Selasa, 25 September 2012

Gus Dur dan Republik

Akhmad Sahal

Negara Indonesia, kita tahu, berbentuk republik dan berasaskan Pancasila. Bukan negara Islam yang berlandaskan syariah. Lantas, apa dasar syar�i-nya bahwa umat Islam di negeri ini mesti loyal terhadapnya? Mengapa mereka mesti taat terhadap konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?

Pertanyaan di atas menjadi relevan buat kita mengingat akhir-akhir ini muncul dua macam gejala yang muaranya memosisikan NKRI seakan nasibnya sedang di ujung tanduk. Gejala pertama, maraknya kekerasan dan diskriminasi terhadap minoritas atas nama Islam. Kedua, adanya sebagian kalangan Islam yang memvonis NKRI sebagai kafir dan thoghut, serta wajib diganti dengan negara syariah.

Untuk mengurai pokok masalahnya, izinkan saya mengutip Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam artikelnya, �NU dan Negara Islam�, Gus Dur menolak ide negara Islam karena itu memberangus heterogenitas Indonesia. Ia juga memaparkan sikap NU yang menerima keabsahan NKRI bersandar pada keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama tahun 1935 di Banjarmasin bahwa kawasan Hindia Belanda wajib dipertahankan secara agama. Alasannya, kaum Muslim bisa bebas menjalankan ajaran Islam. Atas dasar itulah NU menyatakan komitmennya kepada republik kita, yang berdasarkan Pancasila dan bukan Islam.

Hal yang menarik, Muktamar NU 1935 tak langsung mengecap Hindia Belanda sebagai kawasan kafir (darul kufr). Rupanya ulama NU menyadari, status hukum segala sesuatu tak bisa ditentukan hanya dengan semata-mata memetik teks agama (nash) begitu saja. Konteks (al-waqi�) juga mesti diperhitungkan.

Kesadaran tentang konteks inilah yang mesti diperhitungkan untuk menilai status hukum NKRI dari sudut pandang syariah, dan kenapa kita wajib loyal kepadanya. Ini berarti, kita mesti tahu dulu apa sejatinya makna kata �republik� yang dilekatkan pada �Indonesia�.

Sederhananya, republik adalah tatanan politik di mana negara menjadi urusan publik. Publik di sini jadi sumber legitimasi politik, tetapi sekaligus jadi tujuannya. Karena itu, sistem republik sering kali dilawankan dengan monarki yang berbasis kekuasaan personal sang raja. Juga dipertentangkan juga dengan negara jajahan yang berbasis pada kuasa kolonial.

Republik adalah sistem yang menjamin setiap warga terbebas dari dominasi, yang tak lain adalah kekuasaan sewenang-wenang dari pihak luar diri sang warga tadi. Entah itu dominasi dari individu yang lain, negara, atau kelompok masyarakat.

Dengan demikian, pemerintahan republik�mengutip Hatta dalam Ke Arah Indonesia Merdeka (1932)��senantiasa takluk pada kemauan rakyat�. Artinya, aturan yang mengatur rakyat ditentukan sendiri oleh mereka. Dalam republik, yang berlaku adalah kedaulatan rakyat, yang didefinisikan oleh Hatta begini: �Rakyat itu daulat alias raja bagi dirinya sendiri. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil saja yang memutuskan nasib bangsa, melainkan rakyat sendiri.�

Komitmen Kebangsaan

Dengan kata lain, inti dari republik adalah kemauan rakyat yang berkehendak untuk bebas dari dominasi apa pun. Artinya, pemerintahan yang memimpin dan hukum yang mengatur mereka mesti berdasarkan pada persetujuan, kesepakatan, atau perjanjian di antara mereka sendiri. Secara kelembagaan, hal ini diwujudkan melalui demokrasi di mana rakyat memerintah dirinya sendiri (self-rule).

Menurut paparan di atas, anggapan bahwa NKRI adalah sistem kafir yang haram untuk ditaati dengan telak bisa dirontokkan berdasarkan argumen berikut.

Pertama, sebagaimana dinyatakan Gus Dur dalam artikelnya, NKRI memang bukan negara Islam. Namun, tidak berarti hukum Islam tidak ditegakkan di situ. Buktinya, masyarakat Muslim bisa dengan bebas menjalankan ajaran Islam tanpa melalui tangan negara. Mengutip Gus Dur, �Mendirikan negara Islam tidak wajib bagi kaum Muslimin, tetapi mendirikan masyarakat yang berpegang pada ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib.�

Dengan kata lain, dalam kerangka sistem republik, kaum Muslim tetap mendapatkan keleluasaan untuk menerapkan syariah. Namun, penerapannya berlangsung secara sukarela dan atas kesadaran sendiri, bukan melalui paksaan dari negara. Ini tentunya sejalan dengan prinsip republik yang anti terhadap dominasi dalam berbagai bentuknya.

Kedua, tuduhan NKRI identik kekafiran mencerminkan kegagalan memahami hakikat tatanan republik, yakni sebagai negara perjanjian atau kesepakatan antar-pelbagai elemen bangsa demi melawan dominasi dalam berbagai bentuknya.

Pada titik ini, ada baiknya saya kutipkan keputusan Tanwir Muhammadiyah tentang NKRI pada Juni lalu di Bandung. Menurut Muhammadiyah, Indonesia yang berdasarkan Pancasila merupakan negara perjanjian atau kesepakatan (darul �ahdi), negara kesaksian atau pembuktian (darus syahadah), serta negara yang aman dan damai (darussalam). Keputusan tanwir itu diperkuat pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin bahwa komitmen terhadap Pancasila adalah manifestasi komitmen untuk menepati janji, sesuatu yang diperintahkan dalam Islam.

Ketiga, taruhlah benar bahwa NKRI adalah negara kafir. Lalu apa konsekuensinya bagi warga negara Indonesia yang Muslim? Di Indonesia, kaum Muslim mendapatkan jaminan keamanan penuh dan bebas menjalankan agamanya. Ini berarti, NKRI bukanlah Darul Harbi yang mesti diubah menjadi Darul Islam.

Dari sudut pandang hukum Islam, orang Islam yang tinggal dan menjadi warga negara di negara kafir yang tidak memerangi umat Islam sesungguhnya terikat kontrak dengan negara itu. Dengan begitu, jika ia melanggar konstitusi negara itu, apalagi berupaya menggantinya dengan yang lain, ia sesungguhnya menjadi pengkhianat kontrak.

Ibnu Qudamah, ulama mazhab Hanbali, menulis dalam Al Mughni: �Muslim yang tinggal di negara kaum kafir dalam keadaan aman haruslah mematuhi kontraknya terhadap negara itu karena mereka memberikan jaminan keamanan semata-mata karena adanya kontrak bahwa si Muslim tak akan berkhianat. Ketahuilah, pengkhianatan terhadap kontrak (ghadr) adalah tindakan yang dilarang dalam Islam.� Nabi bersabda: �Al muslimun �inda syuruthihim�kaum Muslim terikat dengan perjanjian yang telah mereka sepakati.� Dan, kata Nabi: �Sesiapa mengkhianati suatu kesepakatan, maka pada hari kiamat nanti anusnya akan ditancapi bendera sehingga perbuatan khianatnya akan ketahuan secara terbuka.�

Mungkin karena tahu akan kerasnya kecaman Nabi terhadap pengkhianatan terhadap suatu kesepakatan (ghadr), maka Gus Dur tak henti-hentinya menyerukan kaum Muslim Indonesia untuk memegang teguh komitmen mereka terhadap NKRI.

