Senin, 31 Oktober 2011

10 Cara Memahami Kejahatan

Adrianus Meliala

Belum selesai dengan masalah tawuran antarkampung dan antarsekolah, Jakarta dihebohkan kasus pemerkosaan di angkutan kota. Belum lagi hal itu pupus dari ingatan, berbagai kasus pembunuhan pun terjadi di Jakarta.

Sementara itu, kejahatan kekerasan dalam bentuk yang lebih kurang ekstrem, mulai dari sekadar perkelahian hingga penganiayaan, terus saja terjadi.

Tulisan ini secara ringkas memperlihatkan 10 cara memahami dan menganalisis meningkatnya kejahatan kekerasan, khususnya yang terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta.

Pertama, berbeda dengan kecenderungan media massa, kita perlu mempergunakan satuan waktu yang lebih luas dari sekadar situasi satu-dua hari saja. Satuan waktu itu, misalnya, setahun atau sebulan. Maka akan terlihat profil yang lebih utuh. Kemungkinan ini akan membenarkan teori bahwa kejahatan kekerasan di mana- mana sebenarnya memiliki sifat ajek (tak gampang cepat naik atau cepat turun).

Cara kedua dengan menyimak statistik kejahatan atau statistik kriminal. Memang, statistik kriminal di Indonesia, yang dikeluarkan kepolisian, umumnya memuat data bervaliditas rendah. Deviasinya besar. Maklum, penyusunannya hingga menghasilkan berbagai profil kejahatan dilakukan secara tidak serius. Namun, melalui statistik itu minimal bisa dilihat wajah kejahatan kekerasan di suatu wilayah. Bisa dijamin, sekali lagi, angka-angka yang memperlihatkan lonjakan (baik naik ataupun turun) tidak akan ditemui.

Ketiga, memasukkan unsur ekologi. Dalam kriminologi, unsur ekologi secara mudah dimengerti sebagai pengaruh eksternal, misalnya tinggi-rendah pengangguran, urbanisasi, pertumbuhan ekonomi atau kepadatan penduduk (densitas) di suatu wilayah kota. Terkait itu, bisa diduga, beberapa saat sesudah musim libur Lebaran ada kondisi tak normal. Misalnya, urbanisasi terkait pendatang baru. Penduduk yang sudah padat makin padat. Orang umumnya juga sudah kehabisan uang pasca-Lebaran. Singkatnya, kemungkinan hal-hal ekologis itu merupakan faktor anteseden atau yang mengawali bagi munculnya situasi kondusif bagi orang per orang untuk semakin mudah marah, mudah tersinggung dan sebagainya.

Cara keempat, jangan lupa peran pengendali kejahatan, yakni kepolisian. Dalam konteks kejahatan kekerasan, prevalensi dan insidensinya banyak bergantung pada aktivitas si pengendali ini. Jika pengendali memiliki fokus lain, misalnya dalam rangka mengamankan demonstrasi yang cenderung terjadi merata setiap hari di Jakarta, maka penjagaan ruang-ruang publik yang mestinya berlangsung kontinu bisa terabaikan.

Cara kelima dengan melihat profil demografi pelaku-pelaku kejahatan kekerasan yang terjadi baru-baru ini. Jika pelaku pria muda, berpendidikan rendah, menganggur atau setengah menganggur dan dari kalangan masyarakat berkemampuan sosial-ekonomi rendah, tidak ada yang baru bukan? Demikian pula jika korban adalah anak-anak atau wanita yang tidak berpendidikan memadai, juga tidak bekerja. Jika profil pelaku dan korban masih tipikal, maka dapat dibayangkan, narasi modus kejahatannya masih itu-itu juga. Misalnya, pelaku marah lalu menghantam korban yang tak berdaya.

Keenam, masih terkait dengan pelaku, perhatikan ada-tidaknya bekas narapidana, khususnya yang residivis, yang baru keluar dari lembaga pemasyarakatan. Dari pengalaman selama ini, ada kemungkinan mereka yang baru keluar sel itu lalu kembali ke kelompok kejahatannya dan aktif lagi. Namun, amatan ini perlu dilakukan dengan bijaksana.

