Selasa, 29 September 2015

Sikap Warga NU terhadap PKI

Salahuddin Wahid

Tahun 1951/1952 saat masih di SD, saya melihat di meja kerja ayah saya sebuah foto tentang seorang laki-laki yang ditutup matanya berdiri di depan sejumlah orang yang mengarahkan senjata ke arah lelaki itu.

Saya bertanya kepada ayah saya, siapa lelaki itu? Beliau menjawab lelaki itu adalah orang yang dihukum mati karena terlibat pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Anggota PKI membunuh banyak kiai dan santri.

Penjelasan ayah saya itu amat saya yakini, langsung menempel di otak dan bertahan sampai kini, walau ada banyak tulisan dan buku yang mencoba membantah bahwa PKI memberontak pada 1948. Keyakinan itu juga dimiliki puluhan juta warga NU, umat Islam, dan pemeluk agama lain.

Beberapa tahun menjelang 1965, mereka yang berkeyakinan seperti itu menyaksikan dan mendengar bahwa anggota PKI dan organisasi di bawahnya telah memprovokasi umat Islam, menyerang anggota PII yang sedang shalat subuh di Kanigoro, Kediri, membunuh anggota Ansor di Banyuwangi. Perang kata-kata terjadi antara koran PKI dan koran lain, antara sastrawan pro-PKI dan sastrawan anti-PKI.

Sikap Gus Dur

Kami sekeluarga, kecuali Gus Dur yang berada di Mesir, mendengar dengan saksama pengumuman Dewan Revolusi. Dengan latar belakang seperti di atas, reaksi spontan kami saat itu: ini pasti perbuatan PKI. Ibu saya ikut menandatangani tuntutan pembubaran PKI, mewakili PP Muslimat NU, 4 Oktober 1965.

Saat itu belum banyak yang punya telepon apalagi telepon seluler, jadi informasi bergerak lambat. Kami mulai mendengar adanya eksekusi terhadap mereka yang diduga sebagai anggota PKI dan organisasi di bawahnya sekitar seminggu setelah terjadi. Tentu kami tak setuju. Saat peringatan hari lahir ke-40 NU, ada beberapa anggota Banser Jawa Timur yang menginap di rumah ibu saya. Saya dan adik saya, Umar, mengobrol dan bertanya mengapa kawan-kawan anggota Banser mengeksekusi mereka yang dianggap anggota PKI dan organisasi di bawahnya?

Menurut mereka, suasananya seperti perang: membunuh atau dibunuh. Pada 2005 saya bertemu seorang anggota Banser yang mengeksekusi banyak orang yang diduga anggota PKI atas perintah anggota TNI tingkat kecamatan. Dia mengatakan, kalau dia menolak, dia akan dituduh sebagai anggota PKI. Pendapat para anggota Banser itu adalah suara hati nurani warga NU terhadap PKI 50 tahun lalu.

Gus Dur meninggalkan Indonesia menuju Kairo pada akhir 1963 dan kembali pada pertengahan 1971. Jadi Gus Dur tidak mengalami atau merasakan suasana permusuhan dengan PKI dan organisasi di bawahnya. Gus Dur juga punya akses terhadap informasi tentang Gerakan 30 September (G30S) yang bertentangan dengan informasi yang beredar di Indonesia. Amat mungkin Gus Dur pernah berjumpa dan berdialog dengan warga PKI yang tidak bisa kembali ke Indonesia dan tinggal di sejumlah negara Eropa.

Wajar kalau perbedaan itu membuat Gus Dur punya pandangan dan sikap berbeda terhadap PKI dan warganya dibandingkan warga dan tokoh NU yang mengalami gesekan dengan warga PKI. Sebagai orang yang punya keberanian luar biasa, Gus Dur tidak ragu-ragu untuk meminta maaf kepada keluarga korban 1965. Gus Dur juga berani melontarkan gagasan untuk mencabut Tap MPR No XXV/1966. Gus Dur tidak menghitung untung-rugi akibat mengeluarkan pernyataan di atas.

Saat itu saya menilai kebanyakan orang menentang gagasan itu. Saya membuat tulisan di koran menanggapi gagasan pencabutan Tap MPR oleh Gus Dur itu. Menurut saya, tidak semua substansi Tap MPR tersebut dapat dibatalkan. Namun, perlakuan diskriminatif terhadap keluarga korban harus dihentikan. Saya yakin masih jauh lebih banyak rakyat yang menolak PKI diizinkan berdiri lagi.

