Kamis, 25 Oktober 2012

Berkorban Tak Sekadar Berkurban

A Mustofa Bisri

Akhirnya, setelah sekian lama mendambakan dan tak kunjung mempunyai anak, permohonan Nabi Ibrahim agar dianugerahi anak dikabulkan oleh Tuhannya.

Allah menganugerahinya seorang anak yang sabar. Ketika si anak sudah cukup dewasa untuk membantu ayahnya bekerja, tiba-tiba sang ayah memberitahukan bahwa ada isyarat Tuhan untuk menyembelih si anak. �Bagaimana pendapatmu?� kata sang ayah. Dengan tenang, si anak menjawab, �Ayahku, laksanakan saja apa yang diperintahkan kepada ayah. Insya Allah ayah akan mendapatkan anakmu ini tabah.�

Ketika bapak-anak itu bertekad bulat berserah diri sepenuhnya untuk melaksanakan perintah Allah dan Nabi Ibrahim telah merebahkan anak kesayangannya itu di atas pelipisnya, ketika itu pula keduanya membuktikan kepatuhan dan kebaktian mereka. Dan, Allah pun mengganti si anak dengan kurban sembelihan berupa kambing yang besar.

Meskipun ritual kurban (dengan �u�) konon sudah dilakukan sejak putra-putra Nabi Adam, Habil dan Qabil, peristiwa yang dituturkan dalam kitab suci Al Quran itulah yang jadi dasar persyaratan kurban setiap Idul Adha (Hari Raya Kurban).

Nabi Ibrahim rela mengorbankan putranya dan putranya ikhlas dijadikan kurban demi Tuhan mereka. Bagi Nabi Ibrahim dan putranya, Tuhan adalah nomor satu. Allah adalah segalanya. Siapa pun dan apa pun tidak ada artinya di hadapan-Nya. Demi dan untuk-Nya, apa pun ikhlas mereka korbankan; sampai pun anak atau nyawa sendiri.

Inti Berkurban

Jadi, inti makna kurban di Hari Raya Kurban memang berkorban. Namun, lihatlah, bahkan untuk sekadar mengorbankan hewan, banyak orang mampu yang masih �menawar-nawar� atau menitipkan kepentingan sendiri sebagai �kompensasi�.

Apakah mereka ini mengira bahwa kurban (daging ternak) itu benar yang �dituntut� Tuhan sebagai bukti kecintaan dan kebaktian? Tidak. Sama sekali bukan daging-daging dan darah-darah hewan itu yang mencapai Allah, melainkan ketakwaan. Pengorbanan. �Tidaklah darah dan daging hewan kurban itu sampai kepada Allah, tetapi ketakwaanmu yang sampai kepada-Nya� (Al Quran 22:37).

Pengorbanan tidak hanya menyembelih kurban. Pengorbanan adalah atau mestinya merupakan pantulan dari kecintaan dan kebaktian itu. Dari pengorbanan, bisa diukur seberapa dalam kecintaan dan seberapa agung kebaktian seseorang.

Kita bisa saja mengaku cinta atau mengabdi kepada pujaan kita. Kita bisa saja menyatakan hal yang mulia demi Tuhan, demi tanah air, demi rakyat, demi siapa atau apa pun yang kita cintai. Namun, tanpa kesediaan kita berkorban untuknya, pernyataan itu tidak ada artinya.

Bahkan, jika kita menawar-nawar di dalam pengorbanan kita, kata �demi�-�demi� itu hanyalah omong kosong belaka. Dalam pengorbanan, tak ada perhitungan untung-rugi atau tuntutan kompensasi apa pun. Dalam pengorbanan hanya ada ketulusan.

Hamba yang sungguh mencintai dan mengabdi kepada Allah, seperti Nabi Ibrahim dan putranya, akan siap dan rela berkorban apa pun, yang paling berharga atau yang remeh, termasuk ego dan kepentingan sendiri�bagi dan demi Tuhannya. Demi melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, hamba yang sungguh mencintai dan mengabdi Tuhannya siap dan rela mengalahkan egonya dan mengesampingkan kepentingan sendiri.

Apabila Tuhan, misalnya, melarang perbuatan merusak, hamba yang sungguh mencintai dan mengabdi Tuhannya akan menghindari perbuatan merusak meski bertentangan dengan kehendak-Nya. Dia, misalnya, tak akan melakukan perbuatan korupsi, tidak melakukan tindakan teror, tidak berurusan dengan narkoba, dan tindakan merusak lainnya, meski dirinya merasa berkepentingan untuk melakukan hal itu.

Pemimpin Berkorban

Warga negara yang sungguh mencintai dan mengabdi tanah airnya akan dengan sendirinya siap dan rela berkorban apa saja bagi dan demi tanah airnya, meski tidak pernah menyatakannya. Sebaliknya, mereka yang sering menyatakan cinta tanah air, tetapi tidak sudi mengorbankan sedikit waktu dan pikiran untuk kepentingan tanah airnya, jelas mereka pembohong besar.

Pemimpin yang selalu menyatakan diri sebagai abdi rakyat, tetapi tidak pernah rela berkorban meski sekadar waktu dan perhatian untuk rakyat, bahkan lebih sering mengorbankan rakyat, cepat atau lambat pasti akan ketahuan palsunya dan rakyat akan mencampakkannya.

Akhirnya, Idul Adha atau Hari Raya Kurban juga sering disebut Lebaran Haji. Pada saat itu memang kaum Muslimin yang mampu sedang melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci.

Satu-satunya ibadah dan rukun Islam yang di negeri ini ditangani secara �serius� oleh pemerintah. Ibadah ini pun memerlukan pengorbanan yang tidak kecil. Masih di Tanah Air, jemaah calon haji sudah harus mengorbankan waktu, harta, tenaga, pikiran, dan sering kali juga perasaan.

Dalam ritual haji, kaum Muslimin diingatkan dengan peragaan diri tentang kehambaan, kesetaraan, dan kefanaan manusia; bahkan tentang hari kemudian. Dengan demikian, jika itu semua dihayati, akan atau semestinya dapat mengubah sikap dan perilaku mereka. Konon salah satu tanda haji mabrur, yang pahalanya tiada lain: surga, ialah perubahan sikap perilaku.

Yang sebelum haji malas beribadah, misalnya, sesudahnya menjadi rajin. Sebelumnya sangar, sesudahnya santun. Sebelumnya korup, sesudahnya jujur. Demikian seterusnya. Bukan yang sebelum dan sesudah haji tetap saja sikap perilakunya atau malahan lebih buruk lagi.

Wallahu a'lam. Selamat Hari Raya Kurban, Selamat Lebaran Haji!

A Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang

Minggu, 21 Oktober 2012

Demokrasi di Persimpangan Jalan

Asrudin

Freedom House, lembaga riset dan advokasi di bidang demokrasi dan hak asasi manusia terkemuka di AS, pada 17 September 2012 memublikasikan hasil penelitiannya terkait pembangunan demokrasi di 35 negara, periode 1 April 2009-31 Desember 2011.