Cara ketujuh, masih terkait dengan pelaku dan korban, tetapi kali ini dikaitkan dengan apakah berasal dari kelompok masyarakat yang dikenal sebagai memiliki subkultur kejahatan atau tidak. Juga, apakah berasal atau tinggal di wilayah yang rawan kejahatan atau tidak. Jika keduanya berasal dari kelompok subkultur kejahatan (artinya yang mendukung satu atau lebih nilai dan bentuk kejahatan tertentu) serta tinggal di wilayah yang memang rawan kejahatan, itu berarti faktanya lebih dapat diterima ketimbang sebaliknya. Akan jauh lebih membingungkan apabila pelaku atau korban adalah orang yang memiliki latar belakang yang baru sama sekali terkait kejahatan, misalnya karena pelakunya adalah orang terhormat, terdidik dan berstatus sementara profil korbannya juga kurang lebih sama.

Masih terkait dengan pelaku, maka melalui amatan yang lebih dalam dan panjang, kita bisa sampai pada pemahaman bahwa banyak pelaku sebenarnya bukan pelaku kejahatan pertama kali, yang melakukan secara spontan dan tak terencana. Ini cara kedelapan. Dengan dukungan data dasar kependudukan serta data dasar kejahatan yang baik, yang sayangnya tak kita miliki, rekam jejak seseorang dapat dicatat dan, setiap kali terjadi kejahatan, yang bersangkutan dapat menjadi seorang yang terduga sebagai pelakunya.

Cara kesembilan, terkait dengan situasi media itu sendiri. Tatkala media sedang �mati angin� alias krisis berita, potensi berita kriminalitas menempati porsi berita utama juga makin besar. Bahkan pada media yang memiliki rubrik atau acara khusus terkait kriminalitas sekalipun, kasus-kasus kejahatan kekerasan yang ekstrem tetap dinanti ketimbang mengisinya dengan kasus kejahatan sepele, yang justru jumlahnya jauh lebih banyak. Inilah yang disebut kecenderungan over-amplification (pembesaran suatu peristiwa) oleh media yang lalu gampang menimbulkan rasa takut di masyarakat.

Terakhir, kesepuluh, adalah kesiapan masyarakat menghadapi kejahatan kekerasan itu sendiri. Hal ini dapat diukur. Masyarakat yang sudah terlanda rasa takut akibat kejahatan akan semakin mudah pula menjadi masyarakat yang tak berdaya dan, ujung-ujungnya, menjadi patologis atau berperilaku anomik. Kejahatan kekerasan secara teoretis amat berpotensi melahirkan rasa takut itu mengingat nuansa kengerian yang diciptakannya dan kemudian dipersepsi oleh para pembaca, pendengar, dan pemirsa sebagai sesuatu yang juga dapat terjadi pada dirinya.

Adrianus Meliala Kriminolog FISIP Universitas Indonesia

Sabtu, 29 Oktober 2011

Papua dan �Pasar Kekerasan�

Manuel Kaisiepo

Rangkaian konflik disertai tindak kekerasan yang terus bereskalasi di Papua seakan melanggengkan label Papua sebagai �zona konflik�. Zona ini memberlakukan hukum �pasar kekerasan� di mana kekerasan menjadi komoditas yang �diperjualbelikan� untuk berbagai kepentingan yang tidak jelas.

Konflik dan rangkaian kekerasan yang terus terjadi�apa pun motif dan tujuannya, terjadi begitu saja atau by design�mengindikasikan ketidakmampuan pemerintah (pusat dan daerah) dalam menangani masalah Papua secara konsisten, komprehensif, adil, dan bermartabat.

Sungguh ironis, konflik berlarut-larut disertai tindak kekerasan di Papua itu terjadi justru setelah Papua dideklarasikan sebagai �Tanah Damai�.

