Rabu, 10 November 2010

MK Minta Tolong pada Refly

Moh Mahfud MD

Di pesawat Garuda rute Yogyakarta- Jakarta, 25 Oktober 2010 pagi, saya kaget dan lemas setelah membaca satu artikel di harian Kompas. Refly Harun, ahli hukum konstitusi yang cemerlang, menulis dengan gagah bahwa dirinya pernah mendengar dan melihat sendiri praktik suap dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi.

Dia menulis bahwa dia mendengar pernyataan orang Papua yang pernah berperkara di MK yang harus menghabiskan uang Rp 10 miliar hingga Rp 12 miliar. Dia bertemu orang yang ditelepon oleh hakim MK agar menyerahkan uang Rp 1 miliar untuk keperluan perkaranya sehingga dia terpaksa menarik perkara itu karena tidak punya uang seperti diminta oleh hakim MK.

Dia juga mengaku melihat sendiri tumpukan uang senilai Rp 1 miliar dalam bentuk dollar AS yang katanya akan diserahkan kepada hakim MK. Membaca artikel itu jantung saya berdegup kencang, keringat dingin mengucur, kepala jadi pening. Saya minta secangkir teh panas kepada pramugari untuk menenangkan diri, kemudian saya tercenung karena sedih dan malu.

Refly Harun adalah aktivis penegakan hukum dan demokrasi yang dikenal cerdas dan kredibel. Tentu dia tak sembarangan menulis, pasti bisa dipertanggungjawabkan. Saya sedih dan malu karena �permainan perkara� yang dilihat dan didengar Refly itu telah terjadi di MK.

Saya sedih dan malu karena selama dua tahun lebih memimpin MK saya selalu melakukan pengawasan. Banyak isu berseliweran bahwa ada suap di MK, tetapi setelah diselidiki dengan berbagai cara tak pernah ada buktinya. Jangankan bukti, indikasi saja tak ditemukan. Semua hanya bersumber dari pesan singkat (SMS) gelap, surat kaleng, dan isu dari mulut ke mulut yang tak bisa dirunut dan diruntut ujung dan pangkalnya.

Sudah berkali-kali saya umumkan di depan sidang resmi terbuka untuk umum bahwa siapa pun yang diminta uang oleh siapa pun dalam berperkara di MK supaya melapor kepada saya atau kepada polisi. Sudah puluhan kali saya melakukan jumpa pers, menjelaskan adanya penipuan dari orang yang mengaku pejabat dan hakim MK yang pelakunya menggunakan nomor telepon seluler (handphone) tertentu, tetapi setelah dilacak hilang. Nomor telepon seluler dan nama korbannya sudah saya umumkan di koran-koran dan dilaporkan kepada polisi.

Pola penipuan

Selama dua tahun lebih saya selalu mengendus pola penipuan seperti itu, orang yang mengaku pejabat MK memeras orang yang berperkara di MK. Saya terus bekerja untuk mengintai dan memburu info tentang hal ini, tetapi tak pernah menemukan, jangankan bukti, indikasi saja tidak ada kalau di dalam MK. Seperti dikatakan Jimly Asshiddiqie, MK itu bekerja dengan sistem dan mekanisme saling kontrol yang mantap sehingga sangat sulit ada mafia perkara.

Itulah sebabnya, tiga minggu yang lalu, secara terbuka saya menantang siapa pun yang punya bukti awal saja untuk melapor kepada saya kalau ada permainan suap dalam penanganan perkara di MK. Orang itu akan saya belikan tiket pesawat untuk datang melapor kepada saya plus menginap di hotel berbintang, asal ada nama jelas yang bisa dipertanggungjawabkan dan bukan hanya katanya, katanya, dan kabarnya.

