Jumat, 31 Januari 2014

�3 Ton Emas�

Budiarto Shambazy

SUNGGUH mencengangkan tiba-tiba muncul inisiatif, entah dari siapa, agar APBN membiayai honor saksi partai politik saat pencoblosan di tempat pemungutan suara pada Pemilu 2014. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, yakni Rp 700 miliar.

Jika dihitung ada 12 saksi di setiap tempat pemungutan suara (TPS) yang mewakili partai politik (parpol) peserta pemilu, yang dibayar Rp 100.000, biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 660 miliar untuk saksi di sekitar setengah juta TPS. Lalu dengan enaknya disebutkan, jumlah anggaran itu �dibulatkan� saja menjadi Rp 700 miliar.

Seolah-olah dana puluhan miliar kecil bisa �dibulatkan� dan tak perlu dipersoalkan penggunaannya. Dan, inisiatif konyol itu muncul saat rakyat mengalami bencana di mana-mana.

Lebih konyol lagi, sampai kini belum ada yang mengetahui siapa gerangan yang mengusulkan anggaran saksi parpol tersebut. Terdapat kesan, pihak pemerintah/kementerian, Bawaslu, dan DPR/parpol malah saling membantah.

Jadi, Anda bisa membayangkan, di TPS nanti total ada 14 saksi/mitra, terdiri dari 12 saksi parpol dan 2 lagi mitra dari Bawaslu. Tugas mereka jelas, mengawasi pencoblosan, penghitungan suara, sampai pengesahan formulir C1 di TPS.

Pembiayaan mitra yang ditugaskan Bawaslu tidak ada persoalan karena anggarannya telah disepakati pemerintah dan DPR. Tinggal bagaimana Bawaslu merekrut minimal sejuta mitra untuk semua TPS dengan honor Rp 100.000 per orang.

Jika fungsi Bawaslu diperkuat mitra, itu sama sekali bukanlah masalah. Apalagi, Bawaslu memang memiliki daya paksa untuk setidaknya memeriksa keabsahan hasil pemilu/pilpres di TPS, kalau memang diduga terjadi pelanggaran.

Akan tetapi, akan menjadi lain jika saksi parpol harus dibiayai negara. Sebelum ini saksi dikerahkan parpol, yang mungkin berasal dari partainya sendiri ataupun relawan-relawati.

Di mana pun di dunia ini, tak ada saksi parpol yang dibayar negara. Salah satu tugas mulia saksi, seperti saksi nikah atau saksi di pengadilan, pada dasarnya bersifat kesukarelaan.

Juga menjadi preseden buruk jika parpol diberikan kenyamanan berupa pendanaan untuk saksi di TPS. Semestinya merekalah yang bertanggung jawab tidak hanya menyediakan saksi, tetapi juga pembiayaannya�jika memang diperlukan.

Mungkin kita sering mendengar keluhan parpol yang sukar merekrut saksi karena ketiadaan sumber daya manusia (SDM). Ini dalih kurang masuk akal karena sejatinya parpol idealnya berbasiskan SDM yang dapat dimobilisasi dalam skala masif.

Ada juga keluhan mereka kekurangan biaya untuk merekrut saksi. Di sisi lain, mereka toh mampu menghamburkan dana besar untuk pasang iklan di media massa, baliho, spanduk, atau membuat aneka aksesori untuk kampanye.

Dan, kita tahu, kredibilitas pemilu-pilpres yang luber dan jurdil tidak semata-mata tergantung dari saksi. Pencoblosan sampai pengesahan formulir C1 cuma salah satu tahap, masih banyak lagi tahap sebelum dan setelah itu yang rawan dicurangi.

Misalnya tahap mobilisasi saat kampanye, yang antara lain berbentuk politik uang atau intimidasi. Juga ada lagi tahap pasca-pencoblosan, yakni tahap manipulasi, yang melibatkan manipulasi teknologi informasi penghitungan suara.

Kalau dalam bahasa Sunda, gagasan saksi parpol yang dibayari negara ini aya-aya wa�. Kita juga sempat dikejutkan oleh gagasan konyol beberapa waktu lalu, yakni pelibatan Lembaga Sandi Negara dalam pengamanan data hasil pemilu/pilpres.

Suka atau tidak, kekonyolan demi kekonyolan ini menimbulkan syak wasangka. Sepertinya selalu saja ada pihak-pihak yang siap menghalalkan segala cara untuk menang.

Memang betul pemilu/pilpres memerlukan biaya yang ekstrabesar, tetapi bukan berarti kita harus jorjoran. Pemilu/pilpres yang luber dan jurdil tidak semata-mata dihasilkan dana raksasa, tetapi juga oleh pemaknaan lebih mendalam lagi bagi pemilih mengenai hakikat demokrasi.

Saya heran, misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan target 75 persen pemilih akan menggunakan hak suara. KPU, sebagai penyelenggara, seperti salesman penjual barang.

Contoh lain, mengapa ngotot penyelenggaraan pemilu/pilpres diselenggarakan pada �tanggal keramat�, yakni 9 April, 9 Juli, dan 9 September? Pemaknaan sejenis inilah yang memperlihatkan KPU memandang demokrasi secara prosedural saja.

Apalagi kini berkembang budaya �wani piro�. Telah terungkap hasil pilkada yang disengketakan di Mahkamah Konstitusi (MK), ternyata bisa diatur dengan, menurut eks Ketua MK Akil Mochtar, �3 ton emas� (Rp 3 miliar).

Demi Kesetaraan dan Keyakinan

Sukidi

Pada 30 Januari 2014, Todung Mulya Lubis, selaku ketua dewan pengurus dan pendiri Yayasan Yap Thiam Hien, menganugerahkan penghargaan Yap Thiam Hien kepada Profesor M Dawam Rahardjo. Anugerah itu tak lepas dari konsistensi Dawam dalam memperjuangkan kesetaraan di Indonesia.

Di tengah bahaya diskriminasi, intoleransi, dan persekusi keyakinan, saya berargumen bahwa kesetaraan yang diperjuangkan oleh Dawam bukan sekadar meneladani spirit hidup Yap Thiam Hien. Apa yang diperjuangkan Dawam juga memberikan kontribusi signifikan terhadap tegaknya kebinekaan Indonesia.

Bukan demi toleransi

Kesetaraan menjadi harapan ideal di kalangan minoritas. Yap Thiam Hien sendiri menempuh kehidupannya sebagai minoritas, yang berasal dari suku Aceh, beretnik Tionghoa, dan beragama Protestan. Karena itu, pembelaan hak-hak minoritas sudah menjadi kesadaran yang intrinsik dalam kehidupan Yap.

Menurut sahabat karibnya, Daniel S Lev, dalam In Memoriam: Yap Thiam Hien, 1913-1989 (Indonesia, 1989), Yap berpandangan bahwa pembelaan hak-hak minoritas hanya menjadi logis sekiranya diletakkan sebagai bagian dari perjuangan untuk hak-hak semua warga negara. Yap melebur dikotomi mayoritas-minoritas ke dalam nomenklatur ke-�kita�-an, yang merefleksikan perjuangan bersama demi kesetaraan tiap warga negara Indonesia.

Dalam konteks keagamaan, prinsip kesetaraan inilah yang menggerakkan perjuangan Dawam akhir-akhir ini. Dawam berjuang bukan demi toleransi karena toleransi tak lebih dari sekadar konsesi, yang datang dari negara�dan terutama dari mayoritas�agar menahan diri dari intoleransi dan menunjukkan toleransi kepada minoritas yang mengalami persekusi keyakinan.

Dengan demikian, toleransi menjadi pilihan yang jauh dari ideal sebagai pilar masyarakat yang plural. Bahkan, menurut Profesor Diana L Eck di Universitas Harvard, AS, toleransi terlalu rapuh sebagai fondasi suatu masyarakat yang semakin plural. Apalagi toleransi tidak mensyaratkan setiap warga negara untuk mengenal satu sama lain secara aktif (Eck, 2001: 10). Dan, lebih penting dari itu, juga tidak secara setara.

Dengan kerangka ini, saya tidak pernah membayangkan Dawam seperti John Locke (1632-1704) yang berjuang demi toleransi di tengah suasana intoleransi dan persekusi berdarah-darah di Inggris. Dalam pengantar risalahnya, Epistola de Tolerantia (1685), tertuliskan frasa ini: �kebebasan yang mutlak, kebebasan yang adil dan benar, kebebasan yang setara dan imparsial, adalah sesuatu yang perlu kita pertahankan�.

Frasa dalam pengantar risalah ini sering kali ditafsirkan sebagai ide Locke untuk menjustifikasi posisinya dalam memperjuangkan kebebasan berkeyakinan yang setara dan mutlak. Padahal, penulis otentik dalam pengantar risalah ini adalah William Popple (1638-1708), sahabat dekat Locke, yang menerjemahkan risalahnya dari bahasa Latin, Epistola de Tolerantia, ke bahasa Inggris, A Letter Concerning Toleration (1689). Sementara Popple memperjuangkan hak kebebasan berkeyakinan yang setara dan mutlak, Locke hanya memperjuangkan toleransi untuk mereka yang tidak memperoleh kebebasan agama dan sipil hanya karena perbedaan pendapat dengan gereja Anglikan.

Perjuangan Locke demi toleransi menjadi terbatas, terutama terbukti pada sikap Locke yang tidak memberikan toleransi: pertama, untuk Ateis karena penolakannya kepada Tuhan; kedua, untuk Katolik karena kesetiaan dan kepatuhan utamanya ditujukan kepada Paus yang mengesampingkan kewajiban mereka kepada negara sipil; dan, ketiga, untuk Muslim karena mempertautkan keyakinan Islam dengan kepatuhan politik kepada mufti Konstantinopel di Turki.

Kesetaraan dalam keyakinan

Dengan analogi toleransi Locke, Dawam Rahardjo berjuang bukan demi toleransi, tetapi demi kesetaraan. �Terpilihnya Dawam,� menurut pembaharu muslimah Musdah Mulia�salah satu juri penghargaan Yap Thiam Hien��untuk mengingatkan masih perlunya perjuangan kesetaraan di Indonesia� (Kompas, 10 Desember 2013).

Di usia tuanya, Dawam terpanggil untuk memperjuangkan kesetaraan tiap warga negara, terutama dalam hak kebebasan untuk menganut keyakinan yang sesuai kehendak nuraninya�atau sesuai �kapabilitas internal,� menurut Martha Nussbaum (2007). Secara teologis, keyakinan yang dianut tiap warga negara merupakan hak yang diberikan secara setara oleh Tuhan. Karena keyakinan berasal dari hak yang diberikan oleh Tuhan (God-given liberty of conscience), maka keyakinan harus diletakkan pada lokus yang personal antara tiap warga negara dan Tuhannya.

Konsekuensinya, Dawam membela prinsip kebebasan yang setara kepada setiap warga negara untuk menganut agama dan keyakinan yang sesuai nuraninya, mulai dari Yahudi, Protestan, Katolik, Islam, Hindu, Buddha, Khonghucu, sampai sekte-sekte keyakinan yang plural.

Atas dasar inilah, saya membayangkan Dawam Rahardjo seperti Roger Williams (1603-1704) yang telah memelopori tradisi kebebasan keyakinan yang setara, mutlak, dan komprehensif kepada semua manusia di semua bangsa dan negara, tanpa diperkenankan sedikit pun adanya intervensi eksternal. Sebab, setiap bentuk intervensi eksternal terhadap hubungan internal antara setiap manusia dan Tuhannya adalah pelanggaran hak asasi yang serius terhadap keyakinan.

Inilah yang menjelaskan mengapa Dawam Rahardjo, seperti halnya Roger Williams, berjuang gigih untuk melawan setiap intervensi eksternal�dari otoritas sipil ataupun otoritas agama�terhadap keyakinan yang dianut oleh setiap warga negara.

Yurisdiksi kedua otoritas itu bukanlah terletak pada intervensi keyakinan, tetapi pada perlakuan yang setara kepada setiap warga negara untuk dapat beribadah secara bebas sesuai agama dan keyakinan masing-masing�juga untuk dapat mendirikan tempat ibadah�tanpa ada hambatan apa pun.

Sukidi, Kandidat PhD Studi Agama di Universitas Harvard, AS

Kantor Mereka Tutup

Indra Tranggono

SUDAH lama kantor iblis, di tingkat pusat dan daerah, tutup. Termasuk cabangnya di Indonesia. Para stafnya, setan-setan, menganggur dan hanya main Facebook.

Di singgasananya, sang iblis tampak murung, ditikam frustrasi. �Apa artinya jadi iblis jika tidak mampu lagi menggoda manusia?� desisnya.

Yang paling membuat iblis sedih dan marah: manusia tidak mempan digoda lagi; bukan karena peningkatan kualitas moral dan spiritualnya, melainkan karena mereka telah mencuri dan mengembangkan �ilmu periblis-an�. Misalnya dalam melakukan korupsi  konstitusi dan korupsi materi. Tindakan pencurian itu berlangsung secara smooth, sistemik, softly, tetapi tetap menimbulkan efek kerugian yang signifikan bagi negara dan rakyat.

Sebelum korupsi merebak dahsyat di negeri ini, iblis masih punya pekerjaan menggoda manusia untuk membobol uang negara. Memang lebih banyak kelompok elite kekuasaan yang bisa dipengaruhi sehingga korupsi masih elitis dan belum masif dan populistik seperti saat ini.      

