Rabu, 26 Februari 2014

Nasib Presiden

Acep Iwan Saidi

Esai ini ditulis setelah saya membaca buku Selalu Ada Pilihan karya Susilo Bambang Yudhoyono. Buku setebal 807 halaman itu sebenarnya tidak diperuntukkan bagi pembaca seperti saya. Periksalah, judul kecilnya berbunyi: �Untuk Pencinta Demokrasi dan Para Pemimpin Indonesia Mendatang�.

Tentu saya bukan calon presiden mendatang. Saya juga bukan pencinta demokrasi, setidaknya demokrasi yang dirayakan di negeri ini. Sejauh yang teramati, demokrasi yang kita praktikkan kiranya masih bolong di sana-sini. Ia bahkan memberi ruang bagi penistaan bahasa: atas nama demokrasi apa pun seolah bisa dibahasakan.

Namun, saya tetap membeli dan membacanya. Saya dan bangsa ini mesti berterima kasih kepada Presiden SBY sebab telah bersusah payah menulis di sela- sela kesibukannya sebagai presiden. Kita tahu, tak banyak pemimpin yang menulis. Padahal, tulisan adalah �artefak pikiran� yang di dalamnya si penulis mengabadikan diri. Seorang presiden yang menulis adalah ia yang menambahkan �artefak� itu ke perbendaharaan sejarah kepemimpinan, ke dalam perjalanan peradaban bangsa ke depan.

Sebagai keburukan

Sebagaimana disampaikan SBY, Selalu Ada Pilihan (SAP) adalah kumpulan pengalaman selama lebih kurang 9 tahun jadi presiden. Namun, ia ditulis selama satu tahun, yakni antara 2012 dan 2013. Dengan begitu, pengalaman yang terjadi tahun 2004, misalnya, menjadi sebuah opini tentang pengalaman di tahun lampau tersebut. Dengan kata lain, SAP adalah narasi pengalaman SBY selama 9 tahun menjadi presiden dalam perspektif satu atau dua tahun terakhir.

Di situlah SAP jadi menarik. Kita tahu, ruang dan waktu akan selalu memengaruhi psikologi penulis ketika menulis. Dan, semua pihak yang peduli pada bangsa ini kiranya bersaksi: tahun-tahun terakhir kepemimpinan SBY adalah episode begitu banyak masalah, baik sebagai ketua partai maupun presiden. Hal ini, paling tidak, bisa dilihat dari gesture SBY yang belakangan kian galau, emosional, dan acap marah-marah. Walhasil, SAP adalah rekaman pengalaman masa lalu yang ditulis dalam gundah.

Sebab itu pula nada buku ini terasa agak sumbang, sarat pengalaman negatif, juga saran-saran yang dimotivasi pengalaman demikian. SBY mengatakan, SAP adalah hak jawabnya atas begitu banyak perlakuan buruk yang dialamatkan kepadanya; SBY tak merasa perlu memberikan hak jawab tentang sesuatu yang sebaliknya. Dalam masyarakat kita, kebaikan memang seolah tak perlu lagi dikritik, sedangkan keburukan selalu meminta dibicarakan. Ini juga pendapat yang disitir SBY mengenai pers, good news is no news. Sebaliknya, yang buruk-buruk akan terhormat sebagai berita. Disadari atau tidak, SAP pun seperti itu: mengabarkan yang buruk-buruk, setidaknya nuansa ini yang membungkus keseluruhannya.

Asalkan Tahu, Beginilah Jadi Presiden�, demikian judul Bagian II SAP. Isinya (33 artikel), umumnya berupa kisah luka: tentang kritik yang tidak berhenti, caci maki, hingga fitnah. Atas semua berita buruk tersebut barangkali kita akan mengajukan dua pertanyaan. Pertama, sebegitukah menjadi presiden. Kedua, begitukah mestinya presiden bersikap atas apa yang dihadapi dan dialaminya? Jawaban atas pertanyaan ini penting, terutama untuk presiden mendatang; sebuah alamat yang secara spesifik memang dituju oleh buku ini.

Dalam perspektif hermeneutika, segala yang mewujud di jagat ini bisa disebut teks; sebuah tenunan (textile) yang dibangun oleh relasi tanda, bahkan ketika ia masih bersifat alamiah. Selembar daun kuning yang jatuh adalah tanda. Kita mungkin bisa menafsir: di situ Tuhan sedang mengirim pesan, yang tua (kuning) pada akhirnya luruh, lalu jatuh. Dalam konteks ini, seorang presiden�juga pejabat dan tokoh publik�adalah teks. Ia hadir ke tengah-tengah dan mengemban amanat publik. Konsekuensinya, ia menjadi milik publik, seperti penari yang  tidak lagi berhak atas tubuhnya saat ia menari.

Sebagai teks

Ketika predikat presiden telah menjadi teks sedemikian, ia segera jadi makhluk tafsir. Pada titik ini, segala tindak dan perilaku presiden adalah sumber informasi yang memberikan ruang terbuka untuk ditafsir. Di sini, predikat presiden telah melampaui ranah politik. Komunikasi presiden bukan lagi komunikasi praksis-politik, melainkan telah masuk ke dalam ranah signifikasi (John Fiske, 1990). Presiden bukan sekadar sekumpulan pesan, melainkan konstruksi makna. Dalam komunitas tafsir, pemaknaan dan ketepatan makna tak pernah jadi milik mutlak seseorang atau kelompok tertentu. Itu sebabnya Fiske mengatakan: tak pernah ada tafsir salah, yang ada tafsir berbeda. Kebenaran tafsir bersifat metodologis.

Demikianlah, di hadapan 250 juta penduduk, presiden bisa jadi memiliki makna sejumlah itu pula. Di dalamnya bisa hadir pujian setinggi langit, juga cercaan securam palung di lautan. Keduanya adalah kritik, timbangan baik dan buruk. Dengan cara berbeda, ia memberi makna bagi eksistensi kepresidenan seorang presiden. Belum lagi jika kita bicara soal intrik politik. Hingga situasi terburuk yang dialaminya, seorang politisi harus paham bahwa itu adalah bagian dari risiko politik yang harus dihadapi.

Dengan begitu, seorang presiden�predikat yang meniscayakan dirinya sebagai negarawan� semestinya tidak menyikapi hal yang terburuk pada dirinya sebagai �fitnah�, misalnya. Jika sesuatu yang serupa menimpa rakyat atau bangsanya, barulah hal itu bisa dirasakan sebagai fitnah oleh presidennya. SBY memang manusia biasa, tapi Presiden SBY bukan. Ia subyek utama bangsa. Sebab itu, mau tak mau, suka tak suka, ia harus jadi tidak biasa.

Bukankah begitu pemimpin sejati dipilih sejarah. Ketika pisau bermata dua ditusukkan Abu Lu�lu�ah ke perut Umar bin Khatab, pemimpin besar ini berkata, �Itu bagian dari titah Tuhan,� bukan buah kedengkian manusia. Umar pun melarang membunuh si penusuknya. Khalifah ini bahkan menyuruh wudu, shalat, dan ibadah haji kepada orang yang telah berucap akan membunuh Lu�lu�ah jika Umar menghendakinya. Umar sadar betul: takdir menjadi pemimpin besar sering buruk secara fisik, tapi itu risiko yang mesti diambil. Maka, demikianlah pula Gandhi ditembak, dan Soekarno dikucilkan di akhir kehidupannya. Bukalah riwayatnya, bukankah tidak ada keluhan dari mereka?

Mereka menyerahkan kepada sejarah untuk mengambil alih hak jawabnya. Dan, sejarah ternyata memang memilihnya. SBY memilih cara lain. Tentu sah. Selalu ada pilihan, dengan begitu, menjadi judul yang tepat.

Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB

Selasa, 25 Februari 2014

Kontroversi Kemendikti-Ristek

Azyumardi Azra

GAGASAN Forum Rektor Indonesia tentang pembentukan kementerian khusus yang menangani pendidikan tinggi dan riset mendapat cukup banyak tanggapan. Salah satunya datang dari Profesor Daoed Joesoef (Kompas 18/2/2014).

Entah di mana terjadi miskomunikasi, wacana tentang kementerian ini disebut, yang   menempatkan pendidikan tinggi di bawah Kementerian Riset dan Teknologi.

Bagi saya yang juga hadir sebagai salah satu narasumber dalam Konvensi Forum Rektor Indonesia (FRI) di Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, 30-31 Januari 2014�yang merekomendasi pembentukan kementerian pendidikan tinggi dan riset�pemberitaan dan wacana yang berkembang di publik tidak sepenuhnya sesuai dengan diskusi dalam konvensi tersebut. Karena itu, perlu sedikit elaborasi tentang gagasan Kemendikti-Ristek.

Kemendikti-Ristek

Gagasan dan wacana tentang perlunya pembentukan kementerian khusus yang menangani pendidikan tinggi sesungguhnya tidaklah baru. Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2008-2009 pernah mengumpulkan berbagai pihak untuk membahas dan merumuskan pembentukan  Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (KPT-Iptek). Hasilnya adalah naskah akademis tentang pembentukan kementerian ini bagi pemerintahan pasca Pemilu 2009. Namun, karena Jusuf Kalla tidak berhasil menang dalam Pilpres 2009, rencana pembentukan KPT-Iptek tidak terlaksana.

Banyak alasan kuat mendasari pembentukan kementerian ini, seperti terlalu besarnya Kemdikbud yang menangani pendidikan dasar, menengah, dan tinggi sehingga keberatan beban dan tidak
fokus. Selain itu, berada di bawah Kemdikbud, pendidikan tinggi kian terlihat mengalami resentralisasi. Lalu muncul pandangan dari banyak kalangan bahwa perguruan tinggi negeri kini cenderung hanya menjadi unit pelaksana teknis Kemdikbud.

Walhasil, dengan pemisahan pendidikan tinggi menjadi kementerian sendiri, perguruan tinggi (PT) bisa lebih mengembangkan otonominya. Dengan begitu, menjadi lebih mungkin bagi PT untuk memaksimalkan pencapaiannya. Tidak hanya dalam bidang pendidikan, tetapi juga penelitian dan pengabdian masyarakat.

Selain itu, perguruan tinggi�khususnya PT negeri�memiliki sumber daya manusia relatif lebih banyak dan berkualitas tidak hanya untuk pengajaran, tetapi juga dalam penelitian. Berbagai survei dan data menunjukkan, sejumlah PT papan atas Indonesia menghasilkan banyak penelitian inovatif yang dikutip secara internasional dibandingkan dengan lembaga khusus untuk riset dan pengembangan iptek seperti LIPI dan BPPT. Namun, karena dana penelitian relatif sangat minim, PT tidak dapat memaksimalkan kapasitas penelitiannya untuk pengembangan iptek.

Sementara itu, kegiatan riset di Indonesia terpencar-pencar pada berbagai lembaga dan instansi, seperti Kemenristek, LIPI, dan BPPT. Institusi-institusi ini bergerak sendiri-sendiri tanpa koordinasi sehingga tidak mampu mencapai hasil maksimal dalam memajukan iptek.

Karena itu, kemunculan gagasan pembentukan kementerian tersendiri bagi pendidikan tinggi dan riset menjadi masuk akal. Di lingkungan FRI, gagasan itu menemukan momentum ketika forum ini dipimpin Laode M Kamaluddin, Rektor Unissula, Semarang (2013). Kelihatan untuk kepentingan itu Laode menulis buku Re-orientasi (Strategi) Pendidikan Nasional Indonesia (2015-2020), yang juga disosialisasikan di FRI di UNS Surakarta.

Membahas tentang pentingnya reorientasi dalam pendidikan nasional, Laode menggagas perubahan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar, dan Menengah. Laode juga mengusulkan pembentukan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Kemendikti-Ristek). Kementerian ini bertanggung jawab atas pendidikan tinggi sekaligus menggerakkan dan mengoordinasikan penelitian dan pengembangan riset iptek menjadi lebih integratif dan fokus.

Universitas riset

Masalahnya sekarang, PT seperti apa yang mampu melakukan riset inovatif dan terobosan? Jika sudah berada di bawah payung Kemendikti-Ristek, PT tampaknya lebih memiliki peluang untuk menghasilkan inovasi melalui riset lebih serius yang dapat menjadi terobosan inovatif dalam iptek.

Karena itu, PT perlu meninjau ulang ketentuan tentang tugas para dosen. Mereka wajib tidak sekadar mengajar, tetapi juga melakukan penelitian. Memang  tidak semua dosen memiliki imajinasi, kreativitas, dan kapabilitas untuk melakukan riset yang bermutu. Kebanyakan dosen bahkan cenderung terpaku hanya dalam pemenuhan salah satu misi pokok PT, yaitu transmisi ilmu pengetahuan, pencerdasan, dan pembudayaan para mahasiswa. Tugas ini terutama benar pada tingkat strata 1 (S-1), tetapi mesti tidak demikian pada tingkat S-2 dan S-3.

Karena itu, PT perlu mengembangkan diri dari �PT pengajaran (teaching university)� menjadi PT berbasis riset (research-based university).  Dalam kerangka ini, perekrutan dan promosi dosen wajib lebih didasarkan pada riset inovatif untuk memajukan iptek daripada sekadar mengajar mahasiswa.

Penelitian yang dilakukan para dosen semestinya bukan sekadar riset rutin untuk kenaikan pangkat dengan dana APBN/DIP/PT terbatas, melainkan juga dengan melibatkan dana melalui kemitraan, baik dengan lembaga dalam negeri maupun internasional. Hasil penelitian juga bukan untuk sekadar pertanggungjawaban administratif keuangan; lebih penting lagi guna disebarluaskan melalui jurnal atau penerbitan lain yang diakui pada tingkat internasional.

