Sabtu, 28 Januari 2012

Bravo� KPK!

Budiarto Shambazy

Bravo untuk KPK yang mengawali debut pemberantasan korupsi high profile dengan menetapkan MSG sebagai tersangka skandal cek perjalanan. Ini momentum baru yang idealnya diikuti penetapan tersangka-tersangka korupsi lain, terutama korupsi wisma atlet dan Hambalang.

Salut untuk MSG yang menurut pengakuannya sendiri telah memperlihatkan kerja sama yang membantu tugas pengusutan sejak ia berstatus sebagai saksi pada 2008. Tercatat cuma dua kali MSG tak tepat waktu menghadiri persidangan dan itu pun karena masalah jadwal semata.

Perilaku MSG yang bersikap kooperatif selama proses persidangan kontras dengan yang ditunjukkan mereka yang menjalani pemeriksaan. Hal-hal kecil tetapi penting ini yang menimbulkan rasa gerah dan marah masyarakat seolah orang-orang kuat bisa above the law.

Semoga saja perilaku MSG menjadi pintu masuk KPK agar tidak bersikap diskriminatif dalam memperlakukan calon-calon tersangka baru. Keraguan masyarakat terhadap tekad pimpinan KPK�terutama Ketua KPK Abraham Samad�untuk sementara agak sirna.

Dalam obrolan beberapa pekan lalu dengan Ketua KPK, ada kesan sikap serius seorang pengacara muda yang masih mempunyai idealisme tinggi untuk membasmi korupsi. Dan, semestinya masyarakat lebih aktif dan konkret lagi memperlihatkan dukungan moral dan materiil kepada Ketua KPK.

Memang prinsip kepemimpinan KPK primus inter pares yang mengedepankan kolegialisme. Akan tetapi, peranan dan tanggung jawab Ketua KPK jauh lebih besar daripada empat Wakil Ketua KPK karena berjalan paling depan sekaligus menggembala dari belakang.

Kurang etis jika keempat Wakil Ketua KPK bersembunyi di balik punggung Ketua KPK. Apa pun agenda dan siasat pimpinan KPK cepat atau lambat pasti akan diketahui publik.

Tentunya harus diakui pula masih ada saja berbagai hambatan politis dan psikologis karena sosok, tugas, dan tanggung jawab Ketua KPK ibaratnya �melebihi kemampuan manusia biasa�. Di lain pihak ada ganjaran moral, sosial, dan politik yang bisa dipetik Ketua KPK pada masa mendatang.

Tak mustahil Ketua KPK ditinggalkan teman-teman, ketambahan musuh, dan kehilangan waktu untuk keluarga. Namun, seperti kata pemberantas kejahatan mafia di Amerika Serikat, Eliot Ness, �Never stop fighting till the fight is done.�

Setiap langkah pimpinan KPK terus disorot masyarakat yang semakin gundah dengan korupsi yang semakin merajalela. Tak ada manfaatnya bagi pimpinan KPK berjalan sendiri-sendiri sehingga melahirkan kesan terjadinya perpecahan internal di antara kelima ketua/wakil ketua.

Tidak boleh ada kesan, misalnya, penetapan setiap tersangka didasarkan pada skor 4-1 atau 3-2 untuk kemenangan tersangka koruptor. Sudah seharusnya skor telak selalu 5-0 untuk kemenangan pembasmian korupsi!

Tuntutan pemberantasan korupsi setuntas-tuntasnya kini telah menjadi public domain yang dilampiaskan lewat obrolan pribadi, media sosial, ataupun acara-acara interaktif lewat mainstream media. Sementara tingkat kepercayaan terhadap aparat penegak hukum terus melorot.

Semua orang yang punya hati merasa berhak tahu dari pemberitaan setiap hari siapa-siapa saja yang menilap uang rakyat.

Publik sudah merebut opini, prakarsa, dan kendali pemberantasan korupsi dari tangan aparat hukum. Sebagian besar publik telah lama menilai skeptis dengan janji-janji pembasmian korupsi yang diucapkan pemimpin, pejabat, dan politisi.

Rasa skeptis itu malah sudah berubah dengan kemarahan yang dilampiaskan sebagian kalangan di sejumlah daerah. Tidak heran belakangan ini setiap potensi konflik mudah terpicu menjadi amok yang merugikan semua pihak.

Bisa dipahami ada rasa galau di kalangan elite yang memerintah (the ruling elite). Akan tetapi, tak semua pemimpin, pejabat, birokrat, dan politisi melakukan korupsi karena masih lebih banyak lagi warga yang jujur di negeri ini.

Citra sebagian besar warga jujur itu dirusak oleh setitik nila. Dan, itulah yang kita saksikan setiap hari di televisi dan koran: toilet, kursi, sampai gorden DPR pun dikorupsi!

Kita makin getol membangkang terhadap korupsi. Pembangkangan itu bukan monopoli negeri ini saja, melainkan juga terjadi di mancanegara yang demokratis dan yang represif.

Pesan sentral kita, pembangkang korupsi sosial cuma satu dan konsisten: para pemimpin gagal memberikan kita rasa keadilan. Ketidakadilan sumber keresahan, keresahan berubah menjadi pembangkangan.

Pembangkangan berbahaya kalau jadi kekerasan, sebaliknya bermanfaat untuk melenyapkan ketidakadilan. Pembangkangan berkurang jika muncul harapan yang oleh KPK kembali dihidupkan.

Jangan sampai kita hidup tanpa harapan. Sekali lagi, bravo KPK!

Senin, 16 Januari 2012

Masa Depan Demokrasi Kita

Franz Magnis-Suseno

Tiga belas tahun lalu Presiden Habibie�hanya seminggu sesudah ia diangkat�dengan berani membuka keran demokrasi. Setengah tahun kemudian, Sidang Istimewa MPR mengangkat hak-hak asasi manusia ke tingkat konstitusional.

Pada 1999, Indonesia melakukan pemilihan umum bebas pertama sejak 1955. MPR pilihan 1999 itu lalu mengamandemen UUD 1945 untuk mengamankan demokrasi di Indonesia pasca-Orde Baru.

Belum pernah dalam sejarah Indonesia terdapat konsensus sedemikian luas bahwa Indonesia harus betul-betul demokratis. Sampai sekarang belum ada satu kelompok sosial politik berarti yang menolak demokrasi. Konsensus itu dibenarkan dalam keberhasilan pelaksanaan dua pemilu: 2004 dan 2009.

Kecewa

Namun, antusiasme semula sekarang menguap. Kekecewaan mendalam, bahkan rasa putus asa, semakin mengambil alih. Otonomi daerah ternyata menghasilkan otonomisasi korupsi. Pilkada bisa menjadi sumbu konflik etnis dan agama.

Perekonomian meski pada hakikatnya tangguh, tidak mencapai kapasitas yang sebenarnya: mungkin dihambat oleh pengabaian ekonomi rakyat, kerapuhan infrastruktur, dan hambatan-hambatan dari birokrasi yang korup.

Hak-hak asasi manusia yang menjadi dasar harkat etis demokrasi masih tetap banyak diabaikan. Di daerah-daerah yang jauh, kekerasan aparat terhadap rakyat masih terjadi.
Yang amat mengkhawatirkan: negara semakin gagal menjamin kebebasan beragama dan beribadah minoritas-minoritas. Kecaman elite terhadap kekerasan atas nama agama tinggal verbal.

Di basis intoleransi, bahkan kebencian terhadap mereka yang berbeda meluas. Kelompok-kelompok yang ajarannya dicap sesat oleh mayoritas diancam dengan kekerasan dan�malu-malu!�tidak dilindungi oleh negara. Pengaruh ekstremisme eksklusivis dibiarkan meluas. Bahwa dalam negara hukum, pemerintah pusat tidak mampu menjamin bahwa keputusan Mahkamah Agung mengenai hak beribadat dilaksanakan (Gereja Yasmin di Bogor) adalah mengkhawatirkan dan memalukan.

