Minggu, 26 Agustus 2012

Kebudayaan dalam Pemerintahan

Radhar Panca Dahana

Sebenarnya banyak yang mempertanyakan komentar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, beberapa waktu lalu, tentang eksistensi taman budaya yang tersebar di banyak provinsi negeri ini.

Hal yang cukup mengejutkan adalah anggapan sang menteri tentang lembaga budaya itu yang, menurut dia, bisa jadi etalase produk-produk budaya Indonesia. Sinisme pun merebak: taman budaya menjadi showroom?

Lebih dari itu, sebagian pihak mempertanyakan urusan sang menteri dengan keberadaan taman budaya di Indonesia. Sejak bilakah taman-taman budaya itu jadi bagian atau urusan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf)? Bukankah semestinya ia dalam subordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)? Tidakkah mengerikan bila taman-taman budaya itu didesak jadi toko-toko yang mengecer karya-karya seni negeri ini, bukan justru menjadi laboratorium atau kawah candradimuka kerja-kerja artistik para seniman kita?

Semua pertanyaan itu sesungguhnya bermuara pada salah paham, yang akhirnya melahirkan visi dan misi yang keliru, dari para menteri kita tentang apa dan di mana posisi kebudayaan dalam kerja mereka (pemerintah). Satu persoalan yang sudah terjadi ketika kebudayaan dipisahkan dari (departemen) pendidikan, dan lebih celaka lagi ditautkan dengan (departemen) pariwisata. Protes mengalir deras hingga akhirnya pemerintah mengambil keputusan mengembalikan kebudayaan ke habitat aslinya bersama pendidikan.

Persoalan muncul kembali terkait wilayah kerja dari kebudayaan dan ekonomi kreatif, karena yang belakangan juga merasa berkepentingan dengan kebudayaan dan kesenian yang terikut di dalamnya. Efeknya, terjadi semacam tarik-menarik kepentingan, misalnya tentang industri film, Galeri Nasional, dan respons terhadap klaim Malaysia atas sejumlah produk budaya kita.

Hulu dan Hilir

Terlebih dahulu perlu diafirmasi apa makna dan bagaimana kerja kebudayaan kita, sekurangnya untuk dua kementerian itu. Hal utama adalah memahami kebudayaan sebagai sebuah produk (juga proses di baliknya) dan manfaatnya secara praktis. Sebagaimana dalam industri, produk adalah bagian hulu, sementara manfaat ada di bagian hilir.

Dalam pengertian ini, kebudayaan, termasuk kesenian di dalamnya, adalah sebuah kerja yang idealistik di ujung hulunya. Di bagian inilah konten, ide-ide, bentuk, dan rekayasa artistik diolah dan diproduksi. Dari hasil ini muncul kemudian manfaat- manfaatnya. Dari sekian banyak manfaat itu, baik yang benda maupun tak benda, baik yang material maupun imaterial, diapresiasi publik dengan fungsi dan signifikansi masing-masing.

Salah satu dari pemanfaatan itu adalah mendapatkan surplus nilai secara praktis, material, dan komersial. Sebagaimana alam memproduksi kayu yang kemudian kita jual dalam bentuk kursi, demikian pula produk artistik dari kebudayaan juga harus diproses lagi untuk mendapatkan surplus nilai saat ia dilempar ke ranah publik untuk diapresiasi.

Dari pemahaman dasar itu, jelaslah di mana posisi dan peran pemerintah. Ada yang bermain di hulu (Kemdikbud) dan di hilir (Kemenparekraf). Kemdikbud bertanggung jawab menciptakan kondisi sekondusif mungkin bagi dinamika kerja kreatif-artistik: mulai dari infrastruktur, pendanaan, perlindungan hukum, fasilitas pajak, dan sebagainya. Karena itu�di bagian ini�isi, bentuk, termasuk eksperimentasi dan pembaruan hingga pergaulan atau relasi institusional ada di dalam di wilayah Kemdikbud.

Sementara Kemenparekraf memanfaatkan secara praktis dan pragmatis semua produk itu, tidak peduli bagaimana isi dan bentuk hasil kreatif itu. Tugasnya melakukan pengemasan, promosi, dan jika perlu �menjual� tanpa perlu ikut campur, apalagi mengganggu proses yang ada di hulu.

Dengan distribusi tugas seperti di atas, tak perlu lagi ada kerancuan atau tarik-menarik di antara keduanya mengenai banyak hal. Soal taman budaya atau Galeri Nasional, misalnya, mudah dipahami apakah ia merupakan bagian integral dari proses kreatif (hulu) atau komersialisasi (hilir). Saya kira kita, umumnya para pekerja budaya, paling tidak setuju soal itu ada di bagian hulu.

Atau, siapa yang bertanggung jawab pada diplomasi budaya, tentang masalah klaim-klaim  budaya itu? Tentu saja keduanya, bahkan bertiga dengan Kementerian Luar Negeri, tetapi dengan pembagian kerja yang jelas.

Sebagai lembaga ide(alis), Kemdikbud menyiapkan argumen seilmiah dan seadekuat mungkin. Kemenparekraf mengemasnya untuk kebutuhan media internasional dan lain-lain. Lalu, Kemlu menggerakkan jaringannya untuk menyebarluaskan argumen canggih yang sudah indah itu.

Logika ini bisa diterapkan pada banyak masalah lain, termasuk film dan juga satu hal ganjil yang luput selama ini: arkeologi!

Arkeologi sebagai disiplin ilmu berada dalam wilayah kerja praktis dan aplikatif Kemdikbud. Penempatan ini sebenarnya cukup mengherankan, atau bisa jadi justru seperti diistimewakan. Sebab hanya ia satu-satunya kerja saintifik yang termaktub dalam wilayah kerja Kemdikbud.

Boleh jadi hal itu terjadi lantaran pengertian arkeologi berkait ketat dengan situs-situs purbakala, yang pemeliharaan, konservasi, dan restorasinya memang jadi tanggung jawab Kemdikbud. Arkeologi dan situs menjadi bagian penting dalam sejarah bangsa ini, sejarah identitas dan jati diri yang menjadi soal krusial dalam pendidikan dan kebudayaan. Namun, apakah sejarah hanya berkait dengan arkeologi, situs, dan ilmu sejarah? Tidakkah banyak cabang ilmu lain yang juga turut menelusurinya, seperti paleontologi, bahasa, antropologi, bahkan genetika?

Dalam hemat penulis, arkeologi sebagai disiplin ilmu sebaiknya dientaskan dari Kemdikbud. Kembalikan ia pada komunitas akademiknya, dalam hal ini LIPI. Tugas Kemdikbud bukan melakukan riset spesifik di bidang itu, tapi melakukan perlindungan, konservasi, dan restorasi saja, plus menyebarluaskan maknanya kepada generasi muda.

