Selasa, 27 Maret 2012

"Koncatan" Wahyu?

L Wilardjo

Hans J Morgenthau adalah teoretikus Amerika yang hebat di bidang filsafat politik dan relasi politik internasional. Cendekiawan Jerman ini lari ke Amerika pada 1935 ketika Adolf Hitler berkuasa. Di negeri angkatnya itu, ia menjadi guru besar yang sangat disegani di Universitas Chicago.

Bagi Morgenthau, kekuasaan nasional adalah sesuatu yang dapat dipahami dengan sekilas pandang saja. Dalam bukunya Politics Among Nations (Politik di antara Bangsa-bangsa), Morgenthau mengacu ke pertemuan yang terkenal antara Napoleon dan Metternich pada akhir Juni 1813. Pertemuan itu disebut �wawansabda Dresden�.

Saat itu, Napoleon bukan hanya jenderal yang cemerlang. Ia sudah menjadi raja Perancis yang malang-melintang di Eropa selama lebih dari satu dasawarsa. Napoleon Bonaparte sudah bertahun-tahun mengenal Pangeran von Metternich, tetapi baru sekarang, menyusul kekalahannya yang memalukan di Rusia, raja-diraja Perancis yang baru berusia 43 tahun itu bertatap muka dengan Perdana Menteri Austria yang tiga tahun lebih muda.

Diplomasi itu berlangsung sembilan jam. Napoleon berusaha membujuk Metternich agar jangan bergabung dengan koalisi yang berniat menghancurkan posisi Perancis dalam politik kekuasaan di Eropa. Sri Baginda Raja Napoleon menekan Metternich dengan segala ancaman dan taktik psikologis-emosional.

�Perundingan kami,� tulis Metternich kemudian, �terdiri atas rangkaian yang sangat aneh dari beraneka pokok pembicaraan. Kadang-kadang dengan nuansa keramahan yang mesra, terkadang dengan kemarahan yang sangat sengit.�

Di satu takat pembicaraan, Metternich menghina Angkatan Darat Perancis yang kelelahan dan kehabisan semangat. Seenaknya saja ia berkata, �Serdadu-serdadu Perancis itu tak lebih dari gerombolan anak-anak.� Kemarahan Napoleon meledak. �Anda bukan serdadu!� teriaknya.

Raja Perancis itu melemparkan topinya ke pojok ruangan, setengahnya sebagai bahasa tubuh teatrikal, setengahnya lagi karena benar-benar geram. Ia menunggu, berharap Metternich mengambilkan topi itu. Pangeran Austria itu tetap bergeming. Topi itu tergeletak di ubin lantai Istana Marcolini, bagai lambang kekuasaan yang sirna.

Napoleon akhirnya memungut sendiri topinya. �Baginda,� kata Metternich, �Anda seorang pecundang.�

Keesokan harinya Metternich menempatkan Austria di aliansi negara-negara yang melawan Perancis. Kurang dari setahun kemudian, Napoleon dibuang ke Pulau Elba.

Metafora Ken Arok

Konfrontasi Raja Napoleon Bonaparte versus Pangeran Klemens Wenzel Nepomuk Lothar von Metternich itu sebenarnya bisa dipakai Acep Iwan Saidi untuk menyambung kisah Ken Arok dalam artikelnya (�Surat untuk Presiden�, Kompas 23 Februari 2012.) Di artikel bergaya prosa liris itu Acep tidak melanjutkan kisah Ken Arok dengan kejatuhannya di tangan Anusapati. Acep beralih dari metafora ke uraian wantah (denotatif).

Dalam kekecewaannya, dalam mata batinnya Acep melihat SBY tidak lagi sebagai jelmaan Trimurti dengan �sorot mata Sudra, sikap Satria, dan esensi Brahmana.� Karena �terjebak dalam kepungan para bandit� dan �dikhianati�, SBY �menjadi sangat lemah� dan menderita. Dengan kata lain, Acep melihat SBY sebagai orang yang merana.

