Sabtu, 31 Agustus 2013

Kalasuba Setelah Pandora

Yudhistira ANM Massardi

Pandora adalah perempuan pertama yang diciptakan para dewa di Olimpus�diciptakan atas keinginan Mahadewa Jupiter yang marah�untuk diberikan kepada Prometeus di Bumi. Ini sebagai �hukuman� karena Prometeus telah mencuri api surga dan memakmurkan kehidupan di Bumi.

Prometeus yang waspada menolak pemberian Jupiter itu. Namun, saudara Prometeus, Epimeteus, dengan gembira menerimanya. Hingga suatu hari datanglah Merkurius ke rumah Pandora dan menitipkan sebuah peti kayu hitam sangat berat yang dililit rantai emas. Setelah Merkurius pergi, Pandora yang penasaran lalu membuka peti itu, dan dalam sekejap berhamburanlah sejumlah makhluk kecil bersayap penyebar segala macam penyakit, tabiat buruk, dan aneka kejahatan yang menjadi sumber bencana bagi umat manusia.

Analogi reformasi

Kisah kotak Pandora dari mitologi Yunani itu sedikit banyak bisa dianalogikan dengan proses reformasi politik kita yang pintunya terbuka pada 1998. Setelah itu, sepanjang 15 tahun ini, kita hanya menyaksikan maraknya aneka kejahatan, terutama korupsi yang menjadi sumber bencana bagi kelangsungan hidup republik ini.

Bulan Agustus ini, umur pemerintahan negara kita, jika diukur menurut kesempatan hidup manusia, sesungguhnya telah mencapai masa uzur dan sudah layak masuk liang kubur. Namun, pertumbuhan bangsa selama masa kemerdekaan ini ternyata tak bisa mencapai kesesuaian dengan tahap perkembangannya. Pertambahan umur tak seiring dengan pertumbuhan kedewasaan dan kematangan berbangsa-bernegara. Kita hanya mendapatkan umur, tanpa mendapatkan kearifan.

Reformasi hanya jadi sebuah guncangan besar (Fukuyama) yang menjebol dinding dan sekat-sekat yang sebelumnya dianggap mengungkung. Namun, kebebasan yang didapat hanya dimanfaatkan untuk menumpahkan aneka syahwat purba yang emosional, egoistis, gelap, dan destruktif. Seperti dikiaskan oleh sebuah ungkapan Melayu (Tengku Luckman Sinar): �Sekali air bah, sekali tepian berubah.�

Kejahatan korupsi para pejabat negara dan aneka perbuatan destruktif para anggota masyarakat tak hanya telah membinasakan marwah, tetapi juga sekaligus modal sosial (Tocqueville, Weber, Putnam) yang dibutuhkan sebuah bangsa dan negara untuk membangun kekuatan diri. Sebagaimana dirumuskan James Coleman, modal sosial adalah �seperangkat sumber daya yang tertanam dalam hubungan keluarga dan organisasi sosial serta berguna untuk pengembangan kognitif atau sosial anak.� Namun, justru ulah para politisi dan birokrat di lembaga eksekutif-legislatif-yudikatif yang korup menghancurkannya.

Alhasil, keluarga-bangsa pun kehilangan teladan dan landasan moral bagi pengukuhan dan pewarisan norma-norma dan aturan bagi perilaku luhur dan kerja sama sesama warga negara. Kita terperangkap oleh arogansi sektoral, sektarian, dan primordial. Sebagian besar energi bangsa pun terkuras untuk hal-hal sepele, remeh-temeh, dangkal, dan bodoh.

Namun, sebagaimana yang ditunjukkan oleh telaah Fukuyama, setiap guncangan besar niscaya akan melalui proses alamiah penataan kembali, dari disordering ke reordering of the society. Setelah zaman Kalabendu akan datang zaman Kalasuba yang penuh harapan (Jayabaya, Ronggowarsito).

Kotak Pandora pun harus dibuka lebih lebar lagi. Itu karena Jupiter pun masih menyisakan cintanya kepada manusia dengan menempatkan makhluk-makhluk bernama �Harapan� di dasar kotak Pandora, untuk menyembuhkan aneka penyakit yang menyengsarakan.

Kita yang hidup di zaman kini patut bersyukur terhadap perkembangan teknologi informasi yang memberikan kemudahan dan kecepatan berkomunikasi melalui internet dan jejaring media sosial. Selain memberikan dampak negatif bagi runtuhnya hegemoni lembaga-lembaga (kekuasaan) formal dan menyuburkan lahan bagi aneka bentuk pemberontakan, perlawanan, dan individualisme, kebebasan setiap orang untuk menyatakan pendapatnya pun berperan bagi pembentukan opini yang lebih lekas dan luas.

Dalam beberapa tahun terakhir, para pengguna media sosial tanpa harus merasa takut bisa dengan tegas dan keras menyatakan dukungan bagi kebaikan dan kutukan bagi kejahatan di lingkungannya. Dengan semua fasilitas yang tersedia, tiap warga negara secara spontan dan tanpa tekanan telah bersama-sama membangun kembali modal sosial yang dirusak para aparatur negara, berlandaskan pada nilai-nilai luhur dari sejumlah agama serta norma-norma budaya tradisional yang diwariskan para leluhurnya. Itulah anugerah yang diberikan kemajuan teknologi kepada zaman ini. Itulah wadah baru bagi penguatan modal sosial setiap bangsa.

Kata kuncinya: budaya

Ada yang berpendapat, tanpa modal sosial tidak akan ada masyarakat sipil, dan tanpa masyarakat sipil tidak akan ada demokrasi yang berhasil. Dengan kata lain, kata kuncinya adalah budaya. Tanpa mengukuhkan (kembali) kekuatan budaya, tidak akan ada kemajuan yang bisa dicapai suatu bangsa. Hal itu karena modal sosial sesungguhnya adalah nilai-nilai yang ditumbuhkan sebuah kebudayaan. Kebudayaan adalah kumpulan hasil karya cipta, rasa, dan karsa manusia yang memperkaya dan menentukan tinggi-rendahnya sebuah peradaban.

Dalam hal ini, bangsa Melayu telah memberikan andil yang fundamental bagi jati diri bangsa Indonesia. Jadi, harus dikatakan, kebudayaan Melayu adalah salah satu modal sosial terbesar bangsa ini. Sudah saatnya Republik Indonesia berterima kasih kepada bangsa Melayu yang tidak hanya telah memberikan fondasi bagi bahasa Indonesia, tetapi juga telah memberikan pataka kejayaan pada masa silam melalui Kerajaan Sriwijaya di Palembang yang berkuasa hingga ke Burma dan Thailand; melalui Dinasti Sailendra di Jawa Tengah yang telah membangun Candi Borobudur, menyebarkan agama Hindu-Buddha, dan menjadi nenek moyang raja-raja di Tanah Jawa; serta leluhur bagi para sultan yang menyebarkan agama Islam di Nusantara.

Memperingati hari proklamasi kemerdekaan adalah memuliakan modal sosial, dan memuliakan modal sosial adalah menjunjung tinggi kebudayaan. Dengan begitu, sebagaimana dikiaskan dalam hikayat lama Melayu: �Maka negeri itu pun makmur sejahtera. Ramailah para saudagar datang ke bandar itu. Padi pun menguning, dan rakyat banyak bersukacita!�

Yudhistira ANM Massardi; Sastrawan

Senin, 26 Agustus 2013

Washington Post, Riwayatmu Kini

Ignatius Haryanto

Cukup mengejutkan, awal Agustus 2013 muncul pengumuman bahwa koran legendaris di AS, Washington Post, dibeli Jeff Bezos, bos Amazon.com, dengan nilai cukup fantastis, 250 juta dollar AS atau lebih kurang Rp 2,5 triliun.

Situs BBC menyebutkan, pembelian dilakukan atas kapasitas Bezos pribadi. Sebelum pembelian ini, keluarga Graham, salah satu keluarga terpandang di AS, telah memiliki koran ini selama sekitar 80 tahun. Menurut duo sejarawan pers AS, Michael Emery dan Edwin Emery (The Press and America: An Interpretive History of the Mass Media, 1988), Washington Post dibeli Eugene Meyer dari keluarga McLean pada tahun 1933. Meyer membeli The Post karena ingin di ibu kota AS ada koran yang memberikan suara berbeda dan lebih bernuansa intelektual. Pada 1946, Meyer menunjuk menantunya, Philip L Graham, memimpin The Post. Keluarga Graham memegang tampuk kepemimpinan koran ini selama 10 windu.