Akhmad Sahal, Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada

Senin, 24 September 2012

Seribu Hari Gus Dur

Salahuddin Wahid

Pendeta Dr Wismoady Wahono pada tahun 1974 mendapat tamu. Memperkenalkan diri sebagai Abdurrahman Wahid dari Pesantren Tebuireng, tamu itu minta dikenalkan dengan para tokoh Gereja Kristen Jawi Wetan.

Maka Pendeta Wismoady mengajak Gus Dur ke sejumlah kota di Jawa Timur untuk bertukar pikiran tentang berbagai masalah dan apa yang bisa dilakukan bersama.

Itulah awal dari dialog positif tokoh lokal umat Islam dengan tokoh lokal umat Kristen. Saat itu Gus Dur tinggal di Pesantren Denanyar Jombang dan menjadi Sekretaris Pesantren Tebuireng. Prakarsa Gus Dur menjadi lebih penting dan strategis mengingat pada akhir 1960-an beredar info bahwa pihak Kristen akan meningkatkan kristenisasi. Tampak pandangan Gus Dur yang jauh ke depan dan keberaniannya untuk menentang arus besar umat dan tokoh Islam saat itu.

Kini, empat puluh tahun setelah Gus Dur memulainya, kita menyaksikan bahwa dialog antaragama sudah meluas, tetapi kita juga masih menyaksikan penolakan terhadap gagasan pluralisme yang diusung Gus Dur. Banyak pihak menyamakan pluralisme dengan pluralisme agama yang oleh Majelis Ulama lndonesia (MUI) diartikan bahwa semua agama adalah benar.

Pembela Kelompok Lemah

Pertengahan 1990-an, Gus Dur pernah menjadi saksi ahli di pengadilan negeri (PN) mengenai sepasang pemeluk Konghucu yang pernikahan berdasar agamanya tidak diakui. Gus Dur menyatakan bahwa hak sipil pemeluk agama apa pun harus diakui dan dilindungi oleh negara. PN dan pengadilan tinggi (PT) menolak gugatan pemeluk Konghucu itu. Saat Gus Dur menjadi Presiden, Mahkamah Agung memenangkan si penggugat.

Gus Dur juga pernah menjadi saksi ahli yang meringankan dalam persidangan di PN Malang terkait kasus shalat dua bahasa yang dilakukan Roy Yusman. Saksi ahli yang memberatkan, antara lain KH Hasyim Muzadi. Dalam persidangan, Gus Dur mengatakan bahwa pernyataan MUI sebagai pegangan mengajukan Roy ke pengadilan, bertentangan dengan UUD. Roy tidak bisa dikenai pasal penodaan agama. Kalau tindakan Roy dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, perlu ditunjukkan kitab fikih mana yang menyatakan begitu. Akhirnya Roy dijatuhi hukuman tidak jauh beda dengan masa penahanan, tidak kena pasal penodaan agama.

Pembelaan lain terhadap kelompok lemah adalah pembelaan terhadap hak hidup warga Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Saking jengkelnya, pernah terlontar niat Gus Dur untuk membubarkan MUI dan mengatakan bahwa Menteri Agama kurang paham UUD terkait sikapnya kepada warga JAI. Saya hadir dalam acara peringatan HUT Gus Dur di Ciganjur pada 2005, yang dikemas menjadi forum pembelaan Ahmadiyah.

Bersama Dawam Rahardjo, Musdah Mulia, Maman Imanul Haq, dan beberapa pihak lain, pada 2009 Gus Dur mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama. Setelah Gus Dur wafat, MK menolak gugatan pembatalan tersebut, tetapi menyetujui sedikit perubahan.

Pembelaan lain Gus Dur ialah terhadap warga korban tindak kekerasan 1965. Gus Dur selaku Ketua Umum PBNU menyampaikan permintaan maaf karena banyak warga NU yang terpaksa terlibat. Perlu keberanian untuk meminta maaf karena banyak yang tidak setuju.

Menurut saya, permintaan maaf itu positif. Syaratnya harus ditegaskan bahwa permintaan maaf ditujukan kepada korban yang tidak bersalah dan keluarganya, bukan kepada PKI. Dulu Gus Dur meminta maaf bukan sebagai presiden. Sudah saatnya presiden meminta maaf. Apalagi Presiden SBY adalah menantu dari Jenderal Sarwo Edhie yang menjadi salah satu tokoh utama peristiwa hitam tahun 1965 itu.

Mencabut Diskriminasi

Saat menjabat Presiden, Gus Dur melontarkan gagasan pencabutan Ketetapan MPRS No XXV/1966. Menurut saya, langkah Gus Dur ini menambah ketidaksukaan TNI AD dan sejumlah partai kepada Gus Dur.

Pencabutan Ketetapan MPRS No XXV/1966 menyangkut tiga hal, yaitu mengakhiri diskriminasi terhadap keluarga korban yang diduga sebagai anggota atau terkait PKI dan organisasi onderbouw, pelarangan ajaran komunis, dan pelarangan terhadap PKI. Menurut saya, kebanyakan dari kita setuju mengakhiri perlakuan diskriminatif ini.

Penyebaran ajaran komunis dilarang oleh Tap MPRS dan UU KUHP hasil revisi (1999), tetapi tidak efektif. Kalau mau menginformasikan keburukan dan bahaya komunisme, harus terbit buku ataupun tulisan tentang itu. Apalagi di luar negeri komunisme sudah banyak ditinggalkan.

Kebanyakan dari kita setuju bahwa Partai Komunis Indonesia tetap dilarang di Indonesia. Ketua MK Mahfud MD, saat ditanya Kanselir Jerman Angela Merkel, menjawab, orang komunis tidak melanggar hukum. Yang melanggar hukum adalah menyebarkan paham komunis.

Sejak 1971, sampai puluhan tahun, Gus Dur mengajar dan mengisi pengajian. Dalam sehari bisa beberapa kali di tempat yang berjauhan. Gus Dur adalah pembicara hebat. Ia bisa menjelaskan hal yang rumit dengan bahasa sederhana. Gus Dur pandai menyelipkan humor. Bisa dipahami kalau Gus Dur hidup dalam hati rakyat hingga ke pelosok.

Gus Dur mulai masuk struktur PBNU dengan menjadi Katib Syuriyah PBNU pasca-Muktamar 1979, mengikuti perintah kakeknya, Rais Aam PBNU KH Bisri Syansuri. Setelah pindah ke Jakarta, Gus Dur bergabung dengan sekelompok anak muda NU yang kemudian mengusung gagasan kembali ke khitah NU.

Berkat dukungan para kyai di bawah pimpinan KH As�ad Syamsul Arifin, Muktamar NU 1984 di Asem Bagus memilih Gus Dur sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU. Pada masa bakti kedua, Gus Dur amat kritis terhadap Pak Harto. Upaya pemerintah membendung Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU tiga kali pada Muktamar Cipasung 1994 gagal.

Jejak perjuangan Gus Dur membuatnya menjadi tokoh nasional. Seorang jenderal mengatakan bahwa pada 1990-an ada semacam survei mencari tahu siapa tokoh Indonesia yang dianggap sebagai pemimpin selain Pak Harto. Yang muncul ialah Gus Dur dan Megawati. Sejarah membuktikan, upaya Pemerintah Orde Baru membendung kedua tokoh itu tidak berhasil. Gus Dur dan Megawati sebagai Presiden ke-5 dan ke-6 RI.

Catatan Akhir

Perjuangan Gus Dur mewujudkan Indonesia yang bermartabat, menghargai keragaman, melindungi hak-hak asasi manusia, dan menyejahterakan manusia Indonesia secara lahir batin berlangsung puluhan tahun. Hal yang sama dilakukan oleh para pendahulu Gus Dur: pemimpin generasi KH Hasyim Asy�ari, KH Ahmad Dahlan, HOS Tjokroaminoto, dan generasi Bung Karno, Bung Hatta. Mereka berjuang untuk sebuah cita-cita dengan penuh pengorbanan, bukan untuk meraih kekuasaan.

Kita akan bisa memperbaiki bangsa dan negara Indonesia hanya dengan pemimpin yang punya rekam jejak panjang memperjuangkan rakyat, bukan pemimpin yang lebih memperjuangkan keluarga atau partainya. Dibutuhkan pemimpin yang punya kejujuran, keberanian, dan rasa kemanusiaan tanpa memandang agama, suku, dan etnis.

Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng

Minggu, 23 September 2012

Kembalikan Olahragaku

Radhar Panca Dahana

Sebagai manusia, selain mensyukuri diri sebagai salah satu mukjizat Tuhan di antara 6,5 miliar umat lain, dengan berkah ajaib berupa badan, pikiran, dan perasaan, saya merasa menjadi manusia yang sangat�oh, sangat�berbahagia.

Berbahagia karena hidup di masa yang melahirkan tokoh-tokoh atau atlet olahraga dengan prestasi terbesar sepanjang abad. Hidup menjadi begitu indah dan sangat berharga diperjuangkan ketika mengapresiasi sukses dan disiplin hidup tokoh-tokoh besar itu, dari Michael Schumacher, Garry Kasparov, Paolo Rossi, Manuel Pacquiao, Michael Phelps, Usain Bolt, Tiger Woods, Roger Federer, hingga Sergei Bubka.

Tentu saja saya tidak mengabaikan LAM Cuccitini alias le saint atau �The Saint� Messi (25), pesepak bola terhebat�yang masih akan terus mencetak rekor� dunia dan diyakini akan menempati puncak sejarah sepak bola, menggusur dua legenda hidup: Pele dan Maradonna.

Messi bukan sekadar kisah sukses anak buruh pabrik besi dan ibu pembersih rumah yang kemudian menjulang dengan kekayaan Rp 1 triliun, tetapi juga sukses seorang anak yang dengan gigih mengatasi penyakit defisiensi hormon pertumbuhan menjadi prestasi membanggakan seorang anak jalanan.

Lionel alias �Leo� kini pemilik yayasan dunia yang membantu anak-anak dengan kesulitan fisik. Ia menjadi puisi di tengah prosa sepak bola yang dipadati tenaga, kecepatan, dan kekerasan. Ia yang selalu tengadah penuh syukur di setiap golnya.

Tak hanya Messi, semua nama di atas adalah inspirasi, teladan, dan acuan siapa pun yang memiliki ambisi dan ingin meraih prestasi. Juga kita, para pencinta, penikmat, dan pekerja olahraga Indonesia. Namun mengapa, di zaman saat kecerdasan, teknologi, sains, dan uang tersedia untuk memungkinkan lahirnya atlet-atlet besar, kita justru menyaksikan atlet-atlet di cabang-cabang unggulan dan populer kita runtuh satu per satu?

Kita menyaksikan berkali-kali penyelenggaraan pesta olahraga yang sangat buruk, penyia-nyiaan atlet, perseteruan antar-pengurus, hingga keterlibatan politik dan militer yang berbeda passion dalam kepengurusan olahraga.

Degradasi Percaya Diri

Tampaknya, selain banyak hal yang harus dihidupkan kembali dengan keras dan sungguh-sungguh, ada banyak hal juga yang harus kita sudahi.

Untuk persoalan pertama, kita tampaknya sepakat menghidupkan kembali apa yang belakangan meredup dalam kehidupan berolahraga nasional kita: rasa bangga, kepercayaan diri sebagai manusia dan bangsa Indonesia. Sebuah persoalan yang berkait dengan kinerja, dengan kualitas dan puncak-puncak pencapaian (prestasi) bangsa dan negara.

Selama sekitar tiga dekade, sejak dasawarsa kedua pemerintahan Soeharto, kita mengalami semacam degradasi moral karena kenyataan dalam negeri seolah memojokkan diri kita ke sudut gelap kerendahan diri. Eksistensi dan integrasi diri begitu rapuh, tak tegak, bahkan hanya untuk menghadapi harapan.

Para pemimpin dan elite negeri ini tidak menjalankan obligasinya, tetapi malah mengkhianati, memperdaya, dan mengeksploitasi publik yang telah memberi kepercayaan dan fasilitas hidup melimpah. Maka rakyat, juga atlet, tidak lagi memiliki passion, gairah, untuk �memeras keringat�, apalagi �bertumpah darah� menciptakan prestasi untuk negeri. Apalagi jika prestasi itu kemudian dimanipulasi untuk kepentingan portofolio para pemimpin yang korup.

Rasa rendah diri yang meluas ini mesti disudahi, rasa bangga dan percaya diri mesti dipulihkan. Apa boleh buat, pemimpin dan elite yang menjadi �biang kerok� harus berubah. Dalam slogan pendek: jadilah pemimpin sejati, bukan pencuri. Pencuri yang merampok wewenang, hak, bahkan harta rakyat untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Di samping dunia seni/hiburan, olahraga adalah bidang hidup yang sangat seksi, yang dengan cepat dan mudah mengisap perhatian publik. Ia adalah senjata, arsenal kebudayaan yang ampuh, bahkan untuk menaklukkan pesaing (negara lain) dalam nilai, moralitas, bahkan eksistensi.

Kemunduran, apalagi kebobrokan prestasi dan kepengurusan dunia olahraga sebenarnya menjadi salah satu cermin dari realitas prestasi bangsa ini. Lihatlah Olimpiade London kemarin, atau sebelumnya di Seoul, Beijing, atau penyelenggaraan hampir semua Piala Dunia sepak bola. Semua hajatan sportif itu bukan hanya milik komunitas sportif, melainkan juga seluruh elemen bangsa. Menjadi tugas utama negara dan pemerintah.

Sebuah hajatan sportif, lepas dari unsur finansial-komersial, bahkan catatan rekor yang diraih, berposisi sebagai teras terdepan representasi kualitas bangsa. Penyelenggaraan dan kepengurusan yang sembrono, dengan konflik kepentingan antar-pengurus atau keterlibatan politik yang banci, identik dengan pengkhianatan terhadap sejarah dan kebudayaan yang ribuan tahun dibangun nenek moyang dan menjadikan kita bangsa.

Introspeksi

Bercermin dari pencapaian dalam Olimpiade London, SEA Games di Palembang, dan penyelenggaraan PON di Riau, kita bersama makin tak punya alasan adekuat untuk tegak berdiri di teras depan rumah kita. Tidak ada muka untuk berhadapan dengan tetangga atau tamu yang datang.

Olahraga mungkin sudah mendapat porsi perhatian selayaknya dengan adanya satu pos kementerian dalam beberapa kabinet belakangan ini. Maka, jika olahraga terus-menerus menjadi sumber kekecewaan kita, tidak lain bukan karena kekurangan atlet hebat, bukan pula karena kurangnya pendukung yang dahsyat. Namun, semata karena manajemen buruk oleh orang-orang yang tidak layak di tempat itu.

Salah satu penyebab adalah tradisi peralihan kuasa organisasi olahraga yang masih mengikuti pola Orde Baru: didominasi pejabat politik dan militer. Dalam proses pemilihan Ketua Umum PBSI saat ini, misalnya, disinyalir semacam konspirasi politik-militer saat Djoko Suyanto (jenderal dan Menko Polhukam) dengan mudah mewariskan jabatan kepada rekan kabinetnya, Gita Wirjawan (Menteri Perdagangan). Seolah jabatan sportif itu kongruen dengan posisi dalam organisasi politik terkait kekuasaan dan uang.

Olahraga harus dikembalikan kepada profesional. Satu hal yang saya kira justru ada dalam militer. Organisasi militer apa pun, mau menyerahkan kerja dan prestasi profesional di bawah pimpinan nonmiliter, atlet apalagi? Marilah kita sportif dan jujur.

Organisasi ulama harus dipimpin ulama, organisasi ilmiah oleh akademisi, kesenian oleh seniman. Lalu, kenapa olahraga tidak bisa dipimpin oleh pekerja olahraga (atlet dan pelatih) yang gairah, darah, dan air matanya tumpah hanya untuk olahraga?

Saya bukan pendukung Icuk Sugiarto dalam kasus PBSI. Namun, nama terakhir itu menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk bulu tangkis. Ia berpengalaman dalam organisasi, tahu benar seluk-selingkuh olahraga, bulu tangkisnya. Semua hanya untuk perbandingan dengan Gita Wirjawan, yang mohon maaf, bukan bandingan profesional macam Icuk, Utut Adianto di catur, dan Lukman di angkat berat.

Tentu saja dibutuhkan kapasitas lain untuk menjadi pemimpin organisasi olahraga: kemampuan manajerial, diplomasi, koneksi, dan finansial. Namun, kapasitas-kapasitas terakhir ini ternyata tidak bermakna dalam mendongkrak prestasi olahraga tanpa diintegrasikan dengan kualitas-kualitas sportif pekerja olahraga. Apa yang terjadi belakangan dalam dunia olahraga menjadi pelajaran.

Roh Berbeda

Olahraga sudah menjadi permainan politik, bahkan untuk kepentingan politik itu sendiri. Menjadi kacau karena roh dan geregetnya berbeda. Olahraga tidak bisa dikelola dengan manajemen politik di mana konflik menjadi salah satu kepastiannya. Seperti dinyatakan Vicente del Bosque, sukses sepak bola Spanyol karena ia dipraktikkan dengan semangat kekeluargaan.

Siapa tak memahami, jika semangat kekeluargaan pula yang sesungguhnya menjadi identitas kita sebagai bangsa. Maka, melihat kegagalan kita, dengan semangat kekeluargaan, kejernihan, dan kejujuran, saya merasa tepat meminta penanggung jawab politik utama dalam kerja ini, Menteri Pemuda dan Olahraga, untuk mundur saja. Segera.

Dalam kekeluargaan memang ada pemakluman, sedikit permisif, dan toleransi. Namun, dalam keluarga juga ada adekuasi, kekesatriaan, kejujuran, dan keikhlasan.

Maka, Saudara Menpora, juga para elite kepengurusan olahraga yang hanya mementingkan diri dan golongan sendiri, cukuplah bagi bangsa ini berterima kasih. Silakan mundur dengan kesatria agar harkat dan martabat Anda tetap mulia.

Izinkanlah yang lebih profesional dan berhasrat kuat memikul tanggung jawab yang sesungguhnya tidak lebih remeh dibandingkan kementerian lain.

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Rabu, 19 September 2012

Maskin, Ketimpangan, dan Globalisasi

Arianto A Patunru
19 September 2012

Eric Maskin, pemenang Nobel Ekonomi 2007, beberapa waktu lalu berada di Jakarta dalam acara Human Development and Capability Association.

Presentasinya mengenai mengapa pasar global belum mampu mengurangi ketimpangan di negara miskin. Pertumbuhan ekonomi di dunia telah mengangkat banyak penduduk bumi dari kemiskinan, tetapi ketimpangan ternyata justru bertambah.

Hal ini tampak bertentangan dengan prediksi ekonom Inggris klasik, David Ricardo, dua abad lalu. Teori keunggulan komparatif mengatakan, jika ada dua negara dengan tingkat keterampilan pekerja yang berbeda saling berdagang, pola perdagangannya akan mencerminkan perbedaan tersebut.

Jika negara pertama memiliki banyak pekerja dengan tingkat keterampilan tinggi (sebutlah tingkat A) dan negara kedua didominasi pekerja berketerampilan rendah (D), secara alamiah perdagangan terjadi di mana negara pertama akan berspesialisasi pada produk yang menggunakan pekerja terampil dan negara kedua pada produk yang relatif tak membutuhkan tenaga kerja terampil. Tiap negara mendapatkan kedua barang dengan lebih murah. Total kesejahteraan sosial akan lebih tinggi dibandingkan jika masing-masing memproduksi kedua barang tanpa perdagangan.

Salah satu implikasinya, seperti yang dijelaskan dalam model Heckscher-Ohlin, ketimpangan di negara miskin (baca: negara kedua) berkurang karena permintaan akan pekerja kurang terampil di negara tersebut meningkat. Upahnya pun meningkat. Hal sebaliknya terjadi pada pekerja terampil di negara tersebut. Teori ini sukses menjelaskan fenomena perdagangan dunia paling tidak sampai paruh kedua abad ke-19.

Namun, mengapa saat ini ketimpangan global tidak kunjung berkurang, bahkan di beberapa tempat justru meningkat? Dalam studinya bersama Michael Kremer, Maskin memodifikasi model Ricardo-Heckscher-Ohlin agar dapat mengakomodasi perkembangan perdagangan dewasa ini: maraknya jejaring produksi lintas negara, semakin beragamnya tingkat keterampilan, serta semakin kompleksnya pembagian tugas dalam rantai nilai.

Modifikasi mereka sederhana, tetapi implikasinya cukup signifikan. Alih-alih dua tipe, mereka membagi pekerja menjadi empat tipe keterampilan: A, B, C, dan D; dengan A paling terampil. Pekerja tipe A dan B tinggal di negara maju, tipe C dan D di negara berkembang. Didorong oleh ketiga fenomena perdagangan mutakhir di atas, pekerja tipe B dan C bergabung dan bekerja sama. Mereka menjadi penghubung antarnegara.

Implisit dalam model mereka, tipe A tidak �bersedia� bergabung dengan B karena kualifikasi mereka terlalu tinggi untuk upah tipe B. Tipe B butuh tipe C untuk menjalankan jejaring mereka. Tipe C senang bergabung dengan tipe B karena upahnya tertarik ke atas. Namun, tipe D tidak mampu bergabung dengan tipe C karena keterampilan yang terbatas. Maka, globalisasi bisa membuat tipe D ketinggalan. Celakanya, di negara berkembang dan terutama negara miskin, tipe D-lah yang dominan. Ini menjelaskan kenapa ketimpangan belum berkurang pada era globalisasi.

Perbaiki Kualitas Pekerja

Bagaimana solusinya? Sebagian orang mungkin menyarankan menahan globalisasi demi melindungi tipe D di negara miskin. Argumennya: jika globalisasi ditutup, tipe C mau tak mau akan bekerja sama dengan tipe D. Maka kesejahteraan tipe D (yang mayoritas) akan terangkat.

Ini muskil. Pertama, menutup globalisasi berarti menghalangi kesempatan bagi tipe C (dan tipe B dari negara maju) mencapai skala yang menguntungkan kedua negara. Kedua, menahan globalisasi berarti menerima saja bahwa tipe D tidak akan pernah maju seperti tipe C. Ketiga, globalisasi sendiri niscaya tak akan bisa ditahan, kecuali dengan biaya yang sangat besar (misalnya hilangnya akses transportasi dan komunikasi yang mudah).

Sebaliknya, Maskin menegaskan, jika teorinya benar, langkah yang tepat bukan menghentikan globalisasi, melainkan memperbaiki kualitas pekerja tipe D agar mereka juga bisa menikmati globalisasi: bergabung dengan B dan C serta menikmati manfaat perdagangan. Maskin menganjurkan investasi dalam SDM berupa pendidikan dan pelatihan.

Oleh siapa? Mungkin bukan oleh pengusaha/pemberi kerja (karena pelatihan butuh biaya, dan ketika keterampilan pekerja meningkat, upah pun meningkat, yang berarti beban tambahan bagi pengusaha). Juga bukan oleh pekerja sendiri (terlalu miskin untuk meningkatkan kualitas dengan cara swadaya). Karena itu, ada ruang bagi pemerintah, LSM, serta pihak swasta. Swasta juga dapat terlibat melalui mekanisme insentif yang pas (misalnya pengurangan pajak untuk jumlah tertentu pelatihan tenaga kerja).

Ada dua isu yang relevan untuk kita. Pertama, kita pun masih menyaksikan naiknya ketimpangan di Indonesia belakangan ini. Betul bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih kuat, angka kemiskinan dan pengangguran terus menurun. Namun, ketimpangan meningkat bukan hanya dalam hal pendapatan, juga dalam dimensi non-pendapatan (ketimpangan horizontal). Sebutlah seperti akses pada pendidikan dasar, kesehatan dasar, sanitasi layak, dan air bersih.

Kedua, selain investasi dalam SDM, pasar kerja juga berperan. Tipe D didominasi oleh pekerja informal yang mungkin sulit menembus pasar formal, seperti halnya tipe C. Dengan pasar kerja yang terlalu kaku, pemberi kerja tak punya insentif mempekerjakan lebih banyak buruh lewat sistem formal. Mereka lebih memilih subkontrak atau tenaga alih daya. Akibatnya, kepastian kerja bagi tipe D makin rendah.

Lebih parah lagi jika tipe C justru menghalangi akses tipe D untuk naik. Ini bisa terjadi secara tak sengaja ketika pekerja tipe C memperjuangkan nasib mereka sendiri, tetapi justru membuat tipe D makin terpinggirkan.

Arianto A Patunru, Fellow Australian National University

Selasa, 11 September 2012

Ini soal Tenun Kebangsaan. Titik!

Anies Baswedan

Republik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara, melindungi setiap anak bangsa!

Tak penting jumlahnya, tak penting siapanya. Setiap orang wajib dilindungi. Janji pertama Republik ini: melindungi segenap bangsa Indonesia. Saat ada warga negara yang harus mengungsi di negeri sendiri, bukan karena dihantam bencana alam tetapi karena diancam saudara sebangsa, Republik ini telah ingkar janji. Akhir-akhir ini nyawa melayang, darah terbuang percuma ditebas saudara sebahasa di negeri kelahirannya. Kekerasan terjadi dan berulang. Lalu berseliweran kata minoritas, mayoritas di mana-mana.

Bangsa ini harus tegas: berhenti bicara minoritas dan mayoritas dalam urusan kekerasan. Kekerasan ini terjadi bukan soal mayoritas lawan minoritas. Ini soal sekelompok warga negara menyerang warga negara lainnya. Kelompok demi kelompok warga negara secara kolektif menganiaya sesama anak bangsa. Mereka merobek tenun kebangsaan!

Tenun kebangsaan itu dirobek, diiringi berbagai macam pekikan seakan boleh dan benar. Kesemuanya terjadi secara amat eksplisit, terbuka dan brutal. Apa sikap negara dan bangsa ini? Diam? Membiarkan? Tidak! Republik ini tak pantas loyo-lunglai menghadapi warga negara yang pilih pakai pisau, pentungan, parang, bahkan pistol untuk ekspresikan perasaan, keyakinan, dan pikirannya. Mereka tidak sekadar melanggar hukum, tetapi merontokkan ikatan kebangsaan yang dibangun amat lama dan amat serius ini.

Mereka bukan cuma kriminal, mereka perobek tenun kebangsaan. Tenun kebangsaan itu dirajut dengan amat berat dan penuh keberanian. Para pendiri republik sadar bahwa bangsa di Nusantara ini amat bineka. Kebinekaan bukan barang baru. Sejak negara ini belum lahir semua sudah paham. Kebinekaan di Nusantara adalah fakta, bukan masalah! Tenun kebangsaan ini dirajut dari kebinekaan suku, adat, agama, keyakinan, bahasa, geografis yang sangat unik. Setiap benang membawa warna sendiri. Persimpulannya yang erat menghasilkan kekuatan. Perajutan tenun ini pun belum selesai. Ada proses terus-menerus. Ada dialog dan tawar-menawar antar-unsur yang berjalan amat dinamis di tiap era. Setiap keseimbangan di suatu era bisa berubah pada masa berikutnya.

Warga Negara, Penganut Agama

Dalam beberapa kekerasan belakangan ini, salah satu sumber masalah adalah kegagalan membedakan �warga negara� dan �penganut sebuah agama�. Perbedaan aliran atau keyakinan tak dimulai bulan lalu. Usia perbedaannya sudah ratusan, bahkan ribuan tahun dan ada di seluruh dunia. Perbedaan ini masih berlangsung terus dan belum ada tanda akan selesai minggu depan. Jadi, di satu sisi, negara tak perlu berpretensi akan menyelesaikan perbedaan alirannya. Di sisi lain, aliran atau keyakinan bisa saja berbeda tetapi semua warga negara republik sama. Konsekuensinya, seluruh tindakan mereka dibatasi aturan dan hukum republik yang sama. Di sini negara bisa berperan.

Negara memang tak bisa mengatur perasaan, pikiran, ataupun keyakinan warganya. Namun, negara sangat bisa mengatur cara mengekspresikannya. Jadi, dialog antar-pemikiran, aliran atau keyakinan setajam apa pun boleh, begitu berubah jadi kekerasan, maka pelakunya berhadapan dengan negara dan hukumnya. Negara jangan mencampuradukkan friksi/konflik antarpenganut aliran/keyakinan dengan friksi/konflik antarwarga senegara.

Dalam menegakkan hukum, negara harus melihat semua pihak semata sebagai warga negara dan hanya berpihak pada aturan. Aparat keamanan harus hadir melindungi �warga-negara� bukan melindungi �pengikut� keyakinan/ajaran tertentu. Begitu pula jika ada kekerasan, aparat hadir untuk menangkap �warga-negara� pelaku kekerasan, bukan menangkap �pengikut� keyakinan yang melakukan kekerasan.

Menjaga tenun kebangsaan dengan membangun semangat saling menghormati serta toleransi itu baik dan perlu. Di sini pendidikan berperan penting. Namun, itu semua tak cukup dan takkan pernah cukup. Menjaga tenun kebangsaan itu juga dengan menjerakan setiap perobeknya. Bangsa dan negara ini boleh pilih: menyerah atau �bertarung� menghadapi para perobek itu. Jangan bangsa ini dan pengurus negaranya mempermalukan diri sendiri di hadapan penulis sejarah bahwa bangsa ini gagah memesona saat mendirikan negara bineka tetapi lunglai saat mempertahankan negara bineka.

Membiarkan kekerasan adalah pesan paling eksplisit dari negara bahwa kekerasan itu boleh, wajar, dipahami, dan dilupakan. Ingat, kekerasan itu menular. Dan, pembiaran adalah resep paling mujarab agar kekerasan ditiru dan meluas. Pembiaran juga berbahaya karena tiap robekan di tenun kebangsaan efeknya amat lama. Menyulam kembali tenun yang robek hampir pasti tak bisa memulihkannya. Tenun yang robek selalu ada bekas, selalu ada cacat.

Ada seribu satu pelanggaran hukum di Republik ini, tetapi gejala merebaknya kekerasan dan perobekan tenun kebangsaan itu harus jadi prioritas utama untuk dibereskan. Untuk menyejahterakan bangsa semua orang boleh �turun-tangan�, tetapi menegakkan hukum hanya aparat yang boleh �turun-tangan�. Penegak hukum dibekali senjata tujuannya bukan untuk tampil gagah saat upacara, melainkan untuk melindungi warga negara saat menegakkan hukum. Negara harus berani dan menang �bertarung� melawan para perobek. Saat tenun kebangsaan terancam itulah negara harus membuktikan di Republik ini ada kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat tetapi tak ada kebebasan melakukan kekerasan.

Aturan hukumnya ada, aparat penegaknya komplet. Jadi, begitu ada warga negara yang pilih melanggar dan meremehkan aturan hukum untuk merobek tenun kebangsaan, sikap negara hanya satu: ganjar mereka dengan hukuman yang amat menjerakan. Bukan cuma tokoh-tokohnya yang dihukum. Setiap gelintir orang yang terlibat dihukum tanpa pandang agama, etnis, atau partai. Itu sebagai pesan pada semua: jangan pernah coba-coba merobek tenun kebangsaan! Ketegasan dalam menjerakan perobek tenun kebangsaan membuat setiap orang sadar, memilih kekerasan sama dengan memilih diganjar dengan hukuman menjerakan. Ada kepastian konsekuensi.

Ingat, Republik ini didirikan oleh para pemberani: berani dirikan negara yang bineka. Kini pengurus negara diuji. Punyakah keberanian untuk menjaga dan merawat kebinekaan itu secara tanpa syarat. Biarkan kita semua�dan kelak anak cucu kita�bangga bahwa Republik ini tetap dirawat oleh para pemberani.

Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina

Jumat, 07 September 2012

Kembalikan Jakarta kepada Warganya

Ivan A Hadar

Putaran kedua Pilkada DKI Jakarta akan berlangsung 20 September 2012. Dua pasangan dengan perolehan suara tertinggi pada putaran pertama, Jokowi-Ahok dan Foke-Nara, kembali berlomba untuk memenangi suara warga.

Siapa pun yang nanti terpilih dipastikan dihadang berbagai permasalahan kompleks. Mulai dari kemacetan, banjir, kepadatan penduduk, kemiskinan, menjamurnya kampung kumuh hingga seabrek permasalahan lainnya. Tanpa dukungan pemerintah pusat dan instansi terkait, serta terjalinnya sinkronisasi dengan pemda tetangga, permasalahan yang dihadapi akan kian sulit ditangani. Lebih penting lagi, tanpa keterlibatan dan dukungan warganya, persoalan Jakarta mustahil teratasi.

Selama ini, meski dilanda berbagai masalah berat, oleh banyak pengamat perkotaan, Pemerintah DKI Jakarta dinilai kurang memiliki sense of crisis, dan belum mau berkorban untuk kepentingan warganya. Hal ini, misalnya, terlihat dari alokasi sekitar 65-75 persen APBD untuk keperluan pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif. Rata-rata hanya sekitar seperempat sisa anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan. Ini pun belum tentu utuh karena dikorupsi atau tidak tepat sasaran.

Kita berharap momentum pilkada kali ini mampu menggugah kesadaran siapa pun yang terpilih untuk memperhatikan berbagai aspirasi warganya. Tuntutan pelibatan warga atau jargon �kembalikan Jakarta kepada warganya�, yang beberapa tahun terakhir gencar disuarakan, tentu berkaitan erat dengan kurangnya kesempatan bagi aktualisasi diri mayoritas warga Jakarta dalam proses kreatif perancangan, implementasi, dan pemeliharaan berbagai sarana kota.

Partisipasi Warga

Dalam kaitannya dengan proses menyediakan kesempatan itu, penting ditelusuri dan dicarikan jawaban atas berbagai pertanyaan berikut. Siapa dan mewakili kepentingan apa saja, misalnya, pelaku yang terlibat dalam proses kreatif tersebut, serta bagaimana hubungan antara mereka. Apa saja organisasi dan pranata yang perlu dikembangkan agar terjadi sinergi berbagai kepentingan yang berbeda untuk membangun, mengoperasikan, dan merawat kota menjadi bersahabat, memesona, adil, makmur, dan layak mukim bagi warganya.

Secara sederhana, para pelaku pembangunan kota bisa dikategorikan sebagai pemerintah, komunitas usaha, kelompok kepentingan dan perseorangan. Setiap pihak punya kepentingan, juga sumber daya yang berbeda dan berpotensi melahirkan benturan. Benturan kepentingan merupakan gejala kontekstual yang berubah dalam ruang dan waktu. Gejala tersebut bisa diamati dalam berbagai implementasi rancangan kota, seperti peremajaan pusat dan pinggiran kota serta daerah transisi.

Dalam proses pembangunan kota seperti yang digambarkan di atas, nyaris semua keputusan dan pelaksanaan rancangan ditentukan dua pemain utamanya, yaitu pemerintah kota dan pengusaha. Padahal, di dalam negara yang dihantui oleh masalah lapangan kerja dan kemiskinan, setiap kegiatan pembangunan kota seharusnya dikaitkan dengan visi pembangunan berkeadilan.

Selama ini, gagasan yang melandasi perancangan Jakarta nyaris tidak melibatkan masyarakat luas. Tanpa banyak diketahui publik, misalnya, DKI memiliki beberapa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2011-2020. Sebelumnya, pada RTRW 2010, Jakarta boleh dibilang �tidak membumi�. Masalah klasik permukiman kumuh, pedagang kaki lima, tak tersentuh. Dalam praktik, penggalian dan pemecahan masalah perkotaan, kalaupun dilakukan, dimonopoli perancang kota dan penentu kebijakan.

Padahal, banyak bukti menunjukkan bahwa warga kota sering lebih tahu permasalahan kota sesungguhnya, bahkan mampu mengeluarkan ide-ide kreatif dan segar. Salah satu contoh best practise dari Porto Alegre, Brasilia, kiranya menjadi bahan pembelajaran bagi Jakarta, terutama dalam memetakan kebutuhan mendesak serta merancang APBD secara partisipatif.

Belajar dari Porto Alegre

Porto Alegre adalah kota berpenduduk 1,3 juta jiwa, di negara bagian Rio Grande do Sul, Brasil. Bermula dari sebuah pusat industrialisasi, Porto Alegre berubah jadi pusat ekonomi perdagangan. Dari waktu ke waktu, kota itu kian menarik sebagai tujuan migrasi penduduk miskin pedesaan. Akibatnya, selain lebarnya kesenjangan sosial ekonomi, terbentuk pula kawasan kumuh berskala besar yang selama puluhan tahun terpinggirkan dari pelayanan infrastruktur kota.

Ketika Partai Buruh memenangi pemilu di negara bagian ini, dikembangkan model inovatif dan partisipatif untuk mengakhiri kondisi buruk tersebut. Model yang dikembangkan adalah Orcamento Participativo (OP), yang bisa diterjemahkan sebagai �Keterlibatan Warga dalam Perencanaan APBD�. Dalam kerangka OP, kota dibagi 16 subregion. Dalam forum-forum lokal dan regional, warga berdiskusi tentang permasalahan kota, serta mencarikan solusinya.

Selain memperoleh informasi tentang sistem baru, setiap warga juga dibekali brosur setebal 30 halaman tentang fungsi dan haknya sebagai warga kota. Konon, saat ini, 85 persen warga Porto Alegre telah memahami OP dan 20.000-an warga terlibat aktif dalam melakukan konseling.

Dari ratusan delegasi forum, 40 orang dipilih sebagai perwakilan dan berhak meneliti penggunaan keuntungan pemerintah kota. Berbagai usulan dari forum kota itu dirangkum dalam rancangan APBD, yang kemudian diserahkan oleh gubernur terpilih kepada dewan kota, sebagai satu-satunya instansi yang berhak memutuskan APBD.

Dengan cara demikian, warga kota sejak beberapa tahun terakhir dapat langsung memutuskan penggunaan dana APBD yang berjumlah sekitar 750 juta dollar AS. Sebagian besar dana itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan lapis sosial terbawah, misalnya untuk kawasan kumuh yang saat ini sebagian besar telah memperoleh layanan publik, seperti air minum, kanalisasi, jalan, sistem pendidikan, pembuangan dan daur ulang sampah, perbaikan alat transportasi kota, serta pengadaan jaringan pembuangan air limbah.

Model partisipatif ini tak terbatas pada aspek distribusi. Dengan moto �siapa memiliki lebih, membayar lebih�, semua sistem yang berlaku sebelumnya ditata ulang. Perusahaan besar diwajibkan terlibat dalam social engagement, misalnya ketika perusahaan ingin memperluas areal pabriknya. Selain itu, dewan kota bersama pihak terkait terlibat dalam perencanaan struktural berkaitan dengan arah perkembangan ekonomi serta aspek teknologi dan budaya urban.

Suksesnya �model Porto Alegre� telah menjadi acuan ratusan dewan kota di Brasilia. Dalam kaitan ini, model demokrasi representatif, setidaknya di Brasilia, semakin kehilangan pamor dibandingkan keterlibatan langsung warga kota lewat Orcamento Participativo. Gubernur terpilih Jakarta, kota yang mempunyai dewan kota mulai dari tingkat kelurahan, tak ada salahnya belajar dari pengalaman Porto Alegre sebagai salah satu acuan. Kembalikan Jakarta kepada warganya!

Ivan A Hadar; Arsitek Perencana Kota

Ngantuk!

Franz Magnis-Suseno

Mudah ngantuk itu bakat atau penyakit? Yang jelas, saya mudah sekali mengantuk begitu mendengar orang lain bicara. Itu warisan dari ayah saya.

Waktu saya masih di rumah, habis makan malam, keluarga kami duduk-duduk bersama, ngobrol, baca-baca. Begitu pula kalau ada tamu keluarga dan kenalan berkunjung. Namun, biasanya ayah saya duduk di sofa, tertidur nyenyak: 10 menit, seperempat jam, tak lebih. Kami sudah biasa.

Bahwa saya mewarisi penyakit itu, saya ketahui waktu jadi mahasiswa filsafat di Jerman. Terutama di kuliah pertama, saya harus tidur dulu 10-15 menit, baru bisa mulai segar. Karena itu, saya selalu memilih tempat duduk di baris paling depan, di kursi paling luar, karena tempat itu di luar sudut pandang profesor.

Rekan mahasiswa yang iri sering menegur: �Kamu kok bisa tidur enak, kemudian langsung menanyakan sesuatu!� Memang itulah taktik saya agar para profesor merasa tenang. (Hanya sekali, sudah di Yogyakarta, saya menanyakan sesuatu yang ekstrem bodoh, tetapi dosen malah mengira itu tanda wisdom lebih tinggi!)

Dua kali�sekali di Jerman, sekali di Yogyakarta�saya tertidur begitu nyenyak hingga jatuh dari kursi di tengah kuliah dengan bunyi besar. Dua kali itu profesor kaget, mengira saya kena serangan jantung. Saya hanya bilang, �Tidak apa-apa.�

Dengan pengalaman itu, saya tak pernah marah kalau mahasiswa di kuliah saya ngantuk. Biasanya di kuliah pertama saya jelaskan tata tertib yang saya minta: omong-omong mengganggu saya. Namun, kalau ada yang mengantuk, tak apa-apa, asal tidak mengorok. Pengalaman saya, tidur 10 menit saja membuat segar untuk dua jam berikut. Itu lebih baik daripada (amatan saya berulang-ulang) mahasiswa bersusah payah berusaha mempertahankan sekurang-kurangnya satu mata terbuka: gantian kiri atau kanan. Rasa saya, mesakak� wong�.

Kacau-Balau

Dua kali saya mengalami sesuatu yang mengherankan saya sendiri. Yang pertama pada 1980-an, waktu kuliah filsafat di UI. Malam sebelumnya saya pulang dari Yogyakarta naik kereta api. Saya memang mengantuk. Nah, di tengah kuliah, saya sepertinya mengalami out of body experience. Saya mendengarkan ada orang omong. Lama-kelamaan saya jadi sadar, yang omong itu saya sendiri. Omongan itu kacau-balau. Ternyata saya tertidur sedang mengajar, tetapi kok omong terus? Saya lalu memukul meja dan berteriak, �Saya butuh kopi!� �Betul, Romo,� jawab mahasiswa dan mengambil kopi.

Pengalaman kedua di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara pada tahun 1970-an. Sekitar pukul 12 siang. Panas sekali. Belum ada AC. Kuliah saya itu bacaan teks Inggris. Saya memberi mereka teks untuk dianalisis sendiri. Semua sibuk dan diam. Kiranya saya lalu tertidur.

Akhirnya saya mulai sadar kembali. Suasana amat sepi. Semua mahasiswa kelihatan tertidur juga. Namun, yang mengagetkan saya: kaki kanan saya ada di atas meja di depan saya! Diam-diam saya turunkan kakiku, baru saya ribut-ribut sedikit agar mahasiswa saya terbangun juga. Hanya ada satu mahasiswa yang ternyata tidak tertidur dan menyaksikannya.

Saya selalu sadar akan bahaya itu. Pernah Alvin Toffler, futurolog termasyhur itu, berceramah di Gedung Manggala Wanabakti. Yang hadir barangkali seribu orang. Saya duduk agak di belakang. Di samping saya duduk Wiratmo Soekito (almarhum). Begitu Toffler mulai omong, saya tertidur pulas. Sesudah kira-kira 15 menit saya terbangun, merasa segar, dan mulai mendengarkan Toffler dengan perhatian. Lima menit kemudian Pak Wiratmo-lah yang tertidur. Beda dengan saya, beliau mendengkur, cukup keras pula. Orang pada mulai memandang ke arah kami. Betapa bangga hatiku duduk tegak dengan mata terbuka.

Waktu saya ikut penataran P4, angkatan nasional ke-8 di Gedung BP7, Pejambon, saya didudukkan di baris kedua dari depan. Ngeri sekali! Kalau saya ngantuk sedikit saja, mesti langsung ketahuan. Akhirnya saya mengatasi masalah dengan bekerja keras. Saya memakai ceramah yang diberikan untuk mempelajari secara intensif seluruh materi kami. Jadi, saya baca teks-teks P4, UUD 1945, dan GBHN. Saya garis bawahi, saya beri warna. Pokoknya sibuk sekali. Saya tidak jadi mengantuk.

Satu kali penceramah, seorang mantan dirjen yang suka banyak melucu, menjadi gelisah melihat saya. Rupa-rupanya ia takut bahwa saya mencatat setiap sabda dari mulutnya lalu melaporkannya kepada pemimpinnya. Akhirnya beliau tak tahan, menyapa saya, �Pak Frans, tak perlu segala kata saya dicatat.� Saya jawab, �Enggak apa-apa, Pak.�

Sekarang pun saya selalu harus berjuang. Nah, bayangkan, tahun lalu Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia mengadakan pertemuan tahunan di Puspiptek, Serpong. Bapak Presiden akan memberikan ceramah penting! Saya gelisah. Dengan rambut putihku tak mungkin saya tak diperhatikan. Jangan-jangan beliau tersinggung kalau kepala saya angguk-angguk, saya lantas malah ditegur beliau.

Karena acara itu di aula besar, saya bisa mencari tempat duduk jauh di pojok belakang (dan dengan tegas menolak ajakan rekan-rekan akademisyen untuk duduk bersama mereka). Amanlah saya. Ternyata waktu Bapak Presiden berpidato, saya malah tidak ngantuk!

Berhadapan dengan seorang perempuan yang berselingkuh, Yesus pernah ditanya apakah perempuan itu boleh dirajam sesuai dengan hukum Taurat. Jawaban Yesus, �Barangsiapa tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu.� Tak ada yang berani. Saya suka dengan ucapan ini.

Ada ayat lain dari Mazmur yang menghibur saya: �Tuhan memberikan (yang baik) kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur.�

Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Kamis, 06 September 2012

Kuasa Oligarki

Airlangga Pribadi

Salah satu masalah genting dalam proses pelembagaan politik di Indonesia adalah bahwa setiap penataan institusi politik era pascaotoritarianisme mengasumsikan proses politik sebagai ruang yang hampa dari kehadiran kuasa, kepentingan, dan pertarungan politik di dalamnya.

Salah satu bukti kegagalan proses institusionalisasi demokrasi: dalam 14 tahun era reformasi, negeri kita tak mampu membendung tumbuh dan menguatnya kekuasaan oligarki yang berumah di partai politik. Kekuasaan oligarki adalah persekutuan kekuatan bisnis besar dan elite politik, dari tingkat nasional sampai lokal, yang secara terpusat mengontrol dan memanfaatkan proses politik demokrasi melalui arena legislatif ataupun eksekutif bagi kepentingan ekonomi-politik sendiri.

Dalam memandang politik sebagai perjuangan tiap orang secara kolektif merealisasikan kebaikan bersama, problem dari keberadaan oligarki ini tak saja terkait dengan kehadiran gejala politik dinasti ketika kekuasaan politik terpusat pada hubungan kekerabatan dengan elite politik utama dan mereka yang dapat restu darinya. Lebih dari itu, penguasaan arena politik dan artikulasinya semata-mata bagi kepentingan bisnis politik dari kekuatan oligarkis�melalui parpol�ini telah membuat setiap langkah parpol kian menjauh dari agenda publik. Mereka membangun relasi-relasi yang secara eksklusif hanya bersinggungan dengan kepentingan mereka. Juga menjauhkan elitenya dari tanggung jawab sosial untuk mengawal agenda kerakyatan.

Dilema politik modern ini mengingatkan kita pada ulasan Profesor (sejarah politik) Christopher Lasch dalam The Revolt of The Elites and the Betrayal of Democracy. Baginya, persoalan dalam politik kontemporer tidak muncul dari penolakan kaum marjinal dan miskin karena rasa frustrasi mereka atas berlangsungnya proses politik demokrasi.

Mengisolasi Diri

Problem utama muncul dari penolakan kaum elite aristokratik modern memperjuangkan demokrasi sebagai idealitas dan amanah bagi seluruh warga negara dengan segenap aspirasi dan kebutuhannya. Dalam perkembangan politiknya, kaum aristokrat-oligark ini mengisolasi diri pada enklave dan ruang jejaring elitis yang sejalan dengan kepentingan sempit mereka.

Gambaran inilah yang tampil dari kuasa kaum oligark pada parpol Indonesia. Tiadanya prioritas kebijakan dalam arus politik dari tingkat nasional maupun lokal (baik di sektor pertanian, perburuhan, pedagang kecil sektor tradisional, maupun kelompok sosial marjinal lain di era pasca-otoritarianisme) berakar pada persoalan oligarki bisnis-politik yang menggurita dari nasional sampai ke lokal.

Baik pada konteks kebijakan pertanian bagi kalangan petani miskin, dalam arsitektur kebijakan pasar yang semestinya berpihak pada pedagang kecil tradisional, maupun dalam relasi industrial untuk kepentingan kaum buruh, kita menemukan bahwa simpul-simpul utama sektor produktif bagi mayoritas kalangan masyarakat miskin di Indonesia ini tak bersinggungan dengan kepentingan aliansi bisnis- politik dari kaum oligark yang berumah di partai politik.

Pada sektor pertanian kita menyaksikan naiknya angka kemiskinan masyarakat desa yang berbanding terbalik dengan penurunan angka kemiskinan nasional. Apabila berpijak pada indikator ekonomi 2009, angka kemiskinan nasional sebesar 32,53 juta jiwa (14,5 persen) menjadi 31,02 juta jiwa (13,32 persen) pada 2010, kontras dengan angka kemiskinan pedesaan yang naik dari 63,35 persen menjadi 64,23 persen pada kisaran tahun yang sama (Khudori, 2011).

Di sektor pengelolaan pasar, kita menyaksikan sejak tahun 2006 pertumbuhan pasar modern yang naik 31,4 persen, berbanding terbalik dengan turunnya pasar tradisional sampai pada level-8 persen. Meskipun keberadaan pasar modern tak identik tergerusnya pasar tradisional, minimnya perhatian terhadap infrastruktur ataupun dukungan modal yang tak terlepas dari kebijakan politik menjadi persoalan utama (AC Nielsen, 2006; Adri Poesoro, 2007).

Sementara itu, pada wilayah perburuhan, kaum buruh menghadapi desain pasar tenaga kerja yang cenderung meminggirkan peran negara dan membiarkan buruh dalam relasi industrial dengan pengusaha. Segenap problematika ekonomi-politik yang dihadapi lapisan sosial masyarakat akar rumput ini tak terlepas dari persoalan struktural ekonomi-politik.

Pada konteks relasi bisnis-politik, oligarki nasional sampai lokal yang berpusat di partai dan menjadikan parlemen dan eksekutif sebagai instrumen, kepentingan mereka lebih berimpit dengan aktor-aktor ekonomi berskala besar di sektor finansial, ritel, real estate, dan modal asing�terutama di wilayah pertambangan�daripada bersinggungan dengan kepentingan ekonomi-politik masyarakat bawah yang mengalami proses pemiskinan struktural.

Menghadapi realitas ini, tidaklah mengherankan bahwa di bawah belenggu kuasa oligarki, proses politik demokrasi berhenti menjadi proses pemerdekaan kepentingan mayoritas warganya sendiri.

Kuota Akar Rumput

Dilema yang muncul berkaitan dengan proses demokrasi yang tengah berjalan di Indonesia adalah bahwa pusaran kekuasaan kaum oligark justru bersarang pada parpol yang menjadi basis dari demokrasi kita. Artinya, solusi fundamental terhadap persoalan penyanderaan kepentingan rakyat oleh kuasa oligarki dalam proses politik di Indonesia mau tak mau harus melibatkan proses perombakan desain pelembagaan politik yang lebih sensitif terhadap problema kuasa, kepentingan, dan dominasi kaum oligarki di dalamnya.

Patut dipikirkan jalan membendung kekuasaan oligarki politik melalui pendisiplinan parpol dan segenap pelembagaan politik demokrasi dengan menampilkan kekuatan sosial akar rumput sebagai subyek politik konkret dalam demokrasi representatif. Saya menawarkan solusi pemberian kuota politik yang sejalan dengan pendekatan tindakan afirmasi politik (seperti kuota representasi perempuan) dengan memberikan kuota politik minimal 20 persen bagi kekuatan produktif masyarakat akar rumput di setiap parpol. Sebutlah seperti petani, buruh, dan pedagang tradisional. Bisa juga melalui model utusan golongan untuk duduk sebagai legislator di level nasional sampai lokal.

Dengan memasukkan representasi kekuatan politik kaum miskin, secara organik terbuka peluang politik untuk memperjuangkan kepentingan mereka di level kebijakan sebagai penyeimbang dari praktik kuasa oligarki. Maka, perjuangan ini akan mengubah wajah demokrasi kita dari sekadar memilih pemimpin menjadi institusi yang melayani kehendak warga yang memimpikan pembangunan sebagai proses pemerdekaan.

Airlangga Pribadi, Pengajar di Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga