Rabu, 30 November 2011

Naratologi Kekuasaan

Acep Iwan Saidi

Tulisan ini diinspirasi dua narasi. Pertama, narasi Roland Barthes dalam bukunya, Mythologies, tentang berbagai adegan kekerasan dalam film gangster. Kedua, narasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang perombakan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 beberapa waktu lalu. Terdapat dua hal yang mirip pada keduanya: soal bagaimana dunia dipersepsi para pelakunya.

Dalam film-film gangster, tulis Barthes, seorang perempuan cantik dapat dengan tenang meniupkan asap rokok ke wajah orang yang hendak menyerangnya. Istri seorang gangster bisa dengan terus merajut kain di tengah-tengah kekacauan, dalam kecamuk suara pistol yang, bagi penonton, sangat mengerikan.

Bagi para gangster, kekacauan adalah hal biasa. Realitas di luar diri adalah sesuatu yang terpisah. Dalam kegangsteran diri menjadi steril, tak ada masalah, semua bisa berjalan biasa-biasa saja.

Sementara itu, dalam narasi perombakan kabinet oleh SBY, melalui layar televisi setidaknya kita menonton empat adegan. Pertama, pemanggilan tokoh yang didefinisikan pemerintah sebagai �yang kredibel� ke rumah pribadi SBY di Cikeas.

Kedua, pernyataan sikap beberapa calon menteri terpilih sehari sebelum diumumkan secara resmi. Ketiga, pembacaan pengumuman oleh Presiden SBY. Keempat, upacara pelantikan dan pengangkatan sumpah pejabat.

Keempat adegan itu mengalir dan mengalur dalam suasana yang sama: berlangsung dengan ceria. Pada adegan pertama, misalnya, tampil beberapa sosok dengan wajah penuh pesona, tersenyum, dan melambaikan tangan di ujung kamera. Pada adegan kedua, kecuali Dahlan Iskan, semua bahagia dan tentu saja mengucap syukur.

Pada adegan ketiga, Jero Wacik bahkan merasa perlu nonton bersama keluarga menyaksikan di depan kamera pengumuman untuk para pemenang kuasa sebelum kemudian bertempik sorak atas kemenangan dirinya. Terakhir, adegan keempat, adalah sebuah panorama tentang bagaimana roh kuasa ditiupkan di bawah panji keagungan Tuhan (kitab suci yang diangkat ke atas kepala pada sumpah jabatan). Seperti tiga adegan sebelumnya, adegan ini pun penuh senyum, tentu saja senyum lebih formal.

�Mal� Tanpa Jendela

Kecuali keceriaan sedemikian, tak ada yang luar biasa pada semua adegan itu. Semua berjalan indah, padahal lakonnya dipentaskan dalam situasi �gawat darurat�. Ini berarti bahwa lakon itu berbanding lurus dengan film gangster. Keduanya sama-sama berada di dalam sebuah �studio narasi� sehingga terpisah dari realitas.

Jika narasi gangster merupakan �realitas baru� yang dilahirkan sebagai representasi dari realitas sebenarnya, narasi kuasa adalah realitas dalam �mal� tanpa jendela, tempat di dalamnya orang lupa pada realitas di luar gedung.

Seperti dalam narasi gangster yang tokoh-tokohnya harus selalu bertempur, saling serang meniadakan lawan, narasi kuasa juga menempatkan pemangkunya terus-menerus dalam situasi bahaya. Perombakan kabinet kemarin pada hemat saya terjadi lebih karena �kekacauan di dalam� akibat berbagai pertempuran hingga berujung pada keputusan: ada yang harus �diselamatkan� di satu sisi dan �dicelakakan� di sisi lain.

Sebagai penonton, yang tentu saja melihat dari arah depan layar, kita menyaksikan keanehan- keanehan yang dirasionalkan. Kita mengikuti jalan ceritanya sehingga dengan begitu kita bisa menerima�paling tidak untuk sementara�perasionalan itu.

Kita memaklumi dengan mengurut dada sebelum kemudian menarik simpulan: demikianlah, dalam narasi kuasa para tokoh harus memainkan perannya. Pertanyaannya, mengapa narasi penuh bahaya itu didambakan? Bagi sebagian orang, menjadi gangster adalah sebuah pencapaian. Tak semua orang berani dan bisa melakukannya. Menjadi gangster adalah prestasi tersendiri. Gangster adalah sebuah dunia tempat kekuasaan menunjukkan wujudnya dengan sangat eksplisit.

Hal ini lagi-lagi berbanding lurus dengan narasi kuasa: bagaimana kekuasaan dalam dunia politik memberikan posisi kepada para pelakunya. Kursi kuasa (jabatan politik) adalah representasi dari prestasi. Dipanggil untuk menduduki sebuah kursi kuasa berarti diposisikan sebagai yang mumpuni.

Ketika kursi kekuasaan dipersepsi sebagai pahala dari prestasi, jelas kekuasaan (jabatan) menjadi ruang lain yang berbeda dengan realitas. Jabatan adalah realitas prestasi yang �dibendakan�. Itu sebabnya, para tokoh yang di- minta menduduki jabatan kuasa terjebak pada keyakinan bahwa jabatan yang diberikan kepada dirinya adalah untuk dirinya yang �dianggap mumpuni� itu.

Kekuasaan telah menariknya dari �realitas comberan�, khalayak yang tak berprestasi. Akibatnya, tak pernah ada yang menolak jabatan yang ditawarkan SBY. Ketimbang menolak, orang yang ditawari malah mensyukuri, menyambut dengan tepuk tangan anggota keluarga juga. Untuk orang tertentu, ketika musim pembentukan kabinet baru tiba, panggilan dari istana adalah sesuatu yang sangat ditunggu.

Naratologi Gangster

Padahal, kursi kuasa mestinya tak dipersepsi demikian, tetapi harus diposisikan sebagai �jembatan� yang menghubungkan penguasa dengan rakyat banyak. Kursi kuasa harus berdiri di tengah-tengah khalayak sebagai perekam suara kompleksitas. Maka, kekuasaan adalah alat, bukan tujuan. Para pemangku kuasa harus menggunakan kekuasaan sebagai alat memfasilitasi suara bersama, bukan sebaliknya: diperalat kekuasaan menjadi budaknya sehingga ia hanya berpikir tentang diri sendiri, bukan kepentingan khalayak.

Dalam konteks itu, ketika seorang individu dipanggil dari kerumunan untuk menduduki sebuah jabatan, mestinya ia melakukan refleksi: mampukah ia menjadikan kekuasaan sebagai jembatan khalayak? Kemampuan ini tak bisa diukur diri sendiri, tetapi harus berdasarkan pertimbangan khalayak jua.

Itu berarti, ketika diangkat jadi menteri, misalnya, ia harus segera membuka diri dan �bertanya kepada khalayak�. Walhasil, kursi kuasa yang diberikan bukan sebuah pahala yang harus disyukuri dengan segera, apalagi disambut tepuk tangan. Ia justru awal dari sebuah proses perjuangan menjadi �jembatan�.

Jika lulus hingga di ujung jembatan, artinya mampu mengemban amanah sampai akhir jabatan, barulah ia berhak bersyukur. Jika tidak, di tengah jalan ia harus berani mengundurkan diri. Pengunduran diri pejabat yang diminta khalayak atau yang disebabkan oleh pengakuan diri adalah prestasi moral yang harus disyukuri juga.

Situasi itu tampaknya tak pernah terjadi dalam konstelasi politik dan kekuasaan di negeri ini. Di sini, sekali lagi, jabatan dipersepsi sebagai anugerah, penghargaan atas kemampuan diri. Kekuasaan berpusat pada diri, bukan khalayak. Alih-alih jadi corong khalayak, ia malah memperalat khalayak demi kelanggengan kuasanya. Walhasil, naratologi politik dan kekuasaan kita identik dengan naratologi gangster.

Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB

Selasa, 29 November 2011

Olahraga dan Olah Negara

Yudi Latif


Vincet amor patriae (kecintaan kepada tanah air itulah yang membuat menang). Walau jalan menuju SEA Games diwarnai aneka skandal dan salah urus, daya juang para atlet bisa mengatasi keterbatasan dan kekacauan. Di ujung jalan, seperti menggemakan bait lagu yang dikobarkan para penyanyi kita, �Indonesia Bisa�, menjadi juara.

Olahraga memperlihatkan karakter yang dibutuhkan untuk olah negara. Dalam kobaran cinta seperti dalam olahraga yang mengatasnamakan bangsa, jiwa amatir yang siap berkorban demi patria mengalahkan kalkulasi untung-rugi sehingga atlet profesional ternama pun rela bertanding dengan imbalan di bawah standar. Dalam olahraga, atlet sejati lebih mendahulukan kesiapan berjuang ketimbang mengedepankan hasil. Jennifer Capriati, mantan petenis Amerika Serikat, mengekspresikan karakter olahragawan sejati ini, �I don�t care about being number 1, but I�m ready and willing to give battle, and that�s what sport is all about.�

Kesiapan berkorban dan kesungguhan berjuang demi mengharumkan bangsa menjadikan atlet sejati sebagai pahlawan. Keberhasilan para atlet Indonesia menjuarai SEA Games membantu menaikkan moral bangsa yang lama mengalami demoralisasi setelah menuai keterpurukan di berbagai segi. Tatkala kita kehilangan harapan akan perkembangan bangsa ini, masih ada orang-orang yang berdiri terakhir di persimpangan dengan mengibarkan panji kebesaran bangsa, seperti para atlet itu.

Masalahnya, meminjam ungkapan Brutus dalam drama William Shakespeare, Julius Caesar, �How many times shall Caesar bleed in sport�, berapa banyak cucuran keringat, darah, dan air mata yang ditumpahkan para atlet dalam olahraga, untuk dapat menularkan jiwa amatir ke dalam olah negara? Berapa banyak atlet sejati yang harus berlaga agar para aspiran politik menyadari pentingnya mengedepankan keseriusan berjuang ketimbang jalan pintas kemenangan?

Sungguh tragis, Indonesia sedang mengalami fase penjungkirbalikan nilai dalam olah negara. Harry Truman menyatakan, �Politik�politik luhur�adalah pelayanan publik. Tak ada kehidupan atau pekerjaan di mana manusia dapat menemukan peluang yang lebih besar untuk melayani komunitas atau negaranya selain dalam politik yang baik.�

Namun, dalam membumikan politik yang luhur, yang diperlukan adalah pembiakan negarawan, bukan politikus. Negarawan adalah pekerja politik yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada negara. Politikus adalah pekerja politik yang menempatkan negara dalam pelayanan kepada dirinya.

Nyatanya, Indonesia mengalami surplus politikus dan defisit negarawan. Kebanyakan penyelenggara negara kita tidak hidup untuk politik, tetapi hidup dari politik. Kehirauannya adalah apa yang dapat diambil dari negara, bukan apa yang dapat diberikan untuk negara.

Akibatnya, Indonesia kehilangan basis legitimasinya sebagai �negara-pelayan� yang bersumber pada empat jenis responsibilitas: perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, dan kedamaian-keadilan. Pemenuhan keempat basis legitimasi negara-pelayan tersebut merupakan pertaruhan atas kebahagiaan warga negara. Para pendiri bangsa secara visioner memosisikannya sebagai tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945.

Pelayanan atlet kepada bangsanya berbanding terbalik dengan pelayanan aparatur negara. Kontras dengan keberhasilan atlet meraih prestasi, para penyelenggara negara, khususnya yang berkaitan dengan SEA Games, justru terpuruk. Kontras dengan jiwa pengorbanan dan kejuangan para atlet, para penyelenggara negara yang terkait dengan itu justru menggelorakan jiwa koruptif. Kontras dengan jalan kemenangan atlet yang memerlukan perjuangan panjang, jalan kemenangan politisi kita justru banyak yang menempuh jalan pintas.

Cinta atlet kepada sesuatu di luar dirinya menggelorakan rasa keagungan kepada bangsanya. Cinta politisi kepada diri dan keluarganya mengempiskan kebesaran bangsanya. Ketika atlet berpesta, mereka menularkan semangat patriotisme dan solidaritas kebangsaan. Ketika politisi berpesta, mereka menularkan glorifikasi semangat feodalistis yang mengukuhkan kesenjangan dengan rakyatnya.

Sektor olahraga sering kali dilukiskan sebagai cermin proses modernisasi bangsa. Kondisi perkembangan politik dan ekonomi suatu bangsa bisa direfleksikan oleh perkembangan olahraganya. Namun, fitur Indonesia tampaknya merupakan deviasi dari itu. Prestasi olahraga diharapkan bisa memberikan rangsangan positif bagi perkembangan politik dan ekonomi. Ketika dunia politik tidak berhasil melahirkan pahlawan, dunia olahraga memberi kompensasi dengan melahirkan pahlawan-pahlawan alternatif yang diperlukan untuk menumbuhkan harapan.