Langkah sangat urgen adalah PT berbasis riset memerlukan pengembangan program pascasarjana untuk menjadi pusat pendidikan yang lebih berorientasi pada riset daripada sekadar pengajaran. Program pascasarjana semestinya diberdayakan menjadi �mesin penelitian (engine of research)� PT bersama berbagai lembaga riset otonom di lingkungan PT.

Sebuah PT berbasis riset memerlukan sedikitnya 25 persen mahasiswa pascasarjana dari jumlah total mahasiswa PT bersangkutan (S-1, S-2, dan S-3). Peningkatan jumlah mahasiswa program pascasarjana untuk mencapai persentase seperti itu jelas bukan dengan memperbanyak program nonreguler semacam program eksekutif, program akhir pekan, atau program kelas jauh.

Program-program seperti ini�yang cenderung lebih berorientasi untung (profit making)�sebaliknya justru mengakibatkan tergradasinya program pascasarjana menjadi tempat memperoleh gelar S-2 dan S-3 secara mudah dan cepat. Padahal, semestinya program pascasarjana menjadi pusat pengkajian lanjutan (center for advanced studies) yang menghasilkan berbagai temuan penelitian inovatif untuk kemajuan iptek.

Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Pernah Menjadi Anggota Komite Akademik ISMC Aga Khan International University, London

Senin, 17 Februari 2014

Misi Perguruan Tinggi Kita

Daoed Joesoef

Rekomendasi Forum Rektor Indonesia agar perguruan tinggi ditempatkan dalam yurisdiksi Kementerian Riset dan Teknologi sungguh mengejutkan.

Mengejutkan karena ide ini datang dari forum rektor, pimpinan universitas dan institut, bukan dari forum dosen yang adalah pengajar di situ. Namun, hal ini melegakan karena akhirnya ketahuan mengapa pendidikan tinggi di perguruan tinggi (PT) kacau selama ini. Ternyata PT dikelola menurut kesalahpahaman tentang misi pendidikan keilmuan dari PT.

Ada anggota Komisi X DPR yang sangat antusias, menganggap ide Forum Rektor Indonesia (FRI) itu begitu tepat, suatu terobosan, karena membuat hasil riset PT jadi sesuai kebutuhan masyarakat.

PT memang menangani riset, tetapi tujuan esensialnya bukanlah menghasilkan sesuatu yang �siap pakai� di bidang kehidupan apa pun, melainkan membuat manusia berspirit ilmiah karena spirit inilah yang menggerakkan manusia untuk terus berusaha menyempurnakan pengorganisasian pengetahuan kita begitu rupa hingga menguasai semakin banyak potensi tersembunyi dalam alam dan pergaulan (interaksi) human. Tanpa spirit begini orang tidak akan menjadi periset, sementara riset diperlukan demi perbaikan serta kemajuan hidup dan kehidupan.

Namun, riset bukanlah sembarang kerja karena ia bersyarat keilmuan serta latihan terbimbing dan terarah. Dengan kata lain, pendidikan berperan menentukan dalam menyiapkan periset, yang kelak setelah lulus, siap menjadi staf periset profesional di lembaga-lembaga riset, seperti BPPT, LIPI, Kementerian Ristek, atau lembaga-lembaga swasta di komunitas bisnis. Di lembaga-lembaga riset khusus itulah para periset alumni PT seharusnya bisa menghasilkan aneka invensi dan penemuan, sesuai dengan tugas lembaga riset yang mempekerjakan mereka.

Tugas perguruan tinggi

Tridharma PT di negeri kita cukup correct, sudah betul untuk tahap akademis Indonesia dewasa ini yang masih perlu ditingkatkan. Tugas PT pertama dan terutama adalah mendidik, baru riset, lalu pengabdian masyarakat. Dalam mendidik termasuk pendidikan tentang seluk-beluk riset. Kalau dalam proses pendidikan riset ini PT sampai menghasilkan biji jagung sebesar jempol kaki atau obat manjur serba guna, tentu terpuji. Namun, pujian ini tidak karena hasil yang menakjubkan tadi, tetapi berhubung sudah berprestasi �melahirkan� periset andalan sementara masih dalam proses pendidikan. Prestasi ini sudah dianggap tergolong pengabdian masyarakat yang ideal.

Sejarah keilmuan, di luar sejarah kerja lembaga riset khusus, memang mencatat bahwa ilmu pengetahuan (IP) sarat invensi yang berguna. Teori-teori ilmiah kadang kala disusun oleh orang-orang yang imajinasinya diarahkan ke kegunaan yang sedang didambakan oleh zamannya. Newton, misalnya, wajar mengarahkan nalarnya ke astronomi karena hal ini adalah subyek pembicaraan harian zamannya. Ketika itu, �menemukan jalan di laut� merupakan masalah masyarakat di mana dia dilahirkan. Faraday menghabiskan waktu hidupnya untuk mengaitkan elektrisitas dengan magnetisme karena ini yang diributkan oleh zamannya. Ketika itu masyarakat, seperti kita sekarang, sedang mencari sumber-sumber energi baru.

Maka, para rektor sebaiknya memusatkan perhatian pada usaha mengembangkan PT yang dipimpinnya menjadi pusat pendidikan keilmuan par excellence demi kemajuan IP yang sesuai dengan kemajuan peradaban human dan demi perkembangan spirit ilmiah yang diperlukan untuk itu. Justru mengenai pelaksanaan misinya yang sejati ini, PT kita masih jauh panggang dari api. Hal ini terjadi karena para sivitas akademika mengabaikan begitu saja natur dari IP.

IP bukanlah lanjutan otomatis dari pengetahuan di level pendidikan menengah sebelumnya. Ia adalah hasil dari suatu cara khas pembelajaran dan cara ini tidak muncul begitu saja bagai sebuah nova soliter yang muncul di langit hanya untuk segera lenyap atas kehendaknya sendiri. Sebaliknya, ia menjelma dalam konteks komunikasi antara mereka yang menulis dan mereka yang membaca, antara mereka yang memakai idiom keterpelajaran untuk mencatat observasinya dan mereka yang menganggap catatan itu menarik.

Spesies pembelajaran yang kini disebut �ilmu pengetahuan� merupakan contoh yang paling tepat dari proposisi tadi sebab kerja dan karya dari ilmuwan kontemporer mengisyaratkan keberadaan suatu keseluruhan kompleks dari ide, instrumen, lembaga, publikasi pemikiran dan riset, memedulikan karya orang lain, diskusi interaktif. Apabila semua hal tersebut tidak ada, yang kita namakan �kegiatan ilmiah� hanya berupa suatu fatamorgana karena nyaris tak terlaksana. Yang ada hanya sejumlah penyandang gelar kesarjanaan tanpa spirit ilmiah, tidak menghayati tradisi akademis, tidak kreatif, karya jiplakan, tesis plagiat.

Ilmu pengetahuan sebagai gejala sosial

Perlu kesadaran PT untuk memperlakukan IP yang menjadi urusan sejatinya sebagai suatu �gejala sosial�, paling sedikit di lingkungannya sendiri. Ia dituntut berbuat demikian bukan karena anggapan menanggapi capaian intelektual khas adalah produk dari suatu masyarakat khas, melainkan karena cara pembelajaran khas yang membuat pengetahuan sebagai komunikasi, merupakan medium sosial di mana IP dipolakan, melalui mana ia dikembangkan dan dengan mana ia ditransmisikan di kalangan orang-orang yang sama-sama terlibat dalam penyelidikan yang serius. Maka, pengetahuan khas dan cara pembelajaran khas ini, yaitu IP, dinobatkan oleh zaman modern sebagai �the most dominant contemporary form of communicable knowledge�.

Sejarah IP menampilkan lapisan-lapisan fakta dan kejadian. Inti dari lapisan ini adalah pembentukan teori ilmiah berupa tabel-tabel kronologis dan catatan tentang invensi serta penemuan. Inti ini langsung dilapisi oleh suatu dunia pemikiran yang melahirkan teori-teori tadi. Lalu, ada lapisan ketiga berupa lingkungan profesional di mana ilmuwan berkarya, yaitu kelompok riset tempat dia bergabung, asosiasi akademis di mana dia tergolong, PT di mana dia mendidik, turut membuat orang �to be more�. Lapisan ini adalah infrastruktur akademis. Akhirnya, ada lapisan terluar, yaitu masyarakat luas.

Kita anggap remeh lapisan-lapisan perkembangan IP dan ilmuwan tersebut dalam upaya membangun sistem pembelajaran IP selama ini. Kita anggap ada hubungan langsung antara perkembangan teori dengan masyarakat luas dan mengabaikan unsur-unsur antaranya. Dengan begitu kita tidak menyadari bahwa perkembangan IP tidak dapat diwujudkan kecuali ada usaha partikular yang relevan untuk �menghidupkan� unsur-unsur antara tadi, lebih-lebih infrastruktur akademis.

Keseluruhan unsur itu adalah �komunitas ilmiah� yang eksistensinya merupakan basis sosial determinatif, baik bagi penggeloraan spirit ilmiah di kalangan sivitas akademika kampus maupun bagi pemahaman yang benar dari masyarakat pengguna IP tentang makna/misi sejati kampus.

Belum komunitas ilmiah

Sejujurnya, kampus-kampus kita belum merupakan komunitas ilmiah yang worthy by the name. Maka, tugas mendesak para rektor adalah mewujudkannya karena diniscayakan.

Dari komunitas ini sudah lama ditunggu ide-ide pencerahan, solusi beberapa masalah yang kian memprihatinkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, antara lain (i) akibat sampingan buruk dari spesialisasi walaupun diperlukan, akhirnya bisa mengganggu kemajuan dan membahayakan peradaban; (ii) akibat pembangunan nasional ala �the economics of development� membuatnya bukan pembangunan Indonesia, tetapi pembangunan di Indonesia dan terperangkap dalam �a great economic system which is heartless�; (iii) ada beberapa IP yang ternyata bisa dibahas sebagai  �scientific discipline� dan �cultural discipline� dan karena itu pantas dikuliahkan secara pararel sekaligus, demi perluasan dan keseimbangan wawasan intelektual, seperti matematika, fisika, biologi, sejarah, arkeologi, dan filosofi.

Sebenarnya masih ada aneka masalah lain, tetapi tak bisa diketengahkan karena ruangan yang terbatas dari tulisan ini.

Ketika menemui Albert Einstein, Paul Valery bertanya: �Master, what do you do to keep track of these ideas you keep generating?� Jawaban Einstein adalah, �But I've only two ideas in my whole life�, yang ternyata ide tentang dari mana kita berangkat (titik awal) dan hendak ke mana kita menuju (titik final). Bukankah ini senada dengan ungkapan kearifan nenek moyang kita sangkan paraning dumadi. Maka, alangkah baiknya jika FRI mendatang dimanfaatkan untuk merenungi sangkan paraning dumadi di bidang pendidikan keilmuan kita.

Jika kebijakan FRI merupakan the geometry of motion, antara titik awal dan titik final bisa ditarik satu garis lurus yang terdiri atas titik-titik di mana setiap titik mewakili ide yang konstruktif tentang misi sejati PT. Dengan demikian, FRI tidak melontarkan ide rancu di bidang pendidikan yang sudah membingungkan.

Daoed Joesoef, Alumnus Universitas Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

Kamis, 06 Februari 2014

Sterilisasi Kebangsaan

Mochtar Pabottingi

SULIT untuk tidak menyatakan bahwa indoktrinasi atau ketetapan perundangan kontroversial (UU Nomor 2 Tahun 2011 Pasal 34 Ayat 3b.a.) yang disebut �empat pilar kebangsaan� itu ditandai oleh serentetan ketakarifan.

Kita dapat menyebut ketakarifan historis, ketakarifan filosofi, dan ketakarifan politik. �Empat pilar kebangsaan� sama sekali bukan �persoalan semantik�, melainkan persoalan kepandiran yang tak bisa dibiarkan. Semua itu sangat berpotensi bermuara justru pada sterilisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sehingga membuat semuanya tak berguna atau tak akan terwujud menurut fungsi dan tujuan-nya masing-masing. Itulah sebabnya indoktrinasi itu harus dihentikan dan ketetapan perundangannya harus dicabut.

Ketakarifan historisnya jelas. Pancasila adalah monumen politik eenmalig luar bi- asa dari bangsa kita. Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)�yang diprakarsai dan didukung oleh pemerintahan pendudukan Jepang�dibentuk di sekitar awal 1945 dan sidang-sidangnya dilaksanakan sepenuhnya dengan moralitas dan otoritas politik. Di situ tampil pemimpin-pemimpin sejati bangsa kita dari semua kalangan dengan rekam jejak kepemimpinan yang terpuji dalam hitungan integritas dan kompetensi. Di dalam BPUPKI tak ada koruptor, politikus karbitan, apalagi pelawak dan preman.

Pada sidang-sidang BPUPKI juga berla- ku deliberasi politik yang historically ex- emplary, baik dalam hitungan Aristotelian (demi universalisasi kebajikan), dalam hitungan Rawlsian (demi kesetaraan posisi awal dan posisi tanding), maupun dalam hitungan Habermasian (demi keterbukaan agenda dan �kartu-kartu� politik). Keseluruhan sidang BPUPKI sepenuhnya bersih dari politik uang, pesan sponsor, dan arriere pensee--motif-motif tak patut dan tersembunyi. Keabsahan prosedural dan esensialnya sungguh prima.

