Kamis, 07 Januari 2010

Bapak Ceplas-ceplos Nasional

Sujiwo Tejo

Banyak hal terkuak sepeninggal Gus Dur. Ternyata sebagai bangsa kita masih saja terlalu silau pada hal-hal yang seolah-olah besar dan mentereng. Sebutan �Bapak Pluralisme� dan �Bapak Demokrasi� buat almarhum menunjukkan keterpukauan itu. Yang rinci dan seolah-olah kecil kita abaikan.

Keceplas-ceplosan Gus Dur kita anggap unsur sepele. Kita lekas melupakannya. Padahal, sejatinya, unsur tampak remeh-temeh inilah yang justru paling menentukan vitalnya kedudukan Gus Dur di tengah kemunafikan Nusantara.

Kalau sekadar tokoh yang bertumpu pada kekuatan pikiran, ada banyak tokoh sekelas Gus Dur. Baik itu gagasannya tentang pluralisme, demokrasi, maupun pembaruan pemikiran Islam. Ketokohan dan �darah biru�-nya juga tidak kalah dibanding Gus Dur. Akan tetapi, arek Jombang ini menjadi kinclong dibanding tokoh-tokoh setarafnya justru karena bawah sadar kolektif kita yang munafik ini sebetulnya merindukan keterusterangan.

Jauh di dasar permukaan tata krama, sopan santun, basa-basi, dan seluruh perangkat kemunafikan lainnya, kita sesungguhnya mendambakan sesuatu yang urakan. Urakan bukan dalam nuansa arogan. Nuansanya egalitarian. Itulah keceplas-ceplosan Gus Dur.

Bima

Dari lubuk dasar yang permukaannya saja tampak hipokrit, kerinduan kita pada keterusterangan itu menjadi jelas kalau kita rujuk suku Jawa sebagai salah satu pengisi budaya nasional yang paling rumit tata kramanya. Tingkatan bahasa orang Jawa paling tidak ada tiga: ngoko (bahasa kasar), kromo madyo (bahasa sedang), dan kromo inggil (bahasa tinggi). Akan tetapi, bawah sadar kolektif nenek moyang orang Jawa yang tecermin dalam wayang justru menjadikan Bima yang cuma bisa ngoko alias blakblakan, sebagai manusia dengan derajat kesempurnaan tertinggi.

Dengan bahan baku Ramayana dan Mahabarata dari India, metabolisme kreatif lokal para leluhur orang Jawa tidak memilih tokoh-tokoh santun seperti Yudistira dan Kresna sebagai puncak idola. Pada lakon Dewa Ruci, lakon carangan atau gubahan lokal yang menjadi master- piece dunia pedalangan Jawa dan tidak terdapat dalam naskah asli India, hanya Bima seorang diri yang diberi hak oleh leluhur Jawa untuk bisa bertemu dan berdialog langsung dengan Tuhan semasa hidupnya.

Kemunculan Gus Dur yang fenomenal bisa dipahami dalam konteks memori bawah sadar kolektif kita, apalagi di tengah kancah kemunafikan tata krama yang makin bikin sumpek seperti sekarang. Mungkin ada beberapa tokoh ceplas-ceplos yang pluralis, demokratis, dan pembaru pemikiran Islam. Akan tetapi, keceplas-ceplosan Gus Dur sangat dekat pada model blaka suta (frankly speaking) yang diimpikan leluhur Jawa melalui karakter khayalan Bima. Bima bicara apa adanya dan ngoko dan tanpa basa-basi, tetapi tak satu pun lawan bicaranya sakit hati atau merasa tidak dihormati. Kuncinya adalah ketulusan, tanpa pretensi ataupun tendensi tertentu yang tersembunyi.

(Maaf) kentut

Satu lagi pertanda bahwa suku yang paling berpilin-pilin tata kramanya di Nusantara ini sesungguhnya bawah sadar kolektifnya menginginkan keterusterangan, termasuk dalam melanggar tabu, adalah direkanya tokoh Semar. Tokoh yang kejenakaan serta posturnya berkesan Gus Dur ini juga tak ada dalam Ramayana dan Mahabarata India.

Para leluhur Jawa, suku yang di permukaan tampak ruwet tata kramanya, memilih kentut Semar sebagai senjata paling ampuh di dunia, bukan senjata pamungkas pasopati milik Arjuna ataupun cakra milik Kresna.

Dalam konteks budaya, sebagai simbol, kentut adalah seluruh hal yang tabu di Nusantara, seperti sendawa pada orang-orang �Barat�. Maknanya, bangsa yang kian sesak kemunafikan ini sesungguhnya di bawah sadar memori kolektifnya membolehkan malah mengharuskan pelanggaran hal-hal tabu untuk menyelesaikan masalah seperti, antara lain, persetujuan Gus Dur untuk perayaan Imlek.