Hasil laporan penelitian itu diberi judul �Countries at the Crossroads 2012�. Bersama negara-negara ASEAN lain, seperti Vietnam, Malaysia, dan Kamboja, Freedom House memasukkan Indonesia dalam daftar negara-negara yang demokrasinya berada di persimpangan jalan.

Penilaian buruk terhadap demokrasi Indonesia ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Indeks Demokrasi Global dari Economist Intelligence Unit pada 2011, misalnya, juga menempatkan Indonesia sebagai negara yang cacat demokrasinya (flawed democracy).

Indonesia ditempatkan pada peringkat ke-60 dari 167 negara yang diteliti. Peringkat Indonesia masih jauh di bawah Timor Leste (42), Papua Niugini (59), Afrika Selatan (30), dan Thailand (57). Cacat ini ditandai, antara lain, oleh pemilu yang tidak bersih, pemerintahan yang korup dan ingkar janji-janji pemilu, serta keterancaman pluralisme (Latif, 2012).

Merujuk laporan Freedom House dan Indeks Demokrasi Global, patut kita bertanya: masih pantaskah negara ini berbangga dengan sebutan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan AS?
Indikator.

Pemerintah boleh saja membela diri dengan menolak hasil penelitian tersebut karena kesuksesan Indonesia dalam menjalankan pemilu legislatif dan pemilu presiden secara demokratis pada 1999, 2004, dan 2009. Bahkan, pemilu di tingkat kepala daerah pun sudah dipilih secara langsung oleh rakyat.

Pembelaan seperti itu tentu bisa dibenarkan. Namun, juga harus diingat, indikator maju atau tidaknya demokrasi tidak hanya diukur melalui sukses pemilu. Banyak indikator lain yang mesti diperhatikan.
Literatur ilmu politik kontemporer sendiri membagi demokrasi menjadi dua jenis, yaitu negara demokrasi mapan (NDM) dan negara yang sedang menuju demokrasi (NSMD). Ini untuk membedakan takaran maju atau tidaknya negara demokrasi (Snyder, 2000).

NDM adalah negara yang kebijakan pemerintahnya, baik di dalam maupun luar negeri, disusun oleh para pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum yang langsung-umum-bebas-rahasia (luber) dan jujur, adil (jurdil) serta dilakukan secara berkala. Tindakan-tindakan para pejabat dibatasi berbagai ketentuan konstitusional dan kewajiban terhadap kebebasan sipil.

Sementara itu, NSDM adalah negara yang belum sepenuhnya memenuhi prasayarat-prasyarat yang terdapat dalam kriteria NDM. Sebagai contoh, Republik Ceko dan Yugoslavia di awal 1990-an adalah jenis NSDM. Meskipun kedua negara ini telah melaksanakan pemilihan umum secara luber dan jurdil, kebebasan sipil dalam berpendapat masih dikekang.

Menurut Juan Linz dan Alfred Stepan (1996), sebuah negara dapat menjadi NDM adalah ketika telah dua kali melakukan pergantian kekuasaan untuk menandai telah terjadinya konsolidasi demokrasi. Demokrasi dipandang terkonsolidasi jika kekuasaan telah berpindah tangan sebanyak dua kali melalui proses pemilu yang luber dan jurdil.

Linz dan Stepan juga menjelaskan, demokrasi yang terkonsolidasi adalah ketika dia merupakan the only game in town. Itu berarti tidak ada lagi jalan bagi partai politik atau kelompok untuk berkuasa selain dengan memenangi pemilihan umum secara luber dan jurdil.

Jauh lebih luas dari pandangan Linz dan Stepan, organisasi Freedom House menjelaskan, jika ingin berubah menjadi NDM, negara itu harus memiliki kelembagaan dan hukum yang solid, politik yang bersifat kompetitif, pemilihan umum yang tetap, partisipasi publik yang luas, pembatasan kekuasaan eksekutif, kebebasan berbicara, dan penghormatan terhadap kebebasan sipil; termasuk di dalamnya adalah kebebasan bagi kaum minoritas.

Demokrasi Indonesia

Secara definitif, meski belum keseluruhan, Indonesia telah memenuhi prasyarat-prasyarat untuk disebut NDM. Sebutlah seperti pemilihan umum yang luber dan jurdil, partisipasi publik luas, kebebasan berbicara mulai tumbuh, media massa tak lagi terkekang, dan konsolidasi demokrasi secara damai telah berpindah tangan lebih dari dua kali. Jika mengacu pada hal itu, tentu wajar bila Indonesia dimasukan sebagai negara demokrasi mapan ketiga setelah India dan AS.

Meski begitu, Indonesia masih memiliki beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh demokrasi. Dalam kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, Indonesia dinilai gagal dalam memberi ruang kebebasan beragama bagi kaum minoritas. Sejak pemerintah menerbitkan surat keputusan bersama (SKB), 2008, tentang Ahmadiyah, kekerasan terhadap kaum Ahmadiyah semakin meningkat. Selain itu SKB juga telah membatasi kegiatan kaum Ahmadiyah di beberapa provinsi Indonesia.

Tak berhenti di situ, kekerasan atas nama agama kembali terjadi. Kali ini minoritas Syiah yang jadi korbannya. Umat Islam Syiah di kabupaten Sampang, Madura, beberapa waktu lalu mendapat perlakuan yang tidak manusiawi oleh kelompok yang menilai aliran mereka sesat. Akibatnya, dua pengikut Syiah di Sampang meninggal. Ini jelas pukulan telak bagi kita karena demokrasi Indonesia tak mampu melindungi kelompok minoritas dengan memberikan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Begitu pula kasus korupsi. Berdasarkan data Transparency International Ranking 2011, Indonesia masuk peringkat 100 indeks persepsi korupsi (IPK) dari 183 negara di seluruh dunia. Indonesia menempati skor IPK sebesar 3,0 pada 2011, naik 0,2 dibanding 2010 sebesar 2,8.

Lompatan skor itu bukanlah pencapaian besar karena Indonesia sebelumnya telah menargetkan mendapatkan skor 5,0 dalam IPK 2014. Hasil survei tersebut merupakan penggabungan hasil 17 survei yang dilakukan lembaga-lembaga internasional pada 2011. Rentang indeks didasarkan angka 0-10. Semakin kecil angka indeks menunjukkan potensi korupsi negara tersebut cukup besar. Itu artinya tidak ada perubahan yang signifikan dalam hal upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Data tersebut setidaknya menunjukkan keakuratan hasil penelitian Freedom House tentang menurunnya kualitas demokrasi Indonesia jika dilihat dari kategori hak warga negara (untuk kasus kebebasan beragama bagi minoritas) dan aturan hukum (untuk kasus korupsi).

Jika Indonesia ingin demokrasinya dinilai mapan, pemerintah disarankan bisa melindungi kelompok-kelompok agama minoritas dan pemerintah juga perlu didorong melakukan perbaikan secara menyeluruh pada institusi penegak hukum; dalam hal ini kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pengadilan. Selain itu, pemerintah juga harus berani menyelesaikan kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan politisi, mafia hukum, dan pejabat publik tingkat tinggi.

Apabila hal itu tidak juga dilakukan pemerintah, Indonesia layak dimasukkan Freedom House dalam daftar negara-negara yang sedang berada di persimpangan jalan.

Asrudin; Peneliti di Lingkaran Survei Indonesia Grup

Jumat, 19 Oktober 2012

Siapa Suruh Datang Jakarta

Acep Iwan Saidi

Akhir Februari 2012 Jokowi datang ke Jakarta dengan sebuah harapan. Bukan untuk menjadi gubernur, melainkan mengantarkan mobil Esemka mengikuti uji emisi. Dan, kita tahu, Jokowi tidak berhasil.

Terlalu naif jika mengatakan bahwa kegagalan uji emisi tersebutlah yang memotivasi Jokowi bekerja keras memenangi pencalonannya sebagai gubernur DKI. Namun, hal itu setidaknya menjadi salah satu penanda perkenalan Jokowi dengan Jakarta.

Jokowi sampai dinyatakan sebagai pemenang oleh �hitungan cepat�, selalu berkata, �Saya hanya melaksanakan tugas dari partai.� Tentu saja, barangsiapa mengikuti cara kepemimpinan Jokowi di Solo, segera akan maklum, jawaban tersebut adalah style, juga �karakter stereotip orang Jawa�. Pendek kata, jawaban itu adalah bagian dari �strategi politik berbasis tradisi Jawa�, yakni tidak boleh meletakkan ambisi pada bahasa.

Faktanya, Jokowi memang masuk ke Jakarta melalui pintu �metabahasa�. Ia mulai dengan baju kotak-kotak. Lepas dari siapa yang menggagas kostum politik tersebut, Jokowi-lah yang memakainya. Orang boleh menciptakan konotasi kotak-kotak sebagai �pengotak-kotakan� warga, tetapi �serangan semantik� ini lebih terasa bernuansa kampanye penghitaman (black compaign).

Dalam perspektif kebudayaan, dan ini lebih terasa ideologis, kotak-kotak adalah penanda keramaian sekaligus kekumuhan. Baju kotak-kotak adalah kostum lapangan, berbanding terbalik dengan safari (birokrat), jas (eksekutif), juga baju takwa (religius islam) yang putih dan bersih.

Dengan kostum demikian, untuk menjelaskan Jakarta yang karut-marut Jokowi tidak perlu membuat jargon �Jakarta Berkumis� yang justru jadi ironis ketika yang mengatakannya berpenampilan perlente. Jokowi mengabstraksi kekumuhan dan menawarkan solusinya dengan memasuki kekumuhan itu sendiri. Terbukti, �jargon ideologis� kostum kotak-kotak itu tidak bisa digusur oleh serangan negasi bahasa konotasi �pengotak-kotakan�. Merujuk Louis Althusser (1984), kostum kotak-kotak Jokowi telah berhasil menginterpelasi warga Jakarta. Ia memanggil massa untuk menjadikannya subyek sekaligus obyek.

Begitulah seharusnya politik yang ideologis bekerja. Namun, jangan disimpulkan Jokowi berhasil karena baju kotak-kotak yang baru diciptakan dan dipakainya semata. Ideologi tidak bisa dibuat dalam sekejap. Kostum kotak-kotak Jokowi hanya satu varian artikulasi dari strategi politiknya yang telah lama dibangun. Kita tahu, sejak jauh-jauh hari Jokowi telah menanamkan strategi demikian dalam kepemimpinannya di Solo. Dengan bahasa lokalnya, di Solo Jokowi mengembangkan konsep kepemimpinan ngewongke uwong (memanusiakan manusia).

Kota Tak Bertuan

Tentu saja Jakarta bukan Solo, bahkan juga bukan Betawi. Sebagai metropolitan, Jakarta adalah kota yang tak dipertuan, sekaligus juga tidak bertuan. Dalam kompleksitas kebudayaan urban, beranalogi pada Strinati (1995), warga Jakarta sesungguhnya �anonim� satu sama lain. Mereka umumnya tidak saling mengenal kecuali dalam relasi kepentingan yang lebih sering bersifat sesaat dan materialistik. Kedatangan penduduk, yang kemudian menetap menjadi warga Jakarta, adalah kedatangan dalam konteks kepentingan demikian. Jakarta bukan �ibu kandung� kebudayaan kebanyakan warganya.

Itu sebabnya, pada saat tertentu seperti Lebaran, Jakarta ditinggalkan. Sebagian besar warga Jakarta dipanggil oleh ibu kandung kebudayaannya yang tersebar di berbagai pelosok negeri. Dari sini kiranya bisa dikatakan bahwa penduduk Jakarta umumnya adalah �warga seolah-olah�: seolah-olah terikat, padahal tidak memiliki hubungan batin, baik terhadap sesama warga maupun, apalagi, terhadap tanah. Jakarta bukan �tanah pusaka�, bukan �tuan kebudayaan�.

Di sisi lain, orang Betawi yang secara kebudayaan memiliki ikatan batin dengan Jakarta, mau tidak mau, suka tidak suka, harus menerima kenyataan bahwa Betawi adalah sejarah. Kota Tua, yang tidak dirawat itu, menjadi semacam metafora tentang kebudayaan yang terdorong ke sudut sejarah. Ia bahkan dikategorikan sebagai entitas langka yang harus dilindungi (cagar budaya). Itu sebabnya isu kebetawian tidak bisa dijadikan alat untuk melegitimasi calon pemimpin Jakarta. Dalam konteks budaya, Jakarta adalah kota yang tidak memiliki tuan.

Masyarakat Mengambang

Lantas, bagaimana Jakarta harus dikelola? Konsep ngewongke uwong Jokowi di Solo kiranya tidak bisa serta-merta diterapkan di Jakarta. Jokowi boleh saja, misalnya, menggeser sedikit permukiman kumuh ke sebelah kiri, tetapi di bagian lain orang bisa mendesak ke kanan. Dengan kata lain, menjadi manusia di Jakarta tidak sama dengan menjadi manusia di Solo.

Masyarakat urban adalah sosok yang dapat berubah dengan cepat, berganti wujud sampai pada titik terekstrem. Media massa, terutama televisi, yang menciptakan budaya massa, yang terus-menerus mengelola pikiran massa sebagai bahan baku industrinya, adalah lembaga yang kerap menjadi acuan masyarakat urban. Dalam perspektif ini, warga Jakarta umumnya adalah masyarakat yang mengambang.

Namun, justru karena itu masyarakat demikian menjadi sangat merindukan panutan. Mereka, setidaknya, membutuhkan pemimpin yang menyejukkan, yang mampu memahami dirinya yang telah anonim itu. Jokowi, saya pikir, harus mampu menjadi �jantung bagi heterogenitas� masyarakat sedemikian.

Kita berharap Jokowi mampu menyelami situasi demikian. Ia sudah merasakan ditolak Jakarta dengan mobil Esemka-nya. Ia lantas membalikkan posisi menguasainya. Namun, ia tetap harus bertaki-taki. Jika tidak, sangat mungkin Jokowi akan menjadi korban mitos lagu lama: �siapa suruh datang Jakarta�.

Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB

Minggu, 14 Oktober 2012

Biarkan Kepala Negara Bicara

Radhar Panca Dahana

Ketika saya melaksanakan gagasan untuk mengoordinasi seniman dan budayawan dan pergi ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, seorang seniman bertanya secara retoris: �Apakah momennya masih tepat?� Pertanyaan itu tentu bertalian dengan pidato Presiden tentang penyelesaian kisruh antara KPK dan Polri pada Senin malam, 8 Oktober 2012, sehari sebelum 20-an seniman dan budayawan menyambangi KPK.

Bahkan ada budayawan yang menyatakan, �KPK sudah menang 2-0!� Artinya, buat apa kita menambah gol untuk pertempuran yang sudah dimenangi? Saya tidak merenung dengan pernyataan dan pertanyaan retoris itu. Saya segera menyatakan, persoalan mutakhir di seputar korupsi di negeri ini bukanlah soal kemenangan temporer, setelak apa pun, apalagi jika hanya ditujukan pada �pertempuran� antara dua lembaga yang memiliki wewenang penyidikan korupsi itu.

Persoalan juga bukan soal momen yang tepat atau tidak. Pemberantasan korupsi adalah momen yang tepat sepanjang tindak pelanggaran kemanusiaan atau kriminalitas luar biasa itu tetap terjadi, terlebih secara massif dan sebagian mengalami internalisasi dalam diri publik. Pemberantasan korupsi adalah upaya eternal, terus-menerus, sebagaimana kejahatan itu memang abadi sejak kebudayaan berdiri.

Karena itu, semua upaya pemberantasan korupsi, termasuk pelembagaannya dalam KPK, tidak lagi bisa bersifat ad hoc atau temporer. Perlawanan terhadap kedegilan manusia, yang memang integral dalam diri manusia, yang memang jadi sisi lain dari mata uang kebudayaan yang sama, haruslah permanen. Upaya ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kerja kebudayaan, yang pada intinya ingin mempertahankan keluhuran budi dan kebaikan dalam tindakan.

Maka, tidak ada argumentasi yang bisa menghalangi apabila kebudayaan harus terus bekerja melawan semua tindakan manusia yang coba mengikir, apalagi menghancurkan budi dan kebaikan itu. Mestinya, tak ada kekuatan atau kepentingan apa pun yang kita permisikan untuk menghalangi, memperlemah, apalagi menghancurkan kerja apa pun yang dilakukan KPK.

KPK telah menjadi sebuah kerja kebudayaan dari bangsa yang ingin tetap memelihara hati dan nuraninya, yang terus memperjuangkan sisi positif, konstruktif dan produktif dari kebudayaan melawan sisi lain yang menegasi atau memeranginya. Ini adalah pertarungan abadi kebudayaan, dan sesungguhnya pertarungan abadi manusia, hingga di tingkat pribadi: jihad akbar, manusia memerangi sisi buruk dari diri dirinya sendiri.

Itulah alasan mengapa seniman dan budayawan harus ikut bicara, memasang badan dan karya-karyanya mendukung KPK, sebagai satu simbol dari perang di atas. Tidak ada urusannya dengan Polri, kemenangan telak, bahkan tak ada hubungannya dengan pidato A dan retorika B, yang bisa jadi hanya ingin mengambil profit politik yang menjadi penumpang gelap dari penyelesaian kasus ini.

Bukan Presiden

Saya tidak ingin mengatakan pidato Presiden SBY Senin malam lalu ditumpangi secara gelap oleh kepentingan tertentu, atau jadi parfum yang menebarkan aroma harum bagi pencitraan (partai) politiknya. Bersama banyak kalangan saya juga memberikan apresiasi kesimpulan, keputusan dan tindakan yang akan dilakukan Presiden berkait dengan kasus �cicak-buaya� episode dua ini.

Apa yang paling saya apresiasi dari pidato itu adalah bagian yang menampilkan sosok SBY sebagai kepala negara, bukan sekadar sebagai kepala pemerintahan. Di bagian awal, seperti biasa, dengan retorikanya yang defensif, SBY dengan tekun dan�berusaha�meyakinkan bahwa ia dan kabinetnya �benar-benar bekerja, lho� dalam semua urusan, apalagi yang dianggap kritis oleh masyarakat. Sebuah cattenaccio yang tidak perlu untuk seorang yang akan aman dan selamat di periode akhir kekuasaannya.

Dalam bagian berikutnya, SBY tidak lagi memosisikan diri sebagai �presiden yang tidak bisa mengintervensi proses hukum�, tapi berdiri sebagai pemimpin negara atau bangsa yang meng-atas-i seluruh lembaga kebangsaan dan kenegaraan untuk mengatasi situasi yang bisa memancing krisis kehidupan berbangsa dan negara. Ia pun membuat �sabda� berkait Polri maupun KPK yang notabene�menurut presiden sendiri�tidaklah di dalam atau di bawah otoritas pemerintahannya. Itulah antara lain tugas dan fungsi kepala negara.

Persoalan ini perlu dieksplisitkan lantaran terjadi kekaburan dan kerancuan yang hampir imanen dalam diri kita, antara peran seorang presiden dan kepala negara dalam diri seseorang yang kita serahi dua tugas dan peran itu sekaligus. Presiden memang tak bisa mengintervensi kerja lembaga-lembaga negara independen, tapi kepala negara punya otoritas untuk menyentuh apa pun dan siapa pun ketika sebuah krisis memanggil segenap bangsa dan aparatus negara untuk meresponsnya.

Persoalannya, tak ada ketentuan tegas dalam undang-undang, bahkan konstitusi, yang mengatur kapan seseorang�dengan tugas-ganda itu�harus memainkan peran satu atau yang lainnya. Tumpang tindih ini mengakibatkan seorang pemimpin dapat saja sibuk tiada habisnya untuk memenuhi portofolio kabinet atau pribadinya, dan melalaikan tugasnya yang di-�atas�-itu.

Sistem yang Memasung

Peran seorang presiden dapat dilakukan oleh seorang politikus ulung plus manajer yang andal. Tapi peran seorang kepala negara tak bisa tidak harus dilakukan oleh seorang yang melampaui kualifikasi itu, untuk kemudian kita, seluruh bangsa, menobatkannya sebagai seorang negarawan: stateman bukan man of state.

Dalam dunia yang secara global menghadapi berbagai krisis akut, di bidang energi, keamanan, moneter, perdagangan, politik, hingga lingkungan dan kebudayaan ini, tentu saja dibutuhkan pemimpin yang memiliki visi jauh ke depan, kreatif dalam menyiasati keadaan, juga keteguhan atau keberanian dalam implementasi kebijakan.

Dengan kepercayaan dan dukungan dari hampir seperempat miliar penduduk negeri ini, pemimpin yang tidak memiliki kapasitas seperti itu lebih baik dikandangkan atau berlatih memimpin dulu dengan simulator, yang tidak murahan karena dikorupsi.

