Minggu, 26 Mei 2013

Kabinet Tape

Radhar Panca Dahana

Dalam filsafat Jawa Suryomentaraman, prinsip hidup mulur mungkret (luwes, lentur seperti karet) memiliki nilai positif dan keistimewaan bahkan dianggap menjadi salah satu ciri jati diri orang Jawa. Namun, dalam pergaulan masa kini, prinsip hidup itu mendapat tambahan makna negatif sebagai sikap hidup yang tidak tegas, plin-plan, dan lembek.

Mungkin makna terakhir itu pula yang dapat kita sematkan pada Presiden SBY dan kabinetnya, setidaknya dalam soal subsidi dan kenaikan harga BBM. Mulur mungkret! Masyarakat pun menderita karena ketidakjelasan itu. Presiden yang sebenarnya oleh UU memiliki kewenangan untuk itu, bahkan didorong oleh parlemen, malah justru menampik wewenangnya dan justru balik melempar bola ke DPR.

Sebagai striker, bola yang sudah di depan gawang�berlagak tiki-taka�malah dikembalikan ke pemain tengah. Lalu golnya kapan? Tak terciptanya gol-gol dalam proyeksi, tujuan, serta misi negara dan bangsa saat ini�terutama untuk kesejahteraan dan masa depan rakyat�oleh banyak kalangan dianggap akibat (kelemahan) SBY: peragu, tidak tough, dengan karakter yang lembek seperti tape.

Karakter kabinet seperti yang tergambar di atas akhirnya melahirkan pemimpin-pemimpin yang berprofil seperti tape: bermula dari singkong yang keras lalu lunak dalam peragian, dari UU yang tegas menjadi lunak dalam kebijakan, praksis, bahkan dirinya sendiri. Mudah mengasihani diri sendiri dan menebar iba kepada publik untuk profit simpati. Itulah yang diperlihatkan SBY saat dahulu ia memamerkan ancaman teroris yang �konon� mengarah padanya. Entah jika ia hidup seperti Presiden Soekarno yang lebih dari 50 kali�atau Yasser Arafat yang lebih dari 100 kali�mendapat ancaman pembunuhan.

Situasi serupa terjadi pada heboh ujian nasional. Mendikbud M Nuh, dalam sebuah laporan media massa terkemuka, seperti mengadu dan memelas kepada bosnya, SBY: �Sudah seminggu ini saya tidur cuma tiga jam sehari.�

Sang Presiden merespons keluhan anak buahnya itu dengan gaya khasnya, �Adik baru sekali ini, saya sudah delapan tahun.� Lho, mengapa ia dulu ngotot ikut rebutan jadi presiden?
Saya kira profil atau karakter pemimpin seperti ini jadi acuan mereka yang dipimpin. Di mana-mana! Yang penting, menjadi pejabat publik itu sukses berkelit dari kesalahan, tidak jeblok banget rapornya, prestasi sedikit dipromo habis-habisan, pengorbanan diri dibesar-besarkan, pragmatisme murahan jadi pedoman.

Itulah yang menggejala belakangan ini, ketika masa jabatan tinggal tak banyak bulan lagi. Sementara harapan ke depan masih kuat ia gantungkan. Retorika yang dahulu adalah seni keindahan bahasa dan adekuasi argumen, kini tinggal busa dari sebuah opera politik murahan.

Gagal manfaatkan momentum

Saya kira, potret mediokratik kabinet �tape� kita di atas berkorelasi dengan pe- nurunan peringkat yang dibuat Standard & Poor�s (S&P). Juga kritik dari lembaga pemeringkat lainnya, Moody�s Investors Services (MIS), yang diributkan kalangan pejabat dan elite ekonomi akhir-akhir ini. Betapa pun, sebenarnya kita bisa tak peduli dengan peringkat-peringkat tendensius S&P dan MIS itu. Kritik yang mereka bangun tetap bisa direnungkan secara positif. Terutama, mengapa pemerintahan SBY dianggap gagal memanfaatkan momentum, antara lain sikap mulur mungkret-nya dalam persoalan subsidi BBM.

Kecepatan pembangunan, katakanlah, dalam laju pertumbuhan rata-rata 6 persen dalam lima tahun belakangan gagal dimanfaatkan untuk terciptanya semacam lompatan atau percepatan yang mampu mengakselerasi pembangunan ke tingkat tinggi seperti Korea Selatan pada 1970-an, Malaysia dan China pada 1980-an, lalu India pada era 1990-an. Mereka dianggap sukses memanfaatkan momentum itu untuk mencapai posisi keekonomian yang dihargai dunia belakangan ini.

Posisi itu dalam standar material global saat ini jadi dasar eksistensi sebuah bangsa atau negara. Ia memberi pengaruh hampir di semua sektor dan dimensi kehidupan lokal dan global. Menguatnya pengaruh China, India, Brasil, Korea Selatan, hingga Afrika Selatan juga karena dihela oleh sukses itu. Dampaknya pun positif pada diplomasi internasional, peran regional, hingga soal olahraga dan kebudayaan.

Bahkan India seperti mendapat surplus tambahan saat AS tak mengajak komunitas internasional untuk mengecam proyek pengembangan dan percobaan senjata nuklirnya. Setidaknya jika dibandingkan dengan Iran, yang berkali-kali tertimpa embargo. Termasuk peluang India, walau tipis, untuk menjadi salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB, sebagaimana Jepang, Brasil, dan Afrika Selatan.

Indonesia, tentu, jangan dulu berangan- angan memiliki senjata nuklir, apalagi jadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, sebagaimana busa para diplomatnya. Bukan hanya karena penolakan eksternal pasti datang membanjir, hambatan internal pun masih terlalu sesak untuk bisa diatasi.

Indonesia dalam realitas komparatif di atas tercipta, antara lain, akibat dari �kabinet tape� yang lembek dan
asem-manis tadi. Kabinet yang males-males-an menjalankan misi dan program-program kebijakannya. Sebab, memang tak ada sanksi yang keras dikenakan pada kegagalan, bahkan penyimpangan.

Dari puncak kuasa hingga dataran bangsa, kita kian tidak menyadari betapa kita sesungguhnya telah sedikit demi sedikit meninggalkan, bahkan mengkhianati, cita-cita dan dasar di mana republik ini didirikan. Apa yang dahulu lebih sekarang kurang, yang dahulu unggul sekarang terbelakang, yang dahulu dipelajari orang kini kita yang belajar dari orang, dulu dikagumi kini kita berduyun-duyun mengagumi, dan apa yang dahulu kita banggakan kini kita sesalkan. Dari pantai, garam, singkong, bulu tangkis, hingga sepak bola.

Krisis mendasar

Kini bukan hanya ketertinggalan, sebenarnya kita sudah mencapai tahap yang kritis dari perkembangan. Bukan hanya karena hukum yang terkebiri, politik yang terkotori, atau bisnis yang padat korupsi, tapi juga pada soal pendidikan, lingkungan, dan energi yang sudah lampu merah tanpa kita sadari. Laporan khusus Kompas tentang energi pada 3 Mei 2013, antara lain, menggambarkan situasi itu.

Ada semacam pembiaran, menurut laporan itu, bahkan justru penciptaan regulasi yang secara licin melegalkan permainan licik dari para pemain atau oligarki politik-bisnis lama (mereka yang sudah bermain sejak awal Orde Baru) untuk mengisap energi dan mineral dalam darah bangsa ini. Permainan yang membuat kondisi bisnis energi kita�dengan porsinya yang signifikan dalam ekspor, hampir 50 persen�kini semakin tertekan, dan memberi kita contoh terbaik bagaimana tidak adanya kedaulatan pada diri kita sendiri.

Semua persoalan di atas tentu saja tidak dapat diselesaikan oleh kabinet lembek dan medioker di atas. Pelajaran dari berbagai negara memperlihatkan, bahkan Eropa yang begitu tangguh model dan sistem politik maupun pemerintahannya mengalami banyak guncangan. Bonus demografis, geografis, hingga kebudayaan yang kita miliki tidak mungkin dapat dimaksimalkan oleh para pejuang yang cuma cari senang, bukan cari menang.

Karena itu, cukuplah sudah pemerintahan yang hanya �manis di bibir ini�, yang sibuk menggali puja-puji luar negeri, tapi lupa membaca diri. Kita membutuhkan pemimpin yang kuat, bervisi, dan berani ambil risiko. Mumpung masih ada waktu menjelang Pemilu 2014, seluruh bangsa harus siap dengan munculnya calon pemimpin baru, yang bersih, jujur, terbuka, dan tidak mengasihani diri.

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Kamis, 16 Mei 2013

Dari Ormas Menjadi Parpol

Salahuddin Wahid

Sejak awal, organisasi massa di Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari politik. Tokoh yang aktif di Kongres Pemuda berasal dari ormas-ormas pemuda. Bung Karno dan Bung Hatta juga mendidik rakyat melalui ormas yang kuat nuansa politiknya. Partai Syarikat Islam Indonesia didirikan untuk menjadi alat perjuangan politik. Tokoh-tokoh Syarikat Islam (SI), Muhammadiyah, dan NU sudah terlibat perjuangan kemerdekaan dalam MIAI (Majelis Islami). Tokoh-tokoh Islam ikut merumuskan UUD. Ormas-ormas Islam lalu bergabung dalam Partai Masyumi.

NU menjadi partai

NU, pada 1952, keluar dari Partai Masyumi dan menyatakan diri sebagai Partai NU. Di luar dugaan, Partai NU jadi pemenang ketiga Pemilu 1955, lalu jadi partai Islam terdepan setelah Masyumi dibubarkan Bung Karno. Saat penyederhanaan partai, NU dan partai-partai Islam melebur ke PPP. Dalam Muktamar Situbondo (1984), NU kembali ke khitah 1926 dan menyatakan diri tak terkait partai apa pun dan menjaga jarak yang sama. Muktamar NU 1984 menerima Pancasila yang mengubah sikap mendasar warga NU dalam memandang hubungan agama Islam dengan politik. Dua sikap itu�tak terkait partai apa pun dan mencairnya hubungan agama Islam dengan politik�dibaca banyak warga NU bahwa NU melepaskan diri dari partai Islam (PPP). Apalagi, banyak tokoh NU kemudian menjadi anggota DPR/DPRD dari Golkar, bahkan Gus Dur menjadi anggota MPR dari FKP. Keberadaan warga dan aktivis NU di PPP dan Golkar tetap bertahan hingga kini.

Keterlibatan ormas NU dalam kegiatan politik praktis mulai meningkat saat tokoh-tokoh puncak ormas NU mendirikan PKB (1998) dan sejumlah tokoh NU di pusat dan daerah terlibat langsung dalam kegiatan PKB. Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden saat menjabat sebagai Ketua Umum PBNU dianggap sebagai pembenaran terhadap keterlibatan organisasi NU dalam politik praktis.

Perolehan suara PKB pada Pemilu 1999 lebih dari 12 persen turun dibandingkan Pemilu 1955 (18 persen lebih). Konflik internal PKB membuat suara PKB merosot ke sekitar 5 persen pada Pemilu 2009. Artinya, suara warga NU menyebar ke banyak partai. Aktivis dan tokoh NU juga menyebar ke sejumlah partai. Artinya, bagi warga NU, aspirasi politik mereka bisa disalurkan ke partai apa pun.

Banyak tokoh NU menyadari, kekuatan politik NU tak efektif jika tersebar ke banyak partai. Mereka mulai berpikir, bukankah ormas NU yang berusia panjang dengan warga berjumlah besar perlu sayap politik untuk menyalurkan gagasan politik kebangsaan yang perlu diperjuangkan? Amat mungkin jawaban pertanyaan ini bersifat positif. Namun, partai mana yang dipilih dan bagaimana mewujudkannya? Selain itu, perlu dipikirkan bagaimana mencegah jangan sampai NU sebagai ormas jadi alat partai, dan partai menjadi kendaraan politik tokoh NU, baik di pusat maupun daerah. Kita tahu, partai-partai politik saat ini bukanlah partai yang mendekati ideal. Para tokohnya jarang yang negarawan dan pada umumnya politisi yang berpandangan jangka pendek.

Ormas Islam lain

Muhammadiyah punya pengalaman sama. Tahun 1998, saat Amien Rais mengundurkan diri sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah untuk mendirikan dan menjadi Ketua Umum PAN. Harapan warga Muhammadiyah melambung. Itu wajar, saat itu Amien tokoh utama gerakan reformasi. Ternyata, perolehan suara PAN tak terlalu tinggi. Lalu timbul konflik internal yang membuat banyak tokoh seperti Gunawan Mohammad dan Faisal Basri dkk meninggalkan PAN.

