Jumat, 27 April 2012

Politik Perbincangan dan Matinya Bahasa

Acep Iwan Saidi

Mencoba memahami lebih dalam tata laku penguasa dan politisi dalam perspektif kebudayaan hari ini kian mendekatkan saya pada kesimpulan bahwa tabiat politisi kita telah kian dekat ke arah katastrofe kemanusiaan: nilai-nilai manusia yang melekat pada dirinya sebagai makhluk beradab runtuh.

Kiamat kemanusiaan sedemikian mula-mula diniscayakan oleh matinya politik dan hukum. Matinya politik dan hukum terjadi ketika keduanya tak mampu mencapai tugas yang diembankan kepadanya: menata negara-bangsa dengan baik (politik) yang berfondasi pada keadilan hakiki atas nama kemanusiaan yang adil dan beradab (hukum).

Ilmu politik modern, sebagaimana jauh-jauh hari dikatakan Vaclav Havel (1992), kiranya telah melucuti subyek politisi sebagai manusia berhati nurani di satu sisi dan menjadikannya robot yang piawai mengelola kepentingan dengan menggunakan hukum sebagai alibi obyektivitas. Lihatlah, politisi yang diindikasikan korupsi atau melakukan kejahatan lain selalu mudah mengatakan, �saya serahkan perkara kepada penegak hukum�, �jangan intervensi hukum�, �kita lihat saja faktanya di pengadilan�.

Alibi atas nama obyektivitas itu akhirnya bisa dilihat sebagai modus operandi yang mudah dibaca. Pernyataan seorang politikus teridentifikasi korupsi di ujung kamera televisi hanyalah sebuah rangkaian dalam narasi politik tanpa nurani yang akan bersambung pada narasi hukum yang buta terhadap keadilan. Bukankah kita terbiasa menyaksikan bahwa �perkara yang telah diserahkan kepada penegak hukum� itu luar biasa membias.

Kini kita tak lagi melihat apa wujud �fakta dalam persidangan�. Yang ada �fakta yang telah disubyektivikasi oleh hukum kepentingan�, baik di dalam maupun di luar ruang sidang. Jadi, ruang sidang hanya tempat pembuangan akhir bagi sampah busuk politik yang telah mengendap di berbagai tempat kejadian perkara: di lembaga eksekutif dan legislatif, dan jangan-jangan KPK, juga hanya jadi tempat pembuangan sementara.

Politik Omong Kosong

Ketika situasi politik dan hukum telah sekarat, pada titik itulah bahasa mengalami kematian. Artinya, bahasa tak lagi memiliki kekuatan mengusung nilai keadaban manusia. Bahasa sudah sangat dikotori sehingga sebagai alat ia sudah macet, sementara sebagai entitas budaya yang semestinya dihormati telah menjadi sampah (disampahkan). Bahasa yang mati tidak lagi mengonstruksi pengetahuan, tetapi hanya menimbulkan kegaduhan.

Terjadi paradoks di sini: kematian bahasa terjadi bukan karena sudah tak ada lagi penuturnya, melainkan justru karena ia telah kelebihan tuturan. Jika bahasa ilmiah mengandaikan satu kalimat satu informasi (efektif), dalam bahasa yang mati, 1.000 kalimat hanyalah omong kosong.

Di dalam kematian bahasa sedemikian, aktivitas manusia terhenti pada perbincangan tak bermakna. Aktivitas politik dan hukum, sebagaimana dapat kita saksikan bersama, hanya sebuah dagelan. Bahasa menjadi steril dari realitas dan karena itu hanya menjadi �sengkarut linguistik� yang saling bertegangan, tetapi tak merujuk pada substansi.

Menarik jika situasi ini dianalogikan pada linguistik struktural Saussurian yang melihat makna bahasa hanya dibangun oleh relasi di dalam bahasa itu sendiri, bukan dengan sesuatu di luar dirinya. Kata kasar, misalnya, bermakna semata-mata terdapat kata lain yang berbunyi kasur dan kasir, demikian selanjutnya. Ini tampak berbanding lurus dengan situasi semacam �perbincangan tentang Anas Urbaningrum diangkat hanya karena diinterpelasi Nazaruddin, Anggie menjadi tersangka semata-mata karena disebut Rosalina, Miranda Goeltom karena Nunun Nurbaeti�.

Semua relasi itu, sebagaimana kita saksikan, sejauh ini tak berpengaruh apa pun pada upaya penegakan hukum di satu sisi dan penyelesaian kasus korupsi itu sendiri di sisi lain. Semua berhenti sebagai ujaran, sebagai bahasa tak bermakna. Di luar itu, kematian bahasa tampak tengah terjadi pula di televisi. Berbagai perbincangan memperlihatkan bagaimana gosip politik diumbar nyaris �tanpa batas�. Dalam acara ini kesantunan berbicara sering diabaikan. Seolah-olah ada kode etik jurnalistik bahwa seorang presenter bisa seenaknya memotong pembicaraan narasumber.