Etos kejuangan atlet kita dalam menjuarai SEA Games harus kita tularkan ke dalam etos kejuangan menjuarai tata kelola negara. Walau dirundung aneka hambatan, antusiasme dan patriotisme terbukti membawa banyak perbedaan. Gemakan terus semboyan Bung Hatta: �Di atas segala lapangan Tanah Air aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang kusimpan dalam dadaku.�

Bagaimanapun juga, dengan mengutip seungkai sajak Ren� de Clerq, �Hanya ada satu tanah air yang bernama Tanah Airku. Ia makmur karena usaha, dan usaha itu adalah usahaku.�

Sabtu, 26 November 2011

The �Soccer Tribe�

Budiarto Shambazy

Ikut berduka atas tewasnya dua korban di pintu masuk Stadion Utama Gelora Bung Karno saat final Garuda Muda versus Harimau Muda. Terakhir kali nyawa melayang di GBK pada pertandingan Persib melawan Persebaya di putaran final kompetisi PSSI, Agustus 1966.

Masih segar dalam ingatan, sekitar 100.000 penonton tunggang langgang setelah aparat keamanan menembak ke udara untuk melerai perkelahian massal antarpemain. Sebagian berlindung di bawah bangku, sebagian lagi mencoba ke luar.

Seorang penonton tewas terkena peluru nyasar dan ratusan lagi luka atau pingsan terinjak massa. Presiden Soekarno turun tangan memerintahkan pertandingan yang terhenti
dilanjutkan beberapa hari kemudian, dan semua berjalan lancar.

Bersyukur juga tragedi kematian di stadion merupakan kejadian yang amat langka di negeri �penggila bola� ini. Di lain pihak, jajaran penyelenggara sebaiknya semakin mawas diri mengantisipasi.

Jika dihitung kasar, mungkin GBK terisi padat sekitar 120.000 penonton saat final SEA Games. Tak ada penonton meluber sampai ke trek atletik, kondisi yang membahayakan, seperti yang terakhir kali terjadi di final kompetisi perserikatan antara PSMS dan Persib medio 1980-an.

Jika ditambah penonton yang ada di luar GBK, final SEA Games menjadi salah satu penumpukan massa terbesar yang bisa jadi melibatkan sekurang-kurangnya seperempat juta orang. Final sepak bola SEA Games 1979 antara Indonesia dan Malaysia serta SEA Games 1997 antara Indonesia dan Thailand tak seramai final 2011. Apa lacur, timnas kita takluk di ketiga final bergengsi itu. Tahun 1979 kita kalah 0-1 dari Malaysia dan tahun 1997 ditaklukkan Thailand lewat adu penalti.

Kemenangan final 2011 akan bermakna bagi kita karena kita perlu kebangkitan baru, seperti kata slogan SEA Games, �United and Rising�. Garuda Muda impresif sejak penyisihan grup sampai semifinal, terutama Titus Bonai-Patrich Wanggai.

Antusiasme penonton dahsyat, gejala yang mulai tampak sejak Piala Asia 2007 dan makin
dahsyat saat Piala AFF 2009. Sepak bola tak lagi tontonan kelas bawah karena kembali digemari berbagai lapisan masyarakat seperti era 1970-an.

Inilah bukti sepak bola adalah industri besar yang menguntungkan jika dikelola secara profesional. Penonton datang ke stadion ingin menyaksikan pertandingan yang skornya tidak diatur wasit atau bandar judi dan pemainnya tidak disuap.

Pendek kata, penonton ingin jantungnya berdebar, berteriak sekeras-kerasnya, dan menghiasi diri dengan berbagai atribut tim nasional. Garuda di Dadaku, itu slogan yang kini populer.
Akan tetapi, kenapa, kok, kita gagal terus di ajang final SEA Games? Di final 1979 kita ditundukkan Malaysia, 0-1, karena prestasi mereka lebih baik.

Malaysia yang dimotori pemain-pemain andal seperti kiper R Arumugam (kini almarhum), dua bek tengah Soh Chin Aun-Santokh Singh, serta striker Mokhtar Dahari lolos ke Olimpiade 1972 dan 1980 serta merebut perunggu Asian Games 1974.

Kita dua kali kalah sial lewat adu penalti tahun 1997 serta 2011 dan, jangan lupa, juga di final perebutan tiket ke Olimpiade 1976 melawan Korea Utara. Mau tak mau kita terjerembab pada mitos akan selalu kalah di final apa pun di GBK.

Padahal, harus diakui jujur, Harimau Muda relatif memang lebih baik. Namun, jangan salah, Garuda Muda bukannya buruk.

Tak ada rahasia: pembinaan berjenjang dan serius Harimau Muda menjadi kunci sukses. Mesti diakui jujur itulah kekurangan kita: pembinaan berjenjang masih tetap karut-marut.
Ini akibat proses peralihan kepemimpinan dari pengurus lama ke pengurus baru masih kurang transparan. Misalnya, seperti diberitakan kemarin di harian ini, pengurus lama ternyata meninggalkan utang hampir Rp 40 miliar!

Di lain pihak, selain diwarisi sejumlah masalah pelik oleh pengurus lama, pengurus baru yang masih seumur jagung dihadang sejumlah masalah baru. Kepemimpinan kurang tegas, kompetisi kembali dilanda dualisme, kepengurusan overstaffed, Exco terpecah belah, dan lain sebagainya.

Adakah kesadaran dari rezim lama ataupun rezim baru bahwa mereka bukanlah pemangku utama sepak bola kita? Dua pemangku utama adalah para pemain dan kita para penggila bola.

Kita kembali kadung menjadi the soccer tribe. Itulah �suku tribal� yang mencintai timnas karena berbagai alasan ideologis, kultural, sosial, politis, maupun personal.

Seperempat juta orang malam itu mengelu-elukan Garuda Muda karena rindu kepada nasionalisme walau masih berwatak flag-waving (kibaran bendera). Nyaris tak ada lagi elemen-elemen nasionalisme yang disajikan penguasa.

Kita datang ke GBK karena sumpek dengan kondisi bernegara yang dikelola pemerintah yang abai. Kita putus asa makin malas memaki pejabat-pejabat yang korupsi, lebih suka melampiaskan kekesalan dengan menonton bola.

Kita mau menjadi pencinta Tibo atau Wanggai atau Okto Maniani karena paham kekayaan Papua dijarah habis-habisan oleh Freeport. Biarlah kita mengultusindividukan mereka ketimbang dipaksa-paksa cinta pemimpin feodalistis.

Dan, kita di GBK berjumpa dengan saudara-saudara sebangsa dan setanah air tanpa perlu memakai topeng. Kita saling sapa, saling teriak, saling bantu, saling tawa, saling salam, dan saling peluk.

Tiba-tiba malam itu kembali ada Indonesia di GBK maupun di depan jutaan layar televisi di Nusantara. Ada harapan sekalipun kalah sial, bangsa besar yang digembalakan para pemimpin yang, sayangnya, ternyata banyak yang berjiwa kerdil.

Budiarto Shambazy, Wartawan Senior Kompas

Sabtu, 05 November 2011

Keislaman Indonesia

Komaruddin Hidayat

Sebuah penelitian sosial bertema �How Islamic are Islamic Countries� menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.

Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?

Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.

Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.

Pengalaman UIN Jakarta

Kesimpulan penelitian di atas tak jauh berbeda dari pengalaman dan pengakuan beberapa ustaz dan kiai sepulang dari Jepang setelah kunjungan selama dua minggu di Negeri Sakura. Program ini sudah berlangsung enam tahun atas kerja sama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.

Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.

Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke Eropa. �Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di dunia Arab,� katanya.

Kalau saja yang dijadikan indikator penelitian untuk menimbang keberislaman masyarakat itu ditekankan pada aspek ritual-individual, saya yakin Indonesia akan menduduki peringkat pertama menggeser Selandia Baru. Jumlah yang pergi haji setiap tahun meningkat, selama Ramadhan masjid penuh dan pengajian semarak di mana-mana. Tidak kurang dari 20 stasiun televisi di Indonesia setiap hari pasti menyiarkan dakwah agama. Terlebih lagi selama bulan Ramadhan, hotel pun diramaikan oleh tarawih bersama. Ditambah lagi yang namanya ormas dan parpol Islam yang terus bermunculan.

Namun, pertanyaan yang dimunculkan oleh Rehman dan Askari bukan semarak ritual, melainkan seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Al Quran dan hadis.

Contoh perilaku sosial di Indonesia yang sangat jauh dari ajaran Islam adalah maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tak merata, persamaan hak bagi setiap warga untuk memperoleh pelayanan negara dan untuk berkembang, serta banyak aset sosial yang mubazir. Apa yang dikecam ajaran Islam itu ternyata lebih mudah ditemukan di masyarakat Muslim ketimbang negara-negara Barat. Kedua peneliti itu menyimpulkan: ...it is our belief that most self-declared and labeled Islamic countries are not conducting their affairs in accordance with Islamic teachings � at least when it comes to economic, financial, political, legal, social and governance policies.

Dari 56 negara anggota OKI, yang memperoleh nilai tertinggi adalah Malaysia (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistan (147), Yaman (198), dan terburuk adalah Somalia (206). Negara Barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada di urutan ke-7, Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25).

Sekali lagi, penelitian ini tentu menyisakan banyak pertanyaan serius yang perlu juga dijawab melalui penelitian sebanding. Jika masyarakat atau negara Muslim korup dan represif, apakah kesalahan ini lebih disebabkan oleh perilaku masyarakatnya ataukah pada sistem pemerintahannya? Atau akibat sistem dan kultur pendidikan Islam yang salah? Namun, satu hal yang pasti, penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI justru berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan negara-negara non-Muslim yang perilakunya lebih islami.

Semarak dakwah dan ritual

Hasil penelitian ini juga menyisakan pertanyaan besar dan mendasar: mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikkan di negara-negara sekuler?

Tampaknya keberagamaan kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. Kalau seorang Muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam�syahadat, shalat, puasa, zakat, haji�dia sudah merasa sempurna. Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya. Pada hal misi Rasulullah itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama: keilmuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas. Hal yang terakhir inilah, menurut penelitian Rehman dan Askari, dunia Islam mengalami krisis.

Sekali lagi, kita boleh setuju atau menolak hasil penelitian ini dengan cara melakukan penelitian tandingan. Jadi, jika ada pertanyaan: How Islamic are Islamic Political Parties? menarik juga dilakukan penelitian dengan terlebih dahulu membuat indikator atau standar berdasarkan Al Quran dan hadits. Lalu, diproyeksikan juga untuk menakar keberislaman perilaku partai-partai yang mengusung simbol dan semangat agama dalam perilaku sosialnya.

Komaruddin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jumat, 04 November 2011

Pemimpin Minim Ambisi

Radhar Panca Dahana

Moammar Khadafy adalah tragik seorang pemimpin flamboyan, berani, dan penuh ambisi. Ia dihujat dan sekaligus dipuja selama 42 tahun berkuasa.

Bagi seorang pilot asal Indonesia, Ganahadi Ratnuatmaja, yang tujuh tahun menjadi pilot pribadi mantan pemimpin Libya itu, Khadafy adalah pribadi peramah dan pemurah. Yang selalu datang ke kokpit untuk bersalaman dan meminta maaf karena beberapa menit terlambat. Yang mengirim saudara kandungnya untuk menghadiri pesta mantu sang pilot di Indonesia. Yang dengan tegas menyatakan bahwa sejak masih berpangkat kolonel mengagumi Soekarno, presiden pertama Indonesia.

Banyak orang di dunia, termasuk para pemimpin, mengagumi Soekarno. Dari sopir di Polandia, pelukis di Montmart, Perancis, Mahathir Mohamad dari Malaysia, hingga almarhum Anwar Sadat dari Mesir.

Soekarno adalah lambang perlawanan terhadap kekuatan dunia dengan retorika, ketegasan, dan keindahan diplomasi. Ia membuat dunia terpaku dan terpukau sehingga ditiru banyak pemimpin dunia setelahnya.

Khadafy adalah salah satu pemimpin yang sungguh mengingatkan kita pada proklamator itu. Cara hidup hingga keberaniannya merobek surat sanksi di depan Majelis Umum PBB mengingatkan kita pada Soekarno yang mengkritik Amerika di forum yang sama. Namun, sejarah memberi mereka nasib berbeda.

Soekarno berkeras melaksanakan demokrasi. Akibatnya, hidup politik yang dibangunnya ricuh sepanjang usia kepemimpinannya. Ia mengakhiri kekuasaan dengan catatan pertumbuhan ekonomi yang kurang sukses, kecuali beberapa proyek mercusuar. Ia digulingkan dan meninggal dalam kesendirian.

Sebaliknya dengan Khadafy. Ia dengan keras�kalau perlu menghabisi lawan-lawan politiknya� menciptakan stabilitas untuk mencapai kemakmuran. Hingga 2010, Libya tercatat sebagai negara dengan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) tertinggi di Afrika dan nomor 55 di tingkat dunia. Posisi Libya di atas Arab Saudi, Malaysia, Rusia, dan Indonesia yang terpuruk di nomor 111. Menurut Bank Dunia, pendapatan penduduknya nomor 50 dunia dengan 16.837 dollar AS per kapita, jauh di atas Turki, Afrika Selatan, Brasil, dan 400 persen kali negeri ini. Namun, ia digulingkan juga.