Pada September 2012, sebuah majalah berita nasional mengeluarkan edisi khusus yang mengungkap sejumlah kisah tentang aksi kekerasan terhadap mereka yang diduga sebagai anggota PKI pada akhir 1965. Warga dan tokoh NU tentu merasa terpojokkan oleh penuturan majalah tersebut, yang kemudian memicu terbitnya buku Benturan NU dan PKI, 1948-1965. Buku itu mengungkap latar belakang dan penyebab warga dan aktivis NU di sejumlah kota terpaksa melakukan eksekusi terhadap anggota PKI dan organisasi di bawahnya karena kondisinya memang mendorong ke arah hal itu.

Terbitnya edisi khusus majalah berita nasional tersebut dan beredarnya film-film yang tidak lolos sensor (The Act of Killing dan The Look of Silence) mau tak mau membuat suasana panas dan menumbuhkan rasa saling curiga. Itu tidak bisa dihindarkan. Bahkan, berbagai SMS masuk ke ponsel saya memberi informasi bahwa CC PKI sudah berdiri dan mengadakan rapat di sejumlah kota. Saya tidak punya kemampuan untuk mengetahui apakah informasi itu benar atau tidak.

Rekonsiliasi

Pada awal 2000-an mulai muncul gerakan mendorong terjadinya islah atau rekonsiliasi. Anak-anak muda NU, terutama yang tergabung dalam syarikat, melakukan berbagai kegiatan untuk memulai mewujudkan rekonsiliasi itu.

Banyak anak pelaku kekerasan terhadap korban 1965 merasa ikut bersalah dan lalu melakukan sesuatu yang positif terhadap keluarga korban. Putra-putri tokoh yang dulu bermusuhan secara politik berkumpul dalam satu organisasi bernama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Mereka antara lain putra/putri Jenderal A Yani, Jenderal Sutoyo, Jenderal Supardjo, DN Aidit, dan Kartosuwiryo.

Upaya rekonsiliasi memberi harapan kepada para korban ketika Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Nasional sudah menyerahkan nama calon anggota kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memerlukan waktu lama sekali untuk memilih para anggota KKR. Di tengah masa menunggu itu, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU KKR pada awal Desember 2006. Sampai hari ini belum ada tanda-tanda akan muncul UU KKR pengganti UU yang dibatalkan itu walau sudah delapan tahun berlalu.

Dalam pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo menyatakan secara tersirat rencana membentuk tim untuk melakukan rekonsiliasi terkait pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Peristiwa 1965. Rekonsiliasi ini kabarnya akan disertai pengungkapan kebenaran. Informasi ini menimbulkan reaksi berbeda di dalam berbagai kelompok, ada yang senang dan ada yang tidak.

Komnas HAM pada Juli 2012 meluncurkan laporan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi secara sistematis dan meluas pada 1965-1966. Laporan ini disusun berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan di empat wilayah (Maumere, Maluku, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara) dan pengumpulan kesaksian dari 349 saksi dan korban. Menurut UU No 26/1926 tentang Pengadilan HAM juncto Pasal 7 Statuta Roma, kejahatan-kejahatan ini didefinisikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Mengingat di Indonesia tidak bisa dilakukan proses hukum terhadap mereka yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat pada 1965/1966, sejumlah orang punya prakarsa untuk menyelenggarakan International People Tribunal (IPT 1965) terhadap mereka yang diduga sebagai pelaku. IPT itu akan dilakukan di Den Haag dari Oktober 2015 sampai Oktober 2016. IPT akan mendakwa pihak negara (terutama militer) yang diduga kuat menjadi pelaku dalam peristiwa itu.

Sikap warga NU kini

Bagaimana sikap warga NU terhadap peristiwa yang sudah terjadi 50 tahun lalu itu? Terdapat beberapa kelompok. Pertama, antirekonsiliasi, yang saya duga jumlahnya kecil. Mereka menganggap TNI dan kelompok sipil telah melakukan upaya tepat dalam menyelamatkan NKRI. KKR dan rencana rekonsiliasi pemerintah dianggap tak perlu karena warga PKI memang pantas mendapat perlakuan seperti yang terjadi. Sikap ini juga dimiliki kelompok di luar NU.

Kedua, kelompok yang setuju upaya rekonsiliasi, yang menganggap warga PKI dan warga NU sama-sama jadi korban. Menurut mereka, negara bisa meminta maaf kepada korban bukan kepada PKI. Rekonsiliasi yang sudah berjalan perlu ditingkatkan dengan berlandaskan ketulusan dan kejujuran serta menghilangkan prasangka.

Ketiga, mereka yang secara sadar mengakui keterlibatan warga NU dan militer dalam pelanggaran HAM berat itu. Kelompok ini setuju jika diadakan proses hukum untuk membuka apa yang sebenarnya terjadi. Mereka setuju Tap MPRS No XXV/1966 dicabut, ajaran komunis boleh disebarkan. Mereka meyakini bahwa PKI tidak akan laku walau diberi hak untuk didirikan lagi.