Katharine Graham, istri Philip, mengambil alih tampuk kepemimpinan The Post tahun 1963 menyusul tindakan tragis bunuh diri Philip. Katharine berhasil menunjukkan kualitas kepemimpinannya saat The Post berhadapan dengan dua kasus besar awal 1970-an: kasus Pentagon Papers dan kasus Watergate, yang mendorong mundurnya Richard Nixon. Nixon mundur dari kursi kepresidenan akibat liputan investigasi dua wartawan The Post: Bob Woodward dan Carl Bernstein, yang menggambarkan kecurangan penyadapan terhadap kantor Partai Demokrat menjelang pemilu. Liputan ini meraih Pulitzer pada 1975.

Peralihan kepemilikan Washington Post kepada Bezos ini menambah daftar panjang penjualan sejumlah media cetak di Amerika kepada pemilik baru. Sidney Harman�pengusaha peralatan audio�yang membeli majalah Newsweek tahun 2010; Chris Hughes pendiri Facebook membeli majalah New Republic tahun 2012; dan John Henry, seorang investor hedge fund dan pemilik Boston Red Sox,
membeli koran Boston Globe Juli 2013 (sumber: BBC News Magazine). Apakah pemilik baru ini akan mengubah total isi media cetak sebelumnya? Kita harus melihat perkembangannya.

Tanda-tanda kemunduran

Sebenarnya perpindahan kepemilikan The Post sudah bisa diperkirakan sejak sejumlah koran besar di Amerika tutup ataupun beralih kepemilikan setelah krisis ekonomi di AS yang membuat jumlah pengiklan surat kabar menurun drastis. Di lain pihak, kian berkembangnya media online juga turut memperparah kondisi Washington Post.

Dave Kindred, dalam buku Morning Miracle: Inside the Washington Post: A Great Newspaper Fights for Its Life (2010), telah menunjukkan tanda-tanda koran legendaris ini menuju kematiannya. Buku ini memaparkan kejayaan masa lalu koran di wilayah timur AS ini sembari menggerutu mengapa koran sebesar ini harus takluk dengan roda sejarah yang seolah tak memihak mereka. Wartawan veteran The Post, Gene Weingarten, yang menjadi narasumber Kindred menyebutkan, �Buku yang kamu tulis ini adalah kisah tentang sebuah surat kabar besar yang menuju kematiannya, tetapi ia mati secara terhormat.�

Donald Graham, mewakili pemilik lama The Post, awal Agustus 2013, mengatakan, mereka akhirnya rela melepaskan kepemilikan The Post sembari berharap pemilik baru akan melakukan perbaikan demi kemajuan koran itu. Graham memuji Bezos yang dianggap genius dalam bisnis media masa kini dan keahliannya sudah terbukti.

Banyak reaksi terhadap pembelian Bezos atas Washington Post. Tara Mc Kelvey dari BBC News Magazine mengatakan, Bezos tengah berjudi dengan nilai 250 juta dollar AS dan berjudi terhadap media yang dianggap kuno (old media), sementara yang sedang naik daun adalah media-media online yang dianggap sebagai media baru (new media). Sebelumnya The Post, yang juga memiliki Newsweek, telah melepas kepemilikannya tiga tahun lalu kepada Sidney Harman. Menurut Alliance for Audited Media, lembaga audit sirkulasi koran di AS, koran Washington Post adalah koran ketujuh terpopuler di AS dengan total sirkulasi 474.767 kopi per hari.

Pihak yang cukup optimistis dengan pengambilalihan ini juga tak sedikit. Banyak yang memuji langkah penjualan The Post kepada Bezos. Jim Brady, mantan Redaktur Pelaksana thewashingtonpost.com, tak menduga The Post akan dijual kepada Bezos. Sementara ia sendiri merasa eksperimen yang ia lakukan pada media online-nya tak sia-sia, �Namun, mungkin dengan Bezos, ia akan mempercepat proses transisi dari media cetak ke media digital.� Jeff Jarvis, penulis buku Google, juga memuji tindakan Bezos yang hendak menyelamatkan salah satu institusi besar di AS. Namun, ia menyelipkan pandangannya bahwa mungkin saja Bezos tengah melakukan tindakan filantropi dengan langkah ini. Jarvis berharap masuknya Bezos akan mulus membawa The Post memasuki era pascamedia cetak.

Refleksi untuk Indonesia

Bisnis media di Indonesia saat ini belum sedramatis kondisi di AS. Pertumbuhan surat kabar di Indonesia memang melambat, tetapi pertumbuhan media lain (seperti televisi) masih berkembang meski belum sampai memaksa media tertentu gulung tikar. Memang transisi menuju media digital disadari para pengasuhnya di sana-sini, tetapi apakah betul sudah ditemukan model bisnis yang memadai untuk media online? Beberapa telah menemukan, tetapi banyak media lain yang masih kalang kabut menemukan formulanya.

Bukan tak mungkin kondisi di AS akan juga terjadi di Indonesia, entah berapa lama lagi. Tak bisa tidak, yang harus dilakukan adalah upaya menangkap esensi dari transisi menuju media digital ini. Media bentuk lama, seperti cetak, tetap ada, tetapi platform digital juga telah tersedia. Ini bukan semata soal memindahkan isi ke dalam format baru, tetapi juga terkait dengan cara bertutur atau cara menampilkan informasi yang harus juga menyesuaikan dengan kondisi baru.

Interaktivitas dengan pembaca, kedalaman informasi, tampilan visual yang menggugah, relevansi dengan kepentingan publik, dan independensi media adalah sebagian dari rumus yang perlu dirancang dan diterjemahkan secara spesifik buat media saat ini dan masa mendatang. Situasi ini tak perlu diratapi, tetapi harus dijawab dengan kerja keras untuk membuat media tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat masa kini dan masa mendatang sembari mengambil hikmah dari perkembangan yang telah lewat. Masa lalu, masa kini, dan masa mendatang memang terus saling berkaitan, termasuk bagi industri media dewasa ini.

Ignatius Haryanto, Peneliti Media di LSPP, Jakarta

Jumat, 23 Agustus 2013

Saat Warga Mengawasi Demokrasi

Airlangga Pribadi Kusman

John Keane, profesor politik dari Universitas Westminster, Inggris, dalam karyanya berjudul The Life and Death of Democracy (2009), menjelaskan sejarah panjang demokrasi sejak zaman Athena sampai era internet.

Hal yang menarik dari evolusi mutakhir sejarah demokrasi pada abad ke-21 adalah proses demokrasi ditandai dengan menguatnya tren baru yang disebut sebagai era monitory democracy. Sebuah era demokrasi dengan aktor utama adalah masyarakat sipil yang tidak hanya menjadi penonton, tetapi bekerja sebagai kekuatan vital yang mengontrol, mengawasi, dan mengepung seluruh lokus kekuasaan dan tatanan politik yang eksis.

Hal yang penting dari menguatnya tren monitory democracy adalah ia mentransformasikan secara progresif cara kita melihat kembali demokrasi elektoral dengan segenap perangkat institusionalnya, seperti pemilu, parlemen, dan partai politik. Timbulnya tren monitory democracy menepis anggapan skeptis yang melihat bahwa era baru yang berbasis material kemajuan teknologi informasi sebagai era penolakan atas model demokrasi representatif untuk kembali pada demokrasi langsung era Athena.

Melampaui anggapan skeptis di atas, zaman ini melahirkan bentuk-bentuk  power-monitoring (pengawasan atas kuasa) berbasis warga, baik yang terwujud dalam lembaga antikorupsi, lembaga pengawasan pemilu, lembaga pemantau parlemen, masyarakat transparansi, maupun bentuk gerakan sosial lain, yang tidak membiarkan elite politik membajak proses demokrasi menjadi berkarakter elitis dan korup.