Setelah keran kebebasan terbuka, orang tidak hanya berani beropini, tetapi juga mencuri. Pencurian pun berjalan masif. Celakanya, kata iblis, mereka gemar korupsi tanpa harus digoda. �Di balik kesantunannya, mereka liar dan ganas bagai serigala. Anggaran untuk perbaikan nasib rakyat pun mereka terkam. Aku sampai jijik melihatnya. Aku menangis. Kasihan melihat ratusan juta rakyat Indonesia yang hak-haknya dijarah. Mencuri ya mencuri, tapi mbok ya pakai tepa salira,� ujar iblis, galau.

Iblis pun  memperkirakan masa penganggurannya  di Indonesia akan semakin panjang. Penyebabnya, telah terjadi regenerasi koruptor secara berkelanjutan. Koruptor bukan hanya orang-orang berusia di atas 50 tahun, melainkan juga anak-anak muda yang kini memenuhi dan membanjiri lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, parpol, dan dunia usaha yang dekat dengan kekuasaan. Sama seperti para seniornya, para koruptor muda ini pun imun atas godaan iblis.

Mereka umumnya kaum terdidik yang melek hukum, berbudaya, dan semula diharapkan  jadi pemimpin bangsa. Namun, mereka akhirnya  menemukan takdirnya sendiri: jadi maling karena terserimpung korupsi.

Mereka pun mendapat dukungan moral, politik, dan hukum dari politisi, parpol, birokrat, legislator, penegak hukum, dan pebisnis hitam yang menafsirkan korupsi berdasarkan kepentingannya sendiri, bukan kepentingan warga negara. Bahkan, ada seorang pengacara senior�yang menjadi penasihat hukum seorang tersangka korupsi�bilang: korupsi bukan kejahatan luar biasa. Mendadak ia lupa: korupsi telah membunuh rakyat, merusak peradaban bangsa, dan merusak negara.

Dalam terminologi Daoed Joesoef (2014), mereka yang melakukan korupsi dan pendukung koruptor bukanlah warga negara, melainkan penduduk (penghuni) suatu negara. Mereka menganggap negara ini tak lebih dari �hotel�, tempat mencari kekayaan.

Perlu dibedakan antara penduduk dan warga negara. Penduduk tak ideologis, sedangkan warga negara sangat ideologis. Celakanya, entitas berkarakter penduduk itulah yang selama ini menguasai negara.

Degradasi peradaban

Hilangnya kesadaran sebagai warga negara menjadikan mereka kalap dan kemaruk menggaruk uang. Penjarahan pun terjadi secara fantastis, misalnya di sektor perbankan, pajak, migas, serta APBN dan APBD.

Para penjarah uang negara itu tidak lagi memiliki perasaan satu nasib sepenanggungan terhadap sesama warga negara. Emosi yang mengemuka: nasibku beda dengan nasibmu. Salahmu sendiri kok punya nasib buruk!

Korupsi yang sangat parah jadi indikator atas degradasi peradaban bangsa. Penyelenggaraan negara tidak lagi berbasis etika dan etos�hasil serapan dari ideologi, konstitusi, sistem keyakinan, dan budaya�tetapi lebih didikte materialisme-pragmatisme picik, di mana kapital menjadi panglima kehidupan. Di sini tak pernah terjadi produksi nilai yang mencerahkan, tetapi  reproduksi material-kapital yang mendangkalkan kemanusiaan.

Dalam konteks ini, kebenaran, kepastian hukum, dan keadilan dipahami sebagai narasi-narasi dongeng masa silam, yang hanya diwacanakan dalam berbagai upacara sosial-politik (sidang eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pertunjukan debat kaum intelektual). Para pelaku upacara merasa, problem negeri ini otomatis teratasi ketika berbagai wacana diperdebatkan.

Iblis tersenyum pahit melihat berbagai dekadensi di negeri ini. Munculah setan yang mencoba menghibur iblis. Dikatakan, masih ada divisi periblisan yang buka, yaitu divisi perselingkuhan, divisi pembunuhan, divisi pelacuran baik pelacuran intelektual maupun badaniah, divisi perkosaan, divisi narkoba, dan divisi  minuman keras terutama versi oplosan.

Mendengar ucapan itu,  iblis justru bertambah marah. Tanduknya tumbuh memanjang. Matanya menatap tajam. �Kamu ini setan staf  baru, ya? Kamu mesti tahu, semua divisi yang kamu sebut tadi  sudah lama tutup!� bentak iblis. Ia pun semakin meradang ketika mendengar gema tawa para koruptor berasal dari Indonesia.

Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan

Bonus Demografi Berlanjut

Sri Moertiningsig Adioetomo

PROYEKSI penduduk Indonesia 2010-2035 yang diresmikan Presiden 29 Januari 2014 memperlihatkan bahwa bonus demografi berlanjut, jendela peluang melebar 2020-2035, dan angka ketergantungan 47 per 100 pekerja.

Hal yang meleset adalah momentum terbukanya jendela peluang (Kompas, 16 Januari 2014). Menjelaskannya tidak cukup hanya dari hasil regresi, tetapi juga harus mendalami perubahan perilaku melahirkan dan perubahan pola kematian. Mari kita memanusiakan angka.

Indonesia menikmati bonus demografi sebagai dampak keberhasilan program KB dan peningkatan upaya kesehatan dengan menurunnya angka kelahiran (TFR) dan meningkatnya usia harapan hidup. Di sini terjadi peningkatan tajam proporsi penduduk usia produktif. Transisi demografi ini menyumbang 30 persen keajaiban ekonomi Asia Timur, termasuk Indonesia (Bloom dkk, 2003).

Dikaitkan dengan stabilnya pertumbuhan ekonomi, Indonesia menghasilkan kelas menengah cukup besar sehingga berhasil mengatasi tantangan krisis keuangan global 2008 yang antara lain karena besarnya konsumsi domestik. Dibandingkan jumlah anak banyak masa lalu, keluarga dengan jumlah anak dua atau tiga menikmati kehidupan yang lebih berkualitas.

Menikmati jendela peluang

Namun, ekspektasi TFR 2.01 dan angka ketergantungan 44 orang per 100 pekerja tahun 2020 tidak terpenuhi (proyeksi PBB versi 2002). Proyeksi dengan simulasi jika tren penurunan fertilitas masa lalu berlanjut tanpa memperhitungkan kondisi program KB yang jalannya business as usual  mengakibatkan jendela peluang hanya terbuka lima tahun, 2020-2025. Dampak diserahkannya program KB ke daerah tahun 2004 baru kelihatan di Sensus 2010, TFR meningkat dari 2.3 menjadi 2.4. Dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, TFR menjadi 2.6 anak per wanita.

Proyeksi penduduk yang baru saja diresmikan memperhitungkan kenaikan fertilitas dan mengingat perilaku pasangan usia subur 15-24 tahun yang pada saat program KB gencar-gencarnya dilaksanakan masih kecil atau belum lahir. Jadi, belum mengerti pentingnya perencanaan keluarga. Selain itu, penurunan angka kematian bayi (AKB) juga makin sulit dilaksanakan karena kemiskinan.

Melalui rembuk berkali-kali antarsektor terkait, terutama masukan para pakar demografi, akhirnya disepakati bahwa skenario terbaik TFR 2.1 dan NRR 1.0 (penduduk tumbuh seimbang) dicapai tahun 2025 dan jendela peluang melebar menjadi 2020-2035 dengan angka ketergantungan stabil pada 47 per 100 pekerja. Agak konservatif memang.

Bonus akan berakhir?

Perkiraan berakhirnya bonus demografi atau menutupnya jendela peluang tahun 2035 ditandai dengan meningkatnya penduduk lansia dan angka ketergantungan. Para ahli ekonomi kependudukan membuktikan bahwa meningkatnya penduduk lansia lebih disebabkan oleh kecepatan penurunan fertilitas ketimbang peningkatan usia harapan hidup (HelpAge Internasional, 2013).

Karena itu, banyak usulan: kalau begitu diundurkan saja peningkatan penduduk lansia agar beban keuangan negara untuk perlindungan sosial lansia terkurangi. Namun, ini berarti fertilitas dibiarkan meningkat yang tentunya tak dikehendaki karena memicu kemiskinan (Birdsall and Sinding, 2001). Lagi pula, naiknya fertilitas akan sangat membebani keuangan negara (meningkatkan investasi tumbuh kembang anak, meskipun penting, selain pemenuhan kebutuhan lainnya yang tak produktif).

Upaya pencapaian penduduk tumbuh seimbang, yaitu menyeimbangkan proporsi anak, proporsi usia kerja, dan proporsi lansia�serta mempertimbangkan dampaknya pada kemampuan keuangan negara�perlu kebijakan menyeluruh yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Sarannya adalah tetap meneruskan upaya penurunan fertilitas dibarengi sosialisasi kaum muda dan fasilitasi pemerintah agar kelak tercipta lansia yang aktif, berproduksi, dan mampu membayar iuran jaminan sosial nasional. Jumlah penerima bayaran iuran (PBI) pun akan berkurang.

Harus dimanfaatkan

Perubahan struktur umur penduduk tak otomatis memicu pertumbuhan ekonomi. Bonus demografi dapat terus dinikmati melalui harmonisasi kebijakan mengacu satu tujuan: menurunnya laju pertumbuhan penduduk dan meningkatnya produktivitas pekerja Indonesia. Ini dicapai melalui revitalisasi program KB, menyiapkan pekerja sehat dan produktif melalui kecukupan pangan dan gizi, serta perawatan penyehatan preventif sejak dini.

Saat bersamaan dibarengi upaya peningkatan pendidikan berkualitas karena keterampilan kognitif terbukti lebih berperan dalam memicu pertumbuhan ekonomi (Hanushek dan Woesmann, 2008). Penting juga menggalakkan dan memperluas pelatihan keterampilan masa transisi dari sekolah menuju dunia kerja dan mengurangi skill gap dan mismatch di pasar kerja. Agar pekerja ini terserap di dunia kerja, kebijakan ekonomi dan penciptaan iklim investasi yang kondusif terhadap perluasan kesempatan kerja sangat diperlukan.

Transformasi struktural yang berfokus pada penciptaan kesempatan kerja akan menyerap tenaga kerja yang makin berkompeten. Hal ini memerlukan tata pemerintahan yang baik dan benar. Cita-cita ini hendaknya jadi desain akbar pembangunan berwawasan kependudukan yang pada akhirnya Indonesia akan terhindar dari jebakan kelas menengah yang kini menjadi isu mengemuka.

Sri Moertiningsig Adioetomo, Guru Besar Ekonomi Kependudukan FEUI; Ketua Program Kependudukan dan Ketenagakerjaan Sekolah Pascasarjana UI

Media dan Iklan Politik

Fajar Kurnianto

JADWAL kampanye pemilu belum masuk, tetapi iklan-iklan partai-partai politik sudah bermunculan di pelbagai media, terutama di televisi. Para pengiklan politik itu berdalih tidak ada ketentuan yang dilanggar karena tidak ada unsur-unsur kampanye di dalamnya.

Media memang memiliki kemampuan untuk memengaruhi opini publik dan perilaku masyarakat (Klapper, 1960). Media dianggap memiliki peran yang sangat penting dalam mentransmisi (relaying) dan menstimulasi permasalahan politik (Negrine, 1996).

Hal ini menjadi sangat penting dalam kampanye politik (Deacon & Monk, 2002). Cakupan yang luas dalam masyarakat  membuat media massa dianggap sebagai salah satu cara yang sangat efektif dalam upaya mengomunikasikan program kerja.

Televisi dan internet

 Dalam konteks ini, pemilik media yang berafiliasi ke politik tentu saja menjadi pihak yang paling diuntungkan. Ia bisa saja mengiklankan partai politiknya lebih intensif daripada partai-partai lainnya dengan biaya yang sangat kecil, malah mungkin tidak berbiaya sama sekali. Berbeda dengan partai-partai lain yang harus merogoh kocek cukup besar untuk beriklan.

Hal lainnya, ini menyangkut independensi media itu sendiri. Media semestinya independen dari unsur atau pengaruh politik atau tekanan pihak mana pun sehingga publik benar-benar mendapatkan manfaat dari keberadaan media.

Namun, memang, media dan politik saat ini ibarat �sepasang pengantin�. Politik perlu media sebagai salah satu bagian penting pemasaran politiknya. Di sisi lain, media juga dapat mengambil banyak sekali keuntungan secara bisnis dari politik, terutama di masa-masa perhelatan akbar demokrasi tahun ini.

Melalui media, partai-partai politik mencoba memengaruhi opini publik dan perilaku masyarakat. Publik disuguhi gambaran partai-partai politik yang peduli bangsa dan nasib mereka dengan narasi iklan yang memikat dan mencuri perhatian.

Media, terutama televisi, menjadi sarana paling efektif dibandingkan�misalnya�dengan media cetak seperti koran atau majalah karena cakupannya yang lebih luas. Dibandingkan dengan para pengakses koran atau majalah, para pengakses televisi jauh lebih banyak.

Dari pusat perkotaan hingga pelosok pedesaan hampir dapat ditemukan pesawat televisi. Lain halnya dengan koran atau majalah. Masih rendahnya budaya literasi masyarakat kita juga ikut menciptakan kondisi seperti ini. Masyarakat cenderung lebih pragmatis dan menyukai gambaran audio visual dibandingkan dengan bacaan teks.

Bahkan, masyarakat perkotaan sendiri, seperti Jakarta, meski sudah dijejali media-media cetak yang dengan sangat mudah diakses, durasi menonton televisi jauh lebih lama daripada membaca koran atau majalah. Tidak mengherankan jika muncul banyak kekhawatiran soal masa depan media cetak.