Persoalannya kemudian, apakah sistem politik dan mekanisme perekrutan atau kaderisasi pemimpin kita saat ini memungkinkan lahirnya pemimpin dengan kapasitas seperti di atas? Menyaksikan cara bagaimana para �calon� pemimpin kita saat ini bermunculan, lewat pencitraan kosong via media massa dan media sosial, lewat politik uang yang menggelikan sekaligus memalukan, lewat rekayasa karakter dari ambisi-ambisi personal yang over-estimate dalam refleksi-dirinya, rasanya kita bersama harus pesimistis.

Sistem dan mekanisme yang kita pilih sendiri ini ternyata hanya menjadi field�- nya Bourdieu yang mempertarungkan juragan-juragan modal dalam sebuah pertandingan semu di antara segelintir adipati di kerajaan elite negeri ini. Pertandingan semu, yang di baliknya terjadi �dagang sapi� sebagaimana jadi sejarah dan �tradisi� politik kita, memberi izin terjadinya konspirasi oligarkis para (adipati) elite politik kita, yang lewat regulasi�produk mereka sendiri�memasung secara dini potensi tumbuhnya pemimpin nasional sejati, bahkan dari tingkat bibit.

Situasi ini tentu memberikan ancaman bagi kita, bagi bangsa dan negara kita, dalam usaha mencapai cita-cita ideologis maupun praktisnya. Tak akan lahir pemimpin yang visioner, budayawan dan negarawan, tidak akan pernah kita dapatkan kepala negara yang bekerja bukan di momen tertentu saja, atau karena �tidak sengaja�. Tidak perlu seperempat miliar manusia, pantai terpanjang dunia, kepulauan terluas di atas bumi, atau kebudayaan mendapat respek sepanjang sejarah, bahkan negeri sekecil Singapura dan Timor Timur pun membutuhkan seorang negarawan.

Negarawan alias kepala negara inilah yang mampu bertindak dan mencegah kedegilan-kedegilan manusia yang diakibatkan sisi negatif dari manusia itu sendiri. Menjadi pembela dan pejuang kebudayaan�yang mengintegrasikan ambisi politik, ekonomi, hukum, hingga artistik�untuk mencapai keluhurannya tertinggi, meraih martabat puncaknya, meninggikan hingga optimum kemanusiaannya, dan akhirnya menjadi panglima bagi bangsanya guna memenangi masa depan.

Maka, biarkanlah (para kandidat) kepala negara saat ini bicara.

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Minggu, 07 Oktober 2012

Negeri Tawuran

Azyumardi Azra

Tawuran antara SMA Negeri 70 dan SMA Negeri 6 yang mengorbankan jiwa peserta didik, belum lama ini, hampir dipastikan hanyalah gejala dari penyakit akut yang terus dan bahkan kian diderita negeri ini. Lihatlah, sebelumnya seorang mahasiswa Universitas Muslim Indonesia Makassar juga tewas karena tawuran antarfakultas.

Pada saat yang sama, tawuran antarkampung dan antardesa juga terus terjadi di berbagai tempat dari waktu-waktu. Kejadian mengenaskan yang hampir selalu mengakibatkan hilangnya nyawa terjadi tidak hanya di desa-desa yang jauh dari jangkauan aparat keamanan, juga di perkotaan�seperti Jakarta�yang lengkap dengan personel Polri yang semestinya dapat bergerak cepat.

Sementara itu, berbagai �tawuran� dalam bentuk lain juga pada lapisan atas, misalnya adanya semacam �tawuran politik� antara kalangan Polri dan lingkungan DPR pada satu pihak dengan KPK pada pihak lain. Meski �tawuran� ini tidak melibatkan kekuatan fisik, pergumulan kekuatan jelas terlihat dalam ranah publik, yang menimbulkan kekacauan.

Kepengapan Pendidikan

Tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa, selain merupakan cerminan kesumpekan masyarakat, sekaligus mengindikasikan kepengapan dunia pendidikan kita. Memang berlebihan jika tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa dikatakan sebagai cerminan kegagalan pendidikan. Tetapi jelas, gejala tak sehat ini indikasi dari berbagai masalah serius yang dihadapi lingkungan sekolah dan kampus perguruan tinggi (PT) yang membuat dunia pendidikan kita secara keseluruhan menjadi sangat pengap.

Salah satu sumber kepengapan itu adalah lingkungan sekolah dan kampus yang tidak kondusif. Banyak sekolah dan kampus PT tidak memiliki fasilitas memadai, khususnya untuk olahraga, kesenian, dan berbagai medium penyaluran bakat lain. Padahal, fasilitas-fasilitas seperti ini sangat esensial tidak hanya untuk menyalurkan bakat dan minat, tetapi juga guna melepas energi berlebih dan gejolak emosional yang bisa terus meningkat dalam diri remaja dan anak muda.

Penyebab kepengapan lainnya adalah beban kurikulum sangat berat mulai dari tingkat SD, SMA, hingga PT. Setiap semester, para siswa dan mahasiswa harus mengambil 8-11 mata pelajaran/mata kuliah. Dengan beban berat seperti ini, sekolah dan PT tidak lagi menjadi lokus pembelajaran dan pembudayaan, tetapi tempat �penyiksaan� peserta didik. Tidak heran kalau mereka menjadi sumpek dan bete, yang kemudian mereka lampiaskan ke dalam berbagai bentuk penyimpangan, termasuk tawuran.

Karena itu, penyediaan fasilitas sekolah dan kampus yang lebih memadai dan kondusif untuk pemberadaban peserta didik merupakan kebutuhan sangat mendesak. Dana amat besar, minimal 20 persen dari anggaran belanja negara (pusat dan daerah), untuk pendidikan sudah saatnya dikelola secara lebih bertanggung jawab sehingga tidak ada lagi sekolah dan kampus yang reyot, yang dalam istilah Profesor Winarno Surakhmad seperti �kandang kambing�.

Pada saat yang sama, beban kurikulum yang menyiksa mestilah dikurangi. Mata pelajaran/mata kuliah yang menurut Profesor Malik Fadjar hanya �recehan� harus dikembalikan kepada rumpun ilmunya. Dengan cara itu, setiap semester, peserta didik dapat mengambil 4-5 mata pelajaran/mata kuliah dengan bobot SKS lebih besar. Melalui cara ini, peserta didik dapat memiliki ruang lebih besar bagi imajinasi dan kreativitas.

Tawuran Sosial-Politik

Citra Indonesia sebagai �negeri tawuran� agaknya menjadi sempurna ketika dari waktu ke waktu publik disuguhi berbagai tawuran sosial-politik. Ada tawuran sosial di antara kelompok keagamaan berbeda karena lenyapnya toleransi yang digantikan fanatisme mazhab dan aliran, yang masing-masing merasa paling benar sendiri. Tawuran semacam ini kian menjadi-jadi karena kegagalan aparat negara menegakkan hukum dan sikap partisannya kepada pihak tertentu yang bertikai.