Persoalan yang penting untuk dijawab terkait dengan tren monitory democracy yang bersifat lintas teritorial-geografis ini adalah makna penting perkembangan evolusi demokrasi ini bagi pemajuan demokrasi di Indonesia. Seperti diuraikan Jeffrey Winters (2011) dalam Oligarchy, Indonesia adalah contoh kasus bertakhtanya kaum elite oligarki. Mereka menguasai sumber daya ekonomi dan politik yang kuat dan sanggup menggunakannya untuk menghadang, membajak, dan menguasai institusi kelembagaan demokrasi dan ekonomi bagi kepentingan mereka.

Bahkan, seperti pernah diutarakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, arena politik elektoral tengah dikuasai oleh para konglomerat dan orang-orang super kaya. Selanjutnya, apa relevansi bagi transformasi demokrasi berbasis kebangkitan pemberdayaan warga bagi keadaan demokrasi di Indonesia yang tengah terbajak oleh belenggu kuasa oligarki dari tingkat nasional sampai lokal?

Tidak dibangun semalam

Sebuah perjuangan politik tentu bukanlah sebuah perjalanan yang akan menuai hasil dalam satu malam. Roma tidak dibangun dalam satu hari! Demikian pula dengan yang tengah terjadi di Indonesia.

Selain memberikan ruang bagi proses adaptasi kekuatan-kekuatan elite oligarki dan predatoris untuk menguasai arena politik, proses reformasi juga membangun ruang kesempatan politik bagi lahirnya inisiatif-inisiatif baru warga negara untuk mengawasi proses demokrasi yang masih berusia muda. Hidup dan matinya masa depan demokrasi Indonesia tengah dipertaruhkan dalam pertarungan di antara kekuatan-kekuatan lama yang ingin memanipulasi proses demokrasi dan tumbuhnya kekuatan baru yang menghidupi demokrasi dalam pemantauan pada seluruh tatanan politik.

Dalam konteks perkembangan proses demokrasi di Indonesia, agaknya optimisme kritis harus terus kita hidupkan. Di tengah masih tersanderanya kasus korupsi oleh belenggu elite predatoris, pemberantasan korupsi di Indonesia telah melahirkan lembaga swadaya masyarakat seperti Indonesia Corruption Watch yang berani membuka kasus-kasus korupsi dan bekerja sama dengan KPK. Lembaga-lembaga pengawasan transparansi juga memberikan sumbangan politik berarti tentang cara warga mengawasi anggaran-anggaran publik di setiap daerah. Juga lahirnya lembaga-lembaga sejenis yang menghidupkan kanal demokrasi Indonesia dari tingkat nasional hingga lokal.

Hal penting yang patut diapresiasi dalam pertarungan menegakkan demokrasi adalah di tingkat lokal. Setelah kemenangan Joko Widodo dan keberhasilan kekuatan warga untuk menjadikan pemimpin organiknya di Jakarta, fenomena terbukanya katup demokrasi di tingkat lokal juga tengah menyeruak di banyak tempat.

Hal yang terbaru adalah fenomena yang tengah berlangsung di Jawa Timur. Hal ini terkait dengan fenomena penghadangan atas kandidat Pemilihan Umum Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa-Herman S Sumawiredja, yang diduga sarat transaksi politik, memunculkan protes keras. Itu menyebar, baik dari kalangan intelektual, pemberitaan di media massa, gerakan sosial, maupun para pegiat media sosial, sebelum akhirnya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu mengembalikan hak pasangan itu menjadi kandidat. Semua fenomena ini membuka kembali optimisme kita akan proses demokrasi.

Beberapa capaian penting seiring mekarnya inisiatif-inisiatif, monitory democracy mesti ditopang prasyarat-prasyarat politik penting. Setidaknya ada dua penopang agar pengawasan warga berimbas ke rehabilitasi politik.

Pertama, tumbuh kembangnya monitory democracy di Indonesia harus berjalan seiring dengan kehadiran kepemimpinan yang kokoh dalam membela sendi-sendi demokrasi dan pengawasannya oleh kekuatan masyarakat sipil. Tanpa lahirnya kepemimpinan yang berpihak kepada demokrasi, sulit mengaktualisasikan perjuangan pengawasan demokrasi menjadi kebijakan yang berkarakter daulat rakyat.

Kedua, kekuatan masyarakat sipil yang mengawasi proses demokrasi juga harus memiliki mental baja. Mengingat begitu kuatnya belenggu oligarki yang membalut proses demokrasi kita, kekuatan-kekuatan berbasis publik ini juga harus memiliki karakter spartan yang tidak mudah terkooptasi oleh transaksi politik dan imbalan materiil, agar mendung politik yang menaungi bumi demokrasi kita berganti dan seperti diuraikan Ibu Kita Kartini, Door Duisternis Toot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang)!

Airlangga Pribadi Kusman, Pengajar Departemen Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

Rabu, 21 Agustus 2013

Makna 68 Tahun Merdeka

Ahmad Syafii Maarif

Bagi saya, kemerdekaan Tanah Air sejak 68 tahun yang lalu adalah sebuah gerbang utama untuk dilalui dalam upaya menjadi manusia penuh (full human). Di bawah sistem penjajahan, rakyat Nusantara diperlakukan sebagai separuh manusia, jika bukan malah sepertiga.

Bagi Indonesia secara keseluruhan, kemerdekaan adalah syarat utama untuk mengembangkan potensi kebangsaannya sejauh-jauhnya, sedahsyat-dahsyatnya, sedangkan pihak asing tak punya hak menghalanginya dalam proses dinamis dan kreatif itu. Akan tetapi karena berbagai kendala mental dan kultural, potensi Indonesia yang luar biasa itu ternyata tidak berjalan mulus untuk aktualisasi diri.

Anak udik dan kemerdekaan

Kita belum menemukan pemimpin puncak yang bebas sepenuhnya dari daftar �tetapi�. Apakah tahun Pemilu 2014 akan membuka pintu untuk menampilkan sosok pemimpin yang diharapkan itu? Tentu saja akan sangat bergantung pada calon- calon yang akan muncul ke panggung dan tingkat kecerdasan rakyat dalam menentukan pilihan. Demokrasi dalam teori adalah sistem politik untuk menghargai seorang warga sebagai manusia penuh.

Sebagai seorang anak udik di kawasan Bukit Barisan yang lahir 78 tahun silam, tanpa kemerdekaan pendidikan tertinggi saya barangkali hanyalah sampai pada tingkat sekolah rakyat (SR) di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Pada waktu itu satu-satunya SR yang tersedia untuk empat nagari: Unggan, Silantai, Sumpur Kudus, dan Mangganti.

Kemudian, dalam perjalanan waktu, tentu akan beranak pinak di nagari sempit dan miskin itu sebagai manusia terjajah yang tunacita-cita. Sekalipun pihak penjajah secara fisik belum tentu sampai ke sana karena harus melalui jalan setapak dengan berjalan kaki, atau paling-paling naik kuda. Penjajah mana pula yang mau berjibaku berkunjung ke kawasan tersuruk itu?

Berkat kemerdekaan, di Sumpur Kudus sekarang telah berdiri beberapa SD negeri, satu madrasah tsanawiyah (MTs) negeri, satu SMA negeri, dan dua puskesmas, sesuatu yang tak terbayangkan di era penjajahan. Jalan setapak sudah masuk ke masa silam, kuda beban dan kuda tunggang sudah lama menghilang, digantikan transportasi serba mesin dengan segala plus-minusnya. Anak muda biasa ugal- ugalan dengan kendaraan roda duanya, beberapa orang sudah tewas.

Dulu, jika mau ke pasar Kumanis yang jaraknya hanya 30 kilometer akan menghabiskan waktu tiga hari, pergi-pulang, sekarang hanya dalam hitungan jam. Dalam perjalanan ke pasar itu, sekali-sekali orang bertemu dengan harimau yang melintas. Sangat menakutkan. Sekarang, entah kenapa, raja hutan itu jarang muncul. Akibatnya, babi hutan sering merajalela sebab keberadaan predatornya sudah sangat langka. Sumpur Kudus sekarang sudah menjadi bagian dari modernisasi Indonesia dengan segala dampaknya.
Rahmat kemerdekaan itu semakin lengkap ketika, pada 2005, listrik telah menyala di nagari itu dan di nagari-nagari sekitarnya, berkat uluran tangan Herman Darnel Ibrahim, Direktur Produksi dan Transmisi PLN saat itu.