Apalagi, di samping televisi, ada media internet yang�terutama�bagi masyarakat perkotaan sudah begitu mudah diakses di genggaman tangannya, di gadget atau telepon seluler mereka. Portal-portal berita juga menyuguhkan berita lebih cepat daripada media cetak yang harus menunggu esok hari untuk meng-update berita.

Namun, jika dibandingkan dengan televisi, jangkauan internet masih belum sejauh televisi meski sebetulnya pengaruh internet jauh lebih besar daripada pengaruh televisi.

Schudson (2004), misalnya, menunjukkan kaitan erat antara demokrasi dan internet. Internet sebagai media komunikasi dan pertukaran informasi berpeluang merevolusi sistem, struktur, dan proses demokrasi yang selama ini kita kenal. Winston (2004) menyatakan, munculnya istilah digital democracy  atau virtual democracy akhir-akhir ini menggambarkan bagaimana kehidupan demokrasi berlangsung di dunia internet. Isu tentang emansipasi, keterbukaan, dan kebebasan dapat dengan mudah ditransfer melalui internet.

Etika politik

Di Indonesia, jangkauan internet masih kalah dibandingkan dengan jangkauan televisi. Maka, mudah dimengerti jika kemudian televisi menjadi pilihan utama strategi pemasaran partai-partai politik. Biaya iklan politik di televisi selalu lebih banyak daripada di media-media lain.

Belanja iklan di televisi selalu menjadi yang terbesar. Apalagi jika mengingat saat ini sudah tidak lagi efektif kampanye melalui pengerahan massa. Kampanye pengerahan massa hanya efektif ketika belum banyak media seperti saat ini. Dengan iklan di televisi, dalam durasi pendek, pesan partai politik tersampaikan dengan baik secara audio visual dalam sekejap dan, bersamaan, diketahui publik.

Pada akhirnya, politik berupaya sedekat dan seerat mungkin menjalin hubungan dengan media televisi. Wiranto dari Partai Hanura, misalnya, menggandeng Hary Tanoesoedibjo, pemilik MNC Grup yang membawahi televisi MNCTV, RCTI, dan Global TV, serta media-media cetak dan portal di dalamnya. Demikian pula Partai Nasdem. Bahkan, pendirinya, Surya Paloh, adalah pemilik MetroTV serta sejumlah media cetak dan portal di bawahnya. Partai Golkar juga begitu mengingat Aburizal Bakrie adalah pemilik Viva Grup yang di dalamnya ada ANTV dan TVOne serta portal-portal beritanya.

Para kandidat yang diusung partai dan kebetulan adalah pemilik media akan lebih intens beriklan, tidak hanya tokoh, tetapi juga partai politiknya. Iklan politik hakikatnya adalah kampanye karena isinya mendorong dan membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan.

Dalam konteks ini, materi iklannya adalah tokoh dan partai politik beserta program-programnya. Meski tidak secara tersurat mengajak, secara tersirat iklan politik seperti ini adalah kampanye.

Fajar Kurnianto, Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Rabu, 29 Januari 2014

Presiden dan Orang Miskin

Adji Suradji

WAJAH semringah para tokoh calon presiden 2014 yang tergambar di halaman pertama harian ini (8/1) membuat hati berbunga-bunga. Namun, ketika membaca Tajuk Rencana di halaman berikutnya, �Jumlah Orang Miskin Bertambah�, kesedihan menyerang.

Apakah presiden Republik Indonesia sekarang�dan yang akan datang�betul-betul berniat memberantas kemiskinan?

Ada yang perlu dicermati. Guru terbaik mengentaskan dari kemiskinan adalah orang miskin itu sendiri. Artinya, untuk mengentaskan dari kemiskinan tidak bisa dilakukan hanya dari balik kaca jendela gedung-gedung mewah dan Istana Presiden.

Kemiskinan tercipta oleh struktur, kebijakan pemerintah, dan sistem dalam masyarakat. Dalam pengentasan dari kemiskinan, yang diperlukan bukan program �dahsyat� yang didukung dana atau dianggarkan dari APBN (APBD), melainkan lingkungan yang mampu melahirkan kreativitas rakyat miskin bisa berkembang.

Di dunia ini pernah lahir pahlawan-pahlawan kemanusiaan, di antaranya Pierre Tritz (Yayasan ERDA, Filipina), Bunda Teresa (Ordo Missionaries of Charity, India), dan Muhammad Yunus (Grameen Bank, Banglades). Dengan prinsip kerja tanpa pamrih, mengedepankan pendekatan cinta kasih, dan perjuangan heroik, mereka ikut mencerdaskan bangsa dan mengentaskan dari kemiskinan�tanpa program dan anggaran �sepeser pun� dari pemerintah.

Semua orang miskin di Indonesia, yang tercatat per September 2013 sebanyak 28,55 juta orang, selalu memimpikan setiap presiden akan berusaha meningkatkan kualitas hidup mereka. Kualitas hidup diukur dari tiga kriteria. Pertama, derajat dipenuhinya kebutuhan untuk hidup sebagai makhluk hayati. Kedua, derajat dipenuhinya kebutuhan hidup yang manusiawi. Ketiga, derajat kebebasan untuk memilih, termasuk kebebasan memilih agama dan pendidikan.

Miskin bukan pilihan

Juli 2014 dilaksanakan pemilu presiden (pilpres) lagi. Namun, entah, apakah nama orang miskin juga ada dalam daftar pemilih tetap yang amburadul itu?

Kepemimpinan seorang presiden dianggap berhasil apabila ia mampu meninggalkan warisan yang bisa menginspirasi sekaligus memberikan dorongan energi positif kepada rakyat, terutama rakyat miskin, untuk bisa meningkatkan kehidupan lebih baik. Fenomena ini sekaligus menjelaskan betapa kualitas, kredibilitas, dan integritas seorang presiden menjadi yang utama.

Rakyat miskin adalah cermin negara yang paling buruk. Sebab, dalam teori dasar demokrasi, keberhasilan pembangunan ekonomi dan politik diukur dari sejauh mana tingkat kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial tercipta.

Setidaknya ini yang pertama harus diketahui para kandidat presiden. Korelasinya dengan Pilpres Juli 2014, yang diimpikan orang miskin tampilnya sosok presiden�siapa pun dia�yang bertipologi sebagai pemimpin bangsa. Pemimpin yang memiliki empati dan bisa memandang kemiskinan rakyatnya sebagai bentuk ketidakadilan: ekonomi, hukum, kesehatan, dan keamanan.

Tak ada orang yang bercita-cita jadi miskin. Tetapi, yang bercita-cita jadi presiden banyak. Jika capres punya strategi dengan alokasi dana puluhan hingga ratusan miliar demi menaikkan elektabilitas, orang miskin juga punya strategi meski itu sebatas untuk mencari makan, sekadar memenuhi kebutuhan dasar hidup.

Orang tidak dihargai dan dianggap tidak punya harga diri selama hidup terjepit kemiskinan (Muhammad Yunus). Dan, Tuhan tak pernah bertanya apakah orang miskin Indonesia mau menerima hidupnya? Hidup bukan pilihan. Satu-satunya yang bisa dipilih dalam kehidupan adalah bagaimana menjalaninya (Henry Ward Beecher, 1813-1887).

Kehidupan orang miskin ibarat burung. Semoga para capres 2014 lebih berempati kepada orang-orang miskin di Indonesia.

Adji Suradji, Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan

Demografi Politik Pemilu 2014

Ribut Lupiyanto

SETIAP menjelang pemilu, daya tawar rakyat kian menguat. Partai politik dan  calon legislator akan berpacu demi memikat dan mengikat dukungan rakyat. Optimalisasi strategi dan pendekatan menjadi kunci agar kampanye berbuah kursi di parlemen.

Suara sebagai ukuran kemenangan pemilu sifatnya kuantitatif. Suara profesor nilainya sama dengan petani. Melihat kenyataan ini, ditambah pemberlakuan sistem suara terbanyak, dapat diprediksi siapa yang mampu mendapat kursi  adalah mereka yang memahami karakter rakyat. Caleg  mesti melek kondisi dan peta demografi politik.

Demografi merupakan bagian studi kependudukan yang mempelajari penduduk terutama mengenai jumlah, struktur, dan perkembangannya (IUSSP, 1982). Kenyataannya, faktor yang memengaruhi karakter dan perkembangan penduduk tak hanya faktor demografi. Yaukey (1990) mengatakan, variabel demografi akan sering berhubungan timbal balik dengan variabel nondemografi. Salah satu hubungan tersebut melahirkan demografi politik yang  mempelajari hubungan aspek penduduk dan politik.

Secara garis besar terdapat tiga variabel penting demografi politik. Pertama, jumlah penduduk. Setiap wilayah dengan jumlah penduduk besar tentu memiliki jumlah pemilih yang besar pula.

Kedua, struktur atau komposisi penduduk. Komposisi penduduk bisa diamati dari segi jender, golongan umur, ekonomi, dan pendidikan. Kementerian Dalam Negeri (2012) melaporkan,  49,13 persen penduduk Indonesia adalah perempuan. Artinya, perempuan adalah konsumen politik potensial. Dari segi golongan umur yang paling potensial adalah pemilih muda dan pemula. Penduduk berusia 45 tahun ke bawah mencapai 60 persen dari populasi. Penduduk dari segi ekonomi terpilah jadi golongan atas dan menengah ke bawah.

Penduduk miskin, hingga Maret 2013, tercatat 28,07 juta jiwa atau 11,37 persen. Penduduk kelas menengah diperkirakan mencapai 55 persen (Bank Dunia, 2012). Selanjutnya dari aspek pendidikan, BPS (2012) melaporkan rata-rata pendidikan penduduk Indonesia adalah lulusan SMP atau sederajat.

Ketiga, distribusi penduduk. Distribusi wilayah dapat dipahami dalam desa-kota. Jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan mencapai 54 persen (LGFE-UI, 2012). Distribusi sosial dapat diamati melalui keberadaan komunitas, baik komunitas sosial, ekonomi, budaya, maupun ideologi dan agama.

Peta demografis di atas adalah obyek politik pada Pemilu 2014. Politik sejati akan senantiasa memaknai setiap kondisi sebagai peluang. Optimalisasi penangkapan peluang dari peta tersebut butuh strategi pemenangan. Caleg, parpol, dan capres mesti mempertimbangkan demografi politik sebagai basis pemenangan.

Dinamika pemenangan

Dari segi wilayah, pemenangan dapat dilakukan dengan memfokuskan diri menguasai wilayah padat penduduk. Kantong-kantong penduduk seperti wilayah urban dan pinggiran kota menjadi lahan rebutan yang tidak bisa terhindari. Pemilu 2009 sudah membuktikan, anggota legislatif yang terpilih sebagian besar berasal dari wilayah ini.

Dari segi jender, pemilih perempuan menarik dibidik. Pemberlakuan sistem afirmatif menjadikan parpol minimal memiliki 30 persen  caleg perempuan. Caleg ini penting didorong fokus menggarap segmen perempuan karena kedekatan emosionalnya.

Dari segi golongan usia perlu kejelian strategi dan pendekatan khusus kepada pemilih muda dan pemula. Gaya muda, bahasa gaul, kegiatan ringan, dan lainnya dapat jadi pertimbangan. Matta (2013) menyebut pemilih muda sebagai the new majority dan pemilih pemula sebagai the native democracy. Kedua kelompok ini menanti visi dan agenda baru dari setiap peserta pemilu.

Dari segi kondisi ekonomi dan edukasi, kampanye perlu meyakinkan mereka bagaimana nanti memperjuangkan kesejahteraannya. Isu pendidikan gratis, kesehatan gratis, lapangan kerja, kemudahan berusaha yang logis dan sederhana dicerna umumnya laku untuk segmen ini. Perlu pendekatan yang dapat dipahami golongan ini jika ingin diterima dan dipilih.

Dari segi distribusi, perlu pemetaan isu yang tepat serta pendekatan yang sesuai karakter obyek pemilih. Isu desa tentu beda dengan kota, begitu pula karakter penduduknya. Distribusi sosial dapat dioptimalkan melalui pendekatan komunitas. Komunitas lebih homogen dan hampir sama kebutuhannya sehingga cukup efektif jika bisa mendekatinya.

Jabaran di atas menunjukkan pasar politik potensial secara demografis. Parpol dan caleg perlu memahami bahwa rakyat bukanlah konsumen politik semata. Rakyat adalah tuannya parpol, di mana caleg yang terpilih akan menjadi wakilnya rakyat. Potensi demografi politik ini semoga benar-benar dimanfaatkan parpol dan caleg dengan semangat dan komitmen pendidikan politik, sekaligus menjunjung tinggi filosofi kedaulatan rakyat.

Ribut Lupiyanto, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA) Yogyakarta

Melepas Belenggu Partai

Adnan Pandu Praja

PADA era Orde Baru yang didominasi militer, Soeharto menentukan orang-orang yang duduk di DPR, BPK, dan Mahkamah Agung. Maka, segala keluaran yang akan dihasilkan oleh lembaga-lembaga tersebut tentu berdasarkan pesanan rezim Soeharto.

Itulah yang akan terjadi jika kewenangan didominasi tangan besi eksekutif: sama sekali mengabaikan check and balances dan menafikan hak-hak rakyat sesuai amanat UUD 1945.