Ketakarifan filosofinya pun jelas. Pancasila yang disepakati bersama oleh para Bapak Pendiri Bangsa kita adalah suatu filosofische grondslag, �fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya�, sebagai tempat tegaknya bangunan republik kita. Dalam rumusan demikian, sudah pasti Pancasila dimaksudkan sebagai landasan tunggal. Sebagai landasan tunggal, ia tak bisa dipilar-pilarkan bersama yang lain agar sefungsi dengannya. Logika jernih tak memungkinkan rekayasa demikian.

Perlu ditegaskan bahwa selain berbeda fungsi, Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika pun berbeda tingkatan serta genus dan/atau spesies. Keempatnya hanya akan berguna jika dipertahankan pada fungsi dan esensinya masing-masing. Sebagai Weltanschauung, Pancasila adalah representasi atau jati diri nation, bukan representasi atau jati diri negara. Dalam hitungan itu, ia mustahil disandingkan dengan yang lain.

Di sinilah kita memasuki ketakarifan politik dari indoktrinasi atau ketetapan perundangan �empat pilar kebangsaan� itu. Pancasila adalah induk, rel, pedoman, dan pengontrol atau tolok ukur bagi aktualisasi ketiga yang lainnya. Laku memilar-milarkan keempatnya seperti suatu himpunan bisa berdampak menghilangkan fungsi Pancasila, terutama sebagai induk, rel, pedoman, serta pengontrol NKRI dan UUD 1945 itu sendiri. Itu juga bisa menghilangkan fungsi kontrol UUD 1945 terhadap NKRI.

Tak ada korespondensi

Dalam hitungan politik, tak akan pernah ada korespondensi atau kesejalanan langsung, penuh, otomatis, apalagi permanen antara Pancasila dan negara kita. Nation, yang direpresentasikan dengan Weltanschauung Pancasila, adalah yang melahirkan negara. Bukan hanya ada asimetri mutlak di antara keduanya, negara bahkan lahir dari nation. Korespondensi antara Pancasila dan negara hanya bisa ada hingga tingkat tertentu jika pemerintah dan masyarakat bersama berjuang mewujudkannya secara kumulatif setahap demi setahap melalui kerja/bakti tegar serta konsisten dan jika semua hasil nyata yang sudah kita capai dalam perjuangan itu bisa terus kita pertahankan dan lipatgandakan.

Justru karena menyadari tiadanya ko- respondensi mutlak permanen itulah, kita perlu terus mengingatkan masyarakat bangsa kita, terutama para pelaksana negara agar tak pernah berhenti memperjuangkannya. Esensi Pancasila dan esensi negara kontras satu sama lain. Para Bapak Pendiri Bangsa kita merumuskan Pancasila sebagai lima patokan�panduan ideal murni dalam kerangka rasionalitas politik modern. Sebagai perangkat ideal murni, ia pada dirinya�an sich�mustahil dikorupsi ataupun dikompromikan.

Sebaliknya, hadir dan berkiprah di alam nyata, negara yang selamanya diwakili oleh sekelompok manusia selalu merupakan ajang pertandingan dari aneka kepentingan yang jumlahnya mustahil dihitung, yang sebagian besarnya tak hanya berbeda, tetapi juga bertentangan satu sama lain. Maka, sudah menjadi kodrat negara untuk selalu terombang-ambing dan berubah-ubah arah menurut kehendak atau kepentingan para penguasanya dari waktu ke waktu betapapun bagus konstitusinya.

Negara mustahil memiliki pedoman ultimat pada atau dari dirinya sendiri. Pedoman ultimat bagi negara haruslah sesuatu yang berada pada alam ideal atau apa yang disebut Aristoteles �prinsip-prinsip rasional� dalam sinar kebajikan yang tidak berubah-ubah. Pancasila adalah prinsip- prinsip demikian. Maka, ia harus terus dipertahankan sebagai obor pemandu arah, penentu atau pendesak agenda ekonomi, politik, dan kebudayaan, serta tolok ukur ultimat bagi setiap perilaku negara. Di dunia tak ada �negara paripurna� karena berkias pada �Kota Sempurna� Sokrates, negara paripurna �hanya ada di langit�.

Mewaspadai arah dan perilaku

Jauh sebelum Lord Acton dan para teoris demokrasi modern, Machiavelli dalam Discourses sudah mengingatkan kita tentang keniscayaan untuk terus mewaspadai arah dan perilaku kalangan pengu- asa di dalam negara jika kita ingin tetap mempertahankan kemerdekaan. Kita juga mewarisi peringatan terkenal John Curran (1790), hakim dan tokoh politik Irlandia, bahwa �syarat Tuhan memberikan kemerdekaan kepada manusia adalah kewaspadaan abadi�. Pancasila adalah medium nation�medium seluruh warga bangsa�untuk tetap mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan kewaspadaan abadi atas negara dan konstitusi kita.

Di dalam Pancasila dan Demitologi (Prisma, Agustus, 1977), saya sudah mengutarakan empat peringatan setiap kali kita berwacana atau menetapkan sesuatu atas nama Pancasila. Tiga puluh enam tahun silam itu, keempat peringatan ini saya tujukan langsung ke jantung kekuasaan Orde Baru.

Pertama adalah keniscayaan untuk �memberikan pengertian yang relatif riil, jelas, dan benar dari setiap sebutan yang kita kenakan buat atau yang kita rangkaikan dengan Pancasila�. Kedua adalah keniscayaan kehati-hatian setiap kali kita hendak menggunakan �Pancasila sebagai alat�. Ketiga adalah keniscayaan �menukar penerapan doktriner yang cenderung tak mengenal batas, tertutup, dan monopolistis dari Pancasila dengan penerapan rasional, terbuka, dan demokratis�. Keempat adalah keniscayaan untuk �mengoreksi kecenderungan triumfalisme kita� setiap kali kita mengangkat Pancasila.

Indoktrinasi dan ketetapan perundangan bernama �empat pilar kebangsaan� itu secara telak melanggar atau menafikan keempat peringatan ini. Dan alangkah kental aroma Orde Baru padanya!

Mochtar Pabottingi; Profesor Riset LIPI

Rabu, 05 Februari 2014

Membaca Pikiran Megawati

Ikrar Nusa Bhakti

�Megawati adalah lembar tak terbuka diiringi diam dan hemat kata. Semakin keputusan dinanti, semakin akhir kata terang biasanya didapati. Orang-orang belajar dari sikapnya, lebih banyak dari perkataan dan retorikanya. Cukup lama dia geming membatu, menyindir kekuasaan yang penuh ragu. Visinya tak selalu mudah dimengerti, gagasannya lebur di dalam aksi partai. Megawati hidup di era kesaksian, bukan pengumbar jurus pencitraan. Di kala partai ramai-ramai berkoalisi, Megawati sedikit dari yang tak terbeli. Kini keputusan Megawati dinanti, apakah akan maju kembali atau mengucap permisi.�

Untaian kata yang amat indah itu diutarakan Najwa Shihab di akhir bincang-bincangnya dengan Megawati Soekarnoputri pada acara Mata Najwa di Metro TV, Rabu, 22 Januari 2014. Kata-kata puitis itu sungguh menggambarkan bagaimana sosok Megawati Soekarnoputri.

Mega memang sosok pribadi yang tegas dan selalu melangkah dalam perhitungan politik yang sulit ditebak. Ia bicara dan bertindak sesuai dengan hati nuraninya, bukan karena perhitungan politiknya semata, melainkan juga didukung oleh pengalaman-pengalaman politiknya yang kelam di masa lalu. Ia bukan sosok pemimpin politik yang bodoh karena hanya lulusan SMA. Tak banyak orang tahu bahwa ia dipaksa untuk tidak kuliah lagi di sebuah universitas ternama di kota kembang oleh seorang rektor yang kebetulan sama-sama berideologi nasionalis.

Mega mengalami manisnya kekuasaan saat ayahnya menjadi presiden pertama RI atau saat ia sendiri menjadi wakil presiden dan kemudian menjadi presiden ke-5 RI. Namun, ia juga mengalami betapa pedihnya saat ayahnya dan ia sendiri menjadi target operasi dari tangan-tangan penguasa di negeri ini, baik pada era Orde Baru maupun era Reformasi. Karena itu, jangan heran jika Mega tidak jarang melangkah secara hati-hati.

Mega tentunya tak akan pernah lupa isi surat wasiat yang ditulis Bung Karno di tahanan rumah di Wisma Yaso (kini Museum Tentara Nasional Indonesia Satria Mandala, Jakarta), Februari 1970. Bunyinya: �Anakku, simpan segala yang kau tahu. Jangan ceritakan deritaku dan sakitku kepada rakyat, biarlah aku yang menjadi korban asal Indonesia tetap bersatu. Ini kulakukan demi kesatuan, persatuan, keutuhan, dan kejayaan bangsa. Jadikanlah deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seseorang Presiden ada batasnya karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan yang Maha Esa�.

Bagi Mega, persatuan, kesatuan, keutuhan, dan kejayaan bangsa adalah segalanya. Ia tentunya juga tak lupa bait lagu �Indonesia Raya� yang mengajak seluruh bangsa Indonesia agar �bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya�. Tidaklah mengherankan jika keinginan, cita-cita, dan mata hati Mega, seperti yang diungkapkannya kepada Najwa Shihab, adalah Indonesia Raya.

Dua untaian kata, Indonesia Raya, sungguh merasuk kembali ke dalam kalbu rakyat Indonesia. Ini bisa dilihat dari resonansi yang terjadi setelah Mata Najwa ditayangkan 22 dan 23 Januari 2014. Hitungan dengan Twetreach menunjukkan ada lebih dari 1.600 tweets yang mengutip Indonesia Raya, menjangkau 6,4 juta akun Twitter dan menghasilkan 8,7 juta terpaan balik. Tayangan ulang pada 25 Januari menambah kembali 800 resonansi pembicaraan mengenai Indonesia Raya, menjangkau 700.000 Twitter, dan menghasilkan 3 juta terpaan balik.

Tahun penentuan

Mega juga sadar 2014 adalah tahun penentuan bagi masa depan bangsa
Indonesia apakah kita mampu menyatukan langkah untuk Indonesia Raya
atau kita akan tetap menjadi �Bangsa Kuli� yang sebagian elite politik dan pengusahanya menjadi komprador asing. Karena itu, menentukan siapa calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung PDI-P bukan persoalan gampang bagi dirinya.

Ketika tak sedikit lembaga survei menyatakan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menduduki peringkat teratas sebagai bakal capres pilihan rakyat, Mega tetap bergeming. Demokrasi bukan hanya hitungan angka, melainkan juga memilih pemimpin yang berkarakter kebangsaan. Bagi Mega, tampaknya memilih presiden bukan seperti memilih bintang sinetron atau penyanyi pilihan pemirsa televisi.

Seorang pemimpin bangsa yang berkarakter bukan saja memiliki hati nurani, mampu menggerakkan rakyat untuk Indonesia Raya, mau bekerja keras untuk rakyat, mau dekat dengan rakyat, melainkan juga harus memiliki ideologi nasionalisme yang kuat dan paham betul Trisakti-nya Bung Karno (berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian bangsa).

Tak heran apabila Mega dalam banyak kesempatan selalu mengajak Jokowi menyambangi rakyat di sejumlah wilayah, bukan saja sebagai bagian dari pendidikan politik buat Jokowi, melainkan juga untuk menilai apakah Jokowi siap memimpin bangsa ini. Jokowi memang terlalu cepat menjadi capres karena itu harus didampingi seorang negarawan senior yang dapat diterima seluruh bangsa  Indonesia. Dari berbagai pilihan, bukan mustahil Jusuf Kalla adalah pendamping Jokowi yang paling tepat.

Mengapa Mega belum mendeklarasikan capres/cawapres PDI-P? Ada beberapa penyebab, antara lain, Mega tidak ingin capres/cawapres PDI-P akan menjadi sasaran tembak dari berbagai upaya kecurangan pemilu. Kecurangan dapat saja dilakukan aparat pelaksana dan pendukung pemilu seperti dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), birokrasi pemerintahan dari pusat sampai daerah, aparat pertahanan dan keamanan negara (TNI, Polri dan intelijen negara), dan panitia pemilu di TPS-TPS.

Tahun pemilu ini bukan hanya tahun penentuan, melainkan juga tahun saat kita sebagai bangsa dapat membangun kembali karakter bangsa, termasuk aparat negara untuk berani menyerempet bahaya (vivere pericoloso) sesuai dengan hati nuraninya menyingkirkan semua yang jadi penghalang (rawe-rawe rantas, malang-malang putung) bagi berkembangnya demokrasi dan kejayaan negeri ini.

Tak mau menodai pemilu

Kita tidak sedang hidup dalam suasana yang berbahaya atau menakutkan seperti yang digambarkan penulis Australia, Christopher Koch, dalam buku (kemudian difilmkan) The Year of Living Dangerously mengenai situasi Indonesia menjelang 30 September 1965. Kita juga tidak dalam situasi politik yang memperhadapkan ideologi Pancasila dan Islam seperti pada era 1950-an dan era Orde Baru.

Dalam konteks itu, Megawati mirip dengan Bung Karno yang tak mendikotomikan nasionalisme dan Islam. Apabila Soekarno dulu memberi kesempatan kepada tokoh Masyumi, Mohammad Natsir, untuk membentuk kabinet pada 1950, Megawati selalu memikirkan bagaimana memberi peran kepada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam politik Indonesia kini dan masa depan. Megawati juga mirip dengan PM Burhanuddin Harahap yang, ketika berada di puncak kekuasaannya, tak ingin menodai pemilihan umum yang demokratis pada 1955 dan 2004 hanya demi kelanggengan kekuasaan diri atau partainya.