Bagi yang sigap menangkap peluang, keberadaan listrik bisa digunakan untuk keperluan berbagai usaha ekonomi yang menguntungkan. Akan tetapi karena sebagian besar penduduk tidak terlatih, hanya segelintir yang telah memanfaatkan aliran listrik itu di luar untuk penerangan.

Bukan main gembiranya masyarakat karena kampungnya telah terang benderang di waktu malam, seolah-olah Sumpur Kudus bagai kota kecil di tengah hutan. Sejak Desember 2010, nagari itu telah dipecah jadi dua: Sumpur Kudus dan Sumpur Kudus Selatan. Dua wali nagari, tetapi tetap satu dalam lembaga adat.
Sekali lagi, berkat kemerdekaan bangsa, segalanya menjadi berubah. Akan lebih hebat lagi sekiranya bangsa dan negara ini diurus para pemimpin yang tepat, jujur, dan tidak gila kuasa, jumlah desa tertinggal akan jauh mengecil.

Sumpur Kudus dan Indonesia

Dari sekitar 74.000 desa di Indonesia, 32.000 desa dalam kategori tertinggal, tersebar di 183 kabupaten dengan penduduk 57,5 juta. Dalam kaitannya dengan aliran listrik, ada sejumlah 10.211 desa yang belum kebagian, dan Sumpur Kudus sebelum tahun 2005 adalah salah satu di antaranya.

Karena tingginya angka desa tertinggal itu, sekitar 19 persen dari 250 juta penduduk Indonesia masih harus bergumul dengan segala macam masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang melekat pada kategori itu.
Di tengok dari kacamata ini, ternyata setelah 68 tahun Indonesia merdeka rakyat kita yang belum merasakan benar apa makna kemerdekaan itu masih berjibun bilangannya. Semestinya, ke depan, program untuk membebaskan Indonesia dari kategori desa tertinggal itu dijadikan prioritas utama.

Hanya para pemimpin yang negarawan sajalah yang bersedia melangkah ke arah pemberdayaan masyarakat secara tuntas. Elite bangsa yang hanya terpukau oleh �politik sebagai lahan ekonomi� tidak dapat diharapkan untuk diajak berpikir sejauh itu.

Jangkauan perhatian para elite bangsa semacam itu sangat terbatas. Sumpur Kudus sebagai bagian dari desa tertinggal di Indonesia, dengan listrik dan aspal sudah sedikit melampaui ribuan desa lain yang tetap saja hidup dalam serba penantian: �Kapan rahmat kemerdekaan itu mengalir ke kawasan desa mereka�.

Akhirnya, dengan berkibarnya Sang Sangka Merah Putih di seluruh Nusantara dan di kantor-kantor perwakilan kita di luar negeri dalam rangka peringatan 68 tahun kemerdekaan Indonesia, kita syukuri semua anugerah Tuhan ini dengan perasaan yang sangat dalam. Akan tetapi, di sisi lain, bidikkan pulalah perhatian kepada nasib ribuan desa tertinggal yang sedang menunggu uluran tangan negara dan kita semua. Merdeka!

Ahmad Syafii Maarif, Pendiri Maarif Institute

Kamis, 15 Agustus 2013

Hidup yang Kita Ringkus

Radhar Panca Dahana

Anak muda dua puluh tahunan itu sedang protes, menentang orang-orang tua yang dihargai dan dipanuti, karena mereka semua tetua adat suku Daya, Kalimantan Barat. Dalam skenario film dokumenter tersebut, sang anak muda menentang tetuanya yang coba mempertahankan tanah ulayat dari serbuan kapitalis.

Kita membutuhkan mereka, karena kami butuh jalan bagus, butuh rumah, sekolah, dan penghasilan untuk bertahan hidup,� begitu retorika sang anak muda. Para tetua hanya diam, mulut menggaris keras dan rapat, sekeras adat yang ribuan tahun mereka pelihara dan memelihara mereka.

Cerita semacam itu bisa dibilang klasik dalam sejarah suku-suku bangsa di negeri ini. Terus berlangsung sejak masa kolonial, kemerdekaan, hingga hari ini. Dalam konflik- yang dapat dikatakan�internal itu�ada pihak eksternal yang ikut �bermain�: negara, cqpemerintah. Inilah pihak yang seharusnya memiliki obligasi tertinggi untuk memahami, menyediakan sekian regulasi yang melindungi, tetapi malah ikut bersengketa.

Bila kemudian timbul keresahan dan kedukaan, tidakkah hasil yang menyedihkan itu indikasi bagi tidak terselenggaranya kerja dan tugas pemerintah? Begitu kacau dan karut- marutkah kerja pemerintah hingga banyak masalah menyeruak?

Bukankah indikasi serupa kita dapatkan ketika orang mudik Lebaran dengan sekian kesulitan di perjalanan? Lihatlah jalan-jalan utama di pantai utara Jawa dan selatan yang �wajib� rusak dan diperbaiki setiap tahunnya. Begitu pun lalu lintas yang kian kacau di hampir semua kota besar, kriminalitas yang meningkat, pasar-pasar yang tak kunjung tertata baik, korupsi, dan harga pangan yang melambung.

Apa yang dapat dibaca, kecuali indikasi yang sama, ketika seorang Presiden marah kepada para pembantunya karena harga cabai dan daging meroket? Ketika seorang Presiden mengetahui terjadinya bencana bukan dari pejabat teknis bawahannya, tetapi justru dari media? Berjalankah sistem di negeri ini?

Data dan fakta

Negeri kita kini, dengan pendapatan 3.000 dollar AS per kapita, jauh lebih tinggi dari 600-1.000 dollar AS pada era Orde Baru. Maka dengan logika sederhana, ada peningkatan minimal tiga kali lipatnya. Namun, kenyataannya justru kesenjangan ekonomi meninggi, yang ditunjukkan oleh koefisien Gini. Uang yang dihasilkan segenap keringat rakyat itu ternyata dinikmati hanya oleh 2 persen elite orang kaya. Selebihnya sama, bahkan lebih miskin daripada sebelumnya.

Lalu untuk apa setiap tahun rakyat menyerahkan uangnya hingga Rp 1.800 triliun sebagai modal eksekutif menyelenggarakan negara, kalau kenyataannya gagal memenuhi ekspektasi pemilik saham sebenarnya (rakyat)? Jika negeri ini sebuah perusahaan, eksekutif itu pasti dipecat. Inilah kenyataan miris APBN kita.
Modal sebesar itu harus dipotong setengahnya untuk overhead yang meningkat drastis dengan tumbuhnya institusi-institusi baru negara dan wilayah-wilayah administratif baru. Dari sisanya, separuh yang menjadi program di semua lembaga negara ternyata harus dipotong lagi 35-50 persen, untuk sedikit pajak dan kongkalikong manipulasi-korupsi di internal birokrasi bersama rekanan usahanya dalam proses tender.

Ini rahasia yang sesungguhnya bukan rahasia, karena semua pihak terlibat, termasuk para pejabat publik yang tutup mata seraya mengembangkan telapak tangan untuk menerima jatahnya. Dari sisa anggaran program yang hanya 50-60 persen, masih harus dipotong lagi untuk keuntungan pengusaha pemenang tender dan penyusutan nilai barang yang dikorupsi.

Maka dana yang bisa digunakan untuk mengerjakan program dan menjalankan pembangunan tinggal 30-40 persen. Artinya, hanya sekitar Rp 700 triliun dari Rp 1.800 triliun keringat rakyat yang kembali untuk kesejahteraan masyarakat. Itu pun harus diuji lagi kualitas fasilitas yang dihasilkan.

Akhirnya, dengan modal kerja terbatas, kualitas pemenang tender rendah, dan laporan hasil kerja yang berfokus hanya pada keuangan dan bukti fisik-administratif, setiap dana APBN yang dikucurkan merosot nilainya tinggal 20 persen saja sampai ke publik. Ini sangat mengenaskan, karut-marut, dan menyedihkan.

Bila karut-marut manajemen pemerintahan yang akut itu diperbaiki, sesungguhnya kita bisa melipatduakan angka pertumbuhan di atas, lebih dari bangsa mana pun. Tentu saja, kerja-kerja immaterial yang lunak harus lebih banyak ditunaikan. Mulai dari dilaksanakannya tertib regulasi/konstitusi, disiplin dan etika kerja, hingga perangkat-perangkat lunak yang menjadi dasar sistemik dari kerja pemerintah.