Refleksi kepemimpinan

Apa yang terjadi di Libya dan �Arab Spring� pada umumnya sebenarnya adalah refleksi kepemimpinan bagi kita. Setidaknya, pertama, apa yang terjadi di Libya sebenarnya adalah pelaksanaan dari apa yang pernah dikatakan Jenderal Colin Powell kepada Presiden George W Bush tentang perlakuan terhadap Irak, �If you break it, you own it.�

Amerika Serikat berkomplot dengan kekuatan asing (modal maupun politik) untuk menjatuhkan pemain lama, melakukan perang proxy bersama elite lokal yang menjadi sekutunya, dan mendaur ulang rezim lama ke dalam rezim baru. Maka, jika kita menyaksikan, bahkan terlibat dalam penggulingan rezim lama�seperti beberapa kali terjadi di negeri ini�tetapi kemudian tidak ada perubahan berarti, bahkan dalam beberapa hal kita anggap sebagai kemunduran, maka itu adalah bukti strategi klasik para imperialis konspiratif itu.

Rezim baru sesungguhnya hanya kulit domba baru dari serigala yang sama, yang justru lebih ganas, karena ia memperluas dan memperdalam penetrasi kuasa imperialisnya. Katakanlah hingga pada proses regulasi, pengambilan kebijakan, hingga proses akulturasi masyarakat.

Refleksi kedua memberi kita sebuah fakta, negeri dan bangsa ini ternyata memiliki tingkat keadaban yang lebih tinggi dalam proses peralihan kekuasaan. Di dalam hati dan sanubari rakyat negeri ini, terpendam rasa hormat kepada para pemimpinnya.

Ini adalah buah tradisi, baik adat maupun agama, yang selama ratusan, bahkan ribuan tahun mengajarkan bagaimana seorang manusia harus respek, menghargai dan memuliakan siapa pun yang lebih tua, yang memimpin, yang pernah bertanggung jawab pada hidup dan masa depan kita. Karena itu, bangsa Indonesia, dengan adab seperti itu, boleh berbangga kepada dunia, betapapun ia tidak setuju dan tidak suka kepada seorang pemimpin, ia tak akan menghina, apalagi menyiksa (mantan) pemimpinnya.

Hal ketiga adalah yang terpenting hari ini: sebuah renungan tentang pemimpin seperti apa yang seharusnya kita miliki. Pemimpin macam apa yang tepat dan mampu menjawab persoalan-persoalan mutakhir, baik secara internal maupun dalam desakan-desakan eksternal (global) yang luar biasa belakangan ini.

Apakah kita membutuhkan pemimpin yang berani, berambegan keras, flamboyan, retorik, berdiplomasi hebat, dan berani menantang dunia? Apakah kita membutuhkan lagi Soekarno? Atau sebaliknya, kita membutuhkan seorang pemimpin yang taktis, tekun, cermat dalam perhitungan kebijakan dan tindakan, kurang populis tetapi pragmatis, demi menjaga pertumbuhan yang di dunia lain pun untuk bertahan mengalami kesulitan?

Sesungguhnya, dunia sekarang lebih dipenuhi oleh pemimpin semacam ini: pragmatis, bukan idealis, dan lebih fokus pada bagaimana negara dan bangsanya dapat bertahan dalam tekanan dunia yang kian berat.

Mimpi bukan mistik

Sia-sialah jika kita mencari pemimpin dengan idealisme yang klasik dan romantik. Yang menampilkan dirinya dengan performasi hebat di mimbar-mimbar, dengan semangat heroik menjadi juru selamat dunia.

Ideologi sudah lama mati ketika semua partai politik dalam dua-tiga dekade lalu bergerak ke tengah. Yang kanan mengadopsi ide yang kiri, sementara yang kiri tanpa sungkan dan malu mempraktikkan apa yang secara ideologis milik yang kanan. Pragmatisme, bahkan dalam pengertian yang paling artifisial dari filosofi William James, adalah penggerak utama dunia yang takluk kepada kekuatan media dan percepatan teknologi informasi.

Di manakah pemimpin Indonesia dalam konstelasi itu? Susilo Bambang Yudhoyono muncul sebagai takdir sejarah, tanpa ada yang menduga, apalagi merasa bahwa ada yang mempersiapkannya. Begitulah sejarah modern bangsa ini, tidak pernah melahirkan pemimpin utama nasional lewat sebuah sistem dan mekanisme pengaderan.

Semua muncul seperti tiba-tiba karena waktu�sebagai kaki tangan nasib�sekonyong bicara dan memutuskan. Bahkan, seorang Habibie pun bukanlah presiden yang dikader dan diinginkan oleh pendahulunya. Seperti presiden lainnya, ia muncul karena waktu menginginkannya.

Itulah sejarah politik modern kita, yang membuat antara lain politik negeri ini tetap diselubungi mistik. Ada cerita satria piningit, Ratu Adil, simulasi ajaib kata notonagoro, dan seterusnya. SBY pun hadir dalam realitas internal dan eksternal itu.

Dalam pemberitaan media massa yang sangat riuh, kritik itu seperti koor dengan refrein yang sama dan dinyanyikan berulang. Seperti lagu pop yang kian membosankan, kritik itu kian lama kehabisan argumentasi, tema, dan isu, bahkan napas. Kaum oposan dan kritikus pedas seakan kian tak berdaya menghadirkan fakta dan analisis yang adekuat yang membuat rakyat lebih tergerak dan menyampingkan pencapaian positif yang jadi senjata SBY dan kabinetnya.

Apa yang kini jadi tema dan isu utama tinggal sebuah ekspresi: SBY tak memiliki keberanian (ketegasan). Sebuah tema psikologis juga kultural yang mengacu pada keberanian bersikap dan bertindak. Sebuah memori kultural yang secara kolektif mengacu pada pemimpin sejenis Soekarno. Namun, SBY seperti mengatakan, �aku bukan Soekarno� dan �tidak bisa (mungkin tidak mau) jadi Soekarno�.

Sebagai pemimpin, SBY adalah pragmatis tulen, sebagaimana sejawatnya di bagian dunia lain. Hal itu terlihat jelas dalam kebijakan, tindakan, hingga penyusunan kabinetnya. Para pembantunya diisi oleh orang-orang dengan orientasi prestasional berjangka pendek. Dan sesuai instruksi presiden, berkewajiban mengisi rapor dengan nilai biru sebagai penghias portofolio menjelang pemilu mendatang.

Namun, untuk negara dengan kelimpahan hidup yang membuat iri bangsa-bangsa lain, yang sekian lama diperas kolonialisme, dan sekian dekade dimanipulasi-dirampok lembaga modal dan keuangan internasional, yang sekian lama melupakan, bahkan menghancurkan potensi terbaiknya sendiri, semestinya memiliki pemimpin yang idealis.

Pemimpin idealis memiliki mimpi yang tentu tidak dimiliki pemimpin negara maju, yang sudah direpotkan oleh krisis sumber daya natural. Pemimpin di negeri ini tidak bisa hanya berkemampuan bertahan ketika dunia diancam krisis luar biasa dalam jangka dekat.

Mungkin, pemimpin seperti itu tidak harus meniru Soekarno. Akan tetapi, ia harus memiliki mimpi yang sebenarnya dimiliki seluruh rakyatnya. Masih bisakah pemimpin kita bermimpi?

Radhar Panca Dahana, BUDAYAWAN

Papua Butuh Pendekatan Hati

Neles Tebay

Papua membara lagi. Bara konflik Papua mencuat ke permukaan dengan terselenggaranya Kongres Rakyat Papua III, 16-19 Oktober 2011, di Jayapura. Enam orang yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kongres tersebut sudah ditangkap polisi dan langsung ditetapkan sebagai tersangka.

Setelah kongres, enam mayat orang Papua ditemukan. Bukan di arena kongres, melainkan beberapa ratus meter dari arena. Tiga di antaranya tewas karena kena tembak peluru, sementara tiga korban lainnya belum diketahui penyebab kematiannya.

Korban luka tembak belum diidentifikasi. Kerugian fisik juga belum dikalkulasi. Tidak sedikit orang yang mengalami trauma sebagai akibat dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan.

Kekerasan bukan solusi

Kekerasan negara, seperti yang dilakukan berkaitan dengan pelaksanaan Kongres Rakyat Papua III, bukanlah hal baru bagi orang Papua. Kekerasan negara sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Papua sejak menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1963. Integrasi Papua diawali dengan kekerasan dan hingga kini kekerasan (oleh) negara masih terus mewarnai kehidupan di tanah Papua.

Tuduhan separatisme, tanpa menyentuh faktor-faktor penyebab dari adanya separatisme, biasanya digunakan untuk membenarkan tindakan kekerasan negara terhadap orang Papua yang juga adalah warga negara Indonesia. Setiap pengibaran bendera Bintang Kejora, bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM), selalu diakhiri dengan kekerasan. Pelaku pengibaran bendera Bintang Kejora biasanya ditangkap, diadili, dan dipenjarakan selama belasan tahun.

Sekalipun tahu bahwa akan berhadapan dengan aparat keamanan, banyak orang Papua masih nekat mengibarkan bendera Bintang Kejora. Itu berarti tindakan kekerasan tidak hanya tidak berhasil, tetapi juga tidak mungkin menyelesaikan konflik Papua yang ditandai pengibaran Bintang Kejora.

Kenyataan di lapangan selama ini membuktikan, kekerasan negara�apa pun bentuknya dan betapa pun mulia motivasinya dan luhur tujuannya�tidak pernah berhasil menyelesaikan konflik Papua. Kekerasan malah hanya menambah rumit serta makin memperburuk konflik Papua.

Kegagalan implementasi otonomi khusus

Satu pertanyaan yang patut dipikirkan oleh semua pihak adalah mengapa bara konflik ini menyala setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua? Apa yang terjadi dengan implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) selama 10 tahun di tanah Papua?

Pada awalnya, kebijakan otonomi khusus memberikan harapan bagi orang Papua. Banyak pihak memandang kebijakan tersebut sebagai suatu solusi yang realistis dan komprehensif terhadap berbagai permasalahan di Papua. Jadi, kebijakan otonomi khusus didukung oleh banyak pihak di Papua, Jakarta, dan bahkan di luar negeri.

Pengalaman 10 tahun memperlihatkan bahwa UU Otsus tak diimplementasikan secara konsisten. Banyak pasal dari UU Otsus belum diterapkan.

Rakyat Papua tidak menikmati manfaat dari kebijakan otonomi khusus. Triliunan rupiah yang dialirkan ke Papua tak berdampak pada kehidupan rakyat Papua. Kesejahteraan mereka tidak menjadi lebih baik. Mereka masih hidup miskin, bahkan di bawah garis kemiskinan, sekalipun kekayaan alamanya berlimpah.

Mereka semakin menjadi minoritas di tanah leluhurnya dan tersisih secara ekonomis. Sekalipun ada UU Otsus Papua, mereka merasa tidak mendapatkan perlindungan hukum atas keberadaannya kini dan masa depannya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masalah-masalah mendasar di tanah Papua masih belum dituntaskan karena UU Otsus tidak diterapkan secara konsisten. Pemerintah pusat dan daerah masih saling menuduh dan menyalahkan satu sama lain sebagai penyebab kegagalan implementasi UU Otsus Papua.

Hingga kini belum terlihat juga kemungkinan dan kemauan pemerintah (pusat) untuk mengevaluasi implementasi UU Otsus Papua. Akibatnya, faktor-faktor penghambat implementasi UU Otsus masih belum diidentifikasi.

Jadi, belum ada jaminan bahwa UU Otsus akan dilaksanakan secara konsisten dan implementasi otonomi khusus akan diperbaiki. Ketidakpastian ini mempertebal ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah dan menambah kekecewaan mereka. Kekecewaan inilah yang terungkap melalui pengibaran bendera Bintang Kejora dan pelaksanaan Kongres Rakyat Papua III tersebut.

Evaluasi dan dialog

Bara konflik Papua masih bisa dipadamkan asalkan semua pihak mendukung tekad pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni menata Papua dengan hati. Guna mewujudkan tekad pemerintah ini, tiga hal perlu dilaksanakan.
Pertama, baik aparat Polri dan TNI maupun anggota Tentara Pembebasan Nasional (TPN)/OPM mesti menghentikan tindakan kekerasan. Sebab hal ini sangat bertentangan dengan pendekatan hati.

Kedua, seperti yang sudah dijanjikan pemerintah pusat pada tahun 2010, suatu evaluasi komprehensif tentang implementasi UU Otsus Papua mesti dilakukan dalam waktu dekat ini. Evaluasi tersebut perlu melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, Majelis Rakyat Papua (MRP), dan rakyat Papua yang mengembalikan secara simbolik UU Otsus Papua pada bulan Juni 2010.