Kebudayaan Lelucon

Akhirnya, harus tetap dikatakan, kebudayaan dalam pemerintahan seyogianya tidak hanya dianggap hiburan, lelucon, atau pemanis dari kerja-kerja kenegaraan lainnya. Kebudayaan adalah�sekali lagi�fundamen dari semua kerja pemerintahan. Dengan kebudayaan (aparatus) pemerintah bisa melakukan signifikansi atau menjumput nilai dan hikmah dari hasil kerjanya. Tanpa kebudayaan, semua jadi hampa. Tak dibutuhkan kecerdasan lebih untuk memahami hal itu.

Menggembirakan misalnya, dalam beberapa bulan terakhir ini muncul seksi kebudayaan dan seksi kesenian dalam Kementerian Dalam Negeri. Sebuah keputusan visioner yang menggambarkan kesadaran betapa kerja membangun kesadaran bernegara akan terasa reduksionis, bahkan menyesatkan bila hanya didasari oleh cara berpikir politis, bukan kebudayaan.

Visi semacam ini semestinya juga ada dalam kementerian atau lembaga negara lainnya, bahkan di bidang pertahanan atau Mahkamah Agung dan Kepolisian. Namun, apakah kita bisa berharap pemerintah memiliki visi sehebat itu, sementara di kementeriannya sendiri kebudayaan begitu nelangsa berhadapan dengan adik kandungnya (baca: pendidikan), ketika ia hanya menerima 0,5 persen dari dana yang dianggarkan bagi sang adik?

Senin, 20 Agustus 2012

Genetika Pulang

Acep Iwan Saidi

Mereka tidak jadi ke Njati, apalagi Solo. Sudah dua hari berturut-turut mencoba. Namun, mereka tetap gagal bersaing dengan penumpang lain. Lebaran I dan II tetap tidak bisa diajak kompromi. Mereka selalu terlempar ke sudut terminal sebelum kembali ke kamar sewanya yang kumuh.

Demikian pokok kisah Umar Kayam tentang janda beranak dua, pembantu rumah tangga di Jakarta, yang hendak mudik Lebaran. Kayam melukiskannya dengan tragis melalui sebuah cerita pendek �Ke Solo Ke Njati...� dalam kumpulan cerpen Parta Krama (1997). Kuntowijoyo dalam pengantar buku ini berpendapat, kisah Kayam adalah gambaran ketakberdayaan manusia.

Akan tetapi, barangkali soalnya bukan hanya itu. Lebih jauh bisa dikatakan, kisah Kayam tersebut merupakan tema yang terus-menerus diartikulasikan dalam kebudayaan kita, yakni tentang pulang. Dalam siklus Lebaran, kebudayaan kita merumuskannya dengan kata mudik, istilah yang bisa diartikan sebagai pulang ke kampung halaman.

Naluri Purba

Mudik adalah sebuah peristiwa dalam waktu yang melingkar. Peristiwa ini menjadi niscaya mengingat konsep waktu dalam kebudayaan kita memang melingkar, bukan linear sebagaimana masyarakat Barat. Kita memang sering mendengar ungkapan emosional dari seseorang yang pergi karena faktor tertentu, �saya akan pergi dan tidak akan kembali�, tetapi ungkapan ini lebih banyak diucapkan manusia modern. Cogan atau semboyan lama yang populer di Nusantara adalah setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke pelimbahan juga.

Keniscayaan atas peristiwa pulang tersebut bersambung dengan keyakinan bahwa orang harus mengenal tanah kelahiran sebagai �ibu kandung kebudayaannya�. Negasinya, barangsiapa tidak pulang ia akan dicap telah lupa diri, lupa pada asal-usul. Orang yang lupa sedemikian bisa dianggap memiliki dosa budaya dan karena itu dimungkinkan akan mendapat �siksa budaya� juga. Malin Kundang yang dikutuk jadi batu oleh ibunya adalah mitos populer untuk keyakinan ini. Kisah Malin Kundang bisa dibaca sebagai �narasi metaforik� dari sosok yang tidak lagi (mau) mengenal tanah kelahirannya. Merujuk Lyotard (2004), Malin Kundang merupakan inti pengetahuan tradisional tentang bagaimana manusia harus bersikap sebagai makhluk budaya.

Saya ingin menyebut hal tersebut sebagai naluri purba. Berdasarkan naluri ini, mudik jadi semacam �ritual budaya� yang tak terhindarkan. Oleh sebab itu, tokoh rekaan Kayam dalam ketakberdayaannya tetap berupaya untuk bisa pulang. Mereka memang tak mampu bersaing berebut sarana transportasi dengan pemudik lain. Namun, nyanyian yang kemudian terus-menerus disenandungkan anak-anaknya, �ke Solo!, ke Njati!,� yang kemudian jadi renungan si tokoh, menunjukkan: pulang adalah sebuah keharusan, meskipun hanya sebatas angan-angan.

Di luar cerita, dalam kehidupan nyata hal yang sama juga berlaku bagi Durmin Aryanto. Sopir bus lintas trans-Sumatera itu selalu berusaha agar bisa mudik tiap Lebaran. Baginya mudik bukan sekadar ritual tahunan, melainkan juga kewajiban (Kompas, 10/8/2012). Kita tahu kemudian: terdapat sejuta tokoh sebagaimana rekaan Kayam dalam cerita, seperti juga ada sejuta Durmin dalam kehidupan nyata.

Refleksi Pulang

Lantas, mengapa peristiwa mudik mesti bertepatan dengan bulan Ramadhan? Sejauh yang teramati, dalam masyarakat kita Ramadhan kiranya cenderung menjadi peristiwa budaya juga, bukan momen bagi penebalan daya religiositas. Lihatlah, yang menonjol pada Ramadhan adalah �ritual budaya�: munggahan menjelang puasa, buka puasa bersama, program seolah-olah Islami di televisi, dan lain-lain.

Oleh sebab itu, Ramadhan tak pernah memberikan jejak berarti dalam kehidupan keagamaan umat Islam. Alih-alih menjadi reflektif atau menahan diri dalam kontemplasi (puasa) dengan berbagai kegiatan, Ramadhan malah cenderung melahirkan hiruk-pikuk.