Belajar dari kondisi itu, reformasi 1998 mengubah bandul dominasi tata kelola negara dari eksekutif ke legislatif. Dalam perkembangannya, kita merasakan amanat tersebut diselewengkan. Atas nama kepentingan partai, seorang anggota Dewan mencari sumber-sumber pendanaan secara tak sehat, ditandai dengan banyak anggota Dewan yang dijerat KPK. Sampai saat ini sudah 73 anggota Dewan yang telah terjaring KPK. Sepertinya jumlah tersebut akan terus bertambah.

Ada empat alasan kekhawatiran profil Dewan hasil Pemilu 2014 juga tak akan jauh berbeda. Pertama, anggota Dewan yang diusulkan partai politik tidak diseleksi berdasarkan kompetensi, rekam jejak, dan yang paling utama integritasnya.

Kedua, calon anggota Dewan tidak membuat visi misi atau rencana kerja konkret dan terpublikasi dengan baik. Dengan begitu, kinerja yang bersangkutan dapat dievaluasi jika terpilih sebagai anggota Dewan.

Ketiga, forum tempat orang mengadukan perilaku anggota Dewan, yaitu Badan Kehormatan, cenderung mandul dan tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Bahkan, yang terjadi akhirnya saling menyandera.

Keempat, parpol tak membuka peluang pengaduan yang memungkinkannya untuk mengadili anggota Dewan dari partainya. Padahal, hanya parpol yang bisa melakukan pergantian antarwaktu terhadap anggota Dewan dari parpolnya di DPR.

Menghadapi realitas tersebut, KPK dituntut melakukan terobosan untuk mencegah semakin terpuruknya negara ini. Meski sekarang sedang dibahas revisi UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dapat diduga hasilnya tak akan berbeda karena sarat tawar-menawar kepentingan antar-parpol. Karena itu, ada beberapa landasan yang dapat digunakan KPK untuk mengambil peran lebih besar guna memperbaiki situasi ini.

Pertama, Pasal 14 UU No 30/2002 tentang KPK mengamanatkan tugas monitoring atau pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara kepada KPK. Untuk melaksanakan hal itu, KPK berwenang melakukan kajian dan memberi saran untuk melakukan perubahan sistem yang rawan korupsi.

Kedua, fakta menunjukkan, forum rapat dengar pendapat (RDP) di DPR yang seharusnya jadi forum pengawasan terhadap kinerja mitra eksekutif tidak dapat digunakan secara maksimal. Misalnya, penggunaan temuan hasil audit BPK sebagai alat pengawasan. Yang sering telihat, forum digunakan sebagai ajang show of force, bahkan tidak jarang pihak yang bertanya justru meninggalkan acara RDP saat pertanyaan akan dijawab. Akibatnya, persoalan mendasar yang terjadi di mitra kerja eksekutif tak pernah tuntas dan selalu saja menjadi temuan berulang oleh BPK.

Ketiga, tidak ada mekanisme kontrol langsung yang dibangun partai politik ataupun institusi lain agar konstituen dapat mengevaluasi kinerja anggota Dewan yang mewakilinya.

Dengan demikian, mekanisme yang selama ini terjadi semata- mata merupakan implementasi check and balances eksekutif antarlembaga tinggi negara yang sarat kepentingan. Alhasil, beberapa hal yang menghambat terjadinya siklus tata hubungan antarlembaga ini perlu ditata kembali. Idealnya pada setiap RDP yang utama selalu mengacu pada temuan dan rekomendasi BPK sehingga RDP akan lebih fokus dan berkualitas serta akan dapat memecahkan masalah-masalah yang cenderung berulang tersebut, bukan berdasarkan isu-isu di media semata.

Pada dasarnya forum RDP adalah titik sentral dari siklus hubungan kelembagaan antara eksekutif, legislatif, BPK, dan yudikatif. Pemahaman yang mendalam dan konstruktif terhadap output dan outcome RDP seharusnya mewarnai kinerja mitra kerjanya di masa depan. RDP seyogianya diarahkan tak hanya untuk sebesar-besarnya bagi implementasi ke arah kemakmuran rakyat dalam memenuhi standar hidup layak semata (pasif), tetapi juga pada people empoweringdalam menghadapi tuntutan keadaan (aktif).

Tanggung jawab

Selama 10 tahun hadir, KPK telah meneguhkan eksistensi di bidang penindakan. Dampaknya, KPK dapat jadi faktor determinan dalam kebijakan jangka pendek yang bersifat pencegahan. Misalnya, awal bulan ini forum koordinasi KPK, Menteri Keuangan, dan Menteri/Kepala Bappenas antara lain telah berhasil menghemat potensi penyalahgunaan Dana Optimalisasi 2014 sebesar Rp 600 miliar di sektor perhubungan. Tahun lalu, KPK berhasil menyelamatkan potensi kerugian negara Rp 6,7 triliun terkait rencana pengalihan suplai gas untuk pabrik pupuk Semen Gresik kepada sektor swasta.

Pada tahun politik 2014 ini, yang akan menentukan anggota Dewan 5 tahun mendatang, KPK perlu memainkan posisi yang semakin strategis dan dominan. Setidaknya melakukan framing kepada para calon, baik sebelum maupun setelah mereka terpilih. Yang utama: mereka melepaskan relasi negatif kepada partai yang membelenggunya. Selain itu, anggota Dewan terpilih juga harus merasa �terancam� untuk setiap saat bisa di-recall melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) oleh partainya.

Perlu dibangun basis pemantauan kinerja anggota Dewan di setiap daerah pemilihan secara sistematis. Dengan begitu, mau tidak mau anggota Dewan akan secara berkala mempertanggungjawabkan mandat kepada konstituen dan tidak secara sembrono menggunakan RDP sebagai ajang �menghakimi� mitra kerja tanpa dasar argumen yang dapat dipertanggungjawabkan.

Membangun siklus hubungan antarlembaga di sekitar 500 kabupaten/kota tentu tidak dapat dilakukan oleh KPK sendiri. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan. Dukungan ini akan sangat dimudahkan berkat dukungan situs KPK, radiostreaming KPK dengan nama Kanal KPK, dan yang akan segera diresmikan TV streaming KPK.

Untuk dapat mewarnai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 5 tahun sebagai turunan dari visi misi calon presiden atau wakil presiden pemenang pemilu, KPK perlu melakukan framing sebelum visi misi dibuat oleh calon melalui mekanisme induksi. Visi misi para calon agar berpijak pada kenyataan riil 10 tahun KPK berkiprah. Ini adalah sebagian tanggung jawab yang harus diambil KPK.

Adnan Pandu Praja, Pimpinan KPK

Bertumbuhnya Ideologi Kebencian

Todung Mulya Lubis

SEJAK kanak-kanak, saya selalu bangga dengan persatuan Indonesia yang ditandai oleh kemajemukan kita sebagai bangsa.

Saya menghafal penjelasan guru sekolah yang mengatakan bahwa Indonesia terdiri atas ribuan pulau, suku, etnisitas, agama, dan latar belakang budaya serta ideologi. Semua itu diikat oleh semangat �satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan�.

Tak pernah saya merasa asing. Saya adalah bagian dari bangsa besar bernama Indonesia, yang kalau keluar berpaspor Indonesia, dan kalau mengibarkan Merah Putih bangga dan berkaca-kaca. Melihat pemain bulu tangkis memperoleh medali emas, saya juga terharu dan bangga. Hasil jerih payah bangsa ini berhasil merajut kebersamaan yang mengharukan.

Satu hari saya berjalan bersama advokat Yap Thiam Hien di tengah kota Banda Aceh, yang dulu bernama Kutaraja. Yap menunjukkan gereja tempat keluarganya beribadah. Di Ambon saya bertemu keluarga yang sebagian beragama Islam dan sebagian lagi beragama Kristen. Mereka makan dan bernyanyi bersama. Di Semarang saya bertemu keluarga sederhana yang berbeda suku dan agama, China, Jawa, Kristen, dan Islam. Di Jakarta saya ketemu orang Batak hidup rukun dan bahagia dengan orang Banjar. Semuanya tak mempersoalkan perbedaan. Semuanya melihat diri mereka sebagai manusia  yang punya otonomi personal, punya kebebasan, dan melaksanakan kebebasan mereka dengan tanggung jawab dalam sebuah keluarga, komunitas, dan bangsa.

Saya tak mengatakan tak ada konflik, pertentangan, atau ketegangan. Di sana-sini ada konflik dan ketegangan. Sesekali ada tawuran antarkampung karena anak gadis di kampung yang satu digoda oleh pemuda kampung sebelah. Atau karena kalah pertandingan sepak bola. Ada juga ketegangan karena khotbah yang emosional. Atau ada keluarga yang mengadakan pesta dengan musik terlalu keras.

Semua itu adalah ketegangan yang sehat dan masih bisa dikelola. Saya sama sekali tak terganggu. Malah saya menganggap semua konflik dan ketegangan itu merupakan bagian dari nation and character building yang dewasa. Kita sedang melangkah menjadi bangsa yang besar.

Kemajemukan digugat 

Akan tetapi, beberapa tahun terakhir ini�sejalan menguatnya demokrasi dan hak asasi manusia�ruang kebebasan semakin terbuka. Media sosial juga memberi tempat bagi kebebasan menyatakan pendapat. Berbagai aliran pendapat menyeruak ke permukaan. Sebagian malah secara diametral bertentangan dengan semangat demokrasi dan hak asasi manusia, bertentangan dengan kemajemukan kita sebagai bangsa, bertentangan dengan keutuhan kita sebagai sebuah bangsa.

Kemajemukan digugat, kesatuan bangsa digugat, dan keutuhan teritorial ikut terganggu. Importasi pikiran dari luar masuk tanpa filter, dan seluruh perjuangan pendiri negara ini seperti dipersalahkan. Demokrasi ditafsirkan sebagai mayoritas absolut; minoritas harus tunduk kepada mayoritas. Perlindungan terhadap minoritas itu tak dihormati. Tafsir terhadap agama juga makin dipaksakan dengan kekerasan di mana perbedaan tafsir sama sekali diharamkan. Kebebasan beragama yang dianut oleh UUD 1945 tak dihormati. Suara untuk menghidupkan Piagam Jakarta terdengar meski tak gemuruh, tetapi suara itu muncul dalam berbagai sikap intoleransi terhadap kelompok minoritas dan kelompok seagama yang tak setafsir.

Dalam bahasa hukum, telah muncul kembali permusuhan dan kebencian (sosial) di muka umum melalui tulisan atau orasi yang sering sekali sangat kasar. Media sosial kita penuh kebencian dan permusuhan. Demonstrasi dan poster di berbagai pojok jalan sering menghasut dan mengafirkan kelompok lain. Gerakan sektarian memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk yang disertai tindak kekerasan.

Telah muncul apa yang disebut sebagai hate speech  yang dulu diatur dalam Pasal 156, 156a, dan 157 KUHP yang kita kenal sebagai pasal-pasal penyebar kebencian (hatzaai artikelen).  Tetapi, pasal-pasal yang dulu digunakan pemerintah kolonial untuk mematikan perlawanan pribumi terhadap kolonialisme, juga oleh pemerintahan Orde Baru untuk menindas perlawanan kelompok-kelompok kritis seperti mahasiswa dan buruh, sekarang sudah dianggap tak bisa diperlakukan lagi: dinyatakan bertentangan dengan demokrasi, hak asasi manusia, dan UUD 1945.

Sekarang pernyataan kebencian dan permusuhan hanya bisa dikejar atas dasar pasal-pasal penghinaan, pencemaran nama baik dan fitnah (Pasal 310, 311 KUHP), dan Pasal 27 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No 11/2008). Hanya saja, pasal-pasal tersebut di atas sangat terbatas daya jangkaunya, dan dalam banyak hal tak mampu menjangkau pernyataan kebencian dan permusuhan. Sekarang, mungkin ada yang berpikir ulang untuk menghidupkan kembali pasal-pasal yang mengatur mengenai hate speech tersebut, yang dulu ditolak karena penyalahgunaan tafsir oleh penguasa pada waktu itu. Kita semua tak mau pasal-pasal hate speech dipakai sebagai instrumen mematikan perbedaan pendapat, kritik, atau oposisi. Tetapi, pada sisi lain kita harus akui: pernyataan kebencian dan permusuhan di muka umum dengan niat jahat, sistematis, dan disertai kekerasan haruslah juga bisa dihukum. Tak boleh ada impunitas.

Fenomena hate speech bisa muncul dalam berbagai bentuk: tulisan, orasi, poster, demonstrasi, dan khotbah. Bisa juga dalam berbagai pengumuman yang menolak kemajemukan seperti yang tecermin dalam tulisan Achmad Munjid, �Pengajaran Agama Interreligius� (Kompas, 4 Januari 2014).

Fenomena ini digambarkan sebagai kelumpuhan nalar kita dalam merawat kemajemukan (pluralisme). Dari sejumlah kasus yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, kita akan melihat secara telanjang bahwa kebencian dan permusuhan itu telah semakin deras dan keras. Pilar-pilar pluralisme yang dibangun oleh pendiri negara ini semakin rapuh dimakan rayap-rayap intoleransi, kebencian, dan permusuhan.

Negara lakukan pembiaran

Sungguh saya khawatir menatap masa depan. Merebaknya hate speech, absennya akuntabilitas, dan diamnya negara, kalau keadaan ini tak dilawan, maka jangan heran jika hate speech ini akan bermetamorfosis menjadi ideologi kebencian (ideology of hatred). Jika ideologi kebencian ini melembaga, nasib kemajemukan, nasib dari nation yang bernama Indonesia akan berada di ujung tanduk.