Kemudian muncullah Refly yang menulis dengan gagah bahwa dirinya melihat dan mendengar sendiri orang yang mengeluarkan belasan miliar rupiah untuk berperkara di MK, pencari keadilan yang diminta menyetor uang atau diperas oleh hakim MK, dan orang yang akan menyuap hakim dengan uang dollar AS. Refly juga mengusulkan agar MK melakukan investigasi internal. Bukankah bukti awal seperti ini yang selalu saya cari?

MK melakukan langkah dengan sadar, meminta tolong kepada Refly untuk mengungkap kasus ini dengan mengangkatnya menjadi ketua tim investigasi. MK tak mau membentuk tim investigasi internal karena investigasi internal sudah berjalan rutin dan mantap serta tak berhasil menemukan mafia dalam bentuk apa pun.

MK malah melakukan lebih dari sekadar investigasi internal, yakni membentuk tim investigasi dari orang-orang eksternal yang kredibel di bawah pimpinan orang yang mengaku melihat dan mendengar sendiri. Lagi pula kalau hanya investigasi internal, MK bisa dituduh tidak fair dan menyembunyikan sesuatu. Refly diminta mengusulkan dua anggota lainnya, siapa pun yang dia mau, sedangkan MK juga akan menunjuk dua orang lainnya. Apa ada yang lebih fair dari cara ini?

Kini tim sudah terbentuk. Refly sudah mengusulkan nama Adnan Buyung Nasution dan Bambang Harimurti, dua nama yang sangat kredibel. MK pun tak mau memasukkan orang MK di dalam tim itu agar investigasi berjalan obyektif. MK menunjuk Bambang Widjojanto dan Saldi Isra, dua nama yang juga dikenal sangat bersih dan patriotik dalam penegakan hukum.

MK tidak memusuhi Refly karena dia adalah mitra kerja yang baik dan idealis. MK hanya meminta tolong untuk bekerja sama guna membersihkan MK yang menurut tulisannya digerogoti oleh suap-menyuap. Sebagai intelektual-pejuang, Refly pasti tak akan berkelit dengan hanya akan membahas soal-soal semantik dari tulisannya itu.

Kalau di MK memang ada suap-menyuap, mari kita bawa hakim pelakunya ke penjara, tetapi kalau tim Refly tidak menemukannya, marwah MK harus dikembalikan dengan cara yang terhormat. Masyarakat tak boleh dibuat putus asa. Masyarakat harus diberi harapan bahwa di negeri ini masih ada lembaga peradilan yang mau bekerja dengan patriotik, bermartabat, dan penuh kehormatan, seperti ditulis oleh Satjipto Rahardjo dalam Kompas tanggal 14 Juli 2009.

Moh Mahfud MD Ketua Mahkamah Konstitusi

Senin, 25 Oktober 2010

MK Masih Bersih?

Refly Harun

"Sampai pukul 12.46 tanggal 19 Oktober, kami bersih 100 persen! Siapa yang punya bukti (sebaliknya) silakan, akan kami bayarlah.�

Begitu kutipan pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD dalam jumpa pers di kantor MK, 19 Oktober (www.kompas.com, 19/10). Mahfud dan kolega hakim MK rupanya merasa perlu menggelar jumpa pers karena rumor mafia perkara meresahkan mereka.

Ada asap tentu ada api. Selentingan tentang MK yang mulai masuk angin kerap saya dengar. Ketika berkunjung ke Papua beberapa waktu lalu, saya mendengar keluhan dari peserta pertemuan bahwa pilkada tidak perlu lagi. Biayanya terlalu besar, baik bagi penyelenggara maupun kandidat. �Setelah habis banyak dalam pilkada, nanti habis juga untuk bersengketa di MK. Ada yang habis Rp 10 miliar-Rp 12 miliar untuk MK,� katanya.

Ada juga yang bercerita tentang negosiasi yang gagal untuk memenangi perkara. Hakim, kata orang itu, meminta uang Rp 1 miliar. Pemohon, calon gubernur, hanya sanggup memberikan garansi bank senilai itu. Karena ditunggu sampai sore tidak juga cair, negosiasi gagal dan permohonan pun dicabut.

