Kamis, 28 November 2013

Kepantasan Dokter Melakukan Mogok

Ali Ghufron Mukti
 
DOKTER adalah profesi luhur dan terhormat. Dalam sejarah, seorang dokter digambarkan setengah dewa dan setengah manusia. Banyak yang berminat menjadi dokter.

Banyak anak jika ditanya, bercita-cita menjadi dokter. Namun, tak semua anak yang bercita-cita menjadi dokter bisa menjadi dokter. Untuk menjadi dokter tidak cukup hanya mengandalkan kekayaan. Prasyarat kecerdasan, niat luhur menolong sesama, ketekunan, ketelatenan, dan keuletan harus dipenuhi.

Pendek kata, dokter adalah manusia pilihan di atas rata-rata masyarakat pada umumnya. Mereka memiliki jiwa pengabdian dan disumpah untuk selalu mendahulukan kepentingan pasien atau masyarakat.

Masalahnya kenapa para dokter spesialis kebidanan dan kandungan mogok pada 27 November 2013? Dapatkah diterima secara etis dokter melakukan pemogokan? Tentu jawabannya sangat dipengaruhi sudut pandang, posisi, konteks, dan tujuan mogok itu sendiri.

Dokter yang kebetulan istrinya sedang bersalin yang telah pembukaan lengkap atau siap melahirkan tentu tak setuju jika dokter-dokter kandungan seluruh Indonesia mogok.  Seorang pejabat dan direktur rumah sakit yang bertanggung jawab menjamin layanan kesehatan masyarakat berjalan lancar tentu akan merasa prihatin jika dokter kandungan mogok, apalagi secara nasional.

Risiko dokter

Bisa dimengerti jika Kementerian Kesehatan membuat surat edaran ke semua kepala dinas kesehatan dan direktur rumah sakit. Surat edaran tersebut terkait dengan rencana aksi solidaritas terhadap dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, SpOG dan kawan-kawan yang isinya ada tiga hal. Pertama, agar semua tenaga  kesehatan di rumah sakit mendukung dengan memakai pita hitam di lengan kanan.

Kedua, melakukan doa bersama untuk kesehatan dan kesejahteraan seluruh rakyat, kesembuhan pasien, serta keamanan dokter Indonesia dalam menjalankan tugasnya. Ketiga, memerintahkan agar pelayanan berlangsung seperti biasa dan pasien terlayani dengan baik.

Seorang profesor di fakultas kedokteran akan heran dan menanyakan mengapa para dokter mantan anak didiknya mogok, padahal sang profesor tak pernah sekalipun mengajari mogok, apalagi strategi dan teknik mogok.   Lantas mengapa dokter mogok? Penulis mencoba memahami para dokter yang akan melakukan mogok untuk istilah aksi solidaritas. Meski  penulis amat yakin, dokter tidak akan mogok, kecuali ada alasan kuat untuk itu.

Para dokter kandungan yang mogok khawatir mereka bisa mengalami risiko ditahan atau dianggap lalai atau melakukan malapraktik meskipun sudah menjalankan pengobatan sesuai standar praktik kedokteran, jika pasien meninggal. Mereka tahu persis, meski sudah memberikan layanan sesuai standar praktik kedokteran, tetapi mereka yakin tidak bisa menjamin hasil proses layanan yang diberikan. Apalagi menyangkut nyawa dengan kondisi pasien yang parah.

Mereka ingin dalam menjalankan profesinya bisa aman dan terjamin dalam berbuat maksimal untuk menolong pasien terutama dalam keadaan  emergency yang belum tentu berhasil. Mereka tidak ingin kasus sama menjadi preseden terulangnya kejadian serupa. Jelas mereka ingin didengar masyarakat bahwa mereka telah menolong banyak pasien dan berhasil, tetapi hampir tidak pernah diberitakan. Sekali pasien meninggal yang belum tentu diakibatkan oleh tangan dokter, sering dokter sudah divonis lalai atau melakukan malapraktik. Seakan-akan semua perjuangan dan kebaikan berbuat maksimal untuk kebaikan pasien hilang dan tenggelam.

Bagaimana seharusnya

Tentu dari sekian banyak dokter, ada yang lebih dipengaruhi konsumerisme dan tuntutan terkait dengan status dokter. Ada dokter yang kurang kompetensi, keterampilan, dan pengalamannya sehingga pasien merasa dirugikan. Ada mekanisme tertentu yang sudah diatur agar masyarakat dapat mempertanyakan apakah seorang dokter melanggar etika, melakukan kelalaian, atau malapraktik.

Tidak perlu langsung aparat penegak hukum, tetapi melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Dengan mekanisme ini, semua akan diuntungkan dan semua tidak dirugikan.

Ali Ghufron Mukti, Wakil Menteri Kesehatan

Sains dan Pendidikan Sains

Premana W Premadi

PERNAH ada masa di mana sains dianggap arena bermain hanya segelintir orang sehingga dirasa terpisah dari hidup keseharian.

Walaupun pandangan sempit tentang sains dan saintis ini mungkin ada benarnya, disadari atau tidak, sains dan segala produknya telah banyak berperan dalam kemajuan umat manusia.

Di dalam sains sendiri, tingkat kemajuannya sangat pesat, bahkan pada beberapa sektor fundamental. Hasil pengamatan yang makin luas dan dianalisis secara cermat memberikan gambaran saintifik yang makin komprehensif tentang alam semesta.

Kesanggupan mengidentifikasi waktu sepanjang proses fisis yang berjalan memberdayakan sains untuk memprediksi kondisi masa datang. Kemampuan untuk memprediksi adalah modal krusial dalam peradaban.
Sains mengajak kita menyadari adanya keterbatasan alami sehingga sebagai makhluk hidup perlu mengatur strategi untuk melampaui keterbatasan itu. Manusia, dengan anugerah kecerdasan, sukses menanggulangi banyak keterbatasan alami ini.

Keindahan tantangan atau limitasi adalah pada dorongan untuk berpikir kreatif.. Selagi meningkatkan kapasitas berpikir, acapkali manusia tidak hanya berhasil mengatasi limitasi, tetapi melampaui itu manusia menemukan cara hidup yang lebih baik. Perspektif dan visi lintas kondisi  dan ruang-waktu  inilah yang dapat menghindarkan kita dari solusi tambal sulam terhadap masalah yang ada.

Mengajarkan sains

Dengan obyektif seperti inilah sains seyogianya dikembangkan dan diajarkan. Mengajarkan sains bukan menyampaikan fakta tentang alam saja, tetapi lebih penting lagi memperkenalkan bagaimana fakta itu ditemukan dan menginterpretasikannya.

Pernyataan Cliche: �fakta mengatakan�  tidaklah otomatis berdasar maupun berbobot. Kita menginterpretasi fakta menggunakan aliran logika pikiran kita. Hanya setelah interpretasi ini diterima dengan mapan barulah kita dibukakan jalan pintas untuk menerima apa yang fakta katakan. Tidak ada yang terberi dengan gratis di dalam sains; minimal kita dipinjami cara berpikir yang sekarang diterima. Untuk dinilai kreatif dan maju, kita harus memproduksi lebih daripada yang kita pinjam.

Perlu ditegaskan bahwa kebenaran saintifik tidak melingkupi seluruh kebenaran. Artinya kebenaran saintifik memiliki keterbatasan dan tidak absolut. Ketidakabsolutan dan ketidakmapanan pengetahuan inilah yang justru mendorong sains untuk dapat terus, bahkan harus, dikembangkan, dipertajam, dan dihaluskan. Pemahaman akan keterbatasan ini dan akan proses internal kerja sains membuat usaha pencarian kebenaran yang tak pernah berujung sekaligus membuka kesempatan kepada siapa pun untuk berpartisipasi.

Pendidikan sains yang terstruktur seperti yang diberikan dalam sistem-sistem pendidikan yang terinstitusi seperti sekolah dan universitas, harusnya dapat mengenali dorongan dan perkembangan sains sebagai karakter intrinsik sains itu sendiri.

Pendidikan sains juga perlu mempersepsi kebutuhan dan derajat penerimaan sains dalam masyarakat. Artinya, pembelajaran modern untuk sains harus memasukkan fondasi-fondasi dalam sains, keadaan terkini dalam perkembangannya, dan juga cara-cara cerdas untuk mengantisipasi implikasi jangka panjangnya pada kemanusiaan.

Tujuan pembelajaran sains dengan isi seperti itu sedikitnya ada dua. Pertama, pendidikan menyiapkan generasi ilmuwan yang kompeten untuk pengembangan sains dalam semangatnya untuk mencari kebenaran.
Kedua, pendidikan ini akan memotivasi mereka sebagai ilmuwan terdidik dan terlatih untuk berperan konstruktif dalam proses pendewasaan masyarakat. Pengetahuan saintifik menjadi modal penting dalam pengambilan kebijakan pada berbagai aspek kehidupan.

Pengetahuan saintifik tak secara langsung memberikan pertimbangan moral, dan tidak pula berpretensi untuk memaksakan nilai-nilai baru, tetapi untuk memberikan pemahaman pada masyarakat tentang hubungan kausal dalam berbagai kondisi dan aksi fisis, dan melengkapi dengan landasan rasional yang dapat membantu berpikir tentang apa pun secara komprehensif dan holistik.

Cara kerja sains yang sangat menjunjung tinggi kejujuran dan terbuka terhadap kritik dan saran melatih ilmuwan untuk selalu bertindak etis. Prinsip kerja etis seperti ini akan mendorong sikap etis pada aspek-aspek lain.
Di dalam pendidikan sains, sangat perlu ditunjukkan batasan domain saintifik, yakni domain pada mana sains bekerja dan deskripsinya dipertimbangkan. Di luar domain itu, deskripsi saintifik tidak lagi sah.

Komunikasi konstruktif

Kurikulum yang mengizinkan adanya pintu-pintu penghubung di antara ranah-
ranah yang berbeda, sains dan non-sains, akan mengakomodasi suatu komunikasi yang sehat dan konstruktif di antara komponen-komponen dalam aspirasi manusia untuk membangun peradaban.