Pada kasus lain, perbincangan yang menghadirkan dua pihak berseberangan sering dibiarkan pula �adu jotos bahasa� lengkap dengan segala unsur suprasegmentalnya. Alih-alih informasi utuh dan seimbang sebagai syarat pemberitaan tersampaikan, yang terjadi malah bias informasi, bahkan mempertontonkan ketidakadaban berbahasa.

Bagaimanakah agar bahasa kembali dihidupkan? Dalam konteks matinya politik, kiranya pernyataan John F Kennedy layak diingat kembali: �Ketika kekuasaan menyimpang, puisi membersihkan.� Bagi saya, pesan ini mula-mula bisa dibaca bahwa kebusukan politik dan kekuasaan meniscayakan kebusukan bahasa atau kebusukan politik tampak dari bagaimana bahasa digunakan (dimatikan). Puisi itu sendiri per definisi adalah penggunaan bahasa (Wellek dan Warren, 1949)�tentu saja yang estetik dan karenanya bertenaga.

Dalam puisi, kata Chairil Anwar, makna harus digali hingga ke akar kata. Sebab itulah, Kennedy berpendapat bahwa kebusukan politik (kematian bahasa) hanya bisa disembuhkan dengan kembali memberi roh pada bahasa. Namun, apakah kita bisa berharap pada �politik perpuisian� hari ini? Dengan agak berat saya harus mengatakan, harapan itu sangat tipis. Dalam amatan saya, puisi (umumnya kesenian) kita hari ini terlalu asyik dengan diri sendiri. Sejumlah penyair dan seniman memang melakukan eksplorasi bahasa, tetapi lebih pada fungsi bahasa untuk bahasa (bandingkan dengan �seni untuk seni� dalam modernisme).

Barangkali jalan puisi yang ditempuh Rendra atau Taufik Ismail (pada masa mudanya) tak pas untuk hari ini. Perlu dipikirkan dan ditempuh strategi bahasa puisi dan kesenian secara berbeda, yang mampu menggetarkan nurani publik dan kebebalan politikus busuk. Bersama kita harus selalu ingat: jika salah satu ciri yang membedakan manusia dengan binatang adalah bahasa, kematian bahasa meniscayakan kematian subyek manusia. Alih-alih berharap muncul negarawan sebagai manusia setengah dewa, yang lahir justru penguasa dan politisi setengah binatang.

Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan; Fakultas Seni Rupa Dan Desain, ITB Bandung

Minggu, 08 April 2012

Budaya Demokrasi Kita

Radhar Panca Dahana

Mungkin kita bisa memafhumi bahwa apa dan bagaimana pun ekspresi demokratis dari seseorang atau kelompok seharusnya tidak berpotensi destruktif. Artinya, apa pun yang disampaikan tidak boleh merusak atau menghancurkan yang sudah dicapai dan dibangun selama ini.

Capaian itu bisa saja bersifat moral, material, perangkat lunak maupun keras. Bila tidak, kita bukan hanya harus bertanggung jawab kepada para pendahulu yang telah berkorban membentuk negara, melainkan juga kepada para penerus kita yang harus menanggung perbuatan kita.

Oleh karena itu, sebuah sistem dan praktik demokrasi harus berlandaskan nilai yang kita sebut budaya. Budaya yang bisa saja berasal dari praktik-praktik demokratis di berbagai negara maupun praktik-praktik bermasyarakat yang sudah dijalankan turun-temurun di seantero negeri. Justru yang terakhir ini lebih baik karena memiliki riwayat jauh lebih panjang dan rakyat memahaminya.

Praktik demokrasi yang dilandasi oleh osmosa kultural semacam ini bukanlah �pengkhianatan� terhadap dasar-dasar demokrasi teoretis yang kita kenal selama ini. Bukankah kenyataan menunjukkan bahwa di mana pun praktik demokrasi selalu ditandai dengan penyesuaian-penyesuaian. Dengan demikian, klaim demokrasi sebenarnya adalah subyektif dan variatif.

Contoh-contoh di beberapa negara membuktikan itu. Di Jepang, India, Amerika Serikat, Perancis, ataupun Inggris, implementasi demokrasi menjadi dasar nilai dan sistem bernegara bergradasi secara signifikan. Apalagi jika kita menyebut China, Singapura, Hongkong, atau negara otoritarian seperti Korea Utara dan Kuba dengan klaim (demokratis) serupa.