Semua kisah itu membuat saya miris dan sedih. Sebagai orang yang pernah berkontribusi membangun MK menjadi pengadilan yang tepercaya�sebagai staf ahli 2003-2007�saya senantiasa memimpikan ada pengadilan di negeri ini yang bersih. Pencari keadilan hanya perlu bekerja keras membuktikan kebenaran dalil hukumnya, tidak perlu direcoki faktor-faktor nonhukum.

Namun, untuk menghibur diri, seperti halnya Mahfud, saya menganggap cerita tentang suap di MK hanyalah celoteh mereka yang kalah. Sebelum ada kejadian hakim tertangkap tangan menerima suap, cerita tetaplah cerita. Anggap saja tidak benar walau saya pernah melihat dengan mata kepala sendiri uang dollar AS senilai Rp 1 miliar, yang menurut pemiliknya akan diserahkan ke salah satu hakim MK.

Sembilan hakim

Salah satu alasan mengatakan MK bersih dari mafia peradilan adalah setiap putusan harus diambil oleh sembilan hakim konstitusi. Katakanlah, satu-dua hakim masuk angin, mereka tetap tidak dapat memengaruhi tujuh hakim yang lain. Apabila ada yang bertanya bagaimana caranya mendekati satu-dua hakim, saya selalu mengatakan percuma saja karena satu-dua hakim tidak banyak pengaruhnya terhadap konstelasi putusan MK.

Namun, yang saya rasakan, hal tersebut hanya berlaku untuk kasus-kasus non-pilkada. Dalam kasus pilkada, panel hakim yang terdiri dari tiga orang sangat memengaruhi, bahkan bisa dikatakan determinan terhadap putusan akhir. Hal ini dapat dimaklumi karena enam hakim lainnya sama sekali tidak terlibat dalam proses pemeriksaan perkara.

Lain halnya dengan kasus pengujian undang-undang, yang dalam beberapa kesempatan sering bersidang pleno dihadiri sembilan hakim konstitusi.

Selain itu, kasus pilkada yang didaftarkan ke MK tahun ini lebih dari seratus perkara. Hakim juga terbatas tenaganya. Bisa dikatakan mereka akan lebih berkonsentrasi pada kasus yang mereka tangani. Kasus yang ditangani panel hakim lain tidak dicermati secara serius, kecuali apabila ada putusan-putusan yang memerlukan debat panjang karena menyangkut paradigma hukum tertentu atau menarik perhatian publik.

Tiga hakim yang memutuskan perkara inilah yang rawan disusupi. Bagaimanapun hakim adalah manusia. Apabila di depan mata terhampar miliaran rupiah, bisa saja ia tergoda. Terlebih bila sejak awal kadar kenegarawanannya patut dipertanyakan karena perekrutan hakim konstitusi saat ini tidak lagi melewati saringan ketat.

Investigasi internal

Oleh karena itu, ketimbang berteriak di media bahwa MK tetap bersih, lebih baik Mahfud meningkatkan kewaspadaan, siapa tahu apa yang digunjingkan orang benar adanya.

Bagaimanapun, Mahfud dan kita semua tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi, kecuali kalau kita pelaku langsung. Dalam hal ini dan saya yakin seyakin-yakinnya bahwa kredibilitas Mahfud tidak perlu diragukan.

Mahfud, misalnya, bisa saja membentuk tim investigasi internal untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya. Mahfud pasti maklum khalayak tentu tidak bisa diharapkan kendati ia memiliki data atau pelaku langsung. Dalam hukum di negara ini yang kerap tidak adil, sering kejadian yang dialami Endin Wahyudin berulang.

Beberapa tahun lalu Endin berteriak lantang bahwa tiga hakim agung telah menerima suap. Tidak main-main, ia menyatakan, pelakunya adalah dirinya sendiri. Yang terjadi kemudian adalah belum lagi kasus suap itu diadili, Endin terlebih dahulu harus berhadapan dengan tuntutan klasik pencemaran nama baik. Endin dipersalahkan dan tiga hakim yang diadili oleh koleganya sendiri melenggang bebas.