Sungguh agak kurang sedap dan kurang inspiratif mengenang Gus Dur hanya dalam hal ketokohannya di ranah pluralisme, demokrasi, dan pembaruan pemikiran Islam, tanpa mengenang keceplas-ceplosannya termasuk dalam melanggar tabu-tabu. Ibarat mengenang garam tanpa kita kenang asinnya.

Sujiwo Tejo, Dalang

Selasa, 05 Januari 2010

Bola Demokrasi

Shindunata

Almarhum atau swargi Gus Dur bukan hanya kiai, mantan Ketua PBNU, dan mantan Presiden. Semasa hidupnya, swargi Gus Dur juga seorang pencinta dan pengamat sepak bola yang andal. Ulasan bolanya tentang Piala Dunia sering menghiasi halaman pertama harian ini.

Ketika Gus Dur menjadi Presiden, beberapa kali penulis juga memakai bahasa bola dalam mengomentari pemerintahannya. Kami malah sempat terlibat dalam polemik berbahasa bola. Waktu menghadapi kasus Bulog, Gus Dur begitu yakin akan dapat mengatasi Pansus DPR karena ia menerapkan strategi catenaccio (pertahanan gerendel khas Italia).

Penulis mengkritik strategi pertahanan konservatif itu. Kalau Gus Dur memakai 'catenaccio politik,' yang cenderung menunggu peluang itu, betapa makin sulit kita mengharapkan perubahan. Baru saja kita merasa hidup baru, tetapi sekarang tiba-tiba kita merasa sesak dalam udara lama, kembali dicekik cara pikir dan kekuatan lama. Dalam sekejap, kita seperti kehilangan bola emas di depan gawang lawan (Kompas, 16/12/2000).

Dua hari kemudian, di tengah kesibukannya sebagai Presiden, swargi Gus Dur menanggapi kritik itu dan mengeluarkan tulisan Catenaccio Hanyalah Alat Berat ( Kompas, 18/12/2000). Tutur Gus Dur, tidak benar ia hanya memakai catenaccio dalam segala strategi pemerintahannya. Ia memakai catenaccio hanya dalam menghadapi Pansus DPR sehubungan dengan kasus Bulog. Ia bahkan bertekad untuk menerapkan total football dalam menegakkan demokrasi di Indonesia.

Namun, Gus Dur segera menambahkan, janganlah kita bersikap terburu-buru dan sembrono, menganggap bahwa 'total football demokrasi' itu dapat diwujudkan secepat-cepatnya dan sesegera mungkin. Untuk itu mungkin lebih tepat dipakai strategi hit and run, seperti dahulu banyak dipergunakan oleh berbagai
kesebelasan di Inggris.

Artinya, tulis Gus Dur, "sebuah proses demokratisasi itu haruslah diwujudkan dalam hal ia dapat dilaksanakan." Dengan demikian, disadari bahwa tidak seluruh aspek yang harus didemokratisasikan dapat diwujudkan pada saat bersamaan.

Mengutip Lenin, Gus Dur mengatakan, anggapan bahwa demokratisasi dapat dilakukan dengan cepat adalah "penyakit kiri kekanak-kanakan" (infantile leftism). Demokrasi tidak dapat dijalankan dengan gedubrag-gedubrug. Menurut Gus Dur, kita memerlukan daya tahan yang kuat, stamina yang tinggi, dan waktu yang sangat lama untuk menegakkan demokrasi.

Dalam situasi seperti itu, Gus Dur bilang, ia tetap berpegang pada sebuah adagium dari ushul fiqh (filsafat hukum Islam). Adagium itu dipelajarinya ketika ia masih di pesantren. Adagium itu ditemukan oleh Imam Syafi'i, dua belas abad lampau dalam sebuah karya monumentalnya Al-Risalah. Adagium itu berbunyi: Maa la yudroku kulluhu, lam yuthrak julluhu (Jika tidak dapat meraih seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya).

Gus Dur memberi contoh bagaimana mempraktikkan amanat itu ketika ia merangkul erat-erat ABRI (TNI sekarang). Gus Dur tahu langkah itu bakal disumpahserapahi orang sebagai strategi yang salah.

Namun, demikian tulisnya, "Bila hal itu tidak dilakukan dahulu, tentu struktur TNI sekarang ini tidak mendukung proses demokrasi. Dan, tanpa dukungan mereka, tidak banyak yang dapat dilakukan di hadapan teriakan reformasi yang dilontarkan orang yang sebenarnya berjiwa status quo". Karena itu, kita perlu menghormati institusi TNI, sambil terus menggunakan kedaulatan hukum untuk menegakkan demokrasi.