Demokrasi Maritim

Dalam perikehidupan bangsa ini, sesungguhnya belum pernah secara nasional kita bersepakat tentang budaya demokrasi macam apa yang menjadi acuan agar demokrasi tidak justru menjadi ancaman bagi hidup berbangsa dan bernegara kita.

Sebutlah misalnya dasar nilai dari one man, one vote, one value. Betapa pun telah menjadi norma global, penerapannya secara lokal di negeri ini perlu diintegrasikan dengan realitas sosial dan adat yang telah hidup ribuan tahun.

Integrasi ini bukan saja menghindarkan (praktik) demokrasi dari konflik yang tidak perlu dengan rakyat, tetapi juga mendorong pertemuan dua kutub adab�modern dan tradisi�untuk menghasilkan solusi yang lebih komprehensif dan positif. Sistem demokrasi yang kita tegakkan tidak hanya mengacu landasan teoretis dan filosofi oksidental yang menjebak kita dalam demokrasi formalistis, melainkan juga mempertimbangkan budaya bangsa-bangsa kita, termasuk memperjuangkan hak dan harkat rakyat.

Maka kita mesti jernih memeriksa kembali apakah dasar-dasar demokrasi itu berakar dalam sejarah kebudayaan kita. Apakah kebebasan individu atau aksi demonstrasi juga kebutuhan dasar bangsa ini? Jika ya, bagaimana sebenarnya ekspresi dari dua kebutuhan itu dalam praktik bermasyarakat atau bernegara kita?

Sebagai negeri maritim, bangsa ini sesungguhnya memiliki dasar-dasar karakter dari takdir geologis dan geografisnya. Dengan kota-kota bandarnya, bangsa ini telah mengembangkan budaya yang terbuka. Kota bandar adalah semacam melting pot yang memungkinkan terjadinya perjumpaan bahkan akulturasi kebudayaan dari dalam maupun luar.

Bisa dikatakan bandar-bandar negeri maritim sebenarnya adalah sumber paling awal dari demokrasi. Negeri maritim niscaya melahirkan manusia dan masyarakat yang berpikiran terbuka, egaliter, multikultural, dan memberikan penghargaan yang tinggi kepada kedaulatan manusia (individu). Jika di Eropa Barat dan Tengah demokrasi adalah hasil dari kerja rasional, di negeri maritim seperti Indonesia semua nilai dasar demokrasi di atas adalah sebuah keniscayaan alamiah.

Menuju Demokrasi

Realitas semacam itu kemudian berkembang dengan cara yang unik di masing-masing kesatuan etnik di seluruh Nusantara. Budaya pantai dan pedalaman saling mengisi dan memengaruhi sehingga menciptakan sebuah adab�dibuktikan oleh temuan-temuan arkeologis terbaru�yang memiliki tingkat kedewasaan tidak kalah dengan peradaban bangsa-bangsa purba lainnya.

Maka, jika kita cermati adat demokrasi kita sendiri, kita dapat mengerti dan menilai apakah beberapa praktik demokrasi kita belakangan ini telah sesuai dengan apa yang telah dibuat, diwarisi, dan diajarkan oleh para pendahulu dan leluhur kita sendiri. Sungguh tidak bijaksana jika hanya dengan alasan kemodernan dan rasionalisme logosentrik, kita menafikan kenyataan adat dan adab demokrasi kita dan merasa semua itu sudah lampau. Lalu kita mengambil buku-buku di perpustakaan dan mengikuti anjuran di dalamnya. Padahal, itu hasil pemikiran baru yang sebagian justru bersumber dari praktik budaya maritim.

Sebagaimana semua ide asing yang datang ke negeri ini sejak dulu�kesenian, bangunan, gaya hidup, cara berpolitik, bahkan agama�demokrasi modern harus mengharmonisasi diri dengan kenyataan lokal. Semua ungkapan atau ekspresi dari hak-hak individual, komunal, hingga publik nasional dilakukan lewat sebuah adab yang santun, tidak kasar, dan tidak destruktif terhadap kepentingan dan milik publik. Kebebasan ekspresi, bahkan dalam kesenian, bukanlah sebuah cek kosong yang dapat seenaknya diisi nafsu dan insting negatif manusia.

Karena itu, seberat apa pun�katakanlah�kita tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah, sebagaimana benci dan dendamnya kita kepada musuh kita misalnya, bukanlah izin untuk melakukan penghinaan dan kekerasan, perusakan, apalagi pengancaman jiwa.

Demokrasi sebaiknya adalah alat dan alasan kita untuk menjadi manusia dan bangsa beradab, sebagaimana sejarah kita mengajarkan. Bukan sebagai cara dan apologi merusak, apalagi menjadi arsenal biadab bagi kelompok yang memiliki kepentingan tertentu.

Radhar Panca Dahana, Budayawan