Apabila bacaan penulis atas pikiran politik Megawati benar, bukan mustahil pada saat yang tepat ia memutuskan �bukan untuk maju kembali�, melainkan �mengucap permisi� dan memberi jalan bagi Jokowi memimpin negeri ini. Semua ini demi Indonesia Raya.

Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI

Banjir Bukan Bencana

Budi Widianarko

Harian Kompas (23/1/2014) menilai pemerintah gagap menghadapi bencana, khususnya banjir. Banjir yang selalu melanda sebagian wilayah negeri ini setiap musim hujan rupanya selalu ditanggapi dengan semangat rutin.

Saban banjir datang, mengalirlah litani panjang tentang apa dan siapa penyebabnya, dilanjut- kan dengan desakan pentingnya koordinasi antarwilayah. Untuk banjir Jakarta, entah sudah berapa kali alur kisah yang serupa disuguhkan dari tahun ke tahun.

Apabila direnungkan, bencana rutin sejatinya sebuah paradoks. Bagaimana mungkin bencana dibiarkan berlangsung rutin? Bukankah itu bak membiarkan seekor keledai terperosok lubang yang sama berulang-ulang? Karena itu, penanganan banjir memerlukan pendekatan baru, lepas dari belenggu kelaziman. Perlu terobosan cara pandang.

Dalam Pasal 1 UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang dimaksud sebagai bencana adalah �peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis�.

Dalam UU yang sama juga ditetapkan tiga jenis bencana: bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial. Banjir masuk dalam ranah bencana alam.
Menganggap semua kejadian banjir sebagai bencana alam adalah keliru. Penetapan semua banjir, tanpa terkecuali, sebagai bencana sangat boleh jadi biang keladi berulangnya kejadian banjir tanpa solusi permanen.

Manusia yang penentu

Seharusnya tidak semua banjir dianggap sebagai bencana alam. Pada kasus banjir Jakarta, misalnya, manusia merupakan unsur penentu yang sangat dominan. Dengan kata lain, banjir akibat ulah manusia (anthropogenic) tidak seharusnya masuk ranah bencana. Jika banjir disebut sebagai bencana alam, per definisi ia merdeka dari tanggung jawab manusia. Banjir yang berulang melanda Jakarta jelas dipicu ulah manusia, mulai dari pembalakan hutan, konversi lahan terbuka hijau, hingga pembuangan sampah yang sewenang-wenang.

Tanpa menafikan peran perubahan iklim, kajian FKS Chan dan kawan-kawan dari Universitas Leeds (2012) menemukan bahwa risiko banjir di kawasan mega-delta Asia sangat ditentukan beberapa faktor anthropogenic, seperti pertumbuhan populasi, penurunan muka tanah akibat pengambilan air tanah, serta peningkatan timbunan sedimen akibat erosi dan pembuangan sampah di kawasan hulu.

Tim peneliti yang sama juga mengamati bahwa prinsip pembangunan yang peka banjir tidak dilaksanakan di kota-kota delta Asia. Penanggulangan banjir umumnya lebih mengandalkan pendekatan proyek yang ad hocsifatnya dan bukan sebagai bagian strategi penataan kawasan yang memberi ruang bagi air, seperti restorasi danau dan rawa, sistem drainase kota yang berkelanjutan, dan fasilitas penampungan hujan buatan.

Merujuk pada hasil kajian FKS Chan, banjir sebenarnya dapat dikategorikan sebagai kerusakan lingkungan. Dengan begitu, tanggung jawab ataupun hak masyarakat dan pemerintah atas persoalan banjir dapat dirumuskan secara jelas. Ketika warga negara memiliki hak mendapat perlindungan atas banjir, berarti pemerintah wajib menanggulanginya. Hal ini diatur dalam UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menetapkan �kerusakan lingkungan� sebagai akibat �perusakan lingkungan� oleh ulah manusia.

Hak mengadukan

Dalam UU itu perusakan lingkungan hidup diartikan sebagai �tindakan orang yang menimbul- kan perubahan langsung atau tak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup�. Mendefinisikan banjir sebagai kerusakan lingkungan memang menuntut penetapan kriteria baku banjir yang berbasis rusak fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan. Tantangan teknis ini tentu dapat dipecahkan. Metode ilmiah menetapkan kriteria baku itu dapat diupayakan.

Ketika banjir telah ditetapkan sebagai kerusakan lingkungan, UU No 32/2009 menetapkan setiap orang yang merusak lingkungan hidup wajib menanggulangi, memulihkan, dan mengendalikan kerusakan lingkungan hidup. Setiap orang juga dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan perusakan lingkungan hidup.

UU ini juga menjamin hak setiap orang mengadukan akibat dugaan  perusakan lingkungan hidup. Mereka yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.

Pemerintah dan pemerintah daerah berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/ atau kegiatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang akibatkan kerugian lingkungan hidup. Masyarakat juga berhak menggugat perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat jika rugi akibat kerusakan lingkungan.

UU ini juga memuat sanksi untuk tidak dilaksanakannya kewajiban oleh pemerintah. Pejabat berwenang yang dengan sengaja tak mengawasi ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan yang merusak lingkungan dan mengakibatkan hilang nyawa manusia dapat dipidana penjara dan denda.

Pemaknaan banjir sebagai kerusakan lingkungan memang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab, selain para pelaku kerusakan lingkungan itu sendiri. Pejabat pemerintah pusat dan daerah yang berwenang dituntut melakukan pengawasan secara sungguh-sungguh terhadap para pelaku kegiatan yang berisiko memicu banjir.

Terobosan pemaknaan terhadap banjir ini layak dipertimbangkan jika memang pemerintah berkomitmen menyelesaikan persoalan banjir secara tuntas. Jika tidak, kisah banjir akan terus berulang diiringi suara gemuruh marah dan prihatin lantas senyap hingga banjir berikutnya tiba.

Budi Widianarko, Pengajar di Program Magister Lingkungan dan Perkotaan, Unika Soegijapranata

Menembak Mati Teroris

Franz Magnis-Suseno

Di tahun-tahun pertama sesudah keambrukan rezim Orde Baru, sikap aparat terhadap terorisme melempem. Pengusutan bom Istiqlal pada 1999 dihentikan begitu saja meski para pelaku di lapangan lekas tertangkap.

Para perencana dan pelaksana bom-bom di malam Natal 2000 (di sekitar 30 tempat bom-bom meledak di malam Natal itu, 17 orang mati dan lebih dari 100 orang luka-luka) tidak diusut sungguh-sungguh. Bahwa dua-tiga dari puluhan pengeboman itu akhirnya terbongkar hanya merupakan buah sampingan kebetulan dari pengusutan bom-bom di Bali di kemudian hari. Syukurlah zaman jahiliah impunity sekarang sudah berlalu, sekurang-kurangnya dalam hal terorisme.

Bahwa sekarang para teroris diuber-uber dan diburu, bahwa para pemburu tidak mau mengambil risiko, bahwa tersangka teroris yang tidak langsung menjatuhkan senjatanya dan mengangkat tangan akan ditembak, menurut saya, sudah jelas dan kiranya dimengerti oleh sebagian besar masyarakat.

Kita tidak mau diledakkan oleh orang-orang yang menganggap diri Tuhan dan kita juga tidak mau ada polisi lagi yang ditembak mati. Kita bersyukur bahwa terorisme tidak dibiarkan lagi.

Justru karena dukungan luas itu, Densus 88, polisi, dan pemerintah harus betul-betul memperhatikan pertanyaan-pertanyaan kritis dari masyarakat. Kalau mereka mempertanyakan mengapa begitu banyak teroris tertembak mati, jangan mereka dianggap simpatisan teroris, atau orang yang apriori antiaparat, atau orang naif yang tidak tahu bahwa teroris memang berbahaya.

Kredibilitas aparat

Yang dipertaruhkan adalah kredibilitas aparat yang memberantas terorisme. Kejahatan kaum teroris adalah mereka memakai kekerasan membabi buta untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Mereka tidak menunjukkan hormat terhadap harkat kemanusiaan orang lain. Mereka bukan Tuhan, tetapi merasa berdaulat seperti Tuhan.

Pemberantasan terorisme hanya mempertahankan harkatnya jika harkat kaum teroris sebagai manusia pun dihormati. Yang membedakan kebajikan dari kebajinganan bukan tujuan, misalnya mencapai masyarakat yang lebih adil, melainkan sarana yang dipakai untuk mencapai tujuan itu. Bajingan memakai segala sarana, orang yang bajik hanya memakai sarana yang sesuai dengan martabat setiap manusia sebagai ciptaan istimewa dari tangan Tuhan. Tujuan baik, memberantas terorisme, akan menjadi jelek apabila dilakukan dengan cara-cara yang jelek.

Maka, kalau teroris �diburu�, kita sendiri tidak boleh menjadi teroris. Tujuan pemburuan itu adalah agar mereka tidak dapat melakukan terorisme mereka dan dibawa ke pengadilan. Nasib mereka selanjutnya wajib mutlak ditentukan dalam suatu proses hukum. Penjahat pun dihormati harkat kemanusiaannya dan itu justru yang tercapai dalam proses hukum. Bahwa penjahat pun diperlakukan menurut hukum adalah tanda negara yang beradab.

Oleh karena itu, memang wajar kalau ada komentator yang mempertanyakan apakah pembunuhan langsung�eksekusi� para teroris melanggar hak-hak asasi manusia. Jawabannya jelas: kecuali pembunuhan adalah satu-satunya jalan untuk membuat mereka tidak mengancam para penangkap, maka segala eksekusi tentu melanggar hak asasi manusia.

Kita pernah mengalami masa yang mengerikan. Generasi saya masih ingat bagaimana orang seperti Tan Malaka, tokoh-tokoh PKI seperti Aidit dan Nyoto, dan ribuan tahanan dieksekusi begitu saja tanpa proses hukum. Kita masih ingat �petrus�, penembakan misterius terhadap preman-preman di Pulau Jawa pada tahun 1980-an. Katanya sekitar 10.000 orang ditembak mati begitu saja dalam waktu satu setengah tahun. Kita tentu mengharapkan bahwa masa-masa jahat dan barbar itu tak pernah kembali.

Maka, Densus 88 diharapkan terus melakukan tugas pengamanan kita dari ancaman terorisme. Kita merasa berterima kasih kepada mereka. Namun, segala kesan bahwa mereka kembali ke zaman eksekusi ekstrayudisial akan menghancurkan segala kebaikan yang mau mereka capai. Kita harus membiasakan diri membatinkan sedalam-dalamnya bahwa setiap orang, yang paling jahat pun, kita perlakukan sesuai dengan harkat kemanusiaan yang diterimanya dari Tuhan.

Franz Magnis-Suseno, Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta

Memo kepada PM Jepang Shinzo Abe

Rene L Pattiradjawane

Dari: Sahabat negara Anda

Yang Mulia Perdana Menteri Abe, kami di Jakarta ingin memberikan selamat kepada �Abenomics� yang mulai menunjukkan tanda kehidupan kembali sesuai janji Anda Desember 2012 setelah terpilih kembali menjadi perdana menteri. Deflasi di Jepang selama dua dekade berhenti dan pertumbuhan pun memanas mencari akselerasi momentumnya.

Kebijakan �Abenomics� melalui penguasaan Partai Demokrat Liberal (LDP) di dua kamar parlemen memastikan kebijakan Anda bergerak seperti yang diinginkan mencapai target pertumbuhan 1,8 persen tahun ini. Program memudahkan moneter secara kuantitatif dan kualitatif bank sentral Jepang menyebabkan inflasi sesuai jalur yang diharapkan.

Namun, YM PM Abe, kami perlu menyampaikan memo ini karena secara bersamaan kami khawatir percaya diri melalui slogan Anda �Jepang Telah Kembali� yang disampaikan di Washington tahun lalu memunculkan perilaku nasionalisme yang menurut kita berbahaya untuk diperankan dan diperluas melalui gagasan �kontribusi proaktif bagi perdamaian� yang membahayakan semangat pasifisme Jepang sendiri.

�Politik penghinaan� melalui dendam nasionalisme antara Tokyo dan Beijing atas tiga pulau karang kosong yang disebut Kepulauan Senkaku, walaupun persoalan ini adalah refleksi ratusan tahun hubungan Jepang-Tiongkok, mencemaskan banyak negara Asia dan kekuatan-kekuatan luar kawasan. Semua khawatir, retorika rivalitas nasionalisme akan menyebabkan terganggunya stabilitas dan keamanan kawasan ini.

Ada dua faktor yang ingin kami sampaikan dan menjadi pertimbangan YM PM Abe. Pertama, kunjungan Anda ke Kuil Yasukuni bulan Desember lalu tidak perlu diberikan embel-embel penjelasan karena menjadi kontraproduktif dalam menata hubungan diplomasi dengan banyak negara. Penghormatan para arwah adalah bagian kepercayaan suatu bangsa sehingga memberikan argumentasi arti kunjungan ke negara-bangsa lain (apalagi penganut ateis) akan memberikan perspektif keliru.

Kedua, kami tidak ingin melihat Jepang seperti peribahasa kishi kaisei (bangkit dari kematian kembali ke kehidupan), menjadi samurai tanpa majikan menjadi ronin menganut semangat feodal militer Bushido. Diaktifkannya kapal perusak kelas Izumo yang dianggap menjadi kapal induk samaran (pseudo-carrier) diluncurkan dari galangan kapal Yokohama, mengikuti semangat �kontribusi proaktif� akan memacu perlombaan senjata baru di kawasan dimulai dengan meningkatkan biaya anggaran pertahanan banyak negara.

Kalau kita bicara perdamaian, YM PM Abe, tidak harus melulu diartikan dengan membangun perangkat militer persenjataan bertujuan penggentar (deterrent) atau menambah persentase anggaran pertahanan terhadap produk domestik bruto (PDB). Kalau �kontribusi proaktif� tanpa pedoman dasar rumusan, ditujukan pada kebangkitan Tiongkok mengantisipasi kekuatan laut birunya, itu pun tidak perlu dicemaskan.

Kekuatan militer Tiongkok memang besar dan masif dalam gelar peralatannya, tetapi belum pernah teruji di medan pertempuran dan usang kalau melihat penggunaan kapal induk �bekas� yang sekarang disebut Laioning. Semoga memo kepada YM PM Abe menjadi pertimbangan kebijakan internasional Jepang, bagaimana bersaing dengan kebangkitan Tiongkok tanpa merusak tatanan stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia kita ini.

Salam dari sahabat negara Anda.

Rene L Pattiradjawane, Wartawan Senior Kompas

Transisi Demokrasi Tunisia

Zuhairi Misrawi

Dewan Konstituante Tunisia berhasil menuntaskan konstitusi baru pascarevolusi setelah melalui proses panjang dan menegangkan. Dari 216 anggota Dewan Konstituante, 200 orang setuju, 4 orang abstain, dan 12 orang menolak konstitusi baru.

Sekjen PBB Ban Ki-moon memuji setinggi langit konsensus yang telah dicapai Dewan Konstituante sebagai salah satu tahap penting dalam transisi demokrasi. PBB mendukung langkah Tunisia membangun demokrasi.

Konsensus yang dicapai para elite politik di Tunisia merupa- kan harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di kawasan yang disapu badai revolusi. Pasalnya, negara-negara yang mengalami revolusi hingga saat ini belum mampu membangun konsensus. Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah masih terjebak dalam pertentangan ideologis dan intervensi militer dalam politik praktis.

Alih-alih membangun konsensus politik, mereka justru tak mampu membangun rekonsiliasi nasional. Polarisasi kubu Islamis dan kubu sekuler sangat tajam. Polarisasi di dalam kubu Islamis sendiri juga tak kalah rumit, khususnya antara kubu Ikhwanul Muslimin dan kubu Salafi.

Keberhasilan Tunisia melahir- kan konstitusi baru yang �lebih demokratis� tidak lain karena tiga alasan penting. Pertama, konsensus antara kubu Islamis dan kubu sekuler. Sejak merdeka pada 1956 Tunisia telah meletakkan sendi-sendi sekularisme di bawah kepemimpinan Habib Bourguiba. Tunisia adalah negara mayoritas penduduk Muslim yang tegas melarang pemakaian keru- dung, poligami, dan kepemilikan tanah oleh para agamawan.

Pascarevolusi 2011 Tunisia memasuki era baru dengan naiknya kubu Islamis, Ennahda, sebagai pemenang pemilu. Istimewanya, Ennahda yang mendapat 90 dari 217 kursi di parlemen justru tidak memaksakan ambisi kekuasaan dan ideologinya. Ennahda menyerahkan jabatan presiden kepada Moncef Marzouki yang dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia dan beraliran sekuler. Di samping itu, sedari awal Ennahda berjanji tak akan memasukkan hukum Islam dalam konstitusi baru.

Memuluskan jalan

Sikap Ennahda yang moderat itu telah memuluskan jalan bagi tercapainya konsensus politik, khususnya bagi terbentuknya konstitusi baru yang menjamin kesetaraan, keadilan, dan kedamaian sebagai nilai-nilai penting dalam demokrasi liberal.

Kedua, Ennahda mampu keluar dari tekanan politik kaum Salafi yang dikenal konsisten mendikte agenda Islamisme. Kaum Salafi punya agenda serius memasukkan klausul �syariat Islam sebagai sumber utama konstitusi� dalam konstitusi baru sebagai pintu masuk lahirnya undang-undang yang bersuasana syariat, mengacu pada pemahaman kaum Salafi, yang dikenal kaku dan rigid.

Konstitusi baru Tunisia yang eksplisit menghapus klausul �syariat Islam sebagai sumber utama konstitusi� membuktikan Ennahda tak mau didikte kaum Salafi. Sekali terjebak dalam agenda mereka, Ennahda akan kehilangan dukungan dari kubu sekuler yang sudah mengakar kuat dalam realitas sosial politik. Di sini pilihan Ennahda merangkul kubu sekuler dianggap sebagai pilihan tepat dalam menjaga momentum transisi demokrasi.

Ketiga, absennya intervensi militer dalam politik praktis. Tak seperti Mesir yang masih belum bisa keluar dari determinasi militer, elite politik Tunisia relatif mampu meredam nafsu politik militer. Ennahda sebagai pemenang pemilu sangat cermat dan cerdas bahwa satu-satunya jalan mencegah militer terlibat dalam politik adalah membangun konsensus dengan kekuatan politik lainnya serta menjamin stabilitas politik. Di samping itu, agenda-agenda yang sejalan dengan haluan nasionalisme harus ditegakkan dan diutamakan sehingga militer tak beralasan kudeta dan menguasai ranah politik.

Tunisia merupakan negara pascarevolusi yang memberi harapan bagi transisi demokrasi. Bola demokrasi berada di tangan Ennahda sebagai pemain utama di parlemen. Jika mereka masih konsisten dengan peta jalan demokrasi, Tunisia tak akan terpuruk lagi dalam otoritarianisme.

Terlalu dini menilai kualitas transisi demokrasi yang sedang bergulir di Tunisia. Menurut Alaya Allani, tantangan yang dihadapi juga tak kalah rumit karena kelompok Islamis masih terus bergerilya mengubah agenda revolusi, yaitu kebebasan dan keadilan menuju agenda kepentingan identitas politik kelompok tertentu (www.tunisia-live.net).

Dalam Pasa1 1.1 konstitusi baru dinyatakan bahwa Tunisia adalah negara bebas, merdeka, dan berdaulat. Islam adalah agama negara, bahasa Arab adalah bahasa negara, dan republik adalah sistem pemerintahan. Meski di dalam konstitusi tak tercantum klausul �syariat Islam sebagai sumber utama konstitusi�,  klausul �Islam sebagai agama negara� multitafsir. Secara sosiologis, dari 10 juta lebih penduduk Tunisia, 98 persen Islam, 1 persen Kristen, dan 1 persen Yahudi.

Fakta itu membuktikan bahwa Tunisia masih rentan karena kubu Islamis dapat menggunakan Pasal 1.1 sebagai jalan memuluskan agenda politik identitas. Tekanan yang terus masif dari kubu Salafi dan kelompok Islamis lainnya terhadap Ennahda semakin kencang pascakonsensus. Mereka menuduh Ennahda telah mencederai agenda politik kaum Islamis.

Salah satu isu yang jadi perdebatan serius di ranah publik: menyikapi penodaan agama. Di dalam Pasal 3.2 penodaan agama jadi salah satu klausul yang ditegaskan secara eksplisit. Di satu sisi, konstitusi menjamin kebebasan berkeyakinan dan kebebasan melaksanakan ritual keagamaan, tetapi ada larangan tegas terhadap penodaan atas kesucian simbol keagamaan.

Pasal penodaan agama bisa jadi pasal karet karena dapat digunakan kelompok tertentu untuk mengkriminalkan kelompok minoritas, baik di dalam intraagama maupun antar-agama. Apalagi masih ada kelompok yang dengan mudah menuduh kelompok lain telah �menodai agama�.

Transisi demokrasi Tunisia di masa datang tak mudah karena Ennahda dituntut membangun keseimbangan politik, baik dengan kubu sekuler maupun Salafi. Tatkala pendulum politik kian kencang ke kubu Salafi, Ennahda akan terjebak dalam perdebatan politik identitas dan terjauh dari agenda revolusi, seperti kebebasan dan keadilan. Sebaliknya, jika Ennahda mampu membangun aliansi dan konsensus politik dengan kubu sekuler, mereka dapat melanjutkan pencapaian spektakuler sebagaimana tertera dalam konstitusi baru.

Kepemimpinan Rachid Ghannouchi di dalam Ennahda akan dipertaruhkan dalam menjaga transisi demokrasi. Di masa datang transisi demokrasi Tunisia masih butuh konsolidasi demokrasi untuk mewujudkan demokrasi berkualitas.

Zuhairi Misrawi, Analis di Middle East Institute

Selasa, 04 Februari 2014

Perang di Suriah Pasca-Geneva 2

Darmansyah Djumala

PERANG saudara di Suriah yang telah berlangsung hampir tiga tahun kian mengenaskan. Lebih dari 130.000 nyawa melayang sia-sia dan mengempaskan lebih dari 2 juta wanita dan anak-anak ke tenda-tenda pengungsi.

Di tengah kecamuk perang dan nestapa itu, untunglah ada sepotong harapan dan usaha menghentikan perang.  Difasilitasi Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, untuk kali pertama Pemerintah Suriah dan oposisi berunding menyelesaikan konflik.

Perundingan yang diselenggarakan di Markas PBB Geneva (dikenal dengan Konferensi Geneva 2) itu menindaklanjuti hasil kesepakatan Konferensi Geneva 1 pada Juni 2012 yang mengamanatkan pembentukan pemerintahan transisi di Suriah.

Namun, alih-alih membentuk pemerintahan transisi, menyetu- jui akses guna menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi rakyat sipil yang terjebak perang di kota Homs saja  kedua pihak tak kunjung mencapai kata sepakat. Sampai hari terakhir putaran perundingan pertama Geneva 2 masih belum terlihat tanda kedua pihak sepakat menghentikan perang. Dapatkah Konferensi Geneva 2 menghadirkan damai, atau setidaknya menghentikan perang di Suriah?

Pemerintahan transisi

Sejatinya Konferensi Geneva 2 diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan mengenai bentuk dan mandat pemerintahan transisi Suriah. Namun, justru dalam ihwal inilah pandangan kedua pihak berlawanan secara diametral: oposisi bersikukuh agar Bashar al-Assad tak jadi bagian pemerintahan transisi, sedangkan rezim Assad tak ingin isu pemerintahan transisi itu jadi agenda utama Konferensi Geneva 2.

Terkait pembahasan isu pemerintahan transisi ini, ada manuver cerdas yang dimainkan rezim Assad dalam Konferensi Geneva 2 dalam upayanya berkelit dari wacana itu. Meski sejak awal Konferensi Geneva 2 dimandatkan menindaklanjuti salah satu kesepakatan Konferensi Geneva 1, yaitu pembentukan pemerintahan transisi Suriah, ternyata sampai akhir perundingan rezim Assad tak sudi isu itu dibicarakan, apalagi  dibahas tuntas. Rezim Assad membelokkan isu utama Geneva 2 pada satu hal: terorisme. Menarik kemudian dipertanya-an: mengapa isu terorisme yang malah ditonjolkan Assad?

Assad sangat paham, isu terorisme sungguh seksi di mata Barat. Dengan mengangkat isu terorisme, Assad berharap akan terbangun opini bahwa Suriah adalah korban terorisme. Jika  pemerintahnya menghalau pasukan bersenjata, itu bukan berarti  membunuh pejuang demokrasi, tetapi membasmi terorisme. Label sebagai negara yang membasmi terorisme akan menempatkan Suriah pada posisi yang lebih  kurang sama dengan negara-negara Barat.

Pada titik inilah dapat ditengarai bahwa upaya mengangkat isu terorisme pada Konferensi Geneva 2 tidak lebih dari sebuah pengalihan isu. Isu terorisme di Geneva 2 telah mengubah narasi konflik Suriah: dari gerakan prodemokrasi melawan rezim totaliter menjadi  pemerintahan yang sah membasmi terorisme internasional.

Lebih jauh, pengalihan isu ini dapat mengubah citra rezim Suriah, yang dulu dianggap korban konspirasi Barat untuk mendemokratiskan tanah Arab, sekarang dipandang sebagai mitra Barat dalam membasmi terorisme. Label sebagai mitra Barat inilah  yang sedang dimainkan rezim Assad, menuai simpati dunia dan menjustifikasi tindakan kerasnya terhadap pemberontak.

Dengan strategi pengalihan isu seperti itu, tidak heran ketika  Menteri Luar Negeri Suriah Walid Muallem saat Konferensi Geneva 2 dengan penuh percaya diri dan gamblang mengungkapkan daftar teroris internasional yang ikut mengacaukan Suriah. Memang sejak pecah konflik pada Maret 2011, Suriah menjadi lahan subur bagi terorisme internasional. Menurut Muallem, tidak kurang teroris dari Inggris, Perancis, Pakistan, dan Arab Saudi nimbrung dalam konflik.

Lanskap konflik Suriah makin kompleks dengan kehadiran teroris yang memang berafiliasi dengan kelompok teroris legendaris Al Qaeda seperti Al-Nusra Front, yang target politiknya adalah menumbangkan rezim Assad.

Di samping itu, ada juga kelompok Ahrar ash-Sham yang beranggotakan 10.000�20.000 pejuang bersenjata dan kelompok pejuang ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang memiliki wilayah operasi di Irak dan Suriah. Meski ketiga kelompok ini sama-sama merupakan sayap Islamis dalam kelompok oposisi dan berbeda dalam afiliasi organisasi, mereka disatukan satu hal: menjatuhkan Assad dan menginginkan Suriah diperintah rezim yang prosyariat Islam. Yang menarik adalah kelompok Ahrar ash-Sham. Meski menginginkan syariat Islam, mereka dinilai tidak anti-Barat.

Menyulitkan Barat

Kompleksitas peta terorisme di Suriah yang demikian itu akan menyulitkan posisi Barat dalam menangani konflik Suriah. Pertama, sikap politik Ahrar ash-Sham yang tidak anti-Barat sangat mungkin bertemu dengan kepentingan AS dan Barat yang menginginkan Assad lengser dari singgasananya. Jika hal itu terjadi, pelabelan Ahrar ash-Sham oleh rezim Assad sebagai teroris akan menempatkan AS dan Barat dalam posisi rikuh: bagaimana bisa Barat yang anti-teroris dapat bekerja sama dengan organisasi teroris hanya untuk kepentingan sesaat, yaitu menjatuhkan Assad.

Kedua, dalam berbagai laporan media, dikabarkan posisi pasukan pemerintah di medan laga lebih baik dibandingkan dengan pejuang oposisi. Berbagai kota penting kini kembali dikuasai oleh pasukan pemerintah.

Jika tendensi ini terus berlanjut, AS dan Barat dihadapkan pada pilihan sulit. Seperti dikatakan mantan Dubes AS untuk Irak dan Suriah, �as bad as he  (Assad) is, he is not as bad as the jihadist who would take over in his absence.� Ini menyiratkan bahwa lebih baik bagi AS mulai bicara dengan Assad daripada membiarkan teroris terus gentayangan di Suriah karena terorislah yang akan menguasai Suriah sepeninggal Assad. Bagi AS saat ini, hanya Assad yang bisa membasmi teroris, musuh utama AS di tanah Arab.

Konferensi Geneva 2, dilihat dari aspek penyelesaian konflik, jauh untuk disebut sukses. Tidak ada keputusan berarti yang dapat meredakan ketegangan antara kedua pihak. Konferensi Geneva 2 hanya menegaskan bahwa Assad mampu mengalihkan isu dan mengubah narasi perang Suriah: dari gerakan prodemokrasi melawan pemerintahan totaliter menjadi perang melawan terorisme internasional.

Manuver ini telah menempatkan Suriah dan Barat berada dalam posisi yang sama, menghadapi musuh bersama yang bernama terorisme internasional. Selagi belum ada bantuan konkret berupa pasukan dan senjata di lapangan dari Barat secara masif untuk pasukan oposisi, dengan adanya pergeseran narasi tadi, Assad akan memperkuat posisi militernya di berbagai kota.

Dengan komplikasi lanskap politik terorisme di Suriah, ditambah dengan belum adanya titik terang untuk membahas pembentukan pemerintahan transisi, perang di Suriah masih akan terus berlanjut dan semakin mematikan.

Darmansyah Djumala, Diplomat Indonesia; Bertugas di Polandia

Siaga Satu, Banjir Janji Politik!

J Kristiadi

BANJIR bandang yang melanda beberapa wilayah Indonesia mulai surut. Musibah tersebut menyisakan derita dan nestapa bagi yang terkena serta memberikan pekerjaan rumah bagi penyelenggara negara agar mereka lebih serius menanggulangi petaka tersebut.

Namun, surutnya air belum akan segera membebaskan masyarakat dari ancaman banjir. Bencana yang mengintip publik dan tidak kalah dahsyatnya adalah banjir janji politik siklus lima tahunan. Lonceng bahaya tersebut akan bergema saat dimulainya pelaksanaan kampanye pemilihan umum legislatif (pileg) melalui rapat umum serta iklan media massa cetak dan elektronik yang akan dimulai 16 Maret sampai 5 April 2014.

Persaingan internal saling �mematikan� di antara sesama kader partai politik, akibat kerancuan sistem pileg antara sistem proporsional dan suara terbanyak, diperkirakan akan menimbulkan gelombang pasang janji-janji muluk para politisi, terutama mereka yang motivasinya semata kekuasaan. Pemilu yang seharusnya dirayakan untuk menyongsong kemenangan rakyat sebagai pemegang kedaulatan akan menjadi festival tanpa makna.

Janji sebagai etika sosial dan bagian dari peradaban, karena terkait dengan niat, komitmen, dan iktikad untuk melakukan sesuatu (menyejahterakan masyarakat), atau tidak melakukan sesuatu (korupsi) yang berguna untuk rakyat; hanya dijadikan sekadar siasat sesaat oleh para politisi guna mengumpulkan suara.

Sumber dari kedua bencana yang menakutkan tersebut sama, yaitu keserakahan nafsu primitif manusia yang melebihi ambang batas peradaban. Banjir janji politik jauh lebih berbahaya dan apokaliptik. Pertama, bencana tersebut tidak mudah terdeteksi karena datangnya disertai dengan semilirnya angin surga yang membuat publik terlena. Peringatan tersebut bukan mengingatkan, melainkan justru memabukkan.

Masyarakat biasanya terlambat menyadari kesalahannya dalam memilih para pengumbar janji jelang pemilu. Setelah mereka berkuasa, perilakunya berbanding terbalik dengan saat mereka mengumbar janji. Sementara itu, datangnya air bah lebih mudah dideteksi sehingga masyarakat dapat menghindar dari akibat bencana yang lebih parah.

Kedua, banjir bandang memang mempunyai daya rusak yang menakutkan karena mengakibatkan penderitaan masyarakat. Namun, pemulihan dan pencegahan bencana tersebut lebih mudah diatasi. Sementara itu, dampak daya hancur banjir janji politik menyentuh tataran peradaban dan dapat melumpuhkan sendi-sendi kehidupan politik. Kredibilitas demokrasi serta lembaga-lembaga politik dan pemerintahan semakin melorot. Pengalaman 15 tahun terakhir, kampanye dalam pileg, pemilu presiden, dan seribu kali pemilu kepala daerah membuktikan hal itu. Janji para politisi hanya menggelorakan retorika dan demagogi politik. Miskin substansi dan edukasi.

Sarat kebohongan

Janji politik lebih mirip kebohongan daripada komitmen dan obligasi moral. Alih-alih menumbuhkan dan merawat rasa saling percaya antara rakyat dan pemimpinnya, banjir janji politik justru mengakibatkan putusnya tali silaturahim antara rakyat dan pemimpinnya. Perilaku politik yang sarat kebohongan juga menenggelamkan para politisi itu sendiri dalam kubangan lumpur korupsi kekuasaan dan kepalsuan. Lapisan kebohongan mereka bertingkat-tingkat karena kebohongan yang satu harus ditutupi dengan kebohongan
lain.

Kemuliaan politik menjadi sekadar komoditas yang dipasarkan melalui citra dan fatamorgana politik. Seharusnya, meski ranah politik merupakan medan pertarungan yang penuh siasat, muslihat, saling mengecoh, serta adu lihai dalam menyusun taktik dan strategi, tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk mengumbar janji palsu.

Berdasarkan pengalaman kampanye dari berbagai kompetisi politik selama ini, rakyat harus Siaga 1 untuk mengantisipasi dan memitigasi gelombang hiperbola janji para politisi. Tanpa upaya sungguh-sungguh serta kewaspadaan yang prima dan maksimum, banjir janji politik akan semakin menenggelamkan harapan masyarakat.

Salah satu cara ampuh untuk mengurangi dampak dari petaka janji politik adalah menelusuri rekam jejak satu per satu dari semua calon wakil rakyat. Melalui pencermatan tersebut dapat diketahui sejauh mana empati dan rasa peduli mereka terhadap penderitaan rakyat. Cara tersebut juga dapat menguak integritas dan kompetensi mereka. Rakyat tidak hanya percaya, bahkan dilarang percaya hanya kepada omongan politisi pada kampanye. Rakyat perlu bukti.

Beberapa upaya telah dilakukan, misalnya Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyiapkan rapor dengan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan, para petahana DPR periode 2009-2014 yang jumlahnya sekitar 9 persen dicalonkan lagi oleh pimpinan partainya untuk periode 2014-2019.

Penilaian tersebut memberikan pedoman kepada para pemilih dengan memberikan nilai kepada para kandidat mulai sangat buruk sampai dengan sangat baik. Berdasarkan rapor tersebut, para pemilih mendapatkan bahan informasi untuk menentukan wakilnya di lembaga yang terhormat tersebut.

Memitigasi daya rusak banjir janji politik memerlukan kerja amat keras dan bahu-membahu agar benar-benar dapat menemukan serta memilih calon wakil rakyat yang amanah dan bersedia mengabdi pada kepentingan masyarakat. Melalui daya upaya tersebut, semoga Pemilu 2014 menjadikan rakyat sebagai pemenang sebenarnya.

J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS

Waktu dan Masalah Kedaulatan

Ahmad Syafii Maarif

MENGAPA kemunculan seorang Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya) atau seorang Joko Widodo (mantan Wali Kota Solo, sekarang Gubernur DKI Jakarta) demikian fenomenal dan memikat perhatian publik secara luas?

Jawabannya sederhana tanpa memerlukan banyak teori: karena keduanya dinilai memberikan contoh sebagai pemimpin yang prorakyat dan menjalankan tugas dengan bahasa hati. Setidak-tidaknya demikianlah kesan publik terhadap keduanya sampai hari ini.

Adapun ke depan, sekiranya keduanya diberi posisi yang lebih tinggi, apakah idealisme mereka masih bisa bertahan, kita tidak tahu. Godaan terhadap orang yang berkuasa pasti muncul dari segala penjuru, di semua lini, termasuk dari lingkungan pengusaha hitam, jika tidak waspada. Kewaspadaan ini harus disiapkan sejak dini dengan bersenjatakan mata rajawali, bukan mata kelelawar yang redup pada siang hari. Tidak banyak elite Indonesia yang kebal terhadap godaan benda dan kekuasaan.

Terpaku dan terpukaunya mata publik terhadap kedua tokoh itu tidaklah terlalu mengherankan. Bukankah ratusan pejabat publik yang lain di seluruh Nusantara lebih banyak disibukkan dengan urusan politik kekuasaan, di samping memikirkan bagaimana cara melunasi utang dana kampanye yang bisa menelan miliaran rupiah? Termasuk janji-janji mereka kepada cukong yang mahir �berjudi� dalam mendukung politisi yang sedang bersaing, demi melebarkan sayap bisnis mereka, jika pihak yang didukung memenangi persaingan.

Semua ini bukan lagi rahasia, tetapi sudah menjadi pengetahuan orang banyak. Tri dan Jokowi dinilai relatif bersih sekalipun pasti juga telah mengeluarkan dana untuk jadi pemenang. Saya katakan relatif karena keduanya tidak mungkin bebas 100 persen dari dunia percukongan.  

Dalam pusaran politik

Apa yang disebut politik uang adalah riil. Dalam suasana perlombaan terhadap kekuasaan yang sedang berjalan sekarang, kesetiaan pada idealisme sudah lama menguap ke langit tinggi. Maka, jika tuan dan puan sudah bosan dengan politik, itu masuk akal. Akan tetapi, larut dalam kebosanan sangat berbahaya karena bisa melumpuhkan perjalanan bangsa yang sebenarnya ingin menegakkan sistem demokrasi yang sehat dan kuat.

Manusia, di mana pun di muka bumi, tidak mungkin terhindar dari pusaran politik. Tugas kita sebagai rakyat adalah berupaya dalam batas kemampuan kita masing-masing agar politik itu dijadikan kendaraan untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk mengorbankan mereka.

Politik yang mengorbankan rakyat banyak adalah jenis politik kumuh dan biadab. Sebaliknya, politik yang bersih dan beradab pasti bertujuan mulia membela kepentingan yang lebih besar, jauh melampaui parameter hitung-hitungan untung-rugi jangka pendek. Indonesia merdeka benar-benar memerlukan terciptanya politik yang beradab ini dalam tempo yang dekat. Sebab, jika berlama-lama terseret dalam kebiadaban berkepanjangan, waktu pasti akan menjadi ancaman serius terhadap nasib kita semua.

Kita sungguh sedang berlomba dengan waktu dan waktu itu bisa sangat kejam. Kata peribahasa Arab: �Waktu itu ibarat pedang; jika tidak pandai menggunakannya, leher tuan dan puan akan dipancungnya�. Terlambat berarti merelakan proses pembusukan politik yang sedang berjalan ini semakin membusuk serta bisa menggiring bangsa dan negara menggali kuburan masa depannya.

Situasi menjelang Pemilu 2014, dalam perspektif kedaulatan bangsa dan negara, sungguh mencemaskan. Apa yang disampaikan Bung Karno dalam pidato �Nawaksara� pada saat kekuasaannya sedang berada di ujung tanduk pada 22 Juni 1966 patut dicermati: �Berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, dan berdikari dalam ekonomi.� Semua ranah itu kini berada di tikungan sejarah dan di bawah ancaman, asing atau agen domestiknya, sehingga bangsa dan negara ini nyaris kehilangan kedaulatan, kepribadian, dan kemandirian dalam makna yang sejati.

Berdaulat penuh

Kemerdekaan bangsa tanpa kedaulatan adalah kemerdekaan palsu yang hanya bisa dinikmati mereka yang mengidap mentalitas terjajah. Di luar tampaknya merdeka, tetapi jiwanya telah dicuci pihak asing agar perasaan kemerdekaannya tumpul tak berdaya. Proklamasi kemerdekaan Indonesia bertujuan membebaskan bangsa dan negara ini dari suasana batin manusia budak dan manusia terjajah itu.

Apakah sistem demokrasi kita bisa digerakkan ke arah tujuan yang �berdaulat penuh� itu? Jika mau, pasti bisa. Syaratnya: ucapkan �selamat tinggal pada mentalitas budak dan mentalitas terjajah�.

Dengan pemenuhan syarat ini, waktu insya Allah akan berpihak kepada bangsa dan negara tercinta ini bersamaan dengan pulihnya kedaulatan penuh.

Ahmad Syafii Maarif,  Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Keberanian Berdemokrasi

Ignas Kleden

SETELAH demokrasi direbut kembali di Indonesia melalui Reformasi 1998, penerapannya kemudian ternyata meminta banyak kesabaran dan menuntut lebih banyak keberanian.

Kesabaran harus ada karena penerapan demokrasi memerlukan waktu yang relatif panjang. Tak ada titik final saat kita dapat berkata: demokrasi sudah mantap serta mencapai bentuk dan isi yang diidamkan. Keberanian amat dibutuhkan karena penerapan demokrasi berhadapan dengan banyak halangan, yang dapat menimbulkan keraguan apakah demokrasi adalah sistem politik yang tepat.

Dalam keadaan sekarang, menjelang Pemilu 2014, tantangan terhadap demokrasi tampil dalam berbagai bentuk. Kerisauan pertama muncul karena kebebasan yang tak disertai disiplin dan pengawasan yang efektif menyebabkan meluasnya praktik korupsi di kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan partai politik, dengan besaran yang terus meningkat. Sejalan dengan itu, pemilihan calon anggota legislatif dan pemilihan langsung kepala daerah (bupati/wali kota dan gubernur) yang memakai dana tidak kecil telah melahirkan politik uang dengan sumber-sumber pendanaan yang tak pernah transparan. Modal yang dihimpun dari berbagai pihak serta digunakan oleh calon anggota legislatif dan eksekutif untuk membiayai pemilihan mereka kemudian harus dikembalikan. Pengembalian modal ini sering menggiring para politisi dan pejabat untuk memperoleh uang secara ilegal.

Gugatan berdemokrasi

Sementara itu, kita tahu bahwa demokrasi tak akan berkembang kalau tidak ada para demokrat yang mendukungnya. Seorang demokrat adalah warga negara yang memiliki pengetahuan dasar tentang demokrasi, mengenal nilai-nilai demokrasi, punya komitmen terhadap nilai-nilai tersebut, dan memiliki keterampilan menerapkannya dalam kehidupan politik dan kehidupannya sehari-hari. Di pihak lain, tak begitu jelas apakah setiap parpol punya mekanisme seleksi calon-calonnya, yang menjamin mereka yang direkrut sebagai calon anggota legislatif atau eksekutif mempunyai perlengkapan seorang demokrat sebagaimana baru disinggung di atas.

Seleksi calon yang hanya mengandalkan popularitas mungkin berguna untuk mendapatkan suara bagi calon dan partai yang mendukungnya, tapi tak menjamin kualifikasi minimum seseorang yang diharapkan memperjuangkan demokrasi sebagai tugasnya. Tidak patut lagi kita mendengar seorang yang dipilih partainya jadi wakil rakyat di DPR ternyata tidak tahu-menahu tentang tugasnya sebagai legislator, lalu membuat apologi bahwa sebagai orang baru dia perlu waktu untuk belajar. Ini jelas salah paham serius karena seorang legislator sebagai anggota Dewan yang terhormat dibayar oleh negara untuk bekerja sebagai wakil rakyat, bukan untuk masuk masa perploncoan atau bimbingan belajar di lembaga itu. Kalau dia sadar tak tahu tentang tugasnya, mengapa pula mencalonkan diri atau mau dicalonkan?

Uang jelas suatu masalah, tetapi pilkada ternyata membawa serta biaya sosial berupa konflik-konflik di daerah dan konflik pasca-pemilihan. Pasangan yang kalah jarang mengakui kekalahannya dengan sportif dan bolak-balik ke Jakarta untuk minta Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan diadakan pemilihan ulang. Kita bertanya: kalau pasangan A dan pasangan B bersaing dalam pilkada, kemudian pasangan A menang sementara pasangan ini tahu pesaingnya (pasangan B) yang kalah melakukan banyak kecurangan, apakah pasangan A masih datang ke MK dan minta dilakukan pemilihan ulang? Dapat dipastikan ini mustahil dilakukan. Dengan demikian, dalam banyak kasus pemilihan ulang yang diminta ke MK bukan karena ada kecurangan, tetapi karena pasangan yang kalah enggan mengakui kekalahan.

Sementara itu, menurut survei, tingkat kepercayaan publik kepada parpol merosot tajam. Ini terjadi karena tidak jelasnya platform dan program kerja parpol yang sering disindir sebagai partai elektoral dan bukan parpol karena hanya sibuk dalam satu tahun sebelum dan satu tahun sesudah pemilu. Tak jelas pula apakah ada pendidikan politik yang diberikan secara teratur kepada para kader partai dan apakah ada transparansi tentang sanksi serta promosi dalam partai dan sumber pendanaan partai.

Dalam ekonomi muncul elite-elite ekonomi yang menjadi oligarki bisnis dengan penguasaan luas terhadap alat-alat produksi dan jaringan bisnis sehingga orang bertanya-tanya: apakah segala jerih payah dan pengorbanan dalam reformasi hanya menghasilkan segelintir kapitalis domestik dengan kekuasaan ekonomi yang luar biasa dan belum pasti menaruh sedikit perhatian terhadap kesejahteraan rakyat sebagaimana diperintahkan UUD 1945?

Semua keadaan ini dapat menimbulkan keraguan: apakah demokrasi merupakan jalan yang benar, dan kalaupun benar, tidakkah kebebasan yang dimungkinkan dalam demokrasi sudah berkembang lebih jauh dari ukuran yang wajar? Mulai timbul semacam nostalgia ke masa pemerintahan Soeharto. Dikatakan, sedikit otoriter tidak mengapa, asal politik, ekonomi, dan keamanan stabil. Pemilihan langsung kepala daerah dirasa membawa biaya ekonomi dan sosial yang terlalu tinggi sehingga timbul pikiran untuk kembali ke pemilihan tak langsung melalui DPRD.

Otonomi daerah menimbulkan banyak konflik lokal, terutama kalau ada daerah yang ingin jadi kabupaten baru dengan berbagai alasan. Bupati dan wali kota jadi amat berkuasa dan bertindak sebagai penguasa tunggal di daerahnya, seakan-akan kabupaten atau kotanya sebuah negara dalam negara. Pers dan media menikmati kebebasan berlebihan: asyik dengan gosip dan kasak-kusuk, menimbulkan kegaduhan politik yang tidak perlu, tetapi gagal menjalankan tugasnya sebagai sumber informasi dan media komunikasi sosial-politik yang tepercaya.

Mungkin masih banyak keberatan lain yang ada, tetapi cukup kiranya beberapa contoh di atas sebagai ilustrasi. Jadi, apa yang harus dilakukan? Benarkah bangsa ini belum siap untuk berdemokrasi?

Beruntunglah generasi sekarang yang mempunyai dan membaca sejarah politik Tanah Air. Dalam pidato lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, Bung Karno membahas isu kesiapan ini. Terhadap undangan Panitia Penyelidikan Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang diketuai Radjiman, yang meminta para undangan menyiapkan segala sesuatu secara rapi dan rinci hingga hal yang sekecil-kecilnya, Bung Karno berkata: seandainya segala sesuatu harus disiapkan terlebih dahulu sebelum Indonesia merdeka, tak seorang pun yang hadir di pertemuan ini akan mengalami kemerdekaan sampai mereka mati.

Kesiapan berdemokrasi

Teori tentang kesiapan itu dibalikkan oleh Soekarno secara dialektis: bukan bangsa Indonesia harus siap supaya bisa merdeka, melainkan bangsa ini harus merdeka agar dapat menyiapkan segala sesuatunya untuk kehidupan yang layak dan sejahtera. Kemerdekaan adalah keberanian untuk merdeka, bukan kesiapan untuk merdeka. Tampaknya hingga kini tak seorang pun warga Indonesia menyesali bangsanya sudah merdeka meski dengan menanggung banyak risiko dan pengorbanan.

Ternyata masalah kesiapan itu muncul juga dalam politik Indonesia hari ini. Apakah tak terlalu pagi menerapkan demokrasi di Indonesia? Apakah tak terburu-buru menerapkan otonomi daerah? Bukankah rakyat kita belum siap memilih pemimpinnya? Tidakkah lebih baik diserahkan saja kepada DPRD? Tidakkah kebebasan pers sebaiknya diatur dengan beberapa pembatasan agar tak kebablasan?

Keberatan-keberatan ini dapat mengingatkan kita akan seseorang di kolam renang, yang berusaha berenang hingga ke tengah, tetapi kemudian kembali ke tempat semula karena tidak yakin untuk sampai ke titik di seberangnya. Padahal, berenang ke dan dari tengah kolam renang itu sama jauhnya dengan berenang dari tepian yang satu ke tepian yang lain.

Dalam politik Indonesia sekarang, penerapan otonomi daerah masih menghadapi banyak masalah, seperti kecilnya pendapatan asli daerah, kurangnya dana dari APBD untuk membangun infrastruktur, rusaknya lingkungan alam karena pemerintah daerah memberikan lisensi yang tidak dipertimbangkan dengan baik untuk mendatangkan investor, tidak adanya koordinasi dan kerja sama antarkabupaten, serta banyak kesulitan lain. Namun, kalau kesulitan-kesulitan ini belum bisa diatasi dan ini dijadikan alasan bahwa otonomi daerah diterapkan terlalu dini, maka terjadi dua kesalahan.

Pertama, kesalahan logis. Kalau kita belum berhasil menerapkan otonomi daerah secara baik, menimbulkan anggapan bahwa penerapan otonomi daerah terlalu dini dan kalau kita terus-menerus tak cukup berusaha melaksanakan otonomi daerah sesuai tujuannya, apakah selamanya otonomi daerah menjadi terlalu dini?

Di samping itu, kedua, ada kesalahan historis dalam menilai perkembangan yang ada. Sejak diberlakukan pada 2001, pengalaman dengan otonomi daerah baru berlangsung satu dasawarsa lebih. Dalam masa yang singkat itu partisipasi politik daerah sudah banyak meningkat; dalam menentukan kabupaten sendiri atau tidak, dalam mengidentifikasi sumber daya daerah, dan dalam menetapkan peraturan daerah yang sesuai dengan keadaan setempat. Otonomi khusus di Aceh dan Papua membuktikan meningkatnya kekuatan politik daerah dalam berhadapan dengan pemerintah pusat.

Penduduk di daerah juga dapat memilih sendiri pemimpin yang mereka kehendaki. Tidak selalu mereka berhasil mendapatkan pemimpin yang tepat, khususnya kalau ada faktor-faktor selain aspirasi politik yang turut bermain. Faktor-faktor itu dapat berupa kecenderungan primordial yang masih kuat berupa ikatan etnis, agama atau kekerabatan, selain penggunaan uang untuk memengaruhi pemilihan. Akan tetapi, rakyat punya proses belajarnya sendiri. Uang bisa dibagikan, tetapi rakyat sebagai konstituen makin sadar untuk mempertahankan kebebasan mereka dalam memilih pemimpin yang dikehendaki. Primordialisme terbukti tidak selalu menguntungkan karena dapat menghasilkan munculnya pemimpin yang tak kompeten. Apalagi makin terlihat, calon yang membagi-bagikan uang biasanya tak punya banyak kemampuan yang dapat ditawarkan kepada masyarakat.

Kesadaran berdemokrasi

Pers bebas mungkin kadang kala terperosok menjual gosip dan disinformasi. Akan tetapi, lambat laun orang pers dan pemilik media sadar, keuntungan komersial yang diperoleh tidak selalu berbanding lurus dengan pengaruh pers terhadap perkembangan politik. Harus ditemukan modus vivendi antara keuntungan dan pengaruh politik. Apakah ada pemilik media yang hanya puas dengan keuntungan yang menumpuk dari bisnis medianya, tetapi tak pernah dihitung dalam politik?

Sampai tingkat tertentu pers ingin berperan sebagai the fourth estate atau pilar keempat di samping trias politika, satu hal yang hanya mungkin tercapai kalau kebebasannya digunakan dengan penuh tanggung jawab.

Korupsi menyebar dan meningkat dengan berbagai modus yang semakin nekat, tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi melancarkan semacam �perang terbuka� dengan para koruptor, pengadilan semakin galak memberikan hukuman yang berat.

Sementara pers dan media massa tak lelah membongkar praktik-praktik korup para VIP dengan investigasi yang berani dan menyajikan berbagai data yang dapat menjadi indikasi terlibatnya seseorang dalam pembobolan dana publik.

Pada akhirnya kemerdekaan adalah keberanian untuk merdeka dan demokrasi adalah keberanian berdemokrasi. Kesulitan dan kegagalan dalam menerapkan demokrasi tak patut jadi alasan demokrasi tak sesuai atau belum waktunya diterapkan sebagai sistem politik. Jalan pikiran ini mengandung fallacy yang dapat berimplikasi luas, tatkala kegagalan menghentikan korupsi dianggap sebagai bukti belum waktunya menerapkan pemerintahan yang bersih atau kesulitan menurunkan tingkat kemiskinan menimbulkan anggapan bahwa kesejahteraan rakyat merupakan cita-cita yang terlalu tinggi untuk Indonesia. Demokrasi barangkali bukan sistem yang terbaik, tetapi pastilah sistem dengan keburukan yang paling sedikit.

Ignas Kleden, Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)

Demokrasi Simbolik

Syarif Hidayat

KIRANYA cukup relevan menggunakan terminologi �demokrasi simbolik� dalam menjelaskan  realitas bias demokrasi yang terjadi di Tanah Air saat ini.

Hal itu ditandai adanya perluasan arena dan penguatan institusi demokrasi, tetapi minus kapasitas demokrasi. Akibatnya, tidak mengherankan jika kemudian demokrasi telah lebih banyak diekspresikan dalam bentuk tindak kekerasan dan praktik politik transaksionis.

Data Indeks Demokrasi Indonesia�yang dipublikasikan Bappenas, BPS, dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan  bekerja sama dengan UNDP�sangat jelas memperlihatkan bahwa dalam tiga tahun terakhir (2010-2012) tren capaian indeks nasional (rata-rata 33 provinsi) untuk aspek kebebasan sipil selalu berada di atas angka 75. Lebih spesifik lagi, capaian indeks aspek kebebasan sipil pada tahun 2010-2012 masing-masing  adalah 82,53; 80,79; dan 77,94.

Namun, ironisnya, pada kurun waktu yang sama capaian indeks aspek hak-hak politik selalu berada pada kategori �buruk�, bahkan cenderung memburuk, yaitu 47,87 pada tahun 2010; 47,57 pada tahun 2011; dan 46,33 pada tahun 2012. Sementara capaian indeks  aspek lembaga demokrasi kendati mengalami tren kenaikan (63,11 pada tahun 2010; 74,72 pada tahun 2011; dan 69,28 pada tahun 2012), tetapi tetap pada kategori �sedang�.

Dalam narasi kualitatif, angka- angka indeks tersebut mengindikasikan bahwa sejauh ini Indonesia relatif telah sangat berhasil dalam membangun dan mengembangkan kebebasan sipil. Hal itu ditandai, antara lain, adanya perluasan arena dan bangkitnya gairah partisipasi publik.

Namun, pada sisi lain, gairah kebebasan sipil yang meningkat begitu pesat tersebut belum disertai oleh inherennya perilaku demokrasi dan meningkatnya kapasitas lembaga demokrasi yang berfungsi menampung, menyalurkan, serta merespons tuntutan publik. Implikasinya, kebebasan sipil dan hak-hak politik kemudian telah lebih banyak diekspresikan dalam bentuk tindak kekerasan, atau bahkan dalam bentuk praktik-praktik politik transaksionis.

Bias demokrasi

Pertanyaannya kemudian, pada konteks yang lebih luas, apa yang dapat dijelaskan oleh kecenderungan di atas apabila dikaitkan dengan gerakan reformasi politik yang telah berlangsung di Tanah Air selama lebih kurang 15 tahun terakhir?

Salah satu kelemahan mendasar dari konsep dan kebijakan reformasi yang berlangsung sejak 1998 adalah karena gerakan perubahan yang berlangsung lebih terfokus pada upaya membangun dan memperbaiki institusi negara. Sementara itu, upaya untuk membangun dan memperkuat kapasitas negara cenderung tidak mendapat perhatian yang seimbang. Konsekuensinya, dapat dimengerti jika kemudian �kehadiran negara� dalam kehidupan sehari-hari menjadi samar-samar atau bahkan dalam beberapa kasus cenderung �absen�.

Argumentasi yang hampir sama  dikemukakan  Hidayat dan Gismar (2010: 5) bahwa reformasi yang berlangsung di Tanah Air sejauh ini  masih didominasi adanya �tarik-tegang� antara keinginan untuk melakukan perubahan pada satu sisi dan keinginan untuk tetap mengekalkan �tradisi� lama pada sisi lain. Secara ideologis, perubahan niscaya harus dilakukan. Akan tetapi, kelompok elite, utamanya �keturunan Orde Baru�, tidak sepenuh hati mendukung gelombang perubahan. Sebab, hal tersebut akan berimplikasi pada perubahan �tradisi� yang telah mereka bangun dan nikmati selama ini. Dengan memanfaatkan struktur, sistem, dan prosedur yang ada, para elite tersebut melancarkan reformasi tandingan untuk memastikan bahwa gerakan reformasi yang sedang berlangsung tidak mengusik kepentingan-kepentingan yang mereka miliki.

Apabila sejumlah argumentasi teoretis  tersebut diderivasi pada konteks demokratisasi di Indonesia, konstruksi preposisi yang sama pun bisa dibangun untuk menjelaskan realitas demokrasi yang ada.

Secara singkat dapat dikemukakan bahwa terjadinya �bias demokrasi� saat ini disebabkan gerakan demokratisasi yang berlangsung dalam kurun 15 tahun terakhir lebih dicurahkan pada upaya menghadirkan lembaga demokrasi, baik  pada ranah negara maupun masyarakat. Sementara upaya untuk meningkatkan kapasitas lembaga demokrasi dan  membangun perilaku demokrasi di kalangan para penyelenggara negara, politisi, dan masyarakat sipil sendiri cenderung terabaikan.

Akibatnya, tidak mengejutkan jika kemudian hasil yang dituai dari gerakan �reformasi demokrasi� yang berlangsung lebih dalam bentuk �memperluas arena demokrasi� dan �menghadirkan lembaga demokrasi� di ranah negara dan masyarakat, tetapi �minus perilaku demokrasi�. Dalam kondisi seperti ini, sejatinya praktik demokrasi yang kita saksikan dan rasakan  adalah �demokrasi simbolik� (struktur dan prosedur).

Sementara �roh� yang menggerakkan �jasad demokrasi�  yang telah terbangun tersebut masih sangat kental diisi oleh nilai-nilai dan perilaku �kontra-demokrasi� yang ditunjukkan oleh, antara lain, masih dominannya praktik kekerasan dan politik transaksionis.

Sosok demokrasi seperti ini tentunya sangat menguntungkan para elite pendukung �tradisi lama� (otoritarian) yang sedang melancarkan gerakan �reformasi tandingan� untuk melindungi hegemoni politik yang telah mereka bangun,  juga bagi para �elite baru� (anak kandung reformasi) yang ingin mendapatkan kekuasaan tanpa harus lebih banyak mengeluarkan �keringat politik�. Namun, sangat tidak menguntungkan bagi kepentingan bangsa ke depan, khususnya dalam upaya untuk mendorong gerak maju transisi demokrasi.

Peningkatan kapasitas

Refleksi teoretis  dan empiris di atas bukan sama sekali bermaksud untuk menebar perspektif �pesimistik� dalam menyikapi dan menengarai masa depan demokrasi di Tanah Air. Justru sebaliknya, berupaya menjelaskan salah satu akar persoalan yang sedang dihadapi, untuk selanjutnya dapat dijadikan sebagai asupan nutrisi dalam melakukan �reformasi� konsep ataupun kebijakan demokrasi ke depan. Dengan merujuk pada preposisi �demokrasi simbolik� di atas,  sangat jelas tergambarkan: salah satu penyebab �bias praktik demokrasi� yang terjadi saat ini adalah karena konsep dan kebijakan �reformasi demokrasi� yang berlangsung dalam kurun 15 tahun terakhir lebih menekankan pada upaya  memperluas arena dan  menghadirkan institusi demokrasi (�jasad demokrasi�), tetapi minus penguatan kapasitas demokrasi (�roh demokrasi�).

Oleh karena itu, di antara kebutuhan mendesak dan harus dipenuhi dalam waktu dekat adalah  membangun dan menghadirkan �adab berdemokrasi� (perilaku demokrasi) di kalangan para penyelenggara negara, politisi, dan masyarakat melalui pendidikan politik pada khususnya dan pendidikan kebangsaan pada umumnya. Dengan demikian, �jasad demokrasi� yang telah dibesarkan dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini juga secara bersamaan dapat diisi dan digerakkan oleh �roh demokrasi�.

Syarif Hidayat, Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Kontroversi Akuisisi PGN

Irene Handika

POLEMIK akuisisi Perusahaan Gas Negara oleh Pertamina menjadi babak baru sebagai kelanjutan dari perdebatan open access dan unbundling yang sengit disuarakan tahun lalu. Muncul opsi reaktif agar seluruh pemangku kepentingan di bidang usaha gas melalui pipa menyepakati dua skema besar itu. Namun, ada dua permasalahan dasar dalam polemik ini, apakah kedua skema yang didalilkan itu secara konstitusional sudah benar?

Betulkah mengawinkan dua badan usaha negara untuk melaksanakan skema di atas dapat memperkuat hak negara menguasai sumber daya gas sekaligus memakmurkan rakyat?

Mari kita lihat satu per satu. Pertama, kesesuaian dengan konstitusi. Pasal 1 Ayat (3) Konstitusi menyatakan, Indonesia adalah negara hukum sehingga segala pilihan dalam penyelenggaraan negara wajib berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dilihat secara historis, open access memang diamanahkan oleh Pasal 8 Ayat (3) UU Migas yang mendalilkan �pengusahaan pengangkutan gas bumi melalui pipa yang menyangkut kepentingan umum diatur agar pemanfaatannya terbuka bagi semua pemakai�. Diatur demikian karena jaringan pipa dianggap sebagai sarana yang bersifat monopoli alamiah.

Masalahnya, pasal itu multi-interpretasi: apakah dimaksudkan sepanjang kegiatan usaha pengangkutan menyangkut kepentingan umum maka pipa dapat dimanfaatkan oleh semua pemakai, atau dimaknai sebagai kebijakan karena usaha pengangkutan melalui pipa dianggap berkaitan dengan penyelenggaraan kepentingan umum.

Dilihat dari konstruksi pengaturan usaha hilir di UU Migas, open access bukan norma yang bersifat imperatif.

Tidak ada sanksi terhadap badan usaha yang tidak melaksanakannya. Mengacu pada konstruksi UU Migas, Pasal 29 Ayat (1) dan (2) menyatakan, �Pada wilayah yang mengalami kelangkaan dan daerah-daerah terpencil, fasilitas pengangkutan termasuk fasilitas penunjangnya dapat dimanfaatkan bersama pihak lain, berdasarkan pertimbangan aspek teknis dan ekonomis�, menjadikan penerapan open access bersifat kondisional.

Pasal 30 memberi pemerintah keleluasaan untuk mengatur Pasal 29 lebih lanjut, tetapi dengan baju berupa PP dan tentunya tidak bertentangan dengan UU ini.
Lebih lanjut mengenai unbundling, yang tekstual diatur UU Migas ialah menyangkut pemisahan usaha hulu dan hilir (non vertical integration).

Tidak ada unbundling yang tekstual dimaksudkan sebagai spin off antar-usaha hilir (niaga dan pengangkutan), seperti yang diatur oleh Permen ESDM No 19/2009.

Perlu diatur

Unbundling diatur karena praktik di negara-negara yang menganut liberalisasi gas memaketkan open access bersama unbundling.

Sebagai legitimasi kemudian dicari Pasal UU Migas yang relevan, dimulai dari Pasal 1 angka 10 yang mengartikan kegiatan hilir berintikan pada kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan/atau niaga. Artinya, ada peluang untuk memisahkan usaha niaga tersendiri.

Kemudian Pasal 23 Ayat (3) menyatakan, �Badan usaha dapat diberi lebih dari satu izin usaha sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku�.

Dapat diartikan peluang dipisahkan ada pada peraturan perundang-undangannya. Benarkah itu yang dimaksud?

Dilihat dari historisnya tidak, pasca-UU Migas diundangkan skema bundled  dibolehkan oleh peraturan yang lebih superior, seperti PP No 67/2002 dan PP No 36/2004, dan mengemuka justru melalui Permen ESDM No 19/2009.

Terlebih, posisi Pasal 23 di bagian perizinan hendaknya dimaknai kebolehan memiliki lebih dari satu izin usaha didasarkan pada terpenuhinya prasyarat sekaligus tidak bertentangan dengan peraturan lain yang relevan, misalnya dengan UU No 5/1999.

Kedua, peraturan derivat yang mengatur open access dan unbundling secara terselubung dapat mematikan usaha pengangkutan, misalnya kebolehan bagi usaha niaga membangun pipa dedicatedhilir dan kemudian oleh Pasal 19 Permen diberi peluang sekaligus digunakan untuk usaha pengangkutan. Tidak equal serta menciptakan rantai usaha yang lebih panjang dan potensial menyuburkan broker.
Dalam kasus ini, Perusahaan Gas Negara (PGN) yang selama ini mengusahakan pengangkutan dan niaga potensial terkena imbas.

Diambillah langkah menghindari badan usaha pemerintah dari kerugian sekaligus memperkuat dominasi pemerintah dalam penguasaan gas dengan merangkul PGN dan Pertamina.

Demi rakyat

Tujuan baik yang sesuai dengan filosofi bangsa sepanjang praktiknya mengakselerasi kemakmuran rakyat.

Konstitusi melalui Pasal 33 sudah mengingatkan bahwa Hak Menguasai Negara satu paket dengan penyelenggaraan kemakmuran rakyat.

Artinya, meskipun negara melalui cabang produksinya (BUMN) dominan dan menguasai, tetapi tidak untuk kemakmuran, maka bertentangan dengan konstitusi. Andai akuisisi terealisasi, apakah operasi dengan skema open access dan unbundling akan memakmurkan rakyat?

Skema itu baru, maka untuk membantu menjernihkan dapat mengacu pada praktik negara lain.Open access dan unbundling diterapkan di negara yang menganut liberalisasi gas, ini sudah bertentangan dengan Pasal 33 Konstitusi.

Mengenai manfaatnya, komparasi di Amerika-Inggris dengan Rusia-Thailand menunjukkan akses terbuka dan unbundling meningkatkan harga akibat tingginya volatilitas dan pengaruh terhadap penawaran dan permintaan.

Sebaliknya, di negara-negara yang tidak menerapkan memiliki harga gas yang lebih rendah dengan tetap memiliki kemungkinan kemampuan mengembangkan infrastruktur (Anton Ming-Zhi Gao:2010). Rakyat yang dirugikan akibat harga tinggi.

Sebagai akhir, rencana akuisisi perlu dikaji kembali karena ada hubungan erat dengan skema pengelolaan sumber daya vital yang inkonstitusional.

Irene Handika, Dosen Fakultas Hukum UGM