Menyertakan komponen ini dalam kurikulum pendidikan sains harus dinilai sebagai langkah positif yang perlu dievaluasi dan diakses secara saksama dan berkala. Di sekolah, pelajaran olahraga diberikan dengan obyektif utama menjadikan murid bugar dan berpikiran strategis. Maka, kegiatan utama pada jam pelajaran olahraga adalah berolahraga. Evaluasinya tidak dalam bentuk menjawab pertanyaan tentang berapa ukuran lapangan sepak bola.

Bagaimana pula kita mengukur kebaikan gizi anak-anak kita? Tidak dengan bertanya apakah mereka kenyang, tetapi dengan memeriksa fungsi-fungsi organ tubuh dan  keseimbangan tumbuh kembang mereka.
Bagaimana kita mengakses pendidikan sains kita?

Belum terlalu lama sejak manusia pertama kali mengarahkan lensa pengamatan kepada dirinya dan membandingkan dirinya dengan konstituen lain semesta sehingga akhirnya dipaksa bisa berbesar hati ketika menemukan betapa biasanya (common) proses fisis yang relevan dengan fisiknya.

Namun, sejalan dengan proses belajar manusia akan terus berlangsung, kita mempunyai banyak kesempatan untuk membuat dunia ini sebagai tempat hidup yang makin baik: seluruh umat manusia hidup berdampingan dalam damai, lingkungan sehat, dengan pengertian yang baik satu terhadap yang lain.

Di ujung hari, kurikulum sains yang baik, yang disampaikan dengan baik, akan menghadiahi masyarakat tak hanya sains berkualitas tinggi, tetapi juga ilmuwan yang baik, sang manusia.

Premana W Premadi, Alumnus Astronomi Institut Teknologi Bandung Angkatan 1983

Kebudayaan dan Antisipasi

Ignas Kleden

KALAU dikaji agak mendalam, akan kelihatan bahwa antisipasi dan sikap reaktif merupakan dua watak dasar dalam suatu kebudayaan.

Kebiasaan untuk melakukan antisipasi muncul dari pengandaian (eksplisit atau laten) bahwa dalam tiap keadaan, rencana, dan program akan selalu muncul kesulitan, hambatan, dan masalah yang sepatutnya dihadapi dengan semacam persiapan. Kesiapan menghadapi perkiraan tentang masalah dan kesulitan yang bakal muncul dilakukan dengan mengalkulasi beberapa jenis masalah berdasarkan kategori yang disusun untuk keperluan ini, dan sekaligus menyiasati sejumlah ikhtiar untuk mengatasi kesulitan-kesulitan itu apabila benar-benar muncul.

Pertama, masalah dapat muncul dari pelaksanaan suatu program atau kebijakan sekalipun program itu dilaksanakan dengan baik sesuai dengan rencana. Hampir selalu muncul akibat-akibat yang tak sengaja dan tak terduga dari pelaksanaan suatu program. Sosiologi menyebutnya  unintended results atau akibat yang muncul di luar rencana. Pelaksanaan otonomi daerah sejak Januari 2001 dimaksudkan untuk mengurangi sentralisme kekuasaan pemerintah pusat dan desentralisasi pemerintahan ke daerah, melalui delegasi wewenang yang lebih besar kepada kepala daerah (bupati atau wali kota).

Akibat yang tak diduga ialah penerapan otonomi daerah kemudian mengakibatkan menguatnya sentimen-sentimen kedaerahan, baik menurut garis etnis, garis wilayah, garis agama, maupun garis kekerabatan. Konflik-konflik sosial dalam banyak pilkada telah turut disulut oleh sentimen-sentimen ini.

Kedua, masalah dapat muncul karena sebuah program atau kebijakan diselewengkan melalui sejumlah intervensi dalam pelaksanaannya. Pemilihan kepala daerah secara langsung tentu dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat lokal untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan aspirasi dan harapan mereka dan tingkat keterpilihannya dapat mereka pengaruhi melalui suara yang mereka berikan dalam pemilihan. Dengan kata lain, memberi peranan lebih besar kepada partisipasi politik masyarakat setempat. Namun, dalam pelaksanaan, partisipasi pemilih itu dikacaukan penggunaan uang untuk menyogok para pemilih, dengan akibat pemilih menjadi tidak bebas dalam memberikan suara, dan tidak memilih pemimpinnya menurut pertimbangan dan hati nurani mereka.

Ketiga, masalah dapat juga timbul karena muncul perkembangan baru yang memengaruhi pelaksanaan suatu kebijakan dan program, yang disusun pada waktu perkembangan baru itu belum terjadi. Contoh yang paling mutakhir ialah berubahnya banyak kerja sama dalam hubungan Indonesia�Australia, dalam bidang diplomasi, politik, ekonomi, dan pertahanan setelah terungkap penyadapan telepon Presiden Indonesia dan beberapa petinggi RI lainnya pada 2009 oleh pihak intelijen Australia.

Antisipasi dan kesiapan

Orang-orang yang terbiasa pada antisipasi terbiasa juga menghitung dan membayangkan masalah dan kesulitan yang mungkin muncul dalam pelaksanaan suatu program serta menanggapinya sebagai hal yang tidak luar biasa dan tidak harus mengejutkan, tetapi patut dihadapi dengan ikhtiar yang sepadan. Inilah sebabnya monitoring dan evaluasi selalu ditetapkan sebagai bagian penting dalam manajemen suatu proyek. Monitoring berfungsi melihat berhasil atau gagalnya suatu proyek pada tingkat implementasinya, sementara evaluasi melihat kelayakan proyek itu berdasarkan kebutuhan yang ada, kemungkinan yang tersedia, dan hambatan-hambatan yang timbul, bukan saja secara teknis, melainkan juga secara strategis dan mungkin juga politis. Yang satu mengecek doing things right, yang kedua memeriksa doing the right things.

Sebaliknya, tidak kurang pula orang-orang yang lebih cenderung tidak melihat masalah, acuh terhadap kesulitan yang timbul, dan mengandaikan bahwa program akan berjalan mulus dan lancar, selama dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah disusun. Sikap ini dapat dilihat dalam kebiasaan untuk memulai suatu proyek dengan ritual yang meriah, yang dihadiri pejabat-pejabat tinggi dan rendah, yang memperlakukan awal suatu kerja besar bagaikan perayaan ulang tahun, yang penuh karangan bunga dan tepuk tangan disertai kehangatan ciuman pipi kiri dan kanan.

Kebiasaan memulai pekerjaan besar dengan suasana yang riuh rendah dan bukan dengan penuh kehati-hatian, perhitungan dan kesiapan menghadapi rintangan, merefleksikan semacam alam pikiran, di mana kesulitan dan masalah tidak ditanggapi sebagai sesuatu yang normal dan harus diterima dengan wajar dan waras, tetapi merupakan penyimpangan atau deviasi dari rencana yang seharusnya berjalan serba mulus. Masalah dan kesulitan tidak dilihat sebagai bagian dari pelaksanaan program, tetapi sebagai keadaan eksternal yang tidak normal, dan bahkan merupakan contingency  yaitu keadaan tak pasti yang muncul mendadak secara serba kebetulan.

Untuk mudahnya, bisa dikatakan, kelompok pertama memasukkan antisipasi dalam sikap budaya mereka, sedangkan kelompok kedua cenderung hanya bersikap reaktif terhadap keadaan yang dikiranya muncul mendadak dan kebetulan. Dilihat dalam perspektif waktu, mereka yang berantisipasi mempunyai mekanisme kejiwaan untuk melihat hidupnya pada masa sekarang selalu dalam hubungan erat dengan masa depan, dan dampak masa depan terhadap keadaan sekarang. Sebaliknya, mereka yang memandang hidupnya tanpa persoalan cenderung membatasi perhatiannya pada masa sekarang saja, sedangkan masa depan berada jauh di luar masa sekarang dan tidak banyak sangkut pautnya dengan masa sekarang.

Dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia, ada beragam contoh yang memperlihatkan dengan cukup jelas sikap tanpa antisipasi dan kebiasaan untuk memberikan reaksi sekadarnya apabila memang muncul masalah dalam pelaksanaan program atau kebijakan.

Dalam kaitan ini, sangat mungkin bahwa kepemimpinan Jokowi-Ahok di DKI Jakarta mendapat banyak dukungan dan simpati karena keduanya, secara sengaja atau tidak, telah mengubah kebiasaan pemerintah yang hanya reaktif terhadap masalah yang timbul, melalui antisipasi yang terukur dan diperhitungkan dalam rencana dan kinerja mereka.

Masalah banjir umpamanya telah muncul selama puluhan tahun di Jakarta, tetapi Pemerintah DKI seperti kelabakan setiap kali menghadapinya, dan akhirnya menyerahkan saja kepada warga untuk menyelamatkan diri dengan caranya masing-masing. Bagi orang yang bukan ahli pun sudah jelas antisipasi apa yang perlu dilakukan untuk menghadapi masalah banjir.

Memang, banjir di Jakarta adalah masalah amat besar yang perlu ditangani dengan kebijakan nasional dan dukungan pemerintah pusat. Namun, kalau banjir belum bisa dihentikan segera, ada banyak hal lain yang dapat dilakukan untuk memperkecil akibatnya dan mengurangi risiko yang menimpa penduduk.

Pemerintah Jokowi-Ahok membaca situasi itu dengan baik dan mengambil tindakan yang langsung dirasakan manfaatnya oleh penduduk Jakarta. Tanpa banyak pidato mereka mengamankan daerah penyerapan hujan, seperti Pluit, setelah berhasil membujuk penduduk pindah ke tempat baru yang disediakan Pemerintah DKI. Ini dilakukan dengan tegas, tetapi sopan.

Gorong-gorong dibersihkan dan diperlebar, serta sungai dan kali digali, diperdalam dan diperlebar, yang semuanya dilakukan dalam dialog yang terus-menerus dengan penduduk Jakarta agar menerima dan mendukung kebijakan mereka. Mereka juga tidak meributkan yang dilalaikan pemerintah sebelum mereka karena orientasi adalah masa sekarang yang dibangun berdasarkan antisipasi ke masa depan.

Pada tingkat nasional, pemerintah mengalami kesulitan dalam mempertahankan dan melanjutkan subsidi bahan bakar minyak. Anehnya, tidak ada regulasi tentang pembelian dan pemakaian mobil dengan mesin yang ukurannya banyak menyedot bahan bakar minyak (BBM). Pasar mobil dibiarkan bergerak dengan sangat liberal, padahal sudah ada contoh yang baik dan bisa ditiru dari zaman pemerintahan Presiden Soeharto. Ketika terjadi krisis energi pada tahun 1970-an, dikeluarkan peraturan oleh Pemerintah Orde Baru, yang melarang impor dan produksi mobil dengan mesin yang melebihi 3.000 cc.

Sekarang ini pembelian dan pemakaian mobil seakan diserahkan saja kepada kemampuan keuangan dan preferensi gaya hidup setiap orang dan bukan berdasarkan pertimbangan tentang kemampuan negara dalam melakukan suplai BBM berdasarkan stok yang ada. Muncul kemudian reaksi ad hoc seperti bantuan langsung tunai yang boleh dikata tidak lebih fungsinya daripada menjadi pain killer untuk penderitaan rakyat karena naiknya harga BBM, tetapi pastilah bukan resep untuk mengatasi kesulitan menyangkut BBM.

Hal yang sama dapat dikatakan tentang listrik. Jusuf Kalla, ketika masih menjabat Wakil Presiden dalam periode pertama pemerintahan Presiden SBY, pernah mengemukakan gagasan bahwa Indonesia memerlukan pembangkit tenaga listrik yang dapat menghasilkan tambahan 10.000 MW listrik untuk mengatasi gejalabyarpet yang berulang kali terjadi. Setelah Jusuf Kalla tidak lagi menjadi wakil presiden, gagasan itu seperti dibawa angin lalu dan tidak kelihatan usaha untuk merealisasikannya. Bangsa kita tidak terbiasa dengan antisipasi dan kembali kepada kebiasaan lama untuk memberikan reaksi-reaksi ad hoc, seperti pemadaman bergilir dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dan memberi kesan Jakarta yang mentereng, berubah menjadi desa di pedalaman pada waktu malam.

Contoh-contoh seperti ini dengan mudah dapat dipungut dari kebijakan pemerintah kita dalam sektor mana pun, tetapi intinya relatif sama, yaitu kecenderungan untuk hanya memberikan reaksi kalau sudah muncul masalah dan bukannya menyambut masalah secara kreatif karena ada antisipasi yang memperhitungkan kemunculan masalah-masalah dalam suatu kebijakan.

Pergeseran mental

Sebetulnya antisipasi bukanlah sesuatu yang susah-susah amat untuk dilakukan. Untuk dapat menginternalisasi kebutuhan dan kebiasaan antisipasi, dibutuhkan beberapa pergeseran secara mental.

Pertama, perlu diubah anggapan mengenai kebudayaan ataupun mengenai ekonomi dan politik. Kebudayaan tidak saja mengandung harmoni, tetapi juga mengandung potensi-potensi konflik, yang harus dikelola secara produktif. Ekonomi dan politik tidak selalu berjalan mulus, tetapi mengundang masalah dan kesulitan yang harus dihadapi dengan persiapan dalam antisipasi yang memperhitungkannya dan komitmen untuk mengatasi masalah apabila benar-benar muncul dalam perjalanan waktu.

Kedua, perspektif waktu dalam kebudayaan Indonesia perlu dipertajam, baik mengenai masa lampau, masa sekarang, dan masa depan serta kaitan yang ada di antaranya. Bahasa Indonesia tidak banyak menolong menanamkan perspektif waktu karena dalam sintaksis bahasa kita yang ada hanya masa sekarang, dan tidak ada masa lampau dan masa depan. Ini juga barangkali sebabnya kalau seorang pemimpin mengatakan akan menurunkan tingkat kemiskinan, karena tipuan bahasa, dia cenderung percaya bahwa dia sudah atau sedang menurunkan tingkat kemiskinan karena perspektif masa lampau dan masa depan hanya ditunjuk dengan kata keterangan seperti �sudah�, �akan�, dan semacam itu.

Kemampuan antisipasi pada akhirnya adalah indikator kebudayaan tentang kedewasaan suatu bangsa, apakah dia akan menghadapi masalah dengan terkejut dan emosional atau dia akan menanggapinya secara rasional dan siap mengatasinya.

Ignas Kleden, Sosiolog, Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

VIP-kan Guru-Guru Kita

Anies Baswedan

BERAPA jumlah guru yang masih hidup?� itu pertanyaan Kaisar Jepang sesudah bom atom dijatuhkan di tanah Jepang.

Kisah itu beredar luas. Bisa jadi itu mitos, tetapi narasi itu punya konteks yang valid: pemimpin �Negeri Sakura� itu memikirkan pendidikan sebagai soal amat mendasar untuk bangkit, menang, dan kuat. Ia sadar bukan alam yang membuat Jepang menjadi kuat, melainkan kualitas manusianya. Pendidikan jangan pernah dipandang sebagai urusan sektoral. Pendidikan adalah urusan mendasar bangsa yang lintas sektoral. Hari ini 53 persen penduduk bekerja kita hanya tamat SD atau lebih rendah, yang berpendidikan tinggi hanya 9 persen. Pendidikan bukan sekadar bersekolah, melainkan fakta itu gambaran menampar yang membuat kita termenung.

Dari sisi kuantitas, penduduk Indonesia di urutan keempat dunia, tetapi dari segi kualitas di urutan ke-124 dari 187 negara. Bangsa ini telah secara �terencana� membuat sebagian besar penduduknya dicukupkan untuk berlevel pendidikan rendah. Tak aneh jika kini serba impor karena memang sebagian besar penduduk bekerja kita hanya bisa menghasilkan produk bernilai tambah yang rendah.

Selama bangsa dan para pemimpinnya bicara pendidikan secara sambil lalu, dan selama masalah pendidikan dianggap bukan masalah kepemimpinan nasional, jangan harap masa depan akan bisa kuat, mandiri, dan berwibawa. Kunci kekuatan bangsa itu pada manusianya. Jangan hanya fokus pada infrastruktur penopang kehidupan bangsa. Sesungguhya kualitas infrastruktur kehidupan sebuah bangsa semata-mata cermin kualitas manusianya !

Pendidikan adalah soal interaksi antarmanusia. Interaksi antara pendidik dan peserta didik, antara orangtua dan anak, antara guru dan murid, serta antara lingkungan dan para pembelajar. Guru adalah inti dari proses pendidikan. Guru menjadi kunci utama kualitas pendidikan.

Berhenti memandang soal guru sebagai �sekadar� soalnya kementerian atau sebatas urusan kepegawaian. Soal guru adalah soal masa depan bangsa. Di ruang kelasnya ada wajah masa depan Indonesia. Gurulah kelompok yang paling awal tahu potret masa depan dan gurulah yang bisa membentuk potret masa depan bangsa Indonesia. Cara sebuah bangsa memperlakukan gurunya adalah cermin cara bangsa memperlakukan masa depannya!

Ya, penyesuaian kurikulum itu penting, tetapi lebih penting dan mendesak adalah menyelesaikan masalah-masalah terkait dengan guru. Guru merupakan ujung tombak. Kurikulum boleh sangat bagus, tetapi bakal mubazir andai disampaikan oleh guru yang diimpit sederetan masalah. Tanpa penyelesaian masalah-masalah seputar guru, kurikulum nyaris tak ada artinya.

Guru juga manusia biasa, dengan plus-minus sebagai manusia, guru tetap kunci utama. Seorang murid menyukai pelajaran bukan sekadar karena buku atau kurikulumnya, melainkan karena gurunya. Guru yang menyebalkan membuat murid menjauhi pelajarannya, guru yang menyenangkan dan inspiratif membuat murid mencintai pelajarannya.

Kita pasti punya banyak guru yang dulu mengajar. Ada yang masih diingat dan ada yang terlupakan. Artinya, setiap guru punya pilihan, mau jadi pendidik yang dikenang karena inspirasinya atau menjadi pendidik yang terlupakan atau malah diingat karena perilakunya negatif. Guru harus sadar diri. Ia pegang peran besar, mendasar, dan jangka panjang sifatnya. Jika seseorang tak mau menjadi pendidik yang baik, lebih baik berhenti menjadi guru. Terlalu mahal konsekuensi negatifnya bagi masa depan anak dan masa depan bangsa. Ini statement keras, tetapi para pendidik dan pengelola pendidikan harus sadar soal ini. Kepada para guru yang mendidik dengan hati dan sepenuh hati, bangsa ini berutang budi amat besar.

Tiga persoalan besar

Paling tidak ada tiga persoalan besar mengenai guru kita. Pertama, distribusi penempatan guru tidak merata.

Di satu tempat kelebihan, di tempat lain serba kekurangan. Kekurangan guru juga terjadi di kota dan di desa yang dekat kota. Ini harus dibereskan. Kedua, kualitas guru yang juga tidak merata. Kita harus mencurahkan perhatian total untuk meningkatkan kualitas guru. Mudahkan dan berikan akses bagi guru untuk mengembangkan potensi diri dan kemampuan mengajar. Bukan sekadar mendapatkan gelar pascasarjana, melainkan soal guru makin matang dan terbuka luas cakrawalanya.

Ketiga, kesejahteraan guru tak memadai. Dengan sertifikasi guru telah terjadi perbaikan kesejahteraan, tetapi ada konsekuensi administratif yang sering justru merepotkan guru dan perlu dikaji ulang. Selain soal guru honorer, guru bantu yang masih sering diperlakuan secara tak honored (terhormat). Semua guru harus dijamin kesejahteraannya.

Melihat kondisi sebagian besar guru hari ini, kita seharusnya malu. Kita titipkan masa depan anak-anak kepada guru, tetapi kita tak hendak peduli nasib guru-guru itu. Nasib anak-anak kita serahkan kepada guru, tetapi nasib guru amat jarang menjadi perhatian kita, terutama kaum terdidik, yang sudah merasakan manfaat keterdidikan. Bangsa Indonesia harus berubah. Negara dan bangsa ini harus menjamin nasib guru.

