Selasa, 19 Juni 2012

Neneng dan Efek Dramatik Kejahatan

Acep Iwan Saidi

Di negeri ini korupsi adalah narasi, sebuah rangkaian peristiwa (Gennete, 1980). Sebagai narasi, tindak kejahatan tersebut melekat pada alur. Lazimnya alur, di dalamnya terdapat tahap pengenalan, konflik, gawatan, klimaks, leraian, dan akhiran.

Dalam pengelolaan alur dikenal dramatisasi; sebuah teknik bagaimana peristiwa pada cerita diolah hingga tercipta efek dramatik. Efek ini tidak jarang menjadi fungsi utama cerita, sedangkan substansi kisahnya sendiri hanya katalisator. Saat membaca novel Tenggelamnya Kapal Vanderwijk karangan Hamka, misalnya, bukankah yang lebih berjejak dalam memori adalah dramatisasi nasib Zaenudin dan Hayati yang penuh air mata ketimbang hakikat hubungan cinta kasih di baliknya.

Demikianlah Neneng tiba-tiba hadir menjadi semacam efek kejut dramatik. Kita tahu, perempuan tersangka korupsi itu sudah lama menjadi buron. Pastilah kita berharap ia segera dapat ditangkap. Namun, manakala tertangkap, ternyata kita pun terkejut seraya menyusun berbagai dugaan: pulang, menyerahkan diri, ditangkap, dan seterusnya. Kehadiran Neneng menjadi semacam enigma, teka-teki yang seksi untuk dikisahkan.

Sadar sebagai tokoh utama dalam kisah, Neneng tampak tidak datang tanpa rencana. Beranalogi pada Roland Barthes (1984) tentang pengarang yang tidak pernah menulis dalam keadaan kosong, Neneng tidaklah bodoh. Periksalah, pada berita utama harian ini (14/6/2012), misalnya, Neneng tampak menggunakan turban yang menutupi kepala dan wajah. Ia juga menggunakan gaun panjang yang longgar. Seluruh tubuhnya nyaris terbungkus.

Efek Dramatik

Bagi saya, visualisasi tersebut tidak berhenti pada pesan bahwa Neneng hendak bersembunyi dari kamera media massa. Justru sebaliknya, ia sedang ingin menampakkan diri secara utuh dalam fungsi dramatik narasi. Dalam perspektif imagologi, Neneng mungkin hendak mencipta image, semacam citra perempuan saleh, setidaknya telah bertobat.

Namun, terlalu permukaan jika tafsir selesai di situ. Efek dramatik adalah target yang jauh lebih strategis. Dan, Neneng merangkainya dengan lihai. Ia tak berkomentar saat diborgol seusai shalat ashar. Maka, dengan hal itu, paling tidak konsentrasi kita pada substansi kejahatannya menjadi buyar. Hemat ungkap, cara Neneng menghadirkan dirinya dapat disebut sebagai mekanisme pengaburan.

Dari pengaburan demikianlah kisah selanjutnya akan mengalur. Hampir dapat dipastikan bahwa dramatisasi tersebut akan bergulir terus dalam tempo tertentu. Inilah fase konflik narasi. Di sini, ketegangan demi ketegangan akan dibangun. Tokoh figuran, antara lain para pengacara, akan tampil menyubstitusi kehadiran tokoh utama.

Kini bisa kita lihat bahwa fungsi pengacara bukan hanya membela pesakitan di ruang sidang, melainkan juga justru lebih banyak bermain di ruang narasi. Agaknya mereka juga sadar bahwa pada kasus yang sebenarnya sudah jelas duduk soalnya secara hukum itu kehadirannya tidak pada posisi untuk menunjukkan secara hukum bahwa kliennya tidak bersalah, tetapi justru untuk mengaburkannya.

Pada titik ini, targetnya bukan lagi membela untuk membebaskan, melainkan untuk mengurangi kekuatan hukum. Klien pasti akan dinyatakan bersalah, tetapi hukuman singkat adalah prestasi tertinggi sang penasihat.

Polarisasi Kejahatan

Kalaulah kita mau mengingat, apa yang coba dikonsepsikan di atas sebenarnya merupakan sebuah pola yang terus berulang dalam sejarah kejahatan kerah putih di negeri ini. Ingatlah bagaimana pelarian dan penangkapan Nazaruddin dilakukan. Narasi tokoh yang kini telah definitif sebagai koruptor tersebut bukankah jauh lebih dramatik.

Penciptaan drama tentang Nazaruddin bukan hanya menyedot perhatian masyarakat, melainkan juga meminta dana yang besar. Satu pesawat mewah disewa dari Kolumbia. Akan tetapi, apa yang dihasilkan dari perburuan tersebut? Meskipun suami tersangka perempuan koruptor itu masih berada dalam belitan �narasi perampokan� lain, untuk kasus wisma atlet ia hanya dihukum empat tahun. Walhasil, efek dramatik telah berhasil membawa kisah pada klimaks, tetapi di balik itu substansinya justru melorot ke antiklimaks.

Pertanyaannya, apakah dengan polarisasi sedemikian korupsi dapat diberantas? Hemat saya, alih-alih dapat dimusnahkan, para perampok kekayaan negara itu kian hari justru akan kian merebak. Mereka justru akan menikmati tindak kejahatannya sebagai sebuah permainan, khususnya permainan politik.

Penjara adalah sebuah risiko politik yang harus disiapkan secara mental sejak awal. Seperti seorang pencopet yang tertangkap basah dan digebuki massa, ia harus menerimanya sebagai harga yang harus dibayar dalam mencari nafkah. Bukankah nelayan juga harus menghadapi risiko badai, pedagang kaki lima mesti berhadapan dengan petugas ketertiban umum, sopir angkutan umum harus pasrah di hadapan polisi nakal, dan seterusnya.

Di samping itu, dalam narasi politik yang busuk, kejahatan bukan diukur pada tindakan yang terdefinisikan sebagai melanggar hukum dan moral, melainkan pada kuantitasnya. Ini setidaknya tecermin pada pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di hadapan para pendiri Partai Demokrat. Banyak partai politik yang kejahatan korupsinya jauh lebih besar daripada Demokrat, demikian lebih-kurang SBY.

Pernyataan ini seperti tengah membocorkan biografi kejahatan di lingkungan partai politik. Untuk membersihkan partai dari tindak kejahatan, SBY tidak membandingkannya dengan pihak lain yang lebih baik sebagai teladan, tetapi justru dengan yang sebaliknya. Ini jelas fatal. Namun, itulah kiranya karakter partai politik dan kepemimpinan kita selama ini.

Terakhir, di manakah posisi KPK? Kita tahu independensi dan prestasi kerja komisi ini. Namun, kita juga tahu, KPK tidak memiliki wewenang mengetuk palu hukum. Batas tertinggi kekuasaan KPK adalah melempar pesakitan ke hadapan meja hijau. Ia adalah pemburu yang tidak berhak memotong leher buruannya. Walhasil, KPK hanya salah satu unsur dalam struktur narasi. Pada posisi ini, di hadapan tokoh utama macam Neneng, KPK bahkan bisa jadi bagian dari plot yang dimainkan pengarang.

Lantas, siapakah pengarangnya? Pengarang mati saat pembaca hadir, kata Barthes.
Dalam narasi korupsi, pengarang, yakni sang �Godfather�, juga tidak pernah terlacak. Kita yakin ia tidak mati. Hanya karena ketidakberdayaan para penegak hukum, kita cuma bisa menatap bayang-bayang. Dan, karena itu, kejahatan terus-menerus menciptakan efek dramatik mengingat kejahatan di negeri ini adalah mengenang dramatisasi sedemikian, bukan sanksi-sanksi, bukan penegakan hukum!

Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB 

Minggu, 17 Juni 2012

Partai Hijau, Partai LSM

Ivan A Hadar

Bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mendirikan Partai Hijau. Agenda utamanya adalah advokasi lingkungan dan keadilan ekologi. Meski dipastikan belum bisa mengikuti Pemilu 2014, meningkatnya laju kerusakan lingkungan di Indonesia akibat buruknya kebijakan mendorong para aktivis lingkungan ini untuk �masuk dan mengubah sistem politik dari dalam� dengan berjuang dalam politik praktis.

Selama ini banyak aktivis LSM cenderung alergi terhadap politik praktis. Boleh jadi akibat trauma depolitisasi 32 tahun di bawah rezim Soeharto. Namun, beberapa tahun terakhir beberapa lembaga penelitian menganjurkan para aktivis LSM berpolitik agar demokrasi lebih bermakna. Caranya, masuk ke partai atau membuat partai baru (Demos, 2005). Setidaknya ada dua LSM besar, yaitu Bina Desa dan Walhi, yang berencana dan kemudian mendirikan partai politik.

Salah satunya adalah Partai Perserikatan Rakyat (PPR) yang meski dibantah berasal dari Bina Desa, beberapa pendirinya pernah berkiprah di LSM besar ini. Sayang, PPR tidak berhasil memenuhi persyaratan untuk mengikuti Pemilu 2009.

Baik PPR maupun Partai Hijau memiliki asas yang cukup jelas, yaitu sosial-demokrasi, keadilan (ekologi), dan kerakyatan. Tentu saja harus diperjelas perbedaannya dengan asas ekonomi kerakyatan yang juga dianut hampir semua partai politik di Indonesia, termasuk di antaranya Golkar. Pilar utama perekonomian yang menjadi program partai ini adalah usaha kecil, menengah, dan koperasi.

Dengan menyandang visi antitesis ekonomi konglomerasi ini, Golkar seharusnya dikategorikan sebagai partai kiri. Namun, sebagai pendukung pemerintahan SBY-Boediono yang saat ini mengambil kebijakan kanan, Golkar kenyataannya adalah partai kanan, berseberangan dengan visinya sendiri.

Hal ini, selain akibat proses deideologisasi Orde Baru, boleh jadi juga diperkuat dengan berakhirnya konflik Barat-Timur awal 1990-an ketika dua teori utama pembangunan, yaitu modernisasi dan dependensia seakan dicampakkan ke tong sampah sejarah ideologi. Khawatir teori ini mengandung bahaya, semua yang berbau ideologi ditinggalkan sehingga tanpa sadar kita tidak punya pegangan.

Pelobi LSM

Di Indonesia, jumlah LSM 4.000 hingga 7.000-an, belum termasuk yang dadakan karena ada proyek. Sekitar 1.800 LSM mancanegara, termasuk forum LSM yang bergiat dalam penghapusan utang Indonesia tadi, telah memperoleh akreditasi PBB. Mereka berhak ikut sidang umum, juga memberikan statement singkat dan tuntutan kepada anggota.

Apa pun yang dilakukan penguasa dipantau LSM. Bagi LSM berlaku motto yang konon sudah ada sejak abad ke-12: �Kami adalah raksasa sehingga bisa melihat lebih jauh dan luas ketimbang sang raksasa itu sendiri�.

Kelahiran LSM terbesar terjadi seusai KTT Lingkungan Hidup di Rio de Janeiro, 1992. Setelah itu, PBB melonggarkan keikutsertaan LSM dalam berbagai KTT serta sidang-sidang komite di kantor pusatnya. Berbagai pengaduan, permohonan, protes, pernyataan, dan manifesto mewarnai aktivis LSM sebagai pelobi kepentingan masyarakat akar rumput dan kelanggengan hidup bumi manusia.

Namun, LSM tidak bisa berharap banyak mengikuti walau mengikuti berbagai KTT dan forum internasional. �Kebijakan yang sebenarnya bukan diputuskan di sana,� ungkap Paul Hohnen, mantan diplomat Australia, yang mengoordinasi 12 pelobi top dari Greenpeace International. Perubahan kebijakan dilakukan berbagai subdivisi PBB dan �Prep-Coms�, komite persiapan.

Pengetahuan inilah yang diketahui dan kini justru dimanfaatkan berbagai LSM internasional, seperti Greenpeace, Amnesty International, Oxfam, Prison Watch, juga organisasi pencari suaka, kelompok perlucutan senjata, serta LSM pendukung hak asasi anak dan perempuan. Berbagai perubahan substansial dalam kebijakan lingkungan, jender, dan sosial memang berhasil dicapai para pelobi dari LSM.

Para bekas diplomat, seperti Paul Hohnen, bukan lagi barang langka dalam jalinan PBB-LSM. Ada aktivis LSM yang terlibat dalam perumusan berbagai dokumen PBB.

Pemihakan

Hambatan, nyaris hanya ditemui aktivis LSM di Bank Dunia. Setiap tahun, Bank Dunia membagi-bagi puluhan miliar dollar AS bantuan pembangunan kepada penguasa korup, proyek besar yang merusak lingkungan, dan memperlebar kesenjangan sosial. Itulah sinyalemen banyak LSM Utara yang menganggap Bank Dunia sebagai musuh nomor satu. Sebaliknya, banyak LSM Selatan menilai Bank Dunia sebagai sumber dana dan mitra pembangunan.

LSM yang moderat coba melakukan perubahan dari dalam lembaga Bretton Wood tersebut dan meneruskan informasi tentang proyek yang dianggap membahayakan negara miskin atau masyarakat luas. Satu hal yang disepakati mayoritas LSM di mana pun adalah strategi people centered development yang mengacu pada visi terciptanya masyarakat adil, bebas penindasan, hak asasinya dihargai, dan dapat menjalani kehidupan secara layak.

Pemihakan ini harus dilakukan pada dua aras. Pertama, penguatan di tingkat akar rumput agar rakyat mampu mempertahankan hak-haknya atas sumber daya yang dimiliki. Kedua, bagaimana mengajar lewat kegiatan advokasi yang meliputi kampanye, lobi, pertukaran informasi, pembentukan aliansi, agar para birokrat dan anggota legislatif peka terhadap berbagai dampak negatif proyek pembangunan.

Peran LSM sangat penting di era globalisasi karena rakyat kecil dan lemah pasti akan terlempar dari persaingan pasar global. Sinergi kegiatan LSM di tingkat nasional dan internasional diharapkan bisa memengaruhi pemerintah dan berbagai lembaga internasional untuk ikut mengusahakan perlindungan bagi masyarakat yang miskin dan rentan.

Sikap ini harus menjadi landasan ideologi LSM dalam mendirikan parpol demi menjadikan demokrasi lebih bermakna.

Ivan A Hadar; Direktur Eksekutif IDe; Penerima Beasiswa dari Heinrich Boell Stiftung, Lembaga Politik Partai Hijau Jerman