Lalu, lihat pula tawuran politik yang sering terjadi seputar waktu pilkada. Pilkada DKI Jakarta yang aman dan damai belum lama ini merupakan pengecualian daripada gejala umum. Banyak pilkada lain di Tanah Air berujung pada tawuran, yang selain menimbulkan kerusakan fasilitas umum juga korban nyawa. Tawuran politik ini tidak lain adalah ekses dari fragmentasi dan kontestasi di antara para elite politik yang belum juga menunjukkan tanda penyelesaian.

Kini yang tidak kurang serunya adalah �tawuran� politik antara kalangan Polri dan DPR pada satu pihak dengan KPK pada pihak lain. �Tawuran� yang memang tidak melibatkan kekuatan fisik ini jelas merupakan buah dari perseteruan yang berlangsung lama di antara pihak-pihak yang �bertikai�. Pihak pertama merasa sangat terganggu dengan kiprah pihak kedua dalam membongkar kasus korupsi yang melibatkan �oknum� petinggi Polri dan kalangan anggota DPR. Kini tawuran ini mengambil �perang daya tahan� (war of attrition) yang meningkatkan ketidakpercayaan dan skeptisisme publik kepada kedua pihak pertama.

Revitalisasi Mediasi

Jika upaya penyelesaian tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa melibatkan terutama para praktisi pendidikan terkait dan orangtua, sebaliknya tawuran sosial-politik memerlukan mediasi lebih kompleks. Penyelesaian tidak bisa hanya diusahakan para pihak yang terlibat langsung dalam tawuran, tetapi juga harus melibatkan elite politik lokal dan pusat, civil society, dan kepemimpinan puncak negeri ini.

Sejauh ini, keterlibatan civil society dapat mengurangi peningkatan intensitas dan proliferasi tawuran sosial-politik. Indonesia diberkahi kekayaan civil society keagamaan dan NGO (LSM) advokasi, yang selalu siap merapatkan barisan untuk mencegah negeri ini terjerumus ke tubir kekacauan sosial-politik dan disintegrasi. Tetapi, sebagai kekuatan moral, mereka memiliki keterbatasan tertentu sehingga tidak selalu dapat efektif dalam penyelesaian tawuran sosial-politik.

Karena itu, mediasi harus dilakukan kepemimpinan puncak negara ini, Presiden SBY, yang memiliki berbagai wewenang untuk memaksakan berakhirnya tawuran sosial-politik. Oleh sebab itu, Presiden SBY semestinya tidak membiarkan berbagai bentuk tawuran terus berlanjut. Sebaliknya, memerintahkan aparat yang berada di bawah wewenangnya�seperti Inspektur Jenderal Djoko Susilo, petinggi Polri�untuk mematuhi ketentuan hukum. Berlanjutnya kebisuan, apologi, dan ketidaktegasan Presiden hanya akan membuat negeri ini terus terombang-ambing dalam berbagai bentuk tawuran.

Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah; Anggota Advisory Board, International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Stockholm
KOMPAS, 8 Oktober 2012

Jumat, 05 Oktober 2012

Ketoprak yang Tidak Lagi Lucu

Franz Magnis-Suseno

Menurut para ahli, jumlah orang �PKI� dan �terlibat� yang dibunuh pada Oktober 1965-Februari 1966 minimal setengah juta dan maksimal 3 juta orang. Angka terakhir disebut oleh Sarwo Edhie, Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat yang berperan menumpas PKI kala itu.

Kalaupun kita mengasumsikan angka korban terkecil (500.000 orang), pembunuhan itu masih termasuk empat pembantaian paling mengerikan yang pernah dilakukan umat manusia dalam bagian kedua abad ke-20.

Yang pertama adalah kematian 30 juta orang atau lebih di China akibat �kebijaksanaan� politik Mao Zedong. Kedua, pembunuhan 2 juta orang oleh rezim Pol Pot di Kamboja.
Ketiga, pembunuhan 800.000 orang Tutsi dalam aksi genosida di Rwanda.

Sempat muncul omongan pemerintah mau minta maaf. Namun, sekarang justru mereka yang dibunuh dan jutaan korban lain yang ditahan, disiksa, diperkosa, tanpa jelas apa kesalahannya, yang disuruh minta maaf lebih dahulu!

Peristiwa Kelam

Betul, saya sepakat bahwa komunisme adalah ideologi jahat dan PKI merupakan ancaman serius. Saya pun merasa lega ancaman PKI tidak ada lagi.

Dalam Peristiwa Madiun 1948 dikatakan bahwa para pemberontak yang dipimpin Muso membunuh sekitar 4.000 orang, banyak di antaranya ulama dan tokoh agama lokal. Bisa dimengerti bahwa ingatan terhadap peristiwa itu tidak padam.

Jelas juga, saya mengalami dan turut merasakan, pada 1965 suasana begitu serius. Ada semacam perasaan �kami atau mereka�. Dalam udara, bau akan terjadi perang Bharatayudha begitu kuat.

Semua itu menjadi latar belakang mengapa sesudah Gerakan 30 September bergerak, suatu pemecahan damai� yang didambakan Presiden Soekarno, jauh dari apa yang membara dalam masyarakat�sepertinya tidak mungkin.

Mari kita urutkan lagi. Peristiwa tahun 1948 korbannya 4.000 orang, kemudian antara 1948-1965 korban mati akibat keganasan PKI masih bisa dihitung dengan jari dua tangan, dan terakhir peristiwa 1965. Sepanjang 1965-1966 ada 500.000 orang dibunuh, hampir 2 juta orang ditangkap (angka yang pernah disebutkan Sudomo, Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Kopkamtib 1978-1988), dan ratusan ribu ditahan lebih dari 10 tahun tanpa pengadilan, sering dalam keadaan amat tidak manusiawi.

Ini belum termasuk 10 juta orang yang distigmatisasi, dihancurkan identitasnya sebagai warga negara, dihina, dipersetan. Dan, sekarang mereka yang harus minta maaf? Bagaimana itu?

Perlu diperhatikan, pembunuhan yang melibatkan masyarakat�biasanya ormas pemuda� terjadi tidak hanya di Jawa Timur, tetapi juga di Bali, Flores, Sumatera Utara, dan beberapa tempat lain. Artinya, pembunuhan itu bukan urusan satu golongan atau kelompok saja. Yang jelas, yang bertanggung jawab atas kejahatan itu adalah militer. Adalah tidak mungkin rakyat terlibat dalam pembunuhan tanpa mendapat petunjuk dan angin oleh militer.

Sekarang dikatakan bahwa pembunuhan dalam ukuran genosida itu perlu karena �kalau peristiwa itu tak terjadi, negara kita tak akan seperti sekarang�.

Memang, pernyataan itu ada benarnya. Tanpa Gerakan 30 September, Jenderal Soeharto tidak akan menjadi Presiden RI dan seluruh sistem Orde Baru tidak akan ada. Namun, mengatakan bahwa bangsa Indonesia hanya bisa selamat setelah membunuhi ratusan ribu warga dan mencelakakan puluhan juta lainnya, sungguh keterlaluan. Saya jadi ngeri. Siapa lagi yang lantas perlu dibunuh agar bangsa ini bisa lebih maju lagi?