Ironis, sebab konflik disertai kekerasan itu terus terjadi setelah lebih dari satu dekade diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua (UU Otsus Papua). UU ini lahir sebagai suatu konsensus politik sekaligus upaya win-win solution guna mengakhiri konflik politik dan kekerasan selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru serta untuk meningkatkan kesejahteraan, harkat, dan martabat rakyat Papua.

Melalui UU Otsus Papua, pemerintah mendelegasikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah disertai kucuran dana yang juga sangat besar. Dana puluhan triliun rupiah ini di luar dana lain seperti APBD dan dekonsentrasi.

Pemerintah juga baru saja mencanangkan kebijakan khusus untuk Papua melalui dua peraturan presiden (perpres) yang ditandatangani 20 September 2011. Pertama, Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua, Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Perpres itu dilengkapi dokumen rinci berjudul Rencana Aksi yang Bersifat Cepat Terwujud Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2012.

Mengapa komitmen pemerintah terhadap proses pembangunan di Papua melalui UU Otsus Papua, dua perpres, rangkaian kebijakan lainnya, dan disertai kucuran dana triliunan rupiah belum mampu meningkatkan kualitas hidup serta harkat dan martabat rakyat asli Papua?

Pertanyaan semacam ini menjadi relevan karena tingkat kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial suatu masyarakat berkorelasi dengan tingkat ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.

Stigma separatis

Sejarah mencatat, dalam jangka waktu yang lama rakyat Papua hidup dalam suasana ketegangan, ketakutan akibat kekerasan, kecurigaan, dan saling tidak percaya (distrust). Faktor saling tidak percaya ini kelihatan sepele, tetapi justru menjadi penghambat upaya dialog antara Papua dan Jakarta. Ketidakpercayaan ini akhirnya melahirkan dua cara pandang yang bisa bertolak belakang.

Di mata pemerintah, semua dinamika rakyat Papua langsung dicap sebagai tindakan separatis. Stigma separatis ini terus dipertahankan hingga kini sebagai pembenaran untuk mempertahankan pendekatan sekuriti di Papua. Padahal, sekuritisasi terbukti tidak menyelesaikan masalah, justru semakin mendorong lahirnya kekerasan-kekerasan baru.

Sebaliknya, di mata rakyat Papua, pemerintah pusat tidak sungguh-sungguh menghargai eksistensi mereka secara kultural, sosial-ekonomi, dan politik. Kekayaan alam Papua dieksploitasi besar-besaran, sementara rakyatnya tetap hidup dalam kemiskinan. Lebih dari itu, mereka terus hidup dalam ketakutan akibat pengalaman represif masa lalu dan kini berhadapan dengan pendekatan sekuritas. Maka dampaknya adalah ketidakpercayaan kepada pemerintah.

Pergantian kepemimpinan politik di Indonesia�dari rezim represif Orde Baru ke suatu pemerintahan yang demokratis sejak awal reformasi 1998�telah menjadi momentum baru yang memberikan harapan bahwa masalah Papua dalam konteks keindonesiaan dapat diselesaikan secara damai dan bermartabat.

Di bawah Presiden BJ Habibie, proses dialog Jakarta-Papua dibuka kembali dan melahirkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor IV Tahun 1999 yang mengamanatkan status otonomi khusus bagi Papua. Spirit dari tap MPR ini adalah mempertahankan integritas NKRI sekaligus menghargai eksistensi rakyat Papua di dalamnya.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memulihkan kepercayaan rakyat Papua kepada pemerintah pusat. Di bawah Gus Dur, tercipta trust-building dan kemudian rekonsiliasi antara Papua dan Jakarta. Gus Dur adalah presiden RI yang secara terbuka meminta maaf kepada rakyat Papua atas berbagai kesalahan pemerintah pada masa lalu sekaligus menawarkan alternatif penyelesaian masalah Papua melalui dialog yang tulus.

Faktor kepercayaan ini menjadi landasan untuk melanjutkan dialog dari hati ke hati antara Jakarta dan Papua. Hasilnya adalah dipercepatnya pembahasan RUU Otsus Papua, yang kemudian disahkan sebagai UU Nomor 21 Tahun 2001 pada era Presiden Megawati Soekarnoputri.

UU Otsus Papua adalah suatu kompromi politik dengan prinsip win-win solution sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh, adil, dan bermartabat. UU ini bersifat lex specialis. Roh dari UU lex specialis adalah keberpihakan (affirmative), dalam hal ini kepada rakyat asli Papua.

Namun, setelah 10 tahun UU Otsus diterapkan dengan dukungan dana yang sangat besar, tingkat kesejahteraan rakyat asli Papua tidak meningkat. Sebaliknya data Badan Pusat Statistik menunjukkan angka penduduk miskin di Papua justru meningkat menjadi 38 persen tahun 2009, tertinggi di Indonesia.

Hingga saat ini mayoritas rakyat Papua masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Papua juga rendah (60 persen, padahal produk domestik regional bruto di atas Rp 20 triliun). Penelitian Universitas Cenderawasih tahun 2001 memperlihatkan, 74 persen penduduk Papua hidup di daerah terisolasi serta tidak memiliki akses sarana dan prasarana transportasi ke pusat pelayanan pemerintahan, sosial, dan ekonomi.

Mayoritas rakyat asli Papua, terutama yang tinggal di pedesaan, masih hidup dalam taraf ekonomi subsisten. Bahkan, sebagian lagi masih dalam taraf food gathering complex. Kondisi ini membuat mereka tidak mampu berkompetisi dalam sistem ekonomi pasar yang telah dikuasai para pendatang sehingga semakin termarjinalisasi di tanah sendiri.

�Pasar kekerasan�

Berbagai aksi kekerasan yang menimbulkan korban jiwa di Papua hendaknya dikritisi karena tidak semua aksi kekerasan itu muncul begitu saja. Kasus-kasus tertentu justru memperlihatkan adanya by design untuk kepentingan ekonomi politik pihak-pihak lain, sama sekali tidak terkait dengan kepentingan rakyat Papua.

Penembakan yang memakan korban jiwa di sekitar wilayah PT Freeport Indonesia (PT FI) di Timika, bersamaan dengan aksi mogok oleh ribuan pekerja PT FI baru-baru ini, masih meninggalkan tanda tanya besar: siapa sesungguhnya pelaku yang sedemikian profesional sehingga mampu menembak secara jitu di areal yang penjagaannya begitu ketat?

Aksi penembakan pertama di Mil 62-63 jalur Timika-Tembagapura dalam area PT FI terjadi Agustus 2002. Pelakunya ditangkap dan kasusnya sudah diselesaikan secara hukum, tetapi tetap menyisakan tanda tanya karena masih saja terjadi penembakan di areal PT FI.

Rentetan peristiwa itu seakan mengukuhkan Papua sebagai �zona konflik�, bahkan sebagai �pasar kekerasan� di mana kekerasan menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan.

Manuel Kaisiepo, Anggota DPR-RI dari Fraksi PDIP

Deradikalisasi Berbasis Ideologi

Hasibullah Satrawi, Alumnus Al-Azhar, Kairo

Pelbagai aksi terorisme yang terus berlangsung di republik ini menunjukkan bahwa program deradikalisasi belum efektif. Upaya deradikalisasi ternyata belum menyentuh aspek indoktrinasi yang kerap menjadi pembenaran aksi kekerasan.

Hal terjauh yang pernah dilakukan di Indonesia adalah program deradikalisasi berbasis insentif ekonomi. Ini dilakukan terhadap mantan tokoh Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (DI/NII) tahun 1960-an.
Program di atas gagal karena insentif ekonomi yang diberikan justru dimanfaatkan para mantan tokoh DI/NII untuk menghimpun kekuatan. Tahun 1977 aparat yang mengendus kebangkitan DI/NII telah menangkap tokoh-tokoh mereka (Solahudin, NII sampai JI, 2011: 83-102).

Deradikalisasi di Mesir

Di sinilah pentingnya belajar dari program deradikalisasi yang pernah terjadi di Mesir, salah satu negara berpenduduk Muslim yang kerap menjadi sasaran terorisme. Aksi teror terakhir di Mesir terjadi pada malam pergantian tahun 2011 di sebuah gereja di Alexandria. Sedikitnya 21 orang meninggal dan puluhan orang luka-luka.

Namun, aksi teror di Mesir dalam beberapa waktu terakhir relatif jauh menurun daripada tahun 1960-1980-an. Pada periode itu, aksi teror yang terjadi kerap didalangi gerakan keagamaan militan bernama Jamaah Islamiyah (JI) Mesir yang menyalahpahami beberapa ajaran keagamaan. Pembunuhan mantan Presiden Mesir Anwar Sadat, pada tahun 1981, juga disinyalir melibatkan kelompok JI Mesir.

Di luar dugaan banyak pihak, tokoh-tokoh utama JI Mesir yang masih berada dalam penjara mengeluarkan yang dikenal dengan istilah al-mubadarah liwaqfil unfi tahun 1997, bisa dimaknai sebagai proposal penghentian aksi kekerasan.

Pada tahap awal, proposal tersebut dijadikan komitmen sekaligus maklumat deradikalisasi oleh JI Mesir. Tahun 1999, JI Mesir mengeluarkan maklumat kedua untuk memperkuat maklumat pertama tahun 1997. Selanjutnya proposal dijadikan buku utuh.

Ada lima buku yang diterbitkan JI Mesir terkait dengan pembongkaran ulang atas sejumlah ajaran yang kerap disalahpahami oleh para teroris. Buku-buku itu adalah Al-Mubadarah Liwaqfil Unfi (Maklumat Deradikalisasi), Hurmatul Ghuluw fi Ad-din wa Takfiril Muslimin (Pengharaman Radikalisme Keagamaan dan Pengafiran Sesama Umat Islam), Tasliythul Adhwa` �Ala ma Waqa�a fi Al-Jihad min Akhta` (Mengungkap Kesalahan dalam Memahami Jihad), An-Nushuh wa At-Tabyin fi Tashihi Mafahimi Al-Muhtasibin (Nasihat Deradikalisasi dalam Penegakan Amar Makruf dan Nahi Mungkar), serta Iydlahul Jawab �an Su`alati Ahli Al-Kitab (Jawaban atas Pernyataan tentang Agama-agama Samawi).

Semua buku di atas membawa satu semangat, yaitu membongkar ulang pemahaman atas sejumlah doktrin keagamaan yang kerap dijadikan pembenaran aksi kekerasan dan terorisme. Semua buku di atas ditulis tokoh-tokoh utama JI Mesir yang memiliki otoritas keilmuan.

Adalah benar bahwa aksi terorisme masih terjadi di Mesir pasca-pertobatan JI Mesir. Namun, setidaknya ancaman terorisme di Mesir relatif lebih ringan. Bahkan, JI Mesir saat ini menjadi salah satu kekuatan utama di barisan terdepan untuk melawan jaringan terorisme, mulai dari jaringan terorisme lokal di Mesir hingga jaringan terorisme global yang pernah dikomandani Osama bin Laden.

Tiga kekuatan

Setidaknya ada tiga kekuatan yang membuat deradikalisasi berbasis ideologi di Mesir berjalan efektif. Pertama, deradikalisasi menyentuh aspek doktrin keagamaan. Para tokoh JI Mesir memahami, sejumlah ajaran keagamaan telah disalahpahami oleh kelompok teroris-anarkis dan menjadi �pegangan� mereka dalam menjalankan aksi berdarah tanpa merasa bersalah. Dalam konteks ini, deradikalisasi berbasis ideologi berhasil menghancurkan kekuatan utama kelompok teroris-anarkis.

Kedua, deradikalisasi mempunyai kekuatan struktural, khususnya di internal JI Mesir. Ini mengingat deradikalisasi diprakarsai dan dilakukan oleh tokoh-tokoh spiritual JI, seperti Sheikh Najih Ibrahim Abdullah, Sheikh Ali Syarif, dan Sheikh Usamah Ibrahim Hafiz.

Deradikalisasi berjalan efektif karena melibatkan orang-orang yang menempati posisi puncak dalam struktur organisasi JI Mesir. Kekuatan struktural inilah yang mampu membawa gerbong JI Mesir untuk berjalan konsisten dengan isi maklumat deradikalisasi.

Ketiga, otoritas ilmu keislaman. Sheikh Najih Ibrahim Abdullah, Sheikh Ali Syarif, Sheikh Usamah Ibrahim Hafiz, dan lainnya disegani karena mereka adalah tokoh dengan ilmu keislaman mumpuni, baik di internal JI maupun dalam konteks publik Mesir secara umum.

Kekuatan inilah yang mampu membuat publik Mesir, khususnya internal JI, percaya terhadap yang disampaikan oleh para tokohnya. Bahwa yang mereka lakukan telah sesuai dengan Al Quran dan Hadis sebagaimana dipahami dan dijalankan oleh generasi Islam awal. Bahwa apa yang mereka lakukan semata-mata demi kemaslahatan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Bahwa yang mereka lakukan tidak semata-mata demi keuntungan duniawi.

Konteks Indonesia

Inilah yang tidak terjadi dengan program deradikalisasi di Indonesia. Adalah benar ada sebagian mantan teroris di Indonesia yang mencoba melakukan peran deradikalisasi seperti Nasir Abbas dan kawan-kawan. Namun, upaya ini tidak maksimal.

Di satu sisi, Nasir Abbas dan kawan-kawan tidak sempat menempati posisi yang sangat strategis dalam jaringan terorisme di Indonesia.

Di sisi lain, mereka juga dianggap tidak mempunyai otoritas ilmu keislaman untuk membongkar ulang sejumlah ajaran yang disalahpahami kaum teroris. Akibatnya, para mantan teroris di Indonesia pun gagal menarik gerbong terorisme untuk melakukan �pertobatan massal� seperti yang terjadi di Mesir.

Adalah benar bahwa selama ini ada beberapa tokoh dan ulama yang mencoba membongkar ulang sejumlah ajaran keagamaan yang disalahpahami tersebut. Hal ini terlihat jelas dari pernyataan para ulama dari ormas-ormas besar di Indonesia (seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah) yang mengecam tindakan para teroris.

Namun, upaya pelurusan paham keagamaan itu juga tidak menimbulkan dampak yang efektif di kalangan para teroris. Bukan semata-mata karena para ulama tersebut diragukan otoritas ilmu keislamannya, melainkan karena mereka tidak berasal dari �tokoh-tokoh teroris� dengan posisi struktural yang sangat strategis.

Hasibullah Satrawi Alumnus Al-Azhar, Kairo

Selasa, 11 Oktober 2011

Generasi Lupa Sejarah

Sarlito Wirawan Sarwono

Dalam siaran dari salah satu stasiun televisi, John Pantau pernah mewawancarai beberapa anggota DPR di Senayan. John Pantau adalah tokoh jahil yang sudah mengajukan berbagai pertanyaan ke beragam anggota masyarakat.

Pertanyaannya gampang sekali buat anak SD, tetapi tidak terjawab oleh anggota-anggota DPR yang terhormat itu. Lupa, barangkali. Terus dilanjutkan menyanyi �Indonesia Raya�. Mula-mula semangat, tetapi di tengah-tengah mereka lupa lagi.

Saya menonton adegan itu sudah agak lama, tetapi teringat kembali menjelang Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2011 ini. Saya jadi teringat juga pada pidato Bung Karno tanggal 17 Agustus 1966 yang berjudul Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah).
Ketika itu hampir setahun pasca-peristiwa G30S. Kondisi perekonomian dan politik Indonesia morat-marit. Kata anak sekarang: �Galau!�

Namun, Jas Merah menyambungkan kembali sejarah yang hampir putus dari era Orde Lama dengan Orde Baru. Akhirnya, walaupun nasib Soekarno kurang baik, bangsa dan negara Indonesia berlanjut. NKRI tetap utuh bersatu di bawah Pancasila dan UUD 1945. Bahkan pernah diperhitungkan sebagai salah satu �macan Asia� dalam ekonomi.

Orde Baru ke Reformasi

Lain halnya dengan peralihan dari era Orde Baru ke Reformasi. Elite politik generasi Reformasi tampaknya tidak suka pada sejarah. Tidak mau menengok pada sejarah. Dengan kata lain: mereka asejarah.

Semua yang berbau Orde Baru ditinggalkan, termasuk ajaran-ajarannya. UUD 1945 pun diamandemen sampai dua kali. Maka saya tidak heran mengapa sampai ada anggota-anggota DPR yang tidak hafal Pancasila dan �Indonesia Raya�. Mungkin buat mereka itu tidak penting.

Namun, gejala asejarah ini bukan khas Indonesia. Seluruh dunia sekarang ingin sesuatu yang baru. Tinggalkan semua masa lalu yang kelam. Unjuk rasa, perang, teror, revolusi di mana-mana. Setelah reformasi Indonesia, Timur Tengah menyusul, Eropa Barat, bahkan sekarang Amerika Serikat. Ribuan orang berdemo ke Wall Street di New York dan baku pukul dengan polisi. Suatu pemandangan yang pada tahun 1998-1999 biasa kita saksikan di sekitar Semanggi, Bundaran Hotel Indonesia, dan Cendana (sekarang sudah menyebar ke daerah-daerah juga).

Semua mau baru. Malah Pemerintah Indonesia yang baru (Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono) sudah dituntut untuk diganti lagi. Padahal, menurut konstitusi yang juga masih baru, presiden dipilih langsung lima tahun sekali. Hanya gara-gara presiden kurang tegas, kurang cepat, dan dinilai salah menyusun kabinet baru, dia harus turun, walau dengan cara yang inkonstitusional.

Terus yang baru itu seperti apa? Soeharto masih bisa menjaga kesinambungan dengan menyerahkan kekuasaan kepada Wapres BJ Habibie. Sekarang? Boediono juga diminta turun dalam satu paket dengan SBY. Jadi bagaimana? Saya yakin kalau pertanyaan ini disampaikan kepada yang sekarang ribut-ribut minta SBY-Boediono mundur, jawabannya akan simpang siur, alias tidak ada jawaban.

Tidak punya jawaban, tidak dipikir dulu, pokoknya asal baru. Inilah yang jadi tren generasi sekarang. Kalau ada ponsel baru, pokoknya harus punya! Yang lama diganti sama yang baru. Tidak perlu dipikir apakah yang lama masih bisa dipakai dan untuk beli baru duitnya dari mana.

Mau serba gampang

Generasi sekarang, karena kemajuan teknologi yang begitu pesat, berpikir bahwa semua bisa dilakukan dengan gampang, Nyaris tanpa usaha, seperti membalik telapak tangan. Karena itu, setiap ada pergantian pejabat, langsung ada ultimatum: 100 hari. Artinya, kalau tidak bisa membereskan semua masalah dalam 100 hari, kamu mundur saja lagi!

Saya jadi bertanya-tanya, dengan generasi yang sekarang (bukan hanya generasi muda, melainkan juga semua yang hidup pada masa ini), yang cuma mau melihat ke depan dan tidak mau melihat sejarah, apakah Sumpah Pemuda masih punya makna untuk keabadian NKRI?

Tanpa mengingat sejarah, bagaimana kita mempertahankan NKRI dalam kasus Abepura atau NII atau sengketa perbatasan dengan Malaysia?

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikolog Sosial Universitas Indonesia