Lazimnya orang akan merasa dihina kalau dikatakan merana (miserable) atau sangat menyedihkan (pathetic). Kalau ia �adem ayem� saja, tidak marah dan tidak memakai hak jawabnya, barangkali karena ia berjiwa besar (magnanimous). Baginya, lebih utama untuk �menang tanpa ngasorake� (menang tanpa mengalahkan). Kalau sikap seperti itu terlalu ideal dan hanya ada pada para Nabi, mungkin kelegawaan seorang pemimpin menerima hujatan itu karena ia demokrat sejati. Ia menghargai hak orang untuk berpendapat. Tokoh masyarakat memang harus bersedia disorot masyarakat. Ibarat pohon, makin tinggi puncaknya, makin keras terpaan anginnya.

Citra SBY yang dulu, �Si Lembek yang teraniaya�, terhapus oleh kebulatan tekadnya untuk memimpin pemberantasan korupsi. Kampanye gencar dan iklan politik besar-besaran dalam Pilpres 2009 itulah, saya kira, yang menyebabkan mengapa di mata batin Acep ia dulu tampak seperti Ken Arok.

Ia kemudian beberapa kali tampil di depan publik untuk memberikan statement of fact yang diterima publik sebagai keluhan atau pencitraan diri sebagai Si Teraniaya. Faktanya memang gajinya kecil (kalau dibandingkan dengan BG Lee). Faktanya memang ia terancam akan ditembak teroris. Namun, setidak-tidaknya sebagian publik menganggap hal-hal seperti itu �saru� untuk diungkapkan di depan rakyat. Mudah-mudahan tidak ada yang merasa perlu membuka kamus psikologi mencari lema �masokisme�.

L Wilardjo, Guru Besar Fisika UK Satya Wacana

Sabtu, 24 Maret 2012

Subsidi BBM dan Kompensasi BLT

Arianto A Patunru

Subsidi bahan bakar minyak keliru, paling tidak dalam tiga hal: tidak produktif, tidak tepat sasaran, dan tidak ramah lingkungan.

Tidak produktif karena jumlah dana yang begitu besar seharusnya lebih bermanfaat jika digunakan untuk membantu mengatasi masalah paling krusial Indonesia: infrastruktur. Dokumen perencanaan pembangunan pemerintah, seperti Rencana Panjang Jangka Menengah (RPJM) maupun Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) telah dengan benar mengidentifikasi tantangan utama sisi penawaran ekonomi Indonesia, yaitu infrastruktur.

Sayangnya, APBN masih belum tampak mendukung prioritas ini: pembangunan infrastruktur hanya 8 persen dari total belanja pemerintah, sementara 13 persen dialokasikan untuk subsidi energi, yang mayoritas masuk ke BBM. Saat partisipasi swasta masih terkendala, akan lebih produktif jika dilakukan realokasi sebagian anggaran dari subsidi BBM ke pembangunan infrastruktur.

Praktik subsidi BBM saat ini juga tidak tepat sasaran karena hampir setengahnya ternyata dinikmati oleh mereka yang berada di desil teratas (10 persen teratas) masyarakat berdasarkan pendapatan dan hanya 2 persen dikonsumsi desil terbawah (10 persen terbawah). Dengan kata lain, lebih dari 90 persen subsidi BBM sebenarnya dinikmati oleh yang bukan golongan termiskin.

Terakhir, subsidi BBM seperti saat ini menekan insentif bagi dunia usaha untuk masuk ke sektor energi terbarukan. Seruan pemerintah untuk mulai beralih dari energi berbasis fosil ke energi terbarukan hanya jadi retorika jika produk-produk energi terbarukan tak mampu bersaing dengan harga bensin yang dipatok terlalu rendah.

Indonesia salah satu penghasil emisi karbon dioksida berbasis bensin terbesar: emisi per kapitanya melebihi India dan China. Jakarta yang macet, misalnya, tak hanya membakar bensin sia-sia, tetapi juga mengisi paru-paru dengan karbon dioksida.

Kompensasi?

Isu berikutnya adalah kompensasi. Mengapa perlu ada kompensasi? Idealnya, jika terjadi guncangan dalam perekonomian dan agen ekonomi serta faktor produksi menyesuaikan diri dengan cepat, tak perlu ada kompensasi. Namun, kenaikan harga�seperti kenaikan harga Premium karena subsidinya dikurangi�dapat mengubah pendapatan relatif konsumen (walaupun pendapatan nominal tetap, ia merasa seolah berpendapatan lebih rendah karena dengan uang yang sama sekarang ia hanya bisa membeli lebih sedikit).

Butuh waktu untuk kembali pada tingkat konsumsi optimal seperti semula. Mereka yang berpendapatan nominal tinggi akan cepat menyesuaikan diri dengan cara realokasi konsumsi. Namun, mereka yang miskin akan kesulitan karena opsi buat mereka lebih sedikit. Di sini mekanisme kompensasi dimaksudkan untuk membantu kelompok kedua ini untuk bisa cepat menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru.

Untuk memperjelas, bayangkan ada lima konsumen Premium: dua kaya (A dan B) dan tiga miskin (C, D, dan E). Semua membeli Premium bersubsidi pada harga sama per liter. Kenaikan harga bensin akan menurunkan kesejahteraan kelima orang ini tanpa kecuali, tetapi derajatnya berbeda-beda. A dan B akan langsung menyesuaikan pola konsumsi (mengurangi rekreasi, menjadi lebih hemat, dan sebagainya). Tidak demikian halnya dengan C, D, dan E yang dihadapkan pada opsi konsumsi yang terbatas.

Jika mekanisme pengawasan berjalan sempurna, seharusnya A dan B saja yang membeli bensin tanpa subsidi. Yang miskin tetap boleh membeli pada harga subsidi. Namun kita telah menyaksikan, praktik harga berbeda untuk barang yang sama adalah makanan empuk bagi spekulan dan biaya pengawasan bisa menjadi mahal sekali. Jika ini terjadi, tujuan penghematan untuk realokasi anggaran pada hal-hal yang lebih konstruktif pun sirna.

Di sini mekanisme kompensasi seperti bantuan langsung tunai (BLT) bekerja sebagai berikut. Subsidi dikurangi (atau dicabut). Akibatnya, harga Premium �terpaksa� naik. Semua (A, B, C, D, dan E) harus membeli pada harga yang lebih tinggi. Lalu pemerintah mengambil sebagian dari uang yang di-�hemat� (dari subsidi yang berkurang) untuk diberikan kepada yang miskin (C, D, dan E). Kompensasi tidak diberikan kepada A dan B, orang kaya yang tadinya menikmati subsidi salah sasaran tersebut.

Pertanyaan berikutnya adalah mengapa kompensasi BLT hanya diberikan dalam dua atau tiga bulan? Sebagaimana namanya, kompensasi bersifat sementara: hanya diberlakukan untuk meredam guncangan, dalam hal ini kenaikan harga. Data empiris menunjukkan, inflasi yang timbul setelah kenaikan harga bensin akan berangsur normal dalam tiga bulan. Maka, kompensasi kepada si miskin juga dilakukan dalam tiga bulan.

Selanjutnya, program pengentasan orang miskin dilakukan dengan kebijakan yang lebih bersifat jangka panjang, seperti bantuan sekolah miskin, program keluarga harapan, dan jaminan kesehatan masyarakat. Program-program tersebut juga terus disempurnakan.

Tentu saja tulisan ini menyederhanakan masalah. Politik BBM yang maju-mundur telah meningkatkan ketakpastian dan harga barang-barang lain telah mulai naik. Ini adalah isu yang berbeda. Ini berkaitan dengan kemampuan pemerintah dan DPR mengambil keputusan tegas. Semakin lama keputusan tidak diambil, kian tinggi ketidakpastian. Jika ini berjalan terus, argumen ekonomi di atas bisa gagal, terlibas tarik-menarik politik.

Arianto A Patunru, Dosen FEUI; Peneliti LPEM-FEUI

Jumat, 23 Maret 2012

G30S dan Permintaan Maaf

Franz Magnis-Suseno SJ

Ada berita mengejutkan: Presiden, katanya, mau mengajukan permintaan maaf kepada para korban segala pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Tanah Air sejak Indonesia merdeka.

Rencana Presiden ini menuntut sikap kita juga. Kalau di sini saya membatasi diri pada pelanggaran-pelanggaran pasca-Gerakan 30 September (G30S), itu bukan untuk meremehkan pelanggaran-pelanggaran lain. Namun, semata-mata karena raksasanya jumlah orang yang menjadi korban, kompleksitasnya latar belakangnya, beban ketersentuhan emosional, dan kepekaan yang sampai hari ini masih tersisa dalam masyarakat.

Menghindar dari Simplifikasi

Dari luar negeri, kasus pelanggaran kelihatan jelas. Penumpasan sebuah kudeta kok bermuara pada pembunuhan massal terhadap apa saja yang berbau komunis, disusul kebijakan resmi negara yang menghancurkan eksistensi serta menstigmatisasi sebagai manusia terkutuk jutaan masyarakat yang sedikit pun tidak terlibat, dengan ratusan ribu orang ditahan selama lebih dari 10 tahun. Tak dapat diragukan, kejadian-kejadian itu termasuk salah satu kejahatan terbesar terhadap umat manusia di bagian kedua abad ke-20.

Akan tetapi, masalahnya tak sesederhana itu. Kita bisa bertanya: mengapa 46 tahun sesudah peristiwa itu emosi-emosi anti-�PKI� masih begitu kuat; mengapa pengakuan mereka yang pernah ditahan, disiksa, dan dikucilkan merupakan korban begitu sulit? Apakah hanya karena indoktrinasi Orde Baru (misalnya lewat film Pengkhianatan G30S/PKI)?

Sejak 1964, saya studi teologi di Yogyakarta. Waktu itu saya semakin khawatir jangan-jangan Indonesia diambil alih oleh kaum komunis. Kesan saya, masyarakat bukan komunis buta terhadap bahaya itu. Namun, tsunami anti-PKI sesudah G30S menunjukkan bahwa saya keliru. Ternyata PKI dibenci dan ditakuti, tetapi orang tak berani mengungkapkannya karena takut dicap anti-Nasakom, �komunisto-fobi�, atau�lebih gawat��antek Nekolim�.

Kita ingat: 1995, Pramoedya Ananta Toer�yang selama 13 tahun ditahan, salah seorang sastrawan Indonesia paling diakui secara internasional�mendapat hadiah Magsaysay. Namun, Mochtar Lubis dan sejumlah sastrawan lain protes keras. Bukan karena mau balas dendam, melainkan karena di tahun-tahun sebelum G30S Pramoedya menjadi penghasut yang menyerukan �pengganyangan� terhadap �kebudayaan Manikebu, komprador, imperialis, dan kontrarevolusi�, �kebudayaan setan yang seyogianya sudah harus tidak lagi mengotori bumi Indonesia�.

Pramoedya hanya salah satu. Pada tahun-tahun itu semua yang tak tunduk terhadap kebijakan Soekarno yang pro- PKI dihantam dan diancam. PKI menyerukan pengganyangan �tujuh setan desa� dan �tiga setan kota�, para lawan politiknya dicap �Masyumi�. Masyumi sendiri yang pada 1960 dilarang Presiden Soekarno difitnah sebagai musuh revolusi. CGMI menyerukan pembubaran HMI. Suasana penuh kebencian, intimidasi, dan fitnah terhadap segala apa yang anti-PKI itulah yang meledak sesudah G30S.

Sekarang sudah hampir pasti (baca buku John Roosa) bahwa G30S memang dirancang oleh Aidit dan bukan sekadar gerakan beberapa opsir kiri Angkatan Darat (versi PKI dan Cornell Paper tulisan kondang McVey/Anderson). Betul, �kebijakan� Aidit ini tidak disahkan oleh Politbiro PKI. Kebijakan politik komunis umumnya memang tak ditentukan dalam politbiro, tetapi langsung oleh pimpinan/sekretaris jenderal partai. Bukankah selama September 1965 orang-orang PKI bicara tentang �revolusi yang hamil tua�? Bukankah kader Pemuda Rakyat disuruh siap-siap?

Yogyakarta pada 1 Oktober 1965 diambil alih oleh Dewan Revolusi. Kami waktu itu belum tahu bahwa pengambilalihan itu terjadi dengan membunuh Komandan Korem Kolonel Katamso dan anggota stafnya, Letkol Sugiono. Pada 4 Oktober, kami mendengar, mereka yang diculik ternyata langsung dibunuh (suatu brutalitas yang sulit dimengerti: masak sandera dibunuh sebelum coba diadakan perundingan). Saya langsung teringat kebrutalan komunis di sekian negara di dunia. Kesan saya, orang-orang di Yogyakarta diliputi rasa waswas, seakan-akan tahu ada darah mengalir dan akan ada darah mengalir lagi. Mereka masih ingat peristiwa Madiun, 17 tahun sebelumnya, saat PKI membunuh sekitar 4.000 orang non-kombatan.

Akhir Oktober 1965, saya membaca di koran bahwa di Banyuwangi ditemukan sumur berisi 80 mayat santri. Di Yogya, RPKAD sudah sejak 20 Oktober melakukan pembersihan terhadap �PKI�, didukung masyarakat yang antikomunis. Banyak tokoh komunis dieksekusi. Di Jawa Timur, dan sejak Desember juga di Bali dan tempat lain, para pemuda mulai membunuhi orang-orang PKI. Pembunuhan itu berlangsung sampai Februari 1966. Taksiran jumlah terbunuh setengah juta dianggap realistis.

Mengerikan? Betul! Namun, sindiran Roosa bahwa pembunuhan itu policy terencana Soeharto saya anggap naif. Pembunuhan-pembunuhan itu�di mana militer memang sangat terlibat�merupakan akibat segala ketegangan yang terakumulasi selama tahun-tahun sebelumnya yang menciptakan situasi yang oleh Mohammad Roem disebut �mereka atau kami�.

Hal yang sepenuhnya jadi tanggung jawab Soeharto adalah kebijakan resmi negara sesudah 11 Maret 1966. Suatu kebijakan yang sama sekali tak perlu karena PKI sebagai kekuatan politik sudah hancur, sedangkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab seharusnya mengusahakan rekonsiliasi. Dasar kebijakan yang diambil justru sebaliknya: menciptakan rasa benci dan dendam gelap, yaitu penghancuran kehidupan serta stigmatisasi �orang-orang terlibat/tak bersih lingkungan� itu sebagai warga-bangsa yang jahat.

Sudah Tiba Waktunya

Sekarang, 46 tahun kemudian, sudah tiba waktunya kita berani menghadapi kenyataan dan mengambil sikap yang bermartabat. Betul bahwa latar itu membuat kita mengerti mengapa sampai terjadi sesuatu yang sedemikian mengerikan. Kompleksitas itu membungkamkan stigmatisasi bangsa Indonesia pasca-1965 sebagai bangsa pembunuh oleh luar negeri.

Namun, memahami latar belakang tak berarti membenarkan apa yang terjadi. Kita harus berani menyebut jahat apa yang jahat. Secara sederhana: Betapa pun suasana politik waktu itu dipenuhi permusuhan dan saling mengancam karena mengganasnya wacana PKI, tetapi meluasnya reaksi anti-G30S menjadi pembunuhan liar besar-besaran�apalagi rancangan pemerintahan Soeharto�tidak dapat dibenarkan. Kita perlu mengakui hal itu.

Oleh karena itu, kalau Presiden mau minta maaf atas segala pelanggaran hak-hak asasi manusia pada masa lampau, termasuk atas pelanggaran hak-hak asasi dalam tsunami antikomunis pasca-G30S, mari kita dukung!

Dengan minta maaf kita akan dibebaskan dari sisa kebencian dan dendam warisan pemerintahan Soeharto. Kita tahu, orang yang hatinya masih ada dendam dan benci tak dapat menghadap Pencipta dengan rasa baik. Kita pun ikut bersalah. Bersalah karena kita tidak menyebutkan jahat apa yang jahat, bersalah karena tidak mengakui para korban sebagai korban. Permintaan maaf akan membebaskan hati kita juga.

Franz Magnis-Suseno SJ, Rohaniwan; Guru Besar Pensiunan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Rabu, 14 Maret 2012

Besaran Subsidi BBM

Arif Budimanta

Pemerintah secara resmi telah menyampaikan Nota Keuangan serta Rancangan Anggaran dan Pendapatan Negara Perubahan Tahun Anggaran 2012 kepada DPR.
Usulan ini merupakan yang tercepat lima tahun terakhir mengingat biasanya perubahan diusulkan dan dibahas pemerintah bersama DPR pada bulan Mei sampai Agustus tahun fiskal berjalan. Ada dua alasan utama pengajuan disampaikan di awal tahun: dinamika krisis keuangan global yang belum menyurut dan kenaikan harga minyak dunia yang berdampak pada rencana kenaikan harga BBM bersubsidi.

Tanpa kenaikan harga BBM, kian berat beban anggaran yang dirasakan pemerintah. Dari rancangan yang diajukan pemerintah, ada peningkatan subsidi Rp 8 triliun lebih, sementara kenaikan harga tetap dilaksanakan.

Komponen Alpha

Pada RAPBN-P, pemerintah menetapkan asumsi harga minyak mentah 105 dollar AS per barrel (setara 158,9 liter). Nilai tukar rupiah dipatok Rp 9.000 per dollar AS. Harga BBM bersubsidi diusulkan naik Rp 1.500 dari Rp 4.500 jadi Rp 6.000 per liter, seperti sudah disampaikan pemerintah pada rapat kerja dengan DPR, 7 Maret 2012.

Seperti kita ketahui, pemerintah menggunakan formula penetapan harga BBM bersubsidi melalui harga pokok yang dipengaruhi perkembangan harga minyak mentah dunia ditambah komponen alpha�biasanya sekitar 10 persen dari harga nonsubsidi�dan pajak 15 persen. Komponen alpha merupakan biaya distribusi dan keuntungan Pertamina, perusahaan milik negara yang diamanatkan memenuhi kebutuhan BBM bersubsidi dalam negeri.

Tahun ini, sesuai RUU APBN-P 2012 Pasal 7, total BBM yang harus disubsidi 40 juta kiloliter atau setara 40 miliar liter, dengan anggaran sekitar Rp 133 triliun, setara Rp 3.325 per liter.

Berdasarkan asumsi yang sudah ditetapkan pemerintah, harga BBM jika tak disubsidi mencapai Rp 9.325 per liter (rencana kenaikan harga BBM menjadi Rp 6.000 ditambah subsidi per liter Rp 3.325). Sementara dalam hitungan sederhana, ongkos produksi dari bahan mentahnya saja mencapai Rp 5.947 per liter jika harga minyak mentah Indonesia (ICP) 105 dollar AS per barrel. Antara harga seharusnya yang Rp 9.325 dan biaya produksi ada selisih Rp 3.378 per liter.

Untuk apa sebenarnya ada perbedaan sebesar ini? Itulah komponen alpha (biaya distribusi, keuntungan Pertamina) dan pajak, yang besarannya mencapai 36 persen. Padahal, di permukaan disebutkan, kisaran total komponen alpha dengan pajak seharusnya hanya 25 persen sehingga ada selisih 11 persen. Dengan model perhitungan ini, patutlah kita mengharapkan pemerintah dapat menjelaskan ke mana larinya selisih ini.

Besaran Subsidi

UUD 1945 Pasal 23 menyebutkan APBN harus dilaksanakan secara bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jika selisih 11 persen yang setara Rp 1.025 per liter kita kalikan total BBM yang disubsidi, yaitu 40 miliar liter, berarti nilainya lebih dari Rp 40 triliun. Apalagi, selain komponen alpha yang perlu dipertanyakan lantaran besarnya menakjubkan, ada subsidi yang juga besar.

Dengan asumsi di atas, tambahan subsidi per liter dalam hitungan sederhana tadi hanya Rp 1.989 per liter, yakni selisih antara harga jual baru dan harga produksi plus alpha dan pajak. Total sebesar Rp 79,5 triliun, bukan Rp 133 triliun seperti tercantum dalam pengajuan RUU RAPBN-P 2012. Apalagi kalau kita mengacu pada best practice yang berlaku di AS. Seperti terlihat dalam publikasi US Energy Information Administration, besaran komponen alpha dan pajak hanya 24 persen.

Transparansi menyangkut dua hal�besaran komponen alpha yang misterius dan nilai subsidi yang membengkak jauh lebih besar dari angka yang seharusnya�inilah yang harus bisa dijelaskan oleh pemerintah dalam proses pembahasan RUU APBNP-2012 dengan DPR. Hal ini penting karena persoalan BBM ini terkait dengan hajat hidup rakyat secara langsung dan dampak sosial ekonomi jangka panjang. Tak cukup pemerintah hanya memberikan pemanis bantuan langsung tunai yang berdampak jangka pendek.

Arif Budimanta, Koordinator Kaukus Ekonomi Konstitusi

Senin, 05 Maret 2012

BDF dan Demokrasi Indonesia

Azyumardi Azra

Bahwa Indonesia dalam dasawarsa terakhir sering disebut sebagai negara demokratis ketiga terbesar di dunia, setelah India dan AS, tidak dipersoalkan warga Indonesia sendiri ataupun masyarakat internasional. Namun, kenyataan demokrasi Indonesia setelah 13 tahun berlaku belum terkonsolidasi sepenuhnya tak serta-merta mengurangi tanggung jawab dan peran Indonesia memajukan demokrasi secara global.

Meski masih menghadapi berbagai masalah dalam demokrasinya, Indonesia tetap berada dalam posisi lebih baik untuk lebih memainkan peran ke arah pertumbuhan dan penguatan demokrasi tingkat regional ASEAN atau Asia Pasifik, bahkan di tingkat internasional lebih luas.

Aktualisasi peran itu tak lain merupakan amanat Pembukaan UUD 1945 bahwa pemerintah negara Indonesia juga ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Sebagai negara dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan satu-satunya di kawasan
ini yang menjadi anggota G-20, Indonesia memiliki bobot dan daya tekan memainkan peran lebih besar dalam pertumbuhan dan konsolidasi demokrasi di berbagai kawasan dunia. Masalahnya kemudian, sejauh mana Indonesia telah menggunakan pengaruh itu; dan langkah yang dapat dilakukan lebih jauh untuk berdiri di depan barisan kekuatan internasional mendorong transisi dan konsolidasi demokrasi baik ke dalam maupun ke luar.

Bali Democracy Forum

Sejauh menyangkut pertumbuhan demokrasi, Indonesia jelas memiliki pretensi dan keinginan kuat untuk memainkan peran lebih besar pada tingkat internasional. Hasrat ini diwujudkan sejak 2008 ketika Bali Democracy Forum (BDF) untuk pertama kali diselenggarakan di Bali. Sejak itu BDF menjadi agenda tahunan Pemerintah Indonesia sampai penyelenggaraan yang kelima kalinya pada 8-9 November 2012.

Jelas BDF menarik kian banyak peserta. Pada BDF I hadir empat kepala negara/pemerintahan, 32 negara peserta dari kawasan Asia Pasifik, 8 negara Eropa dan Amerika, serta lembaga internasional sebagai observer. Lalu pada BDF II 2009 masing-masing empat kepala negara/pemerintahan, 35 negara peserta, 13 negara/lembaga internasional pengamat; BDF III 2010, empat kepala negara/pemerintahan, 44 negara peserta, 27 negara/lembaga internasional pengamat; BDF IV 2011, 9 kepala negara/pemerintahan, 40 negara peserta, dan 45 negara/lembaga internasional pengamat; serta BDF V 2012, 11 kepala negara/pemerintahan, 50 negara peserta, dan 13 negara/lembaga internasional pengamat.

Mengapa BDF bisa bertahan dan menjadi agenda tahunan banyak negara? Salah satu faktor adalah pendekatan inklusif BDF yang cukup unik: bahwa Indonesia tidak membatasi keikutsertaan dalam forum pada negara-negara yang benar-benar telah legitimate sebagai demokrasi, tetapi juga negara-negara yang pada dasarnya merupakan negara otoritarianisme militer atau sipil, totalitarianisme, monarki absolut, teokrasi, atau sistem satu partai tunggal. Dengan pendekatan inklusif, yang agaknya khas Indonesia, para peserta tidak dieksklusi dan merasa nyaman mengikuti percakapan tentang demokrasi dan tukar-menukar pengalaman mengenai praktik terbaik dalam demokrasi.

Pendekatan inklusif BDF baik langsung maupun tidak mengisyaratkan pengakuan Indonesia: sesungguhnya tidak ada satu model tunggal dan bentuk ideal demokrasi. Memang setiap negara demokrasi niscaya harus mengadopsi prinsip pokok demokrasi, tetapi setiap negara demokrasi juga memiliki kekhasannya yang tidak bisa begitu saja dapat diberlakukan�apalagi dipaksakan�kepada negara-negara lain.
Karena itu, demokrasi mestinya muncul dari dalam (from within), bukan dipaksakan dari luar (from without).

Lebih jauh, percakapan dalam BDF tidak terbatas pada demokrasi per se. Ini dapat terlihat dari pokok pembicaraan: �Membangun dan Mengonsolidasikan Demokrasi: Agenda Strategis Asia� (BDF I); �Mempromosikan Sinergi antara Demokrasi dan Pembangunan di Asia: Prospek Kerja Sama Regional� (BDF II); �Demokrasi dan Promosi Perdamaian dan Stabilitas� (BDF III); �Memperkuat Partisipasi di Dunia yang Tengah Berubah� (BDF IV); dan �Memajukan Prinsip-prinsip Demokrasi pada Setting Internasional� (BDF V).

Memperkuat �leverage� RI

Pembicaraan tentang demokrasi dalam kaitannya dengan berbagai tema tadi kelihatan menjanjikan. Namun, juga jelas, percakapan dalam BDF tidak instan dapat membuat demokrasi bisa terkonsolidasi di sejumlah negara Asia Pasifik. Bahkan, hingga kini transisi banyak negara�seperti di dunia Arab�berlangsung alot, pedih, dan lama sehingga masa depan demokrasi pun belum menentu.

Di tengah perkembangan belum menggembirakan itu, Indonesia sepatutnya trus memberikan inspirasi bagi penguatan demokrasi. Indonesia juga dapat meningkatkan kerja sama bilateral dengan negara-negara yang sedang transisi menuju demokrasi melalui berbagai program semacam pertukaran pengalaman (bukan menggurui), bantuan teknis kelembagaan dan lain-lain yang dilaksanakan Indonesia dalam membangun demokrasi.

Namun, agar Indonesia dapat lebih efektif memainkan peran seperti itu, yang diperlukan bukan hanya diplomasi luar negeri lebih aktif, melainkan juga pembenahan demokrasi Indonesia sendiri. Hanya dengan demokrasi yang bernas, Indonesia dapat memiliki leverage lebih kuat lagi dalam membantu transisi lebih lancar di kawasan Asia Tenggara semacam Myanmar dan juga di dunia Arab.

Karena itu, penguatan dan konsolidasi demokrasi Indonesia sangat mendesak dilakukan. Konsolidasi itu mesti diarahkan tak hanya pada pembenahan lembaga politik semacam parpol, parlemen yang kredibel dan akuntabel, pemerintahan yang menegakkan good governance, tetapi juga pada upaya keras dan sungguh-sungguh agar demokrasi dapat mewujudkan janji-janjinya untuk kesejahteraan warga melalui pembangunan.

Jika demokrasi Indonesia gagal atau terseok-seok memperbaiki kehidupan bangsa pada berbagai seginya, bisa dipastikan kian banyak warga dan kelompok kehilangan kepercayaan kepada demokrasi. Jika ini terjadi, Indonesia dapat terjerumus ke dalam kesulitan demi kesulitan.

Demokrasi memang memiliki batas dan kelemahan tertentu, termasuk di Indonesia. Namun, bagi negara-bangsa Indonesia, demokrasi tetap menjadi pilihan sis- tem politik lebih baik dibandingkan dengan sistem politik lain semacam teokrasi (dawlah Islamiyah atau khilafah Islamiyah), atau diktatorisme, atau otoritarianisme apakah sipil maupun militer.

Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Anggota Advisory Board, International IDEA, Stockholm dan BDF