Ketiga, pemerintah dan orang Papua mesti membuka diri untuk berdialog guna mengidentifikasi masalah-masalah yang mesti diselesaikan demi perdamaian dan secara bersama mencari kemungkinan solusinya. Kini saatnya untuk mencari solusi bersama, bukan saling menyalahkan dan menuduh antara pemerintah dan orang Papua.

Ketiga, semua itu akan terlaksana apabila pemerintah pusat mempunyai kemauan politik. Tanpa adanya ketiga hal ini, bara konflik Papua akan semakin hari semakin memanas.

Neles Tebay, PENGAJAR PADA SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI FAJAR TIMUR, ABEPURA, PAPUA

Kamis, 03 November 2011

Negara, Pasar, dan Jaminan Sosial

Makmur Keliat

Setiap orang yang berusia muda dan produktif secara alamiah pasti akan menjadi jompo dan tidak produktif. Setiap orang yang sehat pasti akan pernah jatuh sakit. Bahkan setiap orang yang tengah bekerja suatu ketika mungkin akan dapat kehilangan pekerjaannya karena berbagai sebab, seperti kecelakaan atau karena pemutusan hubungan kerja.

Bagaimana memperlakukan orang-orang seperti ini? Haruskah orang yang lanjut usia, yang tidak sehat, ataupun yang tidak memiliki pekerjaan itu dibiarkan begitu saja untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya?

Koreksi dan jalan tengah

Sistem jaminan sosial haruslah mampu menjawab pertanyaan ini. Membiarkan pertanyaan-pertanyaan ini dijawab semata-mata melalui mekanisme pasar tidaklah bijak. Orang berusia tua dan sakit pasti tak akan dapat diakomodasikan pasar. Alasannya, kompetisi merupakan prinsip dasar dari mekanisme pasar. Pelaku pasar yang tak kompetitif dan produktif pasti akan dihukum oleh pasar. Demi akumulasi laba dan efisiensi, tak jarang kita melihat perusahaan �harus� melakukan rasionalisasi dengan cara memberhentikan pekerjanya.

Tentu saja sentimen-sentimen kultural, misalnya, melalui ikatan keagamaan, kesukuan, dan ras, dapat dimanfaatkan untuk menjawab pertanyaan di atas. Namun, jejaring seperti ini memiliki keterbatasan. Orang-orang yang tidak memiliki identitas kultural yang sama tentu tidak dapat berharap memperoleh proteksi sosial.

Jejaring seperti ini juga dapat membawa dampak politik yang negatif dalam kehidupan bernegara. Jejaring seperti ini kemungkinan besar akan memperkuat segregasi sosial yang dibangun atas dasar sentimen komunal dan sektarian dalam proses politik bernegara. Orang akan lebih bersandar pada ikatan-ikatan kultural yang berwatak parokial dibandingkan ikatan-ikatan yang dibangun atas dasar simpul kebangsaan dengan watak kesetaraan warga (equal citizenship).

Ketentuan hukum tentang jaminan sosial pada dasarnya adalah tindakan koreksi negara terhadap pasar, sekaligus jalan tengah agar orang mentransformasikan kesetiaan komunal dan sektariannya kepada konsep negara-bangsa. Bersama seluruh pelaku pasar dan organisasi yang ada di masyarakat, negara melakukan tindakan koreksi tersebut dengan semangat kesetiakawanan dan gotong royong.

Ada dua alasan sederhana mengapa jaminan sosial harus dibangun atas dasar semangat kesetiakawanan dan gotong royong. Pertama, orang-orang muda yang bekerja dan sehat itu juga suatu saat jadi tua, tak produktif, dan kemungkinan juga akan jatuh sakit dalam perjalanan hidup mereka. Oleh karena itu, sistem jaminan sosial merefleksikan kepentingan semua pihak. Memberikan kontribusi untuk membantu yang tua-pensiunan, yang menganggur, dan yang jatuh sakit tidak semata atas dasar prinsip kemanusiaan sepihak, tetapi juga prinsip kepentingan timbal balik yang mekanistik dan fungsional.

Kedua, menciptakan simpul-simpul kebersamaan yang kuat antara negara dan seluruh pelaku pasar dan masyarakat. Simpul-simpul ini muncul ketika kontribusi pendanaan untuk menciptakan sistem jaminan sosial itu berasal dari semua pihak. Kontribusi negara diberikan melalui anggaran pengeluaran sosial lewat anggaran negara (APBN). Kontribusi yang diberikan perusahaan dan pekerja melalui pajak, iuran, serta potongan upah dan gaji. Melalui kontribusi bersama seperti inilah, yang diwujudkan melalui ketentuan hukum yang mengikat, masyarakat merasakan kehadiran negara dan negara dapat mengharapkan dukungan dari masyarakat ataupun pelaku pasar untuk memelihara suatu tatanan hukum dan kehidupan masyarakat yang tertib.

Oleh karena itu, tampaknya tak tepat apabila seluruh beban tanggung jawab sistem jaminan sosial ditimpakan pada anggaran negara. Selain soal keterbatasan anggaran negara, juga karena pilihan itu melemahkan simpul hubungan antara negara dan pelaku pasar dan masyarakat. Dampak lain meletakkan sepenuhnya beban dan tanggung jawab sistem jaminan sosial kepada negara akan menggerus prinsip kesetiakawanan dan gotong royong di antara warga negara.

Perjuangan politik

Walau disebutkan mulai berlaku Juli 2015, pengesahan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pada 28 Oktober 2011 dapat dianggap momen sejarah sangat penting. Untuk pertama kali, Indonesia punya ketentuan hukum yang lebih konkret-terpadu untuk memberikan suatu sistem jaminan sosial yang lebih universal mencakup ketenagakerjaan, pensiunan, kesehatan, hari tua, dan kecelakaan.

Namun, karena naskah final UU BPJS ini belum selesai dibuat (lihat Kompas,               1 November 2011), sukar untuk memproyeksikan apakah watak dari ketentuan hukumnya akan mengarah kepada penguatan hubungan negara dengan pasar dan masyarakat melalui prinsip kesetiakawanan dan gotong royong. Oleh karena itu, seluruh kekuatan politik yang ada perlu terus memantau muatan naskah akhir UU BPJS ini.

Dalam kaitan ini, tampaknya perlu merenungkan perjalanan sistem jaminan sosial di negara-negara maju. Studi yang dilakukan Esping Anderson (1990) ataupun John D Stephans (2007) telah menyampaikan dua fakta menarik untuk direnungkan.

Pertama, sistem jaminan sosial merupakan konsesi politik untuk tetap dapat melestarikan ekonomi pasar. Konsesi ini diberikan kepada pekerja setelah melalui perjuangan politik yang getir dan panjang. Ia bukan sesuatu yang diberikan secara cuma-cuma. Oleh karena itu, jika kita memang menginginkan ekonomi pasar terus berlangsung, sistem jaminan sosial harus diciptakan untuk membuat ekonomi pasar memiliki wajah dan sentuhan yang lebih manusiawi dan agar ekonomi pasar itu juga memiliki akar yang kuat di masyarakat.

Kedua, variasi dari model sistem jaminan sosial di antara negara-negara industri maju sangat ditentukan dukungan politik yang diberikan oleh lapisan sosial. Di negara-negara Skandinavia, misalnya, yang dikenal memiliki cakupan jaminan sosial yang sangat universal, dukungan yang sangat luas dari berbagai lapisan sosial telah ada sejak sistem jaminan sosial di negeri ini diperkenalkan pada abad ke-19. Situasi yang hampir mirip ditemukan juga di negara-negara Eropa lainnya.

Namun, dukungan seperti ini tak tampak cukup kuat di AS. Sistem jaminan sosial di AS lebih terbatas dibandingkan dengan negara-negara Eropa. Penyebabnya adalah tak terdapat dukungan yang luas dari berbagai lapisan sosial di negeri itu. Hal ini juga yang menjelaskan mengapa di Amerika Serikat, seperti yang pernah disebutkan oleh Obama dalam pidatonya ketika meluncurkan reformasi kesehatan di negeri tersebut pada Oktober 2009, masih terdapat puluhan juta warga AS yang tidak memiliki asuransi kesehatan.

Berangkat dari dua fakta ini, tampaknya tak berlebihan untuk menyatakan derajat kesadaran dan pelibatan politik yang aktif dari berbagai lapisan sosial di Indonesia akan sangat menentukan watak dan implementasi UU BPJS ini pada masa depan.


Makmur Keliat, PENGAJAR ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL , FISIP UI

Jati Diri Papua

Bagong Suyanto

Banyak studi membuktikan, di balik kemajuan pembangunan di Papua, ternyata pada saat yang sama melahirkan berbagai problem sosial-budaya di kalangan penduduk lokal.

Selain itu, juga muncul tuntutan untuk melakukan berbagai penyesuaian menyikapi kehadiran situasi dan kondisi baru yang terus berubah karena dihela industrialisasi, modernisasi, dan kehadiran para pendatang dengan segala perbedaan dan kepentingannya (FISIP Unair, 2010; Rathgeber (ed), 2006).

Sejak industrialisasi masuk di wilayah ini, sekitar tiga dekade lalu�belakangan bahkan makin intensif�bisa kita lihat penduduk setempat yang awalnya hidup dalam struktur ekonomi sederhana dan tak mengalami deferensiasi, kini sudah mengenal teknologi modern. Juga pranata dunia industri yang serba kontraktual, tawaran gaya hidup baru, media televisi, dan interaksi sosial kian beragam dengan para pendatang beserta berbagai pranata budaya yang mereka bawa.

Hasil kajian yang dilakukan FISIP Universitas Airlangga (2010) menemukan bahwa dalam perubahan sosial yang terjadi begitu cepat itu telah menimbulkan implikasi dan proses adaptasi yang tidak selalu mudah bagi suku-suku dan penduduk lokal di Papua untuk menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan sosial-budaya dan tuntutan situasi baru yang berlangsung di sekitar mereka. Bukan tidak mungkin, penduduk lokal yang tak kuat dan kurang bisa beradaptasi terhadap perubahan yang berlangsung cepat di wilayahnya akan mengalami gegar budaya.

Solidaritas memudar

Kehadiran industri berikut kompensasi yang diberikan kepada penduduk lokal, selain menyebabkan memudarnya kohesi sosial antara suku satu dan suku yang lain, dalam batas-batas tertentu juga memunculkan terjadinya proses soliterisasi. Proses ini berupa memudarnya rasa solidaritas antarsuku atau antaretnis, makin menguatnya batas-batas deferensiasi sosial antarsuku yang berbeda, dan bahkan ditandai pula dengan lahirnya kecemburuan sosial. Hal itu bisa terjadi karena lahirnya pola stratifikasi sosial baru yang lebih berdasarkan pada basis material, bukan pada tradisi dan hal-hal yang sifatnya berasal dari mereka.

Tekanan dan tuntutan pembangunan serta perubahan baru yang terlalu mementingkan kepentingan politik dan ekonomi menyebabkan polarisasi dalam masyarakat. Bahkan warga masyarakat lokal yang seharusnya merupakan subyek pembangunan justru acap kali terpinggirkan oleh derap modernisasi.

Akibat paling langsung yang terjadi ketika perubahan dan modernisasi di tanah Papua tak lagi bisa dibendung niscaya adalah tergusurnya manusia sebagai anggota komunitas, meruncingnya konflik akibat perbedaan paham, dan menguatnya kerusakan alam akibat eksploitasi berlebihan. Dari banyak kasus, di Tanah Air ini�termasuk di wilayah Papua�masih sering terjadi dan banyak kebijakan pembangunan yang belum mempertimbangkan adanya hak-hak kultural warga negara yang harus dilindungi dan dihormati.

Di kalangan suku-suku pedalaman di Papua, boleh dikata saat ini telah lahir sebuah era baru. Jangan dibayangkan bahwa yang namanya suku-suku pedalaman di Papua hanya diwakili sosok-sosok manusia yang serba tradisional, subsisten, lugu, dan terisolasi dari pengaruh teknologi dan media modern. Tatkala kegiatan industrialisasi makin masif dan para pendatang juga terus masuk, selain terjadi perubahan gaya hidup dan cara berpikir masyarakat setempat, yang tak kalah menarik adalah lahirnya pola hubungan sosial yang makin kontraktual, komersial. Bahkan tak sedikit generasi muda di sana yang memperlihatkan gaya hidup ke-�barat-barat�-an.

Boleh dikata sebagian besar pemuda setempat kini mulai kehilangan akar budayanya. Mereka tidak lagi mengenal �bahasa tanah� atau �bahasa ibu�. Mereka bahkan telah mengadopsi gaya hidup yang modern: berdansa dengan musik yang ingar-bingar dan melantai dengan pasangannya masing-masing dengan gaya yang tak beda dengan yang mereka tonton di televisi. Berbagai jenis kesenian tradisional, tarian goyang pantat, alat musik tifa, dan pranata kultural masyarakat setempat pelan-pelan makin tersisih dan ditinggalkan sehingga yang terjadi kemudian adalah krisis identitas budaya.

Peran tradisi dan adat-istiadat dalam kehidupan penduduk lokal cenderung makin bersifat instrumental. Keberadaan adat-istiadat dan tradisi, dalam beberapa kasus, dijadikan alat dan legitimasi untuk memperjuangkan kepentingan tertentu. Ironisnya, adat-istiadat dan tradisi tersebut tak memiliki kekuatan pengikat yang sama jika berkaitan dengan kepentingan pihak-pihak tertentu. Dalam proses industrialisasi yang berlangsung cepat, keberadaan kearifan lokal di Papua cenderung makin tersisih dan tak lagi dimanfaatkan untuk memecahkan masalah sehari-hari yang dihadapi penduduk setempat.

Revitalisasi budaya

Upaya untuk merevitalisasi kembali agar kekayaan unsur budaya yang dimiliki suku-suku di Papua tidak hilang, dan sekaligus bisa dijadikan pijakan untuk membangun kembali jati diri atau identitas budaya Papua, sudah barang tentu tak akan efektif jika hanya dilakukan melalui pewarisan budaya yang sifatnya temporer atau sekadar mentransplantasikan kembali ke anak-anak dan generasi muda. Tanpa dilandasi proses internalisasi makna yang benar-benar mendalam, setiap upaya yang dilakukan cenderung sia-sia.

Dalam perubahan dan gegar budaya yang terjadi di masyarakat Papua, perlu kita sadari bahwa upaya untuk merevitalisasi kekayaan unsur budaya lokal mau tidak mau harus bersaing dengan tawaran kebudayaan modern yang acap kali lebih atraktif, menawarkan gaya hidup baru dan bahkan gengsi.

Lebih dari sekadar romantisme pada tradisi dan kenangan pad masa lalu, proses revitalisasi budaya yang dikembangkan di kalangan suku-suku Papua harus mampu menemukan apa yang disebut Adorno sebagai ersatz (lihat: dalam Ever [Peny], 1988), yakni �nilai pakai kedua� dari unsur-unsur budaya yang hendak direvitalisasi. Upaya ini tak lain dimaksudkan agar dalam praktik gairah dan keterlibatan generasi muda mengembangkan kekayaan budaya lokal lebih terjamin keberlangsungannya.

Bagong Suyanto, DOSEN DEPARTEMEN SOSIOLOGI, FISIP UNAIR

Saudara Presiden, Datanglah ke Papua

M. Ridha Saleh

Kebijakan pemerintah saat ini tetap mengedepankan pendekatan kesejahteraan dan tidak ada lagi pendekatan keamanan yang mengedepankan operasi militer.

Janji itu disampaikan oleh Presiden SBY saat menyampaikan pengantar dalam sidang kabinet paripurna di Gedung Utama Sekretariat Negara (Kompas, 28/10/2011). Pernyataan ini harus dicatat secara baik-baik oleh kita yang menghendaki agar tanah Papua segera aman dan damai. Sebab, pernyataan serupa sudah sering keluar dari para pejabat tinggi negara, termasuk Presiden SBY, di beberapa kesempatan.

Orang Papua tidak ingin lagi janji-janji muluk. Orang Papua hanya ingin agar yang diucapkan oleh pemerintah jadi kenyataan di lapangan. Bagi orang Papua, sudah terlalu banyak dokumen pembangunan yang dihasilkan pemerintah, isinya pun sangat ideal, tetapi hasilnya tidak sejalan dengan fakta yang dirasakan oleh orang-orang Papua.

Kesan pembangunan di mata orang asli Papua tak lain hanya politik etis dan orientasi proyek semata. Pembangunan di Papua lebih berorientasi fisik daripada substansi. Pembangunan bukan untuk menyejahterakan mayoritas orang Papua, melainkan lebih banyak mengakomodasi kepentingan elite lokal dan nasional. Bahkan, pembangunan di Papua justru menambah kesenjangan sosial dan ekonomi di Papua.

Kepentingan

Jika kita bertanya kepada orang Papua, apa perbedaan rezim Orde Baru dan rezim otonomi khusus, mereka akan jawab, �trada to?� Sebab, mereka masih saja memiliki rasa takut dalam berbagai aktivitas. Orang-orang yang memprotes pembangunan dituduh separatis, kekerasan masih saja berlangsung, kesenjangan masih menganga, dan berbagai pelanggaran HAM lainnya terus berlangsung.

Diskriminasi penegakan hukum dan eksekusi di luar putusan hukum juga terus berlangsung. Banyak orang Papua mengeluhkan mengapa aparat keamanan, baik Polri maupun TNI, masih bertindak sewenang-wenang. Jika orang Papua melakukan sesuatu mudah ditindak, tetapi jika aparat melanggar hukum tak ada hukuman bagi mereka.

Ada tiga kepentingan orang Papua yang tidak secara konkret diimplementasikan oleh pemerintah. Pertama, kepentingan substansial. Kepentingan ini menyangkut hak-hak sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sebutlah seperti kesejahteraan dan kebebasan dari rasa takut.

Kedua, kepentingan formal dan prosedural. Ini berupa pengakuan konkret terhadap peran lembaga adat, peran Majelis Rakyat Papua, tuntutan dibentuknya komisi kebenaran dan rekonsiliasi serta Pengadilan HAM, serta representasi orang asli Papua di DPR Papua sebagaimana telah dicantumkan di dalam UU Otonomi Khusus.
Ketiga, kepentingan psikologi orang-orang Papua. Hal ini menyangkut pengakuan terhadap eksistensi dan simbol-simbol budaya orang Papua.

Beda SBY dan Gus Dur

Tak heran jika mereka hanya selalu mengenang kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Sebab, Gus Dur telah mampu memenuhi kepentingan psikologis orang-orang Papua dengan hanya memberikan penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua serta boleh mengibarkan bendera bintang kejora sebagai simbol kebudayaan orang Papua dan bukan untuk memisahkan diri dari NKRI.

Apa yang dilakukan oleh Gus Dur jika dibandingkan dengan apa yang telah diberikan Presiden SBY kepada orang-orang Papua tentu jauh berbeda. Presiden SBY telah memberikan banyak hal. Sejak SBY menjadi presiden, dana otonomi khusus yang dikucurkan ke Papua sudah mencapai Rp 30 triliun. Akan tetapi, mengapa respons orang papua terhadap rezim SBY tidak sedahsyat rezim Gus Dur?

Ini berarti orang Papua tidak melulu membutuhkan dana pembangunan. Orang Papua lebih butuh pengakuan terhadap hak hidup mereka. Pembangunan yang mereka harapkan adalah pembangunan yang berparadigma menghormati harkat dan martabat mereka.

Sebaiknya Presiden SBY datang ke Papua. Akan tetapi, bukan untuk berceramah atau membangun citra, melainkan datang berdiskusi dan mendengarkan semua aspirasi dari komponen strategis di Papua dan menetapkan sesuatu yang lebih konkret. Hanya dengan begitu, kepercayaan orang-orang Papua terhadap niat baik pemerintah bisa lebih menjanjikan.

M. Ridha Saleh, ANGGOTA KOMNAS HAM

Keluar dari �Geronto Politik�

AA GN Ari Dwipayana

Sejarah selalu menyediakan ruang bagi orang-orang muda. Dalam sejarah, pemuda menjelma dari suatu batas umur menjadi mitos yang hidup (Goenawan Mohamad, 1994).

Bung Hatta mendirikan Perhimpunan Indonesia ketika belum berumur 30 tahun. Hitung saja umur Soekarno ketika menyampaikan pidato yang menggemparkan, �Indonesia Menggugat�, dan menjadi Presiden RI pada usia 44 tahun. Muhammad Natsir jadi perdana menteri pada usia 42 tahun, bahkan Sjahrir dan Sjafruddin Prawiranegara pada usia di bawah 40 tahun. Bukan itu saja, pada 1951, empat serangkai: DN Aidit, Lukman, Njoto, dan Sudisman, menjadi pengendali utama Partai Komunis Indonesia dalam usia tidak lebih dari 30 tahun.

Namun, dalam perjalanan waktu, kita juga jadi saksi bahwa usia para pengendali partai makin lama kian merenta. Saat ini, Presiden SBY memegang posisi puncak di pemerintahan dalam usia 62 tahun. Tidak jauh berbeda, Megawati Soekarnoputri yang sampai saat ini masih mengendalikan PDI-P sudah 64 tahun. Demikian pula umur para pengendali politik di Partai Golkar ataupun rumpun partai medioker. Usia mereka 50-65 tahun: Aburizal Bakrie (65), Wiranto (64), Prabowo Subianto (60), Hatta Rajasa (58), Suryadharma Ali (55), dan Luthfi Hasan (50). Pengecualiannya, hanya ada pada dua partai: PKB dan Partai Demokrat; Muhaimin Iskandar (45) dan Anas Urbaningrum (42). Keduanya di bawah 50 tahun.

Lapis tengah

Kalau posisi puncak umumnya didominasi generasi tua, di lapisan tengah kepemimpinan partai justru dipenuhi generasi yang lebih muda. Boleh dikatakan lapis tengah partai ini makin hari semakin menggelembung karena harus menunggu giliran pergantian kepemimpinan politik.

Gelembung lapisan tengah bisa dilihat dari data perbandingan usia anggota DPR 2009-2014 (Kompas, 25/10/2011). Sebagian besar anggota DPR berusia di bawah 50 tahun. Anggota DPR yang berusia lebih dari 50 tahun hanya sekitar 11 persen. Secara kuantitas, angka ini jelas lebih kecil daripada anggota DPR yang berusia 41-51 tahun yang mencapai 38,98 persen, usia 31-40 tahun sebanyak 21,3 persen, dan di bawah 30 tahun sebesar 3,8 persen.

Lapis tengah akan semakin besar kalau kita juga menghitung aktivis partai yang bergiat di luar parlemen, seperti mengurus organisasi partai, mengisi kepengurusan sayap-sayap partai, atau bahkan sedang berpeluh melakukan kerja-kerja politik di akar rumput, Mereka bagian dari generasi sedang menunggu bergeraknya lokomotif regenerasi kepemimpinan partai.

Waktu tunggu akan makin lama ketika generasi tua masih memiliki kehendak kuat untuk tetap bertahan mengendalikan partai. Bahkan, dalam beberapa minggu terakhir, muncul sejumlah survei dan aspirasi yang menunjukkan masih bertahannya tokoh-tokoh politik tua dalam panggung politik nasional. Dalam beberapa survei terkini, figur politisi tua masih memiliki popularitas, bahkan elektabilitas yang cukup tinggi untuk bersaing dalam Pemilu Presiden 2014. Kemunculan beberapa nama lama seperti Aburizal Bakrie, Megawati Soekarnoputri, sampai Prabowo Subianto memperlihatkan tokoh-tokoh tua masih diminati masyarakat.

Masih bertahannya para pengendali partai di genggaman politisi tua sudah pasti berakibat serius karena hal itu berdampak pada bertambah lamanya waktu tunggu lapis menengah. Ketika benar-benar terjadi regenerasi di mana beberapa di antara lapis menengah ini sudah sampai ke puncak kepemimpinan politik dalam partai, usia mereka sudah renta, seperti halnya generasi sebelumnya. Dengan demikian, �geronto politik��usia lanjut alias penuaan di dunia politik�menjadi siklus yang tidak terhindarkan.

Melawan �geronto politik�

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah apakah �geronto politik� bisa dilawan? Bagaimana cara memangkasnya? Jawabannya tak sederhana karena �geronto politik� tumbuh subur di tengah �ladang� struktur oligarki elite dalam partai. Memangkas �geronto politik� sesungguhnya juga bagian dari upaya melawan oligarki elite partai. Generasi politisi tua bisa bertahan sangat lama dalam kekuasaan karena mereka mengendalikan sumber daya politik dan ekonomi partai. Semakin lama para pengendali ini menggenggam kekuasaan dalam partai, relasi kuasa yang terbangun menjadi sangat mempribadi. Artinya, partai menjadi identik dengan figur sang patron.

Hal ini juga menjelaskan mengapa nama-nama politisi muda di lapis tengah tidak akan pernah muncul dalam survei popularitas kepemimpinan nasional, karena persepsi masyarakat atas partai sangat lekat dengan figur patron pengendali partai. Dengan kondisi semacam itu, apa pun manuver politik yang dilakukan politisi muda untuk menggapai popularitas, panggung kepemimpinan nasional tetap hanya diperuntukkan secara eksklusif bagi para pengendali partai.

Dengan demikian, �geronto politik� hanya bisa berakhir kalau terbangun ruang kompetisi yang terbuka dan demokratis di internal partai. Dalam proses kompetisi terbuka, politisi muda bukan hanya bersaing satu dengan yang lain, sekaligus diuji dulu kemampuan kepemimpinannya. Hal ini penting untuk ditegaskan karena kita menghadapi dua watak dasar yang menjadi perangkap partai politik.

Pertama, watak politik patronase yang juga bisa saja menular ke politisi muda. Dalam logika patronase, politisi muda ditempatkan sebagai klien yang mengabdi untuk kepentingan patron. Ukuran utama dalam persaingan itu adalah kedekatan hubungan dengan patron, bahkan kemampuan untuk mengabdi dan melayani kepentingan patron pengendali partai.

Perangkap patronase ini bisa menjadi bagian dari logika politik kaum muda sehingga persaingan dalam partai menjadi tak sehat. Kaum muda partai akan berebut untuk menjadi penerus patron dengan cara membangun kedekatan personal. Hal ini tentu saja akan membangun regenerasi yang memiliki karakter politik yang sama dengan kaum tua yang digantikannya.

Perangkap kedua adalah politik �karbitan�. Munculnya fenomena politik karbitan ini ditandai hadirnya politisi muda �dadakan� yang memiliki akses politik yang kuat ke patron, selanjutnya menduduki posisi penting-strategis dalam partai. Bahkan, beberapa partai politik seperti menyiapkan �putra mahkota� sebagai bagian dari jalan regenerasi politik. Konsekuensinya, persaingan politik antarlapis tengah seakan-akan sudah ditutup sejalan dengan munculnya �putra mahkota�.

Akhirnya, untuk keluar dari �geronto politik�, tidak ada jalan lain kecuali politisi muda dalam partai mendorong reformasi sistem kompetisi internal partainya. Hanya dengan kompetisi partai yang terbuka dan demokratis akan terbuka ruang yang lebih lebar bagi politisi muda untuk bersaing, menunjukkan kualitas berpolitik dan sekaligus jadi arena menguji kerja- kerja politik yang telah dilakukannya. Dengan cara itu, kaum politisi muda bukan hanya mengusung wacana regenerasi dari sisi usia, melainkan juga mengedepankan regenerasi karakter dalam berpolitik.

AA GN Ari Dwipayana, DOSEN JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN, FISIPOL UGM

Rabu, 02 November 2011

Mencintai Anak-Cucu

Meiwita Budiharsana

Menentukan jumlah anak adalah hak pribadi, terutama bagi perempuan yang harus menjalani proses reproduksi dan menanggung dampaknya.

Pendapat �mau punya anak berapa, suka-suka saya� tak keliru kalau dikaitkan dengan pandangan �semua anak sepatutnya dilahirkan karena direncanakan dan diingini�. Namun, pilihan banyak anak perlu dibuat secara bertanggung jawab atas dasar pemahaman akan akibat keputusan itu, baik di tingkat pribadi, keluarga, maupun masyarakat/negara.

Kalau kita gabung jumlah kelompok penduduk lanjut usia (lansia, di atas 60 tahun) dan kelompok penduduk usia muda (hingga 14 tahun), lalu kita hitung jumlah ini sebagai persentase terhadap jumlah kelompok penduduk usia kerja (15-59 tahun), kita akan dapatkan ukuran kependudukan yang dinamakan rasio ketergantungan usia (age dependency ratio). Ukuran ini menggambarkan besaran beban tanggungan penduduk usia kerja sebab diasumsikan penduduk lansia dan penduduk muda tidak bekerja untuk menafkahi dirinya sendiri.

Dari analisis data Indonesia Family Life Survey (IFLS) 2007/2008, dapat dihitung jumlah penduduk usia muda adalah 16 persen dari jumlah penduduk dan kelompok penduduk lansia sekitar 9 persen total penduduk. Jika keduanya dijumlahkan, jumlah penduduk yang secara teoretis ditanggung penduduk usia kerja adalah 25 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk usia kerja sekitar 75 persen (atau 100 persen total penduduk dikurangi 25 persen).

Rasio ketergantungan anak sekarang bisa dihitung dari 16/75, sama dengan 21 anak per 100 penduduk usia kerja; dan rasio ketergantungan lansia dihitung dari 9/75, sama dengan 12 lansia per 100 penduduk usia kerja. Keseluruhan, rasio ketergantungan usia dihitung dari 25/75 adalah 33 persen atau 33 orang tertanggung per 100 penduduk usia kerja pada tahun 2007.

Membandingkan kedua kelompok usia tertanggung, kita lihat rasio ketergantungan anak (22 persen) hampir dua kali lipat rasio ketergantungan lansia (12 persen). Dikhawatirkan rasio ketergantungan anak akan meningkat drastis dalam waktu relatif singkat, kemungkinan menjadi dua kali perkiraan di atas (sekitar 45 persen). Sementara rasio ketergantungan lansia tidak berubah banyak (stabil).

Beban semua pihak

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, pendapat �jumlah anak itu suka-suka saya� harus dikaji. Keputusan pribadi untuk punya banyak anak berdampak pada beban orang banyak.
Ironisnya, di era desentralisasi ini, ada kecenderungan pimpinan daerah tak dukung program KB karena ia perlu dukungan masyarakat konservatif. Bahkan, ada kelompok (partai) politik yang terang-terangan menolak KB.

Hasil analisis data IFLS 2007/2008 juga menunjukkan kecenderungan punya tiga anak atau lebih tidak berkaitan dengan rendahnya pendidikan ibu. Berarti, kecenderungan itu bergeser ke ibu dengan pendidikan menengah dan tinggi.

Piramida penduduk Indonesia pada 2005 menunjukkan Indonesia berada di tahap ketiga transisi demografi, di mana jumlah anak pernah dilahirkan dan kematian bayi dan anak sama-sama menurun. Basis piramida yang menyempit memperlihatkan pembengkakan demografis pada populasi usia kerja.

�Bonus demografi� ini sebenarnya kesempatan membangun modal sumber daya manusia dan memacu percepatan pembangunan jangka panjang jika investasi tepat guna dilakukan dalam bidang pendidikan, penciptaan lapangan kerja, dan pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan reproduksi. Periode ini juga menawarkan kesempatan untuk mematahkan siklus kemiskinan jika investasi diarahkan tepat guna.

Pertambahan penduduk usia muda merupakan tantangan besar karena saat ini lapangan kerja yang tersedia tak mampu menyerap peningkatan jumlah orang muda yang memasuki pasar kerja setiap tahun. Hal ini diperburuk dengan belum dipenuhinya kuantitas dan kualitas pendidikan secara merata.

Tiga tahun terakhir tingkat fertilitas seharusnya sudah turun menuju 2,1 kelahiran per satu perempuan. Tetapi, hari ini kecenderungan malah mencapai lebih dari 2,3. Kurangnya dukungan pada program KB telah berdampak besar pada hasil upaya 30 tahun lebih menekan pertumbuhan penduduk, terutama jika hasil resmi Sensus Penduduk 2010 mengonfirmasi hal ini.

Pertambahan penduduk yang cepat akan berkontribusi pada penurunan kapasitas negara membangun kestabilan ekonomi dan sosial (termasuk perbaikan kualitas manusia) dan memperlambat upaya restorasi alam lingkungan tempat kita bermukim. Juga mempercepat kondisi di mana Bumi tak mampu lagi mendukung keberlangsungan hidup cucu dan cicit kita.

Jadi, kalau kita sungguh mencintai anak-cucu kita, jangan serakah menghabiskan sumber daya alam dan jangan serakah punya anak banyak.

Meiwita Budiharsana, PENGAJAR JURUSAN BIOSTATISTIK DAN KEPENDUDUKAN, FKM UI

Segarkan Peran Kaum Muda

Umar Syadat Hasibuan

Delapan puluh tiga tahun peristiwa Sumpah Pemuda telah berlalu. Apa yang berubah dengan kaum muda hari ini?

Ketika Sumpah Pemuda dideklarasikan, kaum muda lebih mementingkan cita-cita kolektif kebangsaan dibandingkan kepentingan politik individu dan kelompok. Kaum muda eksis dan hadir dalam membangun fondasi nilai-nilai kebangsaan. Berbeda dengan 83 tahun silam, kaum muda saat ini kian terjebak dalam perebutan ladang kekuasaan ekonomi-politik. Bukti ini kian nyata ketika dua arus besar tampak kian kuat menyergap gerakan politik kaum muda: distorsi makna gerakan pemuda dan jebakan kooptasi kekuasaan.

Gerakan pemuda mengalami distorsi luar biasa. Pertama, pemuda sebagai entitas pergerakan pada masa era pra-kemerdekaan tampak makin tergantikan oleh mahasiswa. Pada era pra-kemerdekaan, identitas pemuda lebih dominan sebagai representasi kaum pergerakan dibandingkan identitas mahasiswa. Padahal, masa itu banyak tokoh pergerakan adalah kalangan mahasiswa, baik yang studi di Indonesia (Jakarta dan Bandung) maupun di luar negeri (Belanda).

Pada masa itu juga tak ada pemilahan antara mahasiswa dan pemuda (Anderson, 1988). Keberadaan mereka menyatu secara egaliter dengan para tokoh pergerakan lain yang tak lagi berstatus mahasiswa. Identitas sebagai gerakan pemuda lebih menonjol dibandingkan identitas mereka sebagai mahasiswa.

Kedua, gerakan pemuda masa pra-kemerdekaan dibangun atas kesadaran perjuangan untuk mewujudkan imaji negara-bangsa baru (Indonesia). Aspek kesukarelaan, kebersamaan, egalitarianisme, kolektivitas, dan dedikasi lebih menonjol. Pasca-1945 hingga kini, gerakan pemuda lebih didominasi sebagai arena untuk �berebut jatah kekuasaan�. Karena itu, tidak heran jika gerakan pemuda era 1950-an secara instrumental dimanfaatkan oleh kekuatan parpol dan pasca-1966 tampak begitu lengket dengan kekuasaan Orde Baru.

Ketiga, gerakan pemuda kian mengalami arus birokratisasi kekuasaan. Sejak era Orde Baru, bahkan pasca-Reformasi, birokratisasi gerakan pemuda tampak kian menguat. Akibatnya, gerakan pemuda tak lagi mencerminkan entitas dirinya yang berbasis nilai-nilai egalitarian, kesukarelaan, dan kebersamaan. Secara eksternal, birokratisasi ini kian menjamur seiring kooptasi kekuasaan Orde Baru dan pasca-Reformasi birokratisasi bahkan terjadi mulai dari pusat hingga daerah. Kita dapat melihat bagaimana gerakan pemuda kian bergantung pada kekuasaan dan terus �menyusu� kepada pemerintah (pusat dan daerah).

Kooptasi kekuasaan

Arus kooptasi kekuasaan sudah terjadi sejak generasi kaum muda Angkatan 1966. Kendatipun kaum muda Angkatan 1966 mampu jadi kekuatan perubahan dan mampu menumbangkan rezim Orde Lama, keberadaannya ternyata tak lepas dari arus depolitisasi kekuasaan. Bahkan, pasca-1970-an, gerakan politik kaum muda mengalami arus depolitisasi luar biasa.

Diskursus kebangsaan yang lekat dalam kehidupan kaum muda kian menipis, tergeser diskursus pembangunanisme Orde Baru. Ideologi pembangunan yang dianut Orde Baru menjadikan kaum muda sebagai agen perubahan. Tak hanya itu, sejumlah aktivis muda pun jadi mesin ekonomi-politik dari kekuasaan Orde Baru. Sejumlah elite pemuda pun jadi anak emas Orde Baru, mendapatkan ruang kekuasaan politik, dan punya akses sumber daya ekonomi luar biasa.

Puncak perubahan itu terjadi ketika gerakan mahasiswa berkontribusi besar dalam menurunkan rezim Orde Baru. Sebagaimana peristiwa 1966, sejumlah nama aktivis pemuda pun populer dan berinteraksi dengan jaringan elite yang mewarisi puing-puing rezim Orde Baru. Pola lama kembali terulang: sejumlah aktivis pemuda kembali bermain dalam kontestasi kekuasaan ekonomi dan politik.

Pemilu 1999, 2004, dan 2009 menjadi ajang pentas sebagian aktivis kaum muda. Beberapa di antaranya terpilih dalam lembaga legislatif. Sebagian kecil lainnya duduk di eksekutif. Selain itu, sejumlah aktivis kaum muda pasca-Reformasi juga ramai berebut dalam lembaga extra state body yang terbentuk sejak 2002.

Pola gerakan kaum muda pasca-1966 dan pasca-1998 tampak jelas menuju pada pusaran arus yang sama, yaitu kooptasi kekuasaan dan menjadi bagian dari proses �penguasaan�.

Butuh penyegaran

Indonesia lahir tidak lepas dari kiprah kaum muda. Namun, yang harus diingat, Indonesia juga bisa �tenggelam� oleh tangan- tangan serakah kaum muda. Karena itu, kita membutuhkan penyegaran gerakan pemuda.

Pertama, narasi gerakan kaum muda perlu direformasi total. Adalah sangat ironis, sebagai bagian dari reformasi, kaum muda justru gagal mereformasi narasi gerakan kebangsaan yang diwariskan oleh para pendahulunya.