Ramadhan kemudian ditutup dengan Lebaran. Di sinilah mudik sebagai peristiwa budaya bertemu dengan Ramadhan yang juga telah jadi peristiwa budaya.
Kita mengetahui, puncak pencapaian ideal ibadah puasa adalah �kepulangan�, yakni kembalinya seseorang kepada fitrahnya sebagai manusia tanpa dosa. Itu sebabnya ibadah puasa ditutup dengan sebuah hari raya yang disebut Idul Fitri (hari kembali menjadi suci). Namun, sebagaimana telah disinggung, �kepulangan substansial� ini agaknya telah mendangkal jadi kepulangan material (duniawi). Lebaran dengan upacara bersalaman antartetangga, sahabat, atau kerabat tampak hanya jadi ritual kebudayaan. Selalu begitu tiap tahun.

Barangkali tidak seluruhnya negatif. Namun, kiranya menjadi lebih baik jika kita juga memberikan makna kepulangan secara lebih reflektif. Sekaligus memahami lebih dalam makna keberangkatan, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa. Sebagai individu, dalam hubungan dengan Tuhan, titik berangkat kita sesungguhnya sunyi dalam ruang dan waktu abadi. Lantas Tuhan �melempar� Adam ke Bumi, jadi pengembara. Sebagaimana ceramah para ulama dan pendeta, pengembaraan manusia sesungguhnya merupakan perjalanan pulang. Sudah menjadi takdir bahwa manusia akan selalu kembali. Di lapis luar, kita memang seperti tengah berjalan ke depan. Namun, di lapis dalam sebenarnya kita tengah melangkah ke belakang, kembali ke titik berangkat.

Sementara itu, sebagai bangsa kita juga harus selalu ingat dan beranjak pulang dalam pemahaman demikian. Sudah 67 tahun negeri ini berdiri, tetapi langkah kita tampak belum juga menemukan arah yang benar. Kita gagal merumuskan masa depan.

Hemat saya, hal itu karena kita tidak bisa memberikan makna pada jadwal keberangkatan, bahkan untuk sekadar mengingatnya. Bukankah pada mukadimah UUD 1945 agenda itu telah jelas. Kita hanya tahu UUD 1945 harus diamandemen, tetapi nyatanya tidak untuk dilaksanakan. Semoga Lebaran yang nyaris bertepatan dengan perayaan kemerdekaan ini menjadi momentum yang pas untuk berkemas.

Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB

Sabtu, 18 Agustus 2012

Hak Allah dan Sesama Hamba

A Mustofa Bisri

Bahkan satu bulan�di antara 12 bulan�yang dianugerahkan Tuhan, nyaris tidak kita gunakan sebagaimana mestinya. Rutinitas kesibukan yang tidak begitu jelas tetap saja berlangsung di bulan yang kita sebut-sebut sebagai bulan suci.

Gegap gempita kita menyambut bulan Ramadhan. Bahkan, untuk lebih menunjukkan penghormatan kita kepada bulan istimewa itu, kita perlukan memasang spanduk di jalan-jalan. �Marhaban Ya Ramadhan. Selamat Datang, Bulan Ramadhan. Hormatilah Bulan Ramadhan!� Gegap gempita penyambutan�kemudian disusul gegap gempita lainnya�itu tak kunjung menjelaskan secara jelas: di mana letak kesucian atau keistimewaan bulan Ramadhan yang kita hormati itu. Jangan-jangan sebutan kita kepada Ramadhan �yang terhormat� itu hanyalah seperti tegur sapa kita kepada para anggota DPR.

Mestinya, anugerah satu bulan suci ini bisa digunakan untuk iktikaf, berakrab- akrab dengan diri sendiri, setelah 11 bulan lainnya kita hampir tak sempat berdiam diri. Sibuk dengan berbagai kegiatan yang sering kali tidak jelas kaitannya, terutama dengan urusan kehidupan abadi kita kelak. Namun, lagi-lagi kita lebih suka meneruskan kesibukan duniawi kita dan dari bulan Ramadhan hanya kita ambil suasananya dengan mengubah gaya saja. Dengan kata lain, nuansa ukhrawi dalam kegiatan dan kesibukan itu hanyalah kemasan: sekadar menyesuaikan dengan waktunya Ramadhan.

Pihak pengusaha dan industri yang naluri �nawaitu�-nya bermula dari kepentingan duniawi pun, seperti pada hari-hari dan bulan-bulan lain, tetap lebih terasa mendominasi kegiatan ukhrawi kita. Lihatlah kekontrasan ini: harga bahan-bahan makanan naik menjelang bulan puasa. Ramainya pasar, mal, dan supermarket pada �asyrul-awaakhir, hari-hari penting ibadah Ramadhan yang terakhir. Lihatlah pula acara-acara di televisi. Mengiklankan kehidupan mewah duniawi.

Kesibukan para politisi dan pengamat, sebagaimana diberitakan pers, pun masih kesibukan yang itu-itu saja. Pamer benar dan pamer pintar. Tetap tidak tergerak mempergunakan bulan perenungan ini bagi mereformasi diri sendiri.

Kaum Muslimin sendiri pada bulan yang sering mereka sebut sebagai bulan perenungan, beriktikaf, dan tafakur itu ternyata lebih mengekspresikan keislaman mereka dengan kegaduhan. Perhatian mereka terhadap diri sendiri dalam rangka perbaikan dan peningkatan kedekatan kepada Allah masih kalah dengan perhatian terhadap pihak lain yang mereka anggap keliru. Namun, ketika mereka sedang �mensyiarkan� agamanya, mereka justru seperti tidak memperhatikan pihak lain.

Dua Hak yang Tak Boleh Dilupakan

Kini bulan anugerah Allah�dengan suasana yang amat kondusif untuk merenung dan memikirkan peningkatan kualitas kehidupan kita sendiri�itu sudah beranjak pergi. Kita sudah akan merayakan hari yang sering kita sebut Hari Kemenangan: Idul Fitri! Hari Kemenangan? Kemenangan dari apa? Apakah kita kemarin baru saja berperang, berlaga, atau berlomba? Melawan siapa atau apa? Apakah karena kita telah berhasil sebulan menahan diri tidak makan-minum di siang hari? Bukankah itu telah kita balas dengan melipatgandakan makan-minum di malam hari? Atau setidaknya itu hanya mengubah jadwal makan kita? Atau kita telah berhasil memperlihatkan kedekatan kita kepada-Nya? Ataukah kita telah berhasil menang atas musuh kita yang terbesar: diri kita sendiri?