Kelompok terakhir ini amat terpengaruh oleh pemikiran Gus Dur saat meminta maaf dan mengusulkan pencabutan Tap MPRS No XXV/1966. Mereka sama seperti Gus Dur, tidak mengalami suasana saat PKI sedang �berperang� dengan TNI dan partai-partai, lawan termasuk NU. Ke depan, jumlah mereka yang tidak mengalami konflik dengan PKI akan makin banyak dan mungkin saat itu proses hukum bisa dilakukan walaupun pihak yang harus bertanggung jawab sudah tidak ada.

Salahuddin Wahid; Pengasuh Pesantren Tebuireng

Membersihkan Dosa Kolektif G30S

Franz Magnis-Suseno

Pada pagi buta tanggal 1 Oktober 1965 di Jakarta, suatu gerakan yang menamakan diri Gerakan 30 September (sebutan ini akan saya pakai selanjutnya) membunuh enam jenderal dan Kapten Pierre Tendean serta membentuk suatu Dewan Revolusi sebagai penguasa tertinggi (di Yogyakarta juga terbentuk Dewan Revolusi yang membunuh Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono).

Tak berlebihan, peristiwa itu peristiwa paling menentukan dan paling traumatik dalam sejarah Indonesia merdeka. Dari tanggal 1 Oktober itu�yang menjadi permulaan dari berakhirnya kepresidenan Soekarno�lepas suatu dinamika yang bermuara dalam suatu orgasme pembalasan berupa pengejaran, penyiksaan, pembunuhan, dan penghancuran sosial puluhan juta warga bangsa yang akan termasuk salah satu kejahatan genosidal paling mengerikan terhadap hak-hak asasi manusia di bagian kedua abad ke-20. Selama 50 tahun, peristiwa 1 Oktober 1965 dengan buntutnya yang sedemikian mengerikan itu tak dapat dibicarakan secara terbuka. Sekarang saja, begitu kita diperingatkan�dan saya sependapat�pembicaraan harus bijaksana dan hati-hati kalau tak mau berakhir dalam kegagalan. Namun, kita harus membicarakannya. Dengan berhati-hati, iya, tetapi juga dengan jujur.

Kita harus bertanya, bagaimana kekejaman di luar segala ukuran terhadap bangsa kita sendiri bisa terjadi. Hal ini tak lain demi integritas dan harga diri kita sendiri. Bangsa Indonesia tidak dapat selamanya lari dari sejarahnya. Tak mungkin kita mencapai sinergi bersama yang positif�Soekarno menyebutnya gotong royong�yang perlu untuk menghadapi masa depan penuh tantangan kalau kita tak berani menghadapi masa lampau.

Masalahnya bukan apakah PKI berada di belakang Gerakan 30 September (G30S) itu atau tidak (mengikuti, antara lain, John Roosa [2006], saya sendiri tak meragukan keterlibatan Ketua PKI DN Aidit dan beberapa pemimpin PKI lain). Masalahnya: mengapa tak cukup kalau PKI dilarang dan dibubarkan saja? Mengapa sejuta rakyat (bisa lebih) mesti dibunuh? Betul, Presiden Soekarno menolak tindakan terhadap PKI. Namun, pada akhir Oktober 1965, PKI sudah tak berdaya sama sekali.

Mengapa pada waktu PKI sudah lumpuh, desa-desa dan kota-kota, mulai dari Jawa Tengah sampai seluruh pelosok Tanah Air, secara sistematik disisir. Masyarakat yang dianggap PKI atau dekat PKI ada yang langsung dieksekusi; ada yang diciduk dulu, ditahan, tetapi kemudian, biasanya pada malam hari, dibawa ke tempat-tempat sepi dan dibunuh di sana (Sarwo Edhie menyebut angka 3 juta orang yang dibunuh, kiranya angka yang terlalu besar). Padahal, pembunuhan-pembunuhan itu bukan pengeroyokan spontan oleh masyarakat yang emosional, melainkan dilakukan dengan kepala dingin dan persiapan administratif!

Lebih banyak lagi yang ditahan (menurut Sudomo seluruhnya 1,9 juta orang). Mereka dikategorikan ke dalam golongan A (yang kemudian dibawa ke pengadilan), golongan B (yang dianggap orang penting, tetapi karena tak melakukan sesuatu yang bisa dituduhkan, mereka ditahan begitu saja), dan golongan C yang kemudian dilepaskan lagi. Mereka yang dilepaskan tak dapat kembali ke kehidupan normal. Pemerintahan Soeharto menetapkan sederetan peraturan dan �kebijakan� yang menstigmatisasi lebih dari 10 juta saudara/ saudari kita �terlibat� atau �tidak bersih lingkungan�. Di masyarakat, mereka dicap �PKI� dan diasingkan dari pergaulan normal dengan tanda �ET� (eks tapol) di KTP, harus teratur lapor ke kelurahan, banyak yang kehilangan nafkah hidup dan rumah, tempat kerja tertentu tertutup bagi mereka, yang pegawai negeri dipecat.