Lalu dalam bahasa bola Gus Dur menyimpulkan bahwa total football itu harus diterapkan secara kreatif dalam kehidupan berbangsa. Dalam satu hal kita menggunakan strategi catenaccio, dalam hal lain strategi hit and run. Kemudian, demikian ia menuangkan impiannya, "Bahkan, kadang kita menggunakan strategi total football, dan siapa tahu kita juga memeragakan bola samba kesebelasan Brasil."

Jelas, Gur Dur pengagum sepak bola Brasil. Pedoman sepak bola Brasil adalah: Peduli amat dengan sistem, pokoknya sepak bola harus tetap hidup dari kultur dan spirit samba, yang khas rakyat Brasil. Itulah yang ditampakkan secara ekstrem oleh kesebelasan mereka dalam Piala Dunia 1958 di Swedia.

Waktu itu Pele, Vava, Zagallo, Didi, dan Garrincha mengejutkan dunia karena mereka tampil bagaikan malaikat-malaikat bola yang bermain dalam sistem yang entah apa namanya dan sama sekali tak terduga oleh lawan-lawannya. "Kesebelasan Brasil dalam Piala Dunia 1958 kiranya bisa menjadi juara dunia
dengan menggunakan sistem apa pun," kata mantan pelatih kesebelasan Jerman,
Erich Rutemoeller.

Memang catenaccio, hit and run, total football semuanya bisa hidup dengan kreatif dalam permainan kesebelasan Brasil karena mereka bermain dengan jiwa dan roh samba. Meminjam ushul fiqh Gus Dur, Brasil bisa bermain demikian karena tidak meninggalkan yang pokok, identitas dan kultur bola mereka.

Gus Dur adalah pribadi yang menghormati sistem. Namun, ia bukanlah orang yang mau didikte oleh sistem. Baginya demokrasi bagaikan bola. Bola tidak harus langsung ditembak ke gawang lawan, tetapi juga harus dikejar, direbut, di-dribble, dijadikan passing pendek, diolah dalam kombinasi dan kerja sama tim, dimainkan dalam tempo yang tidak selalu sama.

Bagi swargi Gus Dur, demokrasi bukanlah bola yang hanya harus secepatnya ditendang, tetapi teman bermain dan mitra yang harus dikenal, dibelai, dirawat, dan dicintai dengan kasih sayang. Untuk itu, ia selalu mencoba tabah dan sabar.

Gus, mungkin setelah Sampeyan pergi, itulah yang harus kita buat bagi demokrasi.

Sabtu, 02 Januari 2010

Politik Luar Negeri Gus Dur

Budiarto Shambazy

Sisi lain dari kepemimpinan Gus Dur sebagai presiden adalah dominasinya dalam pelaksanaan politik luar negeri. Dominasi itu ditunjukkan �tur keliling dunia� yang menghabiskan 23 dari 40 hari pertama masa pemerintahannya, rekor baru yang fantastis dalam sejarah kepresidenan.

Wajar Ketua MPR Amien Rais dan Ketua DPR Akbar Tandjung mengkritik Gus Dur jangan terlalu sering melawat karena banyak persoalan domestik, seperti konflik Aceh. Gus Dur menjawab, tujuan tur mengembalikan nama baik Indonesia, berharap investor menanamkan modal lagi, dan mencari dukungan internasional terhadap keutuhan Aceh sebagai bagian dari kita.

Dominasi Gus Dur bukan penyimpangan politik luar negeri. Bung Karno dan Pak Harto juga figur dominan dengan gaya berbeda. Bagi mereka bertiga, menteri luar negeri pembantu aktif yang menjalankan diplomasi dan wajib mengikuti panduan kepala negara.

Ada beda sedikit: Pak Harto lebih bersikap pasif menyerahkan otoritas kepada para menlu, sedangkan Bung Karno dan Gus Dur jauh lebih aktif bukan cuma menentukan arah, tetapi juga nuansa-nuansanya.

Peranan kepala negara vital karena posisi politis dan geografis Indonesia yang amat strategis. Negara-negara Asia dan Afrika mengandalkan kepemimpinan Indonesia di Gerakan Nonblok, Asia Tenggara menempatkan kita sebagai saka guru ASEAN.

Saat Perang Dingin berkecamuk, Indonesia menjadi rebutan Blok Barat dan Timur. Barat menjalankan kebijakan subversif agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis, China dan Uni Soviet ingin menjadikan kita sebagai satelit.

Dominasi Bung Karno tampak dari peranannya menggalang Konferensi Asia-Afrika, Gerakan Nonblok, dan Conference of New Emerging Forces (Conefo). Bung Karno bahkan memerintahkan Perwakilan Tetap RI di New York memutuskan Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Di tingkat regional, Bung Karno menggagas pembentukan poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang yang cenderung berkiblat ke Blok Timur. Sikap agresif Bung Karno ditunjukkan pula melalui politik konfrontasi terhadap Malaysia.

Dominasi Pak Harto tecermin dari perubahan orientasi politik luar negeri yang pro-Barat dan �diabdikan untuk pembangunan ekonomi�. Bantuan dana untuk Orde Baru berdatangan dari negara-negara Barat berkat politik luar negeri yang antikomunis. Pak Harto memutuskan hubungan diplomatik dengan China.

Politik luar negeri Pak Harto berhasil menjaga kesinambungan kepemimpinan Indonesia di Asia Tenggara dengan melanjutkan gagasan Bung Karno mengenai kerja sama regional melalui pembentukan ASEAN lewat Deklarasi Bangkok 8 Mei 1967. Ini tindak lanjut dari cita-cita Bung Karno membentuk Association of Asian States (ASA) 31 Juli 1961 dan Maphilindo (5 Agustus 1963).

Parlemen Orde Lama dan Orde Baru tidak terlalu mempersoalkan dominasi kepala negara kecuali untuk isu-isu kontroversial. Keterlibatan aktor-aktor masyarakat terbatas karena tak begitu peduli dengan proses pengambilan keputusan politik luar negeri yang elitis.

Namun, saat Gus Dur memimpin, asumsi itu berubah. Globalisasi memaksa rakyat dan parlemen giat mengikuti perkembangan internasional dan regional yang berpengaruh terhadap situasi domestik. Tak mudah menilai sukses tur keliling dunia Gus Dur karena usia pemerintahannya yang pendek.

Pernyataan politik luar negeri perdana Gus Dur mengumumkan rencana pembukaan hubungan dagang dengan Israel.

Ada dua alasan: pertama, menggairahkan hubungan dengan lobi Yahudi. Indonesia paling tidak bisa minta tokoh Yahudi, George Soros, tak mengacaukan pasar uang/modal untuk menghindari krisis moneter. Kedua, meningkatkan posisi tawar Indonesia menghadapi Timur Tengah yang tak pernah membantu Indonesia mengatasi krisis moneter.

Melalui Menlu Alwi Shihab, Gus Dur setidaknya mengintrodusir tiga elemen politik luar negeri. Pertama, menjaga jarak sama dengan semua negara, kedua hidup bertetangga baik, dan ketiga �kebajikan universal�.

Seperti Bung Karno, Gus Dur berambisi mewujudkan �poros kekuatan� di Asia. Ia sempat memulai prakarsa tersebut dengan menggagas Forum Pasifik Barat yang terdiri dari Indonesia, Timor Timur, Papua Niugini, Australia, dan Selandia Baru yang sempat disuarakan ke sembilan negara ASEAN.

Masih segar dalam ingatan, Gus Dur membujuk Singapura menyetujui pembentukan Forum Pasifik Barat dalam KTT ASEAN di Singapura, November 2000. Menteri Senior Lee Kuan Yew menolak permintaan itu. Wajar jika Gus Dur langsung ngamuk, membuat Singapura gempar.

�Pada dasarnya orang Singapura melecehkan Melayu. Kita dianggap tak ada. Lee Kuan Yew menganggap saya sebentar lagi turun (dari jabatan presiden). Singapura mau enaknya sendiri, cari untungnya saja,� kata Gus Dur.

Sebelum itu Gus Dur mengemukakan pembentukan poros (axis) Indonesia-China-India. Tak lama kemudian ia memprakarsai pula poros ekonomi Indonesia, Singapura, China, Jepang, dan India. Sayang, sejumlah negara Barat�dan beberapa sekutu mereka di kawasan ini�merasa khawatir dengan fenomena �kebangkitan Asia� ala Doktrin Wahid ini.

Melalui Mensesneg Bondan Gunawan, Gus Dur minta bantuan saya dan sejumlah teman untuk merumuskan pembentukan organisasi Dewan Keamanan Nasional. Sebagai presiden, Gus Dur berkeinginan setiap sarapan sudah di-brief tentang perkembangan politik dan keamanan regional/internasional yang mutakhir dan apa yang harus dilakukan pemerintah.

Pada hari-hari itu kami bangga menjadi warga Merah-Putih karena tekad besar Gus Dur mengembalikan pamor Indonesia sebagai kekuatan menengah yang sedang tercabik oleh krisis moneter, konflik sosial, dan proses disintegrasi. Ia seorang visioner, ilmuwan, praktisi, sekaligus presiden luar negeri yang mungkin sukar kita temukan lagi.

Budiarto Shambazy, Wartawan Senior Kompas