Omong Kosong Besar

Tentu saja ada nonsense, omong kosong, besar dalam ucapan itu. Nonsense yang mudah dimengerti alasannya. Nonsense itu seenaknya mencampurkan tiga tahap pasca-G30S. Pertama, penumpasan pasukan yang terlibat dalam penculikan dan pembunuhan di Jakarta dan Yogyakarta pada 1 Oktober 1965.

Kedua, pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang PKI yang baru mulai tiga minggu kemudian di Jawa Tengah sesudah Sarwo Edhie Wibowo sampai dengan pasukan RPKAD-nya.

Tahap ketiga dimulai sesudah Soeharto pada 11 Maret mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno. Terjadilah penangkapan, penahanan, dan penghancuran basis kehidupan lewat stigmatisasi sebagai pengkhianat bangsa dan penghinaan besar-besaran (ingat fitnah kotor terhadap Gerwani) yang sepenuhnya terjadi pada era Soeharto.

Yang betul adalah bahwa andai kata sesudah 1 Oktober 1965 PKI oleh militer dinyatakan dibekukan, lalu semua kantor PKI ditutup/diduduki (sebagaimana memang terjadi), dan organisasi-organisasi yang dianggap berafiliasi dengan PKI dilarang, selesailah ancaman komunis. Tak perlu seorang pun dibunuh (kecuali yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 pantas dihukum sesuai peran mereka).

Dengan mencampurkan tiga tahap di atas, seakan-akan kejahatan tahap kedua dan ketiga bisa ditutup-tutupi. Maka, yang kita saksikan sekarang bak ketoprak di pasar malam, tetapi tidak ada lucunya. Sungguh ini zaman edan, zaman kalabendu, di mana para korban disuruh minta maaf hanya karena ingin sedikit keadilan.

Tuhan ampunilah kita semua.

Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Emeritus STF Driyarkara

Kamis, 04 Oktober 2012

Negara tanpa "Recht"

Mochtar Pabottingi

Apa yang kita sebut krisis multidimensi sebetulnya bersimpul satu, yaitu tiadanya Rechtsstaat. Kata recht di sini menghimpun semua kebajikan atau moralitas publik: benar, adil, beradab, patut, sah, dan berharkat. Para pemikir politik mulai dari Aristoteles, Rousseau-Kant-Hegel, hingga ke John Rawls, Ian Shapiro, dan Michael Sandel selalu menekankan moralitas ini.

Sejak pengujung abad ke-18, moralitas publik bertumpu pada kolektivitas politik egaliter bernama bangsa atau nasion yang lahir dari solidaritas kesejarahan dan kesatuan cita-cita besar politik. Serempak, moralitas publik juga lahir dari tuntutan peradaban akan niscayanya menghormati harkat setiap individu warga nasion. Perpaduan antara rasa bernasion dan penekanan pada harkat tiap warga nasion inilah yang melahirkan negara dengan sistem demokrasi. Aktualisasi sistemik dari moralitas publik ini kemudian juga dikukuhkan di atas prinsip transparansi dan akuntabilitas, begitu pula prinsip pemisahan kekuasaan dan kesetaraan di depan hukum. Sejak pengujung abad ke-18 itu, negara-negara nasion pelopor demokrasi modern di Amerika dan Eropa Barat kurang lebih berkiprah, bertumbuh maju, dan bersinar dengannya.

Baik moralitas publik maupun negara hukum sama sekali bukanlah milik eksklusif peradaban Barat. Jepang sedari awal peradabannya dan terlepas dari sejumlah kekurangannya adalah contoh cemerlang dari tangguhnya akar serta kiprah moralitas publik menurut kaidah-kaidah kulturalnya sendiri. Di zaman kita, pancaran sinar moralitas publik di Jepang mungkin adalah yang paling cemerlang di dunia.

Di Nusantara, prinsip �raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah� adalah bagian sentral dari moralitas yang sama�sebab �raja� adalah otoritas pertama dan utama dari semua urusan publik. Merujuk pada kesaksian Profesor Mattulada dan Profesor Anthony Reid, berabad sebelum kuku-kuku kolonial mencengkeram Sulawesi Selatan pada awal abad ke-20, pangngadereng dalam kultur politik Bugis jelas merupakan bangunan moralitas publik dan sekaligus bangunan hukum yang sangat berwibawa.

Rechtsstaat lazim diterjemahkan sebagai negara konstitusional atau negara hukum. Ia representasi dari bersatu dan bersenyawanya politik dan hukum. Di sini politik dan hukum adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Persenyawaan ini niscaya lantaran konstitusi yang merupakan pedoman dan/atau rangkaian patokan politik tertinggi negara sekaligus menjadi hukum tertinggi. Ia menjadi tiang pancang sebab tujuan utamanya memang tak lain dari pemihakan dan penjunjungan nyata pada upaya bersama menuju kesejahteraan, kemajuan, dan kebahagiaan sebangsa.

Lazimnya, entitas ataupun ideal-ideal Rechtsstaat merupakan kepanjangan dari ideal-ideal nasion dan demokrasi. Dan konstitusi, prasyarat utama Rechtsstaat, adalah cetak biru nasion dan demokrasi sekaligus. Konstitusi adalah maklumat nasion, bukan maklumat negara. Itulah sebabnya maka JS Mill menekankan bahwa konstitusi haruslah disusun oleh the best minds of the nation.

Nasion tegak di atas prinsip-prinsip solidaritas, inklusivisme, keadaban, kesalingpercayaan, dan pluralitas. Demokrasi bertumpu pada prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan, kebebasan, rasionalitas politik, dan supremasi hukum. Kuatnya kohesi, afinitas, bahkan ketumpangtindihan antara prinsip-prinsip nasion dan prinsip-prinsip demokrasi membuat nasion dan demokrasi dengan sendirinya terjalin ke dalam suatu hubungan simbiosis-konstruktif. Begitulah, maka tiap demokrasi sehat bertujuan untuk memelihara berlakunya kesepuluh prinsip di atas agar semua warga negara bisa terus melangkah maju guna mewujudkan ideal-ideal kemerdekaan dan peradabannya. Dengan konstitusi, nasion mengontrol dan mengarahkan negara ataupun masyarakat.

Janji yang Diingkari

Pada zaman kita sulit membayangkan konstitusi atau Rechtsstaat di luar konteks nasion dan demokrasi. Toh kerap dilupakan bahwa baik negara (Staat) maupun hukum (Recht) sama-sama berinduk pada dan merupakan derivat nasion dalam paradigma demokrasi.

Sejatinya, kedaulatan negara hanyalah pinjaman dari kedaulatan nasion. Bisa dikatakan bahwa negara melangkah maju atau terpuruk mundur secara berbanding lurus dengan pasang-surut penyantunan serempaknya atas nasion dan demokrasi.

Atas dasar nalar ini, suatu negara berhenti menjadi Rechtsstaat manakala para pelaksana negara dan/atau aparat hukum tak lagi mengindahkan nasion dalam paradigma demokrasi. Tanpa berpatokan pada nasion dalam konteks itu, bukan hanya yang Recht akan lenyap, melainkan Staat sendiri pun akan kehilangan induk dan tujuan dasarnya.

Tanpa induk dan tujuan dasar, negara akan menjadi liar dan seketika menjadi mangsa para perakus kuasa dan harta di dalam pemerintahan. Ia juga menjadi mangsa para pemodal besar nasional ataupun internasional yang semata-mata didikte oleh hasrat menggaruk untung sebesar-besarnya tanpa memedulikan akibat-akibat buruknya pada negara, masyarakat, dan negeri di mana mereka berkiprah.

Ketika para pelaksana negara mencampakkan nasion induknya, ketika itu pulalah negara konstitusional batal. Di situ negara kehilangan pijakan untuk memihak dan menjunjung ideal-ideal berbangsa. Begitu konstitusionalitas lenyap, kinerja politik dan hukum pun ikut meliar. Keterpaduan antara keduanya sirna. Sebab, di bawah negara tak berinduk dan nihil moralitas, baik praktik politik maupun praktik hukum tak lagi bertumpu pada Recht.

Dari sini tinggal dua opsi yang menunggu negara: Machtstaat atau hukum rimba!
Rapor atau kinerja seluruh rezim dan/atau pemerintahan di Tanah Air sejak Proklamasi Kemerdekaan bisa diukur dan dijelaskan dari penalaran dan patokan-patokan

Rechtsstaat di atas, termasuk rezim Orde Reformasi yang kemurnian cita-citanya telah dipelintir sedari awal. Dari sini kita mengetahui bahwa satu-satunya rezim yang menegakkan Rechtsstaat hanyalah apa yang disebut Herb Feith, Demokrasi Konstitusional. Itu berlangsung hanya sekitar delapan tahun. Rechtsstaat mulai dikhianati sejak Demokrasi Terpimpin.

Kita juga tahu bahwa pengkhianatan terbesar atas Rechtsstaat berlaku pada Orde Baru dan Orde Reformasi. Tsunami nasional dari ketiadaan hukum bermula di bidang politik pada 1965 saat negara kita menjelma Machtstaat. Hingga akhir Orde Baru, gelombang besarnya yang berulang berkali-kali juga melanda bidang ekonomi. Lalu tsunami itu pecah lagi secara jauh lebih luas di awal Orde Reformasi. Ini menggerogoti sendi-sendi politik, hukum, dan ekonomi secara sama masifnya. Sebab, dipelintir sedari awal hingga kini, Orde Reformasi benar-benar mendekati situasi hukum rimba�total lawlessness�terlepas dari pernak-pernik perubahan sistem pemerintahan di permukaan.

Kesalahan terbesar selanjutnya adalah dijadikannya gerilya diktum impunitas sebagai patokan Orde Reformasi hingga kini. Dalam konteks inilah Munir�pahlawan nasional sejati pembela rakyat kecil�dibantai begitu biadab. Di sini kesalahan terbesar Presiden SBY adalah penolakan umumnya untuk melakukan terobosan-terobosan eksekutif di tengah realitas negara dalam keadaan semidarurat. Padanya hingga kini tak kita temukan gut kepemimpinan. Lakunya ingkar janji dan sama sekali tidak presidensial di tengah-tengah kerinduan nasional untuk mengakhiri kondisi lawlessness dan kegilaan korupsi.

Itikad Baik Pemimpin

Di sini pulalah kita mempertanyakan itikad baik pimpinan dan para anggota DPR yang secara licik berusaha melemahkan KPK lewat revisi undang-undang dengan alasan konyol. Mereka mencampakkan kenyataan betapa parahnya kanker korupsi di Tanah Air dan betapa ia tiada hentinya dilemahkan dari atas dengan pelbagai muslihat selama ini. Ibarat para psikopat, orang-orang yang mengaku terhormat di DPR buru-buru mengusung dalih kembali ke sistem hukum normal sementara negara kita masih tetap kental diharu biru oleh korupsi sebagai extraordinary crime dari para extraordinary bastards!

Sikap yang sama juga kita tujukan kepada jajaran pimpinan kepolisian. Bagaimanakah mereka bisa memelihara wibawa aparat penegak hukum jika mereka sendiri pun menempatkan diri di atas hukum lewat tindakan duplikasi penyidikan yang siapa pun tahu bersifat pengecut? Ke manakah ditaruh butir ketiga misi Polri untuk �menegakkan hukum secara profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia menuju pada adanya kepastian hukum dan rasa keadilan�? Di sini perilaku kalangan DPR dan saudara-saudara kita di kepolisian tak ubahnya dengan pepatah: �Tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempiskan!�

Dalam kaitan ini, apresiasi tulus mesti kita berikan kepada pimpinan Mahkamah Konstitusi ketika menegaskan bahwa upaya pelemahan KPK lewat revisi undang-undang sama sekali tak bisa dibenarkan. Sama halnya, kita pun sungguh merasa terwakili oleh suara resi KH Said Aqil Siroj, pemimpin Nahdatul Ulama, yang baru-baru ini memberikan peringatan kepada instansi perpajakan serta mencanangkan imbauan �hukuman mati� bagi para koruptor kakap di Tanah Air. Pada peringatan dan imbauan itu tebersitlah kerinduan kita bersama bagi kebangkitan harkat bangsa dalam rangka mewujudkan ideal-ideal kemerdekaan kita.

Kita mensyukuri integritas, kompetensi, keberanian, dan keterpaduan jajaran pimpinan KPK. Bisa dikatakan bahwa KPK dibentuk untuk mengakhiri praktik diktum impunitas pada Orde Reformasi. Para pemimpinnya sedang berjuang keras untuk menegakkan Rechtsstaat pada titik sentral.

Semua komponen masyarakat beradab di Tanah Air wajib bahu-membahu mendukung tugas suci KPK untuk memberantas para penggila korupsi sistemik di tubuh negara kita hingga ke akar-akarnya. Di negara mana pun, wabah korupsi adalah maha-kutukan!

Sangatlah mendesak bahwa seluruh energi nasional haruslah pertama-tama dikerahkan pada pemberantasan kejahatan luar biasa ini. Untuk itu, kita kembali harus menegaskan eksistensi nasion serta kemutlakannya sebagai induk dan junjungan negara.

Kita tahu bahwa hampir semua pelanggaran Rechts atau penyalahgunaan kekuasaan yang menciptakan krisis multidimensi bermuara pada korupsi. Maka, pemberantasan korupsi merupakan cara paling efektif bukan hanya untuk mengakhiri krisis multidimensi itu, melainkan juga untuk menegakkan negara hukum�Rechtsstaat�dalam arti kata yang sesungguhnya. Tanpa negara hukum, nasion takkan bermartabat. Dalam konteks kehalusan tutur kata pada kultur Jawa, peringatan dan imbauan para pemimpin NU sesungguhnya laik dibaca sebagai seruan teramat keras kepada kawanan extraordinary bastards intranegara yang terus bersekongkol menggarong dana Republik kita: �Kami sudah lama jijik pada kalian! Enough is enough!�. Dan secara tegas, kita semua beserta mereka.

Mochtar Pabottingi; Profesor Riset LIPI