Apa pun dan bagaimanapun, kita�khususnya kaum Muslimin�telah berhasil melaksanakan kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan dan tentunya berharap Tuhan menerima amal ibadah kita dan mengampuni dosa-dosa kita. Bukankah Rasulullah Muhammad SAW telah bersabda, �Man shaama Ramadhaana iimaanan wahtisaaban ghufira lahu maa taqaddamaa min dzanbihi.� (Hadis sahih muttafaq �alaih dari sahabat Abu Hurairah). Bahwa �Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan semata-mata karena iman dan mencari pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang sudah-sudah.�

Tuhan memang Maha Pengampun dan suka mengampuni. Lembaga pengampunannya banyak sekali. Enaklah kalau kita berhubungan dan bergaul dengan-Nya. Di samping pemurah, pengasih, dan penyayang, Ia juga syakuur. Menerima amal ikhlas hamba-hamba-Nya seperti apa pun bentuknya dan mengampuni kekurang-kekurangan mereka.

Namun, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan: di hadapan kita ada dua hak. Hak Allah dan hak sesama hamba. Kemurahan Allah dan kemudahan-Nya mengampuni itu bila hal itu berkaitan dengan hak-Nya. Apabila menyangkut hak sesama hamba, keadilan-Nya menentukan bahwa Ia tak akan mengampuni sebelum di antara sesama hamba itu menyelesaikan urusan mereka. Artinya, apabila kita punya kesalahan kepada sesama hamba, Allah tak akan mengampuni sebelum hamba yang bersangkutan memaafkan kesalahan kita.

Ada hadis sahih (riwayat imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah) yang menggambarkan kebangkrutan sementara umat Muhammad SAW kelak pada hari kiamat. Mereka yang bangkrut itu ialah mereka yang datang pada Hari Kemudian membawa sekian banyak amalan-amalan shalat, puasa, dan zakat; tetapi semasa hidupnya suka berbuat buruk kepada sesama: mencaci ini, menuduh itu, memakan hartanya ini, melukai ini, memukul itu. Nanti pahala-pahala amal mereka diambil dan diberikan kepada orang-orang yang pernah mereka zalimi. Apabila pahala-pahala amal mereka habis, padahal masih banyak orang yang haknya belum terpenuhi, dosa orang-orang yang bersangkutan akan diambil dan ditimpukkan kepada mereka. Akhirnya mereka pun dilemparkan ke neraka. Na�udzubillah!

Mentradisikan Tradisi

Kita sering berpikir terbalik. Terhadap Allah kita begitu bersitegang menyikapi hak-hak-Nya. Soal kiblat shalat kurang miring sedikit, ribut. Soal wudunya orang yang telanjur bertato, ribut. Soal beda awal Ramadhan atau awal Ied, ribut. Sementara terhadap sesama manusia yang umumnya mudah kesal dan marah, pembenci, dan sulit memaafkan, kita malah sembrono. Anggap ringan. Begitu gampang melukai dan menyakiti sesama. Begitu enteng merampas hak dan memakan harta sesama. Bahkan, ada yang karena bersitegang membela �hak-Nya� sampai harus menginjak hak sesama. Seolah-olah tahu persis kehendak dan sikap-Nya.

Kalaupun kita tak ekstra hati-hati terhadap sesama manusia yang perangainya relatif sulit, setidaknya sama hati-hatinya dengan sikap kita terhadap Tuhan kita yang Pemurah. Orang yang saleh ialah orang yang baik kepada Tuhan-nya sekaligus baik kepada sesama hamba-Nya.

Dari sini, kita tahu betapa arifnya para pendahulu kita yang mentradisikan tradisi khas kita. Tradisi halalbihalal. Saling menghalalkan antara sesama. Bagi para pemimpin dan tokoh-tokoh publik boleh jadi agak sulit untuk memohon maaf dan meminta halal bila kesalahan dan perampasan hak dilakukan kepada banyak pihak. Namun, demi keselamatan di kemudian hari, kiranya sesulit apa pun perlu diupayakan. Pers dan media massa kiranya bisa membantu. Selebihnya dan selanjutnya diperlukan kehati-hatian.

Selamat Idul Fitri. Mohon maaf segala kesalahan lahir dan batin. Kullu �aamin wa Antum bikhair!

A Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang

Jumat, 17 Agustus 2012

Filantropi untuk Kohesi Sosial

Azyumardi Azra

Sepanjang Ramadhan dan lebih khusus lagi pekan terakhir menjelang Idul Fitri�adalah puncak filantropi Islam. Pada waktu tersebut, banyak Muslim yang memiliki kelebihan rezeki mewujudkan filantropi Islam dalam berbagai bentuk: mulai dari menyediakan makanan berbuka dan sahur sampai mengeluarkan bermacam ragam zakat, infak, shadaqah/sedekah, dan wakaf.

Ada berbagai ragam zakat yang wajib dikeluarkan bila sudah memenuhi ketentuan fikih tentang jumlah (nasab) dan masa kepemilikan, mulai dari zakat harta, zakat pertanian dan hewan, zakat mas dan kekayaan lain, zakat penghasilan, hingga zakat fitrah.

Kewajiban mengeluarkan zakat adalah untuk menyucikan penghasilan dan harta benda, serta menyalurkannya kepada delapan pihak (asnaf) yang berhak menerima. Mereka itu adalah fakir; miskin; amil (pengumpul zakat); mualaf (mereka yang baru memeluk Islam); budak (kini ada macam-macam perbudakan baru); gharimin (orang terlilit utang); fisabilillah (mereka yang berada di jalan Allah dan mengalami kesulitan pembiayaan, seperti penuntut ilmu, guru penyebar ilmu, dai, dan tentara pembela negara); dan ibnu sabil, yakni orang-orang yang sedang dalam perjalanan amal saleh dan kebajikan tetapi telantar karena kekurangan dana.

Semua bentuk filantropi Islam dapat diberikan kepada pihak penerima dalam bentuk uang kontan untuk konsumsi dan kebutuhan lain. Sebutlah seperti untuk beasiswa pendidikan, modal usaha kecil dan juga dalam bentuk barang (in kind), seperti makanan iftar (jamuan untuk berbuka puasa) dan sahur, paket Lebaran (biasanya berisi makanan kering, minuman dan pakaian), serta beras sebagai zakat fitrah.

Paling Dermawan

Potensi filantropi Islam Indonesia sangat besar mengingat jumlah penganut Muslim Indonesia yang juga amat besar�bahkan terbesar di dalam cakupan wilayah sebuah negara mana pun di muka bumi. Menurut Sensus Penduduk 2010, kaum Muslimin mencapai 88,2 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia yang kini diperkirakan 240 juta jiwa. Lebih dari separuh kaum Muslimin Indonesia dapat diasumsikan termasuk ke dalam kelas menengah yang�menurut laporan Kompas, beberapa waktu lalu�mencapai sekitar 152 juta jiwa.

Dalam konteks filantropi Islam Indonesia pada perspektif komparatif, menarik mengutip beberapa hasil survei Global@dvisor bertajuk �Views on Globalisation and Faith� yang dilakukan Ipsos MORI di 24 negara pada April 2011. Survei itu melibatkan hampir 20.000 responden berdasarkan garis keagamaan: Kristiani (Katolik dan Protestan di 19 negara); Islam di tiga negara (Indonesia, Arab Saudi, dan Turki); Hindu (India); serta Buddha di tiga negara (China, Jepang, dan Korea Selatan).

Terkait filantropi Islam, juga menarik mengutip hasil survei tentang agama sebagai motivator dalam melakukan pemberian (giving) dan berbagi (sharing), yaitu kedermawanan dalam bentuk pemberian waktu dan uang �untuk membantu mereka yang membutuhkan. Hasilnya, di antara penganut Kristiani secara keseluruhan 24 persen, Muslim 61 persen, Buddhis 20 persen, dan Hindu 33 persen. Ternyata kaum Muslim paling dermawan �dan penting dicatat�di tiga negara yang disurvei itu atas dasar motivasi agama adalah Muslim Indonesia (91 persen), diikuti Muslim Arab Saudi (71 persen), dan Muslim Turki (33 persen).

Menarik pula, 83 persen Muslim Indonesia di bawah usia 35 tahun percaya agama merupakan motivator lebih besar dalam memberi dan berbagi. Ini adalah persentase tertinggi di dunia. Selanjutnya Arab Saudi 78 persen, Afrika Selatan (51 persen), India (42 persen), AS (41 persen), Turki (39 persen), Brasil (32 persen), Korea Selatan (31 persen), Meksiko dan Australia masing-masing 30 persen. Sisanya di bawah 30 persen dan Jepang terbawah dengan 12 persen saja.

Melihat berbagai data yang cukup mengejutkan tentang Islam dan Muslim Indonesia, Richard Allen Greene dari The CNN Wire, London, mewawancarai saya untuk meminta semacam penjelasan. Ini tidak lain berangkat dari persepsi kuno, kaum Muslim Arab Saudi paling dermawan. Namun, survei membuktikan bahwa kaum Muslimin Indonesia ternyata lebih dermawan.

Potensi Besar

Meski dari sudut demografis dan potensi kedermawanan kaum Muslim Indonesia sangat besar, realisasinya masih jauh dari harapan. Menurut Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Didin Hafidhuddin, pada 2011 realisasi dana filantropi Islam mencapai sekitar Rp 1,73 triliun. Jumlah ini tidak termasuk dana ZIS (zakat, infak, dan shadaqah) yang disalurkan langsung kepada mereka yang berhak menerimanya.

Padahal, menurut beberapa estimasi, jika setiap dan seluruh Muslim Indonesia yang memiliki kelebihan rezeki dan harta mengeluarkan ZIS dan wakaf, potensi dana filantropi Islam Indonesia antara Rp 19 triliun hingga Rp 20 triliun per tahun.

Meski realisasi dana ZIS jauh lebih rendah daripada estimasi potensi, bisa dipastikan jumlahnya selalu meningkat drastis dari tahun ke tahun. Peningkatan itu jelas terkait dengan terus meningkatnya jumlah kelas menengah Muslim Indonesia. Mereka ini, yang memiliki kedekatan baru (attachment) kepada Islam, tidak hanya memunculkan �gaya hidup baru� sebagai Muslim, seperti pergi haji dan umrah plus ziarah rohani dalam jumlah sangat besar, dan juga pemakaian jilbab, tetapi juga dalam pemberian dana filantropi.

Peningkatan dana filantropi Islam dalam dua dasawarsa terakhir mendorong tumbuhnya berbagai lembaga amil zakat, baik bersifat semi-pemerintah, bagian dari ormas Islam, ataupun berdiri sendiri jadi semacam LSM. Berkat peningkatan dana filantropi, dana ZIS disalurkan tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri, seperti membantu bangsa Palestina�termasuk membangun rumah sakit di Gaza�dan terakhir etnis Rohingya di Myanmar.

Adanya dana filantropi dalam jumlah besar sangat penting dalam pemeliharaan dan peningkatan kohesi sosial. Kesediaan mereka yang berpunya memberi dan berbagi bukan hanya dapat meringankan beban kehidupan kaum fakir, miskin, dan mereka lemah dan tertindas (dhu�afa dan mustadh�afin) secara ekonomi, politik, dan sosial, melainkan juga dapat mengurangi�jika tak menghilangkan�kecemburuan dan kejengkelan sosial di antara kelas-kelas sosial.

Dalam konteks kohesi sosial negara-bangsa Indonesia, penyaluran dana filantropi hendaknya kian inklusif; dengan juga menyalurkannya lebih banyak lagi kepada kalangan non-Muslim yang fakir dan miskin. Toh, mereka yang miskin di bumi Nusantara ini bukan hanya Muslim. Dengan begitu, nikmat dan berkah Idul Fitri dan filantropi Islam tidak hanya menjadi milik kaum Muslim, tetapi bagi bangsa secara keseluruhan sehingga kohesi sosial meliputi seluruh ranah Indonesia.

Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Anggota Council on Faith, World Economic Forum, Davos

Kamis, 09 Agustus 2012

Ada �Sasrotomo� di DPR?

Sri Palupi

Sastrotomo adalah bapak kandung Nyai Ontosoroh, tokoh utama dalam buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Sebagai bapak, Sastrotomo rela menjual anak gadisnya kepada pejabat kolonial Belanda demi kekayaan dan jabatan sebagai juru bayar perkebunan.

Perilaku seperti Sastrotomo banyak kita jumpai di kalangan pejabat dan birokrat RI, pengurus partai, pemilik dan pengelola korporasi, juga anggota DPR. Tidak heran kalau di sektor migrasi tenaga kerja terdapat jutaan warga RI yang diperdagangkan dengan modus penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Sebab, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri juga melegalkan perdagangan orang.

UU No 39/2004 itu kini tengah direvisi DPR. Pada 5 Juli 2012, DPR mengesahkan RUU Perubahan atas UU No 39/2004 menjadi RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN) dan sekaligus mengesahkan RUU tersebut untuk dibahas lebih lanjut.

Bila membaca naskah akademik, judul, dan konsiderans RUU PPILN yang dihasilkan DPR, serasa ada harapan DPR benar-benar berkomitmen memperbaiki nasib TKI. Namun, harapan itu sirna setelah membaca substansi RUU PPILN. Muncul dugaan, ada �Sastrotomo� di DPR.

Kehilangan Orientasi

Substansi RUU PPILN merefleksikan tarik-menarik kepentingan banyak pihak yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam bisnis penempatan TKI. Tarik- menarik kepentingan ini sedemikian terangnya sampaisampai DPR kehilangan orientasi dan tidak jelas lagi kepentingan siapa yang hendak dilindungi. Ini terlihat dari beberapa indikasi.

Pertama, substansi RUU PPILN tidak nyambung dengan substansi naskah akademik yang seharusnya menjadi acuan dalam merumuskan pasal-pasal perlindungan. Substansi naskah akademik RUU PPILN memberikan gambaran yang cukup bagus terkait arah solusi terhadap problem lemahnya perlindungan TKI.

Kalau saja naskah akademik ini dijadikan acuan, ada harapan revisi UU No 39/2004 akan mampu mengatasi karut-marut pengurusan migrasi TKI. Sayangnya, perumusan pasal- pasal RUU PPILN terlepas dari naskah akademiknya.

Kedua, penjelasan umum RUU PPILN menegaskan bahwa peran perlindungan pekerja Indonesia di luar negeri diserahkan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah. Dimulai dari masa prapenempatan, penempatan, dan pascapenempatan. Pihak swasta hanya diberi peran sebagai pelaksana penempatan, kecuali untuk pekerja Indonesia di luar negeri sektor domestik. Namun, anehnya, tidak satu pun pasal dalam RUU PPILN yang mengatur tentang penempatan pekerja Indonesia di luar negeri sektor domestik. Padahal, mayoritas TKI bekerja di sektor domestik.

Ketiga, RUU PPILN memperluas tugas dan kewenangan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dalam perlindungan TKI, mulai dari tingkat kabupaten sampai di luar negeri. Namun, perluasan tugas ini tidak disertai pembagian tugas dan kewenangan yang jelas antarlembaga.

Artinya, DPR bukan hanya melanggengkan konflik antara BNP2TKI dan Kementerian Tenaga Kerja, melainkan juga memperluas konflik. BNP2TKI bukan hanya akan berkonflik dengan Kementerian Tenaga Kerja, tetapi juga dengan pemerintah daerah dan Kementerian Luar Negeri. Perlindungan efektif, dengan demikian, akan sulit terwujud. Apalagi RUU PPILN juga tidak mengatur larangan bagi pejabat publik di pemerintah dan DPR untuk terlibat langsung atau tidak langsung dalam bisnis penempatan TKI.

Keempat, cukup banyak pasal yang rancu dan tidak jelas rumusannya sehingga menimbulkan salah atau multitafsir. Salah satunya Pasal 23 Ayat (4), yang menyatakan: PPILN dalam membuat perjanjian penempatan pekerja Indonesia di luar negeri wajib mempersyaratkan pengguna lolos verifikasi oleh perwakilan Republik Indonesia di negara penerima. Pasal ini bisa ditafsirkan bahwa pekerja sudah menandatangani perjanjian kerja sebelum ada verifikasi terhadap pengguna. Bila demikian, di mana letak perlindungan bagi kepentingan calon TKI?

Kelima, struktur dan rumusan pasal-pasal perlindungan dalam RUU PPILN cenderung menyembunyikan subyek penanggung jawab. Banyak hak TKI diakui, tetapi tidak jelas siapa berkewajiban memenuhinya. Ada kegiatan tetapi tidak jelas siapa penanggung jawabnya. Misalnya, dalam hal perekrutan calon TKI, RUU PPILN hanya menyebutkan bahwa pemerintah daerah bertanggung jawab atas pendaftaran dan pendataan TKI yang lolos dalam perekrutan dan seleksi. Lalu, siapa yang bertanggung jawab dalam perekrutan calon TKI?

Alergi DPR

RUU PPILN mengakomodasi kepentingan banyak pihak. Akibatnya, hal-hal mendasar yang menjadi prasyarat terwujudnya perlindungan efektif bagi TKI dan keluarganya justru diabaikan. Beberapa hal mendasar tersebut di antaranya perekrutan, pendidikan, sistem pengawasan, regulasi terhadap perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI), penanganan kasus, dan peran serta masyarakat.

Dalam hal perekrutan, RUU PPILN tidak tegas mengatur siapa penanggungjawabnya. Bila perekrutan tetap diserahkan kepada lembaga bisnis, sulit diharapkan bahwa RUU PPILN akan mengubah keadaan. Perekrutan ilegal dan perdagangan orang akan terus terjadi. Apalagi tidak ada perbaikan dalam hal regulasi PJTKI menyangkut kewarganegaraan pemiliknya, kapasitas dan integritas pengelolanya, dan transparansi pengawasannya.

Dalam RUU PPILN, pendidikan belum ditempatkan sebagai komponen penting dalam perlindungan TKI. Pasal tentang pendidikan diselipkan di antara pasal-pasal yang lain. Pendidikan juga masih diserahkan kepada lembaga bisnis dan lokasi pelaksanaannya masih jauh dari domisili TKI di pelosok desa. Dapat dipastikan, biaya pendidikan akan tetap tinggi dan hak TKI untuk mendapatkan pendidikan berkualitas tetap tidak dijamin.

Salah satu kelemahan sistem perlindungan TKI selama ini tidak adanya pengawasan efektif terhadap perlindungan TKI, yang melibatkan masyarakat. Ironisnya, dalam penyusunan RUU PPILN DPR justru alergi terhadap peran serta masyarakat.

DPR menggusur habis peran serta masyarakat yang sangat minim diakui dalam UU No 39/ 2004. Tidak ada mekanisme komplain bagi masyarakat yang dilanggar haknya, tidak ada mekanisme penanganan kasus dan bantuan hukum bagi TKI korban pelanggaran HAM, dan tak diakui hak masyarakat untuk mengajukan gugatan terhadap pihak-pihak yang merugikan TKI.

Akhir kata, ironis bahwa DPR yang dipilih oleh rakyat justru alergi terhadap peran serta rakyat. Ini pertanda ada �Sastrotomo� di tubuh DPR yang siap mempertaruhkan jutaan nyawa TKI. Bisa dipahami kalau pembahasan RUU PPILN akan sangat alot. Sebab, �Sastrotomo� di tubuh DPR, partai, PJTKI, dan pemerintah tidak akan rela kepentingannya diganggu.

Sri Palupi, Ketua Institute for Ecosoc Rights

Selasa, 07 Agustus 2012

Jenderal, Pimpinlah Perang Ini!

Radhar Panca Dahana

Betapapun kuat komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi, seperti tampak pada pernyataan Presiden SBY yang berulang-ulang menegaskan hal tersebut, kita (baca: rakyat) menyaksikan bagaimana sesungguhnya korupsi itu justru tampak tak peduli.