Menghormati guru

Mari bangun kesadaran kolosal untuk menghormati-tinggikan guru. Pemerintah harus berperan, tetapi tanggung jawab besar itu juga ada pada diri kita setiap warga negara, apalagi kaum terdidik. Karena itu, VIP-kan guru-guru dalam semua urusan!

Guru pantas mendapat kehormatan karena mereka selama ini menjalankan peran terhormat bagi bangsa. Saya ajukan dua ide sederhana menunjukkan rasa hormat kepada guru: jalur negara dan jalur gerakan masyarakat. Pertama, negara harus memberikan jaminan kesehatan bagi guru dan keluarganya, tanpa kecuali. Kedua, negara menyediakan jaminan pendidikan bagi anak- anak guru. Bangsa ini harus malu jika ada guru yang sudah mengajar 25 tahun, lalu anaknya tak ada ongkos untuk kuliah. Jaminan kesehatan dan pendidikan keluarganya adalah kebutuhan mendasar bagi guru. Kita harus mengambil sikap tegas: amankan nasib guru dan keluarganya sehingga guru bisa dengan tenang mengamankan nasib anak kita.

Di jalur masyarakat, Gerakan Hormat Guru harus dimulai secara kolosal. Misalnya, para pilot dan awak pesawat, gurulah yang menjadikanmu bisa �terbang�, sambutlah mereka sebagai penumpang VIP di pesawatmu, undang mereka boarding lebih awal. Para dokter dan semua tenaga medis, gurulah yang mengajarimu sehingga bisa berseragam putih, sambutlah mereka sebagai VIP di tempatmu merawat. Pada pemerintah dan dunia usaha di berbagai sektor, semua prestasi yang dikerjakan adalah buah didikan guru di masa lalu, VIP-kan guru, jadikan mereka customer utama, berikan mereka kemudahan, berikan mereka diskon. Bukan hanya besaran kemudahan atau diskon, melainkan ekspresi kepedulian itu yang menjadi bermakna bagi guru.

Dan semua sektor lainnya, ingatlah bahwa guru merupakan modal awal untuk meraih masa depan yang lebih baik, lebih sejahtera itu dibangun. Di setiap kata dalam pesan pendek (sms) yang ditulis, di sana ada tanda pahala guru. Bangsa ini akan tegak dan disegani saat guru-gurunya terhormat dan dihormati. Bagi anak-anak muda yang kini berbondong-bondong memilih pendidikan guru, ingat tujuan menjadi guru bukan cari tingginya rupiah. Anda pilih jalan mulia, menjadi pendidik. Jangan kemuliaan dikonversi sebatas urusan rupiah, itu cara pintas membuat kemuliaan alami devaluasi. Kesejahteraan Anda sebagai guru memang harus terjamin, tetapi biarkan sorot mata anak didik yang tercerahkan atau cium tangan tanda hormat itu menjadireward utama yang tak ternilai bagi anda.

Indonesia akan berdiri makin tegak dan kuat dengan kualitas manusia yang mumpuni. Para guru harus sadar dan teguhkan diri sebagai pembentuk masa depan Indonesia. Jadilah guru yang inspiratif, guru yang dicintai semua anak didiknya. Bangsa ini menitipkan anak-anaknya kepada guru, sebaliknya kita sebangsa harus hormati dan lindungi guru dari impitan masalah. Ingat, jadi guru bukanlah pengorbanan, melainkan kehormatan. Guru dapat kehormatan mewakili kita semua untuk melunasi salah satu janji kemerdekaan republik ini: mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadikan kami sebangsa makin bangga dan hormat pada guru!

Minggu, 24 November 2013

Ahli Waris Budaya Dunia

Yudi Latif
 

INDONESIA merdeka dengan percaya diri menempatkan bangsa ini sebagai ahli waris budaya dunia. Kurang dua bulan setelah pengakuan internasional akan kedaulatan Indonesia, pada 18 Februari 1950 sekumpulan seniman yang terhubung melalui mingguan Siasat melansir Surat Kepercayaan Gelanggang.

Surat pernyataan itu dibuka dengan kalimat yang sangat lantang: �Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri�.

Pernyataan tersebut memancangkan sejumlah tanda penting. Dengan memodifikasi tafsir Jennifer Lindsay (2011), bisa kita sebut beberapa kandungan semangat yang terpancar dari kalimat pembuka itu. Pertama, kelahiran Republik Indonesia dihikmati kesadaran akan arti pentingnya kebudayaan bagi eksistensi suatu bangsa. Bahkan, sebelum surat itu, di tengah kancah revolusi yang penuh porak poranda, kuatnya kesadaran serupa itu mendorong penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Nasional I, yang diselenggarakan di Magelang (20-24 Desember 1948).

Mohammad Hatta yang hadir dalam kongres itu sebagai wakil presiden menyatakan, �Pemerintahan sesuatu negara dapat hidup subur apabila kebudayaan tinggi tingkatnya, karena kebudayaan berpengaruh pula pada sifat pemerintahan negara. Kebudayaan lambat laun mesti sangat kuat tumbuhnya, karena kebudayaan adalah ciptaan hidup daripada sesuatu bangsa.� Tentang pentingnya kreativitas budaya, Bung Hatta menyatakan, �Kebudayaan tidak dapat dipertahankan saja, kita harus berusaha merobah dan memajukan, oleh karena kebudayaan sebagai kultuur, sebagai barang yang tumbuh, dapat hilang dan bisa maju.�

Kedua, kesadaran pentingnya kebudayaan itu bersifat lintas kecenderungan pemikiran dan ideologis. Para seniman dan pemikir yang turut menandatangani surat itu tak lama kemudian akan berpisah jalan mengikuti preferensi ideologi masing-masing: Asrul Sani jadi pendiri Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi); Sitor Situmorang menjadi Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN); Rivai Apin, Basuki Resobowo, dan Pramoedya Ananta Toer menjadi motor Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Ketiga, surat itu secara sadar menempatkan proyek kebudayaan nasional dalam konteks budaya global; dengan keyakinan diri yang tinggi bahwa  �kami� (bangsa Indonesia) adalah �ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia�. Dalam arti bahwa bangsa Indonesia bukanlah anak haram dari budaya dunia yang sekadar berfungsi sebagai penampung limbah budaya, obyek tindasan dari kolonisasi budaya, atau konsumen pasif dalam kreasi budaya dunia.

Kesadaran serupa itu juga terpancar dalam pokok pertanyaan Kongres Kebudayaan I: �bagaimanakah caranya mendorong kebudayaan kita supaya dapat maju cepat; dan bagaimana caranya agar kebudayaan kita jangan sampai terus bersifat kebudayaan jajahan, akan tetapi supaya menjadi suatu kebudayaan yang menentang tiap-tiap anasir cultureel imperialisme�.

Keempat, sebagai ahli waris budaya dunia, bangsa Indonesia memandang dirinya sebagai taman sari dunia. Di taman sari itu, selain tumbuh aneka puspa indah dari buminya, juga berkembang bunga elok dari luar  yang  ditumbuhkan dengan cara-cara Indonesia sendiri sesuai dengan sifat-sifat tanah dan lingkungannya. Dengan itu, Indonesia bukan hanya menerima, melainkan juga memberi kepada dunia.

Basis kebudayaan

Dalam merumuskan kebudayaan nasional di taman sari itu, sejak 1930-an telah muncul suatu polemik kebudayaan mengenai basis kebudayaan dari Indonesia merdeka, yang mempersoalkan posisi kebudayaan lama (asli) dalam kaitan dengan konsep kebudayaan Timur dan Barat serta kebudayaan Indonesia baru. Sutan Takdir Alisjahbana dalam tulisannya berjudul �Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru� menyatakan, �... kebudayaan Indonesia tiadalah mungkin sambungan kebudayaan Jawa, Sunda, atau kebudayaan yang lain.�

Sebagai tandingan, Sanusi Pane dalam tulisannya berjudul �Jagat Besar dan Kecil� membela eksistensi warisan budaya lama dengan mengatakan, �Itulah sebabnya, saya berdiri di Timur yang silam yang keramat bagi saya sendiri mewujudkan kebudayaan yang baru, ramuan zaman Timur yang silam diperkaya dengan ramuan dari Barat.�

Rumusan konstitusi atas kebudayaan nasional itu mengambil jalan sintesis dari pelbagai kutub pandangan yang berkembang. Hal ini terkandung dalam Pasal 32: �Pemerintah memajukan kebudayaan nasional�. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan: pertama, �Kebudayaan bangsa ialah yang timbul sebagai usaha budinya rakyat Indonesia sendiri�. Kedua, �Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa�. Ketiga: �Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan dan memperkaya kebudayaan sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan Indonesia�.

Dengan kata lain, jalan bangsa Indonesia sebagai ahli waris dunia dalam mengembangkan kebudayaan menurut caranya sendiri itu menempuh prinsip: mempertahankan tradisi sendiri yang baik seraya mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Hatta, sebagai wakil presiden yang hadir di Kongres Kebudayaan I, menyatakan bahwa sebagai bangsa yang memiliki sejarah yang panjang, Indonesia memiliki riwayat kehidupan kebudayaan yang hebat, harum, dan tidak kalah dari kebudayaan negeri-negeri lain.

Kekayaan dan kekuatan khazanah kebudayaan lokal itu, lewat proses penyerbukan silang budaya dengan berbagai unsur budaya luar, menjadikan bangsa Indonesia sebagai taman sari dunia  dengan  berbagai corak kebudayaan yang lebih banyak dari kawasan Asia mana pun (Oppenheimer, 2010). Mengingat benua Asia merupakan kawasan yang menampung jumlah penduduk paling banyak di muka bumi, Indonesia sebagai bangsa yang mengembangkan corak kebudayaan yang paling kaya di Asia dapat dikatakan sebagai superpower kebudayaan dunia.

Tidak berlebihan jika Indonesia berambisi menjadi kiblat kebudayaan dunia. Stimulus ambisi seperti itu pula barangkali yang mendorong pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono memprakarsai penyelenggaraan Forum Kebudayaan Dunia, yang dilaksanakan di Bali (25-28 November 2013). Forum yang akan dipimpin langsung Presiden SBY itu akan dihadiri para pemimpin dunia dari 40 negara, sejumlah penerima Nobel, serta pembicara lainnya dari dalam dan luar negeri.

Isu pokok yang akan dibicarakan berkisar pada empat poin penting yang menyangkut budaya dan pembangunan: budaya dan keberlangsungan sosial, budaya dan keberlangsungan ekonomi, konvergensi budaya dalam konteks global, serta budaya dan keberlangsungan lingkungan. Bagi Indonesia, perhelatan ini diharapkan dapat menetapkannya sebagai Rumah Dunia bagi Agenda Budaya Internasional (Global Home for the International
Cultural Agenda).

Meskipun hal itu merupakan ambisi yang terpuji, ambisi-ambisi internasional pemimpin Indonesia saat ini sering kali tercerabut dari alam realitas, dengan menggunakan �bahasa-bahasa� ala Vicky Prasetyo yang tidak begitu jelas kandungan maknanya. Bagaimana Indonesia bisa menjadi tuan rumah yang baik bagi agenda budaya dunia, sedangkan ekspresi pembangunan Indonesia sendiri merupakan contoh buruk dari penistaan budaya.

Baik pembangunan ekonomi, pembangunan politik, bahkan pembangunan �kebudayaan� sendiri, tidak mempertimbangkan nilai-nilai budaya sebagai sesuatu yang penting.  Pembangunan ekonomi terus memacu pertumbuhan berbasis pengurasan sumber daya alam tanpa memperhatikan �nilai tambah� berbasis pengembangan �modal budaya� (knowledge capital). Di seantero negeri, kekuatan modal dan korporasi mendikte perumusan �bahasa� di ruang publik, mulai nama perumahan hingga nama pemakaman.

Liberalisasi dan dekulturisasi

 Pemerintahan Indonesia yang terjerat korupsi dan lemah dalam kontrol regulasi memudahkan penetrasi korporasi-korporasi internasional (dengan jejak rekam yang buruk dalam soal lingkungan) untuk merelokasi usahanya ke negara-negara tersebut. Akibatnya, globalisasi bukan saja menimbulkan global village (dusun dunia), tetapi juga global pillage (perampasan dunia).

Dalam lemahnya kepemimpinan negara,  globalisasi juga menjadi kendaraan emas bagi para pendukung pasar bebas untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi dalam skala mondial.

Kecenderungan ini mengakibatkan pasar menjadi berkembang begitu bebas tanpa ada satu kekuatan pun yang dapat memastikan apa yang akan terjadi, yang akan memengaruhi kemandirian perekonomian nasional. Pasar bebas dunia pada gilirannya melemahkan kemampuan negara-bangsa dan sistem-sistem kesejahteraan untuk melindungi jalan hidupnya (Hobsbawm, 2007).    

Halangan dalam promosi HAM pasca- Orde baru terutama datang dari hegemoni ideologi neoliberalisme yang menyerang fondasi dasar sistem hak asasi manusia: kombinasi hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan perluasan pasar tanpa kepedulian sosial, globalisasi pasar meningkatkan ketidaksetaraan dan dekulturisasi kelompok marjinal dan bentrokan etnosentrisme di dalam negara, dan jurang pemisah yang makin lebar antara negara maju dan berkembang.

Dengan demokrasi padat modal,  perangkat keras (prosedur kelembagaan) politik mengalami proses demokratisasi; tetapi perangkat lunak (budaya politik) masih tetap bersifat nepotis-feodalistis. Demokrasi permusyawaratan yang mengandung cita-cita berkebudayaan terancam sekarat oleh serangan �superkapitalisme�, yang menggambarkan ekspansi persaingan dunia bisnis yang merambah dunia politik. Dengan kata lain, �kapitalisme telah menaklukkan demokrasi�.

Pada tingkat nasional, salah satu dampak utama penetrasi kapitalisme ke dalam kehidupan berdemokrasi: meredupnya kekuatan kewargaan. Benjamin Barber (2007) memperlihatkan bagaimana kapitalisme yang membentuk budaya konsumerisme membahayakan demokrasi. Demokrasi tak lagi digerakkan oleh rasionalitas produksi, tetapi oleh gaya hidup konsumeris, yang menukar kapasitas pemimpin dengan impresi pencitraan.

Dalam pembangunan kebudayaan sendiri, isu budaya cenderung didekati sekadar paket turisme. Itu pun tidak direncanakan dan diusahakan secara sungguh-sungguh sehingga capaiannya masih jauh di bawah Malaysia dengan khazanah budaya tidak bisa dibandingkan dengan kekayaan budaya Indonesia. Klaim Malaysia sebagai �The Truly Asia� sesungguhnya bisa dengan mudah dipatahkan dengan mempromosikan Riau sebagai �The Truly Malay�. Alih-alih, yang terjadi justru naskah-naskah Melayu Kuno sebagai kekayaan budaya Riau (pusat dunia Melayu) sudah banyak berpindah tangan menjadi koleksi Malaysia.

Elite politik Indonesia telah begitu banyak bicara tentang globalisasi dengan begitu sedikit usaha menghindarkan bangsa dari jebakan �pecundang�. Globalisasi mestinya tidak berjalan satu arah, karena dengan kreativitas dan kerja keras, setiap bangsa punya peluang untuk membaliknya (reverse globalization), seperti Gangnam style Korea Selatan yang bisa menembus jantung Hollywood, demam budaya Latin di Los Angeles, serta penetrasi industri film Bollywood dan film mandarin dalam industri perfilman dunia.

Tanpa wawasan dan komitmen kebudayaan,  Indonesia adalah raksasa budaya yang pingsan, tercekik oleh kecenderungan untuk menjadikan ekonomi dan politik sebagai panglima. Padahal, kebudayaan adalah kompas yang mengarahkan pembangunan ekonomi dan politik ke arah kebaikan dan keagungan. Untuk memulihkannya diperlukan lebih dari sekadar pepesan kosong pencitraan.  Perhelatan Forum Kebudayaan Dunia di Bali seyogianya menjadi wahana refleksi diri, bagaimana memerankan Indonesia sebagai ahli waris budaya dunia; dengan mengembangkan praktik pembangunan berwawasan kebudayaan. Tunjukan perbuatanmu sesuai dengan kebesaran kebudayaanmu, maka seluruh dunia akan menyaksikan Indonesia sebagai kiblat budaya dunia!

Yudi Latif, Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan

Kamis, 21 November 2013

Jika Garuda Murka

Ikrar Nusa Bhakti

DALAM sejarah diplomasi Indonesia, ada dua negara tetangga, yaitu Malaysia dan Australia, yang apabila memiliki persoalan dengan kita, emosi yang tinggi akan muncul di kalangan sebagian pemimpin dan rakyat Indonesia.

Itulah hubungan antardua negara tetangga yang pastinya sering mengalami gesekan-gesekan dan kita tak dapat memilih secara geografis, siapa yang harus menjadi tetangga kita.

Dalam sepekan ini, hubungan Indonesia-Australia kembali mengalami titik nadir akibat berita yang dilansir media Indonesia dan terlebih lagi Australia mengenai penyadapan yang dilakukan Direktorat Sinyal Australia terhadap pembicaraan telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan beberapa anggota penting kabinet, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Ibu Negara Ani Yudhoyono. Semua berita tersebut bersumber pada bocoran informasi intelijen yang dilakukan oleh mantan pekerja lepas (outsourcing) Badan Keamanan Amerika Serikat (NSA), Edward Snowden, yang kini mendapatkan suaka politik di Rusia.

Satu hal yang menarik, penyadapan yang diungkap pers itu terjadi selama 15 hari pada Agustus 2009, saat baru saja Indonesia melaksanakan pemilihan presiden langsung untuk kedua kalinya yang dimenangi SBY. Hal yang menarik pula, hubungan antara Presiden SBY dan PM Kevin Rudd dari Partai Buruh amatlah mesra. Rudd baru dua tahun menjabat sebagai PM Australia setelah mengalahkan mantan PM John Howard dari pemerintahan koalisi Liberal Nasional pada Oktober 2007. Kekuasaan Rudd sempat diambil alih wakilnya, Julia Gillard, pada September 2010-Juni 2013.

Kini, pemerintahan di Australia di tangan pemerintahan koalisi Liberal-Nasional kembali setelah Anthony John Abbott mengalahkan PM Kevin Rudd pada pemilu federal Australia, September 2013. Abbott yang menulis buku Tony Abbott The Battlelines adalah tokoh politik Australia yang terus terang mengakui dirinya kurang menguasai politik internasional. Namun, sebagai tokoh sentral di pemerintahan Australia, tentunya ia kini harus benar-benar memahami dan menguasai liku-liku diplomasi dan politik internasional, termasuk bagaimana mengelola hubungan bilateral dengan Indonesia.

Bagai �roller coaster�

Hubungan Indonesia-Australia, seperti dikemukakan mantan supervisor penulis, Prof Dr Colin Brown, memang bagaikan roller coaster yang naik ke puncak secara perlahan dan begitu sampai di puncak akan turun drastis ke titik nadir. Fenomena ini sudah terjadi sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Kita tentunya tak akan lupa bagaimana pemerintahan Partai Buruh Australia di bawah PM Joseph Benedict Chifley berupaya keras membantu Indonesia mendapatkan pengakuan internasional atas kemerdekaannya. Hubungan bilateral yang sangat manis itu agak terganggu ketika pemerintahan koalisi Liberal-Country/National Party di bawah PM Robert Gordon Menzies berkuasa di Australia. Dua isu politik yang mencuat saat itu adalah persoalan perjuangan Indonesia mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi dan juga konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia.

Pada era pertengahan 1970-an, hubungan dua pemimpin negara, Presiden Soeharto dan PM Australia, dari PM Gough Whitlam dari Partai Buruh, juga begitu baik, termasuk bagaimana kedua negara mencari solusi atas persoalan konflik internal di Timor Timur. Hubungan baik itu tetap berlanjut setelah Whitlam dipecat oleh Gubernur Jenderal Australia Sir John Kerr pada November 1975 dan digantikan PM Malcolm Fraser dari koalisi Liberal-Nasional. Adalah Malcolm Fraser yang mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur secara de jure dan de facto, tetapi tetap mencatat bahwa referendum belum dilaksanakan di Timor Timur.

Pada era PM Robert James Lee Hawke (Bob Hawke) dari partai Buruh, 1983-1991, Indonesia juga pernah mengalami hubungan buruk dengan Australia akibat artikel David Jenkins di The Sydney Morning Herald, 10 April 1986, berjudul �After Marcos, now for Soeharto�s millions�. Sebagai balasan, Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie membatalkan kunjungannya ke Australia serta Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani menutup Selat Sunda dan Selat Lombok selama dua jam, dengan alasan ABRI sedang melakukan latihan militer di Alur Laut Kepulauan Indonesia tersebut. Harian Angkatan Bersenjata juga mengkritik tajam Australia karena dari kajian Paul Dibb tahun 1986 berjudul Review of Australia�s Defence Capabilities, Indonesia dipandang sebagai �Negara, dari dan melalui mana ancaman terhadap Australia dapat dilakukan�. Menlu Gareth Evans yang menggantikan Bill Hayden pada 1988 berupaya keras memperbaiki hubungan bilateral melalui pendekatan multidimensional yang bukan melulu kerja sama politik, diplomasi, dan keamanan, melainkan ekonomi dan sosial budaya.

Hubungan baik kemudian tercipta pada era PM Paul Keating (Partai Buruh) yang sangat dekat dengan Soeharto, apalagi sejak Keating menyatakan mantranya bahwa �There is no other country is more important for Australia, than Indonesia� (tak ada negara yang lebih penting bagi Australia, kecuali Indonesia). Indonesia-Australia bahkan kemudian mengikatkan diri ke dalam suatu traktat Agreement on Maintaining Security (Persetujuan Penjagaan Keamanan).

PM John Howard dari Liberal-Nasional yang menggantikan Keating pada 1996 berupaya keras menjaga hubungan baik Jakarta-Canberra. Sayangnya, hubungan baik itu terganggu pada 1999 saat referendum di Timor Timur akhirnya dimenangi oleh mereka yang ingin merdeka. Namun, adalah Australia sebagai negara tetangga yang menjadi salah satu negara pertama yang memberikan bantuan besar-besaran saat Aceh ditimpa bencana tsunami pada Desember 2004. Pada era John Howard pula Indonesia-Australia menandatangani Lombok Treaty pengganti persetujuan penjagaan keamanan era Paul Keating dan menjadikan Indonesia negara utama penerima bantuan luar negeri Australia.

Transisi kepemimpinan

Pada Juni 2013 penulis menjadi salah satu pembicara pada workshop yang diselenggarakan La Trobe University dan Universitas Islam Negeri Jakarta di Melbourne membahas isu multi-cultural society dan solusi pencegahan konflik. Di situ dibahas pula bagaimana masa depan hubungan Indonesia-Australia menghadapi perubahan kepemimpinan nasional di Australia dan Indonesia.

Pada 19 November 2013, penulis dengan beberapa teman dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Indonesia, dan Universitas Gadjah Mada diundang seminar di almamater penulis, Griffith University, Nathan Campus, Brisbane, Australia, membicarakan transisi kepemimpinan dan masa depan hubungan Australia-Indonesia, tidak hanya ditinjau dari segi bilateral, tetapi juga bagaimana Indonesia-Australia mengembangkan kerja sama ekonomi, termasuk di APEC.

Pada sesi transisi kepemimpinan, seorang dosen Griffith University menyatakan bahwa Indonesia sangat marah kepada Australia soal penyadapan karena sebagai negara tetangga yang bersahabat sikap saling percaya itu penting. Oleh karena itu, penyadapan tidak dapat diterima atau bersifat tidak bermoral dari sisi pandang demokrasi. Penulis juga diundang untuk dialog secara langsung di program televisi ABC News 24 di studionya di tepi selatan Sungai Brisbane.

Ketika pembawa berita menanyakan dari Studio ABC di Sydney, siapa yang harus angkat telepon lebih dulu, apakah PM Tony Abbott atau Presiden SBY, penulis katakan Abbott harus melakukan hot line dengan SBY. Penulis juga menyatakan bahwa baik Abbott maupun SBY sebaiknya mengurangi penggunaan media massa, termasuk media sosial, sebagai bagian dari Megaphone Diplomacy karena hanya akan memperburuk hubungan kedua negara. Pers dan sebagian rakyat Australia memang masih memiliki persepsi yang salah mengenai Indonesia yang dipandang masih di bawah rezim militer, suatu legasi dari terbunuhnya lima wartawan Australia di Balibo pada tahun 1974 dan pelanggaran HAM yang dilakukan militer Indonesia pada masa Orde Baru.

Kita juga harus memaklumi mengapa Tony Abbott menyatakan di parlemen federal Australia bahwa ia menepis kemungkinan permintaan maaf kepada Indonesia (hanya ungkapan �penyesalan yang mendalam�) karena itu adalah untuk konsumsi domestik politik Australia. Sikap keras Indonesia yang memanggil pulang Dubes RI untuk Australia dan menghentikan kerja sama militer dan intelijen kedua negara serta ketakinginan Indonesia dalam membantu Australia dalam hal penanganan masalah irregular migrants adalah bagian dari strategi diplomasi Indonesia yang sangat terukur agar Australia meminta maaf kepada Indonesia. Dari sisi lain, pernyataan penyesalan mendalam PM Tony Abbott atas yang terjadi pada 2009 itu secara diplomatik dapat dikatakan sesuatu yang paling mungkin dikeluarkan oleh pemimpin Australia.

Para pemimpin dan rakyat Indonesia memang pantas marah atas insiden penyadapan oleh Australia tersebut. Namun, seperti dinyatakan mantan Kepala BIN AM Hendropriyono bahwa Indonesia juga pernah melakukan penyadapan terhadap Australia menunjukkan bahwa pengumpulan informasi secara terbuka dan tertutup adalah bagian dari kerja intelijen berbagai negara. Persoalannya, apakah itu untuk menghancurkan negara tetangga dan sahabat ataukah bagian dari menjaga kepentingan nasional Indonesia dan juga negara-negara sahabat.

Kita harus rasional dan jangan terlalu emosional menyikapi persoalan penyadapan karena masih banyak hal positif dari kerja sama bilateral Indonesia-Australia, baik dalam bidang politik, pertahanan, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya. Indonesia dan Australia juga memiliki kepentingan bersama dalam menjaga keamanan maritim di Samudra Hindia, Laut China Selatan, Asia Tenggara, dan Pasifik Selatan. Belum lagi kepentingan kedua negara di dalam APEC, G-20, East Asia Community, dan kerja sama multilateral lainnya. Dari sisi keseimbangan diplomasi, apabila Garuda dapat murka terhadap Kanguru yang suka melompat-lompat, kita juga harus berani melakukan protes keras yang sama terhadap Amerika Serikat karena operasi intelijen Australia adalah bagian dari kerja sama intelijen lima negara yaitu AS, Inggris, Kanada, Australia dan Selandia Baru. Beranikah Indonesia melakukan itu?

Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Jumat, 08 November 2013

Penerobos Batas dan Kelumrahan

Anies Baswedan

MURIEL Pearson atau K�tut Tantri tergetar. Pertempuran hebat sejak 10 November 1945 di Surabaya merupakan titik balik buat dirinya.

�Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris, barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa kukerjakan,� tulisnya dalam Revolt in Paradise.

Ia menjadi penyiar Radio Pemberontakan, bahu-membahu dengan Sutomo (Bung Tomo). Jika Bung Tomo melakukan siaran untuk terus menjaga api semangat rakyat Surabaya dan sekitarnya, Tantri mengudara dengan bahasa Inggris menyiarkan cerita dari sudut pandang Indonesia. �Mereka yang berbahasa Inggris harus mendengarkan kebenaran dari perjuangan kita. Dan, harus diberi pengertian bahwa perjuangan ini bukanlah revolusi sosial, pemerintahannya pun bukan boneka Jepang. Kau hendaknya mengisahkan sejarah Indonesia dan perjuangan kami selama 40 tahun terakhir,� kata Bung Tomo kepadanya. Tantri berkewarganegaraan AS. Namun, ia lahir di Skotlandia�bagian dari Inggris Raya. Tantri baru pergi ke Negeri Paman Sam menjelang dewasa. Pada 1932, sebuah film berjudul Bali, The Last Paradise mengubah jalan hidupnya. Ia menuju Hindia Belanda.

Slogan imparsialitas

Saya teringat kisah K�tut Tantri ketika November tiba, bulan saat kita memperingati Hari Pahlawan. Di benak tentu juga teringat pahala yang ditorehkan puluhan ribu pejuang lain di Surabaya ketika itu. Ribuan jumlahnya. Mereka iuran darah, iuran nyawa untuk tegaknya Merah Putih. Sebagai orang asing, sebenarnya Tantri bisa saja pergi saat kekacauan menerjang. Risikonya bukan main-main: nyawa. Dalam pengantar Revolt in Paradise, Bung Tomo menulis, �Saya tidak akan melupakan detik-detik di kala Tantri dengan tenang mengucapkan pidato di muka mikropon, sedangkan bom-bom dan peluru-peluru mortir berjatuhan dengan dahsyatnya di keliling pemencar Radio Pemberontakan��. Tantri memilih terlibat, turun tangan. Ia melampaui sekat-sekat primordial. Ia kelahiran Skotlandia, tetapi tak menghalanginya ikut melawan Inggris. Keluasan cakrawala berpikir semacam ini relevan dan akan terus relevan dalam masyarakat plural seperti Indonesia. Kebinekaan rentan menjadi sumber konflik ketika hukum yang menjadi penjaganya tak ditegakkan secara adil dan imparsial.