Ratusan ribu orang golongan B ditahan lebih dari sepuluh tahun tanpa proses pengadilan. Mereka sering disiksa, perempuan-perempuan diperkosa. Puluhan ribu tahanan dibuang ke Pulau Buru yang menjadi kamp konsentrasi raksasa, hidup mereka dalam kondisi tidak manusiawi. Semua jutaan saudara-saudari kita itu hancur secara sosial.

Melepaskan kebohongan

Mari kita berani menghadapi dengan mata terbuka apa yang terjadi 50 tahun lalu itu. Kita perlu bertanya bagaimana pelanggaran HAM begitu kasar dan luas bisa sampai terjadi. Kok, bangsa yang membanggakan Pancasila dan cita-cita kemerdekaan seperti termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945�yang pada setiap kesempatan diobral Orde Baru�bisa melakukan sesuatu yang termasuk genosid paling tak berperikemanusiaan di bumi dalam 60 tahun terakhir? Bahwa pembunuhan ekstrem brutal para pahlawan 1 Oktober 1965 oleh G30S harus ditindak tegas dan ditumpas sudah jelas. Akan tetapi, bagaimana mungkin kita bersedia menerima omongan yang sampai sekarang masih dapat didengar bahwa karena �PKI membunuh jenderal-jenderal�, maka jutaan saudara dan saudari sebangsa yang sedikit pun tak terlibat dalam pembunuhan itu diburu seperti binatang, ditangkap, disiksa, diperkosa, dibunuh, hanya karena mereka secara politik berpihak pada PKI?

Maka, sebaiknya kita tidak lari dari masa lampau. Sudah waktunya kita berani melepaskan kebohongan-kebohongan seperti disuntikkan ke dalam kesadaran kolektif bangsa melalui film Pengkhianatan G30S/PKI. Sudah waktunya kita bersama-sama bersedia mengaku bahwa something went terribly wrong dalam reaksi terhadap G30S. Sekali lagi, itu tuntutan harga diri kita sendiri.

Peringatan 50 tahun G30S sebaiknya kita persiapkan. Kita harus berani menghadapi apa yang terjadi 50 tahun lalu kalau hati bangsa mau dibersihkan dari segala keterlibatan dan dosa kolektif terhadap sebagian saudara/saudari kita. Kita harus melakukannya bersama. Refleksi atas apa yang waktu itu terjadi tak boleh merupakan kegiatan beberapa LSM dan kaum intelektual saja. Kita bersama perlu melakukannya. Bukan untuk saling menyalahkan, melainkan agar kita bersama-sama dapat membersihkan hati kita. Kebanyakan mereka yang terlibat genosid 1965-1966 itu sudah menghadap Tuhan.

Maka, kesediaan pemerintah untuk mengangkat kembali kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lampau pantas dipuji. Keberanian menghadapi secara jujur, terbuka, dan etis apa yang terjadi sebagai reaksi atas G30S perlu didorong oleh pemerintah. Namun, sangat perlu DPR sebagai perwakilan rakyat juga mendukung proses itu dan melibatkan diri. Ormas-ormas agama perlu dilibatkan, universitas-universitas harus berperan, juga media dan seluruh masyarakat. Hal ini agar kesadaran akan keraksasaan kejahatan pasca G30S mempersatukan dan bukan malah memecahbelahkan kita.

Pembubaran PKI

Agar kebersamaan itu mungkin, perlu diperhatikan satu hal, yakni mengakui bahwa seharusnya pembunuhan, penghancuran eksistensi, dan stigmatisasi terhadap saudara-saudari sebangsa 50 tahun lalu tidak terjadi. Hal ini tidak berarti bahwa PKI harus direhabilitasi. Tentu orang boleh menuntutnya, tetapi tuntutan itu bersifat politis dan jangan dicampuradukkan dengan tuntutan kemanusiaan dan etika bahwa para korban pelanggaran berat HAM akhirnya mendapat keadilan.

Justru di luar negeri sekian pengkritik Indonesia mencampuradukkan dua tuntutan itu. Seakan-akan pengakuan terhadap besarnya pelanggaran hak-hak asasi para korban pembersihan pasca G30S menuntut agar keberatan-keberatan terhadap PKI dan perannya menjelang peristiwa G30S ditarik kembali. Fakta bahwa sesudah G30S terjadi pelanggaran terhadap hak asasi orang-orang yang dianggap PKI tak lalu berarti bahwa keberatan-keberatan serius terhadap PKI tak berdasar. Ada pertimbangan ideologis ataupun politis yang dapat mendukung pembubaran PKI.

Pertimbangan ideologis: PKI secara resmi mendasarkan diri atas marxisme-leninisme (PKI tak pernah menganggap diri semacam �komunis ala Indonesia�, tetapi komunis tulen, jadi memang marxis-leninis). Namun, marxisme-leninisme secara resmi mengajarkan ateisme, yang oleh PKI memang tak ditonjolkan. Marxisme-leninisme sejelas-jelasnya mengajarkan, kaum komunis harus memegang monopoli kekuasaan. Harapan Soekarno bahwa PKI dalam kerangka Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) akan bersedia menjadi hanya satu dari tiga kekuatan revolusioner bangsa Indonesia tak sesuai ideologi komunis. Di negara mana pun yang dikuasai komunis, hanya komunislah yang berkuasa.

Secara politis, tahun 1965, bangsa Indonesia sebenarnya sudah terpecah dua. Adalah terutama PKI yang dengan bahasanya yang keras-konfrontatif memecahbelahkan kesatuan bangsa menjadi kubu revolusioner dan musuh-musuhnya. PKI-lah yang mengancam para lawan mereka sebagai �tujuh setan desa� dan �kafir� yang perlu diganyang. Masyumi dan PSI terus difitnah sebagai antek Nekolim. Para pencetus Manifesto Kebudayaan dihantam habis-habisan (antara lain oleh Pramoedya Ananta Toer yang memakai bahasa yang kasar sekali), dan hanya dua hari sebelum G30S, Aidit menantang Presiden Soekarno sekali lagi untuk membubarkan HMI.

Segala kritik terhadap peran PKI diharamkan sebagai komunistofobi. Pada akhir 1964, sebanyak 20 koran anti komunis dilarang, dan seterusnya. Waktu itu, mereka yang tak termasuk kubu �progresif-revolusioner� itu diliputi ketakutan. Orang ingat akan Madiun, tetapi Madiun waktu itu tak dapat dibicarakan.

Saya berpendapat bahwa suasana yang sampai pertengahan tahun 1965 diciptakan terutama oleh PKI menjadi sedemikian konfrontatif sehingga tidak mungkin ditampung lagi dalam mekanisme pemecahan ketegangan yang tersedia dalam budaya Indonesia tradisional. Itu yang lalu terungkap sebagai �mereka atau kami� (kekhawatiran bahwa komunis akan kembali berkuasa masih terasa sampai 1966 dan saya masih ingat betapa larangan PKI oleh Jenderal Soeharto pada 12 Maret 1966 kami rasakan seperti ada beban berat diambil dari hati kami, suatu perasaan yang sekarang pun masih ada pada saya). Maka dari itu, kalau akhirnya kita berani mengakui kengerian pelanggaran hak-hak asasi mereka yang dicap �terlibat� sesudah G30S, pengakuan itu tidak berarti bahwa PKI harus direhabilitasi. Dan sebaliknya, bahwa PKI merupakan musuh yang dibenci dan ditakuti tidak membenarkan bahwa jutaan anggota masyarakat yang tertarik pada PKI secara sistematik dibunuh dan dihancurkan.

Dari kita betul-betul dituntut kebesaran hati untuk mengakui bahwa reaksi pasca G30S sama sekali keluar rel. Itu tuntutan keadilan paling dasar. Para korban perlu diakui sebagai korban. Perlu diakui, stigmatisasi mereka sebagai pengkhianat atau simpatisan pengkhianatan bangsa merupakan ketidakadilan besar. Kemanusiaan dan kewarganegaraan mereka perlu diakui kembali sepenuhnya. Itu langkah paling pertama. Dan jelas juga, pengakuan korban sebagai korban hanya jujur kalau mereka, dalam batas-batas kemungkinan, direhabilitasi dan diterimakan suatu ganti rugi (dan kepada mereka yang terpaksa melarikan diri ke luar negeri perlu ditawarkan kemungkinan untuk kembali ke Tanah Air tanpa kesulitan birokratis). Sudah sangat mendesak agar para korban mendapat keadilan. Baru sesudah itu kita boleh minta maaf.

Franz Magnis-Suseno; Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat di Jakarta

Senin, 28 September 2015

Menenun Kebaikan

Iwan Pranoto

Memang tak adil menimpakan segala permasalahan sosial di masyarakat pada sistem pendidikan. Meski demikian, sudahkah sistem pendidikan mendesain atau mereka cipta pembelajaran bagi anak untuk mengembangkan kebaikan? Juga sebaliknya, apakah masih ada bahan serta cara ajar yang justru menyemai kejahatan seperti kebencian terhadap kelompok lain atau merendahkan insan yang berbeda? Negara dan rakyat perlu yakin bahwa setiap anak belajar menenun kebaikan di dalam ruang kelasnya agar dapat serasi bermasyarakat.