Diterima saja

Saat ini, semua mengamini situasi ini sebagai satu hal yang given: sebuah sistem dasar (cara kita hidup, bernegara, berekonomi, berhukum, dan berpolitik) yang justru meringkus hidup kita dalam pragmatisme hiper, di mana perjuangan dan ekspresi manusia hanya didedikasikan pada melulu pencapaian material yang berdimensi praktis.

Tak ada pengendapan, kontemplasi, apalagi transendensi yang menempatkan kerja (kebudayaan) kita dalam jangkauan ruang dan waktu yang lebih lapang. Hilanglah visi. Miskinlah kita akan pemimpin juga calon-calonnya yang visioner.

Kasus anak muda suku Daya yang berhadapan dengan para tetuanya, adalah gambaran dua pihak yang hidup dalam batas ruang dan waktu berbeda. Yang satu praktis dan pragmatis (hidup untuk hari ini), dan yang satu lagi visioner dan futuristik (hidup untuk menghidupi generasi nanti).

Bayangkanlah bila sebuah negara atau bangsa dikelola dengan pemahaman ontologis-kosmis sebagaimana anak muda di atas. Enam puluh delapan tahun umur republik kita, ternyata kita masih saja memfoya-foyakan waktu, energi, dan sumber daya, tanpa ingat anak dan cucu kita

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Selasa, 06 Agustus 2013

Mengendalikan Harga Sembako

Arif Budimanta 

Beberapa ibu datang kepada saya. Mereka mengeluhkan semua biaya hidup yang meroket luar biasa. �Harga sembako terus bergerak naik, belum lagi biaya transpor, sekolah anak, kontrak rumah. Kalau sampai ada yang sakit, biayanya mahal. Mana ini mau Lebaran lagi. Kami hanya bisa berdoa, tidak tahu lagi harus berbuat apa.�

Itulah fenomena yang dihadapi hampir semua rumah tangga di Indonesia saat ini. Anehnya pemerintah sepertinya tidak berdaya meredam �kekuatan� pasar. Suatu hal yang sungguh memprihatinkan karena kepentingan sekelompok pelaku pasar telah mengalahkan kepentingan rakyat (negara) dalam urusan pangan.

Data Badan Pusat Statistik (2012) menunjukkan, rata-rata pengeluaran rumah tangga di Indonesia untuk membeli bahan makanan adalah 49 persen dari total pengeluaran, bahkan pada rumah tangga di wilayah pedesaan mencapai 58 persen.

Artinya setiap terjadi kenaikan terhadap bahan makanan akan memengaruhi secara langsung daya beli/pengeluaran rumah tangga terhadap kebutuhan kehidupan lainnya seperti kemampuan untuk menyekolahkan anak, membiayai perumahan, atau pendidikan anak-anaknya, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kesejahteraan hidup masyarakat.

Sedangkan di negara-negara maju pengeluaran rumah tangga untuk komponen bahan makanan rata-rata kurang dari 30 persen. Hal ini disebabkan bukan hanya pendapatan yang tinggi, melainkan kemampuan negara mengendalikan harga bahan makanan melalui kebijakan yang terintegrasi dari hulu sampai ke hilir.

Menjaga inflasi

Dalam setiap kesempatan pembahasan asumsi makro RUU APBN di DPR, kami selalu mengingatkan pemerintah agar selain memprediksi asumsi besaran inflasi umum juga menetapkan target inflasi sembako yang harus lebih kecil dari inflasi umum. Sumbangan terbesar dari inflasi tahunan dari waktu ke waktu selalu datang dari inflasi kelompok bahan makanan yang mencakup 40 persen dari perhitungan inflasi secara keseluruhan.

Setidaknya pemerintah menetapkan asumsi kenaikan harga bahan makanan jenis tertentu yang menjadi kebutuhan pokok rakyat seperti beras, gula, minyak goreng, telur/daging ayam, dan lainnya di bawah inflasi umum setiap tahunnya. Akan tetapi, kelihatannya usulan tersebut sampai saat ini belum bisa dipenuhi dengan berbagai macam pertimbangan.

Pengendalian harga sembako akan mustahil tanpa keberanian pemerintah melawan spekulan pasar. Kita perlu extraordinary actiondan secara struktural menutup ruang gerak para spekulan, memperbaiki tata kelola jalur distribusi, dan sistem logistik nasional.

Penetapan harga maksimum dan minimum dan operasi pasar juga harus kembali dilakukan secara efektif dan tidak setengah hati. Malaysia berhasil dalam mengendalikan harga sembako karena memiliki Undang-Undang mengenai Kontrol Harga dan Pengambilan Keuntungan berlebihan, yakni Act 723 tahun 2011, dan lembaga Majelis Harga Nasional. Undang-undang semacam ini sangat berguna memberantas permainan spekulan.

Selain itu, manajemen stok pemerintah juga harus baik dan harus lebih proaktif dalam menyerap hasil produksi petani dengan harga yang pantas. Dalam proses pengendalian harga sembako, petani tidak boleh dirugikan, malah harus dimuliakan.

Memuliakan petani

Kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan proses pengendalian harga pangan dengan cara impor. Selain tidak ada jaminan harga pangan menjadi stabil dan memengaruhi neraca perdagangan, akibat jangka panjangnya adalah mematikan aktivitas para petani produsen pangan nasional. Maka, sejumlah langkah sistemik harus dilakukan.

Luasan pengusahaan lahan pertanian bukan kendala bagi kita untuk berswasembada. Bukankah pada era 1980-an ketika kita berswasembada, kepemilikan lahan pertanian para petani kita khususnya lahan sawah juga kurang dari setengah hektar.

Paul McMahon (2013) dalam bukunya, Feeding Frenzy, mengatakan, dengan luas kepemilikan lahan petani kurang dari setengah hektar, Vietnam berhasil menjalankan revolusi pertanian, menurunkan kemiskinan dari 58 persen pada tahun 1979 menjadi 15 persen pada tahun 2007, dan menjadi eksportir beras terbesar kedua di dunia. Fenomena yang sama juga terjadi di Thailand. Artinya, mitos yang mengatakan bahwa pertanian modern membutuhkan lahan yang luas tidak sepenuhnya juga benar.

Untuk mencapai swasembada kembali, diperlukan kebijakan nasional yang terintegrasi. Salah satunya adalah memberikan asas kepastian/keterjaminan kepada petani terhadap lahan yang diusahakan, akses terhadap pengetahuan pertanian yang mutakhir, benih, pupuk, peralatan yang baik, kredit, asuransi, dan harga jual yang pantas, serta memberikan insentif terhadap jenis-jenis pajak tertentu seperti pajak bumi dan bangunan.
Pemerintah juga harus menginvestasikan pembangunan ataupun perbaikan infrastruktur penunjang pertanian seperti pengairan, jalan, kereta api, pelayaran rakyat, pergudangan, serta pasar yang menghubungkan aktivitas ekonomi pedesaan dengan perkotaan.

Agar para petani kita dapat bekerja dengan risiko rendah dan terlindungi, perlu diimplementasikan kebijakan seperti kontrol harga, mekanisme tarif, subsidi, dan pengelolaan cadangan pangan.

Kebijakan tersebut harus kita laksanakan secara saksama dan penuh ketekunan. Ini karena masa depan kita bukan tergantung pada �invisible hand� di pasar.

Arif Budimanta Anggota DPR, KoordinatorKaukus Ekonomi Konstitusi

Senin, 05 Agustus 2013

Pulang

Acep Iwan Saidi

Pulang adalah salah satu momen terindah dalam perjalanan. Dalam pulang, kita bayangkan orang-orang yang ditinggalkan sedang menunggu, setidaknya terhadap cerita yang hendak kita dedahkan.

Dalam semiotika, pulang adalah sebuah tanda bahwa manusia hidup dalam siklus yang tak pernah putus. Saat sebelum pergi, perjalanan adalah masa depan, sedangkan titik berangkat adalah sejarah. Saat pulang, situasinya jadi terbalik. Perjalanan adalah sejarah, tentu dengan sejuta kisah. Sejarah yang indah adalah ketika ia memberi kenangan, sekaligus kenang-kenangan. Itu sebabnya, ketika pulang, sang pengembara selalu berusaha membawa buah tangan. Itu sebabnya pula, pengembara sejati selalu berusaha memberi makna pada setiap lekuk perjalanan. Bahkan, naluri untuk membuat segalanya bermakna memang telah ada dalam diri setiap manusia. Salah satu penanda di lapis terluar, para pelancong (turis) biasanya tidak pernah lupa membawa kamera.

Hal ini menandai bahwa jauh di bawah tak sadarnya, manusia memiliki keyakinan bahwa hidup yang berarti adalah gambar abadi. Hidup itu sendiri, sebagaimana dikatakan Nettis (1965) dalam Schroeder (2005) memang tak lebih dari rangkaian gambar.

Pulang massal

Begitulah, setidaknya sekali dalam setahun kita menyaksikan peristiwa pulang yang massal: mudik Lebaran. Mudik adalah �mekanisme tak sadar� bahwa pengembaraan minta dikisahkan kepada orang-orang yang ditinggalkan di tanah asal, sang �ibu kandung kebudayaan�. Kamera butuh dibuka untuk orang lain, juga diri sendiri.

Tentu banyak cara bagaimana kisah itu diartikulasikan: bisa dengan buah tangan, dengan yang ditampilkan, hingga dengan sekadar bualan. Tuntutan tak sadar ini menyebabkan bahwa mudik tidak pernah bisa ditunda. Bahkan untuk seseorang yang notabene tidak ingin lagi mengenal kampung halamannya sendiri, pulang tetap diperlukan. Kita bisa catat ini, setidaknya melalui kisah Malin Kundang.

Pulang sebagai peristiwa budaya sedemikian gayung bersambut dengan pulang sebagai peristiwa spiritual. Semua Muslim tahu belaka bahwa Idul Fitri adalah sebuah titik kepulangan, ruang bagi berkumpulnya manusia yang kembali suci. Dalam kajian narasi, Lebaran adalah sebuah momen flashback dalam alur kehidupan. Ramadhan jadi miniatur tentang bagaimana perjalanan pulang ke �ruang suci� tersebut harus ditempuh, yakni dengan menahan diri (shaum) dari lapar dan dahaga, dari segala hal yang dimotivasi hasrat.

Bagaimana jalan spiritual itu dapat sinkron dengan jalan budaya? Mengapa mudik justru ditempuh dengan hiruk-pikuk? Mengapa pulang dalam Lebaran malah cenderung menjadi �jalan petaka� ketimbang kedua jalan tadi? Pertanyaan ini tak mudah dijawab. Mudik dengan fenomena mengerikan sedemikian tidak bisa dilihat hanya dari lapis luar sebagai �euforia pulang�. Itu terjadi karena sejauh ini pemerintah memang tak melihat mudik sebagai peristiwa yang berkaitan dengan spiritualitas dan kebudayaan. Mudik hanya dilihat sebagai massa yang pulang ke udik setelah sebulan berpuasa.

Karena timbangannya hanya sampai di situ, mudik tak pernah digarap maksimal sebagai peristiwa besar yang bermakna dan bernilai tinggi bagi kehidupan beragama, apalagi berbangsa. Penanganan mudik sangat menyedihkan. Karena infrastruktur mudik yang morat-marit, korban akibat kecelakaan selama prosesi ini pun besar. Tahun 2012, hampir 1.000 orang. Perang selama dua pekan belum tentu menelan korban sebanyak ini. Anehnya, pemerintah menganggap sepi. Seperti biasa, tak ada pernyataan apa pun dari kepala negara.

Korban dengan jumlah besar juga disebabkan fakta, yang menangani mudik hanya Kementerian Perhubungan dan kepolisian. Sepanjang sejarah mudik, kita tak pernah mendengar kementerian yang membidangi kebudayaan, misalnya, turut mengawal. Padahal, jika mudik disikapi sebagai peristiwa kebudayaan, banyak program yang bisa dibuat oleh kementerian ini. Sebagai contoh, mudik bisa jadi �hajat budaya dan pariwisata kolosal� dengan membuat sepanjang jalur mudik menjadi �rute budaya dan pariwisata tahunan�.

Jika digabung dengan Kementerian Agama yang membuat program �mudik spiritual�, akan lahir sebuah kegiatan besar: bolehlah kita beri nama, �mudik sebagai perjalanan budaya dan pariwisata spiritual�. Sayang, dalam soal Ramadhan, Kementerian Agama lebih banyak terpaku pada soal-soal formal dan karenanya tak kreatif. Ketimbang memotivasi umat berperilaku spiritual, dengan sidang isbatnya kementerian ini justru lebih suka buat �kegaduhan� pada awal dan akhir Ramadhan.

�Pulang kecil�

Akan tetapi, baiklah, terlepas dari plus-minus penanganannya, semoga mudik kali ini menjadi peristiwa yang �nikmat dan bermanfaat�. Kita memang masih menemukan jalan raya yang rusak di sana-sini dan hanya diperbaiki dengan grasa-grusu menjelang Lebaran, tetapi mudahan-mudahan itu bukan representasi pemerintah dan bangsa yang rusak. Semoga mudik kali ini jadi refleksi bagi semua pihak: sesungguhnya pengembaraan manusia di dunia adalah perjalanan menuju pulang.

Silaunya mata sebab sinar dunia menyebabkan seolah-olah kita sedang berjalan ke depan. Padahal, jika kita sadar sejenak saja, langkah kita sebenarnya menuju titik akhir. Kita sedang melangkah ke belakang, ke sebuah titik tempat dulu diberangkatkan. Dan, sekali lagi, pulang dalam Idul Fitri hanyalah sebuah miniatur, sebut saja sebagai �pulang kecil�. Maka semoga �pulang kecil� kita kali ini membawa kenangan dan kenang-kenangan. Selamat Idul Fitri!

Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB

Minggu, 04 Agustus 2013

Gizi Anak Bangsa

Salahuddin Wahid

Saat selesai shalat berjamaah di masjid Pesantren Tebuireng, saya selalu dikerumuni ratusan santri yang ingin mencium tangan saya. Tradisi pesantren mewajibkan murid untuk mencium tangan guru dan ustaz. Namun, yang menarik perhatian saya saat bersalaman itu ialah adanya banyak santri Tebuireng yang tubuhnya pendek (kontet), padahal usia mereka minimal 12 tahun.

Rasanya jumlah anak pendek itu lebih banyak saat ini daripada beberapa tahun lalu. Karena itu, saya tergelitik meminta kepala sekolah/madrasah yang ada di Tebuireng agar mendata jumlah anak yang pendek badannya dan jumlah anak yang tinggi badannya.

Hasilnya sungguh menarik. Di madrasah aliyah, 22,5 persen siswa bertubuh tinggi (di atas 170 cm), 21,6 persen bertubuh pendek (di bawah 160 cm), dan 55,9 persen bertubuh sedang. Untuk siswi, 8,9 persen bertubuh tinggi (di atas 160 cm), 21 persen bertubuh pendek (di bawah 150 cm), dan 70,1 persen bertubuh sedang. Di SMA, 6 persen siswi bertubuh pendek, 15,3 persen bertubuh tinggi, dan 78,7 persen bertubuh sedang. Untuk siswa, 33,8 persen bertubuh pendek, 19 persen bertubuh tinggi, dan 47,2 persen bertubuh sedang.

Batasan tinggi perlu diubah untuk SMP dan madrasah tsanawiyah (MTs). Laki-laki yang pendek (di bawah 152 cm), yang tinggi (di atas 165 cm), dan perempuan yang pendek (di bawah 147 cm), dan yang tinggi (di atas 157 cm). Di MTs, putra yang pendek tercatat 43,9 persen, yang sedang 45,6 persen, dan yang tinggi 10,5 persen. Untuk putri, yang pendek tercatat 28,7 persen, yang sedang 50,0 persen, dan yang tinggi 18,3 persen. Di SMP, untuk putri, yang pendek sebanyak 25 persen, yang sedang 43 persen, dan yang tinggi 12 persen. Untuk putra, yang pendek 40 persen, yang sedang 52 persen, dan yang tinggi 8 persen.

Masalah serius

Sebuah koran memuat berita tentang kajian Bank Dunia berjudul �Adjusting to Pressures�, menyatakan bahwa 36 persen dari anak Indonesia berumur di bawah lima tahun menderita kekerdilan fisik atau kontet. Angka itu di bawah Vietnam (23,3 persen), Filipina (32), dan Myanmar (35). Negara yang berada di bawah Indonesia ialah Kamboja (40,9 persen) dan Laos (44).

Menurut data UNICEF tahun 2003-2008, Indonesia menempati urutan kelima dalam hal jumlah orang pendek terbanyak di antara negara-negara sedunia setelah China, India, Nigeria, dan Pakistan. Menurut pengamat gizi Prof Abdul Razak Thaha, jumlah anak kontet di Indonesia tidak berkurang sejak 1992. Fakta itu bertentangan dengan fakta bahwa pendapatan per kapita Indonesia meningkat. Berarti ketimpangan pendapatan antarpenduduk terjadi secara mencolok. Itu juga berarti bahwa pembangunan kesehatan kita kurang merata dan tidak menyentuh kelompok miskin.

Di seluruh dunia, jumlah anak kontet mencapai 32 persen dari jumlah anak balita yang ada. Dari jumlah tersebut, 90 persen berada di negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Menurut Prof Soekirman dari IPB, sekitar 38,6 persen dari total anak balita Indonesia memiliki tinggi badan tidak sesuai umur. Artinya, 4 dari 10 anak di Indonesia mengalami kekerdilan fisik akibat kekurangan gizi, terutama kekurangan zat besi. Tidak tepat apabila dikatakan anak bertubuh pendek itu akibat faktor genetik.

Dalam kongres Nutrisi Asia XI (2011) terungkap, ada gejala peningkatan angka kegemukan pada masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Artinya, kalau sudah melewati usia pertumbuhan tinggi badan, penambahan badan akan membuat badan si anak jadi gemuk.

Lantaran ingin bergaya modern, banyak anak tergoda iklan dan mulai mengonsumsi minuman atau makanan enak yang manis dan berlemak. Perubahan pola konsumsi makanan itu terjadi karena teknologi pangan kini bisa memproduksi makanan enak dan murah, tapi kurang bergizi. Selain itu, ada pola makan orang Indonesia yang perlu diperbaiki. Menurut data BPS 2011, konsumsi beras orang Indonesia mencapai 113,48 kg per kapita per tahun. Itu adalah angka tertinggi di dunia. Konsumsi beras rata-rata orang Asia 65-70 kg/tahun.

Berlawanan dengan konsumsi karbohidrat yang terlalu tinggi itu, Indonesia adalah salah satu negara dengan konsumsi protein dan mineral paling rendah di dunia. Saat ini konsumsi protein hewani di Indonesia hanya 4,7 gram/orang/hari. Angka ini sangat rendah daripada Malaysia, Filipina, Thailand, yang rata-rata mengonsumsi protein hewani 10 gram/orang/hari. Apalagi kalau dibandingkan dengan Korea Selatan, Brasil, China yang mencapai 20-40 gram/orang/hari. Kalau kita bicara tentang AS, Jepang, Perancis, Inggris, dan Kanada yang konsumsinya mencapai 50-80 gram/orang/hari, akan sangat jauh perbedaannya.

Dampak paling nyata dari rendahnya konsumsi protein dan mineral ialah rendahnya mutu manusia Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Lihatlah prestasi olahraga bangsa kita. Meskipun penduduk kita keempat terbesar di dunia, prestasi olahraga kita tidak sebanding. Prestasi di dunia ilmu pengetahuan dan teknologi juga kalah dibandingkan dengan negara-negara yang rakyatnya mampu menyediakan makanan bergizi dan sadar untuk selalu memakan makanan bergizi.

Fakta menyedihkan itu adalah akibat kemiskinan yang masih melanda banyak rakyat kita. Kalau memakai standar pemerintah (penghasilan Rp 7.000-Rp 8.000 per orang per hari), maka jumlahnya mencapai 12-13 persen dari jumlah penduduk kita atau sedikit di atas 30 juta orang. Namun, kalau kita memakai standar Bank Dunia (2 dollar AS per orang per hari), jumlahnya mencapai 115 juta orang. Bandingkan dengan Malaysia yang jumlahnya sekitar 7 persen dari jumlah penduduk Malaysia (sekitar 2 juta orang) kalau memakai standar Bank Dunia.

Peran serta masyarakat

Program penyuluhan gizi oleh pemerintah selama ini tampaknya kurang berhasil karena rakyat tidak punya cukup uang untuk membeli makanan bergizi. Program Badan Pelaksana Jaminan Sosial yang akan berlaku mulai 2014 tampaknya tidak mencakup program penyuluhan gizi terhadap warga tidak mampu dan sekaligus membantu mereka yang kekurangan gizi tetapi tidak memahami dampaknya yang negatif terhadap pertumbuhan anak. Berarti masyarakat harus ikut membantu.

Saya menerima buku Peta Kemiskinan yang dikeluarkan Dompet Dhuafa sebagai dasar dari program mereka dalam membantu masyarakat miskin. Saya yakin banyak lembaga sosial lain yang punya program serupa, tetapi masih tidak mencukupi. Saya juga yakin banyak warga masyarakat yang hartanya berlebih mau membantu program semacam itu, tetapi lembaga sosial tentunya harus mau menjemput bola. Membantu orang yang makanannya kurang bergizi tentu lebih utama daripada menjamu orang kaya berbuka puasa.

Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng

Menghina Diri Sendiri

Radhar Panca Dahana

Mungkin banyak sudah kita melihat foto seperti yang ditunjukkan sebuah majalah berita umum beberapa hari lalu. Pesakitan korupsi Muhammad Nazaruddin tampak semringah, tertawa lebar bersama istrinya yang berkipas-kipas. Di halaman lain terdakwa Djoko Susilo juga tertawa lebar bergaya lari kecil (joging) di antara juru kamera dan foto.

Tentu saja ini bukan panggung teater. Sebagai pelaku �kejahatan luar biasa�, mereka, sebagaimana umumnya pesakitan/terdakwa korupsi lainnya, tidak memperlihatkan sikap prihatin, menyesal, atau sedih. Mereka senyum dan tertawa seakan memperolok korban (rakyat) yang dicuri hak dan masa depannya, mengejek hukum yang tak cukup berdaya, bahkan lebih dari itu, menikmati ketenaran lebih daripada seorang selebritas atau politikus ternama. Mereka menghina keadilan, tertib sosial, tertib negara, dan�tentu saja�mereka telah menghina diri mereka sendiri.

Apa yang dilakukan para koruptor itu juga terjadi dan dilakukan banyak kalangan di sekitar kita. Siapa yang berdiri menonton di antara khalayak, saat bencana, kebakaran, atau kecelakaan terjadi di depannya? Dia adalah orang yang diam, bahkan meniru atasannya yang korup, dengan mencuri kertas negara atau waktu kerja dengan mengobrol, main kartu, atau cari obyekan di luar. Dia adalah orang yang menghina etika dan aturan kerja, menghina kejujuran, menghina diri sendiri.

Apabila ada sebuah perbuatan yang dilakukan di muka umum, apalagi dalam sebuah siaran televisi nasional, berdebat dengan kata-kata keras, menghina�apalagi melakukan aksi atau serangan fisik, entah itu dengan mengejek kondisi tubuh lawan debat, melemparkan benda atau minuman�tentu saja ia sedang memamerkan kekuatan yang dia anggap sebagai kekuasaan. Lebih dari itu, tentu saja, ia sudah menghina kecerdasan, pikiran sehat atau intelektualitas, bahkan agama jika orang tersebut berasosiasi diri dengan lembaga atau gelar keagamaan.

Mungkin yang cukup lebih parah dari itu adalah apa yang terjadi pada PSSI belakangan ini. Mengundang beberapa tim besar dunia, mereka seperti mendapat perlakuan yang sangat memalukan. Bukan hanya dari sisi permainan yang sangat timpang, melainkan juga jumlah gol yang menakjubkan malunya: 20 gol! Mengapa harus membuat pengeluaran sangat besar hanya untuk memperlihatkan kebodohan, menyetarakan diri secara tidak pantas: mengundang orang dengan biaya rakyat hanya untuk menghina diri sendiri?

Bila ada seorang anak yang sudah cukup umur membunuh ibu kandungnya sendiri dengan menusuk leher dari belakang hanya karena tidak dibelikan telepon genggam; bila ada seorang ayah menyetubuhi anak kandungnya puluhan kali hingga hamil berkali-kali; bila ada seorang remaja SMP menyodomi rekan main di bawah usianya; bila ada seorang ibu membuang bayinya sendiri dengan tas plastik di kebun hingga ia dirubung begitu banyak semut; bila ada koruptor bangga dan dihormati tetangga karena sering menyumbang masjid dan kegiatan sosial, apa sebenarnya yang terjadi kalau bukan mereka melakukan penghinaan secara sengaja pada semua tertib, adat-tradisi, agama, dan akhirnya diri mereka sendiri?

Di tingkat mental dan spiritual apa, di tingkat kecerdasan intelektual mana sebenarnya kita, bangsa ini, berada?

Tiga tsunami budaya

Mungkin, pertanyaan lebih tepat, apa sebenarnya yang sudah terjadi pada bangsa ini, yang belum lagi satu abad usianya? Masih begitu pendek umurnya ketimbang bangsa-bangsa besar lain, tapi telah begitu degil perbuatannya, juga ketidakpedulian yang akut bahkan terhadap harkat dan martabat dirinya sendiri. Mengapa? Tentu ini sebuah pertanyaan yang sangat besar. Saya tak berpretensi memberi jawaban komprehensif, kecuali mengajukan satu persoalan yang mungkin terikut dalam semua persoalan di atas, dalam sebuah terma: nafsu.

Nafsu (dari Arab: nafasan, berarti �ingin�) adalah sebuah dorongan mental�dapat lemah dapat kuat, bisa positif (konstruktif) begitu pun negatif (destruktif)�untuk dapat meraih, memenangi, atau mencapai satu hal. Dorongan ini sebenarnya hal lumrah dalam diri manusia. Bahkan ia jadi salah satu penanda utama yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Namun, dia menjadi tak lumrah atau luar biasa ketika ia diperdaya atau dieksploitasi pemiliknya sendiri.

Kebudayaan mana pun, termasuk Islam atau suku-suku bangsa di negeri ini, memiliki semacam perangkat (lunak dan keras) agar nafsu tidak terjerembab ke dalam praksis yang destruktif, baik untuk publik maupun diri sendiri. Namun, semua perangkat itu bisa jadi goyah atau hancur apabila seseorang�karena pengaruh situasi internal maupun eksternal�tidak mampu mengendalikan tali kekang nafsu, menjadi kuda liar Mongolia yang sangat sulit dijinakkan.

Apa yang terjadi di negeri ini dalam tiga dekade terakhir, sekurangnya, seperti dapat kita lihat dan rasakan, adalah diserangnya pertahanan kultural (agama, adat, etika, dan hukum) oleh sebuah tsunami kebudayaan yang membonceng atau diboncengkan pada arus besar globalisasi. Hal pertama yang terjadi adalah tsunami logos atau logika yang dirumuskan oleh pemikir-pemikir oksidental sebagai cara/mekanisme berpikir yang positivis-progresif, materialistis, dan pragmatis.

Tsunami itu membentuk akal dan kecerdasan yang menyiapkan karpet merah bagi tsunami kedua: berupa produk-produk logosentrisme ala Renaisans dan Aufkl�rung, dalam bentuk yang kemudian sistemik, seperti demokrasi, kapitalisme, dan pasar bebas di masa akhir. Hal kedua ini membawa konsekuensi tak terhindar bagi hal ketiga: tsunami psikologis bahkan spiritual, di mana kita didesak, dipaksa (tanpa kita sadari) dan menerima dengan ikhlas sebagai sesuatu yang taken for granted, kondisi mental-spiritual yang akomodatif, permisif, bahkan konsumtif pada produk akhir dari sistem-sistem di atas.

Demokrasi dan kapitalisme, sebagaimana hak asasi manusia atau semua piagam PBB, bukan lagi sebuah ketelanjuran yang kita terima, melainkan telah menjadi (atau kita anggap) prakondisi bagi tegaknya kemanusiaan atau eksistensi kita. Kita adalah pemamah biak yang baik dari semua high-end itu. Tiap hari kita mengonsumsinya di meja makan, di jalanan, di kafe, ruang kantor, istana, hingga tepi sawah dan hutan-hutan desa. Tanpa keluh dan kesah, wajar seperti kita berkeringat dan membuang angin. Keringat dan angin, bahkan darah yang kita kucurkan, hanya untuk imbalan yang kemudian kita tukar dengan tawaran produk yang berganti jenis dan tipe tiap bulan, bahkan tiap minggu itu.

Inilah nafsu yang terjerembab. Nafsu yang bukan kita lagi yang memegang
tali kekangnya, tetapi industri dan korporasi multinasional, oleh negara dan kapitalis adidaya. Kita kehilangan semua perangkat lunak dan perangkat keras yang dapat menahan atau melawan semua itu. Media massa, tontonan, buku, hingga pendidikan dan aktivitas sosial memberi kita acuan, contoh, bahkan fasilitas menggiurkan untuk hanyut dalam tsunami peradaban itu.

Maka, apa yang terjadi dalam paparan pendek di awal tulisan ini, terjadilah. Dengan semua kenyataan itu, kita telah menyerahkan diri bulat-bulat pada sebuah permainan, pada sebuah realitas ilusif dan virtual yang tidak kita kuasai, bahkan tidak kita pahami. Jangankan pedagang kaki lima yang berjuang menyisihkan labanya untuk membeli Blackberry atau TV layar datar, bahkan seorang Presiden pun mungkin tidak mengerti mengapa sebuah kampung Sunni mengusir sesama warganya hanya karena mereka Syiah.

Mungkin Presiden pun tidak mengerti kenapa ia memperoleh penghargaan internasional untuk toleransi; tidak mengerti mengapa negara yang serba salah urus ini masih bisa tumbuh lebih dari 6 persen; bahkan mungkin tidak mengerti mengapa harga cabai hingga jengkol melonjak luar biasa. Ia pun ternyata tidak mengerti mengapa kabar bencana lebih cepat ia terima dari media massa/sosial ketimbang dari aparatus yang ratusan ribu itu.

Air mata tobat

Apa yang terjadi, tampaknya bangsa kita tidak sedang mengikuti zaman, tapi terseret zaman. Seperti pesakitan atau jagoan yang seluruh kekuatan dan kekebalannya berhasil dilumpuhkan. Butir terakhir ini harus saya katakan, semua itu terjadi ketika seorang manusia Indonesia memasuki wilayah psikis dan fisik bernama remaja. Tepatnya setelah ia mengalami sejumlah pendidikan dan mendapat pengaruh demikian rupa dari lingkungan.

Saat ia memasukkan dunia riil, nyatanya nyata, sontak�sadar atau tidak�ia mendapatkan dirinya sudah kecemplung dalam sebuah sistem: semacam sarang laba-laba yang tak memberinya peluang melepaskan diri. Sebagai anak muda ia tidak dapat berbuat bahkan berkata apa-apa, kecuali mengikuti logika dan cara kerja sistem itu hanya agar survive. Lalu berfoya-foya menggadaikan nafsunya jika ia ingin dikenal dan dipandang. Menjadi budak nafsunya untuk memperoleh apa yang disebutnya dengan �sukses�.

Saya harus tersenyum, karena�tentu�sebagian dari kita menolak konstatasi itu. Namun cobalah tengok ke dalam cermin, dan jujurlah seluruh indera, pikiran, dan hati kita: apa yang terlihat? Air mata! Kita akan menangis melihat diri kita sendiri yang sudah kita zalimi selama ini, yang sudah kita hina sepanjang usia ini.

Sampai bilakah air mata itu bergulir, hingga menjadi arus dan sungai ke samudra air mata-Nya? Dalam bulan suci ini, jadikanlah air mata itu sebagai bekal tobat. Memerangi nafsu adalah memerangi diri sendiri. Itulah jihad terbesar yang kita lakukan dalam puasa, terlebih dalam Ramadhan ini. Dan, berubahlah, mulai dari cara berpikir kita, dengan kembali pada kearifan, perangkat lunak dalam adat, agama dan hukum yang sebenarnya. Perubahan itulah yang akan menghapus air mata kita. Sekaligus mengangkat harkat yang telah kita hina, menuju kejernihan embun di pagi Idul Fitri nanti.

Radhar Panca Dahana, Budayawan