Senin, 28 Januari 2013

Tantangan Sebuah Bangsa

Radhar Panca Dahana

What is in a date? Apalah arti sebuah tanggal? Sebagai penanda berganti (mata) hari, atau peristiwa-peristiwa yang kita selebrasi secara global?

Tanggal tetap sebuah hal yang abstrak dan kosong. Hal yang sepanjang sejarah kebudayaan mati-matian mau dimaterialisasi. Pikiran yang memiliki anggapan demikian. Seolah waktu bisa kita tundukkan, lalu kita kerat dalam potongan atau satuan tertentu.

Waktu (mungkin) adalah entitas yang berlangsung melalui diri sendiri. Manusia tak bisa menjangkau, mengendalikan, apalagi membagi-baginya dalam kalender atau buku agenda. Yang terjadi sebaliknya, manusia teperdaya dan dikendalikan waktu.

Karena itu, makna 31 Desember atau 1 Januari tidak berbeda dengan 3 Agustus atau 16 Juli. Tahun Baru pun sudah tidak punya konteks dengan kita, terlebih mengingat ini perayaan yang ditiru dari agama pagan. Ia mendapat arti �baru� semata untuk menghargai Julius Caesar�penggubah kalender Masehi�yang dipadankan dengan Dewa Janus, asal kata Januari.

Ia pun sesungguhnya tidak berhubungan dengan agama, bahkan Kristen. Betapa pun Paus Gregorius pernah menetapkannya sebagai kalender liturgi, dan zaman pertengahan mengaitkannya dengan kelahiran Yesus pada 25 Desember, Tahun Baru tetap tinggal sebagai hari �biasa�. Tahun Baru tinggal semata sebagai produk industri, di mana masyarakat global merayakan dengan membelanjakan uang. Inilah puncak kekalahan kesadaran manusia atas logika terhadap nafsu industri yang gigantik.

Limbah Kebudayaan

Tahun Baru sesungguhnya berpeluang besar ketika masyarakat dunia dapat digerakkan untuk menyadari realitas kekinian (kontemporer)-nya. Dunia kini berada dalam momen kontemplatif itu karena realitas kontemporer sudah memberi desakan kedaruratan yang memberi ancaman tidak ringan bagi keberlangsungan peradaban, bahkan kemanusiaan itu sendiri.

Kita harus membuat seruan bahwa momen global yang tidak tertandingi ini (kecuali oleh olimpiade dan piala dunia sepak bola) harus kita daya gunakan untuk penciptaan dunia mental, intelektual, dan spiritual baru. Setidaknya agar kita tidak menjadi pandir dan nir-adab karena hanya meladeni nafsu hedonis. Kesenangan bukan sebuah dosa, tapi kontemplasi akan memberi kita makna, termasuk untuk apa kesenangan itu ada.

Selama ini sesungguhnya kita melihat berbagai masalah dalam kehidupan global ini. Remaja yang membunuh ibu kandungnya sendiri, ayah yang menggauli putri kandung hingga hamil, penembakan yang menewaskan ratusan anak sekolah di Amerika Serikat, hingga pemerkosaan atas mahasiswi kedokteran sampai meninggal di India. Semua ini menjadi alarm kuat bahwa peradaban sedang berjalan ke arah yang menghancurkan.

Manmohan Singh, Perdana Menteri India, menegaskan perlunya perubahan sosial (juga mental) di dalam masyarakat India. Begitu pun PM Perancis Dominique de Villepin menyerukan perlunya mengubah cara berpikir orang Perancis, bahkan memperhitungkan kembali prinsip-prinsip dasar Revolusi Prancis akibat kerusuhan hebat di Banlieus.

Pemimpin-pemimpin (negara) besar dunia kian menyadari, di samping desakan-desakan hidup yang membuat mereka menjadi sangat pragmatis, ada persoalan-persoalan idealistis yang jika tidak segera diantisipasi akan membuat semua perhitungan pragmatis sia-sia. Betapa pun dunia mencoba menghindari, tetap bisa terjadi munculnya pemimpin yang megalomania, bahkan maniak, dan memulai sebuah perang global.

Sebuah kegilaan yang berdampak dalam hitungan detik, dalam kurs, harga minyak, distribusi barang, dan berbagai nilai atau kegiatan vital lainnya.

Tanpa fakta itu pun kita semua menyadari, cadangan energi yang menipis tidak akan mengurangi nafsu untuk terus mengeksploitasi. Namun, kebutuhan energi-tak-terbarukan yang meningkat membuat banyak negara krisis. Pada masa itu, kita mungkin akan bertempur�dengan parang atau pistol�demi sekaleng bensin atau air bersih.

Sebuah laporan yang dilansir Newsweek menjelang kematian edisi cetaknya memperlihatkan kepada kita, bagaimana kenaikan suhu dunia 1� Fahrenheit saja membuat kemerosotan produksi bahan pangan utama dunia (jagung, gandum, dan beras) hingga 20 persen. Kejadian kecil pada cuaca membuat pedagang tempe kita blingsatan beberapa waktu lalu.

Baiklah kita sadari dan renungi bersama, hidup bukan melulu soal terompet tahun baru, Shahrukh Khan, James Bond, Sinchan, atau Gangnam Style. Bukan hanya ritus membanjiri outlet atau mal-mal untuk menyerbu diskon merek ternama. Dunia global juga adalah limbah kebudayaan dan sampah peradaban, yang menumpuk-menggunung tanpa kita siap menghadapi itu semua.

Jawaban Kebudayaan

Maka celakalah sebuah bangsa, sebuah negara, jika para pemimpin atau calon pemimpinnya tidak memiliki kesadaran, visi, bahkan imajinasi yang cukup lapang mengenai tantangan-tantangan kritis di atas. Kebesaran sebuah bangsa diukur dari seberapa adekuat bangsa itu�dihela para pemimpinnya�merespons semua persoalan yang kini berdimensi global itu.

Perlukah penyelesaian bersifat universal untuk kemudian diterapkan di tingkat lokal? Atau kita mengakselerasi dunia lokal untuk memberikan jawaban ke dunia global? Bagaimana visi sebuah negara-bangsa, apa strategi kebudayaan yang harus mereka susun dan tetapkan?

Akan jadi bencana bila sebuah bangsa atau negara justru diisi oleh para pemimpin dan kandidat yang melulu sibuk, mengeluarkan miliaran bahkan triliunan rupiah, hanya untuk mempersolek dan memoles gincu urat malunya. Akan menjadi kenistaan sejarah (historic embarrassment) jika kita, satu bangsa, membiarkan pemimpin dan calon pemimpin dengan hasrat kekuasaan di bibir, membiarkan anak dan cucu kita menghadapi tantangan berat di zamannya, tidak dengan bekal yang kita cukupkan, tapi justru dengan sisa sumber daya yang keropos.

Tidak perlu gosip murahan atau speculative analysis dari para peneliti atau pakar bodong asing yang menyatakan ada peradaban besar atau kejayaan kebudayaan di negeri ini pada masa lalu. Indonesia, tetap perlu menyadari, sebagai sebuah negeri�sebelum menjadi negara atau bangsa�tetap sebuah peradaban yang tidak bisa diremehkan. Ratusan tradisi hebat masih bertahan dan menjadi bukti di dalamnya.

Karena itu, di sini, Nusantara yang bahari ini, adalah naif jika kita merasa tak mampu menemukan jawaban atas semua persoalan di atas. Jutaan rakyat dan ratusan tradisi sesungguhnya telah menjawab lewat cara mereka melakoni hidup, survive, dan tetap tumbuh. Kenaifan, mungkin kebebalan juga, justru terasa di kalangan elite atau para penentu kebijakan publik, yang tidak mampu menemukan jawaban kebudayaan.