Konflik internal berikutnya terjadi saat sebagian aktivis Muhammadiyah meninggalkan PAN lalu membentuk PMB. Ternyata, PMB tak mendapat sambutan seperti diharapkan sehingga tak lolos ke Senayan. Kita mencatat, cukup banyak tokoh Muhammadiyah yang aktif di Partai Golkar dan PPP. Bisa disimpulkan, Muhammadiyah juga tak punya sayap politik, tetapi itu tak terlalu dipikirkan para tokoh Muhammadiyah. Naluri politik mereka tidak sebesar tokoh-tokoh NU. SI yang beralih menjadi PSII tak sehebat SI pada era HOS Cokroaminoto. PSII hanya menjadi partai kecil pada 1955 dan terpaksa melebur ke PPP. Pada Pemilu 1999, suaranya kecil sekali, lalu hilang dari panggung politik. Demikian pula Perti. Upaya menghidupkan kembali Masyumi melalui sejumlah partai gagal. Terbesar, PBB yang pada Pemilu 2009 tak lolos ke Senayan.

Gerakan di luar parpol yang kemudian berhasil mengembangkan parpol adalah gerakan Tarbiyah yang selama Orde Baru aktif berdakwah membina mahasiswa di banyak kampus. Saat ada kesempatan mendirikan partai baru, mereka mendirikan Partai Keadilan (1998) yang lalu berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera. PKS adalah partai yang organisasinya berjalan baik dan punya garis komando kuat. Jika berhasil mengatasi masalah tuduhan korupsi, PKS akan jadi partai yang harus diperhitungkan pada Pemilu 2014. Kelemahan PKS, kesulitan menembus lapisan bawah masyarakat pedalaman dan belum ada tokoh yang layak jadi capres.

Sempalan Golkar

Ada beberapa ormas di bawah Golkar di era Orde Baru yang bisa berkembang, seperti MKGR, Kosgoro, dan SOKSI. Pada era Reformasi, MKGR beralih jadi parpol, tetapi tak berhasil muncul secara berarti. Kosgoro lebih memilih aktif di pendidikan, tetapi tak terlalu menonjol. Kini ada dua Kosgoro dan pengaruh politiknya tak terlalu besar. Tampaknya yang kini berpengaruh di Golkar adalah pemilik uang.

Pasca-Pemilu 2004, dua jenderal purnawirawan mendirikan ormas yang beralih jadi parpol, yakni Prabowo (Gerindra) dan Wiranto (Hanura). Kedua partai itu berhasil masuk ke DPR. Kini, ormas yang mereka dirikan tak lagi terdengar gaungnya. Gerindra, oleh beberapa lembaga survei, dianggap berpeluang besar jadi partai menengah dan juga untuk mengajukan Prabowo sebagai capres. Suara Hanura pada Pemilu 2009 tak setinggi Gerindra, tetapi kini dapat manfaat besar dengan bergabungnya Hary Tanoe. Cara ini ditiru Surya Paloh yang mendirikan ormas Nasdem, lalu beralih menjadi Partai Nasdem.

Kesimpulan sementara, tak mudah bagi ormas yang sungguh-sungguh ormas seperti Muhammadiyah dan NU bermetamorfosis jadi parpol. Fitrah ormas agama sering tak sejalan dengan fitrah parpol. Bahkan, kalau NU tak bergabung ke PPP, belum tentu Partai NU bisa sekuat pada 1955-1971. Namun, terlihat insan politik dapat membuat ormas yang hanya bersifat sementara lalu dikembangkan jadi parpol yang cukup berhasil. Setelah itu, ormas diistirahatkan. Tentu, kesimpulan ini masih harus diuji dengan hasil Pemilu 2014, bahkan mungkin perlu beberapa pemilu lagi. Apalagi, ikon partai-partai itu berusia senja. Akankah partai-partai itu surut pascamundurnya ketiga tokoh? PKS jelas lebih mengandalkan organisasi dibandingkan ketiga partai sempalan Golkar.

Jika Gerindra, Hanura, dan Partai Nasdem membuat ormas sebagai alat mendirikan partai, tak ada yang risau. Namun, jika ormas seperti Muhammadiyah dan NU yang sudah berusia panjang dan nyata-nyata hidup di tengah masyarakat di seluruh Indonesia diperalat untuk kepentingan partai (mana pun juga), rasanya banyak yang keberatan, termasuk yang bukan warga Muhammadiyah dan NU.

Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng

Senin, 06 Mei 2013

Jalesveva Jayamahe

Radhar Panca Dahana

Ini sekadar guyonan, jangan terlalu serius menanggapi. Dahulu kala, banyak pelawat asing yang datang dari sejumlah negara karena tertarik pada dunia baru di tenggara Asia ini. Mereka menemukan kenyataan, banyak sekali penduduknya yang sudah kawin-kemawin dengan bangsa asing, juga dari pelbagai negara.
Para pelawat atau pengunjung asing itu menyebut mereka yang berdarah campuran itu sebagai Indo (mestiezen). Ada Indo-Arab, Indo-Keling, Indo-Portugis, Indo-Belanda, Indo-Jepang, Indo-China, dan sebagainya.

Yang menarik, mereka yang tergolong Indo ternyata mengeram sebuah penyakit amnesia, penyakit yang hinggap pada seseorang yang katakanlah �pendek ingatan� atau gampang melupakan sesuatu. Konon, dari sanalah muncul kata �Indonesia� alias Indo(am)nesia.

Terserah kalau Anda hendak menghubungkannya dengan situasi lain di negeri ini, termasuk di masa kini. Yang jelas, dari soal nama, betapa pun ia mungkin tiada artinya bagi Shakespeare (yang ternyata namanya abadi), Indonesia adalah nama yang sepanjang sejarah memiliki masalah.

Sebagian tidak cukup menerima kata itu yang jika bisa juga bermakna �kepulauan India bagian belakang� atau �pulau-pulau India di kejauhan�. Seakan kita ini hanya perpanjangan tangan, sejarah, dan peradaban dari India, negeri induknya. Sebuah penafian yang keliru.

Asal kata Indonesia

Sebenarnya bukan James Richardson Logan, sarjana hukum Skotlandia, yang menggunakan kata �Indonesia� pertama kali dalam artikelnya, The Etnology of Indian Archipelago (1850). Ia hanya menjumput dari istilah yang digambarkan gurunya, George Samuel Windsor Earl, untuk orang-orang di Semenanjung Malaya, memanjang hingga Filipina dan Papua, sebagai �Indunesia�. Logan hanya mengganti �u� dengan �o� hanya sekadar�konon�kenyamanan penyebutan.

Nama ini pertama kali diambil oleh aktivis/intelektual Indonesia, Suwardi Surjadininingrat alias Ki Hajar Dewantara, saat ia dibuang ke Belanda dan menerbitkan kantor berita Indonesische Pers-bureau. Nama inilah yang beredar dan kemudian populer di kalangan intelektual dan pejuang kala itu. Tahun 1928 sekelompok pemuda menggunakan dalam sebuah Sumpah.

Padahal, hanya tujuh tahun dari penyebutan �Indonesia� oleh Ki Hajar, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker alias Setiabudi juga memberikan nama pada gugusan kepulauan di tenggara Asia ini. Ia mendapatkan nama itu dalam kitab Pararaton dari zaman keemasan Majapahit, yang diucapkan juga dalam sebuah Sumpah, �lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa� (kalau telah (aku menguasai) Nusantara, baru aku (akan) berhenti berpuasa).

Sumpah itu�sama ternamanya dengan Sumpah Pemuda�adalah Sumpah Palapa, yang diucapkan oleh Amangkubhumi baru Majapahit, Gajah Mada.

Penyebutan ini sebenarnya bukannya tiada dampak, baik secara penyebutan, kesejarahan, keilmuan, hingga kebudayaan (peradaban). Dulu sampai kini.

Dua peradaban

Dua penyebutan di atas secara mudah dapat kita pahami sebagai nama yang mewakili dua kebudayaan dan dua peradaban dunia yang paling dominan (kalau tidak, ya hanya dua itu): daratan dan kelautan. Ki Hajar dan Sumpah Pemuda jelas mewakili daratan. Mereka yang ada di dalamnya hampir 100 persen mendapatkan pendidikan atau mengalami pergaulan dalam budaya Belanda, wakil dari peradaban daratan Eropa. Mereka, tentu saja, juga mengenali dengan baik kebudayaan-kebudayaan daratan lain di Eropa, macam Perancis, Inggris, Jerman, dan lainnya.

Sementara Gajah Mada, sebagai sumber ide Dr Setiabudi, sangat kita ketahui adalah mahapatih dari kerajaan maritim terbesar yang pernah ada di kawasan ini. Namun, sejak keruntuhannya, bangsa-bangsa di kepulauan ini dipaksa untuk �mendarat� oleh kerajaan-kerajaan konsentris (menurut istilah Lombard dalam Le Carrefour Javanais), yang menumpukkan seluruh intensitas kerja kebudayaan, mulai dari kekuasaan, perdagangan, hingga kebudayaan di tengah daratan (hulu sungai atau lereng puncak gunung).

Hal ini berbanding terbalik dengan dunia maritim yang lebih mengandalkan laut, samudra, dan sungai-sungai sebagai kanal perdagangan dan pertahanan. Politik, kekuasaan dan pemerintahan, kamar-kamar dagang, hingga kerja kebudayaan berlangsung jauh dari gunung, di bandar-bandar yang menyebar di pulau-pulau Nusantara.

Proses pendaratan

Keliru jika kita beranggapan dunia maritim itu dipaksa �mendarat� oleh bangsa-bangsa daratan dari Barat (Eropa), seperti Portugis, Belanda, Perancis, dan seterusnya. Lima ratus tahun sebelumnya, atau dua milenium sebelum kini, bangsa India sudah menggelar karpet merah untuk proses �pendaratan� bangsa Eropa kemudian, setelah mereka lebih dulu menaklukan kerajaan-kerajaan lokal dari dalam. Seperti yang terjadi di Jawa Barat dalam kasus Salaka Nagara dan Kalimantan dalam kasus Kutai.

Budaya dan peradaban �Daratan� pun kemudian merajalela di seluruh Indonesia, seiring dengan gerak perluasan VOC dan pemerintahan Hindia Belanda. Peradaban �daratan� tampaknya sukses melindas kejayaan peradaban �kelautan� yang dalam hitungan penulis berusia lima milenium sebelumnya. Hingga hari ini, Indonesia berciri-ciri dan berkarakter khas �daratan�.

Anda menjadi saksi dan �mungkin�pelakunya sendiri. Bagaimana adab �daratan� yang keras, kasar, dominatif, inflitratif, material, logis-rasional, dan imperialistik menjadi muatan, tersembunyi atau tidak, dalam perilaku rakyat bangsa kita, terutama pejabat publiknya.

Ada banyak alasan historis, arkeologis, antropologis, hingga kultural mengapa peradaban �daratan� memiliki ciri-ciri seperti tersebut di atas. Negeri ini seperti menjadi miniaturnya, di mana media massa setiap hari (bahkan sering dalam berita utama) mengungkap kekasaran, kekerasan, kehendak mendominasi hingga nafsu material yang infiltratif, terjadi di seluruh belahan republik ini, baik di tingkat elite hingga akar rumput.

Semua pihak ingin dominan menjadi raja. Seperti pemeo, �Bila tidak bisa menjadi menteri besar (menjadi pejabat publik di pusat ibu kota) jadilah raja kecil (penguasa di wilayah sendiri)�. Tak mengherankan bila nafsu pemekaran seperti tiada henti, bahkan kian meluap. Kalau perlu keringat, senjata, dan darah digunakan untuk merealisasikan. Mungkin hampir tak terhentikan hingga Indonesia pun menjadi kepingan-kepingan kecil yang kian rapuh.

Semua itu, menurut hemat saya, karena kita telah mengingkari bahkan mengkhianati jati diri kita sendiri sebagai bangsa maritim (kelautan). Secara tragis hal itu mungkin dapat disimbolisasi dengan kisah Pinisi Nusantara, sebuah kapal yang dibuat oleh bangsa sendiri, dibangga-banggakan dan berhasil mengarungi Samudra Pasifik hingga Vancouver, Kanada, 15 September 1986.

Apa yang kemudian terjadi? Kapal kebanggaan yang dielus-elus oleh (alm) Laksamana Sudomo itu nyungsep, melapuk, dan dilupakan di Karang Ayer Kecil, Kepulauan Seribu, Jakarta, 15 September 2002.

Nasib kelautan

Begitulah nasib kelautan bagi bangsa kita yang �mabuk daratan� dan dikuasai setengah abad oleh angkatan darat, perhubungan darat, jembatan-jembatan, jalan tol-jalan tol, dan seterusnya. Bayangkan, ada rencana pembuatan jembatan untuk menghubungkan daratan Sumatera dan Jawa berbiaya Rp 200 triliun. Berapa kapal, besar dan kecil, yang dapat dibeli dari jumlah itu untuk menjadi penghubung ribuan pulau negeri ini?

Ketika banyak kalangan bicara tentang kembali ke dunia maritim, revolusi biru, dan sebagainya, sesungguhnya ada yang sangat tidak siap dari nafsu-nafsu itu. Yakni identifikasi awal tentang bagaimana peradaban maritim itu. Diskusi dan konsensus nasional dibutuhkan untuk itu, termasuk akibat-akibat besar sebagai dampaknya.

Mereka yang selama ini merasa nyaman dengan adab �daratan� harus banyak legawa. Supaya kita kembali ke jati diri kita: Kelautan. Jalesveva Jayamahe!

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Jumat, 03 Mei 2013

Pendidikan Minus Kebudayaan

Acep Iwan Saidi

Sebagai berita, karut-marut pelaksanaan ujian nasional telah berlalu. Kita semua tahu belaka, dalam lima tahun terakhir situasi seperti ini telah menjadi rutin. Tiap ujian nasional dilaksanakan, tiap kali itu pula kericuhan dituai.

Entah tahun ini puncaknya atau bukan, toh masih ada tahun depan. Melihat gelagatnya, pemerintah akan tetap ngotot melaksanakan hajatan tersebut. Seperti keledai, dia suka menikmati keterperosokan ke lumpur yang sama, dan kita melihatnya sebagai kebebalan tiada tara.

Pendidikan Kuasa

Pendidikan sesungguhnya bukan soal yang tidak perlu rumit jika kita melihatnya sebagai proses berbudaya. Inti proses berbudaya adalah kepercayaan berbagai pihak akan hadirnya kebebasan dalam mengelola nilai yang disepakati bersama. Dalam kebebasan itu, seluruh pihak dapat berdialog, bahkan berdebat yang memungkinkan berkembangnya terus-menerus nilai yang disepakati tadi. Dengan kata lain, nilai disepakati dalam dialektika, bukan sesuatu yang mati, apalagi dimatikan.
Dialektika dibangun sekaligus diikat oleh kepentingan bersama, yakni oleh masa depan bangsa yang diandaikan ada pada pundak para peserta didik, sebuah generasi yang harus muncul dan tumbuh produktif pada 2-3 dasawarsa ke depan.

Pemerintah harus menjadi pasak bagi tegaknya kepercayaan dan dialektika tersebut. Sebagai pasak, ia harus meniscayakan tumbuh dan berkembangnya berbagai pemikiran kritis menjadi semesta bagi hidupnya berbagai gagasan apa pun tentang kependidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus menjadi rumah yang memberi rasa aman sekaligus menyenangkan bagi para aktivis dan hamba-hamba pendidikan. Pendidikan tidak akan pernah bisa berlangsung dengan baik tanpa kegembiraan sedemikian.

Di samping itu, pemerintah tak boleh terlalu jauh masuk dalam urusan substansi. Ia tidak boleh hadir pada masalah macam UN dan kurikulum. Sekali-kali pemerintah turut campur. Sebagaimana terjadi sekarang, muatan politik dan kuasanya menjadi sangat dominan. Lihatlah kasus UN dan Kurikulum 2013. Di situ tampak jelas tidak ada dialog. Kemdikbud cenderung hanya menggunakan �fasilitas kuasanya�. Pihak-pihak yang kritis yang secara obyektif bisa diuji kesahihan argumentasinya dianggap sebagai musuh yang harus ditumpas.

Dalam kasus Kurikulum 2013, misalnya, para pengkritik kurikulum disebut sebagai antiperubahan, orang iseng, tidak memahami permasalahan, bukan pemain inti, dan lain-lain. Kurikulum kemudian menjadi soal politik. Kemdikbud menjadi sibuk mencari dukungan politik ke sejumlah partai politik. Pun demikian pada kasus UN. Meskipun kesalahannya telak, pemerintah tetap saja memasang muka bebal kuasanya.

Pendidikan Tanpa Nilai

Karena hal itu, pendidikan di negeri ini berlangsung tanpa nilai-nilai pendidikan. Sekolah menjelma menjadi sebuah institusi bagi bermuaranya kepongahan sekaligus kebebalan kuasa. Siswa berada di ujung persoalan sebagai pihak yang selalu dijadikan alibi: generasi mendatang harus diselamatkan. Omong kosong!

Sementara guru didesak ke posisi dilematis: di satu sisi ia dituntut kreatif dan memiliki kemampuan mumpuni, tetapi pada sisi yang lain dibebani berbagai aturan yang membelenggu. Bahkan, haknya untuk menentukan kelulusan siswa pun digerus UN hingga 60 persen.

Akibatnya, beranalogi pada Louis Althusser (1984), sekolah tidak lagi bisa disebut sebagai ideological state apparatuses yang menanamkan nilai secara ideologis persuasif. Sekolah justru menjadi repressive state apparatuses yang melesakkan nilai secara represif hingga bawah sadar siswa, juga guru.

Karena itu, tidak ada lagi proses berbudaya dalam pendidikan. Yang terjadi adalah kamuflase kuasa. Dalam situasi seperti ini, konsep dan tindak yang berhubungan dengan kreativitas siswa tidak lahir dan tumbuh dari dan untuk kehidupan siswa itu sendiri, melainkan sesuatu yang dibayangkan oleh kekuasaan.

Periksalah soal-soal pilihan dalam UN, misalnya. Jenis soal ini mengamuflase kebebasan dan kreativitas siswa. Di dalam jenis soal pilihan sesungguhnya tidak ada pilihan sebab siswa tidak bisa memilih selain materi pilihan yang disodorkan. Inilah jalan melingkar kepongahan kuasa.

Dewan Pendidikan

Agar situasi demikian tidak terus-menerus berlangsung, ranah substansial pendidikan harus diberikan kepada pihak yang independen semacam Dewan Pendidikan yang secara administratif bertanggung jawab kepada Kemdikbud. Di dalam dewan yang independenlah pembahasan segala materi dan substansi pendidikan dapat berlangsung dengan fokus, kritis, dan demokratis.

Pemerintah sebaiknya mengurus bidang-bidang penting lain yang sejauh ini tetap terbengkalai. Infrastruktur, fasilitas belajar mengajar, peningkatan kualitas guru, dan kesejahteraan guru adalah beberapa contoh yang masih jauh di bawah anggaran pendidikan yang katanya 20 persen dari APBN itu.

Ingat, upaya peningkatan kualitas guru harus kontinu, tidak cukup dengan hanya melatih guru lima hari ketika kurikulum akan diubah. Program ini juga tak tepat diidentikkan dengan peningkatan kesejahteraan seperti yang terjadi pada sertifikasi guru. Iming-iming uang pada sertifikasi adalah penghinaan terhadap kemanusiaan. Mentalitas guru dibetot ke struktur paling luar duniawi. Ini contoh yang sangat buruk dalam dunia pendidikan.

Pemimpin Harus Paham

Untuk mencapai hal itu, mula-mula dibutuhkan seorang pemimpin, dalam hal ini menteri yang memahami betul situasi dan kondisi persekolahan kita. Menteri yang memahami hal ini hanyalah ia yang memiliki kemampuan, ketahanan, dan keberanian untuk �turun blusukan� ke dalam gelanggang persoalan.

Secara teknis�maaf bukan teknis penyebaran soal UN, sang menteri juga harus kerap mengunjungi sekolah-sekolah�yang bisa juga dihimpun menjadi wilayah atau gugus�yang tersebar di seluruh pulau. Menteri yang hanya bekerja mengandalkan struktur birokrasi seperti sekarang ini dijamin tak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan. Hari ini kita membutuhkan pemimpin yang berani menerobos struktur serta berpikir dan bekerja keluar dari kerangka (out of the box). Menteri seperti inilah yang akan mengerti geopolitik sekaligus �geokultur�. Dengan demikian, menteri seperti ini juga mampu menciptakan pendidikan sebagai proses berbudaya!

Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB