Kamis, 24 Oktober 2013

�Destruktif Kreatif� demi Masa Depan

Ninok Leksono
�Masa depan itu tak tertulis, tetapi bagaimana kita membayangkannya bisa memengaruhi sikap dan perilaku kita saat ini, sebagaimana sejarah perorangan dan kolektif bisa menentukan siapa kita dan bagaimana kita bertindak...� (Richard Watson, dalam Pengantar The Future-50 Ideas You Really Need to Know, Quercus, 2012)

SATU dari 50 ide dalam buku ini adalah �Demokrasi Digital�, yang menyebut tentang �pemerintahan rakyat oleh rakyat�. Digitalisasi meniscayakan pemerintah perlu mendengarkan warga lebih seksama lagi di masa depan karena akan ada lebih banyak lagi pemilih yang bisa menyampaikan aspirasi politik tanpa harus menjadi anggota partai.

Futuris Alvin Toffler menambahkan, �Teknologi politik zaman industri bukan lagi teknologi yang pas untuk peradaban baru yang kini sedang terbentuk di sekeliling kita. Politik kita sudah ketinggalan zaman.�

Boleh jadi itu ide untuk masa depan yang masih jauh. Namun, masa depan itu niscaya datang. Apa yang jadi penggeraknya? Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore, dalam karyanya The Future (Random House, 2013), menyebut ada enam penggerak perubahan global paling penting. Keenamnya tidak saja konvergen�memusat�tetapi juga berinteraksi satu sama lain.

Tentu saja kita berkepentingan merebut kembali kendali nasib kita dan membentuk masa depan. Menurut Al Gore, yang dituntut adalah kemampuan menghadapi, antara lain, ekonomi global yang makin saling terhubung dan munculnya jejaring komunikasi elektronik berlingkup dunia yang menghubungkan pemikiran dan perasaan miliaran orang (seperti halnya Facebook).

Respons belum memadai

Terhadap pelbagai prospek perubahan yang ada sejauh ini, pemerintahan demi pemerintahan boleh jadi telah memperlihatkan upaya untuk merespons. Terakhir, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, meluncurkan Komite Inovasi Nasional, selain Komite Ekonomi Nasional, serta Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Namun, banyak inisiatif baik yang dalam perjalanannya tak mewujud nyata.

Penyebabnya adalah tersedotnya sumber daya waktu, tenaga, dan pikiran pemerintah untuk urusan (survival) politik, satu distraksi yang harus ditebus mahal dengan pupusnya peluang membuat langkah-langkah besar.

Dengan energi yang banyak tersedot untuk masalah politik ini, kinerja ekonomi tak bisa lebih optimal daripada apa yang bisa dicapai sekarang. Selain kesenjangan�seperti diperlihatkan indeks gini�yang membesar, ternyata fundamental ekonomi Indonesia tidak sekokoh seperti yang banyak diklaim. Karena amat bergantung pada impor untuk hampir sebagian besar kebutuhan, defisit perdagangan pun tak terelakkan.

Di tengah masa yang penuh guncangan ini, fokus bangsa Indonesia setahun ke depan tak ayal lagi adalah pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Dari luar, terkesan kita telah cukup dewasa untuk mempraktikkan demokrasi.

Namun, di kalangan concerned citizen (warga peduli) masih sering muncul argumen, yang kita jalankan sejauh ini baru sampai pada demokrasi formal prosedural. Demokrasi yang maslahat, di mana hasil pemilu legislatif ataupun pemilu presiden mampu membawa bangsa pada lompatan kuantum kemajuan, ibaratnya masih menunggu Godot.

Bayangan kemenangan golongan putih (golput), bayangan masih akan terus berlanjutnya sistem politik transaksional, dan hukum yang masih belum memuaskan penegakannya memang masih jadi alasan bagi tumbuhnya pesimisme.

Jika di hari kemarin kita sering mendengar wacana amputasi bagi elemen yang tidak berfungsi baik, kini kita diingatkan kembali pada konsep creative destruction. Sebagaimana dicetuskan ekonom Joseph Schumpeter dalam karyanya, Capitalism, Socialism and Democracy (1942), destruksi kreatif meminta dilakukannya �perubahan industri dengan terus-menerus merevolusi struktur ekonomi dari dalam, menghancurkan yang lama, dan secara tanpa henti mencipta yang baru�. Ada alasannya kalau penghancuran kreatif ini kita lakukan tidak saja untuk ekonomi, tetapi juga untuk bidang politik dan hukum.

Mimpi dan PR-nya

Prediksi McKinsey (2012) bahwa Indonesia akan menjadi ekonomi nomor tujuh di dunia dalam kurun 1,5 dekade ke depan tentu saja membesarkan hati elite. Sama seperti ketika media Barat menyebut Indonesia punya golden chance untuk menjadi negara maju.

Namun, satu hal yang harus kita sadari ketika kita mendengar kata �prediksi� atau �peluang� adalah bahwa di dalamnya ada persyaratan. Alih-alih menjadi ekonomi nomor 7, gonjang-ganjing yang ada sekarang ini, di tambah dengan faktor-faktor penggerak�atau bisa juga disebut �pengguncang��seperti disebut dalam The Future-nya Al Gore, mengandung potensi memelorotkan peringkat Indonesia.

Tentunya kita juga awas terhadap faktor-faktor yang membuat satu negara lalu disebut sebagai negara gagal. Pemikiran yang dikandung dalam buku Why Nations Fail karya Daron Acemoglu dan James A Robinson (Crown Business, 2012) bisa menjadi satu acuan untuk menjauhkan kita dari faktor-faktor yang menjadikan RI sebuah negara gagal.

Satu hal yang juga tak disangsikan lagi adalah bahwa menjadi �ekonomi nomor 7� adalah mimpi yang harus diwujudkan dengan kerja keras dan mentalitas baru. Kembali pada buku Why Nations Fail, ternyata lembaga politik dan ekonomi buatan manusialah yang jadi penentu penting bagi kesuksesan�atau sebaliknya kegagalan�ekonomi satu negara.

Meminjam semangat High Level Panel yang menyiapkan agenda pembangunan pasca-Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) (2015), karakteristik pembangunan yang dianjurkan adalah �berkelanjutan, berkeadilan, dan ramah lingkungan�. Sejauh kita gagal membongkar kebiasaan lama melalui creative destruction, agenda pasca-2015 pun akan sulit kita capai, sebagaimana kita masih banyak kedodoran dalam upaya mencapai MDG.

Nyata sekali bahwa pekerjaan rumah bangsa Indonesia, bukan hanya bagi presiden yang terpilih dalam Pemilu Presiden 2014, amatlah banyak. Ini bukan musim semi yang indah, tetapi tetap harus kita sambut.

Ninok Leksono; Pemimpin Redaksi Kompas

Darurat Negeri

Radhar Panca Dahana

BARANGKALI kita merasa wajar, bahkan bisa memiliki perasaan yang sama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat tokoh nomor satu di Republik ini menyatakan penyesalan yang sangat dalam pada peristiwa tertangkap basahnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, beberapa hari lalu.

Tentu saja ini kisah yang tragis. Sangat tragis mengingat kejadian serupa sangat langka dalam sejarah bangsa-bangsa mana pun di dunia. Seorang yang memiliki kuasa begitu tingginya, nomor 9 (setelah Presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya), ternyata mengalami semacam� jika tidak gangguan�kerapuhan mental atau jiwa seperti itu. Apa yang terjadi dengan mereka yang selama ini bergaul dengannya berpuluh tahun sehingga tak bisa menduganya. Butakah mata fisik dan batinnya? Apa yang terjadi pada sistem perekrutan pejabat-pejabat publik kita? Apa yang terjadi pada lembaga-lembaga yang diagungkan sebagai institusi suci demokrasi kita?

Tentu saja jawaban kita bisa jadi sama: ada yang keliru dan rusak dalam semua hal di atas. Apa dan bagaimana, silakan para ahli menjawabnya. Yang jelas, kerusakan dan kekeliruan yang meresap dalam lembaga-lembaga yang kita percaya sebagai sebuah prakondisi bagi terciptanya negara yang sehat dan makmur itu membuat kita merasa sedih, marah, dan menyesal. Sama seperti Presiden SBY.

Namun, saya kira SBY dan kita bersama tidak perlu menyesal, apalagi begitu dalamnya. Sebaliknya, kita harus merasa gembira, bahkan memiliki harapan lebih tinggi untuk masa depan, karena buat apa kita menyesali Akil Mochtar? Buat apa menyesali MK? Kita justru senang karena kedua entitas itu membuktikan pada sejarah: upaya pemberantasan korupsi mulai kian menunjukkan hasil. Membuktikan bahwa kerja lembaga seperti KPK memang ampuh, solid, dan independen. Membuktikan, sebenarnya, pemerintahan SBY punya andil untuk sukses itu.

Sukses itu membongkar borok bahkan penyakit dalam di tubuh negeri kita sampai ke akar-akar terkuatnya di kalangan elite, di kalangan yang selama ini kita anggap untouchables dan in-poena alias (memiliki) impunitas. Memang soal korupsi agak berbeda dengan struktur piramida biasa. Ia, sebagaimana adat yang paternalistik, berakar kuat di atas. Pemberantasannya memang harus dari pucuk-pucuk paling atas sehingga dengan sendirinya terjadi perubahan mendasar di bagian-bagian bawahnya.

Jadi, sepantasnya, kaum Muslim, misalnya, mengucap syukur dan berdoa, berupaya agar satu per satu akar terjungkit itu terbongkar dan lepas satu per satu. Dengan demikian, Republik yang jungkir balik ini bisa kembali pada kodrat alamiahnya: tegak berdiri di atas akar yang tertanam kuat di bumi, di keluhuran tradisi dan Ibu Pertiwi, di atas nilai-nilai ideal yang susah-perih-payah diwariskan kepada para pendahulu kita.

Jelata yang berdaya

Dengan peristiwa itu, dengan kesadaran yang lebih tinggi dan harapan yang lebih besar, kita pun bersama bisa membaca, mengoreksi, dan mengonstitusi realitas dari ke-(ber)-ada-(an) negara dan negeri ini. Saya harus memisahkan pengertian dua terma di atas, yang selama ini agak rancu pemahaman dan pemakaiannya. Yang pertama mengacu pada pengertian tentang kekuatan (politik, hukum, atau ekonomi) pemerintahan, yang merasa memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur atau mengelola sebuah wilayah beserta penduduknya. Dalam pengertian denotatif, negara adalah �organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat� sebagaimana tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Dalam kitab yang sama, kita menemukan pengertian �negeri� sebagai �tanah tempat tinggal suatu bangsa, 2) kampung halaman; tempat kelahiran�. Amerika Serikat adalah sebuah negeri, sedangkan negara ada di beberapa bagian wilayahnya. Korea Selatan adalah negara, tetapi negeri adalah keseluruhan bangsa yang ada di semenanjung itu. Indonesia adalah negara kesatuan yang dipimpin oleh presiden sebagai kepala pemerintahan, dan negeri adalah sebuah kesatuan wilayah dan bangsa yang dipimpin oleh seorang kepala negara (sic!) yang semestinya diubah menjadi kepala negeri.

Negara boleh berganti wujud, sifat, dan gaya atau ideologinya. Pemerintahan bahkan boleh tak ada. Akan tetapi, negeri (harus dan bisa) terus berlangsung selama bangsa yang menghuni dan memilikinya tetap solid. Inilah pokok utama kita sampai hari ini: kita ribut dengan persoalan pemerintahan dan negara (yang terus bermetamorfosis menuruti angin global yang bertiup), tetapi lupa pada keberadaan dan kesehatan negeri dan bangsanya. Karena di dua entitas terakhir itulah ada tidaknya Indonesia ditentukan: dulu, kini, dan nanti.

Akil Mochtar, tersangka korupsi terelite itu, adalah sebuah pertanda bagi keropos dan rapuhnya sebuah negara, lebih khusus lagi pemerintah yang dipercaya�dan difasilitasi�rakyat untuk mengelola semua potensi negeri demi kejayaan bangsa. Tak perlu disesali, tetapi lebih baik disadari bahwa realitas busuk dan involutif itu kini menjadi bagian dari diri kita, nasib, dan masa depan anak-anak bangsa kita. Nyatalah sekarang, sebenarnya, justru elite- lah, kaum politik yang selama ini berebut kekuasaan dan kursi-kursi utama dalam jabatan publik, ternyata menjadi sebab utama kebobrokan dan destruksi multidimensi dari negeri dan bangsa ini.

Negeri dan bangsa hanya menjadi ternak atau sari madu yang terus diisap dan dieksploitasi oleh keserakahan sistem yang dijalankan pemerintah dan disetujui negara (dengan embel-embel apa pun ini). Tingkat keserakahan dan eksploitasi, yang diumpak dan diberi siasat oleh kepentingan asing dan kompradornya tersebut, begitu luar biasa destruktifnya sehingga mestinya ia sudah menciptakan kerusakan akut bagi Tanah Air ini. Seperti juga banyak terjadi di belahan dunia lainnya, baik di Utara, Selatan, Timur, maupun Barat sendiri.

Inilah kenyataan yang terbukti bahwa negeri ini masih bertahan, tidak terbalkanisasi atau termusimsemikan. Ini tak lain karena berkat peran para penghuni dan pemilik negeri ini sesungguhnya adalah kaum menengah bawah dan rakyat jelata yang terus bergeliat dan bergerak menyatukan diri, menciptakan sinergi daya tahan hidup (survivality)-nya yang teruji selama lebih dari lima milenia. Di sinilah fakta yang sangat terlambat disadari, apalagi ditindaklanjuti, bagaimana misalnya ekonomi negeri diselamatkan oleh usaha kecil menengah (UKM), suatu upaya mandiri dari rakyat semesta yang tidak tersentuh tangan negara/pemerintah, yang terus berdaya tanpa peduli ada atau tidaknya negara (pemerintah).

Destruksi pada negeri

Mungkin saat ini kita semua, sebagaimana kita lihat dalam kolom dan rubrik-rubrik media massa, terlibat dalam usaha mengkritisi, mengoreksi, atau membenahi segala hal yang pragmatis dilakukan pemerintah. Ide dan usulan dikeluarkan, yang sayangnya masih berkutat dengan cara berpikir yang sama, paradigma dan dasar epistemologis yang sama: kontinental! Segala upaya yang saya kira akan menemukan jalan akhirnya yang penuh sesal: jika tidak buntu, ia sia-sia. Bagaimana hal itu terjadi memang membutuhkan uraian di kertas yang berbeda.

Namun, di sini kita fokus pada tidak hanya dampak, tetapi juga penyingkapan realitas yang nyata dari keadaan kita saat ini. Realitas yang barangkali pantas diberi air mata karena demikian rapuhnya kesejatian negara dan pemerintahan kita. Hal yang sebenarnya masih bukan persoalan yang kritis dan menggiriskan ketimbang remuk dan rapuhnya soliditas bangsa dan keutuhan negeri ini.

Terbongkarnya kasus sangat memalukan dari RI-9 di atas adalah kabar yang bukan hanya mendorong kita untuk bersama-sama memperbaiki atau mengubah orientasi negara dan pemerintah kita, secara sistemik, sekurangnya, untuk menghindari kegagalan total kita dalam berkebudayaan dan menciptakan peradaban. Namun, juga ia adalah peringatan yang sangat keras karena hal di atas sudah menciptakan situasi yang emergensial, yang darurat, bagi kenyataan dan keberadaan kita (Indonesia) sebagai sebuah negeri, sebuah bangsa.

Apa yang perlu dibaca dari peristiwa mutakhir itu adalah realitas manusia dan kemanusiaan kita yang entah hingga seberapa dalam mengalami kerusakan mental/jiwanya. Adakah virus �AM� mendekam atau bersembunyi dalam diri kita masing-masing? Adakah kita, karena virus itu, telah menzalimi diri sedemikian rupa sehingga kita tidak hanya mengkhianati martabat atau kehormatan kita sendiri, tetapi juga keluarga, komunitas di mana kita lahir dan dibesarkan, negeri yang kita banggakan, bahkan Dia yang kita puja dan sembah tiap hari dalam kata-kata?

Apakah kita masih bisa bertahan dari provokasi dan semacam legitimasi kedegilan kaum elite yang selama ini kita jadikan anutan dan acuan? Apakah kita masih mampu menangkal dampak-dampak negatif kultur global yang penetrasinya menggila hingga ke iklan atau gadget sederhana yang beroperasi, bahkan dalam kesendirian kita? Adakah kita merasa nyaman dan mampu mempertahankan survivalitas kita ketika pemerintah justru mendorong kapital-kapital besar menggeser dan menggusur UKM yang menjadi tumpuan hidup istri dan anak kita?

Semua hal itu jika tidak kita sadari bersama, di tengah alpa, dusta, serta keserakahan politik dan ekonomi elite kita, akan�walau perlahan�menggerus daya tahan primordial yang kita miliki, sehebat apa pun itu, selama apa pun waktu dulu pernah sukses mempertahankannya. Jika gerusan itu terjadi kian kuat, longsor, banjir, dan tsunami kebudayaan adalah bom waktu yang ledakannya nanti bukan hanya meratakan bangunan negara dan pemerintahan, melainkan juga mencerai-berai serta melarungkan bangsa dan negeri ini ke samudra zaman yang tiada tepi.

Siapa yang kita pilih, kita percaya, dan kita beri fasilitas untuk mengatasi itu semua, tentu saja adalah pihak yang paling bertanggung jawab. Namun mungkin mereka akan gagal karena borok dan bobrok akut yang dialaminya. Hanya, terserah negara mau dibawa ke mana pun oleh pemerintah yang khianat pada rakyat dan konstitusinya, negeri dan bangsa yang kita miliki ini harus tetap ada dan bergerak maju ke arah yang ditunjuk oleh visi dan imajinasi kita bersama. Kepada merekalah, rakyat semesta, selaiknya kejujuran, pengabdian juga pengorbanan harus kita berikan jika darurat ini ingin segera kita atasi. Dengarkah, wahai Tuan-tuan Besar? Terdengarkah suara ini?

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Selasa, 22 Oktober 2013

Semiotika Bunda Putri

Acep Iwan Saidi

BUNDA Putri adalah nama pleonastis. Bunda dan Putri merupakan dua deiksis yang menunjuk pada persona sama: perempuan.

Sebagai panggilan pleonastis, kata ini mengirim pesan semiotik. Terdapat sebuah kemewahan di sana, sesuatu yang dilebih-lebihkan. Sapaan dekoratif sedemikian mengindikasikan sebuah relasi hierarkis kepentingan. Yang menyapa dimungkinkan menjadikan sapaan �Bunda Putri� sebagai pesan itu sendiri, yakni pesan bahwa sebenarnya si pengirim pesan (sender) sekaligus ingin menjadi penerima (receiver). Jadi, yang menyapa adalah pengirim dan penerima sekaligus. Inilah model komunikasi feodalistik: aku memuja karena itu aku �mendapat�. Hanya yang menyapa Bunda Putri yang akan meraih kesempatan. Apa pun kesempatan tersebut pastilah berujung pada sesuatu yang menguntungkan, tetapi dapat diraih dengan gampang.

Dalam komunikasi semacam itu, topik perbincangan sendiri sebenarnya tak terlalu penting. Hal ini berbeda dengan semiotika komunikasi Fiske (1992). Menurut Fiske, dalam semiotika komunikasi, topik perbincangan (teks) berada pada posisi sentral (ordinat), sedangkan pengirim dan penerima pesan bergeser ke pinggir (subordinat). Penerima dapat pesan dan makna dengan cara menafsir teks, ia bahkan bisa mengabaikan pengirim. Hal ini sejalan pandangan Barthes (1977). Kehadiran pembaca meniscayakan kematian pengarang (pengirim pesan), kata Barthes.

Penerima sendiri mendapatkan pesan dan makna setelah ia menegosiasikan teks dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Di sinilah kemudian terjadi keragaman tafsir dari berbagai penerima terhadap teks yang sama. Dalam semiotika komunikasi, kata Fiske, tak pernah ada kesalahan tafsir; yang ada adalah keberagaman interpretasi.

�Ultrateks�

Komunikasi di lingkaran para pelibat dalam kasus Bunda Putri tidaklah demikian. Di awal telah disinggung, sapaan Bunda Putri bernuansa semiotik. Nama Bunda Putri bukan alamat pengirim, apalagi penerima, melainkan makna dan pesan itu sendiri. Ia adalah teks, bahkan bisa dibilang �ultrateks� karena bisa meruntuhkan posisi teks biasa dalam komunikasi.

Sebagai ultrateks inilah, kiranya yang menyebabkan tafsir atas Bunda Putri tak bisa menghasilkan keragaman makna sebagaimana terjadi atas teks biasa dalam semiotika. Bagi para pelibat di lingkaran kasus itu, makna Bunda Putri telah terberi (given). Dengan demikian, jika salah menempatkan atau �menyebut� nama tersebut, para pemilik kepentingan dimungkinkan akan celaka. Ia bukan hanya akan kehilangan kesempatan dalam menempatkan �kepentingannya�, melainkan bisa jadi terpental ke luar lingkaran.

Lantas, sebagai sosok, siapakah sebenarnya Bunda Putri yang ultrateks itu? Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) menyebutnya sebagai sosok yang dekat dengan istana. Hal ini berarti bahwa Bunda Putri sering hadir di istana, baik fisik maupun nonfisik. Namun, dalam keterangannya, Presiden SBY mengatakan, ia tidak mengenal Bunda Putri. Jika begitu, Bunda Putri tidak terlihat di istana atau di lingkaran istana. Sebab, jika terlihat, mustahil SBY tidak mengenalnya.

Sebagai presiden, SBY adalah sosok yang diandaikan rakyat mengetahui semua lekuk tubuh negeri ini. Kiranya tidak masuk akal jika ia tidak mengetahui detail istana dan sekitarnya.

Kontradiksi keterangan LHI versus SBY itu jelas menggiring perkara Bunda Putri sebagai ihwal yang tidak masuk akal. Dengan demikian, Bunda Putri adalah sosok nirnalar, �siluman� yang bisa jadi memang bergentayangan di dalam dan di luar istana. Sebagai siluman, ia hadir dalam wacana dan memiliki dampak yang luar biasa buruk, tetapi kita tidak melihatnya, bahkan, sekali lagi, Presiden SBY pun tidak. Inilah sosok Bunda Putri, diri yang disapa secara feodalistik itu adalah sosok misterius. Ia datang dari �ruang gelap� kejahatan.

Enigma

Kalau kita kembali betot ke dalam analisis semiotika, �yang misterius� adalah tanda yang meninggalkan debar, sebuah �lubang hitam� yang menimbulkan pertanyaan sekaligus ketegangan secara terus-menerus. Ia adalah tanda yang enigmatik (teka-teki). Di dalam cerita, enigma selalu hadir dalam kisah detektif, genre sastra yang tergolong sebagai kitsch. Kitsch adalah fiksi populer, tiruan yang menimbulkan efek kesegeraan, yang menghibur sesaat. Salah satu mekanisme kitsch dalam menghibur adalah dengan menahan pembaca (publik) berada dalam kepenasaran terus- menerus.

Kitsch bersifat menunda atau menahan bukti sebagai simpul cerita untuk tetap berada di ruang gelap. Begitulah, dalam kasus Bunda Putri, publik pun hanya bisa menduga-duga: siapakah Bunda Putri? SBY atau LHI-kah yang 1.000 persen berbohong dan seterusnya.

Namun, di dalam kisah, enigma menuntut untuk dibongkar. Letak pesan positif kitsch, jika ada, justru terletak di dalam pembongkaran tersebut. Setidaknya, di ujung cerita, publik mendapat sebuah pesan. Hal itu misalnya publik diminta waspada sebab penjahat ternyata orang yang paling dekat. Penjahat bahkan bisa menjadi tokoh yang berpura-pura hendak membongkar kejahatan. Seperti dalam kisah Akil Mochtar, koruptor itu ternyata orang yang seolah-olah hendak melaporkan dan menangkap koruptor.

Lantas, siapakah yang harus membongkar enigma Bunda Putri? Puncak keterkejutan publik dalam kasus ini sesungguhnya dimulai ketika SBY menanggapi secara emosional tudingan LHI. Hal ini berarti keterangan SBY telah �memasukkan dirinya sendiri� ke dalam kisah kelam lingkaran kejahatan tersebut secara pribadi. Berbeda, misalnya, jika yang menanggapi LHI adalah pihak istana sebagai institusi resmi negara. Oleh sebab itu, SBY-lah yang kini harus jadi �detektif�, tokoh sentral sekaligus narator yang berkewajiban menerangjelaskan sosok Bunda Putri.

Jika hal tersebut tidak dilakukan, mau tidak mau, suka tidak suka, SBY akan terpenjara selamanya dalam lingkaran kelam sedemikian. Dan istana jadi ruang gelap tempat seluruh peristiwa tersebut terjadi. Publik tentunya berharap ini bukan ujung dari kisah Bunda Putri. Penonton sebenarnya sudah tak sabar, sudah cukuplah rakyat, sebagai penonton, disuguhi berbagai tontonan menyebalkan.

Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD-ITB

Jumat, 11 Oktober 2013

Masyarakat Madani

Azyumardi Azra

BERBAGAI peristiwa di Dunia Arab dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan kian tidak menentunya masa depan demokrasi di kawasan ini. Sejak Presiden Muhammad Murs�dari al-Ikhwan al-Muslimun�yang terpilih melalui pemilu demokratis pertama di Mesir digulingkan militer, transisi damai untuk konsolidasi demokrasi kian menjauh.

Sebaliknya, dari ke hari publik internasional melihat peningkatan zero-sum- game di antara pemerintah Presiden (interim) Adly Mansour yang didukung militer, institusi al-Azhar dan kelompok liberal secara bersama melawan IM.

Sementara itu, pemerintahan �Islamis� Partai Ennahdah di Tunisia juga mendapat tantangan kian keras dari oposisi. Meski partai pimpinan Rachid el-Ganouchi ini telah berusaha memoderasikan diri, ketidakpercayaan dan skeptisisme tetap bertahan. Kalangan oposisi menuntut pemerintah Ennahdah mundur dan pemilu kembali diadakan; mereka masih memendam kecurigaan kuat, Ennahdah tetap memiliki agenda Islamis tersembunyi.

Absennya �civil society�

Harapan bagi tumbuhnya demokrasi di bagian Dunia Arab lainnya �setali tiga uang�. Hampir tidak ada harapan bagi demokrasi di Suriah yang masih dilanda perang saudara, yang kini harus menghadapi kekuatan internasional dan PBB karena penggunaan senjata kimia. Harapan juga memudar di Irak yang meski beberapa tahun terakhir telah memiliki pemerintahan melalui pemilu, tetap saja dilanda kekerasan sektarian yang menewaskan ribuan orang Sunni dan Syiah.

Demokrasi lebih daripada sekadar eksistensi partai politik, yang dalam beberapa kasus di Dunia Arab, seperti Mesir, telah ada sejak masa pasca-pengambilalihan kekuasaan oleh rezim militer Gamal Abdul Nasser pada 1952. Namun, Mesir sejak saat itu lebih menampilkan kekuasaan one-single party system, Partai Persatuan Nasional pimpinan Nasser. Sistem partai tunggal dilanjutkan Presiden Anwar Sadat lewat Partai Nasional Demokrat (al-Hizb al-Watani al-Dimukrati) yang dia dirikan pada 1978 sebagai transformasi dari [Partai] Persatuan Sosialis Arab, partai penguasa sejak 1962. Meski ada partai-partai lain, mereka tidak lebih daripada sekadar �pajangan� untuk menutupi otoritarianisme militer.

Demokrasi juga lebih daripada sekadar pemilihan umum yang secara relatif reguler diadakan penguasa militer Mesir. Pemilu, yang kadang-kadang disertai referendum untuk mengambil keputusan rakyat, tidak lebih sebagai alat untuk melestarikan status quo kekuasaan militer.

Meski punya pengalaman dengan partai politik dan pemilu, masyarakat dan negara-negara Arab tampak tidak memiliki prasyarat memadai untuk tumbuhnya demokrasi. Pengembangan sejumlah prasyarat itu jelas memerlukan waktu panjang karena harus disemaikan sejak dari bibitnya.

Salah satu syarat penting bagi demokrasi untuk tumbuh dan menguat dalam masyarakat adalah civil society (CS), yang biasa diterjemahkan sebagai masyarakat sipil, masyarakat kewargaan atau masyarakat madani. Ihwal tentang apakah Dunia Arab memiliki atau tidak memiliki CS menjadi subyek perdebatan akademis sejak waktu lama. Sarjana seperti Ernest Gellner dan Bernard Lewis berargumen, masyarakat Muslim Arab tidak memiliki lahan sosial-budaya yang kondusif bagi tumbuhnya masyarakat kewargaan.

Sejumlah sarjana lebih belakangan, seperti Dennis J Sullivan dan AA Sachedina, berargumen bahwa CS telah tumbuh dalam masyarakat Muslim Arab sejak waktu lama dalam bentuk kelompok atau organisasi sukarela, asosiasi perajin, atau paguyuban pedagang. Mereka ini memegang peranan tertentu dalam menumbuhkan solidaritas dan kohesi sosial di antara para anggotanya.

Hemat saya, CS dalam bentuk ormas besar, seperti NU dan Muhammadiyah, di Indonesia absen dalam Dunia Arab secara keseluruhan. Memang di Mesir juga ada CS dalam bentuk asosiasi profesional para dokter atau guru misalnya. Namun, jelas CS seperti ini hanya tertarik pada hal menyangkut profesi mereka sendiri; mereka hampir tidak memiliki minat pada dinamika, perkembangan, dan perubahan politik.

Peran �civil society�

Ketiadaan CS seperti NU dan Muhammadiyah di Dunia Arab mengakibatkan terjadinya head-on-collision, �laga adu kepala� [kambing] di antara dua kubu kekuatan politik di Dunia Arab. Dalam kasus Mesir, pertarungan hidup-mati terjadi antara militer dan para pendukungnya melawan Ikhwanul Muslimin (IM). Dalam hal Tunisia, Partai Ennahda, partai penguasa, melawan partai dan golongan masyarakat Muslim modernis.

Dengan demikian, tidak ada kekuatan penengah dalam pertarungan kekuasaan di Dunia Arab. Hal ini berbeda dengan CS berbasis Islam di Indonesia yang menjadi kekuatan penengah dan mediasi dalam transisi yang terjadi di Indonesia pada 1998-2001 antara kubu militer dan partai-partai politik. CS Indonesia memainkan peran penyeimbang (balancing power) di antara pihak-pihak yang terlibat langsung dalam perebutan kekuasaan.

Lebih lanjut, ketika pertarungan politik menuju ke arah jalan buntu, CS Indonesia sekaligus tampil memberikan kepemimpinan alternatif yang relatif bisa diterima mayoritas warga. Hal ini yang terjadi ketika Amien Rais, sebelumnya Ketua Umum PP Muhammadiyah, dipilih sebagai Ketua MPR.
Selanjutnya dalam Sidang Umum MPR 1999, Abdurrahman Wahid, sebelumnya Ketua PBNU, dipilih sebagai Presiden RI. Sebagai kontras, ketiadaan CS di Dunia Arab mengakibatkan absennya alternatif kepemimpinan di luar kedua kubu yang bertikai.

Tak kurang pentingnya, CS di Indonesia memainkan peran lain yang tak kurang krusialnya, yaitu memelihara kohesi sosial. Ketika transisi politik yang begitu cepat menimbulkan gejolak friksi, konflik vertikal dan horizontal, serta bahkan kekerasan di antara kubu-kubu politik yang bertikai, CS mampu menjaga keadaban (civility) para anggotanya yang masif. Tidak heran, sejak dasawarsa 1910-an CS Indonesia secara langsung atau tidak memainkan peran instrumental dalam penumbuhan civic culture di kalangan para anggotanya.

Dalam komparasi ini, terlihat negara-negara Arab bakal terus berada dalam transisi demokrasi sangat sulit, pedih, dan panjang. Indonesia yang punya pengalaman panjang dengan CS melalui Institute for Peace and Democracy (IPD) sejak bangkitnya �Arab Spring� menyelenggarakan beberapa forum �berbagi pengalaman� (sharing experiences) dengan sejumlah kalangan pemerintahan, tokoh politik, dan politisi politik negara-negara Arab, baik di Jakarta, Bali, maupun Kairo. Namun, masih banyak lagi yang bisa dilakukan Pemerintah Indonesia untuk berbagi pengalaman dengan warga dan masyarakat Dunia Arab sehingga dapat menginspirasi penumbuhan civil society dalam negara-bangsa mereka.

Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Anggota Dewan Penasihat Institute for Peace and Democracy/Bali Democracy Forum

Minggu, 06 Oktober 2013

Mewariskan Utang

Ivan A Hadar

Pengurangan utang secara signifikan adalah sebuah kebutuhan riil, tak hanya bagi negara kurang berkembang, tetapi juga bagi negara berkembang berpenghasilan menengah.�

Pernyataan Presiden SBY di atas disampaikan dalam pertemuan Financing for Development di New York (September 2005), satu tahun masa awal pemerintahannya. Dalam periode pertama kepemimpinannya, pemerintahan SBY juga berjanji konsisten menerapkan kebijakan hanya akan membuat utang baru bila diperlukan, dengan jangka waktu panjang dan dengan bunga utang lunak, serta terus menurunkan porsi kredit ekspor.

Sayangnya, sejumlah pernyataan tentang pentingnya penghapusan utang dan rekomendasi terkait debt sustainability masih sebatas wacana. Selama pemerintahan SBY telah terjadi peningkatan jumlah utang yang fantastis: Rp 724,22 triliun! Juni 2013, total utang Indonesia Rp 2.156 triliun, belum ditambah utang baru yang belum cair.

Secara teoretis, Daseking dan Kozack (Avoiding Another Debt Trap, 2003) memprediksi, negara seperti Indonesia akan gagal mencapai salah satu tujuan utama MDG (Tujuan Pembangunan Milenium) berupa pengurangan tingkat kemiskinan menjadi separuh pada 2015, kecuali punya pertumbuhan ekonomi tinggi, berhasil memperkuat institusi, melaksanakan kebijakan prorakyat kecil, dan tak terperangkap dalam utang.

Sejumlah persyaratan tersebut masih jauh dari terpenuhi. Bahkan cukup santer suara yang mencemaskan ekonomi Indonesia terancam bangkrut. Berbagai krisis berikut ini adalah penyebab sekaligus dampak kondisi keterpurukan yang ada.

Pertama, beberapa kali krisis ekonomi yang belum sepenuhnya pulih berujung pada krisis kemanusiaan ketika nyaris separuh rakyat Indonesia masih tergolong miskin dan hampir miskin. Sementara para elite seakan tak berdaya atau membiarkan banyak kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang. Kedua, krisis moral. Ketiga, krisis demokrasi saat lebih dari 28 juta jiwa sangat miskin harus bergulat mencari nafkah guna menyambung hidup. Mereka terpinggirkan dari tiap proses pengambilan keputusan publik.

Generasi yang hilang

Kenyataan menunjukkan, struktur demokrasi saja belum cukup menjamin munculnya elite yang sadar dan bertanggung jawab. Kondisi ini bisa memunculkan persepsi, demokrasi adalah hambatan bagi terciptanya good governance dan kesejahteraan. Boleh jadi kita terlalu mudah puas saat asas demokrasi telah ditanamkan dalam konstitusi, tanpa menyadari bahwa demokrasi hanya akan berfungsi bila kian banyak masyarakat yang punya akses pada pendidikan dan sumber daya material.

Untuk menciptakan sebuah demokrasi yang membawa kesejahteraan bagi sebanyak mungkin warga, diperlukan terobosan berupa program yang jelas dalam upaya memerangi kemiskinan. Oscar Arias Sanchez, mantan Presiden Kosta Rika yang juga peraih Nobel Perdamaian 1987, mengusulkan perlunya konsentrasi pada upaya pengurangan beban utang, peningkatan dana bantuan pembangunan, dan pemotongan anggaran militer.

Tiap rupiah untuk membeli senjata canggih yang sebenarnya tak dibutuhkan untuk mengatur keamanan. Hal ini disebabkan ia berperan memperburuk kehidupan rakyat yang selama ini tak punya akses pemenuhan kebutuhan akan makanan, rumah, pendidikan, dan kesehatan. Kian banyak yang sepakat, dana militer adalah penyimpangan prioritas kemanusiaan terbesar. Secara global, setiap tahun 800 miliar dollar AS dihabiskan untuk biaya tentara dan perlengkapannya.

Padahal, hanya dengan 40 miliar dollar AS, semua penduduk bumi dijamin memiliki akses pada layanan sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, makanan, sanitasi, dan air minum selama 10 tahun. Sementara dengan jumlah sama, semua penduduk dunia bisa terangkat di atas garis kemiskinan. Hal yang seharusnya menggetarkan hati siapa pun.

Di banyak negara berkembang, beban utang luar negeri menjadi hambatan bagi penegakan demokrasi. Krisis ekonomi yang masih berlangsung juga menimbulkan dampak sosial amat serius. Unicef, misalnya, pernah berkesimpulan, tanpa pengurangan beban utang luar yang amat berat, Indonesia akan �kehilangan satu generasi� karena lemah dan bodoh akibat gizi buruk dan kurang pendidikan.

Perlu terobosan

Sebenarnya, dengan alasan tersebut, bila tidak ada langkah nyata pengurangan utang dari kreditor, Pemerintah Indonesia bisa mengusulkan arbitrage insolvency dengan mengajukan fakta dan argumen di depan hakim independen internasional (Kunibert, 2006). Pada saat yang sama, negara-negara industri dituntut memperkuat demokrasi dan menunjang good governance di negara-negara berkembang lewat peningkatan dana bantuan pembangunannya.

Berikut ini beberapa usulan strategis sebagai terobosan untuk keluar dari �jebakan� utang sebagai pertimbangan. Pertama, pemberlakuan batas maksimum bagi pembayaran utang publik, terutama utang luar negeri. Hal ini akan memperbesar ketersediaan sumber dana bagi perekonomian domestik.

Penetapan batas maksimum ini perlu didasarkan pada (sebuah) UU sehingga pemerintah bisa menggunakannya sebagai dasar hukum dan sekaligus alat negosiasi. Selanjutnya, diperlukan pengaturan mengenai pembatasan jumlah utang baru yang mengarah kepada zero new debt.


Kedua, pengurangan pokok utang. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain: (a) penghapusan utang melalui kombinasi rekayasa keuangan dan renegosiasi komersial dengan kreditor; (b) pengurangan debt stock lewat arbitrase internasional; (c) negosiasi utang luar negeri publik ada level geopolitik dan strategis; dan (d) renegosiasi bilateral, terutama dengan Jepang sebagai kreditor terbesar.

Tanpa terobosan, SBY hanya akan mewariskan utang kepada pemerintahan penerusnya. Bukan hanya berjumlah terbesar dalam sejarah republik, melainkan juga berdampak paling menakutkan karena menghilangkan kesempatan bagi puluhan juta rakyat Indonesia memperoleh kehidupan, pendidikan, dan kesehatan yang layak.

Ivan A Hadar; Direktur Eksekutif IDE Indonesia (Institute for Democracy Education); Ketua Dewan Pengurus Indonesia for Global Justice

Pentingnya Sastra di Sebuah Bangsa

Dorothea Rosa Herliany 

Frankfurt Book Fair merupakan pameran buku terbesar di dunia, juga salah satu event budaya paling penting di Eropa. Diselenggarakan sekali setahun, pada bulan Oktober (9-13 Oktober). Pameran ini menjadi perhatian ribuan media dan publik di negara-negara berbahasa Jerman, juga di seluruh Eropa, bahkan dunia internasional.

Ribuan penerbit dan perusahaan media dari seluruh dunia menghadirinya. Jumlah pengunjung sampai ratusan ribu. Pameran buku paling bersejarah (mulai menjadi tradisi sejak 500 tahun lalu ketika Johannes Gensfleisch zur Laden zum Gutenberg, penemu mesin cetak, menjual bukunya yang pertama Gutenberg Bible di Pameran Buku Frankfurt tahun 1456) itu merupakan tempat bertemunya ribuan agen, pustakawan, penerjemah, penerbit, pencetak, wartawan, budayawan, seniman, sarjana, dan tentu saja sastrawan dari seluruh dunia. Sastra akan menjadi fokus utama pameran buku ini.