Krisis terjadi atau kian parah justru dari kalangan yang paling menikmati surplus dari negerinya sendiri. Ia melahirkan sebuah mekanisme yang sistemik, yang menggaransi comfort zone dari hedonisme bermuka baru itu. Politik seperti itu bukan politik yang ideal-reflektif, tapi cenderung banal-destruktif. Memang, terlalu bodoh dan hina jika persoalan sebesar ini diserahkan hanya kepada politisi.

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Minggu, 27 Januari 2013

Jakarta Darurat

Franz Magnis-Suseno SJ

Bahwa Jakarta dan sekitarnya dalam keadaan darurat tidak perlu diuraikan lagi. Masalahnya, apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya? Penulis tidak mempunyai keahlian dalam hal lalu lintas, apalagi dalam hal kontrol banjir. Maka, saya hanya ingin mengajukan beberapa pertimbangan sederhana yang barangkali juga ada di hati banyak warga DKI Jakarta.

Tidak perlu diragukan bahwa kalau mass rapid transit (MRT) sudah tersedia, situasi lalu lintas di DKI Jakarta akan mengalami perbaikan sangat berarti. Begitu pula kalau terowongan multifungsi sudah jadi, banjir di Jakarta pasti akan berkurang.

Stop Proyek Raksasa

Masalahnya, dua proyek raksasa tersebut baru akan mulai berfungsi sesudah sekian tahun. Terowongan multifungsi pasti perlu waktu sekurang-kurangnya empat tahun (kalau terowongan itu mau multifungsi, dia merupakan bangunan kompleks dan betul-betul mahal) untuk membangunnya. Apalagi, MRT.

Kereta di bawah tanah bagi negara-negara kaya pun hampir tak terbayarkan (serta kemudian memerlukan subsidi kontinu). Proyek super mahal itu akan menyedot sebagian besar dana yang tersedia bagi pembangunan infrastruktur di DKI.
Saya tidak percaya bahwa MRT (bahkan bagian pertama yang sampai Hotel Indonesia) dapat dipakai sebelum tahun 2019. Padahal, menurut para ahli lalu lintas di Jakarta, paling lambat (!) ibu kota akan lumpuh di tahun 2014 akibat beban volume kendaraan!

Berbuat Sekarang

Maka, maaf, dua proyek raksasa itu plus enam jalan tol dalam kota harus dicoret untuk sementara waktu. Kok Gubernur Joko Widodo (Jokowi) cepat sekali berkapitulasi alias menyerah. Sekarang dia malah mau mempertimbangkan untuk mengadopsinya dengan melawan pandangan banyak ahli kompeten. Mengingat keadaan DKI sudah darurat, seluruh dana yang tersedia harus dipakai untuk menstabilkan Jakarta dulu.

Adakah solusi jangka pendek? Tentu saja ada, meski jelas tidak sempurna, dan bukan jangka panjang. Namun, mengabaikan perbaikan kecil-kecilan yang ternyata mungkin dan efektif demi tiga proyek yang manfaatnya�kalau memang ada�baru akan dirasakan sesudah sekian tahun adalah perbuatan tidak bertanggung jawab.

Kemacetan

Dua hal berikut bisa langsung dimulai untuk mengurangi kemacetan. Pertama, optimalkan busway dan fungsikan semua jalur busway yang sudah direncanakan! Disterilkan tanpa ampun! Disediakan cukup banyak bus agar setiap tiga menit ada bus lewat! Perluas manfaat jalur busway dengan mengizinkan penggunaannya oleh kendaraan umum yang memenuhi syarat (katanya sudah menjadi rencana).

Kedua, kembangkan semua jalur kereta api (KA) dalam kota menjadi kereta cepat dalam kota (KCDK) di seluruh Jabotabek. Untuk itu, pertama-tama semua jalur KA perlu diangkat, seperti jalur Gambir. Tidak boleh lagi ada crossing jalur KA dengan jalan. Itu tidak sulit karena tanah dan teknologi sudah tersedia. Tentu perlu dibangun stasiun secukupnya dengan tujuan agar di antara Bekasi, Depok, Tangerang, dan DKI setiap tiga menit ada kereta lewat di kedua arah.

Fungsikan Stasiun Manggarai untuk KA ke luar Jabotabek, seperlunya dengan rel bertingkat agar tidak mengganggu KCDK. Ciptakan integrated ticket system. Dan, bangun sekarang juga jalur KCDK Jakarta�Soekarno-Hatta�(dan sampai Kota) Tangerang.

Lantas dapat diambil beberapa tindakan penunjang. Direncanakan angkutan umum yang menghubungkan busway dengan sistem KCDK. Dipertimbangkan kembali realisasi monorel yang pilar-pilarnya sudah ada.

Dan dengan memakai �metode halus Jokowi��direncanakan jalan-jalan dengan kaki
lima sedemikian nyaman sehingga orang bisa berjalan lancar di atasnya agar orang Jakarta belajar lagi bahwa jarak sampai satu kilometer dapat ditempuh dengan jalan kaki.

Banjir

Baru saja di harian ini dicatat lengkap sekian langkah konkret yang dapat diambil dan pasti akan sangat terasa. Memang, dalam jangka panjang, dua ancaman harus ditangani, air kiriman dari selatan dan masalah sebagian tanah Jakarta sudah di bawah permukaan laut, tetapi masih turun juga dan air laut pasti akan naik.

Dua tantangan raksasa di sini tidak dimasuki. Yang sudah ditulis di harian ini tidak perlu diulang di sini. Cukup kalau kita berpegang tegas pada prinsip bahwa proyek besar jangka panjang ditunda dulu supaya segenap dana dapat dipakai untuk mengambil langkah-langkah konkret nyata yang langsung akan terasa ini.

Sekadar untuk diringkas saja, asal semua saluran air yang ada, atau segera bisa diadakan, difungsikan sepenuhnya, diadakan polder, dan sebagainya, maka sebagian besar banjir, terutama semua banjir akibat hujan deras di Jakarta, dapat diatasi. Yang penting, gubernur melibatkan wali kota, ketua RW, dan ketua RT.

Mereka harus dibuat bertanggung jawab dengan ancaman dipecat agar semua saluran di wilayah masing-masing selalu bersih dari sampah dan endapan. Untuk setiap saluran besar kecil satu-satu ditetapkan wali kota, ketua RW, dan ketua RT mana yang langsung bertanggung jawab.

Model tanggung jawab itu sudah dipakai dengan sukses di beberapa tempat dalam hal penghijauan. Pembersihan sungai dari perumahan harus dilaksanakan dengan �cara Jokowi�, dan perlu disediakan biaya banyak agar puluhan ribu manusia dapat dipindahkan secara manusiawi.

Pengumpulan sampah dapat dan perlu diperbaiki sedemikian rupa hingga masyarakat tidak perlu membuangnya langsung ke saluran. Kesimpulannya, tunda dulu segala kegiatan persiapan MRT, terowongan multifungsi, jalan tol dalam kota, dan proyek raksasa lain, tetapi pakailah dananya untuk tindakan-tindakan relatif sederhana untuk memfungsikan sepenuhnya apa yang sudah ada.

Franz Magnis-Suseno SJ, Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Generasi Digital

Radhar Panca Dahana

Dalam sebuah tulisan yang memenangi sayembara penulisan esai Kompas pada 1980-an, saya membahas sebuah masalah yang tergambar dalam judulnya, �Generasi yang Hilang�. Sebuah istilah yang kemudian muncul pada dekade berikutnya di Amerika sebagai gambaran dari mereka yang lahir di pertengahan 1960-1970-an.

Itulah generasi yang digambarkan dengan bawaan mental yang apatis. Kelompok pemilih terendah dalam soal partisipasi politiknya karena skeptisitas tinggi terhadap realitas kontemporer mereka. �Generasi yang tersingkirkan dan tak pernah berhasil kembali pada isu-isu mutakhir,� tulis Newsweek.

Di Indonesia, kondisi itu sangat mudah dimafhumi. Sebagaimana saya jelaskan dalam esai 1980-an itu, generasi yang kemudian hari juga disebut sebagai �generasi X� itu hidup dan berkembang dalam realitas politik, sosial, dan kultural yang penuh tekanan karena otoritarianisme rezim Orde Baru. Sebagaimana kerap juga saya nyatakan, bukan korupsi Rp 150 triliun atau kekerasan politik-militer Soeharto yang generasi ini sesalkan, melainkan hancur dan rusaknya daya khayal atau imajinasi remaja dan anak muda kala itu karena indoktrinasi dan teror mental yang dipraktikkan rezim.

Generasi yang Bertumbuh

Generasi X adalah segerombolan anak yang bukan hanya biaya sekolah, uang jajan, dan makan minumnya ditentukan orangtua, bahkan hingga warna sepatu atau profesi idaman tak bisa mereka tentukan sendiri. Inilah generasi yang duduk sendiri, di belakang rumah, di bawah pohon, membaca biografi tokoh-tokoh dunia dengan fantasi yang disembunyikan.

Maka, saya pun mengamati almarhum cendekiawan Wiratmo Soekito dalam diskusi-diskusi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, mengikuti caranya membaca buku dengan hafal setiap kutipan, halaman, penerbit, hingga kredit bukunya. Namun, semua itu seperti tak berjejak pada generasi berikut, generasi Y alias mereka yang lahir antara 1976 dan 1995. Barisan manusia muda yang rapi dan canggih, dengan kearifan teknologis yang tinggi, imun pada gaya-gaya propaganda dan intimidasi tradisional. Sebuah generasi yang menyebar dalam keragaman etnik dan ras, akrab dengan televisi multikanal, radio satelit serta internet generasi pertama.

Pada masa kanak dan remaja generasi ini, dunia mengalami pertumbuhan dan perubahan dengan percepatan bukan lagi kecepatan, membuat mereka menjadi lebih fashionable dan well-known dan loyalitasnya tinggi pada merek yang mereka anggap memberi identitas. Mereka turut menentukan apa yang keluarga harus konsumsi, memiliki kartu kredit dengan tanda tangan orangtua, dan mulai dapat merancang masa depannya sendiri.

Betapapun orangtua atau nenek-kakek mereka masih duduk manja di kursi kekuasaannya, tetapi di tingkat bawah sesungguhnya terjadi pergeseran serta pergerakan yang tak terbaca oleh suprastruktur, dan diselenggarakan oleh generasi kreatif ini. Jarak antara sains dan teknologi dengan realitas mutakhir�yang sebenarnya menjauh�masih dapat mereka jembatani, ide teraktualisasi, betapapun kadang sumir dan artifisial.

Namun, dunia tidak berhenti bergerak. Teknologi komunikasi dan informasi seperti menggenggam dunia dalam telapaknya, membuat manusia seperti berlari-lari kecil untuk mengelilingi bumi dan mengetahui setiap detail tubuh (persoalan)-nya. Media menjadi begitu canggih sehingga hidup superkompleks bisa diringkusnya dalam data, yang siapa pun mampu mengaksesnya dalam hitungan detik. Kini dunia juga dalam genggaman kita, manusia.

Pada masa inilah, pasca-1995, lahir sebuah generasi baru, �generasi Z�, yang tak hanya diubah oleh percepatan teknologi di atas, tetapi juga mengubah hampir setiap dimensi hidup berbudaya kita. Bukan hanya gaya hidup, cara berpikir, kosmologi, hingga cara menatap waktu atau masa lalu dan masa depannya.

Mereka, yang kerap disebut sebagai iGeneration (i: Internet) atau NetGeneration atau Generation@, adalah gelombang manusia yang tumbuh bahkan menjadi digital: generasi digital!

Penuh Paradoks

Maka, semua jadi purba dalam soal bagaimana kita mengaktualisasi diri, meneguhkan eksistensi. Diri dibentuk oleh perjumpaan data dan kata yang diakses dari seluruh dunia, hingga sudut terkucilnya, lewat BBM, WWW, instant messaging, MP4, mobile phone, Skype, hingga Youtube. Hidup yang posmodernik, multikultural, dan global menjadi keniscayaan yang sesungguhnya memberi mereka paradoks: bebas meneguhkan atau menciptakan klaim tentang diri sendiri tetapi saat bersamaan mereka lenyap dalam riuh.

Jadilah kemudian mereka generasi yang diam karena dunia sudah terlalu (di) dalam dirinya. Generasi yang tidak terusik ketika berhadapan dengan monitor atau keypad di gadget-gadget terbarunya. Manusia-manusia yang sangat praktis, bahkan hiperpragmatis, dengan kantong yang tipis tetapi padat isi dan makna: ada dunia di dalam sakunya, dalam bentuk yang tidak lebih besar dari bungkus rokoknya.

Inilah generasi yang sangat berbeda dengan penulis yang mengeja semua huruf dan kata, menghafalkannya dengan bangga. Sementara generasi ini mengakses dan meresepsi data, kata, dan makna dengan cubitan di kotak screen. Dengan ujung telunjuknya mereka memindai semesta dalam kecepatan daya tangkap visual dan kognitif yang luar biasa. Mereka tahu banyak, bahkan terlalu banyak.
Namun tetap dalam paradoks: mereka juga tak tahu banyak.

Generasi inilah yang akan menentukan bagaimana sebuah bangsa, negara, bahkan kebudayaan akan dikembangkan dan menjadi pada masa nanti. Mungkin sebagian kita tidak rela. Namun, betapa desisif mereka, tidak hanya membuat musik, tari, pertunjukan menjadi �Gangnam Style�, tetapi juga politik, hukum, agama bahkan lembaga internasional. Karena ratusan juta manusia mengamininya.

Lalu di mana James Joyce, Homerus, Hemingway, atau Chairil Anwar dan Ronggowarsito? Mereka adalah teman lama kutu-kutu yang menggerogoti buku-buku, monumen masa lalu. Peradaban dan kebudayaan sedang dibentuk ulang dengan perangkat keras dan lunak terbaru, yang bahkan generasi saya, X, merasa malu dan sungkan untuk mengakui, �Maaf, aku tidak paham itu.�

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Mengingat generasi canggih ini sebenarnya juga terluka oleh krisis-krisis politik, moneter, hingga lingkungan yang diproduksi oleh sistem hasil ciptaan kakek dan buyutnya. Mereka yang begitu bernafsu ingin membeli iPad terbaru, tetapi ternyata ia sudah terlalu banyak utang. Apa dan bagaimana kondisi mental sosial itu memberi mereka alasan-alasan terbaik untuk membentuk diri, masyarakat, atau bangsanya?

Betapa tidak bertanggung jawabnya bila kita lebih peduli pada rebutan kursi kosong dan rezeki murahan ketimbang membantu generasi ini membentuk diri dan masa depannya. Atau kita siap menyambut generasi kosong, generasi katastropik yang tidak (mau) mengerti untuk apa mereka ada di atas tanah ini?

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Sabtu, 19 Januari 2013

Saatnya Pengarang Bersinergi

Radhar Panca Dahana

Tidak sedikit, bahkan mungkin masih mayoritas, seniman berpendapat bahwa organisasi atau tertib dan keteraturan berbahaya bagi kreativitas. Dalam cara kerja seniman yang intuitif, emosional, atau moody,tertib dan disiplin organisasi seperti menjadi ancaman (bahkan) pembunuhan manusia kreatif.

Seniman itu �eksentrik�, �urakan�, �susah diatur�, �semau gue�, dan sebutan-sebutan lain yang memberi semacam privilese atau �kejaizan� untuk keluar atau melanggar tertib sosial, baik secara yuridis, normatif, manajerial, maupun adat. Sebuah otoritas yang kemudian dipahami secara keliru sebagai bagian dari licentia poetica.

Cara kerja�bahkan cara hidup�yang diyakini seperti itu, dianggap oleh banyak kalangan memungkinkan seniman memperoleh pikiran atau gagasan yang segar, aneh, alternatif, lain dari yang lain, yang nonlinier, yang out of the box. Dengan cara itu pula kreativitas bisa terjadi dan berlangsung secara dinamik, bahkan sebagian lain menganggapnya sebagai conditio sine qua non bagi keberadaan seorang seniman.

Kondisi, cara berpikir, hingga pola hidup seperti itu sudah saatnya kita pertimbangkan kembali untuk tidak mengatakan: stop! Apa yang menjadi selimut dari cara berpikir, bersikap, hingga bertindak di atas tidak lain adalah sebuah romantisme yang agak psikotik tentang posisi dan peran seniman yang �berbeda� dari elemen-elemen sosial lainnya. Berbeda dengan kaum akademisi, politik, pedagang, agamawan, dan sebagainya. Seniman adalah makhluk atau manusia khas yang dilahirkan untuk �beda� dari manusia yang lain.

Saya belum meneliti, dari mana anggapan emosional atau praasumsi ini bisa muncul. Bisa jadi romantisme ini muncul dari riwayat hidup banyak seniman besar pada masa lalu, di dalam ataupun di luar negeri yang diisi oleh banyak kejadian unik, avonturisme besar, hingga tabiat atau perilaku senimannya yang membuat masyarakat umum atau mainstream terkejut dan merasa aneh. Dan masyarakat umum pun seperti memberi permakluman atau permisivitas yang cukup tinggi, ketika keanehan, bias bahkan deviasi itu dikaitkan dengan (ke)seniman(an).

Romantisme itu menjadi semacam kuman yang menular saat seorang seniman atau calon seniman membaca riwayat penuh penderitaan dari seniman besar macam Moliere, Dostoyevski, hingga Pramoedya, atau seniman avontur yang penuh kelas seperti Picasso, Hemingway, Baudellaire, hingga Raden Saleh dan Chairil Anwar, atau seniman urakan bahkan patetik yang selalu rapi, dan tampil flamboyan seperti Riviera, Mozart, hingga WS Rendra, dan seterusnya.

Idealisasi romantik semacam ini mengundang banyak persoalan, apalagi ketika ia berproses dan menuju pada sebuah anggapan umum seniman itu adalah semacam stranger in a town. Lebih-lebih bila itu menjadi sebuah sikap yang menolak organisasi, manajemen, disiplin, dan ketertiban sebagai racun bahkan lawan dari kesenimanan dan kreativitas. Ada sekurangnya lima alasan yang bisa disebut untuk itu.

Kekeliruan kreatif

Pertama, kita keliru bila mengambil acuan sikap kesenimanan atau kreatif dari nama-nama besar di atas untuk kita terapkan sebagai gaya atau pola hidup kita sehari-hari, tanpa impuls apa pun yang khas dari hidup sehari-hari itu. Apa yang terjadi dalam hidup para seniman besar di atas bukanlah gaya yang mereka bentuk dengan sengaja, melainkan semacam sikap atau respons dari realitas atau kenyataan kontemporer mereka. Dan sikap itu muncul dari sebuah renungan, dari efek yang mereka dapat atau rasakan, dari pendirian intelektual-filosofis bahkan spiritual yang mereka bangun.

Sifatnya situasional. Jauh dari romantisme apalagi kegenitan dalam cara berbusana, penggunaan aksesori, panjang rambut, hingga cara berbicara dan berbahasa tubuh yang artifisial atau dibuat-buat. Ada argumentasi yang kuat katakanlah dari �rambut gondrong�, �baju hitam�, atau �celana penuh sobekan� dari para seniman historis di atas ketimbang sekadar impuls murahan hanya untuk dikatakan �berbeda�.

Kedua, sikap romantik di atas dapat menjadi kerugian personal bahkan komunal. Terutama jika ia terjadi melalui proses peniruan atau semacam epigonisme. Termasuk di antaranya pemeo menggelikan di kalangan seniman�kebanyakan sastrawan�yang menyatakan, �Adalah kesalahan mencuri buku, tetapi dosa besar bila mengembalikan buku yang dipinjam.� Akibatnya, banyak buku di perpustakaan yang pindah ke rak buku pengarang, sampai tak kurang dari 1.000 judul buku hilang dari perpustakaan pribadi saya. Ini bukan lagi sekadar romantisme, melainkan sudah menjadi vandalisme.

Ketiga, eksentrisitas dan urakanisme kalaupun itu ada sebenarnya bukanlah milik sah atau privilese dari kaum seniman saja. Sikap semacam itu juga ada pada pemikir-filosof Michel Foucault, diktator macam Hitler dan Stalin, fisikawan Albert Einstein, bahkan pada pemimpin politik macam Abraham Lincoln dan Soekarno. Ini adalah sebuah sikap yang menolak kemapanan, menolak sistem yang berlaku (established), atau sikap revolusioner saat menentang rezim lama (dalam politik, ekonomi, bahkan ilmu pengetahuan). Dia bukan cara hidup yang harus kita praktikan bahkan selebrasi ketika realitas sekitar kita tak memberi alasan untuk itu, bahkan mungkin tersenyum geli karenanya.

Keempat, hal yang sangat penting, kesenian adalah sebuah bidang atau jalan hidup yang menempatkan disiplin secara integral di dalam dirinya. Tak ada karya yang baik dapat diproduksi secara kreatif tanpa sebuah disiplin yang keras berproses di baliknya. Dan, mungkin tidak banya disadari, disiplin adalah kata dasar dari apa yang kemudian kita sebut sebagai organisasi, manajemen, atau sistem di mana tertib dan keteraturan menjadi buah yang ditanaknya.

Tak ada kesenian baik tanpa disiplin, tak ada kesenian bagus tanpa organisasi. Apa pun cabang kesenian yang dipilih seseorang, organisasi sudah menjadi prakondisi untuk melahirkan sebuah karya. Bukankah sebuah organisasi yang disiplin untuk menyusun bab, bagian-bagian cerita, plot, karakter, hingga opening dan ending dari sebuah novel? Bukankah sebuah lukisan tidak lain adalah organisasi luar biasa dari titik, garis, bidang dan warna? Bukankah larik atau bait adalah organisasi kata-kata yang disusun dengan ketat dan penuh disiplin? Dan bagaimana Anda bicara tentang sebuah pertunjukan, teater, musik atau tari? Apa tidak keseluruhannya adalah kerja disiplin organisasi yang berlapis?

Vitalitas organisasi

Organisasi bukan saja tak terhindarkan, tetapi ia adalah sebuah realitas natural dari kesenian. Penolakan atas nama romantisme sudah saatnya diakhiri saat ini. Tidak akan muncul sebuah karya yang baik, yang besar, yang beramplitudo dan bermagnitud tinggi, yang kanonik, tanpa disiplin, tanpa organisasi. Seni dan seniman Indonesia sudah hampir setengah abad menyampingkan, menafikan atau alergi terhadap hal ini. Mungkin ini salah satu penyebab stagnasi kualitas dari karya-karya sastra mutakhir kita.

Situasi di atas menunjuk pada hal kelima, di mana organisasi di tingkat komunal pun dianggap sebagai ancaman yang membahayakan para seniman. Selain alasan-alasan individual di atas, alasan komunal ini sebenarnya juga artifisial bahkan cenderung psikosis. Alasan itu tidak berdasarkan pada realitas yang rasional dan faktual, tetapi lebih pada realitas historis yang traumatis bahkan patologis. Realitas historis itu muncul dari pengalaman para seniman, pengarang terutama, pada masa tahun 50-an dan 60-an. Masa di mana para seniman dan pengarang dikotak-kotak oleh berbagai organisasi yang menjadi onderbouw atau sayap kepentingan kelompok atau partai politik tertentu.

Ini saatnya bagi seniman, mereka pengarang-pengarang terbaik dan terpenting yang berkumpul dalam Pertemuan Pengarang Indonesia 2012 di Makassar, November lalu, untuk berani melucuti diri�baik secara personal maupun komunal�dari stigma, trauma, juga romantisme yang menyesatkan bahkan justru mengancam di atas. Ini pula saatnya kita, para pengarang, memulihkan kesatuan di masa perjuangan republik dulu, memadatkan kekuatan kolektif serta membentuk sinergi yang memungkinkan kesusastraan Indonesia mengeluarkan kemampuan terbaiknya.

Kemampuan yang sebenarnya terpendam menjadi potensi karena dikubur oleh hal-hal di atas. Kemampuan sinergis yang mestinya memberi peluang kesusastraan dan kesenian pada umumnya untuk mengambil peran historis dan kultural yang ada padanya�secara natural dan nurtural�dalam dinamika atau proses perkembangan/pembangunan bangsa yang sedang berjalan. Sinergi dan peran sosiokultural yang selaiknya mempertinggi posisi tawar kesusastraan dalam berhadapan dengan stakeholders atau elemen-elemen sosial lainnya.

Asosiasi pengarang pada akhirnya adalah sebuah kekuatan besar yang akan mempertahankan dan membela semua kepentingan pengarang di luar persoalan artistik yang menjadi domain eksklusif setiap pengarang. Namun, semacam asosiasi ini, akan memperjuangkan kebutuhan, kepentingan, hingga martabat setiap pengarang pada semua masalah, dari ekonomi (pajak, royalti, honor, gaji, dan sebagainya) hingga masalah politik (hak, kebebasan, pendapat, dan sebagainya) sampai masalah yuridis (pelanggaran hak, urusan keamanan, penuntutan, dan sebagainya).

Inilah momen sejarah di mana pengarang menetapkan secara sadar peran dan kekuatannya, bukan dalam romantisme masa lalu, melainkan dalam optimisme ke masa depan. Selain karya yang bagus, pengarang masa kini juga mendapatkan peluang memberi warisan kepada generasi berikut tentang visi dan orientasi kebudayaan yang memberi arah dan acuan ke mana sebuah bangsa akan ditujukan. Pada saat yang bersamaan, kita mengobati dan menyembuhkan luka-luka sejarah yang tertinggal menjadi koreng bahkan tumor yang mengganggu metabolisme tubuh kreatif kita.

Atau kita masih menunggu lagi? Hingga bila? Sambutlah tangan ini, kita bersama, berorganisasi, berasosiasi.

Senin, 14 Januari 2013

RSBI: Rusak Sudah Bangsa Ini

Yudhistira ANM Massardi

Belum lagi reda debat tentang Kurikulum 2013, kini dunia pendidikan dihebohkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi yang memvonis bahwa proyek Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional dan Sekolah Bertaraf Internasional bertentangan dengan UUD 1945.

Kedua perkara itu menarik perhatian masyarakat luas terutama karena nalarnya dinilai tidak nyambung dan bertentangan dengan pemahaman umum tentang tujuan pendidikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Salah satu di antara banyak pokok keberatan, baik terhadap Kurikulum 2013 maupun proyek RSBI/SBI, meskipun dimaksudkan untuk peningkatan kualitas, pada praktiknya penghapusan bahasa daerah dan penggunaan bahasa Inggris justru dinilai melemahkan jati diri bangsa.

Proyek Pembuangan

Kritik lain terhadap proyek RSBI/SBI, yang lantas menjadikan sekolah eksklusif dan mahal, adalah melahirkan diskriminasi kaya-miskin dan meniadakan kewajiban negara menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi seluruh warga negara.

Kehebohan ini untuk kesekian kali membuktikan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tampaknya tak paham tentang arti dan tujuan pendidikan, apalagi dalam hubungannya dengan kebudayaan. Lahirnya berbagai keputusan yang aneh itu juga menunjukkan bahwa mereka tak paham fungsi Kemdikbud.

Satu-satunya hal yang mereka pahami tampaknya adalah bahwa ada dana triliunan rupiah yang harus segera digelontorkan. Untuk itu, dibuatlah berbagai program sebagai proyek pembuangan uang. Diberitakan, dalam kurun 2006-2010, Kemdikbud telah menyubsidi 1.172 RSBI/SBI dengan dana Rp 11,2 triliun! Proyek itu juga menyedot dana yang tak sedikit dari pemerintah daerah dan masyarakat. Untuk itu, kiranya Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi segera mengusut peruntukan dan aliran seluruh dana itu, serta menghukum berat para koruptor apabila ternyata mereka berpesta pora dalam proyek itu.

Hakim konstitusi Akil Mochtar seusai persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi pada 8 Januari lalu tegas mengisyaratkan bahwa kehadiran Pasal 50 Ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dijadikan payung hukum bagi proyek RSBI/SBI terkesan dipaksakan.

�Undang-Undang Sisdiknas itu tidak memberikan penjelasan, tiba-tiba pasal itu muncul begitu saja sehingga (harus) dibatalkan,� kata Akil. Jadi, keberadaan norma dalam pasal itu tak memiliki penjelasan dalam pasal-pasal sebelumnya. Fakta adanya �pasal siluman� ini mengingatkan pada berbagai modus kongkalikong antara eksekutif dan legislatif dalam sejumlah kasus korupsi. KPK harus turun tangan.

Rakyat Sudah Letih

Setelah MK menyatakan RSBI/SBI inkonstitusional dan harus dibubarkan, Mendikbud M Nuh secara normatif menyatakan menghormati dan akan melaksanakan keputusan MK. Namun, pada saat yang sama, ia menyerukan agar para guru dan siswa RSBI/SBI tetap berkegiatan seperti biasa. Hal serupa dinyatakannya terhadap keputusan Mahkamah Agung beberapa tahun lalu yang menyatakan bahwa ujian nasional harus dihentikan. Namun, hingga kini ia berkeras menyelenggarakan ujian nasional�suatu hal yang menunjukkan pembangkangan hukum.

Semua kemelut itu, selain membingungkan dan menyedihkan, bisa dimaklumi jika juga membangkitkan rasa apatis sekaligus amarah publik. Hendak dididik jadi apa sebenarnya bangsa kita? Sudah 67 tahun merdeka, tetapi pemerintah tak juga mampu merumuskan dan membuat desain besar pendidikan bangsa yang jelas, bernas, dan holistik. Sebuah kebijakan pendidikan yang bisa dipahami akal sehat dan mudah dilaksanakan di lapangan di semua unit pendidikan serta adil bagi seluruh rakyat.

Rakyat sudah letih menjadi bangsa pariah dunia yang moralnya ambruk oleh semeru korupsi, yang pemerintahannya begitu lemah tanpa visi, yang kementerian pendidikannya begitu limbung tanpa arah.

Kerusakan bangsa ini hanya bisa dihentikan jika, pertama-tama, Kemdikbud dan Kementerian Agama yang juga menangani institusi pendidikan sebagai mercusuar intelektualitas dan moralitas berhenti menjadi sarang koruptor. Kedua, Kemdikbud dan Kementerian Agama harus mengibarkan visi membangun manusia Indonesia yang berilmu, berakhlak mulia, dan kukuh jati diri; serta misi membangun lembaga pendidikan nasional yang membuat anak didik bahagia belajar dan cinta belajar sepanjang hayat. Ketiga, semua pihak harus sadar bahwa semua itu tak akan mewujud jika tak dimulai dengan penanganan ekstra serius terhadap pendidikan anak usia dini!

Yudhistira ANM Massardi; Pengelola Sekolah Gratis TK-SD Batutis Al-Ilmi di Bekasi

Kamis, 10 Januari 2013

Waspadai Sektarianisme

Azyumardi Azra

Jika pemirsa mengamati berita atau �teks berjalan� TV berita di Tanah Air, kita sering menemukan berbagai tindakan kekerasan sektarianisme di banyak negara Timur Tengah.

Aksi kekerasan itu biasanya mengambil bentuk pengeboman rumah ibadah, makam tokoh agama dan tempat suci lain, pasar, dan jalan raya. Aksi sektarianisme hampir tidak pernah henti; dan bahkan cenderung meningkat setiap akhir pekan�Kamis sore sampai Sabtu malam, hari libur, di Timur Tengah.

Sektarianisme keagamaan kian meruyak di Timur Tengah sejak bermulanya transisi ke demokrasi. Seiring dengan kian menguatnya musim semi Arab yang mula-mula terjadi di Tunisia pada Desember 2010 dan menyebar ke banyak negara Arab, sektarianisme keagamaan juga makin mewarnai pergumulan politik. Meski gelombang demokrasi di Dunia Arab telah memasuki tahun ketiga, belum terlihat tanda menyurutnya sektarianisme agama, sosial, dan politik.

Sektarianisme agama dan sosial-politik juga terlihat meningkat di Indonesia sejak demokrasi liberal diterapkan pada 1999. Khusus sektarianisme intra dan antar-agama di Tanah Air, meski masih sporadis dan isolatif, bukan tak perlu dicermati. Dengan konsolidasi demokrasi yang belum solid, kelemahan penegakan hukum, serta penyebaran pemahaman dan praksis agama transnasional di tengah keragaman intra dan antar-
agama, boleh jadi sektarianisme agama dan sosial-politik terus bertahan�jika tak meningkat di negeri ini.

Sektarianisme Berlapis

Bisa dipastikan, tidak ada negara dan masyarakat yang bebas dari perbedaan aliran agama, sosial, budaya, dan politik. Masalahnya, perbedaan-perbedaan itu dapat meningkat menjadi sektarianisme, yaitu kebencian intra dan antar-agama atau antar- mazhab, aliran, denominasi agama; antarkelas sosial; antarkelompok etnis dan budaya; dan juga di antara faksi-faksi dalam kekuatan dan gerakan politik. Sektarianisme dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari yang sederhana sekadar pemberian restu dari kalangan elite agama dan politik pada sikap sektarianisme, pembenaran tindakan kekerasan yang berbau sektarianisme, sampai pada perilaku dan kebijakan politik yang mengandung sektarianisme.

Sektarianisme yang kini menyala-nyala di Timur Tengah bukan hal baru. Secara sosio-historis, kawasan ini penuh riwayat sektarianisme agama, sosial-budaya, dan politik yang berlapis-lapis. Paling tidak bisa dirunut sejak masa kemunculan Kristianitas yang berhadapan dengan Yudaisme, ketika Yesus Kristus dan ajarannya dianggap menyimpang dari agama Yahudi. Sektarianisme intra-agama Yahudi juga berlanjut hingga kini: antara Yahudi Ortodoks dan Yahudi Reformasi. Begitu juga intra-Kristianitas yang mencakup denominasi amat banyak, khususnya abad XII-XVII, pascamasa Reformasi Gereja yang memunculkan Protestanisme.

Jelas, semangat sektarianisme antara Kristianitas dan Islam menjadi faktor penting terjadinya sembilan kali Perang Salib antara 1096 sampai 1272 untuk pembebasan Tanah Suci dari kekuasaan Muslim. Konflik antara Muslim dan kaum Kristiani juga masih berlanjut di Semenanjung Iberia (Spanyol) sejak kekuasaan Islam tertancap tahun 711, yang berakhir lewat reconquista oleh gabungan kekuatan Gereja Katolik pada 2 Januari 1492 dengan inquisisi terhadap kaum Muslim dan Yahudi.

Sektarianisme intra-Islam berkembang sejak masa sahabat Nabi Muhammad, yakni ketika kaum Khawarij yang muncul menjelang akhir Perang Siffin (657M; antara pasukan Ali ibn Abi Thalib versus Mu�awiyah ibn Abi Sufyan) melakukan aksi kekerasan terhadap kaum Muslim lain yang berbeda pandangan dengan mereka. Selanjutnya, skisma dan sektarianisme antara Sunni dan Syiah yang juga muncul pasca-Perang Siffin berlanjut hingga kini di banyak kawasan Timur Tengah.

Dengan beban sosio-historis sektarianisme berlapis-lapis, tak heran kalau bara kebencian atas dasar perbedaan agama, paham, aliran, dan denominasi yang kemudian berbaur dengan sektarianisme sosial, budaya, dan politik terus berlanjut di Timur Tengah. Berganda dengan krisis politik, sosial, dan ekonomi yang tidak terpecahkan, sektarianisme menjadi sangat sukar diatasi di kawasan ini, dan terus mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa, harta, dan benda.

Potensi Sektarianisme

Indonesia sepanjang sejarah tidak mewarisi sektarianisme dalam kadar berlapis seperti di Timur Tengah. Padahal, lapisan keagamaan dan sosial Indonesia relatif lebih kompleks dibandingkan Timur Tengah.
Secara keagamaan, Indonesia mencakup tak hanya Islam dan Kristianitas dengan berbagai mazhab, aliran, dan denominasi, tetapi juga Hindu, Buddha, Konghucu, dan agama-agama lain yang belum mendapat pengakuan resmi dari negara. Secara sosial, menurut data BPS 2010, terdapat 1.128 suku bangsa atau kelompok etnis di Indonesia.

Mempertimbangkan realitas keragaman intra dan antar-agama serta kelompok etnis, potensi sektarianisme sangat besar di Tanah Air. Meski tak serumit sektarianisme di Timur Tengah, sektarianisme di Indonesia bisa berlipat dan berkombinasi di antara sektarianisme agama dan sektarianisme etnis, dan bahkan sektarianisme sosial-politik. Hal ini jelas dan menjadi ancaman serius bagi keamanan nasional sepanjang tahun pemilu 2013-2014.

Karena itu, masalah sektarianisme di Indonesia tidak bisa diperlakukan secara taken for granted, atau tidak perlu dipandang serius, atau diasumsikan bisa baik dengan sendirinya dalam perjalanan waktu. Memandang sektarianisme yang cenderung meningkat dalam dasawarsa terakhir, pandangan dan sikap seperti itu sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia yang aman, damai, bersatu, dan utuh.

Dalam konteks itu, perlu peningkatan kewaspadaan dan keseriusan seluruh pemangku kepentingan untuk mencegah peningkatan sektarianisme. Para pemimpin agama, sosial, dan politik sepatutnya menyadari dan melakukan berbagai upaya melalui institusi masing-masing untuk mencegah berlanjutnya sektarianisme, sekaligus memperkuat harmoni dan saling menghargai perbedaan yang ada di antara berbagai kelompok intra dan antar-agama, kelompok etnis, dan faksi politik.

Di atas semua itu, pemerintah sepatutnya lebih bertekad bulat dalam prevensi proliferasi sektarianisme dalam masyarakat. Sepatutnya berbagai ketentuan perundangan dan aparat negara yang dapat menangkal sektarianisme difungsikan dengan sungguh-sungguh.

Selain itu, upaya penciptaan harmoni dan saling penghargaan di antara berbagai kelompok masyarakat juga perlu lebih diberdayakan melalui pendidikan. Juga sosialisasi empat pilar negara-bangsa Indonesia, yakni UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Anggota Council on Faith, World Economic Forum, Davos

Rabu, 02 Januari 2013

Kepemimpinan Trisakti

Airlangga Pribadi Kusman

Pada awal musim hujan yang baru turun di tanah Jakarta, kami sekumpulan dosen, aktivis kemanusiaan, dan jurnalis dari Aceh sampai Papua�bertemu dalam forum Sukarelawan Indonesia untuk Perubahan. Selama tiga hari kami bertukar pengalaman bersama tentang persoalan di antara kita dalam konteks keindonesiaan.