Kejuangan semu

Pendidikan pada hakikatnya mengemban tugas mengembangkan nilai luhur kemanusiaan. Keserasian sosial,kedamaian, serta peduli kepada sesama diasumsikan menjiwa dalam hakikat pendidikan dan diri pelakunya. Walau mungkin bukan satu-satunya, sistem pendidikan berperan sebagai salah satu sumber kebaikan dan pembangun keteraturan sosial.

Pada praktiknya di beberapa negara, dalam pengajaran sejarah nasional, misalnya, bangsa sendiri selalu dituliskan sebagai pihak yang benar. Sebaliknya, bangsa lain ditempatkan sebagai pihak yang salah. Kami benar mutlak, liyan salah mutlak. Bangsa kami baik, bangsa asing jahat. Secara sistematis dan formal, �kebencian� terhadap kelompok asing disemai dari dalam kelas. Yang bertumbuh pada anak akhirnya patriotisme semu, kejuangan hasil indoktrinasi, bukan hasil proses bernalar.

Bagaimana pula mata pelajaran Agama? Apakah kedamaian dan keserasian antarumat manusia senantiasa dijuarakan dalam bahan ajarnya? Betapa bahaya dan ironis jika secara terprogram pendidikan nasional justru menyokong penyebaran kebencian terhadap liyan melalui mata pelajaran yang umumnya diasumsikan agung dan digadang-gadang sebagai sumber moral.

Melalui buku Education and Social Order (1932, pp 92-101), matematikawan cum filsuf Bertrand Russell sudah tegas menyatakan kritiknya pada pendidikan kepatriotan oleh sekolah Inggris di era kolonial. Russell menyatakan, kepatriotan yang diajarkan sesungguhnya bagian dari upaya Britania Raya melindungi atau mengajekkan kepentingan ekonomi dan politik di sejumlah wilayah jajahan. Patriotisme atau kejuangan yang diajarkan di sekolah tak lain upaya pembenaran untuk menjajah wilayah lain. Kejuangan jadi identik dengan melindungi kepentingan negara walau dengan ongkos mencederai nilai kemanusiaan. Kebaikan pun tak dijuarakan lagi, tetapi sekadar menjadi bahan transaksional. Kebaikan bukan hal utama dan penting lagi.

Dengan mengindoktrinasikan pengertian kejuangan semu yang diyakini banyak orang sebagai suatu kenormalan ini, bahkan lalu dianggap norma, tindakan dan pemikiran tak baik lambat laun jadi �kebenaran�. Keadaan ini akan menyokong kepandiran gerombolan. Merusak milik orang lain sampai menyakiti kelompok berkeyakinan lain jadi bukan saja �masuk akal� dan wajar, melainkan juga baik, bahkan dipuji.

Jika anggapan �kebenaran� ini dibiarkan berlanjut, benih keprimitifan, seperti kesamaan fisik, agama, dan geografis, akan saling menguatkan. Ini akan jadi pemicu pengganggu keteraturan sosial. Kini saatnya pendidikan dengan sengaja dan strategis mengikis kejahatan sekaligus menyediakan lahan subur bagi kebaikan bertumbuh di dalam kelas.

Sudah semestinya mencintai bangsa sendiri tidak ekuivalen dengan membenci bangsa lain. Menjunjung keyakinan sendiri tak ekuivalen dengan membenci kelompok berkeyakinan lain. Perkembangan nilai kejuangan dalam diri pelajar amat penting. Ini dapat dimulai dengan hal sederhana, seperti membangun hasrat mengerjakan tugas belajar sebaik-baiknya.

Dua unsur penting

Guna memungkinkan persekolahan memfasilitasi anak menenun kebaikan, perlu setidaknya membenahi dua unsur, yakni bahan ajar dan cara ajar.

Untuk unsur pertama, dapat dimulai dengan menyisipkan lebih banyak kebaikan ke dalam bahan ajar Sejarah Nasional. Misalnya, mengangkat topik bagaimana para pemuda angkatan 1920-an menggagas Indonesia dengan bernalar. Taraf kejuangan para pelajar kita bernalar tak kalah dibandingkan kegagahan mengangkat senjata. Mengulas sisi kemanusiaan atau kehidupan para pelakunya juga akan membuat pelajaran Sejarah Nasional lebih hidup, menarik, universal, dan sarat kebijaksanaan.