Yang paling serius adalah politik duit di kelas politik. Sindiran miring bahwa sila pertama sudah diubah menjadi �keuangan yang maha esa� mencerminkan persepsi masyarakat tentang para politisi. Persepsi ini�kalau tetap�akan menghancurkan demokrasi�dan negara Pancasila�kita.

Kelas politik dipersepsi kongkalikong dalam sebuah konspirasi untuk merampas kekayaan bangsa. Seakan-akan negara sudah jatuh ke tangan sebuah mafia. Korupsi yang muncul di Kementerian Keuangan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam masyarakat dipersepsi sebagai hanya puncak gunung es. Sistem yudikatif dan aparat kepolisian dianggap korup.

Paling gawat adalah jatuhnya harkat moral Dewan Perwakilan Rakyat di mata rakyat yang seharusnya diwakili. Di sini urat nadi demokrasi kena. Kemalasan mencolok para anggota DPR, jumlah mereka yang terlibat dalam perkara korupsi, fakta bahwa wakil rakyat menjadi calo proyek, reaksi marah waktu KPK mulai meneliti mafia Panitia Anggaran Negara, kenyataan bahwa pembuktian positif asal usul kekayaan tidak mau diperundangkan, usaha mencolok untuk memperlemah KPK (yang kalau mereka korup memang masuk akal): semua itu memberi kesan bahwa tempat tepat DPR bukan di Senayan, melainkan di Salemba dan Cipinang.

Pada saat yang sama, kepemimpinan nasional kelihatan tidak mau atau tidak mampu mengambil tindakan-tindakan yang diharapkan.

Pada 1955 pernah ada situasi yang mirip. Pemilu tahun itu berhasil, tetapi tidak berhasil mengatasi masalah-masalah yang dihadapi bangsa Indonesia waktu itu. Akhirnya, empat tahun kemudian, Presiden Soekarno mengakhiri demokrasi pertama Indonesia itu, menyatakan diri �Pemimpin Besar Revolusi� (Pembesrev), dan menempatkan bangsa Indonesia ke suatu jalur dinamika politik yang menghasilkan tragedi nasional teramat mengerikan pada 1965 serta 32 tahun pemerintahan Orde Baru.

Belajar Demokrasi dengan Berdemokrasi

Ada bisik-bisik bahwa satu-satunya jalan keluar dari segala kebusukan itu adalah sebuah revolusi. Lalu, perlu dibentuk pemerintahan sementara, diadakan perubahan konstitusional, akhirnya pemilihan umum.

Namun, apa mereka tahu apa yang mereka bisikkan? Yang mungkin di Indonesia bukan sebuah revolusi, melainkan kerusuhan. Siapa yang berwenang memegang pemerintahan sementara? Apa kita mau militer berkuasa kembali? Atau pemerintahan seorang strongman? Apa kita ingin suatu situasi seperti sekarang di Mesir?

Melawan khayalan-khayalan macam itu kiranya perlu disadari bahwa pemecahan-pemecahan mendadak paksa-paksa bukan jalan keluar. Demokrasi hanya dapat dipelajari dengan berdemokrasi dan, untuk itu, kita harus bertolak dari apa yang sudah tercapai dalam 13 tahun terakhir.

Hanya dengan maju di jalan demokratis yang digariskan oleh reformasi, bangsa Indonesia yang majemuk dapat menjadi kukuh bersatu, maju ke arah kesejahteraan yang adil dengan menjamin harkat kemanusiaan segenap warga.

Tak ada alternatif terhadap langkah-langkah kecil korektif. Perbaiki sistem kepartaian! Akhiri sistem kampanye yang memaksakan calon politisi untuk mencari duit miliaran! Perkuat posisi Presiden� kalau kita tetap mempertahankan sistem presidensial�tanpa memperlemah unsur- unsur demokratis! Jalankan reformasi-reformasi, misalnya menyangkut pilkada!

Memang kita tidak boleh putus asa. Dari DPR sekarang kita tagih sisa tanggung jawab kebangsaan yang masih mereka punya agar mereka berani mereformasi diri dan mengubah struktur-struktur yang menunjang politik duit.

Dan, Presiden masih punya dua tahun lebih. Sekarang saatnya Presiden membuktikan diri dengan berani mengambil tindakan-tindakan yang decisive. Beliau pasti akan didukung oleh rakyat.

Franz Magnis-Suseno, GURU BESAR DI SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, JAKARTA

Jumat, 13 Januari 2012

Kebudayaan di Penjara Hukum

Radhar Panca Dahana

Pengalaman ini memalukan dan memberi banyak pelajaran. Sebagai seorang anak usia sebelas tahun, saya mencuri uang orangtua karena �dendam� merasa dianaktirikan. Akan tetapi, saya kepergok. Saat uang Rp 300 itu saya pegang dan hendak saya keluarkan dari laci lemari, saya merasa ada kehadiran seseorang di belakang punggung. Benar, ia ibu saya sendiri.

Saya tak mengurungkan niat mencuri. �Protes� kepada orangtua lebih menguasai. Saya ambil uang itu dan pergi melewati ibu saya tepat di ujung hidungnya. Saya tidak pernah paham kenapa ibu saya, yang hajah, Jawa tradisional, dan mengorbankan segalanya untuk pendidikan ketujuh anaknya, tak sedikit pun menegur.

Saya membelanjakan uang curian itu dengan jajanan, yang tidak berhasil saya makan�dan akhirnya saya berikan kepada pengemis kecil�karena wajah perempuan yang mengeras dan berombak itu memenuhi visi saya. Sampai hari ini.

Namun sejak itu, terutama setelah saya berhadapan dengan anak saya, anak didik, mahasiswa, atau siapa pun di berbagai forum dan lembaga pendidikan, saya hanya memiliki satu tuntutan moral yang tidak mungkin ditawar: tidak mencuri dan berdusta. Kebaikan dan kejahatan manusia, sejak tingkat terkecil dan termula, berawal dari satu moral itu.

Mungkin itu pelajaran terpenting: kebudayaan, betapapun diformulasi secara ketat sebagai upaya terbaik manusia dan kemanusiaan untuk meluhurkan spesiesnya, tetap memproduksi ketidakluhuran sebagai sisi kedua dari koin yang sama.

Agama, ideologi, ilmu, adat, hingga politik, hukum, ekonomi adalah produk-produk kebudayaan yang kita lahirkan dan warisi untuk tujuan mulia di atas. Suatu tujuan yang tidak akan pernah melahirkan sebuah adab yang secara menyeluruh suci, mulia, atau humanis. Idea(lisme) seperti itu tinggal sebagai sesuatu yang abstrak (idea) bahkan kadang absurd. Hidup pun tinggal sebagai pertarungan baik dan buruk yang inheren ada dalam diri manusia, baik personal maupun komunal.

Dalam perjuangan abadi manusia itu, ironi ataupun tragedi kita jumpai bahkan turut kita produksi, termasuk ketololan atau kenaifan yang kita lakukan. Apa yang terjadi pada AAL yang divonis oleh sistem hukum kita bersalah karena mencuri sepasang sandal, atau sukses remaja pelajar melahirkan mobil Kiat Esemka, adalah peristiwa mutakhir yang menamparkan ironi�bahkan tragedi�pada wajah kedewasaan hukum, politik, serta ekonomi kita sebagai negara dan bangsa.

Dusta Peradaban

Dalam negeri dan masyarakat yang membayangkan hukum memiliki posisi supreme, hukum pun jadi palu besi yang akan menghancurkan kekerasan apa pun yang dilakukan/dimiliki oleh para penentang atau pengkhianatnya. Namun, dalam kenyataannya, hukum tetap adalah sebuah produk kultural (manusia) yang sekuler, naif, sangat lemah, dan membesi hanya pada retorikanya, bukan pada praktiknya.

Manusialah sebagai pelaksana dan eksekutor hukum. Manusia juga yang secara sadar melakukan gerak sentripetal yang menjadi kebalikannya. Hal terakhir ini sudah menjadi sifat alamiah manusia, yang sejak mula kebudayaan�tak hanya dalam agama�menganggap dirinya sebagai entitas terkuat, tertinggi, superior, atau khalifah di atas bumi.

Bukan hanya kecemburuan asali, juga sesungguhnya adalah dusta peradaban, ketika manusia harus menyerahkan superioritasnya itu kepada produk yang akal-akali sendiri: hukum. Maka, sudah menjadi naluri dasar, manusia memperlihatkan kedigdayaan kodratinya dengan cara mempersetankan dan mengkhianati hukum. Semua peralatan dan aparatus hukum sebenarnya ada untuk mencegah atau melawan sesuatu yang naluriah itu. Namun, maaf, aparatus itu ternyata juga manusia, dengan kompleks diri yang sama, yang membuat palu besi hukum tinggal rongsokan atau besi kiloan yang bisa dibeli atau digadai di mana dan kapan saja.

Apa yang sebenarnya membuat kita tetap percaya dan berusaha mempertahankan sebuah hukum adalah terpelihara dan dilahirkannya secara berkesinambungan para panglima yang tegar, jujur, dan tidak mencuri. Di titik ini, hukum tak lagi berbicara, tak ambil bagian. Namun, yang banyak berperan nilai-nilai dan moralitas luhur yang mengendap atau terinternalisasi ke dalam diri para panglima itu, sebagai hasil kerja kebudayaan atau diistilahkan dengan pembudayaan.

Dalam pengertian dasar ini, hukum dalam bentuk materiilnya tetap jadi kertas dan kata-kata kering. Ia jadi alasan dan tujuan kita melakukan pembudayaan melalui internalisasi di atas. Hukum yang bekerja tanpa proses pembudayaan semacam ini akan jadi anak panah tanpa arah, senantiasa keliru dalam sasaran.

Pemberadaban Bangsa

Sebenarnya, dalam makna fundamentalnya, kerja-kerja kemasyarakatan dan kenegaraan kita adalah proses pembudayaan manusianya, proses pemberadaban bangsanya. Fundamen inilah yang absen dalam kesadaran strukturalistik kita. Kerja-kerja ekonomi, politik, keilmuan, misalnya, hanya selesai pada pencapaian- pencapaian pragmatis dan materialistis. Alhasil, secara menyeluruh kebudayaan dan pembudayaan internal kita sudah tersandera oleh praktik sistemis itu.

Ketika kebudayaan �dikembalikan� pada pendidikan, adalah hal yang sangat keliru membayangkan persoalan telah diselesaikan. Apalagi jika berilusi bahwa kebudayaan hanya sebuah kerja sektoral dari pendidikan. Sebaliknya, pendidikan hanyalah satu sektor, betapapun vitalnya, dari kerja besar pembudayaan bangsa ini.

Setiap elemen kebangsaan dan kenegaraan, instansi, institusi, ormas, dan sebagainya adalah aktor-aktor utama dalam proses besar ini. Bila tidak ada unit yang bekerja khusus untuk kebudayaan di semua elemen itu, semestinya kesadaran pembudayaan ini menjadi salah satu nilai dasar dari semua kerja, termasuk semua departemen dalam kabinet misalnya. Tanpa itu, semua kerja itu menjadi temporer tanpa visi, durasi, atau berkelanjutan.

Maka, ketika hukum hanya bicara atas nama kata-kata berbau kertas kering, sejumlah praktisi hukum akan menyatakan keputusan hakim pengadilan negeri yang memvonis AAL adalah �benar�. Bukan hanya rasa keadilan yang tergugat di sini, tapi juga pembudayaan hukum yang terhumiliasi. Tindakan polisi yang melaporkan pencurian, jaksa, hingga hakim adalah aparatus yang secara �legal� kita terima atau benarkan melakukan humiliasi itu.

Kita paham, sejak di tingkat sang polisi pelapor sekaligus sebagai aparat penegak hukum selaiknya mempekerjakan hukum berdasar nilai kekeluargaan dan pengajaran, bukan dengan kekakuan mekanisme vonis. Sebagai salah satu mekanisme pembudayaan yang adat dan tradisi cukup banyak mewariskan kepada kita.

Dan, mekanisme ini bagus sekali jika terjadi di semua lapangan kehidupan kita. Maka, ironi dari mobil SUV Kiat Esemka, misalnya, tidak harus jadi tamparan memalukan bagi Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan kabinet yang bernafsu menciptakan kemandirian ekonomi dan teknologi, tetapi lumpuh di hadapan kartel industri otomotif yang dikuasai modal asing sejak lebih setengah abad lalu. Namun, siapa yang berani?

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Kamis, 12 Januari 2012

Trillions Rupiah Men

Budiarto Shambazy

Setelah dua babak Pilpres Republik, Kaukus Iowa dan pemilihan awal New Hampshire, Mitt Romney diperkirakan akan memenangi nominasi. Jumlah delegasi yang direbut lima calon presiden lain (Ron Paul, Rick Santorum, Newt Gingrich, John Huntsman, dan Rick Perry) terpaut jauh.

Romney masih mungkin disusul karena jumlah delegasi yang diperebutkan belum sampai 1 persen dari total 2.380 delegasi. Apalagi, persaingan memang cenderung labil sejak medio 2011.

Sebut saja Michele Bachmann, satu-satunya perempuan yang memenangi straw poll Agustus 2011 di rumahnya sendiri di Iowa. Namun, saat kaukus, Bachmann gagal total dan langsung mundur.

Atau, Herman Cain, satu-satunya calon kulit hitam. Ia menjulang sebelum Kaukus Iowa, tetapi terpuruk karena rumor skandal seksual yang membuatnya mengibarkan bendera putih tanda menyerah.

Itu yang membedakan Romney dengan capres-capres lain karena lebih menang di dua babak awal. Menurut jajak pendapat sementara, Romney juga akan memenangi babak ketiga pemilihan di Negara Bagian South Carolina, 21 Januari.

Ibarat makanan, Romney adalah menu yang sudah diketahui pengunjung restoran. Ia sudah ikut kontes pada 2008, tapi dikalahkan John McCain.

Mungkinkah Romney mengalahkan satu-satunya calon Demokrat, Presiden Barack Obama? Menurut jajak pendapat Quinnipiac University yang dirilis dua hari lalu, Romney bisa merebut suara 46 persen dibandingkan dengan Obama 43 persen.

Hasil Pilpres 2012 akan sangat ditentukan oleh kondisi ekonomi yang masih krisis. Andaikan mampu memaksimalkan isu-isu yang berkaitan dengan krisis ekonomi, Romney bisa menang tipis.

Posisi Romney menguntungkan karena dia pengusaha besar sekaligus berpengalaman sebagai gubernur. Seperti halnya Obama, ia juga lulusan Harvard University yang bergengsi itu.

Tak mudah mengalahkan Obama karena pemicu krisis adalah Presiden George W Bush yang mengabaikan parahnya pasar kredit yang diawali krisis KPR (subprime mortgage). Justru Obama yang membenahi krisis sehingga ekonomi perlahan-lahan membaik.

Setidaknya tingkat pengangguran turun jadi 8,5 persen, angka terendah sejak Januari 2008. Jumlah penganggur masih sekitar 13 juta jiwa, tetapi lowongan yang tercipta mencapai 2,54 juta dari total job lost 8,7 juta sejak 2008.

Strategi kampanye Obama akan difokuskan pada keengganan Kongres, yang dikuasai Republik, menyepakati berbagai prakarsa prorakyat yang digulirkan Gedung Putih. Nyatanya tingkat popularitas Obama masih berkisar di angka 40 persen, hampir dua kali lipat dari popularitas Kongres.

Terlebih lagi Obama sukses memaksa Kongres menyetujui jaminan kesehatan yang populer disebut ObamaCare. Ini prestasi fenomenal yang tak pernah dicapai presiden-presiden lain yang akan menyediakan pelayanan kesehatan terjangkau bagi lebih dari 60 persen rakyat.

Republik menganggap ObamaCare menyimpang karena bentuk dari redistribusi kekayaan yang bertentangan dengan kapitalisme. Obama dianggap telah menyeret AS jadi negara sosialis seperti di Eropa karena pajak dialihkan ke ObamaCare.

Padahal, anggaran tetap defisit dan utang semakin membumbung. Ekspansi pemerintah (big government) oleh Republik yang pro-small government oleh Obama dinilai sudah keterlaluan.

Pendek kata, Obama dianggap �kiri� (liberal) yang didukung mainstream media. Menjadi tugas mulia kaum �kanan� (konservatif) segera menyingkirkan dia dari Gedung Putih.
Salah satu tokoh yang dapat membantu Obama kembali terpilih adalah Menlu Hillary Clinton, yang kini jadi politisi terpopuler dengan approval job mencapai 65 persen. Andai Hillary mau menjadi cawapres Obama, dengan iming-iming dijadikan sebagai capres tahun 2016, Obama diramalkan akan menang.

Seperti tahun 2008, Obama kembali akan memecahkan rekor dana kampanye. Kali ini dana kampanye diperkirakan akan menembus 1 miliar dollar AS.

Selama kuartal pertama 2011, Obama mengumpulkan 68 juta dollar AS. Jika digabungkan dengan dana partai, angka itu jadi 254 juta dollar AS�bandingkan dengan Republik yang 194 juta dollar AS.

Politik di AS perlu dana besar sekali, terutama untuk iklan di televisi yang tarifnya bisa mencapai 0,5 juta dollar AS per tayangan. Karena itu, berlaku pemeo �kalau mau jadi presiden, Anda harus jadi orang kaya dulu�.

Berbeda kontras dengan di negeri ini, berlaku pemeo �kalau mau kaya, Anda harus jadi presiden dulu�. Untuk menjadi capres, Anda perlu dana yang dikumpulkan oleh sekutu-sekutu Anda.

Sekutu-sekutu itulah yang jadi investor yang akan menuntut imbalan jika Anda menang. Anda praktis sudah disandera sekutu-sekutu itu ketika mencalonkan diri jadi capres.

Dari mana sekutu-sekutu itu mendapat dana? Itu urusan yang Anda kurang perlu telusuri karena duit di negeri ini tidak akan mau buka mulut walau KPK atau PPATK coba menelusurinya.

Lalu, dari mana Anda menyediakan imbalan dana untuk sekutu-sekutu itu? Anda cukup memberikan mereka proyek atau anggaran tanpa tender dan konsesi migas atau tambang.

Capres-capres seperti Obama, Romney, Paul, Santorum, Gingrich, Perry, dan Huntsman bermodal dana dari hasil keringat mereka. Romney dan Huntsman jelas miliarder.

Obama �One Billion Dollar Man� capres yang dapat sumbangan dari jutaan warga yang dengan sukarela mendukung dia. Rakyat cuma minta imbalan dia kerja serius memperbaiki ekonomi.

Kalau di negeri ini banyak capres �Trillions Rupiah Men� yang menyiapkan dana triliunan rupiah. Jangan tanya asal dana dari mana ya?