Di sini, kaum muda harus mampu mengembalikan kesadaran gerakannya dengan cara membangkitkan, menjaga, dan menyemaikan nilai-nilai kenegaraan dan kebangsaan dalam berbagai bidang kehidupan. Karena itu, butuh kesadaran kolektif kaum muda untuk melawan setiap bentuk �perampokan� ataupun �pembiaran perampokan� sumber-sumber kekuasaan negara yang dilakukan oleh siapa pun.

Kedua, gerakan politik kaum muda harus mampu melawan berbagai bentuk kooptasi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh kekuatan politik kartel, oligarki, dan dinasti politik. Agenda ini sebenarnya memungkinkan jika kaum muda mampu membangun solidaritas dan kesadaran kolektif secara masif, bukan sebaliknya terjebak untuk menyelamatkan kepentingan personal dan kelompoknya.

Umar Syadat Hasibuan, DOSEN IPDN

Pembangunan Papua Buat Siapa?

Ikrar Nusa Bhakti

Papua masih tetap merupakan �Tanah yang Dilupakan�. Ia baru diingat ketika suatu gejolak politik yang disebabkan faktor-faktor dari luar atau dalam terjadi di wilayah itu. Ini bukan saja terjadi pada era kolonial Belanda, melainkan juga pada era Indonesia.

Tengok, misalnya, bagaimana Residen Hollandia saat itu, JPK van Eechoud, mempercepat pembangunan ekonomi dan politik di Papua pada akhir 1950-an sampai awal 1960-an agar Indonesia kesulitan mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Belanda menggelontorkan jutaan gulden untuk mempercepat pembangunan di Papua, Batalyon Papua dibentuk, orang Papua diberi kedudukan pada birokrasi rendahan, partai politik dibangun, dan Dewan New Guinea (DNG) juga dibentuk pada 1 April 1961.

Bahkan, Van Eechoud membolehkan tokoh DNG membuat �Manifesto Politik� pada 1 Desember 1961. Isinya soal penaikan bendera Bintang Kejora setingkat di bawah bendera Belanda, lagu �Hai Tanahku Papua� boleh dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda, �Wilhelmus�. Burung mambruk pun jadi lambang Papua. Intinya, Belanda ingin Netherlands Nieuw Guinea tetap ada di genggamannya.

Dalam kadar yang berbeda, kebijakan Pemerintah Indonesia juga sama saja dengan apa yang dilakukan Belanda. Papuanisasi birokrasi pemerintahan di Papua baru dilakukan secara besar-besaran sejak reformasi bergulir pada 1998, untuk meredam gejolak politik yang menuntut referendum kemerdekaan Papua pada saat itu. Padahal, di era Orde Baru, proses Irianisasi birokrasi pemerintahan berjalan lamban karena khawatir, jika putra daerah mendominasi birokrasi pemerintahan, bisa-bisa orang Irian minta merdeka.

Kebijakan lipstik

Kebijakan pemerintah mengenai Papua terasa membingungkan, tak konsisten, dan sekadar gincu (lipstik) pemanis bibir. Kompas (27/10) secara gamblang sudah mengungkap berbagai kebijakan empat presiden RI soal Papua pasca-jatuhnya Soeharto: dari era BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, sampai Susilo Bambang Yudhoyono. Contoh yang paling konkret adalah kebijakan untuk memberikan otonomi khusus kepada Papua dan pemekaran daerah.

Tanpa persiapan matang mengenai penataan dan perekrutan birokrasi di Irian Jaya, juga tanpa konsultasi dengan DPRD Irian Jaya, pemerintahan Habibie tiba-tiba menerbitkan UU No 45/1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat pada 4 Oktober 1999. Ini disusul penerbitan Dekrit Nomor 327/1999 yang mengangkat Gubernur Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat pada 5 Oktober 1999. Karena ditentang oleh DPRD Irian Jaya, UU No 45/1999 ditunda pelaksanaannya dan dekrit dicabut.

Presiden Abdurrahman Wahid adalah presiden RI yang paling dikenang tokoh dan masyarakat Papua karena pendekatan politiknya yang manusiawi atas persoalan Irian Jaya. Ia tidak hanya mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua, mengawali dialog menuju otonomi khusus Papua, mengesampingkan pendekatan militeristik, tetapi juga membolehkan Bintang Kejora jadi lambang Papua.

Di era Megawati, UU No 21/2001 mengenai Otonomi Khusus Papua disetujui. Namun, kurang dari dua tahun, terbit pula Inpres No 1/2003 tentang Percepatan Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat. Tujuh bulan kemudian, hanya Provinsi Irian Jaya Barat yang dibentuk, Irian Jaya Tengah ditunda karena mendapatkan penolakan dan perlawanan dari masyarakat Papua. Hal lain di era Megawati, kekerasan terhadap tokoh- tokoh Papua dan penjeblosan ke penjara bagi mereka yang menyuarakan Papua Merdeka terjadi kembali.

Di era Yudhoyono, kekerasan aparat terhadap orang Papua secara masif kembali terjadi seperti di era Orde Baru. Apa yang dilakukan aparat terhadap mereka yang kebetulan berbeda pandangan politik begitu brutal dan keji. Aparat lebih menunjukkan kelakuan sebagai tentara penjajah ketimbang kekuatan yang ingin merangkul sesama anak bangsa yang berbeda warna kulit dan rambutnya agar tetap berada dalam NKRI. Persepsi aparat terhadap aktivis Papua belum berubah, yakni memandang mereka sebagai pemberontak atau separatis yang harus dilibas atau dihabisi. Contoh konkret adalah bagaimana mereka menangani aktivis yang hadir di Kongres Rakyat Papua III.

Aparat militer dan polisi sudah pasti tahu bahwa Kongres Rakyat Papua III di Lapangan Zakheus, Abepura, 17-19 Oktober 2011, akan berakhir dengan deklarasi politik mengenai kemerdekaan Papua. Ternyata aparat melakukan penyerangan setelah dua jam kongres itu selesai dan bukan mencegahnya ketika kongres itu dimulai. Tiga korban jiwa yang ditemukan di belakang markas korem, semua dalam kondisi yang amat mengenaskan.

Diskriminasi politik

Di era Yudhoyono pula pemerintah mengeluarkan kebijakan berbau diskriminasi politik sekaligus menafikan UU Otonomi Khusus Papua. Tengok aturan mengenai calon anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) yang mengharamkan mantan aktivis politik pro-kemerdekaan jadi calon anggota MRP, sementara bakal calon gubernur Papua atau Papua Barat boleh mantan narapidana politik. Mengapa pemerintah tak mau merangkul aktivis kemerdekaan Papua seperti pemerintah merangkul aktivis Gerakan Aceh Merdeka?

Tengok pula inpres percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat yang dikeluarkan pada 2007, yang kini diperbarui melalui Perpres No 65/2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Sebagai pelaksanaannya, dibuat Perpres No 66/2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua perpres itu dikeluarkan pada 20 September 2011, tetapi baru diumumkan kepada publik saat Papua sedang bergolak. Perpres itu dilengkapi dokumen rinci mengenai Rencana Aksi yang Bersifat Cepat Terwujud Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2011-2012.
Jika kita analisis substansinya, mana mungkin membangun Papua hanya melalui rencana aksi setahun. Selain itu, perpres itu juga menafikan keberadaan pemerintahan Provinsi Papua dan Papua Barat beserta jajaran di kabupaten/kota. Bagaimana mungkin pula pemerintah pusat bicara �percepatan pembangunan� tanpa melakukan evaluasi mendasar atas pelaksanaan otonomi khusus Papua dalam kurun waktu 2002-2011.

Apabila segala rencana pembangunan Papua dan Papua Barat dilakukan unit kerja yang dipimpin oleh Bambang Dharmono tersebut, kita patut bertanya: pembangunan di Papua untuk apa dan untuk siapa? Mengapa pemerintah tak mau membantu perjuangan para anak bangsa yang bekerja di PT Freeport Indonesia agar mendapatkan upah yang layak? Kapan renegosiasi kontrak karya Freeport dimulai agar pemerintah dan rakyat Indonesia di tanah Papua mendapat keadilan dari pendapatan perusahaan tambang tersebut. Suatu hal yang aneh, Freeport mengeruk kekayaan emas, tembaga, perak, dan mineral berharga lainnya, tapi hanya dikenai pajak 1 persen. Itu pun dianggap galian C, setara dengan batu dan pasir!

Inilah nasib negeri yang konyol karena pemerintahnya lebih menyerupai �komprador asing� ketimbang pembela kepentingan nasional dan anak-anak bangsa.

Ikrar Nusa Bhakti, PROFESOR RISET LIPI

Mengevaluasi Sistem Pemilu

Ramlan Surbakti

Diperlukan parameter atau kriteria untuk mengevaluasi suatu sistem pemilihan umum. Berikut 10 parameter untuk mengevaluasi sistem pemilihan umum anggota DPR dan DPRD yang diberlakukan pada Pemilu 2009.

Pertama, menjamin kedaulatan rakyat, baik dalam penentuan calon dalam setiap partai politik peserta pemilu (P4) maupun dalam proses penyelenggaraan pemilu. Kedaulatan pemilih pada Pemilu 2009 menurun secara signifikan jika dibandingkan Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.

Data Pemilu 2009 berikut menunjukkan hal itu: (a) anggota partai tak ikut dalam menentukan calon anggota DPR dan DPRD; (b) jumlah WNI berhak memilih tak terdaftar dalam DPT sekitar 15 persen (26 juta lebih); (c) jumlah pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilih 30 persen (lebih dari 51 juta); (d) jumlah suara tidak sah 14,41 persen (16 juta lebih); dan (e) akses pemilih memengaruhi penjabat terpilih sangat terbatas.

Kedua, peran parpol dalam pemilu harus lebih besar daripada sekadar mengajukan daftar calon. Hal ini dapat disimpulkan dari membandingkan peran partai sebagai peserta pemilu anggota DPR dan DPRD dengan peran partai bukan sebagai peserta, melainkan hanya mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu presiden dan wakil presiden. Pada Pemilu 2009, bukan persaingan di antara parpol peserta pemilu, melainkan persaingan antarcalon dari partai yang sama di daerah pemilihan yang sama.

Janji program calon lebih mengedepan daripada visi, misi, dan program partai sebagai materi kampanye. Calon juga lebih aktif dan lebih banyak mengeluarkan dana daripada partai. Calon mengambil alih peran partai sebagai peserta pemilu.

Parameter ketiga, sistem kepartaian yang hendak diwujudkan, yaitu sistem kepartaian pluralisme moderat (sistem multi- partai sederhana). Sistem kepartaian pluralisme moderat masih jauh dari harapan. Jumlah P4 yang terlalu banyak merugikan pemilih karena suara pemilih terpencar ke banyak partai. Selain itu, parpol tak hanya belum dikelola sebagai badan publik, tetapi malah dikelola secara sentralistik, oligarkik, bahkan personalistik. Kegiatan parpol lebih fokus pada power seeking, baik di dalam partai maupun dalam pemerintahan daripada policy seeking sesuai aspirasi konstituen dan ideologi partai. Kepercayaan pemilih kepada partai juga menurun dari pemilu ke pemilu karena pemilih beralih ke partai lain.

Prinsip kesetaraan

Parameter keempat, menjamin keseimbangan sistem representasi penduduk berdasarkan prinsip �kesetaraan perwakilan� (Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945) dengan sistem representasi daerah berdasarkan kesetaraan daerah (Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945). Kenyataan menunjukkan, pembagian kursi DPR kepada provinsi belum menjamin keseimbangan sistem representasi penduduk berdasarkan kesetaraan kedudukan warga negara dengan sistem representasi daerah berdasarkan kesetaraan daerah. Ketakadilan itu terjadi tidak saja karena �harga� satu kursi di provinsi luar Jawa lebih tinggi daripada harga satu kursi di Jawa, juga harga satu kursi antarprovinsi di luar Jawa berbeda secara sangat signifikan.

Kelima, menjamin keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas lain di DPR dan DPRD. Amar putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 214 secara faktual juga merupakan pembatalan Pasal 55 Ayat (1) dan (2) yang berisi mekanisme menjamin keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD. Peningkatan keterwakilan perempuan di DPR dari 12 menjadi 18 persen pada Pemilu 2009 terjadi karena mayoritas pemilih cenderung memberikan suara kepada calon yang menempati nomor urut kecil (1, 2, atau 3).

Parameter keenam berisi tiga hal. Pertama, menggunakan metode pembagian kursi yang adil dalam arti setiap parpol mendapatkan kursi proporsional dengan jumlah suara sah yang diperolehnya. Kedua, tata cara penetapan calon terpilih harus konsisten dengan siapa yang jadi peserta pemilu dan dengan pola pencalonan. Kalau partai sebagai peserta pemilu, pola pencalonan sewajarnya berdasarkan nomor urut. Kalau pola pencalonan berdasarkan sistem daftar (nomor urut), penetapan calon terpilih sudah semestinya berdasarkan nomor urut. Ketiga, menggunakan sistem pemilu yang: (a) tidak beri insentif bagi calon, pemilih, dan pelaksana/penyelenggara pemilu untuk melakukan tindakan yang menyimpang; (b) tidak beri insentif bagi calon untuk melakukan tindakan menyimpang terhadap UUD yang menempatkan partai sebagai peserta pemilu; dan (c) tidak menimbulkan biaya kampanye pemilu yang berlebihan.

Apa yang terjadi pada Pemilu 2009 belum sesuai dengan parameter ini. Metode pembagian kursi setiap daerah pemilihan (dapil) tidak hanya kurang adil (belum menjamin proporsionalitas), khususnya dalam pembagian sisa kursi, juga sangat kompleks, khususnya pembagian sisa kursi DPR di provinsi yang terdiri lebih dari satu dapil. Tata cara penetapan calon terpilih yang diterapkan bukan berdasarkan nomor urut, melainkan berdasarkan urutan suara terbanyak.

Penerapan tata cara penetapan calon terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak telah menimbulkan sejumlah dampak negatif, di antaranya ketaksesuaian antara cara anggota DPR/DPRD terpilih dan model pengambilan keputusan yang diadopsi DPR/DPRD. Kalau model pengambilan keputusan yang diadopsi di DPR/DPRD lebih menempatkan fraksi (atas nama partai) sebagai pembuat kata akhir, hal itu masuk akal karena UUD memang menugaskan partai sebagai peserta pemilu dan pengajuan calon anggota yang digunakan dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 memang mengikuti sistem daftar. Kalau cara anggota DPR/DPRD terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak, model pembuatan keputusan di DPR/DPRD seharusnya juga berdasarkan suara terbanyak.

Akan tetapi, kalau cara anggota DPR dan DPRD terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak, dan model pengambilan keputusan di DPR dan DPRD berdasarkan suara terbanyak, yang menjadi peserta pemilu anggota DPR dan DPRD bukan partai politik, melainkan calon anggota DPR dan DPRD. Kalau kecenderungan ini dilanjutkan, tak saja akan bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945, tetapi juga segala upaya menyederhanakan jumlah partai politik akan gagal karena dalam satu partai akan muncul banyak �partai� (berupa anggota DPR atau kelompok anggota DPR).

Parameter ketujuh, sistem perwakilan rakyat (DPR dan DPRD) terdiri atas dua koalisi partai yang bersaing secara sehat dan adil demi kepentingan bangsa, yaitu koalisi dua-tiga partai yang memenangi pemilu jadi koalisi yang memerintah, dan koalisi dua atau tiga partai yang kalah dalam pemilu menjadi koalisi oposisi. Akan tetapi, dua koalisi seperti ini hanya akan solid dan efektif apabila anggota DPR dan DPRD patuh kepada kebijakan partai masing-masing setelah partai mendengarkan masukan dari anggota fraksinya.

DPR dan DPRD hasil Pemilu 2009 terdiri atas banyak partai dengan komposisi perolehan kursi relatif seimbang. Akibatnya, interaksi antarpartai lebih bersifat kolutif (kartel, bancakan) demi kepentingan elite partai daripada bersifat kompetitif demi konstituen dan bangsa. Pemilu belum berhasil menghasilkan DPR dan DPRD yang terdiri atas dua koalisi partai politik.

Parameter kedelapan, menghasilkan pemerintahan presidensial yang efektif karena presiden mendapatkan dukungan yang solid dari DPR, yaitu dari anggota DPR yang berasal dari mitra koalisi partai yang mencalonkan presiden dan wakil presiden. Begitu pun di tingkat pemerintahan daerah. Efektivitas pemerintahan seperti ini diperlukan agar demokrasi tidak hanya berarti pemerintahan milik rakyat dan oleh rakyat, tetapi juga demi kesejahteraan rakyat.

Belum efektif

Namun, yang terjadi belum seperti yang diharapkan. Baik pemerintahan presidensial maupun pemerintahan daerah belum efektif untuk membuat dan mewujudkan kehendak rakyat. Pemerintahan presidensial dan pemerintahan daerah yang kurang efektif tidak hanya karena faktor kepemimpinan, tetapi terutama karena kepala pemerintahan tak mendapatkan dukungan solid dari DPR/DPRD. Dukungan solid tidak diperoleh tidak hanya karena terlalu banyak partai di DPR dan DPRD, juga karena terjadi �pemerintahan terbelah�, yaitu kepala pemerintahan dipegang Partai A, tetapi DPR/D dipegang Partai A, B, C, D, dan sebagainya.

Kesembilan, sistem pemilu yang cukup sederhana untuk dipahami dan diterapkan oleh pemilih �awam� pada umumnya sehingga para pemilih mengontrol apa yang dilakukannya. Sistem pemilu anggota DPR dan DPRD masih menjadi sistem pemilihan umum yang paling kompleks (jumlah P4 sebanyak 38, jumlah calon antara 152 calon untuk dapil terkecil dan 532 calon untuk dapil terbesar, serta metode pembagian sisa kursi DPR yang rumit) sehingga sukar dipahami dan dikontrol oleh pemilih. Sistem pemilu yang sangat kompleks seperti ini tidak menguntungkan pemilih, sebaliknya lebih menjamin kepentingan partai/calon memperoleh kursi.

Parameter kesepuluh, pengaturan sistem pemilu mengandung kepastian hukum. Kalau dirumuskan dalam bahasa negatif, ia tak mengandung: kekosongan hukum, ketidakkonsistenan antarketentuan, ketentuan multitafsir, dan ketentuan yang tak dapat dilaksanakan. Dengan begitu, peserta pemilu bersaing menurut ketentuan yang sama sekaligus proses penyelenggaraan pemilu bersifat dapat diprediksi oleh dan bagi semua pemangku kepentingan.

Penyelenggaraan Pemilu 2009 lemah dari segi kepastian hukum, baik karena UU Nomor 10 Tahun 2008 (lebih buruk daripada UU No 3/1999 untuk Pemilu 1999 dan UU No 12/2003 untuk Pemilu 2004) sehingga termasuk UU yang paling banyak digugat di MK ataupun karena kelemahan dalam peraturan pelaksanaan yang dibuat dan dilaksanakan oleh KPU.

Ramlan Surbekti, Guru Besar FISIP Universitas Airlangga

Selasa, 01 November 2011

Kapital Intelektual

Satryo Soemantri Brojonegoro

Akhir-akhir ini ramai dipersoalkan mengenai remunerasi peneliti utama atau peneliti senior (penulis belum menggunakan istilah profesor riset) yang lebih rendah daripada guru sekolah dasar.
Pembandingan juga dilakukan di mana penghasilan guru besar di perguruan tinggi jauh melebihi peneliti utama. Belum lagi jika dibandingkan dengan peneliti di negara maju, remunerasi peneliti kita tampak semakin kecil.

Profesor riset, nomenklatur yang digunakan oleh peneliti yang telah mencapai tingkatan tertinggi, sejujurnya merupakan sebutan yang dipaksakan dalam sistem jabatan fungsional di pemerintahan ini. Nomenklatur tersebut sengaja dibuat supaya peneliti memperoleh tunjangan tambahan yang setara dengan tunjangan guru besar di perguruan tinggi.

Tunjangan guru besar telah lama ada dalam sistem penganggaran pemerintah, sedangkan tunjangan profesor riset baru diadakan sejak tahun 2005. Sebenarnya, bagi peneliti sudah ada tunjangan ahli peneliti utama untuk mereka yang mencapai tingkatan tertinggi dalam bidang penelitian, tetapi besarannya lebih kecil daripada tunjangan guru besar. Itulah sebabnya nomenklatur profesor riset diadakan.

Profesor riset dan guru SD

Ternyata meskipun sudah ada profesor riset, pendapatan para peneliti masih rendah, bahkan lebih rendah daripada guru SD. Pembandingan ini mudah-mudahan tidak mengganggu para guru SD yang berdedikasi tinggi karena terkesan bahwa guru SD lebih rendah statusnya daripada para peneliti, di mana peneliti tidak dapat menerima kenyataan bahwa pendapatannya di bawah guru SD.

Keliru sekali apabila peneliti dibandingkan dengan guru SD ataupun dengan guru besar di perguruan tinggi. Kita tidak selayaknya membandingkan profesi tertentu dengan profesi lainnya karena sejatinya tidak ada profesi yang lebih rendah atau lebih tinggi statusnya. Setiap profesi mempunyai ruang lingkup dan tanggung jawab cakupannya masing-masing. Setiap profesi mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan masyarakat dan negara.

Pemahaman masyarakat terhadap profesi peneliti juga belum utuh. Pemerintah pun bahkan belum seutuhnya paham mengenai profesi peneliti sehingga cara pemberian remunerasinya disamakan dengan struktur gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil (PNS) pada umumnya. Memang itu cara yang paling mudah dan aman bagi pemerintah. Selain sesuai dengan undang-undang yang berlaku, juga mudah diaudit oleh pemeriksa.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sistem penggajian PNS tidak mengenal prestasi dan kinerja. Artinya, profesi apa pun akan sama gajinya selama golongannya sama. Selain itu, dalam sistem ini mereka yang rajin dan berprestasi juga mendapatkan gaji yang sama dengan mereka yang malas dan tanpa kinerja asalkan golongannya sama.

Pendek kata, sistem penggajian PNS sangat melemahkan peningkatan kinerja birokrasi dan tidak mendorong orang untuk menekuni profesinya, tetapi mendorong orang untuk mencari jabatan dalam rangka naik golongan. Selama pemerintah masih menggunakan sistem penggajian yang ada selama ini, persoalan disparitas penghasilan akan selalu ada dan tidak akan terselesaikan. Oleh karena itu pula, para PNS akan selalu mengeluh dan protes karena pendapatannya rendah, termasuk para peneliti di lembaga pemerintah.

Penataan remunerasi

Reformasi harus dilakukan dalam penataan besaran remunerasi untuk setiap profesi yang ada di negara ini. Penetapan remunerasi tak semata-mata didasarkan pada kebutuhan pasar, tetapi harus didasarkan pada kemampuan profesi yang mumpuni.

Sangat tidak etis apabila peneliti dipersalahkan karena hasil penelitiannya hanya dalam bentuk publikasi dan tidak dapat digunakan oleh industri, bahkan peneliti disalahkan karena meneliti hanya untuk minatnya, lalu pemerintah terkesan membiarkan rendahnya remunerasi peneliti. Bahkan, perhatian pemerintah terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih sangat rendah tanpa ada kenaikan yang signifikan.
Pemerintah memang kurang peduli atau belum peduli terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi sebaliknya sangat peduli terhadap ekonomi dan keuangan. Padahal, negara akan maju jika peduli terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi karena diyakini sebagai motor penggerak kemajuan.

Bagaimana menata sistem yang tak menganggap peneliti lebih tinggi daripada guru SD? Bagaimana menata sistem yang tak menyalahkan peneliti yang hasilnya hanya berupa publikasi dan tak digunakan oleh industri?
Perlu ada konsep yang mampu menghitung atau menilai kapital intelektual yang terkandung dalam setiap individu ataupun institusi tempat individu tersebut bernaung. Besaran kapital intelektual itu kemudian digunakan untuk menakar kelayakan remunerasi, baik bagi institusi maupun individunya.

Dengan cara ini, remunerasi akan menjadi layak, terlepas dari apa pun profesinya; bisa lebih tinggi atau lebih rendah, bergantung pada kapital intelektualnya dan bukan karena status atau status sosialnya. Kapital intelektual tidak semata-mata ditera berdasarkan IQ atau intelegensinya, tetapi berdasarkan potensi menyeluruh yang ada dalam diri individu bersangkutan. Kapital intelektual akan memberikan nilai tambah sehingga kapital intelektual tersebut seyogianya terus ditingkatkan melalui pengembangan.

Dengan kapital intelektual, setiap profesi mempunyai takaran masing-masing sehingga tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi statusnya. Dengan kapital intelektual, peneliti tidak akan disalahkan karena hanya menghasilkan publikasi, bahkan akan dihargai meskipun belum ada hasil penelitiannya. Penelitian tidak selalu berhasil. Peraih Hadiah Nobel sekalipun baru berhasil setelah selama sekian tahun mengalami kegagalan.

Penganggaran lembaga riset ataupun perguruan tinggi, termasuk SD, akan memadai dan layak jika didasarkan kepada kapital intelektual yang dimiliki institusinya. Dengan demikian, pemborosan anggaran pemerintah dapat diminimalkan karena semua institusi mendapatkan anggaran yang proporsional.

Kapital intelektual merupakan tolok ukur potensi dan kinerja sekaligus sebagai tolok ukur audit oleh publik. Reformasi sistem remunerasi di semua lini, termasuk di pemerintah, seyogianya mengacu kepada kapital intelektual sehingga asa keadilan pun bisa tercapai.

Satryo Soemantri Brojonegoro, GURU BESAR ITB