Ia berjalan dengan ketelengasan dan kecerdasannya sendiri. Bukan hanya melecehkan amanat presiden, ia juga seperti mengatakan, �Dalam soal korupsi, tidak pakai maaf, ente bukanlah presiden ane!�

Korupsi berjalan terus, tak perlu kabinet, presiden, mahkamah atau parlemen sebagaimana kita maknai sendiri. Ia sudah menjadi sebuah sistem dengan tradisi, kebiasaan, bahkan rules of the game-nya sendiri. Ia memiliki aparatus sendiri, punya pejabatnya sendiri. Lebih menarik lagi: mereka, para pelaku sistem korupsi, adalah juga para birokrat (dan antek-anteknya) dari sistem formal yang ada.

Manusia-manusia itu memainkan peran ganda. Di permukaan, atau level formal, mereka memainkan peran yang cantik untuk menampilkan diri sebagai tokoh atau pejabat pahlawan rakyat dengan berbagai ide, janji, bahkan bukti kerja yang membuai kesadaran publik yang mentah dan naif. Di level lain �bersembunyi�, mereka bergiliran memanipulasi sistem, menipu, dan mengkhianati rakyat dengan menggunakan fasilitas yang diberikan rakyat untuk kepentingan pribadi.

Apa yang ironis bahkan tragis adalah dunia yang sembunyi itu sebenarnya tidaklah sembunyi seluruhnya. Ia sesungguhnya ada di depan mata, bahkan secara fisis sebagaimana para pelaku yang ada di hadapan kita: di halaman koran, tabung televisi, radio, hingga ruang-ruang kantor megah yang mungkin kerap kita kunjungi untuk mendapatkan fasilitas, katabelece, dan mungkin sedikit potongan kue dari korupsi yang dilakukan pejabat itu.

Ciptakan Perang Terbuka

Kasus yang saat ini membelit antara KPK dan Polri jadi sebuah contoh dari realitas di atas. Realitas yang bukan hanya menggelikan juga tragis. Sekaligus membuktikan betapa kita jadi begitu pandirnya berhadapan dengan kecerdasan sistem dan konspirasi koruptif di kepolisian itu. Terlihat bagaimana seorang Menko Polhukam (atasan kerja dari institusi itu) bahkan presiden (atasan hukum) seperti hanya bisa berbuat sebatas kata-kata.

Kepolisian kini seperti jadi salah satu lembaga terbaik dalam mewakili negara yang dikaramkan oleh �pemerintahan para koruptor� itu. Perselisihan kewenangan dengan KPK menggambarkan dengan jelas bagaimana polisi seakan ingin merebut sebuah �wilayah otoritas� di mana dunia formal tidak boleh ikut campur. Bahkan, rakyat yang konon pemegang kedaulatan tertinggi pun tidak akan bisa berbuat apa-apa bila pertikaian ini pada akhirnya dimenangi kepolisian. Apalagi presiden!

Kita ingat peristiwa pada masa almarhum Gus Dur, presiden keempat RI, yang memerintahkan dengan tegas�bahkan disiarkan media massa�agar Kapolri Bimantoro (saat itu) menangkap Tommy Winata. Apa yang terjadi? Gus Dur, presiden negara yang besar ini, tidak punya daya apa-apa ketika sang �bawahan� tidak menjalankan tugas itu.

Semua itu membuktikan bukan hanya ada yang salah dalam kerja sistem birokrasi dan demokrasi kita. Lebih dari itu, sebelum perbaikan komprehensif sistemik itu kita mulai, sebuah pemerintahan tandingan sudah muncul dengan sangat perkasanya.

Apa yang kemudian menggiriskan, bukan hanya kepolisian di dalam pemerintahan kita yang telah menjadi sarang atau �wilayah otoritas�-sembunyi dari pemerintahan koruptif itu. Di antaranya yang �terbaik�, kita mafhum, terdapat juga dalam parlemen (DPR) juga beberapa institusi pemerintahan lainnya, seperti Kementerian Agama, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan lembaga-lembaga pemerintahan daerah.

Oleh karena itu, tidak ada cara lain, wilayah formal yang berada di wilayah kebudayaan mesti menyatakan perang secara terbuka. Taktik, strategi, serdadu bahkan senjata harus disiapkan. Semua elemen kebangsaan mesti disatukan secara sinergi untuk �peperangan� unik ini. Unik karena ia melawan musuh yang sembunyi: sembunyi di hadapan kita dan sembunyi dalam diri kita sendiri.

Mungkin semua usaha tidak akan memusnahkan total korupsi dalam hidup kita sebagai bangsa dan negara. Akan tetapi, perang itu akan mereduksi secara signifikan praktik tersebut. Lebih penting lagi: meruntuhkan pemerintahan Da�jal yang berpetak-umpet dengan mata dan kesadaran kita itu.

Para pemimpin perang ini di semua lapisan harus membuktikan hasil peperangan itu. Bahkan, secara individual. Ia harus menunjukkan dalam perilaku, nafsu, dan kekuatan koruptif dalam dirinya sudah lenyap, berganti dengan kekuatan perlawanan yang dahsyat untuk memerangi nafsu busuk itu tanpa pandang bulu.

Kita harus berani mengakui bahwa korupsi yang dilakukan oleh kerabat dekat adalah bagian dari kesalahan dan kelemahan kita sebagai manusia. Akan tetapi, di saat bersamaan, kita membuktikan kepada rakyat sebuah kemenangan besar: kemenangan rakyat banyak dengan menghukum tegas kerabat yang menjadi pengkhianat rakyat. Sikap seperti ini sudah sangat cukup untuk membuktikan komitmen perjuangan dan peperangan, tanpa perlu seseorang (pejabat) mundur dari tugasnya sebagai jenderal perang.

Harus keras dan Tegas

Dalam kasus konflik wewenang atau perebutan �wilayah otoritas� antara KPK dan kepolisian ini, seorang atasan harus keras dan tegas menempatkan masalah dalam proporsi hukumnya, dalam dunia formal-kultural yang dibelanya. Ia harus memerintahkan pemimpin lembaga pemerintah yang menghalang-halangi upaya pemberantasan korupsi untuk dipecat. Bukan dinonaktifkan. Bila tidak mampu, ya, pemimpin lembaga itu yang harus dipecat atau mundur.

Resistensi pasti terjadi. Namun, bila resistensi itu berbasis pembelaan terhadap dunia batil, terhadap dunia korupsi yang berisi virus mematikan, tidak ada kata lain: perang!

Siapa yang akan mendukung perang ini pun jelas. Korupsi akan dibela para komprador, pemilik uang dan modal, baik kartal maupun virtual. Dunia formal segera didukung oleh pihak yang paling merasa muak dan dirugikan oleh korupsi: rakyat! Bila pemimpin formal tidak percaya dengan kekuatan dukungan itu, tidak percaya kepada rakyat, baik, tetapi silakan mundur segera.

Saya kira, inilah jalan berdasar kenyataan yang saat ini paling realistis dan idealistis. Tidak bisa lagi korupsi diatasi dengan aturan dan penegakan hukum yang lemah gemulai, banci, retorik, dan sebagian berisi kepengecutan. Perang harus dilakukan betapapun korban harus dijatuhkan.

Bukankah semua perubahan besar dan radikal terjadi selalu dengan cara itu? Bukankah negeri menjadi negara juga dengan modus seperti itu? Bukankah presiden, SBY, juga mempelajari dan memahami itu? Bukankah presiden ingin meninggalkan warisan dari dua periode kekuasaannya? Tidak lain, jadilah jenderal sesungguhnya. Pimpinlah perang ini!

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Senin, 06 Agustus 2012

Lompatan Kedelai

Arif Budimanta

Harga kedelai bahan baku tahu-tempe saat ini bukan saja naik, melainkan melompat. Begitulah yang dikatakan seorang perajin tahu-tempe kepada kita.

Tingginya harga kedelai telah membuat sejumlah pabrik tahu dan tempe menghentikan produksi mereka. Produk turunan kedelai yang paling sering dikonsumsi masyarakat itu pun sulit ditemukan. Kalaupun ada di pasaran, harganya sudah sangat tinggi dan membebani pengeluaran masyarakat.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi harga kedelai saat ini. Pertama, rendahnya produksi kedelai nasional. Rata-rata kebutuhan nasional kita saat ini diperkirakan 2,4 juta ton per tahun atau sekitar 200.000 ton per bulan. Target produksi 2012 diperkirakan 1,9 juta ton/hektar, sementara hasil dalam triwulan I-2012 hanya 200.000-an ton, jauh dari target 400.000-an ton. Dalam kenyataannya, selama ini tiap tahun kita hanya bisa memproduksi 40 persen dari kebutuhan nasional, sisanya impor.

Kedua, untuk mengimpor kedelai dari pasar internasional Indonesia harus bersaing dengan negara lain. Pada tahun 2010/2011 saja negara dengan kemampuan finansial jauh lebih besar dari Indonesia, seperti China, mengimpor kedelai lebih dari 50 juta ton. Jumlah itu menjadikan China sebagai importir kedelai terbesar disusul Uni Eropa, Meksiko, dan Jepang.

Ketiga, lemahnya kontrol pemerintah terhadap harga kedelai. Akibatnya, pasar kedelai lebih dikendalikan oleh �pemain� kedelai swasta yang tujuannya tentu saja memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.

Meningkatnya konsumsi kedelai sejalan meningkatnya jumlah penduduk. Hal itu karena saat ini kedelai juga dipakai untuk campuran pangan bagi ternak dan salah satu sumber bio-energi. Sementara itu, sumber protein lain�khususnya ikan�kurang diupayakan sebagai diversifikasi protein selain kedelai dan telur.

Kurangnya upaya itu tecermin dari aturan yang melarang ekspor ikan sebelum kebutuhan ikan nasional terpenuhi. Ikan seharusnya menjadi sumber protein utama yang perlu dikembangkan oleh pemerintah mengingat sebagian besar wilayah Indonesia berupa lautan/perairan sehingga di semua daerah orang akan bisa melakukan budidaya ikan.

Saat ini 60 persen produksi kedelai dunia dihasilkan Brasil dan Amerika Serikat. AS menyumbang produksi hampir 40 persen dan dalam satu tahun terakhir produksi kedelai AS dan Brasil menurun. Hal ini kemudian berdampak pada kenaikan harga kedelai dunia. Berdasarkan data setahun terakhir, terjadi kenaikan harga kedelai dunia, terutama yang berasal dari AS, Brasil, dan Argentina, 19-27 persen.

Ubah Paradigma

Guncangan yang terjadi terhadap harga kedelai saat ini pada tataran makro diakibatkan oleh liberalisasi sektor pangan yang terlalu berlebihan. Sementara pada sisi mikro, lebih karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengendalikan persediaan kedelai di tingkat nasional. Hal ini karena: (1) produksi yang tidak mencapai target dan (2) tata niaga kedelai yang cenderung merugikan petani dan perajin tahu-tempe.

Dalam konteks produksi, kita justru mempertanyakan dana APBN yang terus meningkat, yang katanya dipergunakan untuk meningkatkan produksi kedelai nasional, tetapi tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Malah yang terjadi, impor meningkat terus.

Fenomena yang terjadi saat ini sebenarnya juga merugikan petani kedelai, produsen tahu-tempe yang tidak dapat berproduksi, dan berakibat tahu-tempe jadi barang langka. Bila dibiarkan berlarut akan menimbulkan keresahan sosial.

Untuk itu, ada beberapa langkah alternatif yang dapat dilakukan. Dalam jangka pendek hingga menengah, produksi kedelai harus ditingkatkan. Para petani kedelai diberikan sejumlah insentif bukan hanya berupa benih, melainkan juga insentif harga. Pemerintah melalui Bulog perlu memiliki stok penyangga (buffer stock) untuk kedelai sehingga dapat melakukan operasi pasar dan memperbaiki tata niaga saat ini. Kepada para perajin kedelai diberikan insentif berupa subsidi harga dengan jumlah tertentu. Dengan begitu, mereka terus dapat berproduksi dan ketersediaan pangan rakyat tetap terjaga dengan harga yang lebih stabil.

Dalam jangka lebih panjang, diversifikasi sumber protein harus lebih dimasyarakatkan. Hal itu mengingat tingginya permintaan kedelai dunia dan rendahnya produksi kedelai dalam negeri pada gilirannya akan menciptakan ketergantungan terhadap impor. Karena itu, sumber protein seperti telur dan ikan perlu diregulasi sejak dini. Mengarah pada alternatif jangka panjang ini, perlu dipersiapkan infrastruktur yang mendukung, baik berupa sumber daya manusia, teknologi, maupun regulasi.

Dengan melakukan ini, pemerintah berarti mengubah paradigma pembangunan ekonominya dan menjadikan pangan soal hidup-mati bagi bangsa Indonesia, seperti yang diungkapkan Bung Karno di Bogor pada 1959.

Arif Budimanta, Koordinator Kaukus Ekonomi Konstitusi