Dalam bahasa Niza Yanay dalam bukunya, The Ideology of Hatred, ideologi kebencian ini bisa ditafsirkan sebagai signifier of danger dalam konteks relasi kekuasaan. Kebencian tak lagi semata-mata anti-Islam, anti-Kristen, anti-China, atau anti-Jawa. Ideologi kebencian ini akan jadi instrumen kekuasaan, langsung dan tak langsung, baik oleh negara maupun non-negara dalam pembenaran terhadap intoleransi, sektarianisme, dan diskriminasi.

Dalam konteks kekinian Indonesia, ideologi kebencian ini diperankan oleh kelompok atau organisasi yang tak memberi ruang bagi pluralisme dalam arti luas. Negara jadi pihak yang bertanggung jawab karena melakukan pembiaran. Sekarang Indonesia belum cerai-berai, tapi sekat-sekat pemisah mulai ditegakkan. Kita hidup dalam sebuah negara, tapi kita hidup terpisah-pisah, kita sama tetapi tidak sama, separate but equal. Di dinding rumah kita tulisan Bhinneka Tunggal Ika seperti bergetar, menunggu jatuh ke lantai.

Indonesia belum bubar. Tetapi, jangan meremehkan menyebarnya ideologi kebencian yang akan menghilangkan Indonesia dari peta dunia.

Todung Mulya Lubis, Ketua Yayasan Yap Thiam Hien

Nasib Nagari di Sumbar

Mochtar Naim

DENGAN diratifikasinya Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Desa menjadi UU pada Desember lalu, maka nasib Nagari di Minangkabau dan Sumatera Barat khususnya dalam konteks NKRI jelas sudah.

Karena Negara Kesatuan Republik Republik Indonesia (NKRI) dasarnya adalah unitarisme, satu kesatuan sistem administrasi pemerintahan yang seragam dari atas sampai ke bawah untuk seluruh Indonesia, Nagari tidak punya pilihan lain kecuali melebur diri kembali jadi desa seperti di Jawa, sesuai UU Desa yang baru itu.
Maka cerita pun berulang seperti masa Orde Baru ketika Nagari dan semua sistem lokal yang beragam di Nusantara diwajibkan mengikuti cara di desa di Jawa.

Kecuali kalau rakyat dan masyarakat serta unsur pemerintahan yang berfungsi di Sumatera Barat (Sumbar) mau menerapkan peluang yang diberikan oleh pasal 18 B ayat (2) dari UUD 1945, seperti yang sekarang diikuti di Aceh dan Papua selain Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Masyarakat dan rakyat Sumbar sekarang dalam keadaan renyuh dan linglung, mau kembali ke desa lagi setelah beralih kembali ke Nagari di masa Reformasi ini, atau secara ksatria mengajukan tuntutan untuk mendapatkan hak khusus sebagai daerah istimewa Sumbar atau Minangkabau.

Sesuai dengan bunyi Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945, �Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hal tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang diatur dengan undang-undang.�

Memilih istimewa

Kelihatannya yang akan dipilih oleh rakyat Sumbar adalah mengajukan penerapan pasal 18 B ayat (2) dari UUD1945 itu, dengan tetap menjadikan Nagari sebagai unit kesatuan administratif pemerintahan terendah di bawah kabupaten dan kecamatan yang sekaligus berfungsi sebagai kesatuan masyarakat hukum adat.

Karena ini berlaku untuk seluruh wilayah administratif Provinsi Sumbar, maka yang dituntut adalah daerah istimewa Sumbar ataupun Minangkabau seperti yang juga berlaku di DI Aceh Darussalam, Papua, dan DIY.
Dengan Nagari tetap dipertahankan sebagai unit kesatuan administratif pemerintahan terendah setingkat desa di Jawa di bawah naungan daerah istimewa Provinsi Sumbar, maka Nagari di Sumbar memiliki empat fungsi utama.

Pertama, Nagari sebagai unit kesatuan administratif pemerintahan terendah setingkat desa seperti di Jawa.
Kedua, Nagari sebagai unit kesatuan keamanan dan pengamanan di bawah komando wali nagari dengan dubalangnya dalam menggerakkan pemuda berfungsi sebagai parik-paga Nagari. Kesatuan polisi di kecamatan baru turun ke Nagari jika tenaga mereka memang diperlukan dan diminta.

Ketiga, Nagari sebagai unit kesatuan usaha ekonomi kerakyatan yang sifatnya kolektif- korporatif, dengan prinsip koperasi syariah.

Dengan Nagari memiliki tanah ulayat Nagari, di samping hak-hak ulayat lainnya, seperti perkampungan, perhutanan, perkebunan, air, sungai, dan pantai, maka hak guna usaha yang selama ini diberikan kepada unit usaha ekonomi swasta yang dalam praktik diborong habis oleh perusahaan swasta konglomerat yang dalam praktik juga menguasai ekonomi Nusantara dari hulu sampai ke muara, di darat, laut, dan udara, perlu direkonstruksi kembali.

Dengan kembalinya tanah-tanah ulayat Nagari ke tangan rakyat, usaha bersama yang bersifat saling menguntungkan (joint-mutually profitable enterprise), seperti yang biasa berlaku di RRC, Jepang, dan Korea, belakangan juga di Vietnam, Thailand, dan Malaysia, bisa dikembangkan.

Sementara itu usaha ekonomi kerakyatan yang sifatnya kolektif-korporatif atas dasar koperasi syariah perlu digalakkan. Intinya adalah ekonomi dibangun untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Keempat, Nagari sebagai unit kesatuan adat, sosial-budaya, dan agama. Dasar filosofi yang dipakai dan mendasari adalah prinsip ajaran �ABS-SBK��Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah.

Minangkabau adalah Negeri Beradat dan Beragama. Adatnya adalah adat matrilineal Minangkabau yang dasarnya adalah egaliter-demokratis. Agamanya adalah Islam dengan kitabnya adalah Al Quran Kitabullah.

Prinsip ketuhanan

Dengan itu masyarakat dan kebudayaan Minangkabau menerapkan prinsip sila pertama Pancasila: �Ketuhanan Yang Maha Esa� dalam artian konkret, konsekuen, dan fundamental. Agama apa pun yang tidak berdasarkan kepada Ketuhanan YME tidak diterima sebagai pegangan hidup.

Sikap terhadap agama dan penganut agama lain adalah sama dengan sikap yang diperlihatkan oleh Islam kepada agama dan penganut agama lain itu.

Keistimewaan Sumbar sebagai daerah istimewa adalah karena penerapan konsep Islam dalam arti yang konsekuen dan konsisten, baik secara konseptual-teoretis maupun praktikal-empiris.

Masalah-masalah terkait, seperti adanya kelompok etnik minoritas yang non-Minangkabau yang juga menempati wilayah DI Sumbar, seperti suku Mentawai, transmigran Jawa, dan etnik China, tentunya bisa dicarikan solusi dengan Sumbar menjadi DI itu.

Bukankah hal yang senada di mana-mana, seperti di Aceh, Papua, dan DIY, itu juga bersua. Dengan gerakan kembali ke Nagari, rakyat dan masyarakat diharapkan juga terselamatkan.

Mochtar Naim, Sosiolog

Selasa, 28 Januari 2014

Fikih Sosial Kiai Sahal

Sholahuddin            
�Kiai Sahal Mahfudh adalah kiai yang berani menyeberang dari tradisinya sendiri.�  (Azyumardi Azra)
UMAT nahdliyin dan umat Islam Indonesia berduka terkait wafatnya Rais Aam PBNU KH MA Sahal Mahfudh, Jumat (24/1) dini hari lalu. Kiai Sahal adalah sosok kiai yang alim ilmu ushul fiqih dan menjadi pencetus gagasan fikih sosial. Sejumlah karangan bunga ungkapan belasungkawa datang dari Presiden RI, pejabat, tokoh ormas Islam dan NU sendiri.

Sebagai seorang kiai-intelektual, Kiai Sahal memiliki penguasaan khazanah klasik Islam yang tidak perlu diragukan lagi. Kepakarannya dalam bidang fikih mampu mengantarkan kiai yang santun ini mendapatkan gelar doktor honoris causa dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Salah satu gagasan penting yang dihasilkan Kiai Sahal adalah gagasan mengenai fikih sosial. Menurut Kiai Sahal, fikih perlu dihadirkan dalam bentuk yang baru, yang bukan hanya mengatur halal-haram, hitam-putih hukum-hukum Islam saja. Fikih juga digunakan sebagai alat untuk melakukan transformasi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat.

Secara epistemologis, fikih sosial dibangun di atas lima metodologi transformatif, yaitu kontekstualisasi doktrin fikih; beralih dari mazhab qouli (tekstual) menuju manhaji (metodologis); verifikasi doktrin yang ashal (fundamental-permanen) yang tidak bisa berubah, dan far�u (instrumental) yang bisa berubah; menghadirkan fikih sebagai etika sosial; dan mengenalkan pemikiran filosofis, terutama dalam masalah sosial budaya.

Lima metodologi ini bisa kita kaji dalam produk pemikiran Kiai Sahal itu, antara lain  pendayagunaan zakat, konservasi ekologis, emansipasi perempuan, pendidikan integralistik, pluralisme, dan pengentasan warga dari kemiskinan. Ia tetap berpijak pada kekayaan tradisi pesantren melalui pendekatan sosial humaniora yang transformatif.

Kritisisme sang kiai

Jelas di sini kita melihat bagaimana kritisisme Kiai Sahal terhadap fikih konvensional yang demikian hegemonik. Fikih seolah menjadi disiplin yang kaku, rigid, dan tidak bisa menjawab perkembangan zaman yang semakin maju.

Fikih sebagai pengejawantahan ajaran Tuhan dalam realitas individu dan sosial kehilangan fungsi transformasi, baik secara struktural maupun kultural.  Fikih terjebak oleh tekstualitas, formalitas, dan simbolitas. Di sisi lain, perilaku masyarakat jauh dari nilai-nilai agama, khususnya doktrin fikih. Sekularitas, hedonitas, dan imoralitas menjadi fakta sosial yang lepas dari bimbingan agama.

Fikih sosial Kiai Sahal bergerak untuk mengubah kemiskinan, keterbelakangan, dan kemunduran masyarakat Kajen Pati, dari secara geografis tandus dan kering menjadi kaya, maju, dan, berperadaban. Bagi masyarakat tradisional, miskin-kaya adalah sebuah takdir Tuhan. Manusia tinggal menjalani hidup ini apa adanya, taken for granted. Namun, kiai santun tersebut terpanggil melakukan perubahan paradigmatik.

Fikih sosial dijadikan sebagai basis kritisisme Kiai Sahal atas fikih konvensional yang sulit menerima dijadikan sebagai alat untuk transformasi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Namun, jangan Anda bayangkan kritisisme Kiai Sahal ini sama seperti kritisismenya Sadiq Jalal al-Azm, Nashr Hamid Abu Zaid, dan Ulil Abshar-Abdalla. Kritisisme Kiai Sahal adalah kritisisme moderat. Dia tak mau melampai tabu-tabu agama (Islam). Ada rambu-rambu ortodoksi yang masih dipegang dengan teguh oleh kiai karismatik ini. Dia tidak mau larut dalam ingar-bingar kontroversi. Dia menjauhi kontroversi yang, menurut dia, tidak perlu.

Semangat kritisisme Kiai Sahal ini berasal dari semangat �ijtihad� yang menggelora pada dirinya. Menurut Kiai Sahal, ijtihad merupakan kebutuhan mendasar. Karena kebutuhan mendasar, dia berusaha untuk membekali dirinya sendiri dengan prasyarat-prasyarat keilmuwanan dan standar moral yang dijadikan modal memenuhi kebutuhan ijtihad tersebut.

Kiai Sahal berpendapat bahwa fikih sebetulnya adalah wilayah ijtihad, maka suatu ijtihad yang tidak mendatangkan kemaslahatan umum (maslahat al-ammah) haruslah direvisi. Di sini kita lihat bagaimana konsep kemaslahatan umum yang digunakan oleh Kiai Sahal mengadopsi konsep maslahat Imam Abu Ishaq As-Syatibi (W. 1388) yang terdapat dalam kitab Al-muwafaqaat.

Kiai Sahal menulis: �Pada prinsipnya tujuan syariat Islam yang dijabarkan oleh para ulama dalam ajaran fikih (fikih sosial) ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat, dan bernegara. Unsur-unsur kesejahteraan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi saling memengaruhi. Apabila hal itu dikaitkan dengan syariat Islam yang dijabarkan oleh fikih sosial dengan bertitik tolak dari lima prinsip maqasid syari�ah (MA Sahal Mahfudh: Nuansa Fiqih Sosial, 4-5).

Kiai Sahal tidak heroik memproklamasikan ijtihad sebagaimana banyak agamawan lantang menggalakkan ijtihad. Kiai Sahal lebih tawaduk dan jauh dari sikap takabur. Kiai Sahal melakukan ijtihad dan mempromosikan hasilnya kepada masyarakat lewat karya-karyanya. Tulisannya pada 1985 tentang ijtihad sebagai kebutuhan, dan juga gagasan-gagasan dia tentang kontekstualisasi fikih, dan lain-lain, cukup menjadi bukti bahwa dia juga mempromosikan keniscayaan ijtihad itu.