Salah satu persoalan penting yang kami diskusikan terkait dengan kepemimpinan Indonesia. Bagi kami, kepemimpinan Indonesia menjadi problematik ketika hanya diputuskan segelintir lapisan sosial elite Jakarta yang memiliki akses dominan atas kekuasaan ekonomi-politik di negeri ini. Kepemimpinan Indonesia ke depan�yang melingkupi gugus kebinekaan Indonesia dalam segenap dimensinya�sudah saatnya dirundingkan oleh segenap pluralitas Indonesia, terutama kaum muda.

Persoalan kepemimpinan Indonesia menjadi tantangan ke depan sekaligus krisis dalam kehidupan kita berbangsa. Krisis kepemimpinan Indonesia ini tampil dalam beberapa indikator utama, yang memperlihatkan runtuhnya prinsip-prinsip dalam Trisakti yang pernah dicanangkan oleh Soekarno pada 1963 sebagai parameter kemajuan bangsa. Tiga prinsip itu adalah berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam ranah sosial-kebudayaan. Meskipun Trisakti ini diucapkan hampir 50 tahun lalu, tetapi prinsip-prinsipnya masih relevan dalam konteks demokratisasi di Indonesia.

Dimensi Trisakti

Dalam kedaulatan politik, konteks demokratisasi memperluas ruang kedaulatan. Di sini bukan lagi terbatas pada kedaulatan negara, lebih dari itu adalah kedaulatan warga negara dalam menentukan posisi politiknya.
Terkait kedaulatan warga negara akhir-akhir ini, kita menyaksikan jajak pendapat dari beberapa lembaga survei ternama di Indonesia tentang kepemimpinan nasional di 2014 yang masih didominasi oleh elite-elite lama. Sebutlah seperti Megawati Soekarnoputri (PDI-P), Aburizal Bakrie (Partai Golkar), Prabowo Subianto (Gerindra), dan Hatta Rajasa (PAN).

Munculnya tokoh-tokoh elite lama di ruang publik utama dalam wacana kepemimpinan nasional menunjukkan terjadinya dua krisis politik. Pertama, terjadinya krisis regenerasi kepemimpinan dalam ruang masyarakat politik. Kedua, partai sebagai katalisator politik gagal menampilkan sosok kepemimpinan muda organik yang berasal dari akar rumput dalam pentas politik nasional. Kedaulatan politik warga, yang di dalamnya termasuk kedaulatan untuk menentukan regenerasi kepemimpinan di negeri ini, dihalangi oleh partai politik yang terbonsai oleh aktivitas oligarki elite-elite politik.

Persoalan kemandirian ekonomi muncul dalam bentuk semakin menguatnya ketidakadilan sosial. Empat belas tahun lebih proses reformasi bergulir di Indonesia, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tumbuh sampai 6 persen pada tahun 2012 hanya dinikmati sekelompok kecil elite ekonomi-politik di Indonesia.

Apabila angka kemiskinan diukur melalui standar Bank Dunia sebesar 2 dollar AS per hari, maka jumlah warga miskin di Indonesia berjumlah 100 juta jiwa atau 42 persen dari jumlah penduduk Indonesia(EnnySri Hartati, 2012). Pertumbuhan ekonomi yang tengah menaik tidak berjalan seiring dengan penyerapan lapangan kerja kita.

Dari sekitar 120 juta angkatan kerja, angka pengangguran terbuka tahun 2012 masih 7,61 juta jiwa atau 6, 32 persen. Sementara data MDG (Tujuan Pembangunan Milenium) memperlihatkan harapan hidup kita memprihatinkan. Sejak tahun 2009 Indonesia mengalami 307 angka kematian setiap 100.000 kelahiran, masih jauh dari target MDG yang 105 kematian dari 100.000 kelahiran pada 2015.

Problem ketimpangan sosial bukanlah semata-mata persoalan ekonomi. Juga terkait persoalan kepemimpinan dan institusi politik yang memproduksi dan bekerja melalui nakhoda kepemimpinan tersebut.
Selama ini rakyat menaruh harapan atas institusi demokrasi untuk membereskan persoalan-persoalan publik.

Namun, aktivitas kepemimpinan untuk memproduksi kebijakan pada kenyataannya tak mampu menempatkan negara sebagai pembela bagi mayoritas mereka yang papa, pembendung bagi kerakusan malapraktik korporasi, serta penghukum bagi kekuatan oligarki bisnis-politik yang bekerja melalui mekanisme korupsi dan penjarahan aset publik.

Pada wilayah kebudayaan, kita berhadapan dengan persoalan terkikisnya prinsip hidup bergotong royong. Suatu prinsip hidup yang tak saja menekankan pada pentingnya menghormati pluralisme Indonesia, serta saling menolong dan saling berjuang untuk kemerdekaan yang lainnya sebagai bagian dari warga Indonesia.

Adapun yang kita saksikan saat ini adalah betapa para pemimpin politik hanya menyepakati prinsip-prinsip kebinekaan secara normatif, tetapi tidak sungkan menggunakan isu-isu diskriminatif suku, agama, ras, antargolongan (SARA) ketika berhubungan dengan kepentingan elektoral politik. Kepemimpinan nasional kita terlibat dengan mendiamkan kekerasan sosial saat kalangan minoritas di berbagai wilayah negeri ini kehilangan hak-hak sipilnya. Otoritas hukum sebagai penjamin perlindungan bagi rakyat untuk memiliki kebebasan berkeyakinan dan menjalankan ibadah tidak bekerja di hadapan suara-suara yang mengklaim sebagai mayoritas.

Kepemimpinan Organik

Berhadapan dengan krisis kepemimpinan kita dalam mewujudkan prinsip-prinsip utama dalam gagasan Trisakti di atas, maka ada yang harus kita pertimbangkan dalam menyoal kepemimpinan nasional sebelum menyodorkan tokoh-tokoh alternatif. Penting untuk kita ingat adalah Indonesia bukan hanya Jawa, lebih khusus lagi bukan hanya Jakarta.

Proses seleksi kepemimpinan nasional bukan semata-mata melakukan survei melalui pertanyaan tertutup dengan menyodorkan tokoh-tokoh nasional untuk dipilih oleh responden dari Sabang sampai Merauke. Melakukan seleksi kepemimpinan Indonesia, pertama-tama, bukan hanya soal mencari tokoh, melainkan juga menghimpun detail persoalan yang dihadapi setiap wilayah dengan segenap lokalitasnya sebelum diabstraksikan sebagai persoalan nasional.

Memilih pemimpin republik harus dilakukan melampaui jajak pendapat teknokratis. Caranya dengan mulai melibatkan entitas masyarakat sipil di tingkat lokal untuk membuka pertanyaan dan menemukan figur kepemimpinan organik yang terlibat dengan persoalan keseharian rakyatnya.

Hanya dengan jalan mendengarkan suara-suara kebinekaan Indonesia, yang dilakukan mendahului seleksi formal pemilu, maka kita dapat memperjuangkan kembali prinsip-prinsip Trisakti. Suatu prinsip yang terbukti tidak mampu dijawab generasi lama yang tengah memimpin republik kita saat ini.

Airlangga Pribadi Kusman, Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga

Selasa, 01 Januari 2013

Forum Kebudayaan Dunia

Radhar Panca Dahana

Pemerintah Indonesia yang diprakarsai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono�setidaknya menurut brosur yang ada�akan menyelenggarakan Forum Kebudayaan Dunia (WCF) di Bali tahun 2013.
Ide ini menjadi buntut atau epigon dari forum-forum dunia lain seperti di Davos untuk bidang ekonomi dan di Brasilia untuk bidang sosial.

Tema utama WCF adalah bagaimana memosisikan kebudayaan sebagai katalis(ator) pembangunan berkelanjutan. Artinya bagaimana menempatkan kerja-kerja kebudayaan, produk-produknya, hingga cara berpikir pada kedudukan yang tinggi dalam cara kita bernegara dan berbangsa. Artinya kita memperhitungkan khazanah nilai, norma, tradisi, estetika, dan etika sebagai pertimbangan yang sama, utamanya dengan, katakanlah, politik dan ekonomi yang selama ini menjadi panglima.

Untuk menunjukkan niat dan kepantasan negara kita sebagai penggagas dan penyelenggara tetap, akan banyak dihelat pergelaran kesenian dan hasil-hasil kreatif lain dalam kesempatan itu. Suatu hal yang sebenarnya tidak perlu digemborkan berlebihan karena sebenarnya sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu dunia sudah mengakui itu dengan berbondong-bondong datang ke Nusantara untuk menguasai dan mengolonisasi, hingga kini.

Sebuah forum besar dan global semacam itu tidaklah cukup diisi dengan keramaian pasar malam, hal-hal yang bersifat festival atau karnaval, karena publik sudah melakukannya. Bahkan sebuah kota kecil semacam Jember, Jawa Timur, mampu menyelenggarakan sebuah pesta kebudayaan berupa karnaval busana berkaliber internasional. Belum lagi festival musik, sastra, seni pertunjukan, dan sebagainya di seluruh Indonesia.

Sebuah forum global semacam WCF menjadi terlalu mewah jika sekadar menciptakan keramaian. Ia mesti memiliki misi berkait dengan amplitudo kegiatan yang mengglobal. Artinya, ia juga memberi peran signifikan pada masyarakat dunia untuk ikut memecahkan masalah-masalah regional maupun global.

Namun, problem pertama dari usaha yang tidak main-main itu justru datang dari tema yang ditetapkan.

Masalah di Indonesia

Memang proposisi �kebudayaan adalah katalisator bagi pembangunan yang berkelanjutan� tidak salah. Yang menjadi masalah adalah ketika kita menyodorkan proposisi itu pada dunia, kita tidak memberikan bukti cukup dan memadai untuk mematuhi proposisi itu. Benarkah, pertanyaan dasar dan pertamanya, kebudayaan di negeri ini sudah menjadi katalisator pembangunan? Menjadi pertimbangan yang sama kuat dengan politik, ekonomi, bahkan hukum dan militer?

Dalam bentuk wacana saja, berapa banyak kita mendengar elite pengambil kebijakan di negeri ini membicarakan kebudayaan sebagai dasar pertimbangan kebijakan yang diambilnya? Minim sekali.
Begitu pun dalam kebijakan penyelenggara negara (pemerintah), berapa banyak yang terkait dengan kebudayaan? Bagaimana sebenarnya visi para pemimpin bangsa ini dalam soal kebudayaan? Adakah kita memiliki strategi kebudayaan? Berapa kali presiden menyebut kebudayaan dalam pidato-pidato kenegaraan? Signifikankah alokasi APBN untuk pengembangan kebudayaan?

Dengan sangat menyesal saya harus menjawab semua itu dengan sebuah afirmasi negatif: tidak. Dibandingkan dengan negara-negara lain, bahkan ASEAN, Indonesia begitu tertinggal karena merasa diri memiliki kebudayaan tinggi tetapi tidak memiliki strategi dan visi ke depan. Kata kebudayaan, baik sebagai kata kerja maupun benda, senantiasa luput dari diskursus para pemimpin terpenting kita.

Yang menyedihkan, dibanding Brasil yang mengalokasikan 20 persen dari anggaran tahunan untuk kebudayaan (seperti kasus pendidikan di negeri kita), Indonesia hanya mengalokasikan sekitar Rp 600 miliar tahun 2012 untuk bagian Kebudayaan Kemdikbud RI. Ini bahkan kurang dari 0,5 persen�bukan dari APBN�tetapi dari anggaran saudara mudanya, pendidikan. Artinya kurang dari Rp 30.000 per kapita. Apa yang bisa diperbuat dengan angka itu?

Pemerintah seperti tidak berbuat apa-apa. Maka, pemerintah selaiknya bersyukur dan berterima kasih kepada para seniman dan para pekerja budaya Indonesia yang telah bekerja secara swadaya atau mandiri dalam menyelenggarakan proses, dinamika, dan produk-produk kebudayaan bangsa kita.
�Cultural Summit�

Dalam posisi dan kondisi semacam itu, dapatkah kita mengatakan kebudayaan sudah menjadi katalisator bagi pembangunan berkelanjutan Indonesia? Saya kira Anda setuju jika kita bersama mengatakan dengan tegas: tidak. Dan saya tidak perlu melanjutkan dengan kenyataan infrastruktur di bidang kebudayaan dan kesenian yang ada di seantero negeri ini. Di lebih dari 30 kota penting Indonesia yang saya kunjungi belakangan ini, infrastruktur kebudayaannya tidak hanya minim, tetapi juga mengenaskan.

Sebagai pengundang, situasi ini tentu harus segera dibenahi agar kita tidak menjadi tebal muka, karena tuan rumah belum menjadi contoh yang baik dari tema forum di atas. Pemerintah harus mengajak semua pihak dan pemangku kepentingan kebudayaan bekerja sama menempatkan kebudayaan seperti yang dibayangkan.

Kebudayaan semestinya menjadi rompi kebanggaan kita yang indah, kuat, dan dikenakan di bagian luar, sebagai daya tarik sekaligus sebagai daya tahan. Sesungguhnya kita memiliki semua alasan untuk itu.
Walaupun nyatanya saat ini kebudayaan menjadi pasif karena negara tidak memberikan dukungan cukup untuk berhadapan dengan kebudayaan global yang sumir dan artifisial, tetapi dilengkapi dengan uang dan diplomasi politik.

Kebudayaan di negeri ini bukan sekadar tradisi, etik dan estetik, melainkan juga sebuah peranti sosial yang efektif mengatasi persoalan-persoalan kontemporer. Semua itu diperlihatkan oleh berbagai budaya etnik dan sub-etnik, yang dalam kompetisi dengan budaya global masih bisa mengembangkan diri dan meneguhkan eksistensi.

Berbagai adat-tradisi Nusantara, entah itu Ambon, Bugis, Minahasa, Batak, Jawa, Bali, Banten, Sunda, dan banyak lainnya mampu memberi acuan bagi warganya untuk bertahan dan berkembang, menjadi postmodern tanpa kehilangan referensi primordialnya. Itulah bangsa Nusantara, bangsa Indonesia. Sebuah kenyataan kebudayaan yang menjadi bukti pada dunia bahwa kita ada dan akan tetap ada.

Kenyataan kebudayaan dengan kekayaan adat dan tradisi inilah yang semestinya kita tawarkan kepada dunia, sebagai cara kebudayaan yang khas Indonesia dalam memecahkan persoalan-persoalan pelik di Bumi. Persoalan-persoalan antarbangsa tidak harus diselesaikan dengan cara (bertindak dan berpikir) politik atau ekonomi apalagi militer. Cara kebudayaan adalah alternatif penting yang dapat dipahami oleh siapa pun, bahkan oleh pemimpin-pemimpin dunia. Penting diselipkan dalam forum ini semacam cultural summit bagi para pemimpin.

Tidakkah membahagiakan jika dalam fora kebudayaan seperti ini kita bisa mendudukkan dalam meja yang sama Barack Obama, Ahmadinejad, dan Benjamin Netanyahu? Mereka akan dicap tidak berbudaya jika menolaknya.

Radhar Panca Dahana, Budayawan