Mengapa sastra yang menjadi fokus utama di sana? Karena dunia mengukur peradaban sebuah bangsa itu melalui novel yang ditulis para sastrawan. High level culture is high level novel. Mengapa? Sebab melalui bacaan itulah orang dari berbagai negara bisa mengetahui watak dan jati diri manusia dalam sebuah bangsa secara lebih jujur dan utuh. Ada watak dan peristiwa di dalamnya, juga pembaca bisa menenggelamkan diri ke dalam jiwa dan batin manusia Indonesia yang nyata.

Di dalamnya ada cita-cita manusianya, perjuangannya, cinta, iman, tanggung jawab, persahabatan, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain. Hal ini tidak bisa ditemukan pada bacaan lain semisal buku politik, sejarah, bahkan antropologi atau buku seni lain. Melalui novel, segala permasalahan kemanusiaan yang lebih dalam dan lebih kompleks akan mampu diketahui oleh pembaca dengan lebih tenang dan jernih.

Puisi juga ada dalam posisi yang sama. Bahkan, isi puisi lebih menampilkan semangat, spirit, keindahan bahasa, dan kreativitas manusia dalam sebuah bangsa. Hanya bedanya, puisi itu di mana saja di dunia ini, ia hanya bisa dinikmati oleh sedikit orang saja. Lain dengan novel yang lebih banyak orang bisa menikmatinya.

Oleh karena itu, novellah akhirnya yang menjadi primadona. Film atau teater bisa saja mengambil peran yang sama dalam konteks ini, tetapi ia tidak bisa dibolak-balik, dibaca-baca ulang dengan mudah bagian-bagian pentingnya untuk direnungkan, sebagaimana watak sebuah buku. Sayangnya di Indonesia sastra sepertinya hanya dipandang dengan sebelah mata saja.

Tamu kehormatan

Bulan Juni 2013 sudah diputuskan Indonesia akan menjadi tamu kehormatan dalam Frankfurt Book Fair 2015. Kesepakatan tentang kerja sama itu sudah ditandatangani antara pihak Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan pihak Jerman yang diwakili oleh Direktur Frankfurt Book Fair Juergen Boos.

Bagaimana Indonesia menyiapkan hal ini semua? Saya, kebetulan sedang di Berlin, sudah ditanya banyak pihak Jerman tentang hal ini. Sebab, berdasarkan Road Map to Indonesia as Guest of Honour at the Frankfurt Book Fair 2015, Indonesia seharusnya sudah membuat beberapa kegiatan, seperti menyiapkan program utama menyangkut penulis, penerjemah, seniman, dan penerbit pada sejumlah acara. Kemudian menerjemahkan buku dan membuat acara peluncuran pada Frankfurt Book Fair, mengundang para penulis Indonesia ke Frankfurt Book Fair 2013 dan 2014.

Indonesia juga harus menyajikan buku yang telah diterjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa Jerman, menyiapkan dana untuk program terjemahan buku sastra Indonesia, baik untuk keperluan pameran buku itu dan mungkin juga di berbagai kota Jerman, dengan melibatkan para sastrawan Indonesia. Para penulis juga mengunjungi pameran buku Leipzig atau pameran lain di Berlin yang berhubungan dengan festival sastra di Jerman untuk menjajaki kemungkinan bagaimana bisa menampilkan para penulis Indonesia, menyiapkan acara peluncuran buku disertai dengan acara seperti pembacaan karya.

Saya kira yang paling penting dan mendesak untuk dikerjakan Pemerintah Indonesia adalah menerjemahkan novel Indonesia kontemporer karena pengerjaannya akan memakan waktu. Karena itu harus dikerjakan sekarang! Sementara untuk bisa tampil di FBF 2015 minimal 30 judul novel sudah harus diterjemahkan dalam bahasa Jerman. Tak hanya itu, juga sudah perlu dicari sejak sekarang kontak kerja sama dengan penerbit di Jerman. Penerbit mana yang kiranya akan sedia menerbitkan terjemahan itu. Penerjemah sastra dari bahasa Indonesia ke bahasa Jerman saja hanya sedikit. Bisa disebutkan yang paling aktif dan sudah menjadi sahabat para sastrawan Indonesia bertahun-tahun, Berthold Damsh�user yang selama ini utamanya menerjemahkan puisi. Lalu Peter Sternagel yang menerjemahkan novel Saman dan Laskar Pelangi. Juga ada Katrin Bandel yang bisa banyak diharapkan karena dia bermukim di Indonesia atau Silke Behl di Jerman dan Dudy Anggawi yang tinggal di Jerman, tapi ulang-alik Indonesia. Selebihnya di luar itu? Susah menyebutkan penerjemah sastra lain.

Lalu setelah diterjemahkan, buku itu harus diterbitkan penerbit di Jerman. Tidak bisa diterbitkan sendiri oleh penerbit Indonesia lalu diboyong ke Jerman karena kaitannya dengan distribusi di negara-negara berbahasa Jerman (selain Jerman, juga Swiss dan Austria) atau Eropa pada umumnya. Manakah kiranya penerbit di Jerman yang mau menerbitkan buku sastra Indonesia hasil terjemahan itu nanti? Mungkin Horlemann yang selama ini memang fokus ke Asia Tenggara dan sudah cukup banyak juga menerbitkan karya-karya sastra Indonesia, seperti Armijn Pane, Mochtar Lubis, Rendra, Pramoedya Ananta Toer, dan Ahmad Tohari. Bisa pula penerbit yang masih baru mulai merintis terbitan buku-buku Asia, Regiospectra atau Union Publisher, penerbit berbahasa Jerman di Swiss yang menerbitkan lebih banyak lagi buku-buku Pramoedya Ananta Toer.

Syukur kalau bisa diterbitkan Hanser Berlin, penerbit besar yang menerbitkan Laskar Pelangi yang di Indonesia belakangan kemenangannya di ajang Internationale Tourismus-B�rse (ITB) Berlin 2013 sempat memancing perdebatan di media Indonesia. Hanya itu kemungkinannya. Tapi, kalau saja biaya penerjemahan (dengan standar tarif Jerman) ditanggung Pemerintah RI, semuanya bisa cukup mudah, bisa kerja sama sebagaimana layaknya juga terjadi di Indonesia.

Frankfurt Book Fair jelas akan menjadi ajang pertukaran budaya Indonesia di Jerman. Eslandia, negara kecil dengan jumlah penduduk hanya 300.000 dan luas wilayah 100.000 kilometer persegi, sebuah negara bersalju dengan banyak gunung berapi, serta negara perikanan dan pertanian yang mengalami masalah ekonomi (mirip Indonesia), telah mempersiapkan diri dengan sangat baik saat tampil sebagai tamu kehormatan FBF 2011. Pameran buku benar-benar dikemas bernuansa buku, budaya, dan tradisi membaca di Eslandia. Sontak semua pengunjung menaruh perhatian pada Eslandia.

Bagaimana sebetulnya masalah pertukaran budaya antara Jerman dan Indonesia ini? Tanpa banyak diketahui umum pada tahun 1997 telah didirikan Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra atas petunjuk Presiden RI dan Kanselir Jerman. Anggotanya antara lain lembaga kenegaraan Indonesia, Departemen Luar Negeri RI, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Bahasa. Sejak saat itu, pihak Jerman diwakili Goethe Institut, bisa kita lihat di pasaran buku pembaca Indonesia bisa menikmati puisi-puisi karya para penyair legendaris Jerman, mulai dari Rainer Maria Rilke, Bertolt Brecht, Paul Celan, Johann Wolfgang von Goethe, Hans Magnus Enzensberger, Friedrich Nietzsche, dan penyair Austria berbahasa Jerman, Georg Trakl.

Penerjemahan karya sastra dalam bahasa Inggris juga mengalami nasib sama. Selama lebih dari 25 tahun Yayasan Lontar dibiarkan aktif berusaha sendiri memperkenalkan sastra Indonesia ke dunia luar. Tak pernah ada campur tangan pemerintah dalam soal itu. Agaknya benar sastra Indonesia merupakan yatim piatu, tak terurus. Apalagi membayangkan sastra Indonesia juga diterbitkan ke dalam bahasa-bahasa di dunia lain: Jepang, Mandarin, Korea, Spanyol, Rusia, dan Perancis misalnya. Lontar sudah memulai dalam bahasa Inggris.

Penerjemahan ke bahasa Jerman hingga 100 judul (jika memungkinkan memang jumlah ini yang disyaratkan FBF, plus buku nonsastra lain, seperti art, nature,  dan history), mungkin bisa �dipercepat� dengan �memanfaatkan� buku-buku hasil terjemahan Yayasan Lontar dalam bahasa Inggris meski itu bukan pekerjaan ideal tapi apa boleh buat? Waktu sudah tinggal sedikit dan pekerjaan masih banyak, bahkan saat ini belum dimulai.

Frankfurt Book Fair 2015 kiranya perlu menjadi titik tolak bagi Pemerintah Indonesia untuk lebih agresif memperkenalkan sastra Indonesia kepada dunia. Memang selama ini sudah ada langkah-langkah menyebarkan budaya Indonesia di berbagai negara dengan misalnya menyajikan tarian, musik gamelan, angklung, wayang kulit, dan seterusnya yang lebih merupakan budaya tradisional dan budaya lisan. Perlulah diperkenalkan bahwa Indonesia tak hanya itu, tapi juga merupakan bangsa yang telah berhasil mengembangkan budaya aksara modern, seperti telah lama terbukti melalui Kesusastraan Indonesia Modern.

Jabatan Geopolitik ala Perang Dingin

Rene L Pattiradjawane

Apakah kita perlu paradigma baru dalam dunia yang terkotak-kotak dalam regionalisme dan multilateralisme? Di tengah kemelut resesi dunia yang berkepanjangan serta persoalan perseteruan kebijakan politik domestik AS, ada kecenderungan baru, yakni mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi yang secara �siluman� dicampur kepentingan geopolitik negara besar.

Tidak mengherankan pelaksanaan KTT APEC di Bali menekankan pentingnya ketahanan anggota Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik, agar pertumbuhan wilayah ini tetap menjadi motor pertumbuhan dunia. Bagi Indonesia, kebangkitan China dan pergeseran kebijakan poros AS ke kawasan Asia akan menghadirkan situasi geopolitik baru.

Kita khawatir bahwa Deklarasi Bogor yang dicapai dalam KTT APEC 1994 bagi pelaksanaan liberalisasi penuh didukung semua pihak menjadi tersendat karena perubahan globalisasi yang makin deras dengan ayunan pendulum yang terus bergerak secara dinamis dan drastis dari satu kawasan ke kawasan lain.
Kawasan Asia-Pasifik menjadi paling dinamis dengan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan mencengangkan banyak pihak, termasuk adidaya AS yang rontok karena krisis keuangan 2008 dan kesulitan merevitalisasi kekuatan militernya pasca-Irak dan Afganistan.

Setelah Asia dilanda krisis keuangan 1997 yang menyebabkan perubahan fundamental dalam politik Indonesia maupun membangkrutkan berbagai pengusaha dari Thailand sampai Korea Selatan dalam belitan utang, banyak yang menganggap era kejayaan pertumbuhan ekonomi Asia sudah selesai. Namun, tanpa menarik banyak perhatian, pengelolaan politik, ekonomi, keuangan, dan persoalan sosial, secara relatif terselesaikan dalam waktu sangat singkat.

Dampak krisis keuangan Asia 1997 ini adalah semangat kebersamaan yang diwujudkan dalam mekanisme regionalisme seperti ASEAN+3 (kemudian ada ASEAN+6), menyatukan komitmen bersama menjalankan kesepakatan-kesepakatan yang dicapai pada tingkat multilateralisme, seperti APEC, untuk bisa berjalan pada jalurnya.

Muatan siluman

Ketika China muncul sebagai kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia melewati Jepang; Inggris, Perancis, dan Jerman, dan semua pihak terkesima karena keberhasilan ini bisa dicapai hanya dalam kurun waktu 11 tahun. Tak ada negara di dunia, negara yang paling maju sekalipun, yang bisa melakukan apa yang dilakukan RRC dalam waktu yang sesingkat itu.

Awalnya, tiga negara, yakni Singapura, Cile, dan Selandia Baru, pada 2002 sepakat mengikat diri dalam kerja sama ekonomi perdagangan yang disebut Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). Kesepakatan muncul setelah melihat dampak krisis keuangan Asia 1997, yang menempatkan ASEAN sebagai inti kekuatan regional dan APEC sebagai kerja sama multilateral yang lebih luas, dianggap tidak memadai mencapai kesepakatan liberalisasi ekonomi secara holistik di bidang perdagangan, keuangan, maupun investasi.

Ada dua penjelasan terkait perubahan geopolitik di kawasan Asia Tenggara ini. Pertama, semakin membesarnya peranan China sebagai kekuatan ekonomi dan perdagangan yang masif akan memengaruhi kemampuan manuver negara-negara ASEAN. Ini antara lain juga didorong oleh banyak kecaman yang ditujukan pada badan internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) maupun Bank Dunia, yang berperilaku sebagai �tuan� baru menghadapi krisis keuangan negara-negara Asia dengan memberlakukan berbagai macam aturan ketat.

Kehadiran RRC dalam ASEAN+3 menghadirkan skema bantuan Inisiatif Chiang Mai dalam membantu negara-negara ASEAN keluar dari krisis Asia 1997, menjadi seperti �obat mujarab� dalam menyelesaikan satu per satu persoalan keuangan. Kepercayaan investor atas kebersamaan yang muncul dari Jakarta sampai Seoul, ini, mempercepat keseluruhan proses berbagai negara mengatasi krisis masing-masing.

Namun, di sisi lain, TPP pun berubah secara cepat menjadi sebuah mekanisme perdagangan multilateral dengan muatan �siluman� mewakili kepentingan AS untuk bersiap diri menghadapi kebangkitan China yang sangat masif. Beijing pun mulai menuduh TPP sebagai perangkat geopolitik ala Perang Dingin.

Tidak terjebak

Penjelasan kedua, lebih condong pada kemampuan para politisi dalam mengejawantahkan diplomasi perdagangan bebas yang bisa menampung berbagai kepentingan nasional masing-masing pihak yang terpecah antara ASEAN dan APEC.

Pengalaman regionalisme dan multilateralisme di kawasan Asia Pasifik menunjukkan bahwa kekuatan organisasi ini menjadi paling dinamis di dunia karena tidak adanya kekuatan besar yang mendorong dan mengarahkan untuk mendominasi modus perdagangan bebas di kawasan.

Pembentukan blok regionalisme dan multilateralisme di kawasan Asia Pasifik membuat semua pihak tidak merasa ditinggal dan semua merasa kepentingannya terjamin dalam mekanisme keterbukaan kawasan, tanpa khawatir terjebak dalam blok perdagangan yang eksklusif. Organisasi regional, seperti ASEAN dan APEC, adalah upaya bersama membentuk integrasi ekonomi yang memberikan sumbangsih pada terbentuknya integrasi regional.

Perubahan geopolitik di kawasan Asia Pasifik yang ditandai dengan kebangkitan China, adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari. Sejarah panjang kawasan Asia memberi berbagai bukti bahwa China adalah negara besar dan berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan di kawasan ini.

Arsitektur ekonomi regional harus punya arah dan jalan memadai agar Putaran Doha, yang menyangkut berbagai elemen kepentingan dunia, bisa segera diwujudkan demi kepentingan bersama. Kerja sama di kawasan Asia-Pasifik melalui negosiasi perdagangan multilateral tidak bisa dijalankan secara �siluman� dengan membedakan status dan tingkat keberhasilan ekonomi sesuai kepentingan strategis nasional masing-masing.

Di Asia, semangat kerja sama menjadi elemen penting dinamika pertumbuhan kawasan.

Rene L Pattiradjawane Wartawan Kompas

Jangan Terjebak Impian Global

Jean Couteau  

APEC sekarang dan World Cultural Forum dalam satu setengah bulan nanti. Indonesia dengan bangga menjadi tempat di mana globalisasi didiskusikan, dari sudut ekonomi di dalam hal pertama dan kultural di dalam hal kedua.

Menarik. Memang tak akan habis-habis dibicarakan sebagai fenomena: apakah globalisasi merupakan sarana kemakmuran yang sebenarnya atau sebaliknya akal baru dari kapital internasional untuk menggaruk untung tanpa kendala, melihat betapa murahnya tenaga kerja di emerging economies yang dirangkulnya.

Ya, jangan-jangan exploitation de l�homme par l�homme (eksploitasi dari manusia oleh manusia) yang dulu kala kerap disisipkan oleh Soekarno dalam pidatonya kini menjadi syarat mutlak dari kemakmuran. Namun, suka tidak suka, itulah disiratkan para ekonom ketika berbicara tentang �bonus demografis� yang konon dinikmati bangsa ini: oleh karena manusianya berlimpah dan akan tetap berlimpah, katanya, tenaga kerja Indonesia akan tetap murah. Wah! Ada gula, ada semut!

Di dalam hal ini gulanya adalah manusia kerempeng pinggiran Jakarta, sementara semutnya adalah para investor bermata dingin dari negara antah-berantah. Teorinya adalah bahwa penanaman modal menimbulkan daya beli dan dinamika ekonomi yang dengan sendirinya bakal meluas ke seluruh sektor ekonomi. Ya, begitulah! Meskipun sakit hati mengakuinya, boleh jadi memang demikian halnya: sebagian besar dari taipan-taipan Indonesia yang petentang-petenteng masa kini adalah keturunan dari pedagang kelontongan tahun 1970-an yang telah cukup jeli untuk menarik hikmah dari kebijakan penanaman modal asing yang diterapkan oleh Orde Baru. Menyusul petualangan lihai mereka, jumlah kaum menengah pun telah membeludak sehingga kini para politikus Indonesia tak merasa perlu lagi terlalu menghiraukan nasib para wong cilik kerempeng yang haus kerja, betapa pun rendah gaji bayarannya. Wong cilik itu memang tidak masuk hitungan selain sebagai �biaya produksi�! Biarlah, asal �fundamental� baik, kan?

Tak enak

Semua di atas ini boleh jadi tak enak didengar, tetapi nyata, dan memaksa kita menilik kembali sejarah: dominasi �struktural� dari Amerika atas Indonesia sejak awal rezim Orde Baru telah �dibayar� dengan peningkatan kemakmuran! Untuk memakai bahasa Orde Lama, Nekolim telah menang!! Menyaksikan ini dari dalam makamnya, Soekarno sang idealis pasti dibuat gelisah, di Blitar sana!!! Adapun Soeharto, jangan-jangan dia sebaliknya tertawa, hal yang tak biasa dia lakukan. Apalagi resep-resep Nekolim dan kapitalisme liberal ini telah diikuti di seluruh dunia, sampai ke tanah China nun di sana. Namun, siapa tahu? Mao Tze Tung pun tidak lagi �mesem� mukanya di dalam makam agungnya karena pada akhirnya bisa berbangga menjadi China!

Ya, kapitalisme telah menang. Ia kini telah merasuki semua wilayah dunia, menyusupi semua bidang kehidupan ekonomi dan sosial, menentukan �nilai� semua prestasi�saya tahu sendiri sebagai penulis. Tak perlu disesalkan, tetapi tak perlu pula dielukan. Ia adalah keniscayaan. Ramalan dari mereka yang kalah dan gagal�Marx dan Trotsky�telah menjadi kenyataan: kapitalisme betul-betul bersifat global.

Namun, kita jangan lupa bahwa, bak Janus, kapitalisme senantiasa bermuka dua. Bila ia menghasilkan kekayaan dan memicu kreativitas, ia juga menimbulkan kemiskinan dan melenyapkan kreativitas yang ada. Misalnya, merasa sulit mencari untung di suatu negara karena gaji dianggap tinggi dan pajak terlalu berat, ia dapat seketika berpindah pijakan. Kaum buruh negara industri kini merasakan sinismenya, yang banyak menganggur karena kerjanya telah didelokalisasi entah ke Shanghai atau Chittagong. Jangan-jangan mereka dan kaum tersisih lainnya bereaksi dengan melambaikan bendera apa pun, asal mengerikan.

Dampaknya di dalam hal budaya tak kurang merisaukan. Memang kapitalisme memicu pengetahuan dan, lebih-lebih, dapat menghasilkan manusia �universal� �misalnya, maaf! orang-orang seperti saya yang, lahir di ujung bumi satunya, dapat dengan enteng�dasar bule!�berani ngomongkan situasi budaya di negeri dongeng sepuluh ribu kilometer jauhnya dari tanah leluhurnya. Namun�habis guyon�bak silinder, kapitalisme memang meratakan semua, mereduksi semua pada kode-kode ekonomi dan kultural yang dipegangnya. Lihatlah: kini, mitos-mitos ajaib dari pulau-pulau negeri dongeng Nusantara terancam punah tak berbekas hanya karena dianggap tak fungsional dan bersifat budaya lisan.

Jadi, tak perlu orang Indonesia berbangga menampung APEC dan WCF. Cukuplah mereka memanfaatkannya dengan waspada.

Sabtu, 05 Oktober 2013

Puisi dan Korupsi

Putu Setia

Dalam penalaran dualistik biner, di dunia ini hanya ada (orang) yang korupsi dan tidak korupsi. Pada kenyataannya, ada banyak yang tercecer di antara korupsi dan tidak korupsi, -bahkan terpanggil untuk memberantas korupsi. Si penegak hukum yang tidak korupsi tapi kemaruk menerima hasil korupsi, misalnya, bisa aktif mengatur dakwaan agar terperoleh vonis hukuman ringan atau penataan fasilitas penjara agar si koruptor nyaman.

Atau tak korupsi tapi menerima recehan dari si yang korupsi supaya diam tutup mulut. Celakanya, reka suap tutup mulut itu jadi kolusi resmi, yang membuat besaran dikorupsi Rp 1 miliar hanya dinikmati utuh Rp 600 juta, sekaligus setelah mengantongi Rp 600 juta si bersangkutan menerima Rp 25 juta-Rp 50 juta dari teman kerja yang berkorupsi pada pos lain.

Pemerataan hasil korupsi, yang nominalnya tergantung posisi dan jabatan, membuat si terbukti korupsi dan divonis korupsi hanya bisa disita sebagian kekayaannya -di bawah nominal kerugian negara.

Ruwet bin rumit. Bahkan pihak-pihak yang ikut menikmati hasil korupsi hanya mungkin dijadikan saksi, tak mungkin dipaksa mengembalikan keuntungan berkolusi. Sulit merampas receh hasil tutup mulut saat ada korupsi karena UU Pencucian

Uang sebagai alat pembuktian terbalik yang menelusuri asal-usul receh yang diperoleh jika diterapkan akan terlalu mahal. Dianggap saksi memberatkan yang nyaris whistle blower -meski aib menikmati hasil korupsi laku pasifnya itu diserahkan kepada Tuhan. Mungkin tanpa religiositas seperti China, baru bisa tegas menghukum mati.

Kondisi itu yang menyebabkan banyak pihak muak dan cenderung ingin ekstrem menghukum koruptor.
Tapi radikalisme itu ditanggapi si koruptor sebagai laku pihak yang tak punya akses sehingga tak kuasa menikmati hasil korupsi. Bahkan koruptor yang belum terbukti korupsi berani menuding media yang menyorotinya sebagai pencemaran nama baik.

Mungkin karena korupsi berdekatan, -bahkan identik, -dengan kekuasaan. Lantas dengan apa melawan kekuasaan yang koruptif?

Menulis korupsi

Awal 2013 ada kawan yang gelisah dan ingin membentuk komunitas untuk menormalkan keadaan lewat sugesti perlawanan. Semacam pengondisian untuk menolak laku aktif korupsi atau hanya menikmati hasil korupsi. Komunitas dibentuk tanpa aturan keanggotaan ketat dan upaya dimanifestasikan dalam ekspresi puisi.

Sederhananya, anggota komunitas diajak menulis, memublikasikan secara tertulis, dan membaca puisi bertema antikorupsi. Tendensi ini murni tak berideologi dan tak beragama.
Hanya tema antikorupsi yang dikembangkan berdasarkan pengetahuan serta pengalaman subyektif masing-masing.

Sebagai organisasi independen, dana yang terbatas diatasi dengan mengajak setiap penyair pengirim puisi, untuk ikut membiayai penerbitan jika puisinya memenuhi syarat dan lolos seleksi.

Untuk publikasi pertama- ada 85 penyair dan 332 puisi dalam buku 476 halaman,- ditentukan sawerannya Rp 250.000 per orang�meski banyak yang mengirim lebih. Besaran itu jadi hak atas buku tercetak, yang saat itu biaya cetaknya cuma Rp 25.000 per buku.

Karena itu, buku Puisi Menolak Korupsi tidak mungkin ditemukan di toko buku mana pun. Melulu hanya berada di khazanah si penyair yang berkontribusi- bisa dinegosiasi untuk memilikinya dengan rentangan harga Rp 0 sampai di atas Rp 25.000. Ini sebuah kesepahaman yang unik, sebuah manifestasi untuk mengekspresikan perjuangan yang konsekuen melawan korupsi.

Pada praktiknya, pembagian produksi hasil investasi saham penerbitan dilakukan pada titik tertentu, di mana ada pihak yang mau jadi tempat launching, lalu diikuti kegiatan baca puisi�meski ada yang tidak bisa datang.

Momen publikasi lisan ini diikuti banyak kontributor buku atau seniman seni pertunjukan setempat yang ikut mengekspresikan penolakan pada korupsi. Momen itu dilengkapi diskusi yang menggelora dan tak seorang pun yang dibayar.

Kegiatan

Ada kesepakatan tidak terucapkan untuk melawan korupsi, dengan ekspresi penolakan pada korupsi secara tekstual. Sampai awal Ramadhan, launching- yang diidentifikasi sebagai roadshow, telah dilakukan di Blitar (18-19/6), Tegal (1-2/6), dan Banjarbaru, Kalsel (28/6). Selain di Banjarbaru, di mana ada sumbangan dana Rp 2.725.000 lebih untuk tiket kapal Surabaya-Banjarmasin pergi-pulang, semua transportasi ditanggung sendiri dengan ditunjang akomodasi maesenas lokal.

Ada benang merah kesepakatan: korupsi harus dilawan meski hanya lirih lewat puisi, yang kegarangannya hanya hadir di panggung pertunjukan. Bahkan, ajakan emansipatorik ditolak karena kodrat penyair itu berpuisi, mencatat, serta mengingatkan, tidak pragmatik demo di jalanan, tidak juga dengan berpidato di DPR. Maka, roadshow berikut berlangsung di Agustus dan seterusnya. Bahkan, kini sudah ada 174 penyair yang berpartisipasi membiayai penerbitan buku Puisi Menolak Korupsi jilid II.

Orang sudah muak. Ada yang mengekspresikannya secara garang, ada yang lirih lewat puisi.

Putu Setia Pengarang

Kini �Judica-thieves� Juga

Budiarto Shambazy

Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar karena menerima sogok miliaran rupiah menimbulkan krisis konstitusional yang mungkin belum ada presedennya di mana pun. Ini krisis yang menimbulkan demoralisasi sekaligus merusak konstitusionalitas dan politik kita.

MK satu-satunya lembaga yang khusus dibentuk guna menyempurnakan dan mengawal proses amandemen UUD 1945 selama 11 tahun terakhir. Karena itu, ada pemeo yang berlaku universal, MK adalah �wakil Tuhan di dunia�.

Apa lacur, MK kita kini berada di titik nadir setelah terungkapnya korupsi Akil Mochtar yang mind-boggling, dramatis, sensasional, dan justru memunculkan lebih banyak pertanyaan. Pertanyaan paling pokok adalah apakah solusi yang sedang dicari sesuai dengan aspirasi rakyat?

Kalau cuma sekadar merembukkan krisis ini di kalangan elite, seperti apa yang dilakukan Komite Etik MK, apakah itu mewakili aspirasi rakyat? Rakyat sudah jenuh dan apatis dengan solusi semacam ini karena biasanya bersifat basa-basi, ngalor-ngidul, dan sering transaksional.

Tak heran berkembang opini di berbagai kalangan, sebaiknya MK dibubarkan saja. Mengapa kita tidak hentikan saja proses amandemen konstitusi yang akan masuk tahap kelima? Lagi pula, yang namanya proses amandemen konstitusi tak perlu dilakukan sampai kiamat. Artinya, MK bukanlah lembaga permanen.

Lebih penting lagi adalah apakah betul kita mau menyerahkan tafsir atas konstitusi kepada hakim-hakim MK? Padahal, UUD 1945 disusun dengan tafsir yang sudah paripurna dan tetap relevan sampai kini oleh para pendiri bangsa.

Seperti kita ketahui, semakin banyak kritik dilontarkan ke proses amandemen konstitusi. Apa yang diubah mungkin lebih bagus di atas kertas, tetapi banyak yang tidak mematuhinya.

Jangan salah, amandemen konstitusi sama sekali tidak salah. Namun, kita makin hari makin melenceng dari apa yang ditulis dalam naskah asli UUD 1945 ataupun versi amandemen.

Lebih dari itu, dipertanyakan pula dengan delapan hakim konstitusi yang tersisa, sejauh mana efektivitas MK? Apalagi rakyat sudah kehilangan trust terhadap MK dan mulai mempertanyakan integritas delapan hakim lainnya.

Sementara ini, tugas keseharian MK tentu masih terus berjalan. Jika kita melihat korupsi yang dilakukan Akil Mochtar, masalah terbesar adalah bagaimana menyikapi perkara-perkara yang terkait dengan hasil pilkada-pilkada.

Seperti diketahui, setiap tahun ada ratusan pilkada. Data menunjukkan, lebih dari 90 persen hasil pilkada disengketakan di MK. Ternyata, hasil pilkada-pilkada itulah yang menjadi core business MK. Wajar saja jika hal itu menjadi bisnis yang menggiurkan karena melibatkan transaksi bernilai miliaran rupiah.

Lalu, bagaimana dengan sengketa-sengketa yang sudah diselesaikan MK? Kini mulai dipertanyakan pula keputusan MK atas hasil pilkada di beberapa provinsi besar belum lama ini, seperti Bali, Jawa Timur, dan Jawa Barat.

Krisis konstitusional yang dipicu korupsi Akil Mochtar ini otomatis memicu pula krisis legitimasi terhadap mereka yang memenangi pilkada. Tentu tak semua hasil pilkada yang disengketakan dan diputuskan MK melibatkan fenomena wani piro.

Namun, harap dimaklumi pula jika mereka yang kalah akan unjuk aksi. Kalau sebelumnya ada anggapan yang kalah pilkada biasanya tidak mau terima kekalahan, kini ada anggapan rupanya yang menang dengan meragukan (terutama petahana) punya jurus wani piro.

Celakanya lagi, keputusan-keputusan MK bersifat final dan mengikat. Ya, mereka yang kalah terpaksa �gigit jari� saja walau mereka cuma jadi korban siasat jahat pemenang dengan MK.

Tentu saja ini tidak fair karena keputusan-keputusan MK mengabaikan rasa keadilan. Bisa dibayangkan pengabaian ini menurunkan animo rakyat untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi kita yang masih baru.

Sekali lagi, masyarakat kini mengalami demoralisasi akibat korupsi Akil Mochtar ini. Terus terang, saya ragu elite penguasa merasakan demoralisasi yang serupa. Sudah bertahun-tahun nikmatnya kuasa dan duit serta rasa tamak telah mewabahi para pejabat publik yang kita pilih sendiri. Celakanya, korupsi yang sudah absurd itu masih saja ditoleransi rakyat.

Lebih celaka lagi, elite politik menganggap korupsi sudah menjadi bagian dari sebuah �permainan�. Mereka cuma fokus pada bagaimana caranya mengutak-atik sekaligus membagi-bagikan anggaran untuk ditilepsampai-sampai mereka alpa bekerja untuk rakyat.

�Permainan� itu tampaknya akan makin berlangsung seru menjelang tahun politik 2014. Kini muncul pertanyaan yang tak kalah penting, apakah MK masih layak dipercaya jika terjadi sengketa atas hasil Pemilu dan Pilpres 2014?

Karena itulah muncul desakan dari beberapa kalangan aktivis agar delapan hakim konstitusi sebaiknya mengundurkan diri saja. Namun, pertanyaannya, apakah mereka bersedia?

Sekali lagi, rakyat sedang mengalami demoralisasi yang belum ada presedennya dalam sejarah kita. Pertanyaannya, apakah masih ada tokoh atau institusi yang memiliki wibawa untuk menemukan solusi yang memuaskan rakyat?

By the way, hampir dua tahun lalu saya dikirimi surat protes dari MK. Isinya, mereka keberatan dengan apa yang saya tulis di rubrik ini bahwa kita kini menganut �Trias Corruptica�, bukan �Trias Politica� sebagaimana lazimnya. Tiga cabang kekuasaan kita adalah �legisla-thieves�, �execu-thieves�, dan �judica-thieves�. Semuanya �thieves� alias pencuri.

Saya minta MK menulis hak jawab, tetapi mereka enggan sebab waktu itu ada �oknum� karyawan MK yang divonis karena korupsi keputusan sengketa pilkada. Kini, yang jadi tersangka korupsi sang ketua.

Tantangan TNI Masa Depan

Agus Harimurti Yudhoyono

Peringatan HUT TNI tahun ini sedikit berbeda. Kini, landasan udara Halim Perdanakusuma, tempat parade dan defile pasukan TNI, disemarakkan empat unit tank tempur utama (MBT) jenis Leopard. Hal ini jadi daya tarik sendiri, tidak hanya bagi undangan sipil, tetapi juga mereka yang berseragam.

Masih hangat ingatan kita, dua tahun terakhir ini berkembang polemik tentang konsep modernisasi untuk memenuhi postur kekuatan TNI yang ideal, termasuk pro kontra pembelian Leopard. Sejumlah politisi dan pengamat pertahanan mempertanyakan urgensi pembelian tank berat kelas 60 ton itu. Kontur medan, termasuk kondisi infrastruktur jalan dan jembatan di Indonesia, dianggap tidak cocok bagi manuver MBT.

Akan tetapi, pendukung modernisasi TNI dari sejumlah elemen masyarakat juga cukup kuat suaranya. Mereka berharap TNI semakin profesional dan selalu siap dengan skenario terburuk ke masa depan. Realisasi bertahap kontrak pembelian 100 tank paling canggih itu merupakan wujud nyata derasnya dukungan itu.

Dengan memiliki 100 Leopard dan alat utama sistem senjata (alutsista) modern lainnya, TNI menjadi kekuatan tangkal efektif. Kekuatan TNI ini juga menjadi salah satu instrumen bargaining power dalam kerangka resolusi damai. Artinya, paradoks �militer yang kuat ditujukan bukan untuk perang, tapi untuk mencegah terjadinya perang� tetap relevan.

Sejalan dengan konsep pimpinan TNI, pembangunan kekuatan militer ke depan tidak hanya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum saja, tapi juga fokus pada menjawab tantangan geopolitik dan keamanan di kawasan.

Militer modern

Sebagai negara besar, baik segi demografi, wilayah, maupun kekayaan alam, tentu sangat rasional jika Indonesia berkepentingan membangun kekuatan militer yang modern. Tujuannya, selain menjamin keutuhan dan kedaulatan NKRI, juga mencegah terjadinya kerugian ekonomi akibat pencurian sumber daya alam oleh pihak tertentu.

Pembangunan kekuatan TNI ini tentu mengedepankan konsepsi regional balance of power agar kita tidak terjebak untuk membentuk kekuatan militer agresif serta cermat dalam memproyeksikan penggunaan kekuatan TNI di masa mendatang.

Di sisi lain, kita memahami, perang dan damai ditentukan oleh manusia, bukan senjata. Karena itu, baik memenangi peperangan atau memelihara perdamaian, sangat dibutuhkan kehadiran prajurit-prajurit yang cerdas, loyal, dan andal di lapangan. Kecanggihan senjata tentu penting untuk dikalkulasi, tetapi jadi kurang relevan ketika sumber daya manusia yang mengawakinya lemah.

Hal ini semakin nyata ketika kita memahami anatomi tantangan keamanan pada abad XXI yang kompleks dan penuh ketidakpastian. Dengan demikian, dalam pembangunan kekuatan TNI modern, penguatan aspek hard power harus mencakup pengembangan dan peningkatan kualitas prajurit TNI.

Untuk mewujudkan itu, ada tiga aspek penting yang perlu disiapkan. Pertama, kapasitas intelektual. Melalui pendidikan dan latihan, TNI dapat mencetak prajurit-prajurit profesional, yang memiliki kecakapan dan keterampilan dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Namun, keterampilan militer semata tidak cukup untuk menjawab kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Sebagai contoh, ketika mengemban misi perdamaian PBB di Lebanon Selatan, pasukan TNI harus dapat memahami sejarah konflik antara Israel dan Hizbullah. Insiden kecil yang diakibatkan kesalahan prajurit dalam berinteraksi dengan pihak bertikai, dapat mencederai upaya perdamaian.

Tantangan terbesar tentunya pada perbedaan bahasa dan budaya. Karena itu, selain disiapkan untuk tugas taktis, setiap prajurit wajib dibekali kemampuan komunikasi, diplomasi, dan negosiasi, termasuk bagaimana memenangi hati dan pikiran masyarakat lokal.

Jati diri TNI

Kedua, jati diri TNI. Prajurit TNI adalah prajurit pejuang, yang memiliki ketahanan mental untuk tidak pernah menyerah dalam kondisi apa pun. Di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, dan sehebat apa pun kekuatan militer kita ke depan, setiap prajurit harus senantiasa membumi, karena pada hakikatnya TNI berasal dari rakyat serta berjuang untuk rakyat dan kepentingan nasional. Karakter dan jati diri itu tidak boleh luntur dan harus ditumbuhkembangkan dari generasi ke generasi TNI selanjutnya.

Ketiga, nilai-nilai kepemimpinan. Militer itu bisnisnya adalah kepemimpinan dan pemimpin itu bisnisnya adalah mengambil keputusan. Walaupun kerap dihadapkan pada situasi yang sulit dan berbahaya, pemimpin militer pada level apa pun wajib mengambil risiko. Terlambat mengambil keputusan dapat berakibat fatal, yaitu gagalnya tugas, bahkan gugurnya prajurit di medan pertempuran.

Sebaliknya, keberhasilan operasi militer umumnya ditentukan oleh kepemimpinan yang berkualitas. Pemimpin yang efektif dapat menentukan visi dan menjabarkan misi secara gamblang kepada pengikutnya. Tidak hanya itu, ia juga mampu membekali pengikutnya dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas pokoknya.

Selanjutnya, untuk mengatasi ketidakpastian global, pemimpin militer abad XXI wajib memiliki sejumlah kemampuan serta adaptif dalam mengelola berbagai skenario operasi, dari pertempuran hutan sampai pertempuran kota, dari lawan insurjensi sampai lawan terorisme, dari penanggulangan bencana alam sampai pemeliharaan perdamaian dunia.

Akhirnya, untuk mewujudkan kekuatan TNI modern di masa depan, TNI tidak dapat berdiri sendiri. Karena itu, di hari yang bersejarah ini, tepat kiranya jika TNI melakukan refleksi dan kontemplasi untuk meningkatkan kinerja serta memantapkan komitmen untuk bersinergi dengan seluruh komponen bangsa dalam rangka menjawab berbagai tantangan keamanan pada abad XXI.

Agus Harimurti Yudhoyono Lulusan Terbaik Akmil 2000, Peserta Program the Young Future Leader di Australia dan Korea

TNI dan Politik Negara

Sjafrie Sjamsoeddin  

Saat acara berbuka puasa dengan pimpinan media massa di Istana Negara, Juli lalu, Presiden Yudhoyono menyampaikan lima hal yang akan menjadi tantangan bangsa dalam menapaki perjalanan ke depan.

Lima masalah itu adalah pertama, pilihan tentang sistem ketatanegaraan yang akan kita jalankan. Kedua, hubungan antara demokrasi, stabilitas, dan pembangunan. Ketiga, hubungan antara negara, pemerintah, dan masyarakat. Keempat, peta jalan menjadi negara maju. Kelima, pembagian tanggung jawab di antara seluruh anak bangsa.

Itu juga tantangan TNI yang kini merayakan ulang tahun ke-68. TNI harus mampu menempatkan diri dalam sistem demokrasi, khususnya memahami perannya dalam menjalankan kebijakan politik negara.
Meski sudah 15 tahun menjalani sistem demokrasi, cara pandang kita sering kali masih tercampur baur dengan sistem otoriter. Sejak Dekrit Presiden 1959, kita�termasuk prajurit TNI�memang hidup dalam era kepemimpinan yang begitu kuat sehingga sulit membedakan antara politik kepentingan pimpinan nasional dan politik kepentingan negara.

Setelah reformasi 1998, TNI mencoba mengoreksi kekeliruan yang pernah terjadi. Pimpinan TNI mencoba menempatkan kembali peran TNI ke dalam proporsinya sebagai alat negara. TNI tidak boleh lagi terseret-seret ke dalam kepentingan politik praktis dan hanya boleh melaksanakan tugas menjalankan kebijakan politik negara.

Penegasan posisi tersebut jadi sangat penting karena tak lama lagi kita akan menghadapi Pemilu 2014. TNI harus menjaga kepentingan bangsa dan negara sehingga tidak boleh sampai terseret-seret oleh kepentingan politik jangka pendek.

Setiap menyebut TNI, tersirat di benak kita suatu kekuatan tentara warga negara Indonesia yang dipersiapkan untuk tugas pertahanan negara yang diatur oleh undang-undang. Di sisi lain, saat menyebut politik negara, terkandung makna prinsip supremasi sipil dalam suatu tatanan negara demokrasi yang diatur oleh ketentuan hukum nasional berdasarkan konstitusi UUD 1945.

TNI berbeda dibandingkan dengan tentara dari negara lain. TNI merupakan tentara yang lahir dari rakyat yang aktif mengangkat senjata dalam kancah perjuangan merebut dan menegakkan NKRI.

Masih segar ingatan kita, di masa lalu dikenal jabatan menteri pertahanan dan keamanan/ panglima angkatan bersenjata RI. Ketika itu seorang perwira tinggi militer aktif ditunjuk menduduki jabatan rangkap sebagai pejabat negara dan sebagai pejabat militer. Kondisi itu bisa berjalan karena peraturan dan perundang-undangan serta kebijakan politik negara yang berlaku saat itu diterapkan dalam sistem otoritarian, di mana determinasi pemerintah menjadi titik sentral.

Setelah reformasi 1998 dan sistem demokrasi kita jalankan, terjadi perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan sampai kepenataan kelembagaan. Hal itu berimplikasi pada TNI yang dituntut membangun dan mengembangkan profesionalisme sesuai kepentingan politik negara. TNI harus taat pada prinsip demokrasi dan supremasi sipil serta ketentuan hukum nasional ataupun internasional yang diratifikasi oleh negara.

Kita tahu supremasi sipil adalah suatu kekuasaan politik yang melekat pada pemimpin negara yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Relevansinya pada TNI, dipahami bahwa TNI harus taat kepada kebijakan dan keputusan politik negara oleh presiden melalui mekanisme ketatanegaraan, yaitu kebijakan politik yang diputuskan bersama oleh pemerintah dan DPR.

Mengubah kultur

Tantangan terberat adalah bagaimana mengaplikasikan hal itu dalam sikap dan perilaku prajurit TNI. Seluruh prajurit TNI harus benar-benar diberikan pemahaman tentang sistem demokrasi dan tahu bagaimana politik negara itu seharusnya dijalankan.

Kita patut memberi apresiasi bahwa TNI telah memahami status dan kedudukannya berdasarkan UU TNI, yang menempatkan mereka di bawah presiden dalam hal pengerahan dan penggunaan kekuatan militer. Dalam pelaksanaannya, presiden menugaskan menteri pertahanan untuk mengelola kebutuhan TNI berkaitan aspek pengelolaan pertahanan negara, kebijakan penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, dan pembinaan industri pertahanan. Sementara panglima TNI dibantu kepala staf angkatan diberi tugas pembinaan kekuatan TNI berkaitan dengan pendidikan, latihan, penyiapan kekuatan, dan doktrin militer.

Ada kewajiban moral bagi para prajurit TNI yang memiliki militansi tinggi untuk mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam sistem pertahanan negara. Suatu keniscayaan bagi TNI untuk memahami nilai yang mendasar dalam Pancasila dan UUD 1945, pesan kejuangan dan profesi dari Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, serta Delapan Wajib TNI dan nilai bangsa pejuang yang berjiwa gotong royong. Memahami kepentingan politik negara tak berarti TNI menyentuh politik praktis. Sebagai alat negara di bidang pertahanan, TNI tahu dengan jelas makna tugas menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, serta melindungi bangsa dan tumpah darah.

Untuk itu, prajurit TNI harus terus mengembangkan intelektualitas dengan menggali nilai- nilai baru bagi pengembangan kemampuan militer sesuai kebutuhan bangsa Indonesia masa kini dan masa mendatang. Pada dimensi lain, negara diberi amanat oleh UU untuk membangun kekuatan TNI dan membiayai TNI, baik kebutuhan dasar dan perawatan prajurit serta penggunaan kekuatan TNI. Dengan demikian, TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dapat fokus menjalankan tugas negara.

Bangsa dan negara tercinta ini akan terus berkembang menjadi keluarga besarnya yang memiliki tekad bersama. Kita sama-sama sepakat membangun Indonesia kuat yang bermartabat, rasional dalam berdemokrasi, tumbuh pesat ekonominya dalam meraih keadilan, serta memiliki strong defence capabilitydalam kerangka soliditas persatuan bangsa Indonesia. Dirgahayu TNI!

Sjafrie Sjamsoeddin  Purnawirawan TNI, Wakil Menteri Pertahanan

TNI yang Kuat

J Suryo Prabowo 

Tema Hari TNI tahun ini menunjukkan, TNI berkomitmen untuk bisa menjadi profesional, militan, dan solid serta dekat dengan rakyat. Tanpa itu semua, mustahil TNI akan kuat.

Bila kata profesional adalah �...terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya....�, pemilihan tema ini tentu bukan retorika. Lihat saja, TNI tidak lagi berbisnis. Mereka telah mendapatkan jaminan kesejahteraan remunerasi dan sejak tahun 2010 setiap tahun telah dialokasikan rusunawa bagi prajurit TNI. Pada tahun 2013, TNI mendapatkan alokasi rusunawa sebanyak 57 tower (masing-masing terdiri atas 70 unit rumah tipe 36) senilai Rp 1 triliun.

TNI pun juga tetap teguh tidak berpolitik praktis, dan tentang hal ini Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko secara lugas mengimbau agar semua elemen tidak menarik TNI ke ladang politik praktis. Begitu pula dengan peningkatan penyelenggaraan pendidikan, latihan dan modernisasi alutsista TNI. Sejak diterbitkannya Perpres No 41/2010, pemerintah telah menyediakan anggaran (2010-1014) sebesar Rp 156 triliun untuk modernisasi alutsista.

Profesionalitas TNI

Meski demikian, untuk bisa mencapai profesionalitas, masih ada banyak hal yang perlu atensi. Pertama, pengadaan alutsista dalam program MEF secara kuantitas belum dapat meningkatkan kemampuan tempur TNI. Alutsista yang diadakan baru dapat digunakan untuk diplomasi militer dalam bentuk penyelenggaraan latihan bersama dengan negara-negara sahabat. Oleh karena itu, tentu tak tepat bila masih ada yang berpendapat itu adalah bagian dari strategi penangkalan.

Kedua, modernisasi alutsista harus diikuti dengan modernisasi paradigma dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Sekarang ini tidak tepat lagi mendesain pertahanan negara dengan mengasumsikan adanya agresor yang akan menginvasi Indonesia melalui laut (ALKI). Perang yang terjadi di abad ini �hanya� untuk menjatuhkan rezim yang menjadi musuh dunia, dan perang tdak ada lagi yang terjadi hanya antardua negara, tetapi sudah melibatkan banyak negara, dan hanya bisa terjadi �atas izin� PBB.

Ketiga, kita harus realistis. Sejarah mencatat, ancaman terhadap kedaulatan dan keutuhan NKRI selama ini adalah pemberontakan/separatis bersenjata, yang umumnya proxy dari negara-negara yang memusuhi Indonesia. Oleh sebab itu, skenario �perang dunia mini� yang selalu digunakan dalam Latihan Gabungan TNI menjadi tidak relevan. Doktrin, strategi, dan taktik sama sekali tidak bisa dibuat hanya ikut-ikutan tentara negara lain. Begitu juga untuk bisa menjadi  world class pun TNI tidak perlu berpenampilan dan berpakaian seperti tentara asing.

Keempat, modernisasi alutsista seharusnya juga diimbangi dengan modernisasi organisasi yang didesain dengan menggunakan kekuatan yang ada secara tepat (zero growth dan right sizing). Bukan sekadar pembagian pangkat atas dasar kesetaraan. Dengan demikian, sebaiknya ditinjau kembali rencana pembentukan Kogabwilhan, Kohanla, dan Kohanud yang masing-masing dipimpin perwira tinggi bintang tiga. TNI tidak akan pernah terlibat dalam pertempuran besar-besaran di laut dan udara seperti zaman PD II.

Sementara itu, bila Ko(gab)wilhan pernah dilikuidasi pada tahun 1985 karena tidak efektif tentu tidak tepat bila dibentuk lagi. Begitu pula dengan Puskersin TNI yang dibentuk secara spontan seharusnya ditinjau kembali karena terkesan mengambil alih porsi Kemhan. Organisasi TNI seperti ini mengakibatkan: pemborosan keuangan negara; bertentangan dengan right sizing; dan terkesan tidak profesional.

Kelima, dengan asumsi setiap tahun TNI mendapatkan 57 rusunawa, untuk memenuhi kekurangan 274.571 rumah masih diperlukan 68 tahun dengan anggaran sekitar Rp 70 triliun. Itu pun bila rumah yang ada tetap terpelihara, dan tidak semakin banyak ditempati purnawirawan.

Militansi dan soliditas TNI

Siapa pun prajurit TNI yang melakukan tindak pidana tentu harus dipidana. Begitulah seharusnya hukum ditegakkan. Dalam hal penegakan hukum ini, komitmen TNI tidak perlu diragukan. Namun, dalam beberapa kasus, situasi psikologis yang melatarbelakangi terjadinya suatu tidak pidana juga harus direduksi. Hal itu misalnya pada kasus penembakan napi di Lapas Cebongan. Ditinjau dari aspek hukum, mereka memang salah. Namun, perlu dipahami mereka melakukan karena merasa tak pernah ada yang membela rekannya yang menjadi korban kriminalitas. Bahkan, ketika ada prajurit TNI yang gugur karena kekejian OPM di Papua, jangankan menangkap pelakunya, mengevakuasi jenazahnya pun perlu waktu lama. Situasi seperti ini dapat menimbulkan terjadinya dekadensi moral dan moril prajurit TNI. Akibatnya tidak hanya soliditas yang terusik, tetapi juga militansi prajurit dalam pelaksanaan tugas menjadi sesuatu yang sangat sulit didapatkan.

Harapan

Diharapkan peningkatan profesionalitas TNI dapat berlangsung tanpa diwarnai rivalitas angkatan dan bebas dari kepentingan politik praktis. Kebijakan peningkatan profesionalitas dan program menghapuskan dehumanisasi dalam kehidupan prajurit TNI perlu didukung segenap komponen bangsa. Karena baik- buruknya TNI tanggung jawab negara. Bukan hanya TNI.

Satu hal yang perlu diwaspadai adalah pemberian peningkatan kesejahteraan untuk meningkatkan profesionalitas TNI berpotensi menjauhkan prajurit TNI dari rakyat. Jati diri TNI sebagai tentara rakyat dan tentara pejuang akan dapat tereduksi. Oleh sebab itu, tentu akan lebih bijak bila peningkatan jaminan kesejahteraan bagi prajurit TNI juga diimbangi dalam menyejahterakan segenap rakyat Indonesia.
Bersama rakyat TNI kuat. Dirgahayu TNI.

J Suryo Prabowo  Letjen TNI Purnawirawan; Kasum TNI 2011-2012

TNI Tetap Tentara Pejuang

Budiman 

Hari ini, 5 Oktober, adalah Hari Tentara Nasional Indonesia. Jenderal Besar Soedirman pernah mengatakan bahwa hubungan antara tentara dan rakyat ibarat ikan dengan air. Itu adalah diktum. Tanpa rakyat, TNI tidak eksis. Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi TNI untuk selalu menyayangi dan berada di pihak rakyat.

Dalam konstruksi seperti itu, kewajiban untuk berbuat segalanya bagi rakyat hanya akan mewujud apabila TNI menjadi profesional. Maknanya, semua prajurit TNI�meminjam karakteristik Huntington (1957)�harus mumpuni (berkeahlian), bertanggung jawab, dan bersemangat kesatuan. Dalam konteks ini, saya berpendapat kedisiplinan perlu ditambahkan sebagai bagian integral dari karakteristik TNI profesional.

Dengan demikian, sebagai alat pertahanan negara, TNI akan berkemampuan menghadapi pusaran perubahan masa depan yang semakin cepat, kompleks, penuh kejutan, dan ekstrem, terutama menyangkut pergeseran geopolitik dan lingkungan strategis kawasan dan internasional.
Memperdalam paradigma

Menyimak kemampuan prajurit kita�baik secara mental, fisik, maupun olah pikir�tidak ada keraguan sedikit pun yang perlu dilekatkan pada mereka sebagai tentara profesional. Meskipun TNI baru akan memiliki alat utama sistem persenjataan (alutsista) setara dengan 30-35 persen minimum essential force (MEF) pada 2014, dan secara obyektif tingkat kesejahteraan prajurit juga masih terbatas, nilai-nilai yang mencerminkan profesionalisme TNI semakin melembaga. Ini merupakan modal dasar ketangguhan TNI selama ini.

Semua itu berakar dari persepsi diri bahwa TNI membentuk dirinya sendiri sebagai tentara pejuang. Suka atau tidak, hal ini membentuk mental prajurit yang tangguh. Dengan demikian, ketika militer secara institusi memutuskan melakukan reposisi dan reaktualisasi perannya di era awal reformasi, semua prajurit menyambut penuh semangat.

Melalui paradigma baru, militer memutuskan untuk tidak terlibat dalam bidang- bidang nonmiliter (ekonomi dan politik) dan berfokus pada masalah pertahanan negara. Dalam perjalanannya, peta jalan menuju TNI profesional dengan tolok ukur kompetensi, akuntabilitas, dan kesejahteraan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Tak mengherankan jika banyak analis mengatakan, reformasi internal TNI dianggap paling maju dibandingkan dengan institusi lain.

Akan tetapi, ketangguhan prajurit tersebut tidak akan pernah menjelma menjadi postur ideal TNI apabila tidak dilengkapi dengan teknologi militer yang canggih dan peralatan modern. Sejauh ini, peralatan militer kita secara umum masih ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Namun, dengan alokasi dana Rp 156 triliun untuk pengadaan senjata pada periode 2010-2014 dan konsistensi anggaran pada masa depan, Indonesia akan menjelma menjadi kekuatan militer modern setara dengan target MEF pada 2024.

Maknanya, Indonesia tidak bisa lagi dipandang remeh karena ke depan anggaran militernya menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Sebagai kebanggaan awal, tahun ini saja modernisasi peralatan tempur Indonesia akan dilengkapi dengan beberapa jet tempur canggih, helikopter, kendaraan tempur, dan kapal perang. Dengan langkah ini, negara-negara di kawasan kini memandang Indonesia telah melangkah dengan serius dalam membangun kekuatan militernya demi menjaga kedaulatan bangsa dan negara.

Modernisasi peralatan militer tersebut juga menjadi sandaran untuk menjaga komitmen Indonesia pada politik luar negeri yang bebas dan aktif. Tanpa kemampuan deterrent atau jika belum mencapai kekuatan progresif untuk melindungi diri sendiri, mustahil politik bebas aktif dan nilai kejuangan TNI untuk ikut serta menjaga ketertiban dunia bisa dijalankan. Pendeknya, konsistensi kebijakan mewujudkan kemampuan militer setingkat MEF pada tahun 2024 harus dijaga terus oleh semua komponen bangsa.

Dua strategi

Hal itu berkaitan dengan konsensus nasional untuk menjalankan praktik politik demokratis. Memperkuat kemampuan alat utama sistem persenjataan, TNI berarti memperkokoh spirit dan posisi TNI sebagai tentara pejuang. Ini dapat dipandang sebagai pendalaman paradigma baru TNI yang sejak awal reformasi memutuskan tidak terlibat di dalam urusan nonmiliter.

Selain modernisasi sistem persenjataan, pendalaman paradigma baru TNI juga bisa diwujudkan dalam hubungan sipil-militer yang harmonis. Dukungan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat pada profesionalisme TNI yang lahir dan tumbuh sebagai tentara pejuang dan tentara rakyat dapat direalisasi melalui kesepahaman bersama menyangkut beberapa paket undang-undang yang sampai sekarang belum tuntas.

Hal itu, misalnya, Rencana Undang-Undang Keamanan Nasional, Komponen Cadangan dan Pendukung, Bela Negara, Mobilisasi, Peradilan Militer, dan Tugas Perbantuan. Tanpa regulasi itu, termasuk juga peningkatan anggaran operasional TNI yang sepenuhnya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, profesionalisme TNI dapat terhambat. Dengan istilah lain, TNI tidak bisa mendalami lebih lanjut pada paradigma barunya.

Akibat lebih lanjut dari situasi tersebut adalah tidak maksimalnya peran TNI meskipun secara postur sistem persenjataan dan personel sudah ideal. Padahal, sebagai tentara pejuang dan tentara rakyat, TNI harus memainkan dua strategi sekaligus, yaitu melalui soft politics (resolusi damai) dan jika terpaksa melalui militeristik dalam menyelesaikan setiap konflik internal ataupun eksternal. Apa pun kondisinya, TNI akan tetap menjadi tentara pejuang. Dirgahayu TNI!

Budiman Jenderal TNI; Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat

Jumat, 04 Oktober 2013

Memberdayakan Manajemen

Bob Widyahartono  

BANYAK sumber daya manusia, terutama eselon menengah, yang menjadi mapan dan enggan belajar. Mereka tersebar di organisasi bisnis, perbankan, dan instansi pemerintah, yang tidak punya semangat untuk lebih bermutu dan menumbuhkan �jiwa kewirausahaan�. Alasan-alasannya biasanya klasik, seperti kurang waktu, balas jasa yang tidak memadai untuk berkarya lebih profesional, dan beretika dalam melayani.

Sebaliknya, banyak manajemen puncak kita justru terbawa kebiasaan manajemen Barat yang menuntut ke bawah untuk berinovasi sehingga menganggap manajer tingkat menengah langka berinovasi, dalam arti terbelakang dalam operasi manajerial, stagnan dalam kegiatan sehari-hari, dan tidak mau mengubah diri.
Maka, kini saatnya berinisiatif menjadi pemimpin yang efektif dan menggerakkan perubahan.

Namun, sebelum menjadikan diri �pemimpin efektif�, seseorang harus melihat realitas dengan menggugat diri. Baru setelah itu membangun kesadaran bersama dalam organisasi agar jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) berpeluang tumbuh.

Inovasi jadi kunci

Kita perlu belajar dari pengalaman pelaku manajemen Jepang, Korea Selatan, dan China, yang sejak dekade 1980-an gigih membuka peluang dan mengatasi hambatan dalam diri dengan satu kata kunci: inovasi.

Ilmuwan Jepang, Prof Ikujiro Nonaka, bersama Prof Hirotaka Takeuchi, pada tahun 1995 sudah mengungkapkan inovasi sebagai suatu proses penciptaan pengetahuan dalam organisasi (organizational knowledge-creation). Namun, ini harus didukung interaksi dalam organisasi antara tingkatan puncak, menengah, dan bawahan dan sekaligus untuk menggerakkan peran manajemen menengah.

Dalam hal ini, ada yang tidak terucapkan dan terucapkan. Yang terucapkan dapat dibagi dalam dua jenis: know-how (aspek prosedural) dan semacam frame of reference.

Inilah yang dikenal sebagai mental model, mencakup paradigma dan kepercayaan tradisional dalam memersepsi dunia dan lingkungan.

Berikutnya adalah yang dinyatakan secara eksplisit (articulable). Pengetahuan yang nyata (articulable) adalah berkenaan dengan pengetahuan yang dialihkan (transmittable) dalam bahasa formal, sistematik, sedangkan pengetahuan yang tak terungkapkan (tacit) adalah mempribadi, sulit diformulasi, dan tidak mudah dikomunikasikan.

Dengan pendekatan di atas, muncul pertanyaan, apa langkah konkret untuk memberdayakan manajemen menengah?

Model penyintesis

Model top-down dan bottom-up sudah lama dianggap sebagai dua proses dikotomis manajerial yang saling bertentangan dalam kebanyakan organisasi, dengan kebekuan di pihak manajemen menengah.

Maka, kehadiran middle-up-down menjadi sintesis untuk membuka spektrum baru dalam mengontribusikan semangat untuk menyerap pengetahuan.

Misalnya, menerima hasil kemajuan teknologi informasi, seperti telepon seluler dan internet, sebagai sarana untuk menstimulasi pelayanan tepat waktu.

Inilah tantangan ke depan. Langkah-langkah yang perlu digerakkan oleh pimpinan dalam arti menstimulasi kebersamaan manajemen dalam mengembangkan praktik-praktik dasar nyata yang menstimulsi kreativitas tanpa terjebak kepuasan instan.

Bob Widyahartono  Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara

Perdamaian, Stabilitas, dan Pembangunan

Sergey Lavrov 

Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan pergeseran geopolitik mendalam yang secara fundamental mengubah lanskap global. Menghadapi berbagai proses transformasi global ini, peranan kawasan Asia Pasifik muncul sebagai faktor signifikan yang sangat menentukan saat ini, dan sangat mungkin menentukan arus utama perkembangan internasional dalam waktu tak lama lagi.

Kawasan ini akan menjadi pemain berpengaruh dari arsitektur tata dunia polisentris yang sedang terbentuk.
Di tengah gejolak ekonomi dan keuangan dunia yang sedang terjadi, negara-negara Asia Pasifik akan terus menunjukkan energi pertumbuhan dan tetap menjadi lokomotif kemajuan global, meski laju pertumbuhan tinggi di negara-negara itu sedikit melambat akhir-akhir ini.

Hari ini, Asia Pasifik jadi pusat vital pembangunan ekonomi, menjadi pengaruh politik yang progresif, dan kawasan yang menarik untuk menjalin kerja sama. Sebuah titik temu berbagai kepentingan para pemangku kepentingan utama dan berbagai institusi multilateral besar.

Tentu saja, Rusia sebagai bagian organik dan tak terpisahkan dari kawasan ini juga memperkuat kehadirannya di sini. Bagi kami, ini soal prinsip. Keterlibatan kami yang lebih besar dalam berbagai urusan komunitas regional adalah prasyarat utama guna mengamankan pembangunan nasional dan kebangkitan sosial ekonomi wilayah Siberia dan Timur Jauh Rusia.

Komitmen kami jelas untuk memastikan kekuatan, stabilitas, keamanan, dan kemakmuran Asia Pasifik. Intensifikasi kebijakan �Jalur Timur�, pengembangan ikatan bilateral regional, partisipasi dalam berbagai struktur antar-pemerintahan adalah prioritas kebijakan luar negeri Rusia.

Kebijakan Rusia di Asia Pasifik telah direncanakan dan fokus, dengan tujuan menciptakan perimbangan kekuatan yang benar-benar stabil dan perluasan agenda regional yang kohesif. Implementasi tujuan-tujuan ini didasarkan pada landasan kuat hubungan bilateral kami dan kerja sama berbagai bidang dengan negara-negara di kawasan, yang sebagian besar telah terjalin lama.

Hubungan kami dengan China, India, dan Vietnam telah ditingkatkan menjadi kemitraan strategis. Hubungan dengan negara-negara ASEAN, AS, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, Australia, dan Kanada juga terus berkembang dengan dasar yang kuat dan saling menguntungkan.

Logika kebijakan luar negeri Rusia di Asia Pasifik berawal dari pengakuan akan fakta bahwa perwujudan lingkungan hubungan internasional yang maju dan sejalan dengan berbagai realitas modern adalah sangat krusial.

Konfigurasi seperti itu harus secara simultan menyediakan peluang yang luas untuk mendorong perdagangan multilateral, kerja sama ekonomi dan investasi, menghapus berbagai tantangan keamanan multidimensi, mencegah munculnya ancaman-ancaman baru, dan bertujuan membentuk ruang ekonomi dan politik yang terintegrasi.

Asia Pasifik membutuhkan sebuah sistem untuk memastikan kerja sama yang adil, perimbangan kekuatan yang sejati, dan harmoni antara berbagai kepentingan. Penting bagi semua negara, bersama mitra-mitra lainnya, untuk bisa berpartisipasi dalam merancang agenda baru hubungan regional dan dalam menuntaskan berbagai masalah pembangunan yang mendesak.

Kami mendukung sebuah tata regional yang tidak diskriminatif, tanpa pemaksaan berbagai pendekatan unilateral, tanpa pembedaan antara pemimpin dan pendukung, dan dengan komunikasi antarnegara berdasarkan rasa saling percaya dan saling menghormati.

Negara-negara Asia Pasifik telah membuat kemajuan luar biasa pada arah itu. Para menteri luar negeri negara-negara KTT Asia Timur (EAS) pada pertemuan terakhir mereka memutuskan meluncurkan konsultasi multilateral tentang keamanan regional.

Bahkan, tercapai konsensus tentang perlunya mengembangkan pendekatan yang paling proporsional untuk memperkuat keamanan dan mengembangkan interaksi guna mencari penataan berbagai aturan main yang bisa diterima semua pihak.

Rusia meyakini, arsitektur semacam itu harus didasarkan pada kesatuan tak terpisahkan antara keamanan, penyelesaian perselisihan secara damai, tidak menggunakan kekuatan (militer) atau ancaman kekuatan, penolakan konfrontasi, dan kerja sama menghadapi negara-negara pihak ketiga, serta kemitraan berbagai organisasi multilateral.

Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, kami berniat mendorong dan memperkuat integrasi ekonomi dengan titik berat utama pada forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC).

Pada 2012, Rusia untuk pertama kalinya memimpin APEC, dan menurut penilaian para mitra kami, kami menjalankan tugas ini dengan cukup baik.

Izinkan saya mengingatkan kembali bahwa seiring dengan tugas tradisional untuk memajukan perdagangan, liberalisasi investasi, dan integrasi ekonomi regional, kita juga menyoroti isu-isu keamanan pangan, peningkatan produksi dan rantai pasokan, dan mendorong pertumbuhan yang inovatif di kawasan.
Kami juga mendorong kerja sama di bidang energi, pelayanan kesehatan, memerangi terorisme dan korupsi, dan kesiapan menghadapi situasi darurat, yang juga sangat penting bagi kawasan ini.

Menjelang KTT APEC yang dijadwalkan pada 7-8 Oktober di Bali, penting untuk menyatakan bahwa Indonesia�ketua APEC saat ini�telah memastikan kelanjutan agenda forum tersebut.

Pendek kata, Rusia mengusulkan sebuah agenda kebijakan dan ekonomi yang transparan di kawasan ini. Tujuan kita adalah kerja sama setara semua negara tanpa pengecualian demi memperkuat perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di Asia Pasifik.

Sergey Lavrov Menteri Luar Negeri Federasi Rusia