Kemudian, juga perlu diangkat sisi kehidupan manusia awam, seperti bagaimana dari waktu ke waktu masyarakat kita berpakaian, apa yang dimakan, bagaimana memasaknya, atau bagaimana transportasinya. Ini akan mengimbangi bahan-bahan ajar yang melulu sekitar perebutan kekuasaan, kekerasan, dan peperangan. Juga, anak akan merasa dirinya turut menulis sejarah. Sejarah sejatinya menyangkut semua kalangan manusia, tak identik dengan penguasa atau perang.

Unsur kedua, cara ajar, perlu diperkaya dengan peluang anak belajar bernalar utuh. Lebih khusus lagi, anak perlu berkesempatan belajar memahami topik dari berbagai perspektif atau sudut pandang. Anak menerampilkan diri dalam sekali-kali menggeser perspektif atau berganti sudut pandang dalam mengkaji topik, kejadian, dan pengetahuan (McTighe and Wiggins, 1998).

Cara pengajaran bermakna seperti ini tentunya mensyaratkan guru yang memahami bahan ajar dengan mendalam, bergairah belajar dan membelajarkannya, serta menghargai tiap anak. Dalam hal ini Kemdikbud perlu membangun berbagai forum sehingga para guru dapat berlatih, belajar, dan berbagi. Guru tidak dilatih atau diceramahi, tapi guru berlatih dan belajar. Jika diinginkan anak aktif belajar dan berlatih, demikian pula guru perlu aktif belajar dan berlatih. Jika diinginkan anak percaya diri, guru pun perlu pula percaya diri.

Dalam daftar kompetensi mata pelajaran Sejarah Nasional, indikator pemahaman anak perlu menambahkan komponen perspektif tadi. Ke depan, dengan indikator perspektif ini pula, evaluasi pendidikan sejarah akan mengukur pemahaman pelajar secara lebih utuh dan andal.

Dengan pembenahan dua hal di atas, anak akan membangun kecakapan bernalar. Pada akhirnya kecakapan bernalar ini akan menjadi perkakas utama anak untuk mengenali dan mengikis kejuangan semu serta yang utama terlibat menenun kebaikan.

Iwan Pranoto; Guru Besar Matematika ITB

Haji dan Politik, Indonesia dan Arab Saudi

Azyumardi Azra

Ketika musibah datang sepanjang pelaksanaan ibadah haji 1436 H/2015 M�robohnya mesin derek (crane) di Masjidil Haram, Mekkah, dan tabrakan antaranggota jemaah (stampede) di Mina yang menyebabkan lebih dari 1.100 anggota jemaah haji meninggal�ada di antara anggota jemaah haji dan kalangan pemerintah serta ulama Arab Saudi yang segera menyatakan: �Kejadian ini adalah takdir. Mereka yang wafat adalah syahid (martir)�.

Kaum beriman tentu saja wajib percaya takdir. Namun, jika kejadian berujung maut yang terus berulang sejak musibah Terowongan Mina pada 1990 yang menyebabkan 1.426 orang meninggal, orang patut bertanya apakah kejadian mengenaskan itu lebih disebabkan kelalaian dan salah urus tata kelola ibadah haji di Arab Saudi dan di negara-negara lain tempat asal jemaah haji.

Jika sementara tidak melibatkan soal takdir, sedikitnya ada tiga faktor utama penyebab musibah. Pertama, ketiadaan atau kurangnya pengaturan yang jelas (prosedur tetap) arus lalu lintas jutaan anggota jemaah haji di lokasi rawan tabrakan antaranggota jemaah dari Mekkah menuju Arafah, Muzdalifah, Mina, dan kemudian kembali ke Mekkah.

Untuk menghindari tabrakan jemaah yang pergi-pulang dari melontar jumrah (jamak: jamarat) khusus, Pemerintah Arab Saudi sepatutnya menetapkan alokasi waktu bagi jemaah negara-negara. Kalaupun ada, ketentuan itu terlihat tidak ditegakkan tegas sehingga jemaah calon haji berbondong-bondong pergi melempar jumrah di pagi hari, waktu yang dianggap paling utama.

Kedua, dalam gelombang jemaah yang sangat banyak, petugas lapangan Arab Saudi tampak tidak siap dan tidak sigap memisahkan jemaah yang pergi dan yang pulang dari jamarat. Jumlah mereka di lapangan tidak memadai untuk bisa mengendalikan jemaah dalam jumlah demikian besar.

Ketiga, banyak anggota jemaah tidak atau kurang disiplin. Jemaah berombongan cenderung tidak disiplin dan lebih mendahulukan kepentingan sendiri daripada keamanan bersama dan kekhusyukan beribadah.

Memandang berbagai penyebab musibah, jelas perlu pembenahan tata kelola pelaksanaan prosesi ibadah haji di Arab Saudi dan pengelolaan jemaah di setiap negara. Hanya dengan perbaikan tata kelola, kemungkinan musibah pada musim haji selanjutnya dapat dikurangi jika tidak dapat dihilangkan sama sekali.

Harus diakui, Pemerintah Arab Saudi sangat sensitif dalam tata kelola penyelenggaraan ibadah haji yang tidak hanya bermakna keagamaan, tetapi juga politis. Bagi Pemerintah Arab Saudi, khususnya raja, pengelolaan ibadah haji adalah hak istimewa yang tidak dapat dipersoalkan karena raja adalah �al-khadim al-haramayn�pelayan dua haram (Mekkah dan Madinah).

Bagi Arab Saudi, penyelenggaraan ibadah haji di Mekkah�yang dilengkapi ziarah dan shalat 40 waktu (shalat Arbain) di Madinah�sepenuhnya tanggung jawabnya. Oleh karena itu, Arab Saudi cenderung menutup diri dan tidak mau melibatkan negara-negara lain pengirim jemaah haji ke Tanah Suci. Bagi Arab Saudi, keikutsertaan negara lain adalah isu politik terkait posisinya vis-�-vis negara Islam atau mayoritas Muslim lain.

Penyelenggaraan ibadah haji tidak steril dari politik. Sejak akhir abad ke-19, misalnya, Mekkah dan Madinah menjadi pusat pertukaran dan penyebaran gagasan Pan-Islamisme menghadapi kolonialisme sejumlah negara Eropa terhadap banyak wilayah Muslim. Karena itu, negara kolonialis Eropa, seperti Belanda yang menjajah Indonesia, memiliki kantor konsulat di Jeddah untuk memantau jemaah calon haji dari Hindia Belanda.

Bagi Arab Saudi, ibadah haji memberikan posisi tawar penting dalam hubungan dengan dunia Muslim. Sejak 1960-an, Raja Faisal menjadikan ibadah haji sebagai kunci melobi negara-negara Muslim lain mewujudkan dan menguasai Organisasi Konferensi Islam (kini Organisasi Kerja Sama Islam/OKI).

Melalui OKI dan Rabitah �Alam Islami, Arab Saudi mendapat dukungan negara-negara Muslim lain dalam pengelolaan haji tanpa harus mengompromikan kedaulatan penuhnya atas Haramayn. Negara-negara Muslim penganut Sunni umumnya tidak mempersoalkan kedaulatan Arab Saudi atas Haramayn. Saat sama, mereka berusaha mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Arab Saudi atas jemaah masing-masing.

Seperti dicatat Robert R Bianchi dalam bukunya, Guest of God: Pilgrimage and Politics in the Islamic World (2004), Pemerintah Arab Saudi akhirnya menemukan diri harus mendengar suara negara pengirim jemaah calon haji dalam jumlah besar. Negara-negara ini�Indonesia, Turki, Malaysia, Pakistan, dan Nigeria�yang mengembangkan tata kelola haji modern dengan institusi pengelola profesional melalui lobi berhasil mendorong Pemerintah Arab Saudi meningkatkan fasilitas dan pengelolaan ibadah haji.

Kepada pihak lain, Iran (dan Libya pada masa Khadafy) sudah sejak lama menggaungkan ide tentang �internasionalisasi� tata kelola ibadah haji di Haramayn; penyelenggaraan dilaksanakan institusi khusus bentukan bersama negara-negara Muslim. Presiden Iran Mohammad Khatami pada musim haji 1997 pernah mencoba menggalang internasionalisasi pengelolaan Mekkah dan Madinah. Usaha Khatami gagal karena ditolak Arab Saudi yang didukung kebanyakan negara Muslim lain.

Namun, gagasan Iran ini tak pernah padam. Untuk menangkis manuver Iran, Arab Saudi selalu berhasil mendapat dukungan dari negara-negara yang kian penting dalam OKI dan dunia internasional, yaitu Indonesia, Turki, Malaysia, Pakistan, dan Nigeria.

Musibah Mina (24/9) kembali memberikan momentum bagi Iran untuk berargumen, Arab Saudi gagal menyelenggarakan ibadah haji secara baik, aman, dan nyaman. Kini saatnya Pemerintah Arab Saudi menerima internasionalisasi pengelolaan Mekkah dan Madinah. Sekali lagi, gagasan tersebut pasti ditolak Arab Saudi dan mayoritas negara Muslim lain, termasuk Indonesia.

Indonesia dapat memainkan peran lebih kontributif untuk perbaikan tata kelola prosesi ibadah haji di Haramayn. Indonesia memiliki leverage untuk melakukan kemaslahatan umat Islam secara keseluruhan. Penerimaan Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke Arab Saudi (11/9) secara luar biasa oleh Raja Salman dapat menjadi entri penting bagi Indonesia untuk meningkatkan diplomasi dan lobi guna perbaikan pelaksanaan ibadah haji ke depan.

Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI (2015-2020)