Saya ingin meyakinkan Pak Mahfud, tidak perlu risau dengan segala rumor. Emas adalah emas, loyang akan tetap loyang. Apabila MK tetap emas, semua omongan tentang isu suap itu akan menguap bersama angin (gone with the wind). Namun, apabila MK sudah tidak emas lagi, belum terlambat untuk segera memperbaiki.

Rakyat sudah terlalu lelah menyaksikan bahwa tidak ada satu pun institusi di negeri ini yang layak dipercaya.

Refly Harun Pengamat dan Praktisi Hukum Tata Negara

Kamis, 07 Januari 2010

Bapak Ceplas-ceplos Nasional

Sujiwo Tejo

Banyak hal terkuak sepeninggal Gus Dur. Ternyata sebagai bangsa kita masih saja terlalu silau pada hal-hal yang seolah-olah besar dan mentereng. Sebutan �Bapak Pluralisme� dan �Bapak Demokrasi� buat almarhum menunjukkan keterpukauan itu. Yang rinci dan seolah-olah kecil kita abaikan.

Keceplas-ceplosan Gus Dur kita anggap unsur sepele. Kita lekas melupakannya. Padahal, sejatinya, unsur tampak remeh-temeh inilah yang justru paling menentukan vitalnya kedudukan Gus Dur di tengah kemunafikan Nusantara.

Kalau sekadar tokoh yang bertumpu pada kekuatan pikiran, ada banyak tokoh sekelas Gus Dur. Baik itu gagasannya tentang pluralisme, demokrasi, maupun pembaruan pemikiran Islam. Ketokohan dan �darah biru�-nya juga tidak kalah dibanding Gus Dur. Akan tetapi, arek Jombang ini menjadi kinclong dibanding tokoh-tokoh setarafnya justru karena bawah sadar kolektif kita yang munafik ini sebetulnya merindukan keterusterangan.

Jauh di dasar permukaan tata krama, sopan santun, basa-basi, dan seluruh perangkat kemunafikan lainnya, kita sesungguhnya mendambakan sesuatu yang urakan. Urakan bukan dalam nuansa arogan. Nuansanya egalitarian. Itulah keceplas-ceplosan Gus Dur.

Bima

Dari lubuk dasar yang permukaannya saja tampak hipokrit, kerinduan kita pada keterusterangan itu menjadi jelas kalau kita rujuk suku Jawa sebagai salah satu pengisi budaya nasional yang paling rumit tata kramanya. Tingkatan bahasa orang Jawa paling tidak ada tiga: ngoko (bahasa kasar), kromo madyo (bahasa sedang), dan kromo inggil (bahasa tinggi). Akan tetapi, bawah sadar kolektif nenek moyang orang Jawa yang tecermin dalam wayang justru menjadikan Bima yang cuma bisa ngoko alias blakblakan, sebagai manusia dengan derajat kesempurnaan tertinggi.

Dengan bahan baku Ramayana dan Mahabarata dari India, metabolisme kreatif lokal para leluhur orang Jawa tidak memilih tokoh-tokoh santun seperti Yudistira dan Kresna sebagai puncak idola. Pada lakon Dewa Ruci, lakon carangan atau gubahan lokal yang menjadi master- piece dunia pedalangan Jawa dan tidak terdapat dalam naskah asli India, hanya Bima seorang diri yang diberi hak oleh leluhur Jawa untuk bisa bertemu dan berdialog langsung dengan Tuhan semasa hidupnya.

Kemunculan Gus Dur yang fenomenal bisa dipahami dalam konteks memori bawah sadar kolektif kita, apalagi di tengah kancah kemunafikan tata krama yang makin bikin sumpek seperti sekarang. Mungkin ada beberapa tokoh ceplas-ceplos yang pluralis, demokratis, dan pembaru pemikiran Islam. Akan tetapi, keceplas-ceplosan Gus Dur sangat dekat pada model blaka suta (frankly speaking) yang diimpikan leluhur Jawa melalui karakter khayalan Bima. Bima bicara apa adanya dan ngoko dan tanpa basa-basi, tetapi tak satu pun lawan bicaranya sakit hati atau merasa tidak dihormati. Kuncinya adalah ketulusan, tanpa pretensi ataupun tendensi tertentu yang tersembunyi.

(Maaf) kentut

Satu lagi pertanda bahwa suku yang paling berpilin-pilin tata kramanya di Nusantara ini sesungguhnya bawah sadar kolektifnya menginginkan keterusterangan, termasuk dalam melanggar tabu, adalah direkanya tokoh Semar. Tokoh yang kejenakaan serta posturnya berkesan Gus Dur ini juga tak ada dalam Ramayana dan Mahabarata India.

Para leluhur Jawa, suku yang di permukaan tampak ruwet tata kramanya, memilih kentut Semar sebagai senjata paling ampuh di dunia, bukan senjata pamungkas pasopati milik Arjuna ataupun cakra milik Kresna.

Dalam konteks budaya, sebagai simbol, kentut adalah seluruh hal yang tabu di Nusantara, seperti sendawa pada orang-orang �Barat�. Maknanya, bangsa yang kian sesak kemunafikan ini sesungguhnya di bawah sadar memori kolektifnya membolehkan malah mengharuskan pelanggaran hal-hal tabu untuk menyelesaikan masalah seperti, antara lain, persetujuan Gus Dur untuk perayaan Imlek.

Sungguh agak kurang sedap dan kurang inspiratif mengenang Gus Dur hanya dalam hal ketokohannya di ranah pluralisme, demokrasi, dan pembaruan pemikiran Islam, tanpa mengenang keceplas-ceplosannya termasuk dalam melanggar tabu-tabu. Ibarat mengenang garam tanpa kita kenang asinnya.

Sujiwo Tejo, Dalang

Selasa, 05 Januari 2010

Bola Demokrasi

Shindunata

Almarhum atau swargi Gus Dur bukan hanya kiai, mantan Ketua PBNU, dan mantan Presiden. Semasa hidupnya, swargi Gus Dur juga seorang pencinta dan pengamat sepak bola yang andal. Ulasan bolanya tentang Piala Dunia sering menghiasi halaman pertama harian ini.

Ketika Gus Dur menjadi Presiden, beberapa kali penulis juga memakai bahasa bola dalam mengomentari pemerintahannya. Kami malah sempat terlibat dalam polemik berbahasa bola. Waktu menghadapi kasus Bulog, Gus Dur begitu yakin akan dapat mengatasi Pansus DPR karena ia menerapkan strategi catenaccio (pertahanan gerendel khas Italia).

Penulis mengkritik strategi pertahanan konservatif itu. Kalau Gus Dur memakai 'catenaccio politik,' yang cenderung menunggu peluang itu, betapa makin sulit kita mengharapkan perubahan. Baru saja kita merasa hidup baru, tetapi sekarang tiba-tiba kita merasa sesak dalam udara lama, kembali dicekik cara pikir dan kekuatan lama. Dalam sekejap, kita seperti kehilangan bola emas di depan gawang lawan (Kompas, 16/12/2000).

Dua hari kemudian, di tengah kesibukannya sebagai Presiden, swargi Gus Dur menanggapi kritik itu dan mengeluarkan tulisan Catenaccio Hanyalah Alat Berat ( Kompas, 18/12/2000). Tutur Gus Dur, tidak benar ia hanya memakai catenaccio dalam segala strategi pemerintahannya. Ia memakai catenaccio hanya dalam menghadapi Pansus DPR sehubungan dengan kasus Bulog. Ia bahkan bertekad untuk menerapkan total football dalam menegakkan demokrasi di Indonesia.

Namun, Gus Dur segera menambahkan, janganlah kita bersikap terburu-buru dan sembrono, menganggap bahwa 'total football demokrasi' itu dapat diwujudkan secepat-cepatnya dan sesegera mungkin. Untuk itu mungkin lebih tepat dipakai strategi hit and run, seperti dahulu banyak dipergunakan oleh berbagai
kesebelasan di Inggris.

Artinya, tulis Gus Dur, "sebuah proses demokratisasi itu haruslah diwujudkan dalam hal ia dapat dilaksanakan." Dengan demikian, disadari bahwa tidak seluruh aspek yang harus didemokratisasikan dapat diwujudkan pada saat bersamaan.

Mengutip Lenin, Gus Dur mengatakan, anggapan bahwa demokratisasi dapat dilakukan dengan cepat adalah "penyakit kiri kekanak-kanakan" (infantile leftism). Demokrasi tidak dapat dijalankan dengan gedubrag-gedubrug. Menurut Gus Dur, kita memerlukan daya tahan yang kuat, stamina yang tinggi, dan waktu yang sangat lama untuk menegakkan demokrasi.

Dalam situasi seperti itu, Gus Dur bilang, ia tetap berpegang pada sebuah adagium dari ushul fiqh (filsafat hukum Islam). Adagium itu dipelajarinya ketika ia masih di pesantren. Adagium itu ditemukan oleh Imam Syafi'i, dua belas abad lampau dalam sebuah karya monumentalnya Al-Risalah. Adagium itu berbunyi: Maa la yudroku kulluhu, lam yuthrak julluhu (Jika tidak dapat meraih seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya).

Gus Dur memberi contoh bagaimana mempraktikkan amanat itu ketika ia merangkul erat-erat ABRI (TNI sekarang). Gus Dur tahu langkah itu bakal disumpahserapahi orang sebagai strategi yang salah.

Namun, demikian tulisnya, "Bila hal itu tidak dilakukan dahulu, tentu struktur TNI sekarang ini tidak mendukung proses demokrasi. Dan, tanpa dukungan mereka, tidak banyak yang dapat dilakukan di hadapan teriakan reformasi yang dilontarkan orang yang sebenarnya berjiwa status quo". Karena itu, kita perlu menghormati institusi TNI, sambil terus menggunakan kedaulatan hukum untuk menegakkan demokrasi.

Lalu dalam bahasa bola Gus Dur menyimpulkan bahwa total football itu harus diterapkan secara kreatif dalam kehidupan berbangsa. Dalam satu hal kita menggunakan strategi catenaccio, dalam hal lain strategi hit and run. Kemudian, demikian ia menuangkan impiannya, "Bahkan, kadang kita menggunakan strategi total football, dan siapa tahu kita juga memeragakan bola samba kesebelasan Brasil."

Jelas, Gur Dur pengagum sepak bola Brasil. Pedoman sepak bola Brasil adalah: Peduli amat dengan sistem, pokoknya sepak bola harus tetap hidup dari kultur dan spirit samba, yang khas rakyat Brasil. Itulah yang ditampakkan secara ekstrem oleh kesebelasan mereka dalam Piala Dunia 1958 di Swedia.

Waktu itu Pele, Vava, Zagallo, Didi, dan Garrincha mengejutkan dunia karena mereka tampil bagaikan malaikat-malaikat bola yang bermain dalam sistem yang entah apa namanya dan sama sekali tak terduga oleh lawan-lawannya. "Kesebelasan Brasil dalam Piala Dunia 1958 kiranya bisa menjadi juara dunia
dengan menggunakan sistem apa pun," kata mantan pelatih kesebelasan Jerman,
Erich Rutemoeller.

Memang catenaccio, hit and run, total football semuanya bisa hidup dengan kreatif dalam permainan kesebelasan Brasil karena mereka bermain dengan jiwa dan roh samba. Meminjam ushul fiqh Gus Dur, Brasil bisa bermain demikian karena tidak meninggalkan yang pokok, identitas dan kultur bola mereka.

Gus Dur adalah pribadi yang menghormati sistem. Namun, ia bukanlah orang yang mau didikte oleh sistem. Baginya demokrasi bagaikan bola. Bola tidak harus langsung ditembak ke gawang lawan, tetapi juga harus dikejar, direbut, di-dribble, dijadikan passing pendek, diolah dalam kombinasi dan kerja sama tim, dimainkan dalam tempo yang tidak selalu sama.

Bagi swargi Gus Dur, demokrasi bukanlah bola yang hanya harus secepatnya ditendang, tetapi teman bermain dan mitra yang harus dikenal, dibelai, dirawat, dan dicintai dengan kasih sayang. Untuk itu, ia selalu mencoba tabah dan sabar.

Gus, mungkin setelah Sampeyan pergi, itulah yang harus kita buat bagi demokrasi.

Sabtu, 02 Januari 2010

Politik Luar Negeri Gus Dur

Budiarto Shambazy

Sisi lain dari kepemimpinan Gus Dur sebagai presiden adalah dominasinya dalam pelaksanaan politik luar negeri. Dominasi itu ditunjukkan �tur keliling dunia� yang menghabiskan 23 dari 40 hari pertama masa pemerintahannya, rekor baru yang fantastis dalam sejarah kepresidenan.

Wajar Ketua MPR Amien Rais dan Ketua DPR Akbar Tandjung mengkritik Gus Dur jangan terlalu sering melawat karena banyak persoalan domestik, seperti konflik Aceh. Gus Dur menjawab, tujuan tur mengembalikan nama baik Indonesia, berharap investor menanamkan modal lagi, dan mencari dukungan internasional terhadap keutuhan Aceh sebagai bagian dari kita.

Dominasi Gus Dur bukan penyimpangan politik luar negeri. Bung Karno dan Pak Harto juga figur dominan dengan gaya berbeda. Bagi mereka bertiga, menteri luar negeri pembantu aktif yang menjalankan diplomasi dan wajib mengikuti panduan kepala negara.

Ada beda sedikit: Pak Harto lebih bersikap pasif menyerahkan otoritas kepada para menlu, sedangkan Bung Karno dan Gus Dur jauh lebih aktif bukan cuma menentukan arah, tetapi juga nuansa-nuansanya.

Peranan kepala negara vital karena posisi politis dan geografis Indonesia yang amat strategis. Negara-negara Asia dan Afrika mengandalkan kepemimpinan Indonesia di Gerakan Nonblok, Asia Tenggara menempatkan kita sebagai saka guru ASEAN.

Saat Perang Dingin berkecamuk, Indonesia menjadi rebutan Blok Barat dan Timur. Barat menjalankan kebijakan subversif agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis, China dan Uni Soviet ingin menjadikan kita sebagai satelit.

Dominasi Bung Karno tampak dari peranannya menggalang Konferensi Asia-Afrika, Gerakan Nonblok, dan Conference of New Emerging Forces (Conefo). Bung Karno bahkan memerintahkan Perwakilan Tetap RI di New York memutuskan Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Di tingkat regional, Bung Karno menggagas pembentukan poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang yang cenderung berkiblat ke Blok Timur. Sikap agresif Bung Karno ditunjukkan pula melalui politik konfrontasi terhadap Malaysia.

Dominasi Pak Harto tecermin dari perubahan orientasi politik luar negeri yang pro-Barat dan �diabdikan untuk pembangunan ekonomi�. Bantuan dana untuk Orde Baru berdatangan dari negara-negara Barat berkat politik luar negeri yang antikomunis. Pak Harto memutuskan hubungan diplomatik dengan China.

Politik luar negeri Pak Harto berhasil menjaga kesinambungan kepemimpinan Indonesia di Asia Tenggara dengan melanjutkan gagasan Bung Karno mengenai kerja sama regional melalui pembentukan ASEAN lewat Deklarasi Bangkok 8 Mei 1967. Ini tindak lanjut dari cita-cita Bung Karno membentuk Association of Asian States (ASA) 31 Juli 1961 dan Maphilindo (5 Agustus 1963).

Parlemen Orde Lama dan Orde Baru tidak terlalu mempersoalkan dominasi kepala negara kecuali untuk isu-isu kontroversial. Keterlibatan aktor-aktor masyarakat terbatas karena tak begitu peduli dengan proses pengambilan keputusan politik luar negeri yang elitis.

Namun, saat Gus Dur memimpin, asumsi itu berubah. Globalisasi memaksa rakyat dan parlemen giat mengikuti perkembangan internasional dan regional yang berpengaruh terhadap situasi domestik. Tak mudah menilai sukses tur keliling dunia Gus Dur karena usia pemerintahannya yang pendek.

Pernyataan politik luar negeri perdana Gus Dur mengumumkan rencana pembukaan hubungan dagang dengan Israel.

Ada dua alasan: pertama, menggairahkan hubungan dengan lobi Yahudi. Indonesia paling tidak bisa minta tokoh Yahudi, George Soros, tak mengacaukan pasar uang/modal untuk menghindari krisis moneter. Kedua, meningkatkan posisi tawar Indonesia menghadapi Timur Tengah yang tak pernah membantu Indonesia mengatasi krisis moneter.

Melalui Menlu Alwi Shihab, Gus Dur setidaknya mengintrodusir tiga elemen politik luar negeri. Pertama, menjaga jarak sama dengan semua negara, kedua hidup bertetangga baik, dan ketiga �kebajikan universal�.

Seperti Bung Karno, Gus Dur berambisi mewujudkan �poros kekuatan� di Asia. Ia sempat memulai prakarsa tersebut dengan menggagas Forum Pasifik Barat yang terdiri dari Indonesia, Timor Timur, Papua Niugini, Australia, dan Selandia Baru yang sempat disuarakan ke sembilan negara ASEAN.

Masih segar dalam ingatan, Gus Dur membujuk Singapura menyetujui pembentukan Forum Pasifik Barat dalam KTT ASEAN di Singapura, November 2000. Menteri Senior Lee Kuan Yew menolak permintaan itu. Wajar jika Gus Dur langsung ngamuk, membuat Singapura gempar.

�Pada dasarnya orang Singapura melecehkan Melayu. Kita dianggap tak ada. Lee Kuan Yew menganggap saya sebentar lagi turun (dari jabatan presiden). Singapura mau enaknya sendiri, cari untungnya saja,� kata Gus Dur.

Sebelum itu Gus Dur mengemukakan pembentukan poros (axis) Indonesia-China-India. Tak lama kemudian ia memprakarsai pula poros ekonomi Indonesia, Singapura, China, Jepang, dan India. Sayang, sejumlah negara Barat�dan beberapa sekutu mereka di kawasan ini�merasa khawatir dengan fenomena �kebangkitan Asia� ala Doktrin Wahid ini.

Melalui Mensesneg Bondan Gunawan, Gus Dur minta bantuan saya dan sejumlah teman untuk merumuskan pembentukan organisasi Dewan Keamanan Nasional. Sebagai presiden, Gus Dur berkeinginan setiap sarapan sudah di-brief tentang perkembangan politik dan keamanan regional/internasional yang mutakhir dan apa yang harus dilakukan pemerintah.

Pada hari-hari itu kami bangga menjadi warga Merah-Putih karena tekad besar Gus Dur mengembalikan pamor Indonesia sebagai kekuatan menengah yang sedang tercabik oleh krisis moneter, konflik sosial, dan proses disintegrasi. Ia seorang visioner, ilmuwan, praktisi, sekaligus presiden luar negeri yang mungkin sukar kita temukan lagi.

Budiarto Shambazy, Wartawan Senior Kompas