnya ketidakpuasan publik atas dua persoalan mendasar.
Dua persoalan yang dinilai mendesak untuk diatasi adalah soal pemberantasan korupsi atau penegakan hukum (45,1 persen) dan ketersediaan kebutuhan pokok yang terjangkau (34,3 persen).

Publik sangat terkejut dan kecewa ketika mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar tertangkap tangan. Dugaan mafia peradilan dan jual beli kasus di berbagai level pengadilan seakan terkonfirmasi hingga tingkat tertinggi.
Apalagi Akil disinyalir ikut memanipulasi beberapa kasus pemilu kepala daerah yang berujung dengan tensi politik dan konflik di daerah.

Hampir berbarengan dengan itu, kasus suap SKK migas yang melibatkan Kepala SKK Migas yang juga mantan Wamen Rudi Rubiandini membuat kepercayaan publik makin tergerus.

Sebanyak 43,8 persen responden tidak percaya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terbebas dari kasus suap tersebut.

Terkait soal ketersediaan kebutuhan pokok yang terjangkau, data Litbang Kompas mencatat, dalam bulan Juni 2013 terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok 2 hingga 6 persen menjelang kenaikan harga BBM di tengah jumlah kenaikan upah yang bervariasi di semua provinsi.

Tengok pula polemik harga daging sapi dan kedelai. Pada 2013, dari kebutuhan kedelai 2,5 juta ton, Indonesia hanya mampu memproduksi 35 persen kebutuhan nasional. Akibatnya, harga terus melonjak. Tak heran 60,4 persen responden tidak memercayai kinerja Kementerian Pertanian bebas dari korupsi.

Kelemahan manajemen yang berimbas ke masyarakat bawah itu makin parah tatkala kemampuan komunikasi kementerian juga tak memadai. Hal itu tecermin pada program Kementerian Kesehatan terkait dengan pencanangan Pekan Kondom Nasional.

Kendati tujuan pencanangan adalah untuk mencegah penularan HIV/AIDS, langkah yang ditempuh Menteri Kesehatan dianggap �kurang peka� pada kondisi sosio kultural masyarakat.

Tidak mengherankan jika penolakan atas program ini terdengar sangat kencang, bahkan muncul dari anggota kabinet, terutama Kementerian Agama.

Pola komunikasi sosial yang tak ideal ini juga sebelumnya terjadi di Kementerian Dalam Negeri dalam kasus soal �janji� penyelesaian KTP elektronik. Masyarakat sempat khawatir dengan kebijakan kartu identitas elektronik tersebut.

Belakangan, sebagian masyarakat belum juga memperoleh e-KTP, di tengah persoalan terkait pemanfaatan nomor induk kependudukan (NIK) di e-KTP untuk daftar pemilih tetap (DPT) pemilu. Penjelasan dari Kemendagri atas karut-marut persoalan DPT akhirnya dibeberkan tatkala kericuhan sudah terjadi.

Akhir masa jabatan

Tantangan terbesar menjelang tahun terakhir masa jabatan kabinet yang tinggal hitungan minggu ini adalah membagi energi dan empati antara tugas sebagai top manager dalam mengendalikan bidang-bidang pemerintahan dan kepentingan partai politik pendukung.

Apalagi sejumlah menteri, termasuk Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, bahkan Menteri Agama Suryadharma Ali dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, sudah ancang-ancang maju dalam kompetisi kursi presiden tahun depan.
Kabinet Indonesia Bersatu tampaknya harus bekerja keras untuk mempertahankan idealisme pengabdian bagi masyarakat di tengah tarikan keperluan berkampanye bagi parpolnya atau bahkan mencari �dana politik� parpol.

Tanpa keteguhan idealisme itu, kabinet pemerintahan bisa-bisa akan seperti �demisioner� dan kehilangan arah, berjalan limbung tanpa kejelasan arah tujuan.

Umi Kulsum, Litbang Kompas

Dari �Klik� Menjadi Aksi Politik

Ilham Khoiri

PADA  era Orde Baru, civil society mengorganisasi diri dalam sejumlah organisasi demi melawan pemerintahan otoriter. Kini, pada Era Reformasi, kecanggihan media sosial di dunia maya dimanfaatkan untuk menggalang aksi di dunia nyata.

Ingat awal Januari 2013, saat hakim Daming Sunusi melontarkan pernyataan yang melecehkan korban pemerkosaan saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan Hakim Agung di Komisi III DPR. Selebritas Melani Subono memprotes dan menuntut hakim itu minta maaf. Digalang lewat Twitter dan petisi di situs change.org yang dapat dukungan luas, Daming akhirnya gagal menjadi Hakim Agung.

Simak pula cerita seorang tunanetra Trian Airlangga, September 2013. Dia memprotes Bank BCA lewat media sosial yang menurut dia menghambatnya membuka rekening lantaran tak bisa membaca. Protesnya lewat media sosial itu disokong publik. Hanya dalam waktu tiga hari, bank itu memperbolehkannya membuka rekening.

Ingat juga gerakan publik untuk melawan kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Oktober 2012. Suatu malam, Polda Bengkulu mengepung kantor KPK untuk menangkap Novel Baswedan, penyidik kasus dugaan korupsi dalam pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Tersulut rentetan kicauan di Twitter, publik berdatangan ke kantor komisi itu di Kuningan, Jakarta, untuk memberi dukungan.

Lewat situs change.org, publik menggalang petisi agar kasus simulator SIM ditangani KPK, bukan Polri. Ada sekitar 15.000 penanda tangan. Saat bersamaan, mereka menggelar unjuk rasa besar di Bundaran Hotel Indonesia (HI) Jakarta. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, didesak untuk segera turun tangan menyelamatkan KPK.

Publik di jalanan serta para internet citizen (nitizen) di seluruh Indonesia sama-sama menggugat: �Di mana, SBY�.

Tak lama, Presiden Yudhoyono pun muncul dan menginstruksikan seluruh penyidikan kasus simulator SIM diserahkan kepada KPK. Kita tahu, awal September 2013, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) akhirnya menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta kepada mantan Direktur Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo.

Kita bisa perpanjang lagi daftar gerakan publik lewat jejaring media sosial yang mampu mengubah keadaan.

Gejala ini lanjutan dari �Koin untuk Prita� yang sukses mendukung Prita Mulyasari untuk melawan kriminalisasi oleh RS Omni Internasional tahun 2009. Begitu pula �Gerakan Sejuta Facebookers� yang menyokong pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, yang dikriminalkan oleh kepolisian dalam kasus �Cicak Vs Buaya� tahun 2009.

Change.org lantas mencoba mengorganisasi kekuatan semacam itu. Ribuan petisi difasilitasi untuk memperkuat gerakan antikorupsi, pelestarian lingkungan, kemanusiaan, layanan publik, atau masalah buruh migran. Inisiatornya dari komunitas, lembaga swadaya masyarakat (LSM), selebritas, atau warga biasa. Tuntutan disuarakan dan dipertemukan dengan pengambil kebijakan.

Modus segar

Menurut Direktur Kampanye Change.org Usman Hamid, sejak dibuka tahun 2012 sampai sekarang, sudah sekitar 6.000 petisi diluncurkan. Sebanyak 20 petisi di antaranya dinyatakan berhasil karena tuntutannya dipenuhi oleh pemerintah, perusahaan, atau pihak-pihak pembuat kebijakan lain. Anggota komunitas ini sudah 387.000 orang.

�Seseorang atau komunitas apa saja dan di mana saja, kini, lebih percaya diri untuk mendorong perubahan sosial. Ini gerakan masyarakat sipil baru di luar media massa arus utama, LSM, atau partai politik. Gerakan di dunia maya bisa beririsan dengan realitas di dunia nyata, bahkan bisa memengaruhinya,� katanya.

Di tengah derasnya demokratisasi, perkembangan ini menawarkan modus-modus segar sekaligus menantang kreativitas. Revolusi teknologi kian mempercanggih komunikasi, penggunanya terus bertambah, dan memungkinkan interaksi secara langsung, seketika, dan massal. Setidaknya itu tecermin dari dinamika Twitter, Facebook, blog, website, Skype, Youtube, bahkan Blackberry Messenger (BBM).

Menurut peneliti politik Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philip J Vermonte, organisasi masyarakat sipil dapat memanfaatkan media sosial untuk memperlancar, memperkuat, dan memperluas gerakannya.
Soalnya, bersamaan proses otonomi daerah setelah reformasi, problem-problem penyelenggaraan negara juga menyebar ke daerah-daerah. Korupsi, kebijakan merugikan publik, atau pelanggaran HAM, kini, juga berlangsung di provinsi, kabupaten, atau kota.

�Lewat media sosial, isu-isu lokal di pelosok daerah sangat mungkin digalang agar dapat perhatian dan penyelesaian secara nasional. Individu atau kelompok masyarakat bisa menjadi bagian dari gerakan, tanpa harus menjadi aktivis,� katanya.

Jika dikelola secara baik, dalam jangka panjang kondisi ini bisa mendorong terciptanya masyarakat sipil yang sehat. Masyarakat yang semakin mandiri, otonom, saling berinteraksi, menghargai, berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan publik, dan bersama membangun peradaban unggul. Pertukaran bermacam gagasan dan aktivisme bakal memperkuat demokrasi.

Fenomena gerakan civil society lewat media sosial mendorong daya nalar publik semakin mandiri dan individu semakin berdaulat. Meski masih hidup, lembaga-lembaga tradisional tak lagi menentukan. Siapa pun yang mampu mengakses media sosial, bisa langsung menyuarakan aspirasinya dan bisa bersentuhan pihak-pihak pengambil kebijakan�yang juga kian aktif dalam komunikasi nitizen.

Namun, gejala ini juga menyimpan persoalan. Dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robet, menengarai, ekspresi sebagian kelas menengah yang aktif dalam perbincangan di media sosial kerap masih sebatas �rewel� atau hanya mengulik soal-soal pribadi. Belum lagi muncul nama-nama anonim, manipulasi informasi, pencitraan, atau sikap tak bertanggung jawab.

Persoalan lain, dunia digital mempermudah komunikasi, tapi sekaligus membangun jarak dari dunia nyata. Terkadang seseorang merasa sudah terlibat dalam gerakan perubahan dengan hanya menge-�klik� pesan, petisi, atau menyebarkan informasi tertentu. Padahal, banyak hal yang perlu campur tangan langsung.

�Sebagian orang rajin menge-tweet dari pagi sampai malam. Tapi, giliran dituntut datang ke TPS (tempat pemungutan suara) untuk mencoblos dalam pemilu atau pilkada, malah tidur,� katanya.

Ilham Khoiri, Wartawan Kompas

Saatnya Rakyat Memilih dan Memilah

Sutta Dharmasaputra

MENYAKSIKAN pemakaman Nelson Mandela mengingatkan kembali akan kata-kata bijak. Kebajikan seseorang dalam menjalani kehidupan pasti terlihat jelas saat dia menyelesaikan kehidupannya.

Hingga akhir hayatnya, mantan Presiden Afrika Selatan itu dicintai seluruh rakyatnya. Bukan hanya yang sepaham dengannya, melainkan juga lawan politiknya di masa lalu. Jerit tangis haru mengiringi kepergiannya saat peti jenazahnya tiba di kota kelahirannya, Qunu. Warga menyambut jenazah Mandela di sepanjang jalan untuk mengucapkan, �Selamat jalan.�

Banyak warga dunia merasa kehilangan tokoh besar itu. Yang memberikan penghormatan terakhir bukan hanya para pemimpin tertinggi negara, melainkan juga masyarakat biasa di banyak negara. Warga New York, AS, spontan membawa lentera di luar restoran dengan nama Nelson Mandela di kawasan Brooklyn. Sementara banyak warga China yang memberikan penghormatan di depan Kedutaan Besar Afrika Selatan di Beijing.

Mandela boleh jadi merupakan negarawan yang paling �diagungkan� dewasa ini. Dia tidak hanya berhasil menghentikan pertikaian tak berkesudahan di negerinya sendiri dari praktik politik apartheid, tetapi juga menginspirasi banyak belahan dunia lain untuk juga menghapuskan segala kebijakan yang diskriminatif. Penerima Nobel Perdamaian itu telah menjadi simbol humanitas.

Menjadi �Mandela� bisa jadi merupakan impian semua politisi, bahkan juga nonpolitisi. Kalau ada 1.000 politisi di negeri ini ditanya soal pencapaian Mandela, bisa jadi tiada satu pun yang tak menginginkan pencapaian itu. Namun, kalau diingatkan, bagaimana proses Mandela mengubah dirinya dari seorang politisi menjadi seorang negarawan, bisa jadi tak satu pun menyanggupinya.

Bagaimana tidak? Mandela rela mengorbankan dirinya demi memperjuangkan kebebasan rakyatnya. Selama 27 tahun, dia harus meringkuk di penjara dan mengalami banyak penyiksaan fisik demi memperjuangkan kebebasan rakyatnya.

Membayangkan apa yang terjadi belakangan ini pada politisi di negeri ini rasanya bak bumi dan langit. Mereka juga banyak yang dipenjara, tetapi bukan karena berkorban demi rakyat, melainkan justru malah mencoba mengambil keuntungan diri dengan mengorupsi uang rakyat. Sungguh getir terasa.

Politisi yang melakukan korupsi itu bukan lagi kelas teri. Mereka bukan anggota partai atau pengurus ranting, cabang, atau wilayah, melainkan pengurus pusat, bahkan pemimpin tertinggi partai dan dewan pembina partai.

Mereka juga ada yang menduduki posisi-posisi penting dalam negara, baik di lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Gara-gara fenomena ini, muncul kosakata baru, yaitu trias koruptika, sebagai bentuk pelesetan dari trias politika.

Indonesia Corruption Watch, Oktober 2013, merilis, sejak semester II-2012 hingga semester II-2013 saja, tercatat sudah 81 anggota DPR yang terjerat korupsi. Kementerian Dalam Negeri mencatat, jumlah anggota DPRD provinsi yang terjerat kasus hukum sudah 431 orang dengan 83,7 persen dari jumlah itu adalah kasus korupsi.

Di jajaran eksekutif, mulai dari bupati/wali kota, gubernur, hingga menteri, banyak juga yang menjadi tersangka dalam perkara korupsi, bahkan sudah menjadi terpidana. Sementara di lembaga yudikatif kasus tertangkap tangannya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menjadi puncak dari ironi ini.

Kondisi ini kalau dibiarkan tentunya bisa mengancam keberlangsungan negeri ini. Berdasarkan sejumlah jajak pendapat Kompas, kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara semakin menurun dari tahun ke tahun. Hal ini tentunya bisa menimbulkan krisis.

Jika mengacu pada pandangan Ian Bremmer yang mengulas �Kurva J� untuk memahami mengapa bangsa-bangsa berjaya dan jatuh, kondisi ini tidak bisa dianggap remeh.

Ian Bremmer mengingatkan, tidak ada negara yang memiliki kemampuan mencegah terjadinya guncangan. Namun, pada sebuah negara yang sangat stabil, guncangan-guncangan itu dapat dikendalikan. Kematangan lembaga-lembaga negara merupakan salah satu ciri dari negara yang sangat stabil itu.

Sementara itu, negara tanpa kestabilan dipastikan menjadi sebuah negara gagal, negara yang tidak mampu menerapkan atau menegakkan kebijakan pemerintah. Negara seperti ini dapat terpecah belah, dapat direbut, dan dikuasai kekuatan luar atau terjerumus ke situasi kacau.

Banyak negara pun, kini, ternyata menaruh perhatian pada perkembangan politik yang terjadi di Indonesia. Mereka ingin mengetahui lebih dalam tentang apa yang terjadi di Indonesia agar bisa memprediksi potensi dan risiko berinvestasi.

Harapan pada tahun 2014

Melihat apa yang telah terjadi pada tahun 2013, harapan tertanam pada tahun 2014. Pasalnya, Indonesia akan kembali menggelar pemilihan umum. Inilah saatnya bagi seluruh rakyat untuk kembali memilah dan memilih siapa yang layak dan tidak layak menjadi wakil rakyat dan juga memimpin negeri ini.

Pemilu legislatif yang akan diselenggarakan pada 9 April 2014 menjadi momentum pertama. Kini, ratusan ribu orang telah mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Dari ratusan ribu calon legislator itu, harus terpilih 560 anggota DPR yang berkualitas dan berintegritas. Begitu juga dengan 77 DPD ataupun 2.137 DPRD provinsi serta 17.560 DPRD kabupaten/kota.

Hasil pemilu legislatif ini juga akan menentukan parpol mana yang bisa mengajukan calon presiden/wakil presiden pada pemilu presiden-wakil presiden yang akan digelar 9 Juli 2014. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, hanya parpol atau gabungan parpol yang memperoleh 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah secara nasional dalam pemilu DPR, DPD, dan DPRD-lah yang bisa mengajukan capres/cawapres.

Setelah capres-cawapres yang memenuhi syarat ditetapkan Komisi Pemilihan Umum, rakyat kembali harus menyeleksi, siapa yang benar-benar menjadikan takhtanya untuk memperjuangkan nasib seluruh rakyat dan mana yang hanya menjadikan takhtanya sebagai alat berkuasa semata.

Kita tentu berharap, politisi terpilih adalah orang-orang yang berjiwa seperti Mandela atau banyak pahlawan di negeri ini. Mau berkorban untuk rakyat demi kemajuan seluruh bangsanya, bukan sebaliknya yang mengorbankan rakyat untuk mencari keuntungan diri sendiri ataupun kelompoknya semata.
Tahun 2014 saatnya bagi seluruh rakyat untuk benar-benar memilah, lalu memilih...

Sutta Dharmasaputra, Wartawan Kompas

KPK Progresif Vs Koruptor Canggih

Khaerudin
  
A man who has never gone to school may steal a freight car, but if he has a university education, he may steal the whole railroad.
(Theodore Roosevelt)

AWAL tahun 2013 dibuka dengan berita mengejutkan soal tertangkap tangannya Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq yang menerima suap Rp 1 miliar, terkait pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian untuk PT Indoguna Utama.

Mengejutkan karena Luthfi berasal dari partai politik yang punya jargon bersih dan peduli. Terlebih selama ini memang Partai Keadilan Sejahtera sepi dari pemberitaan tentang politikus yang terjerat kasus korupsi.

Publik seperti tak percaya. Kader PKS bahkan lebih tak percaya lagi pucuk pimpinan partainya terlibat korupsi. Namun, vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, 9 Desember 2013, menyatakan Luthfi secara sah dan meyakinkan terbukti korupsi sekaligus melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Vonis yang dijatuhkan bertepatan pada Hari Antikorupsi Internasional pada 9 Desember itu menghukum Luthfi dengan penjara 16 tahun ditambah denda Rp 1 miliar serta perampasan sejumlah harta bendanya, seperti rumah dan mobil mewah.

Kader PKS yang masih tak percaya Luthfi korup dan melakukan TPPU menganggap vonis hakim telah menzalimi partainya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan dinilai sebagai alat politik untuk menjatuhkan citra PKS.

Soal ketidakpercayaan tentang politikus yang melakukan korupsi atau TPPU ini bukan hanya monopoli PKS dan kadernya. Keluarga Mallarangeng, misalnya, sampai sekarang pun masih tak percaya Andi Alifian Mallarangeng, sulung dari tiga bersaudara, melakukan korupsi dalam proyek pembangunan kompleks olahraga terpadu di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Sang adik, Andi Rizal Mallarangeng, masih yakin, sangkaan korupsi terhadap saudaranya oleh KPK bakal tak terbukti di pengadilan.

Loyalis mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, hingga kini pun, masih tak percaya jika politikus yang terkenal santun tersebut menerima aliran dana dari proyek Hambalang. Lebih-lebih dana dari proyek Hambalang tersebut digunakan untuk jalan memenangi kursi ketua umum dalam Kongres Partai Demokrat.

Loyalis Anas menuduh KPK diintervensi penguasa karena menganggap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak senang dengan berkuasanya Anas di partai yang dia dirikan.

Kolega mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini juga sempat tak yakin kalau Guru Besar Perminyakan Institut Teknologi Bandung itu menerima suap.

Terlebih Rudi dikenal sebagai pribadi bersahaja. Bagaimana tidak, mudik ke kampung halamannya di Tasikmalaya, meski Rudi bergaji di atas Rp 200 juta per bulan, dia memilih menggunakan kereta api.

Bahkan yang terbaru, sempat banyak yang masygul ketika Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar ditangkap KPK saat dalam proses menerima suap terkait pengurusan perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Lebak, Banten.

Pencitraan canggih

Bagi KPK yang menetapkan Luthfi, Andi, Anas, Rudi, dan Akil sebagai tersangka, ketidakpercayaan tersebut hanyalah bentuk strategi pencitraan dan pembelaan koruptor serta jaringannya.

�Strategi pencitraan dan pembelaan koruptor serta jaringannya kian berkembang dan canggih. Mereka kian hebat dalam membangun citra positif koruptor sembari mendelegitimasi KPK,� ujar Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.

Menurut mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini, strategi itu pun dilakukan tidak hanya dengan membela di depan persidangan, tetapi juga menggunakan tempat talk show, diskusi, dan seminar. Mereka juga menyewa ahli yang tidak hanya memberi kesaksian di pengadilan, tetapi juga dalam talk show dan lain-lain. �Bahkan ada pola komunikasi pencitraan menggunakan konsultan PR (public relation),� katanya.

Semakin pintar koruptor, semakin canggih juga cara mereka menghindari jerat hukum.

Bambang mengatakan, setahun terakhir, ada tipologi yang khas dari para pelaku kejahatan korupsi di Indonesia. �Mereka smart, trendi, charming, profesional di bidangnya, dan pandai memanipulasi, serta menjaga citra dan kewibawaannya,� kata Bambang.

Modusnya pun berkembang. �Tak terbayangkan penyuapan dilakukan menggunakan mobil yang dititipkan di tempat parkir bandara, di stasiun kereta. Digunakan layer-layer sehingga tidak bisa terlihat langsung bentuk kejahatan dan transaksinya,� ujar Bambang.

Sebagian transaksi bahkan dilakukan di tempat khusus dan di luar negeri, menggunakan mata uang asing, khususnya dollar Singapura dan Amerika Serikat.

Hasil riset

Keberhasilan KPK mengungkap kecanggihan korupsi mereka yang punya latar belakang pendidikan sangat tinggi sebenarnya berkat riset dan penelitian panjang lembaga ini terhadap pola korupsi yang selama ini terjadi di Indonesia.

Menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, dari hasil kajian tersebut disimpulkan telah banyak terjadi state capture corruption di Indonesia. State capture corruption adalah tipe korupsi politik, di mana swasta memengaruhi proses pengambilan keputusan pemerintah melalui praktik ilegal seperti penyuapan para penyelenggara negara.

�Suap pengurusan kuota impor daging sapi dan suap terkait kegiatan di SKK Migas adalah contohnya,� kata Busyro.

Di tengah terungkapnya kasus-kasus state capture corruption skala besar, KPK juga mengimbangi dengan upaya penindakan yang progresif. KPK menggabungkan UU Tipikor dengan UU TPPU dalam menjerat tersangka sehingga bisa memiskinkan para koruptor.

Beruntung, hakim juga responsif dengan langkah progresif KPK, menuntut terdakwa dengan pidana penjara untuk waktu yang lama serta perampasan terhadap aset dan harta kekayaannya.

Pada akhirnya, KPK membutuhkan banyak amunisi dan kepiawaian berperang melawan para koruptor yang makin pintar dan canggih ini.

Khaerudin, Wartawan Kompas

Meredam Defisit Perdagangan

A Tony Prasetiantono

BANK Indonesia akhirnya menutup kebijakan BI Rate tetap pada 7,5 persen hingga akhir 2013. Langkah ini kemudian diikuti dengan pelemahan rupiah hingga Rp 12.017 per dollar AS akhir pekan lalu (Jumat, 13/12). Keputusan BI barangkali dinilai berbeda dengan ekspektasi pasar yang masih menghendaki kenaikan BI Rate sekali lagi menjadi 7,75 persen, untuk mengompensasi inflasi.

Kebijakan BI Rate memang dilematis. Di satu pihak, untuk menyelamatkan rupiah dari depresiasi yang dalam, seyogianya BI Rate dinaikkan. Laju inflasi hingga akhir tahun diperkirakan 8,5 persen. Jika BI Rate dipaksakan tetap 7,5 persen, sebagian nasabah besar akan memindahkan dananya menjadi surat berharga di pasar modal dan atau valuta asing, terutama dollar AS.

Itulah sebabnya, simpanan masyarakat (dana pihak ketiga) di bank sejak Mei 2013 cenderung mendatar (stagnan). Bulan Mei 2013 adalah saat dimulainya wacana tapering off, ?yakni berkurangnya stimulus moneter di AS (quantitative easing) ?tatkala Kepala The Fed Ben S Bernanke mulai merasa perekonomian AS membaik sehingga stimulus ini bisa dikendurkan.

BI Rate memang sudah 7,5 persen, tetapi itu belum cukup bagi pemilik dana besar untuk mengubah kekayaannya menjadi dollar AS. Dengan inflasi yang meski sudah �dijinakkan� menjadi 8,3 persen pun, pemilik dana masih akan �menderita� suku bunga riil negatif, di mana laju inflasi lebih tinggi daripada suku bunga deposito bank.

Namun, jika BI Rate dinaikkan, hal itu akan menyengsarakan sektor riil. Bank-bank pasti akan mengalihkan beban kenaikan suku bunga kepada nasabahnya, melalui kenaikan suku bunga kredit. Meski banyak bank memilih mengorbankan keuntungannya ?yang tecermin dari penurunan net interest margin, tetap saja kenaikan suku bunga kredit tak terelakkan. Akibatnya, industri perbankan kini menghadapi dua masalah. Pertama, laju ekspansi kredit melambat, dari 27 persen (2012) menjadi 19 persen. Kedua, timbul tekanan kenaikan kredit bermasalah atau nonperforming loan.

Di tengah kepenatan itu, BI mencoba mengais harapan untuk tahun depan. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi bakal mencapai 5,8 persen hingga 6,2 persen tahun 2014. Namun, target yang optimistis ini seperti mengalami konflik (conflicting targets) dengan upaya BI �mendinginkan mesin perekonomian�. Sebagai upaya untuk membantu menekan defisit perdagangan dan defisit neraca pembayaran, BI mencoba mengendalikannya melalui penurunan target pertumbuhan kredit menjadi 15-17 persen.

Masalahnya, jika pertumbuhan kredit hanya 15-17 persen, bagaimana mungkin target pertumbuhan ekonomi 6 persen tercapai? Pengalaman selama ini menunjukkan, pertumbuhan kredit 15-17 persen hanya ekuivalen dengan pertumbuhan ekonomi 5,5 persen saja. Jadi, jika BI ingin menekan konsumsi impor, dampaknya akan dirasakan pada berkurangnya impor barang modal dan barang konsumsi, yang berujung pada penurunan pertumbuhan ekonomi. Belum jelas pilihan yang ditempuh BI, mendahulukan pencapaian pertumbuhan ekonomi 6 persen ataukah menekan impor dengan menurunkan pertumbuhan kredit sehingga rupiah tidak terperosok dalam?

Sementara itu, Menteri Keuangan Chatib Basri pun mengeluarkan jurus meredam defisit perdagangan dan transaksi berjalan. Pihaknya merilis paket kebijakan yang terdiri atas empat hal: memperbaiki neraca transaksi berjalan dan nilai tukar; menjaga pertumbuhan ekonomi dan daya beli, dengan memastikan defisit anggaran 2013 tetap 2,38 persen terhadap produk domestik bruto; menjaga laju inflasi, dengan cara memperbaiki tata niaga komponen harga yang bergejolak (volatile food); dan percepatan investasi melalui relaksasi perizinan.

Upaya meredam defisit perdagangan dilakukan dengan: meningkatkan porsi penggunaan biodisel dalam porsi solar sehingga menekan konsumsi solar; pengenaan tambahan Pajak Penjualan Barang Mewah sebesar 50 persen pada mobil supermewah dan pengenaan PPNBM pada produk bermerek sebesar 25 persen; dan mendorong ekspor mineral olahan.

Adapun isu ekspor mineral yang sudah diolah dari barang mentah (raw materials) menjadi barang antara (intermediate goods), saya teringat kasus 1985, ketika Indonesia sedang kesulitan menderita penurunan harga minyak dunia dari 32 dollar AS (1982) menjadi 9 dollar AS (1985-1986). Indonesia yang saat itu sebagai eksportir migas harus segera mengubah posisi dari ekspor migas ke nonmigas. Kita pun sukses mengekspor tekstil dan garmen ke AS. Juga larangan ekspor gelondongan diganti menjadi ekspor kayu lapis yang punya nilai tambah.

Isu konversi energi dari minyak ke gas serta biodisel agak disayangkan kurang ditangani secara lebih intens oleh pemerintah periode sekarang. Setiap kali terjadi gejolak harga minyak dunia tinggi, kita memang terenyak dan timbul kesadaran terhadap isu konversi energi. Namun, begitu harga minyak dunia berada di level yang dianggap terjangkau, seperti kini berkisar 100-110 dollar AS, isu ini pun relatif terkubur.

Sekarang, saat impor migas kita melonjak dan menyebabkan defisit perdagangan, sehingga cadangan devisa terkuras dan akhirnya memperlemah rupiah, isu ini kembali mengemuka. Konversi energi harus digarap lebih serius karena cadangan minyak kita cuma 4 miliar barrel, jauh dibandingkan Venezuela (300 miliar barrel). Tugas kita mengawal proses konversi energi ini, baik di ujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun kelak siapa pun penggantinya. Tidak boleh lengah lagi, jika tidak ingin defisit perdagangan kian melebar dan rupiah kian lunglai.

A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

Minggu, 15 Desember 2013

Sinterklas dan Mandela

Jean Couteau

Nelson! Saya tidak tahu apakah hal ini merupakan titah para dewata sedunia atau memang dilakukan dengan maksud khusus bagi orang Indonesia. Namun, kini kau, dari alam-Nya nun di sana, kau pasti tahu sebabnya. Kau telah meninggal pada tanggal 5 Desember, justru ketika Sinterklas, yang di Belanda dipercaya hari Sinterklasnya jatuh pada tanggal 6, sudah bersiap-siap turun ke marcapada.

Jadi, ketika arwahmu naik ke surga sana, Sinterklas sebaliknya turun untuk mengunjungi kami. Kalian pasti berpapasan. Seandainya dia seorang diri, pasti kau ber-hello-hello saja sama dia, oleh karena kau tidak lagi berprasangka sama orang kulit putih, kan? Apalagi sekarang kau sudah menjadi ikon dunia, mengangkat kemanusiaan atas segala unsur jati diri lainnya. Tetapi, Nelson, Sinterklas putih berjenggot ini tidaklah turun seorang diri. Dia diantar oleh pembantunya yang hitam, Zwarte Piet (Piet yang Hitam), yang mengangkut barangnya yang berat itu.

Kau hitam, Nelson, si Piet pun hitam. Maka pasti kalian bercakap-cakap di jalan surga. Pasti Piet bercerita bahwa ketika bosnya asyik membagi kado kepada anak-anak yang berperilaku baik, seperti lazim dilakukan menjelang Natal, dia sendiri harus berlagak kasar dan menghukum anak-anak yang dianggap kurang patuh. Ya, Nelson, kamu baru mengerti sekarang: tugasmu belum selesai! Dunia menyanjung kebesaranmu. Namun, belum sempurna: Sinterklas tidak mengerti bahwa dia tidak adil sama pembantunya yang hitam. Dan Zwarte Piet tidaklah tahu dirinya korban dari rasisme. Pikirkanlah hal itu, Nelson, sebelum hanyut dalam kesenangan surga yang menantimu.

Ya! Ketika masih di marcapada kau telah dengan teguh melawan diskriminasi politik, Nelson. Tetapi mudah bila disadari melakukan hal itu, karena terbuka. Lebih sulit melawan rasisme yang hadir diam-diam di dalam benak tanpa kita menyadarinya. Saya pikir bahwa kamu telah bisa membebaskan bangsamu dari kegelapan dan menjadi �Madiba� karena telah berhasil mencabut semua benih rasisme, baik sadar maupun tidak sadar, dari kedalaman hatimu. Maka kami kini perlu bimbinganmu! Kau tahu orang Perancis, Nelson! Sombong dan kerap tak konsisten. Pada ujung abad ke-18, ketika perbudakan masih merajalela, mereka memproklamasikan HAM yang pertama (1789) dan bahkan menerima sebagai warga negara penuh beberapa wakil rakyat dari Afrika. Luar biasa! Namun, baru Napoleon diangkat sebagai kaisar, dia mengesahkan kembali (1802) perbudakan.

Di luar Perancis lebih parah lagi: warna kulit dijadikan dasar diskriminasi hukum mutlak: di Amerika pra-1960-an, Nazi di Jerman, dan tentu saja Afrika Selatan. Nikah antar �ras� tak boleh, maka orang kawin sembunyi-sembunyi saja! Apakah lebih baik sekarang? Mungkin: ada Obama dan macam-macam LSM prokemanusiaan. Namun, di negeri HAM itu pun sendiri, seorang menteri keturunan hitam masih dapat dihujat sebagai �kera�, seperti terjadi baru-baru ini. Perjuangan tidak pernah selesai.

Kau pasti tahu tentang Indonesia, kan, Nelson? Pengaruh Zwarte Piet telah hadir di situ, tepat seperti di negerimu, dan orang Melayunya Capetown tak beda dengan yang ada di Indonesia. Apakah semua itu menjadikan penduduk negeri itu imun dari rasisme. Lebih rumit dari itu, Nelson! Tanyai orang China saja; tanyai sama Londo seperti saya yang kerap ditunjuk oleh orangtua untuk menakut-nakuti anaknya! Yang lucu, masalah itu�yang memang biasanya lunak�tidak pernah dibicarakan secara terbuka. Seakan-akan prasangka rasis dianggap bagian dari patologi sosial orang bule saja. Namun, ada beberapa hal yang aneh: pihak yang �jahat� di pewayangan selalu raksasa mengerikan yang berkulit hitam. Mirip �Zwarte Piet�, yaitu sama-sama mengusung prasangka yang terpatri dalam memori mitis rakyat. Apakah itu sebabnya wanita yang cantik selalu yang �putih�? Atau sebabnya orang hitam dari Indonesia Timur harus kerap berhadapan, antara lain, dengan guyonan yang �tak enak didengar� , bahkan oleh telinga siapa pun juga, tentang keanehan rambut, kulit, dan bagian tubuh lainnya? Saya tidak tahu. Meskipun begitu, di negeri tropis ini, sekat rasial tak sehebat sekat agama, yang kadang bahkan dipasang oleh menteri ini atau itu�siapa tahu�atas nama kemanusiaan yang berbeda.

Yang jelas, Nelson, bila kau masih asyik berdebat di tengah jalan kau ke surga, boleh saja kau minta Sinterklas yang putih agar kurangi sombong sedikit dan berkenan menjadi pembantu, serta minta Zwarte Piet untuk menuntut persamaan hak. Tetapi lebih-lebih saya mohon, Nelson, agar sesampainya di surga, kau minta kepada para dewata semua agama agar cepat-cepat mengirim orang luhurnya yang dapat membebaskan kami dari prasangka ras, bangsa, suku, kelas, dan terutama agama. Yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari. Kami tidak perlu lagi kebebasan, Nelson, tetapi persaudaraan. Tolong, Nelson, mintalah kepada para dewata. Selamat jalan dan salam kepada-Nya.

Sabtu, 14 Desember 2013

Makanan di Dalam Sampah Kita

Gabriel Andari Kristanto

MEMBICARAKAN makanan di dalam sampah seolah membicarakan sebuah ironi. Dengan mudah, kita melihat bahwa sementara sebagian di antara masyarakat kita masih dengan perjuangan berat berusaha memenuhi kebutuhan dasar akan  pangan agar tidak kelaparan, di sisi yang lain kita temukan konsumsi makanan yang berlebihan bahkan akhirnya terbuang dan menjadi sampah. Hasil penelitian penulis tahun 2012 di perumahan kecil, menengah, dan atas di Jakarta menunjukkan sekitar 50 persen di antara sampah yang dihasilkan penduduk Jakarta adalah sampah makanan, di antara 65 persen total sampah organik yang dihasilkan. Jika dihitung berdasarkan produksi sampah penduduk Jakarta yang lebih kurang 1 kilogram/orang/hari, jumlah sampah makanan per hari ialah sekitar 0,5 kilogram/orang.

Yang mengejutkan, makanan dalam sampah itu sebagian besar berupa makanan yang pada awalnya layak konsumsi, tetapi jumlahnya berlebih dan kemudian dibuang atau makanan yang kualitasnya baik, tetapi disimpan dan pada akhirnya dibuang karena tak dikonsumsi pada waktunya. Persentase makanan dalam sampah ini kian meningkat mendekati 70 persen di lokasi timbulan sampah lain, seperti apartemen kelas menengah dan atas serta kantin universitas di Jakarta.

Hasil penelitian 2013 bahkan menunjukkan, jumlah sampah makanan terbuang di kantin salah satu universitas besar di Jakarta mendekati 72 persen dari sampah yang ada. Sebuah angka luar biasa untuk negara seperti Indonesia dengan penduduk di bawah garis kemiskinan 11 persen. Sebagai pembanding, angka ini menyerupai jumlah yang dibuang mahasiswa di Universitas McGill Kanada yang 0,5 kg-0,7 kg/orang/hari (Morin, 2003).

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, sampah didefinisikan sebagai �barang atau benda yang tidak terpakai lagi atau juga berarti kotoran�, seperti kertas dan daun. Definisi lain yang disampaikan oleh Kamus Istilah Lingkungan juga memberikan arti yang tidak terlalu berbeda.

Bahkan United Nations Environment Programme (UNEP) mendefinisikan sampah sebagai suatu obyek yang tidak diinginkan, dibutuhkan, atau digunakan lagi oleh pemiliknya serta membutuhkan pengolahan dan pembuangan. Dari beberapa sumber tersebut, sangat jelas ditunjukkan bahwa secara umum sampah biasanya dianalogikan sebagai sesuatu yang sudah berkurang fungsi dan manfaatnya.

Ironi sampah makanan

Kosseva (2013) menyebutkan bahwa sampah makanan timbul karena sejumlah hal, dimulai dari saat panen, pemrosesan, penyimpanan, transportasi, dan pada tingkatan konsumen. Ia juga melaporkan bahwa secara global, memang terdapat kecenderungan peningkatan jumlah makanan yang menjadi sampah di banyak negara (terutama di negara maju). Sebagai gambaran, negara maju seperti Amerika Serikat menghasilkan sampah makanan lebih kurang 34 juta ton per tahun dan hanya 3 persen dari 34 juta sampah makanan ini yang dimanfaatkan kembali.

Bahkan ironisnya, makanan yang menjadi sampah di negara-negara maju 222 juta ton pada tahun 2012 adalah setara dengan total produksi makanan yang dihasilkan negara-negara di Sub-Sahara (230 juta ton). Ditinjau dari sisi teknis, data mengenai jumlah makanan di dalam sampah biasanya penting digunakan para ahli untuk menentukan proses lanjutan yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan sampah itu, seperti untuk makanan ternak dan pengomposan.

Sebuah pertanyaan besar muncul mengenai mengapa begitu banyak makanan dibuang oleh masyarakat Jakarta? Dengan kondisi ekonomi Indonesia yang secara umum masih relatif rendah, makanan yang terbuang jadi sampah persentasenya seharusnya kecil, bahkan mendekati nol. Namun, sejumlah penelitian menunjukkan gambaran tingginya komposisi makanan dalam sampah sebenarnya mencerminkan banyak hal, seperti pola konsumsi, tingkat ekonomi, dan juga perilaku masyarakat.

Di tengah kekhawatiran terkait ketahanan pangan bangsa yang amat rawan, banyaknya penduduk di bawah garis kemiskinan dengan gizi buruk di beberapa wilayah Indonesia, bahkan di sekitar Jakarta; besarnya jumlah makanan dalam sampah menceritakan sebuah ironi besar sebuah masyarakat. Untuk kondisi Jakarta, dalih bahwa makanan itu menjadi sampah pada proses produksi dan lain-lain tidaklah tepat karena sampel penelitian diambil pada tingkatan konsumen. Kuat dugaan yang terjadi sebenarnya penyediaan makanan yang berlebih melampaui kebutuhan sehingga makanan itu tak dikonsumsi pada waktunya dan terbuang begitu saja.

Rantai pemanfaatan makanan kemudian berlanjut ke kelompok masyarakat bawah yang terpaksa memenuhi kebutuhan akan makanan dari sumber lain, yaitu dari tong sampah kelompok masyarakat lain yang lebih beruntung. Kisah dalam kitab suci agama Katolik tentang Lazarus yang memunguti remah sisa sang bangsawan berulang kembali dalam rentang waktu ribuan tahun kemudian.

Besarnya jumlah makanan dalam sampah menjadi kenyataan yang semakin ironis ketika dikaitkan dengan beragam bentuk kebudayaan kita yang menempatkan makanan sebagai bagian yang suci dan harus dihormati. Bukankah agama apa pun mengajarkan kita berdoa sebelum makan sebagai tanda syukur dan penghormatan pada yang akan kita santap?

Paradigma 3R

Apakah persoalan banyaknya makanan dalam sampah kita tak dapat dihindari? Dalam pengelolaan persampahan dikenal paradigma reduce, reuse,  recycle  (3R). Reduce berarti sampah harus benar-benar dikurangi dari sumber pembentukannya, kemudian diikuti reuse dan recycle yang berarti memanfaatkan dan mendaur ulang kembali sampah yang sudah terbentuk.

Namun, dalam hal makanan dalam sampah, secara khusus yang harus dilakukan adalah mencegah sedapat mungkin terbuangnya makanan itu sendiri.

Tindakan ini tidak hanya secara etika dan budaya menempatkan makanan pada titik yang tepat, tetapi sesungguhnya juga  menghemat berbagai sumber daya alam lain, seperti air, energi, dan pupuk, yang digunakan selama proses produksi makanan tersebut. Dalam sisi pemanfaatan makanan, nilai luhur para pendahulu kita menjadi sangat penting untuk diterapkan dan diajarkan kembali seperti puasa dan pantang, jangan menyisakan makanan apa pun di piring, berhenti makan sebelum kenyang, mengambil secukupnya saja, dan rajin berbagi. Jadi, kita bisa berharap satu hari bahwa Dewi Sri tidak menangis karena kita meninggalkan sebutir nasi di piring seusai makan.

Gabriel Andari Kristanto, Program Studi Teknik Lingkungan, Departemen Teknik Sipil, Universitas Indonesia

Islam Pascanegara Bangsa

Zuly Qodir

Indonesia perlu merumuskan teologi yang dapat menegosiasikan antara Islam dan negara secara tepat dan bijaksana, bukan dikotomik sebagai sebuah negara bukan sekuler, melainkan bukan pula negara agama.
(Abdulahi Ahmed An Naim, 2009)

TAHUN 2013 hampir kita tinggalkan. Masa depan bangsa ini tak bisa dibiarkan dalam karut-marut karena persoalan keagamaan. Intoleransi dan kekerasan atas nama agama harus dicegah.

Salah satu umat yang diharapkan adalah umat Islam. Penganut Islam Indonesia yang mencapai 88,7 persen merupakan potensi yang sangat besar dalam peran yang dapat dilakukan, khususnya dalam perdamaian dan penyebaran Islam yang berkultur Indonesia, sebuah gagasan tentang Islam yang ramah, toleran, dan tak gampang marah sebagai Islam pascanegara-bangsa.

Itu sebabnya, Islam seperti kita pahami sudah seharusnya dihadirkan untuk umat manusia, bukan agama untuk Tuhan. Dalam banyak literatur dikemukakan bahwa Tuhan tidak perlu dibela, apalagi disodori dengan segala macam pembelaan yang tak jarang menohok umat Islam sendiri karena cara-cara dan perilaku yang mendistorsi, bertentangan dengan misi profetik agama-agama.

Islam harus dihadirkan untuk menjawab problem kemanusiaan yang riil. Problem kemanusiaan adalah musuh utama misi agama-agama. Islam jangan sampai dikonstruksikan sebagai agama �preman berjubah� yang sangat mengerikan dalam tindakan di masyarakat. Islam harus dihadirkan dengan santun, ramah, dan kasih sayang sebab Islam memang memiliki makna keselamatan dan keramahan, bukan konflik kekerasan.

Tatkala berhadapan dengan rezim yang zalim, otoriter, dan tak adil, para nabi menyebarkan ajaran tentang kesalehan sosial sekaligus kesalehan struktural. Nabi melawan kemungkaran dengan segala metode agar ketidakadilan lenyap di muka bumi. Otoritarianisme dilawan dengan toleransi dan tabayun (islah) mencari kebaikan dengan konsultasi, bukan menang sendiri. Dalam kisah, para nabi selalu bertentangan dengan penguasa yang zalim, otoriter, dan tidak adil.

Di situlah peran Islam Indonesia saat ini diharapkan dengan sangat nyata. Kehadiran Islam dengan misi profetik harus dihadirkan sebagai bagian dari perlawanan atas perilaku tidak manusiawi.  Kita berharap bahwa keislaman dapat menyapa mereka yang mustadafin, secara ekonomi, politik, kultur, dan ilmu pengetahuan sehingga keislaman kita sekurang-kurangnya akan menuju pada keislaman yang rahmatan lil alamin.

Kita harus yakin akan janji Tuhan bahwa yang akan menjadi pertimbangan umat beragama (termasuk umat Islam) adalah amal saleh yang kita kerjakan, sebagai amal yang akan menyelamatkan, termasuk amal jariah kita. Segala kejahatan akan menuntun kita sebagai umat beragama pada jurang kenistaan.

Apakah kita akan masuk surga dengan amal soleh yang kita kerjakan, itu adalah otoritas Tuhan atas pengadilan yang nanti dilakukan saat Hari Kebangkitan. Karena itu, doktrin fastabiqul khairat sejatinya mengajarkan kepada umat Islam hanya untuk berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan dalam kejahatan.

Berlomba-lomba dalam kebajikan tentu saja dengan cara yang bajik pula, santun, ramah dan tidak melakukan pengadilan atas pihak lain. Perilaku kebajikan akan terdistorsi ketika dikerjakan dengan cara-cara kejahatan.

Tidak dikotomis

Kita tahu bahwa di negeri ini orang menjalankan perintah Islam tidak ada larangan sekalipun negara ini tidak berdasarkan Islam. Tak perlu mendikotomikan secara tajam antara negara Islam dan negara sekuler sebab ini keliru dan tak perlu. Dalam kasus Islam Indonesia, Islam sesungguhnya tidak dipinggirkan dalam percaturan politik, ekonomi, atau budaya. Kita dapat saksikan betapa Islam mendapat ruang dalam politik (kebolehan partai Islam berdiri tak pernah ditolak/ dilarang oleh rezim politik) yang tidak berdasarkan Islam.

Demikian pula dengan percaturan ekonomi nasional, berdirinya usaha ekonomi perbankan bahkan telah secara resmi dengan nama bank syariah (Syariah Mandiri, Syariah BNI, Shar-E PT Pos Indonesia, dan tentu saja Bank Muamalat Indonesia). Kita juga mudah mendapatkan Islam Indonesia penuh dengan kultur keislaman, misalnya penyelenggaraan Festival Kesenian Islam, Musabaqah Tilawatil Quran, didirikannya Museum Al Quran, dan peringatan hari besar Islam, merupakan bukti bahwa kultur Islam telah mewarnai Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Konsep sekularisasi di Indonesia adalah gagasan perlunya pemisahan kelembagaan Islam dari negara dengan tetap mengatur peran politik Islam dalam negara sehingga umat Islam mampu memberikan sumbangan maksimal dalam percaturan politik, ekonomi, dan budaya dengan mengadopsi prinsip syariah, bukan formalisasi syariah untuk pembuatan kebijakan publik di Indonesia.

Mengikuti Abdullahi Ahmed An Naim, sebenarnya negara Islam bukanlah gagasan yang tepat untuk Indonesia sebab sering kali prinsip negara Islam hanyalah representasi elite politik, bukan representasi jemaah. Apalagi jelas bahwa di Indonesia tak dengan tegas ditolak prinsip etika Islam masuk dalam konstitusi dan bagian dari perimbangan serta pertimbangan dalam pengambilan kebijakan publik.

Karena itu, dengan tegas dapat dikatakan di Indonesia, untuk merespons perubahan besar karena globalisasi tidak dengan menghadirkan formalisasi syariah (negara Islam) sebagai alternatif, tetapi menghadirkan Islam dalam domain etika Islam yang universal (An Naim, 2007).

Apakah kita akan mengikuti saran An Naim dalam bernegara: melakukan negosiasi antara syariah dan negara, yakni antara doktrin, hukum Islam, dan prinsip negara modern yang dianut sistem demokrasi; ataukah kita umat Islam akan paksakan agar Indonesia berganti negara menjadi negara Islam dimulai dengan perda-perda syariah yang telah terjadi di beberapa provinsi di Indonesia? Mari kita renungkan kembali dengan cermat!

Yang lebih penting dilakukan agaknya merumuskan bagaimana teologi Islam untuk sebuah negara sekuler atau negara bukan berdasarkan agama tertentu sebab jika kita berkutat pada dogma teologi, kita tak akan mendapat secara jelas tentang posisi negara dalam Islam sebagai bentuk formalisasi. Kita harus berani merumuskan karakteristik Islam yang khas Indonesia sebagai Islam pascanegara-bangsa: toleran, ramah, bijak memperhatikan demokrasi di ruang publik.

Zuly Qodir, Sosiolog Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; Peneliti Senior Maarif Institute

Jumat, 13 Desember 2013

Figur Tanpa Pencitraan

M Subhan SD

NELSON Mandela membuat Afrika berduka. Dunia juga berduka. Hampir 100 tokoh dan pemimpin negara hadir saat tokoh Afrika Selatan itu dilepas ke peristirahatan terakhir. Bahkan, pemimpin negara yang bermusuhan pun, seperti Amerika Serikat dan Kuba, sejenak melupakan perbedaan politik mereka. Inilah warisan Mandela: mengajarkan dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, mengalahkan syahwat politik dan kekuasaan. Begitulah layaknya figur seorang pemimpin.

Namun, terkadang seorang pemimpin diukur dari kemampuan berbicara atau menuangkan ide-idenya. Kemampuan itu terkadang dianggap sebagai ciri-ciri hakiki demokrasi. Di Inggris, sejak abad ke-19, seorang pemimpin haruslah orator ulung. Perdana Menteri (PM) Inggris William Gladstone punya �sihir� kuat saat berpidato. Ia memimpin kabinet sampai empat kali, yaitu 1868-1874, 1880-1885, 1886 (Februari-Juli), dan 1892-1894.

Di Perancis, Georges Clemenceau menjadi PM dua periode, yakni pada 1906-1909 dan 1917-1920. Clemenceau yang berprofesi wartawan itu punya garis politik radikal. Filsuf dan sejarawan Thomas Carlyle (1795-1881) bilang, tidak seorang Inggris pun akan dapat menjadi seorang pemimpin sampai ia membuktikan dirinya mempunyai kemampuan berbicara.

Para politisi berkeyakinan kemahiran berpidato menjadi jimat untuk menapaki jenjang karier mereka. Sampai-sampai sekelompok mahasiswa sosialis di Ruskin College, Oxford, menggelar aksi mogok pada Maret 1909 sebagai bentuk protes terhadap kebijakan kampus. Dalam kurikulum, sosiologi dan ilmu logika dianggap lebih penting ketimbang berpidato. Padahal, sejak kuliah mereka sudah mengincar panggung politik. Terbayang Soekarno atau HOS Tjokroaminoto, sedikit contoh �singa podium� dari negeri ini. Pada masa revolusi, massa terbuai dengan kata-kata agitatif dan provokatif. Figur menjadi mesin perubahan politik.

Politik hari ini juga panggung �figur�. Politik menjadi etalase besar membangun pencitraan. Namun, kata-kata berapi-api dan bombastis mungkin bukan lagi zamannya ketika revolusi berakhir dan demokrasi tersemai. Rakyat akan terpikat dengan kata-kata politisi yang berbahasa baik, kata-kata yang berbunga-bunga, berintonasi sedemikian teratur, piawai mengontrol emosi, dan mungkin diselingi kelakar.

Ramai-ramai politisi mencitrakan diri sebagai figur baik, ideal, penyayang keluarga, humanis, populis, dan religius. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jika berbicara selalu terukur dan terkontrol. Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, dan Gita Wirjawan juga muncul di mana-mana. Pemimpin yang menjaga citra, banyak bergerilya di tataran wacana.

Sebaliknya, pemimpin yang bekerja di tengah-tengah rakyat tapi jauh dari pencitraan justru kurang diapresiasi. Demokrasi kita terlalu sesak pencitraan. Memang, kata Harold Lasswell (1902-1978), kemampuan seorang pemimpin politik adalah meyakinkan (persuasion) dan memanipulasi (manipulation). Tak heran, banyak politisi lebih senang memermak diri, ber-make up tebal, bertopeng. Soal isi pidatonya, siapa yang mau hirau. Perang gagasan tidak lagi tersemai konstruktif karena transaksional lebih �bermakna� dan �bergizi�. Maka, hasilnya politisi busuk dan korup yang sekarang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Padahal, suksesi tak lama lagi. Pemilu 2014 menjadi pertanda berakhirnya euforia reformasi jika setiap perubahan politik terpola dalam dua dekade. Tahun 2019 benar-benar menjadi babak baru bangsa ini. Maka, Pemilu 2014 semestinya menghasilkan pemimpin yang bisa membangun babak baru itu. Tak bisa dicegah ketika gaya pemimpin yang lebih orisinil justru menjadi magnet baru. Figur bergaya cuek menjadi antitesa bagi figur yang suka pencitraan.

Prabowo kerap dianggap antitesa dari kepemimpinan SBY. Prabowo dipersepsikan tegas dan keras, yang dipercaya pas untuk menjawab kondisi sekarang ketika banyak konflik komunal atau intoleransi. Dia juga dianggap bisa mengangkat bangsa di depan bangsa-bangsa lain, seperti dalam kasus-kasus sengketa dengan negara tetangga atau persoalan TKI.

Namun, Joko Widodo (Jokowi) menumbangkan semua analisis politik. Popularitas dan elektabilitas Jokowi selalu meroket, mengalahkan tokoh-tokoh nasional yang lama malang melintang di politik. Banyak kawan terperanjat, di setiap survei, mengapa Jokowi selalu teratas? Mungkin saja ia adalah �pesan sejarah� dan sintesa dari gaya pencitraan. Pencitraan dalam dirinya adalah prestasi kerja yang dilakukannya dalam senyap sejak menjadi wali kota di Solo.
Dia tak peduli pencitraan, tetap blusukan, dan ora mikir untuk bursa calon presiden.

Banyak tokoh berhasrat ingin jadi presiden. Ada Wiranto, Endriartono Sutarto, Marzuki Alie, Irman Gusman, Pramono Edhie Wibowo, Dahlan Iskan, Anies Baswedan, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, Rhoma Irama, Suryadharma Ali, mungkin Megawati. Namun, jangan lupakan tokoh daerah yang mungkin bisa dikader. Misalnya Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya yang memilih bekerja daripada berwacana untuk pencitraan.

Dalam suksesi 2014, peran parpol sangat strategis. Tetap memaksakan kader atau menemukan tokoh terbaik di luar parpol? Figur pencitraan sudah tamat. Tafsir baru figur adalah mereka yang bekerja walau dalam sepi. Kita tak ingin politik terus-menerus gelap, yang kata Peter Merkl (kelahiran 1932) hanya akan menjadi rebutan kuasa, takhta, dan harta demi kepentingan sendiri (a selfish grab for power, glory, and riches). Tak sulit bagi parpol mendengarkan suara rakyat mengenai figur pemimpin masa depan mereka. Parpol yang menutup telinga, mata, pikiran, dan hati, sesungguhnya mereka adalah pengkhianat rakyat.

M Subhan SD, Wartawan KOMPAS

Perjuangan Hak Penumpang Pesawat

Arista Atmadjati

AKHIR-akhir ini kita banyak mendengar penundaan (delay) penerbangan berkepanjangan, banyak di antaranya di atas empat jam, terutama di maskapai bertarif rendah. Namun, kalau dulu penumpang tidak mendapat kompensasi apa pun terhadap segala kerugiannya, sekarang sudah ada keputusan yang mengatur penggantian terhadap penundaan berkepanjangan, yaitu Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.

Saat ini, menurut Kementerian Perhubungan (2013), maskapai penerbangan yang paling tepat waktu adalah Garuda Indonesia (87,24 persen) diikuti Batik Air (83 persen), Tigerair Mandala (81,7 persen), Sriwijaya Air (80,34 persen), Wings Air (79,38 persen), Citilink (77,8 persen), Lion Air (75,8 persen), AirAsia Indonesia (74,78 persen), dan Merpati (70,46 persen).

Sayang, aturan baru ini belum banyak dipahami pengguna moda transportasi udara karena sosialisasi pemerintah memang sangat kurang.

Padahal, peraturan itu cukup komprehensif, termasuk mengatur kewajiban maskapai penerbangan untuk membayar ganti rugi kepada penumpang sebesar Rp 300.000 apabila pesawat terlambat empat jam atau lebih.

Pemberian kompensasi ini sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara yang mulai berlaku pada 1 Januari 2012.

Namun, praktiknya di lapangan ternyata jauh berbeda. Banyak operator maskapai penerbangan yang tidak menerapkan aturan ini, meski jadwal penerbangannya sering terlambat.

Padahal, sebenarnya kewajiban pemberian kompensasi penundaan setelah 4 jam adalah sangat ringan dan sangat toleran bagi para operator.
Kita memahami budaya ketepatan waktu (on time performance/OTP) dalam maskapai penerbangan kita memang hal baru mengingat geliat bisnis penerbangan di Indonesia baru bangun dalam satu dekade terakhir.

Masih tergagap

Wajar jika kesiapan manajemen operator penerbangan niaga di Indonesia masih tergagap-gagap merespons Permenhub No 77/2011.

Sebagian operator kita masih memiliki rekam jejak OTP di bawah standar Asosiasi transportasi Udara Internasional (IATA), yakni 85 persen.
Tak mengherankan jika para operator penerbangan dalam negeri alot menerima aturan kompensasi keterlambatan ini.

Salah satu contoh kasus adalah yang terjadi pada minggu kedua Mei 2012, dengan kasus pada suatu maskapai penerbangan jurusan Jakarta�Pontianak dan Surabaya�Jakarta.

Karena pesawat terlambat terbang berkepanjangan dan tidak jelas ada tidaknya kompensasi kepada penumpang, para penumpang pun berang dan �menyandera� manajer stasiun di kedua kota.

Mereka dibawa ke Pontianak dan Jakarta untuk menjamin pengeluaran uang penggantian secara kas di bandara tujuan.

Memang ada yang aneh dalam hal ini, para manajer mengeluh tidak mempunyai uang kas.

Bukankah di setiap bandara, apalagi kasus terjadi di bandara awal kota Jakarta (Soekarno-Hatta) dan Surabaya (Juanda), setiap maskapai penerbangan mempunyai gerai penjualan tiket yang semestinya menyimpan uang kas hasil penjualan tiket?

Jika hanya mengeluarkan Rp 50 juta untuk kompensasi, seharusnya bukanlah persoalan. Jadi masalahnya lebih pada sikap dan kemauan baik operator penerbangan kita untuk memenuhi Permenhub No 77 itu.

Kadang sikap tidak �rela� juga terwujud dalam berbagai trik.
Awalnya penggantian uang kompensasi keterlambatan juga diberikan dengan semacam voucer(makan) dengan kesahihan tertentu bukan uang.

Padahal, penundaan berkepanjangan selama 4 jam sering membuat penumpang menjadi boros karena harus makan dan minum di bandara yang harganya sangat tidak masuk akal.

Sebagai contoh, secangkir kopi hitam di kantin Bandara Soekarno-Hatta yang tidak memakai AC harganya Rp 35.000.

Apalagi jika ditambah makan nasi dengan kenyang. Wajar jika para penumpang pesawat menuntut penggantian uang kontan.

Inilah saatnya pemerintah sebagai regulator yang mengeluarkan Permenhub No 77/2011 bertindak tegas kepada operator nakal dengan mencatat kelakuan buruk mereka terhadap pelanggan/pengguna jasa penerbangan udara.

Jika mereka terus menelantarkan penumpang, bisa diberikan peringatan, sanksi, hingga pembekuan rute.

Arista Atmadjati, Dosen Aviation Prodi S-1 Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta

Sepotong Kisah Kemacetan

Suhartono Ronggodirdjo

Kejadiannya memang sudah awal November. Namun, gaungnya masih bisa dibahas sampai sekarang. Apalagi kalau bukan soal curahan hati Presiden SBY soal kemacetan. �Saya seperti tertusuk ketemu teman�teman perdana menteri yang sampai dua jam dari bandara ke Istana. Saya tidak enak ditanya solusi kemacetan. Yang harus jelaskan bukan saya, tapi gubernurnya,� begitu dikatakannya kepada para wartawan.

Pernyataan Presiden SBY, yang kelihatannya sederhana, menjadi tidak biasa karena suhu politik sedang hangat. Maklum, gubernur yang ditunjuk SBY itu sedang jadi ikon politik: dicintai media dan populer di mata rakyat.

Maka, pernyataan ini bisa mengandung dua arti. Pertama, Presiden memang sedih dan kaget begitu ditanya oleh �teman-temannya� karena, menurut Presiden, yang lebih tahu dan bertanggung jawab adalah Gubernur DKI. Kedua, Presiden sedang menyindir Gubernur DKI karena kondisi lalu lintas di DKI masih parah.

Menelisik pernyataan Presiden SBY tentang pertanyaan �teman-temannya� itu, kita tidak perlu memihak siapa pun.

Cukup memakai logika saja. Adalah sesuatu yang aneh dan di luar kebiasaan jika seorang tamu negara yang terhormat: perdana menteri, kepala pemerintahan yang sedang bertamu, menanyakan sisi negatif negara tuan rumah, apalagi mengeluhkan lama perjalanan.

Sopan santunnya, sang tamu terhormat tidak menyinggung hal yang �remeh-temeh� dalam tingkat pembicaraan antar-dua pemimpin negara, kecuali dimulai pihak tuan rumah.

Biasanya, mereka akan pura-pura tidak tahu kalau jalanan macet atau mengatakannya sebagai hal biasa di negara mana pun, termasuk di negara tamu yang bersangkutan. Cukup aneh pula jika tamu negara yang penting, dari bandara ke Istana tidak menggunakan voorijder, sampai harus memakan waktu dua jam.

Banyak masalah

Seperti gubernur-gubernur sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama, dari awal memang menghadapi banyak masalah yang sepertinya mustahil diatasi. Apalagi mereka baru setahun menjabat.

Kenyataannya, gubernur dan wakilnya ini justru sudah memetakan masalah di wilayah kerjanya sehingga bisa membuat konsep dan menyusun rencana kerja yang menyeluruh.

Mereka berusaha menerapkan manajemen yang benar secara benar. Kedua pejabat itu meski tegas tetap menjunjung tinggi kesantunan: tidak pernah menyebut siapa-siapa yang mempunyai andil atas kondisi DKI yang semrawut seperti sekarang. Bagi mereka, yang penting adalah bekerja menyelesaikan setiap masalah untuk kepentingan rakyat banyak, titik.

Mereka menyentuh kesejahteraan rakyat mulai dari Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar, dan mengefisiensikan pelayanan penduduk.

Masalah banjir ditangani mulai dari membersihkan gorong-gorong, penormalan sungai, serta pengembalian dan perbaikan fungsi dan kondisi waduk-waduk. Penduduk di kawasan waduk dipindahkan tanpa kericuhan.

Taman-taman terbuka hijau dibangun dan tempat hiburan murah untuk penduduk dikembangkan. Pasar Tanah Abang, yang menyebabkan kemacetan parah puluhan tahun, dibenahi dengan damai.

Kepadatan kendaraan diatasi dengan penambahan bus transjakarta, pembenahan angkutan umum lain, dan dimulainya pembangunan monorel. Di bidang birokrasi, aparat DKI yang tidak bekerja dengan baik diganti, jabatan dilelang, dan pengawasan difungsikan.

Tentu semua tidak berjalan mulus, pasti ada kekurangan dan belum berjalan sesuai rencana. Ada penduduk yang susah diatur dan terbiasa semaunya sendiri, ada pihak-pihak yang terusik pembenahan ini sehingga selalu mencela, mengecilkan, dan mencari-cari kesalahan gubernur dan wakilnya.

Membenahi DKI memang tidak mudah. Urusan banjir dari sungai-sungai dan kepadatan kendaraan di jalan tidak bisa diatasi DKI sendiri. Perlu kerja sama dengan kawasan sekelilingnya karena sungai-sungai berhulu di daerah lain dan kendaraan-kendaraan banyak yang datang dari luar perbatasan DKI.

Tanggung jawab pusat

Bagaimana bisa presiden tidak merasa bertanggung jawab atas kemacetan lalu lintas, sementara kebijakan pemerintahannya justru menambah kepadatan dengan mengizinkan mobil murah. Alasan-alasan para elite partai yang membela kebijakan mobil murah malah menjadi tertawaan. Kiranya lebih baik mereka diam saja daripada kelihatan �bodohnya�.

Jokowi menyadari bahwa wewenang pembentukan Otoritas Transportasi Jakarta untuk menyelaraskan arus lalu lintas wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi ada di tangan pemerintah pusat. Namun, pemerintah pusat belum siuman. Oleh karena itu, daripada sibuk mencela Jokowi dan wakilnya, lebih baik biarkan saja mereka bekerja menyelesaikan program-programnya.

Jika Jokowi berhasil, toh mereka juga menikmati hasilnya. Jika ternyata tidak becus, ya, tidak perlu dipilih kembali. Kalaupun mau dicalonkan jadi presiden, ya, tidak laku.

Mungkin kita lupa bahwa sebagian besar rakyat sekarang tidak bodoh. Mereka tahu apa seharusnya tugas pemerintah. Mereka tahu partai mana yang tidak bersih dan tidak benar-benar berjuang untuk rakyat. Mereka tahu, apa itu KPK, mencintai dan mendukung semua upayanya memberantas korupsi.

Rakyat juga tahu dan mengerti ada tokoh-tokoh partai yang sering bicara di televisi secara ngawur, seolah paling pandai. Tapi, ya, itulah demokrasi kita. Baru sebatas itu.

Suhartono Ronggodirdjo, Mantan Diplomat

Perencanaan Kota oleh Rakyat

Ivan Hadar

BLUSUKAN adalah salah satu ciri khas kepemimpinan yang dipopulerkan Jokowi dan kini mulai ditiru oleh beberapa kepala daerah. Blusukan membuat banyak yang senang, terutama rakyat jelata.

Namun, ada pula yang sinis. Staf Khusus Presiden Heru Lelono, misalnya, menyebut  blusukan  yang berasal dari bahasa Jawa itu cocoknya dipakai untuk menjelaskan seorang pengangguran.

Terlepas dari ada komentar bernada sinis semacam itu, Joko Widodo alias Jokowi hanya menjelaskan bahwa  blusukan  yang ia lakukan terkait dengan manajemen pemerintahan. Tujuannya dalam rangka mendengar masalah di masyarakat sekaligus menguasai medan. Menurut dia, dari  blusukan  itu lahirlah Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP), penanganan masalah di Waduk Pluit, serta rehabilitasi rusun Marunda bisa tertangani.

Setelah kebijakan ini diambil, demikian Jokowi,  blusukan  juga dilakukan sebagai manajemen pengawasan atau  controlling. Dengan begitu, pihaknya bisa mengecek jalannya kebijakan yang sudah diambil secara langsung di lapangan. Proses manajemen ala Jokowi memang diawali lewat  blusukan dan ia pun tidak mempermasalahkan jika dengan  blusukan  itu dirinya dianggap sebagai pengangguran.

Mayoritas warga yang bermukim di kawasan padat, kumuh, dan sering kali terlupakan itu dipastikan senang di-blusuki dan didengar curhatnya oleh orang nomor satu di kota dengan jumlah penduduk yang fantastik ini. Saat ini, di malam hari jumlah penduduk Jakarta ditaksir 11 juta-12 juta jiwa. Sementara pada siang hari, jumlah mereka yang beraktivitas di Jakarta melonjak menjadi 12-14 juta jiwa.

Lebih dari 55 tahun lalu, antropolog terkenal Claude Levy Strauss (1955) menulis bahwa Sao Paolo, Brasilia, �berkembang demikian cepatnya sehingga tak mungkin melakukan perencanaan atasnya�. Padahal, ketika itu pusat perekonomian Brasil ini baru berpenduduk 2,5 juta jiwa. Tak terbayangkan apa kesan mendiang Levi Strauss andai ia berkunjung ke Jakarta saat ini.

Status Jakarta sebagai ibu kota negara, sekaligus tempat kegiatan administratif dan bisnis, juga ditengarai mengakibatkan semua persoalan tumplek blek  di Jakarta. Pemutusan lingkaran setan permasalahan Jakarta tampaknya harus menjadi bagian dari prioritas perencanaan pembangunan pemerintah, termasuk pemerintah pusat untuk  lima tahun ke depan. Pelibatan warga dalam perencanaan adalah sebuah keharusan, termasuk dalam kemungkinan merevisi RTRW 2010-2030.

Shakespeare pernah memformulasikan sebuah kalimat pendek berisi pertanyaan sekaligus jawaban, �Apakah kota itu, kalau bukan penduduknya.� Masyarakat luas, terutama dari lapis sosial menengah-bawah yang menjadi mayoritas penduduk kota adalah mereka yang dalam kesehariannya menghidupkan kota. Namun, mereka ini dalam perencanaan kota sama sekali tidak dilibatkan dan dalam implementasi biasanya menjadi pihak yang selalu dirugikan.

Keterlibatan warga

Idealnya, penggalian dan pemecahan masalah perkotaan jangan lagi menjadi monopoli perancang kota dan penentu kebijakan semata. Cukup banyak bukti menunjukkan bahwa warga kota sering kali lebih mengetahui permasalahan sesungguhnya dan mampu mengeluarkan ide-ide kreatif asalkan mereka diajak berembuk tentang kotanya.

Beberapa praktik cerdas, termasuk dari mancanegara, patut dipertimbangkan. Dari Porto Alegre, Brasil, berupa sebuah model inovatif dan partisipatif, dalam bentuk Orcamento Participativo (OP) atau keterlibatan warga dalam perencanaan pendapatan dan belanja kota. Dalam kerangka OP, kota dibagi dalam sub-regions, di mana warga dalam forum-forum lokal dan regional berdiskusi tentang permasalahan kota serta mencarikan solusinya bersama dengan pemerintah dan legislatif.

Selain mendapat informasi tentang sistem baru, warga dibekali brosur 30 halaman tentang fungsi dan haknya sebagai warga kota. Konon, 85 persen warga Porto Alegre memahami OP dan sekitar 20.000 warga terlibat aktif dalam kepentingan dan melakukan konseling.

Dari ratusan delegasi forum, dipilih 40 orang sebagai perwakilan dan berhak meneliti penggunaan keuntungan pemerintah kota. Aneka usulan dari 21 forum kota dirangkum dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja yang diserahkan oleh gubernur terpilih kepada Dewan Kota. Dewan Kota bertindak sebagai satu-satunya instansi yang berhak memutuskan anggaran pendapatan dan belanja.

Sebagian besar dana itu diinvestasikan bagi kemaslahatan lapis sosial bawah, misalnya untuk kawasan kumuh. Alhasil, kini sebagian besar lapisan sosial ini telah terlayani infrastruktur kota. Sebutlah seperti ketersediaan air minum, kanalisasi, jalan, sistem pendidikan, pembuangan dan daur ulang sampah, perbaikan alat transportasi kota, serta pengadaan jaringan pembuangan air limbah.

Suksesnya �Model Porto Alegre� telah menjadi acuan ratusan Dewan Kota di Brasil dan beberapa negara Amerika Latin. Dalam kaitan ini, model demokrasi representatif-prosedural semakin kehilangan pamor dibandingkan dengan keterlibatan langsung warga kota lewat OP.

Blusukan model Jokowi, plus OP sesuai konteks Jakarta yang memiliki Dewan Kota, mungkin bisa menjadi terobosan dalam mengatasi timbunan masalah yang ada saat ini.

Ivan Hadar; Direktur Eksekutif Indonesian IDe (Institute for Democracy Education); Ketua Dewan Pengurus IGJ (Indonesia for Global Justice)