Dalam menegakkan hukum, negara semestinya memosisikan semua pihak semata sebagai warga negara dan tak melihat asal-usul mereka. Aparat keamanan hadir melindungi �warga negara�, bukan memproteksi �pengikut� keyakinan atau �anggota� suku/etnis tertentu. Begitu pula jika ada kekerasan, aparat mencokok �warga negara� pelaku kekerasan, tidak menangkap �pengikut� keyakinan tertentu yang melakukan kekerasan. Indonesia selama ini banyak dicemari fakta bahwa imparsialitas hanya slogan. Tak diwujudkan dalam kenyataan di lapangan. Hal ini yang membuat wibawa hamba hukum merosot, lalu pelanggaran-pelanggaran lain kian gampang ditemukan. Bukan cuma keyakinan atau suku/etnis yang membuat pikiran cupet. Afiliasi politik juga bisa membuat kejumudan di kepala. Pertarungan politik membuat setiap politisi membela partainya�dalam situasi apa pun. Pembelaan mestinya tak harus korbankan akal waras dan integritas diri.

Kita harus belajar pada sosok Haji Agus Salim saat diserahi tanggung jawab sebagai Pemimpin Redaksi Hindia Baroe. Saat itu, Agus Salim juga petinggi di Sarekat Islam. Toh, ia mampu menarik garis batas. ��Saya tidak berbuat seperti pemimpin Sarekat Islam dan kalau menulis tajuk rencana, saya tidak berpikir seperti dalam rapat partai. Saya melihat di hadapan saya rakyat Indonesia pada umumnya,� kata Agus Salim (Roem, 1977). Ujian semacam ini yang juga bakal memilah: mana negarawan dan mana bukan negarawan. Maka, terngiang ucapan John F Kennedy: My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins.

Tak terlena zona nyaman

Dari K�tut Tantri juga kita menghikmati hal berikut: tindakan kepahlawanan niscaya melampaui kelumrahan, menerabas kebiasaan. Seorang pahlawan pasti bukan medioker, ia pemberani. Baca biografi Soekarno, Hatta, atau Sjahrir. Mereka bukan tipikal individu yang terlena dengan zona nyaman. Mereka tipe penjelajah, pemberani yang selalu �memelihara� kegelisahan. Prinsip ini, saya kira, tetap berlaku sepanjang zaman. Tak hanya masa ketika kepahlawanan identik dengan mengangkat senjata untuk mengusir penjajah.

Hari ini dari anak-anak muda kita dapat harapan. Mereka sejatinya pahlawan masa kini, jiwa-jiwa muda yang menolak mediokritas. Adagium lawas �sebaik-baik manusia adalah mereka yang berguna bagi sesama� tak pernah usang. Sampai kapan pun. Dan kita semua menjadi saksi, bumi Indonesia tak pernah berhenti melahirkan pahlawan muda yang memilih untuk bermakna bagi sesama, bukan yang menjadikan keropos, tetapi justru yang mengokohkan Republik. Kesaksian ini menguat saat hadir deretan anak-anak muda yang memilih turun tangan untuk melunasi janji kemerdekaan. Anak muda bergerak langsung: mendidik anak-anak jalanan, turun tangan menginspirasi adik-adik sebangsa, merawat kehidupan yang telantar dengan segenggam nasi bungkus tiap malam, datang ke pelosok negeri jadi pendidik atau jadi tenaga medis demi saudara sebangsa, atau mereka yang bertarung melawan dan meringkus koruptor. Mereka pilih jalan perjuangan, tidak tinggal diam, atau sekadar urun angan tapi pilih turun tangan.

Beberapa hari lalu, 5 November 2013, seorang pengajar muda, Aditya Prasetya namanya, dari Gerakan Indonesia Mengajar berpulang saat berjuang. Lulus dari Pendidikan Fisika di Universitas Lampung, Aditya memilih jadi guru SD dan mengabdi di Desa Wunlah yang tak ada aliran listrik dan sinyal telepon. Di sisi timur Pulau Yamdena, di Kepulauan Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, batas terdepan Indonesia yang berhadapan dengan Darwin, Australia, Adit mengabdi. Di tengah kesibukannya mempersiapkan pelatihan guru-guru di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, ia berpulang. Dia dan ribuan guru lain, baik yang mengabdi lewat program pemerintah maupun lewat gerakan masyarakat, memilih jalur terhormat mewakili kita semua melunasi salah satu janji kemerdekaan: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.

Seperti Bung Tomo dan juga pejuang tak bernama lainnya dulu. Kita boleh yakin bahwa masih ada begitu banyak pejuang muda lain yang tengah bekerja di berbagai penjuru negeri, berjuang untuk lunasi janji kemerdekaannya. Mereka ini bagian dari warga negara biasa yang mengerjakan hal-hal luar biasa. Dengan tindak teladan semacam itu, kita makin optimistis dengan masa depan Indonesia. Para durjana pencuri uang rakyat selalu ada, tetapi para penyala cahaya juga tak pernah sirna. Mereka inilah yang jadi bukti bahwa dari rahim ibu-ibu kita di Republik ini tetap lahir pejuang dan pahlawan.

Anies Baswedan; Rektor Universitas Paramadina; Pendiri Gerakan Indonesia Mengajar

Selasa, 05 November 2013

�Horas di Hamu Pasifik�

Daoed Joesoef

PESTA liberalisme ekonomi dan politik yang digelar di Bali sudah usai. Para peserta sudah pulang dengan rasa puas karena Indonesia, untuk kesekian kalinya, sudah bertindak selaku tuan rumah yang mumpuni.

Negara-negara industri maju puas sekali berhubung mereka telah mendapatkan hampir semua yang dikehendaki berdasarkan kemampuan tekniko-ekonomis yang sudah lama mereka siapkan sebelumnya.
Indonesia memang sudah biasa menyiapkan panggung pementasan keunggulan-keunggulan asing. Demi kelancaran dan keamanannya, semua alat negara dikerahkan, termasuk angkatan bersenjata, bagai mau menghadapi Bharatayudha. Kita selalu berbuat jauh lebih banyak daripada yang minimum diperlukan untuk perhelatan internasional seperti itu. Tidak zakelijk, padahal yang diperlukan soal bisnis. Bagai tuan rumah yang membiarkan anak-anak keleleran asal tamu-tamu puas, senang, dan memuji selangit. Dia �mati� jika �dipangku�. Para pemimpin asing mengetahui benar psike penguasa kita dan lalu memanfaatkannya.

APEC pun jadi apek

Maka, bagi negara-bangsa dan rakyat Indonesia, APEC jadi apek. Sampai kini Presiden�selaku kepala negara dan kepala pemerintahan�belum memberikan laporan khusus mengenai �hasil-hasil� yang kita peroleh dari konferensi yang begitu banyak menguras waktu, energi, dan dana. Alih-alih memberikan laporan, begitu tiba di Halim Perdanakusuma sepulang dari konferensi, dia marah dengan nada tinggi tentang �Bunda Putri� yang dikaitkan dengan dirinya. Dia berjanji akan mengungkap misteri perempuan misterius itu dalam tempo 1-2 hari. Namun, sampai sekarang janji tetap berupa janji!

APEC jadi apek karena kelihatannya tanpa follow up di pihak pemerintahan kita. Seharusnya kabinet membentuk satu tim permanen, terdiri atas menteri-menteri terkait, yang khusus menangani urusan APEC, di bawah pimpinan wakil presiden. Atau, paling sedikit, Bappenas membentuk satu kelompok kerja khas untuk keperluan yang sama dan bersifat pluri-disipliner. Hal ini diniscayakan karena tanpa persiapan yang matang kita bisa kehilangan kedaulatan dan kemandirian, lambat laun tetapi pasti. Ideologi liberalisme APEC akan membuat Indonesia jadi pasar laris manis dari produk-produk manufaktur asing, termasuk jasa dan pariwisata, tanpa berkemampuan membuat ekspor balasan demi keseimbangan neraca perdagangan, jangan dikata neraca pembayaran.

APEC menjadi apek karena kelihatan sekali pemerintah sulit membuat kesiapan kerja yang diniscayakan. Betapa tidak! Para menteri sudah tidak fokus dalam bertugas karena perhatian utama sudah tersedot untuk urusan pemilu mendatang. Para bawahannya, staf pejabat kementerian, rata-rata berupa spesialis yang tidak bisa diandalkan, malah mohon �petunjuk� atau �arahan�.

Kemajuan, progress, memang menuntut spesialisasi. Namun, spesialisasi, by its very nature, mengabaikan banyak hal yang diniscayakan. Hal ini membahayakan kemajuan itu sendiri dan, akhirnya, melumpuhkan peradaban. Diperlukan kesadaran tentang ranah intelektual di mana tumbuh praktik dan masalah kerja sama internasional di bidang apa pun.

Guna mengingatkan kesadaran itulah saya pernah menulis artikel berjudul �Horas di Hamu Pasifik�� �Salam untuk Kamu Pasifik�. Tulisan itu dimasyarakatkan harian sore Sinar Harapan, dua hari berturut-turut, 1 dan 2 Agustus 1983. Tema tulisan tersebut banyak sedikitnya berupa analisis tertulis saya sembilan tahun sebelumnya.

Ini saya ulangi karena tidak ditanggapi oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan bisnis kita yang berpegang pada filosofi business as usual. Sementara waktu dan masalah sudah semakin mendesak. Presiden Soeharto sendiri kelihatan tidak senang ketika subyek ini saya uraikan secara lisan kepadanya. Sesudah saya dikeluarkan dari Kabinet Pembangunan III, saya dengar ketidaksenangan itu karena saya dianggap mau mencampuri urusan pokok pemerintahan, nyeleneh.

Tulisan 30 tahun yang lalu itu agak panjang karena menyangkut aneka aspek yang berkaitan, yaitu industri, perdagangan, pertanian/perkebunan, pertambangan, pelayaran nasional dan internasional, sekuriti nasional, pendidikan dan penyadaran natur Tanah Air kita, sebuah archipelago, negara-bangsa maritim. Keluasan pembahasan tak terelakkan karena masalah, sama dengan ide yang menimbulkannya, datang berkelompok, bagai anggur, pisang, duku, tak sendiri-sendiri bagai pepaya, manggis, mangga. Bukan karena satu masalah (atau ide) mengandung masalah lain (atau ide lain), tetapi karena masalah/ide yang lain itu secara alami �menyatu�, punya pertalian (affinity) dengan masalah/ide yang pertama tadi.

Tiga puluh tahun bukan waktu yang singkat. Ia ekuivalen dengan pelaksanaan lima kali pembangunan berencana lima tahunan (pelita). Andai kata prediksi saya diterima dan ide yang saya utarakan diintegrasikan dalam setiap pelita, saya yakin kita tidak kebingungan seperti sekarang dalam memasuki kancah persaingan bisnis APEC. Sebagai analisis peristiwa publik, saya senang karena prakiraan saya ternyata benar, tetapi selaku warga negara terdidik, saya sedih dan kecewa. Untuk kesekian kalinya terbukti betapa kita, termasuk intelektual dan akademisi, lebih suka dan bangga mendengar pendapat orang asing daripada pendapat sesama anak bangsa.

Walaupun begitu, diktum to govern is to foresee, yaitu proaktif dan tidak reaktif, tetap berlaku di zaman apa pun. Maka, tulisan kali ini lagi-lagi ingin mengingatkan sikap terpuji kenegarawanan tersebut. Kita, siapa pun yang merasa terpanggil untuk memimpin Indonesia, kiranya perlu bersiap sejak sekarang untuk mengantisipasi, agar Indonesia siap menghadapi perubahan mendatang dalam kegiatan ekonomi antarbangsa.

Bergeser ke Lautan Hindia

Menurut dugaan saya, kegiatan perdagangan internasional di kawasan Pasifik akan berlalu. Ia akan bergeser kelak ke kawasan Lautan Hindia, persis seperti gerakan serupa yang kini kian meningkat dari kawasan Atlantik ke kawasan Pasifik. Memang benar sejarah cenderung berulang kembali. L'histoire se rep�te! Namun, sejarah juga mengingatkan kita bahwa untuk setiap pengulangan sejarah itu, manusia harus membayarnya dengan harga yang lebih mahal. Kecuali kalau manusia, kita, memang sudah lama menyiapkan diri guna melayani dan memanfaatkan perubahan tersebut.

Dipandang dari sudut transaksi ekonomi internasional, kawasan Lautan Hindia dewasa ini memang sedang relatif sepi. Hal ini karena hampir setiap negara-bangsa yang berada di tepiannya atau Timur Tengah, Afrika Utara dan Tengah sedang mabuk revolusi atau sibuk membenahi struktur serta mekanisme politik intern masing-masing.

Maka, mumpung negara-negara di sana sedang sibuk perang saudara dalam rangka memantapkan politiesmasing-masing, Indonesia harus menyiapkan diri untuk mampu bermain sekarang ini di Pasifik walaupun sudah agak terlambat. Itu karena persiapan ini, dalam jangka panjang nanti, pasti berguna untuk berperan secara penuh di kawasan Lautan Hindia. Dengan begini, sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau terlampaui, sekali membuka pundi dua-tiga utang terbayar.

Daoed Joesoef, Alumnus Universitie Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

Senin, 04 November 2013

Merindukan Pemimpin Rakyat

Ivan Hadar

PEMIMPIN  seharusnya adalah dia yang dipercaya luas. Dalam tindakannya, terasa ada niat baik untuk kemaslahatan rakyat.

Ketegasannya menyiratkan kecintaan pada keadilan. Keberpihakannya teruji untuk yang lemah demi kesejahteraan semua. Ketika merasa bersalah, ia tidak sungkan memohon maaf. Perilakunya tulus, bukan sekadar pencitraan. Ia menjadi teladan, bersih, memiliki sense of crisis, dan menunjukkan keprihatinan serta solidaritas dalam perilaku atas berbagai beban yang sedang dan bakal dipikul rakyat.

Sayangnya, di negeri yang memiliki modal kekayaan alam berlimpah untuk menjadi negara makmur dan sejahtera ini, kita jarang menemukan pemimpin seperti itu. Boleh jadi karena dalam menapaki jenjang karier, baik di birokrasi maupun partai politik, sulit menjadi pemimpin yang baik. Di tengah rendahnya keteladanan para pemimpin, muncul figur seperti Jokowi dan segelintir lainnya. Mereka seolah barang langka tanpa saingan.

Perilaku aneh

Dalam merindukan pemimpin yang berpihak kepada rakyat, saya teringat buku Jean Ziegler, Les Nouveaux Maitres du Monde (2002). Dalam bab tentang korupsi, Ziegler bercerita tentang Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark, di mana para pejabat tinggi berjalan kaki, naik sepeda, atau menggunakan kendaraan umum ke kantor. Di negara dengan kesadaran rakyat yang tinggi, seorang menteri atau presiden yang berangkat kerja dengan mobil dikawal motor polisi bersirene meraung-raung bakal dikritik habis. Sang presiden diyakini sulit terpilih kembali.

Rumah sebagian pemimpin terkenal Eropa, seperti Olof Palmes (Swedia) dan Bruno Kresky (Austria), terbilang sederhana dan ditempati sepanjang paruh terakhir hidup mereka. Jelas, jauh berbeda dengan �istana� kebanyakan pemimpin negara berkembang, termasuk Indonesia. Ziegler menarik kesimpulan: makin miskin sebuah bangsa, sering kali semakin mewah kehidupan dan �perilaku aneh� segelintir elite penguasanya.

Masih segar di ingatan kita, ketika cerita busung lapar masih menyisakan keprihatinan mendalam dan seruan penghematan dari pemerintah, mencuat berita keinginan (mayoritas) anggota parlemen menaikkan penghasilan dari gaji yang sudah puluhan juta rupiah. Lalu, �studi banding� ke luar negeri berbiaya miliaran rupiah. Tempat parkir gedung parlemen pun sering disindir bagai showroom mobil mewah. Seakan tak mau menjadi �terdakwa� tunggal, anggota DPR menuding eksekutif. Beda dengan negara tetangga yang lebih kaya dan hanya membawa lima anggota staf, �rombongan presiden kalau ke luar negeri bisa memboyong 75 orang�. Alangkah borosnya!

Tampaknya, dari tiga slogan Revolusi Perancis yang mewarnai sistem demokrasi, terjadi kecenderungan berikut di negeri ini. Ketika �kebebasan� politik merebak secara global, padanannya �kesetaraan� dan �persaudaraan� nyaris dilupakan. Welfare state yang mewajibkan negara memberikan perlindungan bagi warganya dalam kemiskinan dan kesehatan dianggap �jalan sesat� sosialisme demokrasi. Pemerataan dalam paradigma neo-liberal yang mendominasi praktik ekonomi global dianggap bukan alat ampuh dalam melawan kemiskinan, melainkan memperparah keadaan.

Semua itu dilandasi argumentasi yang sekilas terkesan plausible. Pertama, pemerataan akan mengurangi kuota investasi. Setiap rupiah yang konon diinvestasikan kaum kaya secara produktif sebaliknya hanya akan �dikonsumsi� kaum papa. Kedua, sebagian besar bantuan tak akan sampai sasaran karena dikorup birokrasi. Ketiga, yang jadi asumsi Bank Dunia, pemerataan akan membahayakan stabilitas politik dan bisa bermuara pada konflik kekerasan karena membuat marah �elite� (World Bank Report, Attacking Poverty, 2000 : 56f).

Namun, bagi Erhard Berner (Hilfe-lose Illusionen, E+Z, 2005 : 6), semua itu secara teoretis rapuh, secara empiris salah, dan bila dipraktikkan menjadi sesuatu yang sinis. Karena, apa salahnya orang miskin menggunakan dana bantuan untuk membeli makan, membayar uang sekolah, dan menebus obat? Asumsi kelompok elite akan marah dan mendestabilisasi pemerintahan di negara berkembang yang menjalankan strategi pembangunan propoor mungkin realistis. Namun, apakah layak untuk ikut membatasi kebijakan itu?

Sementara itu, asumsi orang miskin sama sekali tak berinvestasi adalah sebuah ignoransi. Para pekerja kaki lima, yang rata- rata miskin, di kebanyakan negara berkembang adalah �pahlawan� yang menyediakan lapangan kerja terbesar. Juga, tanpa kampung-kampung seperti di Jakarta, kota besar tidak akan mampu menyediakan kebutuhan papan warganya. Kontribusi fantastis sektor informal bagi perkembangan ekonomi umumnya luput dari statistik resmi, sementara mereka digusur-gusur para birokrat korup.

Bagi pembangunan, yang lebih penting daripada �investasi produktif� adalah investasi bagi human capitalmasyarakat miskin, terutama kesehatan dan pendidikan anak-anak. Dulu banyak negara melakukan itu dan kini menuai hasil, misalnya Malaysia dan Korea Selatan. Tanpa itu berlaku �lingkaran setan�. Peningkatan tenaga kerja murah akan menurunkan pendapatan yang tidak memungkinkan mereka untuk sehat dan pintar.

Dengan pertumbuhan ekonomi (termasuk i), kondisi ini tidak bisa diatasi. Bagi peneliti kemiskinan Michael Lipton, �kesenjangan ekstrem adalah penyebab utama terganjalnya pertumbuhan�. Kemiskinan massal, menurut dia, bukan hanya akibat stagnasi ekonomi, melainkan penyebab terpenting stagnasi ekonomi itu sendiri (Propoor Growth and Progrowth Poverty Reduction: Meaning, Evidence, and Policy Implications, 2000).

Bersama Eastwood, Lipton menganjurkan strategi cerdas Progrowth Poverty Reduction. Dalam kerangka ini, pengeluaran sosial untuk pendidikan dan kesehatan bukan biaya sia-sia, melainkan investasi produktif yang menjadi pilar kebijakan ekonomi. Cerita sukses di Brasilia, Vietnam, dan beberapa negara industri baru membenarkan analisis Lipton.

Pada tataran makroekonomi, Howard White (National and International Redistribution as Tools for Poverty Reduction, 2001) secara empiris menunjukkan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi lewat pemerataan. Pemerataan ikut meningkatkan kebebasan politik, kesetaraan, dan persaudaraan anak bangsa. Karena itu, tanpa terwujudnya kesetaraan dan persaudaraan yang berarti pemerataan belum dijadikan paradigma yang mewarnai kebijakan ekonomi sebuah bangsa, siapa pun yang pernah menjadi pemimpin kelak akan dilupakan, atau bahkan dihujat rakyatnya sendiri.

Ivan Hadar; Direktur Institute IDE (for Democracy Education); Ketua Dewan Pengurus IGJ (Indonesia for Global Justice)