Kritisisme moderat

Dalam hal ini yang menarik adalah bahwa dia menyarankan agar seorang mujtahid haruslah mempunyai �kepekaan sosial� dan mampu melakukan �analisis sosial� yang bagus. Ini maknanya bahwa seorang mujtahid haruslah mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai ilmu-ilmu sosial. Ini yang missing dalam kriteria ijtihad dalam fikih klasik, setidaknya tidak terungkapkan secara eksplisit. Ini adalah salah satu kritik mendasar dia terhadap praktik ijtihad konvensional yang sering kali hanya bersifat tekstual, dan mengabaikan realitas sosial.

Dia tidak memungkiri bahwa secara implisit prasyarat pengetahuan sosial itu memang ada, sebagaimana terjadi pada Imam Syafi�i dengan qaul qadim  (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru)-nya. Namun, yang implisit ini perlu dieksplisitkan dan menjadi prasyarat tambahan bagi para mujtahid.

Maka, benar apa yang ditulis Azyumardi Azra bahwa Kiai Sahal adalah kiai yang menyeberang dari tradisinya sendiri, dengan mengambil jalan kritisisme moderat. Selamat jalan, Kiai. Kita semua akan meneruskan gagasan fikih sosialmu.

Sholahuddin, Pemerhati Fikih Sosial, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali�ul Falah (STAIMAFA), Pati

Penyelundupan Anggaran Pemilu

Reza Syawawi

TAK ada yang menduga apa yang sedang dipikirkan pemerintah ketika mengalokasikan anggaran pengawasan pemilu untuk membiayai saksi partai politik di tempat pemungutan suara. Seolah-olah tanpa beban, anggaran sekitar Rp 600 miliar akan digelontorkan untuk membiayai para saksi.

Semasih sebagian elite dan petinggi parpol cenderung korup dengan �mencuri� anggaran negara melalui proyek pemerintah, sangat tak pantas jika uang yang dikelola dalam APBN kembali �dirampok� untuk membiayai parpol. Bagi parpol, ketika laporan keuangan partai masih tertutup, pengucuran anggaran itu dianggap wajar belaka.

Tak berlebihan mengatakan bahwa alokasi anggaran semacam ini sebagai bentuk �persekongkolan� baru pengawas pemilu, DPR, dan pemerintah (Kementerian Dalam Negeri). Parahnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) justru menjadi corong bagi parpol melegalkan praktik itu.

Dana politik

Regulasi yang mengatur tentang dana politik sangat jelas melarang parpol menerima dana dari APBN/APBD di luar ketentuan yang ada. Parpol hanya boleh menerima bantuan keuangan dari pemerintah melalui APBN/APBD atas dasar perolehan suara dan memiliki kursi di lembaga legislatif dalam pemilu sebelumnya (Pasal 34 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik).

Di sisi lain, penggunaan bantuan keuangan dari APBN/ APBD diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat. Prinsipnya, bantuan keuangan kepada parpol yang bersumber dari APBN/APBD tidak digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemilu (baca: saksi).

Dalam konteks pemilu legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), alokasi anggaran dalam APBN/APBD untuk membiayai saksi parpol adalah bentuk pelanggaran atas ketentuan Pasal 139 Ayat 1 Huruf (c) UU No 8/2012 bahwa peserta pemilu dilarang menerima pendanaan yang bersumber dari pemerintah. Dari sudut konsep penganggaran, sumber pendanaan dari pemerintah mengarah pada alokasi anggaran pada APBN.

Dengan semua ketentuan di atas, pengucuran dana APBN untuk membiayai saksi parpol di tempat pemungutan suara (TPS) adalah bentuk pelanggaran atas undang-undang. Pemerintah dan DPR selaku pemegang kuasa atas penganggaran yang seharusnya memahami soal aturan itu justru jadi aktor utama atas semua pelanggaran ini.

Dalam kasus ini, pemerintah dan DPR sebetulnya menunjukkan �wajah aslinya�. Tak dapat dimungkiri bahwa keduanya memang berasal dari entitas yang bernama parpol. Maka, tidaklah mengherankan apabila peruntukan alokasi anggaran itu disetujui.

Bagi parpol, di tengah tingginya biaya politik, pengucuran anggaran ini tentu menjadi dana segar untuk membiayai kegiatan politiknya (saksi). Maka, relasi antara persetujuan alokasi anggaran itu di tingkat APBN dan kebutuhan parpol saat ini menjadi tak terbantahkan.

Lalu, di mana peran Bawaslu? Bawaslu berubah menjadi �alat� bagi pemerintah dan DPR menyalurkan dana itu kepada parpol. Tujuannya sangat jelas: menghindari agar dana APBN tak secara langsung diberikan kepada parpol.

Jalur penyelundupan

Bawaslu telah menyediakan diri menjadi jalur �penyelundupan� anggaran kepada parpol. Padahal, jika anggaran tersebut diarahkan untuk penguatan kelembagaan pengawas pemilu di daerah, ini jauh lebih memungkinkan dibandingkan dengan mengambil alih tanggung jawab membiayai saksi parpol.

Dari sisi institusi, penguatan pengawas pemilu jauh lebih menjamin terselenggaranya pengawasan pemilu yang independen. Maka, pembiayaan saksi parpol oleh APBN tidak hanya melanggar undang-undang, tetapi sekaligus juga melemahkan pengawasan pemilu.

Dalam konteks hukum, alokasi anggaran ini jelas mengarah pada dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah, DPR, dan Bawaslu. Ada upaya yang sistematis dari ketiga lembaga ini untuk melegalkan praktik penyalahgunaan anggaran dalam pengawasan pemilu.

Untuk itu, perlu kiranya ada kebijakan meninjau ulang pengalokasian anggaran. Bawaslu sebagai lembaga yang dimanfaatkan sebagai corong �penyelundupan� anggaran seharusnya berani menolak anggaran itu digunakan untuk membiayai saksi dari parpol.

Jika tidak, Bawaslu akan menjadi lembaga yang paling dipersalahkan karena memfasilitasi parpol mendapat dana APBN di luar ketentuan yang diperbolehkan. Pelaksanaan Pemilu 2014 tentu akan kehilangan legitimasinya sebagai sarana demokrasi karena diselenggarakan dengan cara-cara yang melanggar hukum.
Penyelundupan anggaran pemilu untuk kepentingan parpol jelas telah mencederai kepercayaan publik terhadap parpol

dan pengawas pemilu. Bawaslu yang seharusnya mengawasi setiap tahap penyelenggaraan pemilu telah berubah menjadi �penyelundup� anggaran pemilu.

Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia

Membenahi G-20

Tony Abbott

WALAUPUN  pemulihan krisis keuangan global berlangsung lambat, keadaan dunia sebenarnya lebih baik dari yang kita sering yakini.

Dengan bergulirnya tahun 2014, menjadi lebih mudah optimistis. Di Amerika Serikat, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan mencapai hampir 3 persen dengan terciptanya satu juta lapangan kerja tahun lalu. Di China, pertumbuhan sedikit menurun, tetapi kemungkinan besar akan tetap di atas 7 persen. Eropa pada akhirnya menikmati pertumbuhan lagi. Tentu saja pemulihan masih rapuh dan pengurangan pembelian obligasi oleh AS akan memerlukan manajemen yang cerdas.

Meski demikian, pantaslah diingat bahwa secara global pendapatan per kapita telah meningkat lebih dari 60 persen selama dasawarsa yang lalu dan kelas menengah global diharapkan meningkat dari 1,8 miliar menjadi sekitar 3,2 miliar dalam jangka 10 tahun. Di banyak negara berpenduduk padat di dunia, seperti China, India, dan Indonesia, beratus juta penduduk telah naik kelas masuk golongan menengah.

Banyak dari hal ini merupakan hasil olah pikir kita: keyakinan bahwa perdagangan yang lebih bebas dan pemerintahan yang lebih ramping akan memperkukuh kesejahteraan; insting bahwa warga negara yang telah diberdayakan dapat berbuat lebih besar lagi untuk diri mereka dibandingkan dengan apa yang pemerintah pernah lakukan terhadap mereka.

Dasar yang jelas

Pelajaran dari sejarah mutakhir adalah kemajuan nyata selalu dibangun di atas dasar-dasar yang jelas. Anda tidak dapat membelanjakan uang yang tidak Anda peroleh; tidak ada negara yang pernah memperoleh kesejahteraan dengan penarikan pajak atau subsidi; dan keuntungan bukanlah kata yang kotor karena keberhasilan dalam usaha merupakan kebanggaan.

Bagaimanapun juga, Anda tidak dapat membangun masyarakat yang tangguh tanpa ekonomi yang kuat untuk mendukungnya dan Anda tidak dapat membangun ekonomi yang tangguh tanpa usaha swasta yang menguntungkan. Tantangannya, di mana saja, adalah bagaimana mendorong pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan dan yang dihela oleh sektor swasta.

Tahun ini, sebagai Ketua G-20, Australia berada di posisi yang unik membantu mendorong pertumbuhan global. Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil dari kondisi global dan kebijakan dalam negeri.

G-20 ada untuk menangani hal-hal yang di luar kapasitas negara-negara bangsa untuk menanggulanginya sendiri-sendiri. Agenda kami akan fokus pada hal-hal di mana aksi internasional yang terkoordinasi dapat memberi nilai tambah: perdagangan, infrastruktur, perpajakan, dan perbankan.

Sebagaimana selalu perdagangan adalah yang pertama�karena setiap kali seseorang berdagang dengan bebas dengan orang lain, kekayaan meningkat. Setidaknya G-20 harus memperbarui tekad menentang proteksionisme dan memilih pasar yang lebih bebas. Setiap negara harus bertekad membuka perdagangan melalui aksi bilateral, plurilateral dan multilateral, dan reformasi dalam negeri untuk membantu dunia usaha berkiprah secara penuh dalam perdagangan global.

Dalam perjalanan waktu, perdagangan memberi manfaat kepada setiap orang karena negara-negara pada akhirnya fokus pada apa yang terbaik mereka lakukan. Ekonomi global yang lebih besar dengan investasi lintas batas yang lebih kukuh pada akhirnya membantu setiap orang karena hal ini menghasilkan kekayaan yang lebih besar dan pada akhirnya menciptakan lapangan kerja yang lebih besar.

Salah satu dampak samping globalisasi adalah kemampuan yang lebih besar untuk mengambil keuntungan dari rezim pajak yang berbeda-beda.

Mengejar kesempatan

G-20 akan membahas masalah bisnis yang mendatangkan keuntungan guna mengejar kesempatan dari pajak bukannya dari pasar. Prinsip utamanya adalah Anda seperti biasa membayar pajak di negara di mana Anda memperoleh pendapatan.

Bagi pemimpin negara-negara yang menghasilkan 85 persen produk domestik bruto (GDP) dunia tinggal menyetujui prinsip-prinsip yang diperlukan agar perpajakan tersebut berlaku adil di dunia yang mengglobal akan menjadi langkah besar ke depan.

Saya berharap akan terjadi diskusi terbuka yang hanya dihadiri oleh para pemimpin G-20 tentang masalah terbesar yang kita hadapi, termasuk digitalisasi serta dampaknya pada pajak, perdagangan, dan integrasi global.

Hampir setiap negara memiliki defisit prasarana dan berjuang keras mendanai infrastruktur yang diperlukannya. Di seluruh dunia, OECD memperkirakan, diperlukan lebih dari 50 triliun dollar Australia untuk investasi infrastruktur menjelang 2030.

Semestinya proyek infrastruktur lebih mudah dijalankan dan kita dapat melakukannya dengan menarik modal swasta yang lebih banyak ke proyek tersebut melalui kebijakan harga yang masuk akal dan praktik-praktik peraturan yang lebih baik.
Saya berharap dapat menghimpun para pembuat kebijakan, penyandang dana, dan pengusaha konstruksi mencari cara-cara yang praktis guna meningkatkan pendanaan infrastruktur jangka panjang.

G-20 mengasumsikan bentuk yang sekarang ini merupakan tanggapan atas krisis yang terjadi akibat praktik-praktik perbankan yang buruk.

Inti karya G-20 adalah membangun ketahanan sektor keuangan, membantu untuk mencegah dan mengelola kegagalan lembaga-lembaga keuangan global yang penting, menjadikan pasar-pasar derivatif lebih aman, dan memperbaiki pengawasan sektor lembaga pembiayaan nonbank.

Peraturan sektor keuangan selalu tambal sulam. Tantangan bagi pihak berwenang adalah selalu mengikuti perkembangan, bukannya tertinggal darinya sebagaimana yang terjadi menjelang krisis tersebut.

Sejauh pemahaman Australia, tugas G-20 adalah membuat hidup lebih mudah bagi rakyat yang pemerintahnya terikat untuk melayaninya. Pada akhirnya, G-20 bukanlah tentang kami di pemerintahan, ini tentang rakyat, para tuan kami.

Tony Abbott, Perdana Menteri Australia

Ubah Fokus Pendidikan

JC Tukiman Taruna

SEKURANG-kurangnya tiga alasan mengapa fokus pendidikan kita harus �balik kanan� 180 derajat. Akan tetapi, kita harus menunggu pergantian rezim, mengingat penguasa saat ini ingin zona nyaman dan programnya tidak diganggu gugat.

Analisis ini dapat  dipandang tak etis, tetapi mungkin saja justru sangat etis. Bertens (2000) menegaskan bahwa untuk menentukan sesuatu etis atau tidak etis, orang harus mempertimbangkan tiga tolok ukur moral: hati nurani, kaidah emas, dan audit sosial. Perihal hati nurani, jelas bahwa setiap orang menggunakannya bergantung pada tingkat ketajaman masing-masing.

Dalam tolok ukur kaidah emas disebutlah kata mutiara ini: hendaklah memperlakukan orang lain seperti anda sendiri ingin diperlakukan. Di sini berlaku ungkapan Jawa tepa salira, tenggang rasa: jika Anda tak ingin sakit hati, janganlah menyakiti hati pihak lain.

Sementara itu, tolok ukur audit sosial menyebutkan bahwa di- minta atau tidak, hendaklah siapa pun (terutama penguasa)  menyadari bahwa pihak lain (sebutlah masyarakat) pasti sudah dengan sendirinya memberikan penilaian terhadap program penguasa. Tulisan ini berpijak pada tolok ukur audit sosial itu.

Budget

Semua pihak tahu bahwa budget untuk fungsi pendidikan tertinggi dibandingkan budget fungsi mana pun. Tolok ukur audit sosial serta-merta dan wajar akan mengatakan (bahkan menuntut), �Dengan alokasi anggaran terbesar di fungsi pendidikan, apa hasil besar yang telah dan dapat dirasakan masyarakat?�

Pada 2013, budget fungsi pendidikan Rp 345,3 triliun. Bahkan, pada 2014 ada kenaikan sekitar 7,5 persen, yaitu Rp 371,2 triliun. Pada 2013, alokasi budget untuk Kemdikbud Rp 51,130 triliun (15 persen dari anggaran seluruh fungsi pendidikan). Untuk 2014, anggaran Kemdikbud Rp 82,7 triliun (22 persen dari budget fungsi pendidikan). Fakta lapangan pada 2013 salah satunya menyebut- kan bahwa ternyata di tingkat pendidikan dasar sekitar 480.000 anak  (dari 42 juta) drop out ketika mereka berada di kelas II dan III SD (Kompas, 31/12/2013).

Fakta lainnya, angka partisipasi murni (APM) SMP/sederajat 16,95 persen lebih rendah daripada APM SD/sederajat di tahun yang sama. Artinya, wajib belajar sembilan tahun tercapai tidak lebih dari 80 persen dan itu menunjukkan betapa masih ada persoalan penting menyangkut penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.

Belum tuntasnya wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun ditinjau dari sisi anggaran memang beralasan sekali karena pada 2013 ternyata alokasi anggar- an untuk pendidikan dasar hanya 23 persen, untuk pendidikan menengah 22 persen, dan sisanya (55 persen) dialokasikan untuk pendidikan tinggi. Inilah �balik kanan� pertama yang harus terjadi di tahun-tahun mendatang, yaitu alokasi anggaran untuk pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah harus jauh lebih besar daripada alokasi untuk pendidikan tinggi.

Balik kanan 180 derajat ini tak cukup hanya pada alokasi anggarannya, tetapi juga para pejabat di Kemdikbud karena dalam lima tahun terakhir ini mereka didominasi unsur perguruan tinggi.

Paradigma �wong cilik�

Tidak tuntas di wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun (anak usia 7-15 tahun)
agaknya menjadikan �ketakutan� tertentu dalam diri Kemdikbud dan akhirnya tidak berani mencanangkan wajib belajar 12 tahun. Lalu dirumuskanlah Pendidikan Menengah Universal (PMU) dan mulai 2014 konon PMU sangat diutamakan agar kelak pada 2020 sebanyak 97 persen anak usia 16-18 tahun mendapat pendidikan menengah (Kompas,19/8/2013).

Konsep PMU tidak sangat tegas, kecuali hanya menekankan bahwa PMU adalah bentuk investasi yang mengantarkan generasi sekarang menjadi generasi masa depan yang kompeten dan produktif. Maka, PMU perlu dilandasi tiga kriteria: nondiskrimi- natif, afirmatif, dan kualitas (Bambang Indriyanto dalam majalah pendidikan Merah Putih, Edisi 58, Desember 2013). Ketidaktegasan ini sebaiknya menjadi momentum �balik kanan� kedua bagi penguasa ke depan yang konon selalu mengumandangkan jargon demi kesejahteraan wong cilik.

Intinya, setelah balik kanan pertama, maka pada balik kanan kedua ini harus berani ditetapkan dan ditegaskan pentingnya wajib belajar 12 tahun. Pemaknaan tentang wong cilik jangan terbatas pada aspek dan hitungan ekonomi yang mengarah kepada mereka yang miskin, tetapi juga harus fokus kepada wong cilik dalam arti anak usia 0-18 tahun dalam segala aspek kebutuhannya, terutama pendidikan.

Dunia pendidikan dewasa ini sudah sangat kapitalistis. Contoh sangat jelas adalah kegiatan studi banding ke luar negeri yang dilakukan, baik siswa, kepala sekolah, maupun guru (termasuk di perguruan tinggi). Studi banding ke luar negeri sebenarnya hanya pergi pesiar, wisata, dan belanja, tetapi dibungkus studi banding tanpa pernah mempertimbangkan sebanding atau tidak.

Paulo Freire pernah menegaskan dalam Sekolah, Kapitalisme Yang Licik (ed M Escobar, 1998), tindakan pendidikan adalah tindakan politik yang sangat memengaruhi cara pandang setiap orang dalam mengkritik sistem kehidupan dan pendidikan yang sangat diwarnai corak kapitalisme. Sayangnya, sekolah justru menanamkan cara pandang dan sistem kapitalisme itu.

Sekolah selalu gagal menanamkan dan menghadirkan realitas sosial yang harusnya digumuli sekolah (siswa dan guru) karena proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dalam membaca realitas sosial secara kritis dan cerdas. Mengambil contoh yang saat ini sedang terjadi terkait bencana alam, apakah Kemdikbud punya terobosan agar sekolah mengajarkan realitas sehari-hari tentang banjir, tanah longsor, gempa? Tidak.

Karena itu, diperlukan �balik kanan� ketiga. Penguasa ke depan hendaknya benar-benar menyadari bahwa pendidikan harus berhasil menanamkan bela rasa kepada wong cilik dalam arti golongan miskin menderita, maka sekolah harus dijauhkan dari pola pikir kapitalistis. Alokasi dana fungsi pendidikan 65 persen terserap untuk gaji dan berbagai tunjangan guru (dan dosen). Karena itu, penguasa ke depan harus berhasil menuntut guru benar-benar mencurahkan seluruh perhatiannya kepada tertanamnya bela rasa kepada wong cilik.

JC Tukiman Taruna, Pemerhati Pendidikan

Pilihan Strategis Hapus Dua Tiongkok

Rene L Pattiradjawane

ADA perkembangan penting dalam hubungan Tiongkok-Taiwan, rencana pertemuan pejabat pemerintahan masing-masing di Nanjing, ibu kota Provinsi Jiangsu, Tiongkok timur. Menurut rencana, Ketua Dewan Urusan Masalah Daratan Tiongkok Wang Yu-chi akan bertemu dengan Ketua Kantor Urusan Taiwan Dewan Negara Tiongkok (kabinet) Zhang Zhijun dua pekan menjelang perayaan Cap Go Meh bulan depan.

Pertemuan yang pertama kali kedua pejabat negara ini jadi penting bukan hanya mencari solusi damai kedua pihak yang secara teknis masih dalam kondisi perang saudara, melainkan juga akan mengubah konstelasi geopolitik di kawasan Asia Timur. Tak disebutkan agenda pembahasan Wang-Zhang ini. Pihak Taiwan dalam percakapan dengan Kompas, pekan lalu, menyebutkan salah satunya adalah mencoba mencari modalitas bagi Presiden Taiwan Ma Ying-jeou untuk bisa berkunjung ke daratan Tiongkok di sela-sela pertemuan APEC akhir tahun ini.

Pemerintah Republik Tiongkok (nama lain untuk Taiwan) berdiri di pulau yang berseberangan dengan Provinsi Fujian, pesisir timur daratan Tiongkok, setelah kekalahan kelompok Kuomintang (Partai Nasionalis Tiongkok) yang melarikan diri ke Pulau Taiwan di bawah Generalisimo Chiang Kai-shek karena kekalahannya menghadapi kelompok komunis, Partai Komunis Tiongkok (PKT), yang sekarang berkuasa.

Setidaknya ada dua alasan mengapa pertemuan Wang-Zhang ini dilakukan di daratan Tiongkok yang sebelumnya selalu terjadi di negara ketiga. Pertama, para penguasa Beijing lebih percaya untuk berbicara dengan para pejabat Kuomintang yang berkuasa dan berharap bisa melakukan terobosan sebelum dilaksanakannya pemilu presiden Taiwan tahun 2016.

Kedua, Beijing melakukan pilihan strategis menghadapi perubahan geopolitik di kawasan Asia Timur, khususnya atas klaim tumpang tindih Pulau Diaoyu (Taiwan menyebutnya Diaoyutai) dengan Jepang (menyebutnya Senkaku) yang semakin agresif dalam memproyeksikan kontribusi proaktif bagi perdamaian. Bagi Jepang, kebangkitan Tiongkok akan menjadi ancaman kalau tidak diimbangi dengan kekuatan militer yang memadai.

Bersamaan dengan ini, ada faktor lain yang ikut memengaruhi upaya perubahan geopolitik hubungan Tiongkok-Taiwan dalam kurun lima tahun ke depan. Pertama, pilihan strategis bagi Tiongkok-Taiwan, menyangkut kelangsungan pembangunan ekonomi kedua pihak, bersamaan dengan semakin melambatnya laju pertumbuhan pembangunan ekonomi keduanya dengan ketergantungan yang sangat tinggi.

Kedua, perlunya modifikasi hubungan kedua belah pihak dalam rangka mengurangi peranan AS yang masih terikat dengan Taiwan melalui Taiwan Relations Act 1979 setelah pemulihan hubungan Beijing-Washington (1978) dengan memberikan peluang intervensi apabila Taiwan diserang Beijing. Menghilangkan faktor ini akan mempersempit lingkup pengaruh kebijakan poros AS mengembangkan titik optimum penggelaran kekuatan militernya.

Ada pepatah Tionghoa berbunyi �he ze liang li duo ze liang shang,� kerja sama menguntungkan keduanya, perkelahian akan melukai keduanya. Pilihan strategis yang dilakukan Presiden Tiongkok Xi Jinping, menyelesaikan persoalan Taiwan mengantisipasi perubahan drastis di dalam negeri melalui dukungan keuangan, sumber daya manusia, dan teknologi Taiwan, ataupun ancaman perubahan geopolitik lingkungan regional.

Rene L Pattiradjawane, Wartawan Senior Kompas

Senin, 27 Januari 2014

Analisis Pendidikan Wapres

Muchlas Samani

AKHIR tahun lalu, di hadapan peserta kuliah umum di Universitas Monash Melbourne, Australia, Wakil Presiden Boediono mengakui, pendidikan di Indonesia tertinggal. Menurut Wapres ada tiga tantangan mendasar untuk mengejar ketertinggalan Indonesia: kekurangan guru bermutu, fasilitas pendidikan, dan materi ajar.

Kalaupun ada guru bermutu, mereka tidak terdistribusi dengan baik. Fasilitas pendidikan di daerah terpencil juga minim dan penyampaian materi ajar tidak sesuai dengan standar.

Menurut Wakil Presiden (Wapres), guru adalah kunci. Isi dan penyampaian materi ajar tidak mencapai standar karena gurunya kurang bagus. Apa pun kebijakan mutu pendidikan, akhirnya guru yang melaksanakan di lapangan.

Analisis Wapres sejalan dengan kesimpulan Thomas Friedman terhadap kemajuan pendidikan di Shanghai, China.

Menurut Friedman, rahasia peningkatan mutu pendidikan di Shanghai terletak pada: a deep commitment to teacher training, peer- to-peer learning and constant professional development, a deep involvement of parents in their children�s learning, an insistence by the school�s leadership on the highest standards and a culture that prizes education and respects teachers (The New York Times, 22 Oktober 2013).

Untuk mendapatkan guru bermutu tentu perlu calon yang pandai dan mendapat pendidikan guru yang bermutu. Studi Wang dan kawan-kawan (2003) berjudul Preparing Teachers Around the World mengonfirmasi argumen tersebut. Belanda, Hongkong, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura adalah negara yang bagus dalam menyiapkan calon guru dan juga membinanya setelah bekerja di sekolah. Hasilnya, pendidikan bermutu di negara-negara itu.

Bagaimana menggunakan analisis itu untuk mengejar ketertinggalan pendidikan kita?

Mendidik guru

Data Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dua tahun terakhir memberikan harapan untuk memperoleh calon guru yang bagus. Ada 69,4 persen pendaftar Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2013 yang ingin menjadi guru dan masuk ke Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).

Pertanyaan berikutnya adalah apakah proses pendidikan di LPTK cukup bagus? Belum ada studi yang menggambarkan kualitas pendidikan di LPTK. Yang pasti mutu LPTK sangat bervariasi. Apalagi ketika minat menjadi guru naik, jumlah LPTK juga naik tajam.

Tahun 2008 jumlah LPTK 270-an, kini mencapai 415 dengan mahasiswa sekitar 1,2 juta orang dan jumlah lulusan sekitar 250.000 orang per tahun. Peningkatan jumlah LPTK ini sangat mengkhawatirkan karena mutu pendidikan menjadi tidak terjaga.

Pendidikan di LPTK sebenarnya semi-kedinasan, karena lulusannya dipersiapkan menjadi guru. Jika kebutuhan guru setiap tahun hanya sekitar 70.000 orang, sudah saatnya ada pengaturan jumlah LPTK ataupun jumlah mahasiswanya. Upaya ini sekaligus memberdayakan LPTK agar mampu menghasilkan guru bermutu.

Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen, yang mewajibkan guru berpendidikan S-1 plus pendidikan profesi guru (PPG) dapat digunakan sebagai instrumen pengendalian jumlah LPTK. LPTK yang memenuhi syarat tertentu yang boleh membuka PPG dan jumlah mahasiswanya juga ditentukan. Lebih baik kalau mahasiswa PPG diberikan dinas, sebagaimana diamanatkan Pasal 23 Ayat (1) UU Guru dan Dosen.

Pola pendidikan guru di China yang merekrut calon dari beberapa daerah, diasramakan dan diberi beasiswa, merupakan contoh baik bagi Indonesia. Diambil dari daerah dan diberi beasiswa akan memudahkan penempatan mereka setelah lulus.

Dengan diasramakan, proses pendidikan dapat dilakukan 24 jam, sehingga efektif untuk pembinaan karakter.

Pemerataan guru
Distribusi guru merupakan masalah yang pelik. Secara agregat jumlah guru kita sangat cukup.
Rasio guru kita lebih baik dibandingkan dengan Singapura dan Thailand, tetapi banyak sekolah di pedesaan kekurangan guru (Jalal, 2010). Guru baru enggan ke daerah terpencil, sebaliknya guru di daerah ingin pindah ke kota.

Tahun 1999 pernah ada program redistribusi guru dengan batuan Bank Pembangunan Asia.
Namun, program tersebut tidak berhasil karena kepindahan guru ke sekolah di pedesaan dimaknai sebagai hukuman. Oleh karena itu, diperlukan pola karier guru yang mengaitkan perpindahan ke daerah terpencil sebagai bagian dari pembinaan karier.

Ketidaksesuaikan isi dan metode pembelajaran juga terkait dengan pembinaan profesionalisme guru, tetapi kita belum mempunyai pola yang mapan. Di negara maju, guru wajib mengikuti pelatihan setiap tahun. Mereka juga mempunyai Professional Learning Community (PLC) sebagai wahana diskusi.

Kita punya MGMP (Musyawarah Guru Matapelajaran) dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang mirip dengan PLC. Hanya saja kegiatan MGMP dan KKG biasanya hanya untuk menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Padahal PLC dan MGMP dan KKG merupakan wahana bagus bagi guru untuk berbagi pengalaman dan gagasan.

Kita juga pernah punya sanggar MGMP dan KKG yang dikembangkan melalui proyek Bank Dunia. MGMP dan KKG perlu diaktifkan kembali.

Dengan teknologi modern, kegiatan MGMP/KKG/sanggar dapat dihubungkan dengan Pusat Sumber Belajar (PSB) di universitas agar dapat berbagi pengalaman dan keahlian. Apalagi sekarang guru sudah mendapatkan tunjangan profesi untuk mengembangkan profesionalisme.

Muchlas Samani, Rektor Universitas Surabaya

Spektrum Otonomi Kekhususan

Irfan Ridwan Maksum

POLITIK yang memanas pada 2014 ini diperkirakan dibarengi dengan pergeseran hubungan pusat-daerah.

Pergeseran pola hubungan itu telah berulang kali terjadi. Perpindahan dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan lalu bergeser ke masa demokrasi liberal, kemudian dari demokrasi liberal ke demokrasi terpimpin, dari demokrasi terpimpin ke masa Soeharto, hingga yang terakhir ini dari masa Soeharto ke masa Reformasi selalu ditandai dengan pergeseran pola hubungan pusat-daerah.

Bahkan, jauh sebelumnya, menurut Hoessein (1993), pada 1903 di bumi Nusantara terjadi perubahan pola hubungan pusat-daerah lantaran di Belanda terjadi perputaran arus politik yang keras menyangkut hubungan antara raja, perdana menteri, menteri urusan negeri jajahan, dan gubernur Hindia Belanda.

Tampaknya hubungan pusat-daerah yang mengguncang adalah soal keinginan beberapa daerah mengikuti Aceh, Yogya, Papua, dan Jakarta untuk mendapat kekhususan.  Sementara itu, kita tahu Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) geram mengatasi persoalan Jakarta dengan kekhususannya sebab tak mampu menghadapi kekuasaan beberapa unit pusat yang semestinya memberi kontribusi di wilayahnya.

Persoalan Papua tak kunjung padam. Masalah bendera Aceh belum tuntas. Daerah Istimewa Yogyakarta menimbulkan efek berantai kepada sejumlah wilayah bekas kesultanan di Indonesia.

Gradasi

Kekhususan dalam otonomi muncul karena ketakpuasan daerah akan kebijakan pusat. Pertanyaannya, apakah dalam konteks negara bangsa, perubahan yang timbul mendorong diskriminasi hubungan pusat-daerah. Munculnya istilah  khusus ini merupakan respons atas standardisasi, biasanya dilakukan di berbagai negara yang berbentuk kesatuan.

Di negara federal, kekhususan amat jarang muncul. Kalaupun ada, ia muncul didorong faktor budaya yang amat sulit diakomodasi dalam struktur dasar federalnya. Contohnya, Negara Bagian Quebec di Kanada. Struktur pemerintahan federal Kanada tak menampung kekhasan kultural penduduk Quebec sehingga penduduknya menuntut lebih dari sekadar tata kelola yang ada.

Sebagai catatan: di negara federal, negara bagian masing-masing memiliki UUD yang antara lain mengatur struktur pemerintahan daerah masing-masing. Di negara kesatuan hal tersebut tak mungkin sebab hanya satu UUD. Struktur pemerintahan di bawahnya secara nasional diatur dalam satu UU mengenai pemerintahan daerah yang berdasar UUD tersebut.

Sebetulnya dapat dipolakan gradasi kekhususan yang terjadi dalam relasi pusat-daerah. Gradasi itu umumnya ditengarai tiga aspek: (1) pola tata kelola internal; (2) besar kewenangan; (3) besar sumber keuangan. Tuntutan yang bergulir setelah Papua, Aceh, dan Yogya agaknya lebih ke sumber keuangan,  tuntutan kekhususan yang amat vulgar.

Secara konseptual, dalam desentralisasi,  besar kewenangan dan besar sumber keuangan mengikuti apa yang menjadi makna otonomi itu sendiri. Sudah seharusnya daerah yang tidak memiliki laut, katakanlah, tidak mengurusi soal kelautan atau berbagai hal mengenai laut.

Begitu pula mengenai sumber keuangan, terdapat block grant yang mengikuti kemauan daerah jika dikembangkan sesuai dengan konsep dan spirit block grant. Tentu antara satu daerah dan daerah lain akan berbeda dalam hal ini, terlebih karena terdapat pendapatan asli daerah.

Kekhususan masa depan

Dua pertimbangan kekhususan yang mungkin dapat dibuat di Indonesia di masa depan.

Pertama, menyangkut kekhususan untuk daerah-daerah metropolitan dan megalopolitan. Kedua, kekhususan dengan sistem nonprefektorat.
Kota-kota besar Indonesia jika tidak diakomodasi dalam kekhususan�seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Semarang, dan Bandung�tetap akan berperilaku standar dan tidak mampu bersaing dengan kota-kota internasional lainnya di dunia. Kekhususan yang dimaksud bukan kekhususan seperti Jakarta sekarang, melainkan terobosan fungsional dalam tata kelola internal kotanya.

Pertimbangan menyusun kekhususan di negara Indonesia yang menganut prefektoral terintegrasi sejak masa Hindia Belanda juga dapat dilakukan dengan menyusun pola nonprefektorat. Artinya, kita rancang respons tuntutan daerah akan kekhususan dengan memberikan peluang tata kelola internalnya dengan tidak menganut wakil pemerintah, seperti negara-negara yang berkiblat ke Inggris-Amerika Serikat yang berpola fungsional.

Di daerah-daerah tersebut, DPRD menjadi pengendali utama dengan kepala daerah diambil dari anggota DPRD sebagai CEO (commissioner-system), atau berpola managerial yang diambil dari elemen masyarakat yang dipilih DPRD (council-manager system). Jadi, bukan soal wewenang atau sumber keuangan semata.

Kedua pola di atas, jika diterapkan di Indonesia, tampaknya tidak mengganggu struktur negara Indonesia sebagai negara kesatuan dan mendorong relasi yang lebih akomodatif, fleksibel, berkarakter lokal, dan mendorong keefektifan dan efisiensi pemerintahan. Semoga.

Irfan Ridwan Maksum, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Mengevaluasi Kurikulum 2013

Ki Supriyoko

SEORANG mahasiswa program magister pada satu perguruan tinggi mengajukan judul tesis tentang evaluasi implementasi Kurikulum 2013 di wilayah kabupaten tertentu.

Sang dosen calon pembimbing pun memberi arahan: topik tersebut tak layak diteliti, apalagi jadi tesis sebagai simbol keberhasilan studi pascasarjana. Argumentasinya, Kurikulum 2013 baru efektif diberlakukan satu semester tak layak dievaluasi. Kalaupun dipaksakan, hasilnya pasti buruk; proses dan produknya.

Pendapat subyektif bahwa hasil evaluasi Kurikulum 2013 pasti buruk kiranya perlu mendapat perhatian kita, terutama para pengambil keputusan pendidikan di negeri ini. Pada sisi lain, pendapat bahwa Kurikulum 2013 yang baru satu semester diimplementasi tidak layak dievaluasi kuranglah benar. Berdasarkan teori evaluasi, suatu kurikulum yang sudah dijalankan selama satu semester sudah layak dilakukan; bahkan dalam satu caturwulan pun, kalau sistemnya caturwulan, layak dilakukan.

Evaluasi proses

Sebenarnya evaluasi proses menyangkut banyak aspek, tetapi dalam tulisan ini difokuskan pada banyaknya sekolah yang pada 2013 mendapat kepercayaan untuk mengimplementasikannya.

Apabila kita membuka portal �EPIK: Sistem Elektronik Pemantauan Implementasi Kurikulum 2013� milik Kemdikbud, pada 2013 implementasi Kurikulum 2013 baru pada 6.973 sekolah (2.865 SD; 1.535 SMP; 1.431 SMA; dan 1.142 SMK). Kalau dilihat lokasi sekolahnya, ternyata 3.598 (52 persen) di Pulau Jawa.

Kalau jumlah sekolah di Indonesia lebih dari 200.000 sekolah, 6.973 sekolah yang jadi sasaran implementasi Kurikulum 2013 tak hanya  3,5 persen. Jumlah ini terlalu sedikit untuk implementasi suatu kurikulum baru. Untuk rintisan saja jumlah ini sangat sedikit. Untuk mengimplementasi kurikulum baru, idealnya paling tidak 50 persen dari keseluruhan sekolah, dan untuk rintisan idealnya paling tidak 10 persen. Angka yang 3,5 persen itu idealnya untuk uji coba.

Antara implementasi, rintisan, dan uji coba memiliki persyaratan dan perilaku yang berbeda. Implementasi dilakukan untuk kurikulum yang sudah �jadi� dan dalam perlakuannya sudah tidak ada (banyak) perbaikan. Rintisan dilakukan untuk kurikulum �hampir jadi� dan dalam perlakuannya dimungkinkan ada (banyak) perbaikan. Uji coba untuk kurikulum �belum jadi� dan dalam perlakuannya dimungkinkan banyak perbaikan, bahkan  dimungkinkan tidak dilanjutkan sampai tahap implementasi.

Implementasi kurikulum pada sekolah yang terlalu sedikit jumlahnya, apalagi terpusat pada suatu lokasi, sangat besar risikonya; baik risiko substantif (sulitnya menyamakan kesetaraan substansi antarsekolah), risiko representatif (sulitnya mengukur representativitas karakter sekolah), dan risiko implementatif (sulitnya mengimplementasikan kurikulum tahapan berikutnya). Implementasi Kurikulum 2013 mengalami semua risiko tersebut.

Evaluasi produk

Implementasi Kurikulum 2013 ibarat orang berlari sambil membetulkan tali sepatu. Artinya sudah lari meski persiapannya belum selesai. Implementasi Kurikulum 2013 juga demikian; sudah diimplementasi meski persiapannya belum selesai.

Apa persiapan yang belum selesai? Banyak guru yang menjalankan kurikulum baru, tetapi belum mendapat penataran; banyak kepala sekolah juga belum ditatar; dan buku-buku yang mendukung kurikulum baru pun belum semua dimiliki sekolah.

Sebenarnya banyak konsep bagus dalam Kurikulum 2013. Misalnya konsep tematik integratif di SD, tapi tidak bisa terlaksana dengan baik karena pemerintah sibuk �membetulkan tali sepatu�. Konsep tematik integratif sangat baik, tapi pelaksanaannya perlu kesiapan guru; dalam hal ini gurunya harus profesional, menguasai banyak materi, pandai mengintegrasi materi satu dengan yang lain, serta pandai menyampaikannya kepada peserta didik. Hal inilah yang belum dimiliki kebanyakan guru SD kita.

Hal yang sama juga terjadi di SMP. Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang diubah konsep dari mata pelajaran menjadi sarana pembelajaran pada semua mata pelajaran menuntut semua guru SMP menguasai TIK dalam pembelajaran. Konsep ini sangat bagus, tetapi dalam realitasnya banyak guru SMP yang kurang familiar dengan TIK.

Dengan kenyataan seperti itu, sulit menyatakan Kurikulum 2013 telah berhasil dijalankan.

Ki Supriyoko, Wakil Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Doktor Bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan