Selasa, 29 September 2015

Sikap Warga NU terhadap PKI

Salahuddin Wahid

Tahun 1951/1952 saat masih di SD, saya melihat di meja kerja ayah saya sebuah foto tentang seorang laki-laki yang ditutup matanya berdiri di depan sejumlah orang yang mengarahkan senjata ke arah lelaki itu.

Saya bertanya kepada ayah saya, siapa lelaki itu? Beliau menjawab lelaki itu adalah orang yang dihukum mati karena terlibat pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Anggota PKI membunuh banyak kiai dan santri.

Penjelasan ayah saya itu amat saya yakini, langsung menempel di otak dan bertahan sampai kini, walau ada banyak tulisan dan buku yang mencoba membantah bahwa PKI memberontak pada 1948. Keyakinan itu juga dimiliki puluhan juta warga NU, umat Islam, dan pemeluk agama lain.

Beberapa tahun menjelang 1965, mereka yang berkeyakinan seperti itu menyaksikan dan mendengar bahwa anggota PKI dan organisasi di bawahnya telah memprovokasi umat Islam, menyerang anggota PII yang sedang shalat subuh di Kanigoro, Kediri, membunuh anggota Ansor di Banyuwangi. Perang kata-kata terjadi antara koran PKI dan koran lain, antara sastrawan pro-PKI dan sastrawan anti-PKI.

Sikap Gus Dur

Kami sekeluarga, kecuali Gus Dur yang berada di Mesir, mendengar dengan saksama pengumuman Dewan Revolusi. Dengan latar belakang seperti di atas, reaksi spontan kami saat itu: ini pasti perbuatan PKI. Ibu saya ikut menandatangani tuntutan pembubaran PKI, mewakili PP Muslimat NU, 4 Oktober 1965.

Saat itu belum banyak yang punya telepon apalagi telepon seluler, jadi informasi bergerak lambat. Kami mulai mendengar adanya eksekusi terhadap mereka yang diduga sebagai anggota PKI dan organisasi di bawahnya sekitar seminggu setelah terjadi. Tentu kami tak setuju. Saat peringatan hari lahir ke-40 NU, ada beberapa anggota Banser Jawa Timur yang menginap di rumah ibu saya. Saya dan adik saya, Umar, mengobrol dan bertanya mengapa kawan-kawan anggota Banser mengeksekusi mereka yang dianggap anggota PKI dan organisasi di bawahnya?

Menurut mereka, suasananya seperti perang: membunuh atau dibunuh. Pada 2005 saya bertemu seorang anggota Banser yang mengeksekusi banyak orang yang diduga anggota PKI atas perintah anggota TNI tingkat kecamatan. Dia mengatakan, kalau dia menolak, dia akan dituduh sebagai anggota PKI. Pendapat para anggota Banser itu adalah suara hati nurani warga NU terhadap PKI 50 tahun lalu.

Gus Dur meninggalkan Indonesia menuju Kairo pada akhir 1963 dan kembali pada pertengahan 1971. Jadi Gus Dur tidak mengalami atau merasakan suasana permusuhan dengan PKI dan organisasi di bawahnya. Gus Dur juga punya akses terhadap informasi tentang Gerakan 30 September (G30S) yang bertentangan dengan informasi yang beredar di Indonesia. Amat mungkin Gus Dur pernah berjumpa dan berdialog dengan warga PKI yang tidak bisa kembali ke Indonesia dan tinggal di sejumlah negara Eropa.

Wajar kalau perbedaan itu membuat Gus Dur punya pandangan dan sikap berbeda terhadap PKI dan warganya dibandingkan warga dan tokoh NU yang mengalami gesekan dengan warga PKI. Sebagai orang yang punya keberanian luar biasa, Gus Dur tidak ragu-ragu untuk meminta maaf kepada keluarga korban 1965. Gus Dur juga berani melontarkan gagasan untuk mencabut Tap MPR No XXV/1966. Gus Dur tidak menghitung untung-rugi akibat mengeluarkan pernyataan di atas.

Saat itu saya menilai kebanyakan orang menentang gagasan itu. Saya membuat tulisan di koran menanggapi gagasan pencabutan Tap MPR oleh Gus Dur itu. Menurut saya, tidak semua substansi Tap MPR tersebut dapat dibatalkan. Namun, perlakuan diskriminatif terhadap keluarga korban harus dihentikan. Saya yakin masih jauh lebih banyak rakyat yang menolak PKI diizinkan berdiri lagi.

Pada September 2012, sebuah majalah berita nasional mengeluarkan edisi khusus yang mengungkap sejumlah kisah tentang aksi kekerasan terhadap mereka yang diduga sebagai anggota PKI pada akhir 1965. Warga dan tokoh NU tentu merasa terpojokkan oleh penuturan majalah tersebut, yang kemudian memicu terbitnya buku Benturan NU dan PKI, 1948-1965. Buku itu mengungkap latar belakang dan penyebab warga dan aktivis NU di sejumlah kota terpaksa melakukan eksekusi terhadap anggota PKI dan organisasi di bawahnya karena kondisinya memang mendorong ke arah hal itu.

Terbitnya edisi khusus majalah berita nasional tersebut dan beredarnya film-film yang tidak lolos sensor (The Act of Killing dan The Look of Silence) mau tak mau membuat suasana panas dan menumbuhkan rasa saling curiga. Itu tidak bisa dihindarkan. Bahkan, berbagai SMS masuk ke ponsel saya memberi informasi bahwa CC PKI sudah berdiri dan mengadakan rapat di sejumlah kota. Saya tidak punya kemampuan untuk mengetahui apakah informasi itu benar atau tidak.

Rekonsiliasi

Pada awal 2000-an mulai muncul gerakan mendorong terjadinya islah atau rekonsiliasi. Anak-anak muda NU, terutama yang tergabung dalam syarikat, melakukan berbagai kegiatan untuk memulai mewujudkan rekonsiliasi itu.

Banyak anak pelaku kekerasan terhadap korban 1965 merasa ikut bersalah dan lalu melakukan sesuatu yang positif terhadap keluarga korban. Putra-putri tokoh yang dulu bermusuhan secara politik berkumpul dalam satu organisasi bernama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Mereka antara lain putra/putri Jenderal A Yani, Jenderal Sutoyo, Jenderal Supardjo, DN Aidit, dan Kartosuwiryo.

Upaya rekonsiliasi memberi harapan kepada para korban ketika Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Nasional sudah menyerahkan nama calon anggota kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memerlukan waktu lama sekali untuk memilih para anggota KKR. Di tengah masa menunggu itu, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU KKR pada awal Desember 2006. Sampai hari ini belum ada tanda-tanda akan muncul UU KKR pengganti UU yang dibatalkan itu walau sudah delapan tahun berlalu.

Dalam pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo menyatakan secara tersirat rencana membentuk tim untuk melakukan rekonsiliasi terkait pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Peristiwa 1965. Rekonsiliasi ini kabarnya akan disertai pengungkapan kebenaran. Informasi ini menimbulkan reaksi berbeda di dalam berbagai kelompok, ada yang senang dan ada yang tidak.

Komnas HAM pada Juli 2012 meluncurkan laporan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi secara sistematis dan meluas pada 1965-1966. Laporan ini disusun berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan di empat wilayah (Maumere, Maluku, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara) dan pengumpulan kesaksian dari 349 saksi dan korban. Menurut UU No 26/1926 tentang Pengadilan HAM juncto Pasal 7 Statuta Roma, kejahatan-kejahatan ini didefinisikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Mengingat di Indonesia tidak bisa dilakukan proses hukum terhadap mereka yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat pada 1965/1966, sejumlah orang punya prakarsa untuk menyelenggarakan International People Tribunal (IPT 1965) terhadap mereka yang diduga sebagai pelaku. IPT itu akan dilakukan di Den Haag dari Oktober 2015 sampai Oktober 2016. IPT akan mendakwa pihak negara (terutama militer) yang diduga kuat menjadi pelaku dalam peristiwa itu.

Sikap warga NU kini

Bagaimana sikap warga NU terhadap peristiwa yang sudah terjadi 50 tahun lalu itu? Terdapat beberapa kelompok. Pertama, antirekonsiliasi, yang saya duga jumlahnya kecil. Mereka menganggap TNI dan kelompok sipil telah melakukan upaya tepat dalam menyelamatkan NKRI. KKR dan rencana rekonsiliasi pemerintah dianggap tak perlu karena warga PKI memang pantas mendapat perlakuan seperti yang terjadi. Sikap ini juga dimiliki kelompok di luar NU.

Kedua, kelompok yang setuju upaya rekonsiliasi, yang menganggap warga PKI dan warga NU sama-sama jadi korban. Menurut mereka, negara bisa meminta maaf kepada korban bukan kepada PKI. Rekonsiliasi yang sudah berjalan perlu ditingkatkan dengan berlandaskan ketulusan dan kejujuran serta menghilangkan prasangka.

Ketiga, mereka yang secara sadar mengakui keterlibatan warga NU dan militer dalam pelanggaran HAM berat itu. Kelompok ini setuju jika diadakan proses hukum untuk membuka apa yang sebenarnya terjadi. Mereka setuju Tap MPRS No XXV/1966 dicabut, ajaran komunis boleh disebarkan. Mereka meyakini bahwa PKI tidak akan laku walau diberi hak untuk didirikan lagi.

Kelompok terakhir ini amat terpengaruh oleh pemikiran Gus Dur saat meminta maaf dan mengusulkan pencabutan Tap MPRS No XXV/1966. Mereka sama seperti Gus Dur, tidak mengalami suasana saat PKI sedang �berperang� dengan TNI dan partai-partai, lawan termasuk NU. Ke depan, jumlah mereka yang tidak mengalami konflik dengan PKI akan makin banyak dan mungkin saat itu proses hukum bisa dilakukan walaupun pihak yang harus bertanggung jawab sudah tidak ada.

Salahuddin Wahid; Pengasuh Pesantren Tebuireng

Membersihkan Dosa Kolektif G30S

Franz Magnis-Suseno

Pada pagi buta tanggal 1 Oktober 1965 di Jakarta, suatu gerakan yang menamakan diri Gerakan 30 September (sebutan ini akan saya pakai selanjutnya) membunuh enam jenderal dan Kapten Pierre Tendean serta membentuk suatu Dewan Revolusi sebagai penguasa tertinggi (di Yogyakarta juga terbentuk Dewan Revolusi yang membunuh Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono).

Tak berlebihan, peristiwa itu peristiwa paling menentukan dan paling traumatik dalam sejarah Indonesia merdeka. Dari tanggal 1 Oktober itu�yang menjadi permulaan dari berakhirnya kepresidenan Soekarno�lepas suatu dinamika yang bermuara dalam suatu orgasme pembalasan berupa pengejaran, penyiksaan, pembunuhan, dan penghancuran sosial puluhan juta warga bangsa yang akan termasuk salah satu kejahatan genosidal paling mengerikan terhadap hak-hak asasi manusia di bagian kedua abad ke-20. Selama 50 tahun, peristiwa 1 Oktober 1965 dengan buntutnya yang sedemikian mengerikan itu tak dapat dibicarakan secara terbuka. Sekarang saja, begitu kita diperingatkan�dan saya sependapat�pembicaraan harus bijaksana dan hati-hati kalau tak mau berakhir dalam kegagalan. Namun, kita harus membicarakannya. Dengan berhati-hati, iya, tetapi juga dengan jujur.

Kita harus bertanya, bagaimana kekejaman di luar segala ukuran terhadap bangsa kita sendiri bisa terjadi. Hal ini tak lain demi integritas dan harga diri kita sendiri. Bangsa Indonesia tidak dapat selamanya lari dari sejarahnya. Tak mungkin kita mencapai sinergi bersama yang positif�Soekarno menyebutnya gotong royong�yang perlu untuk menghadapi masa depan penuh tantangan kalau kita tak berani menghadapi masa lampau.

Masalahnya bukan apakah PKI berada di belakang Gerakan 30 September (G30S) itu atau tidak (mengikuti, antara lain, John Roosa [2006], saya sendiri tak meragukan keterlibatan Ketua PKI DN Aidit dan beberapa pemimpin PKI lain). Masalahnya: mengapa tak cukup kalau PKI dilarang dan dibubarkan saja? Mengapa sejuta rakyat (bisa lebih) mesti dibunuh? Betul, Presiden Soekarno menolak tindakan terhadap PKI. Namun, pada akhir Oktober 1965, PKI sudah tak berdaya sama sekali.

Mengapa pada waktu PKI sudah lumpuh, desa-desa dan kota-kota, mulai dari Jawa Tengah sampai seluruh pelosok Tanah Air, secara sistematik disisir. Masyarakat yang dianggap PKI atau dekat PKI ada yang langsung dieksekusi; ada yang diciduk dulu, ditahan, tetapi kemudian, biasanya pada malam hari, dibawa ke tempat-tempat sepi dan dibunuh di sana (Sarwo Edhie menyebut angka 3 juta orang yang dibunuh, kiranya angka yang terlalu besar). Padahal, pembunuhan-pembunuhan itu bukan pengeroyokan spontan oleh masyarakat yang emosional, melainkan dilakukan dengan kepala dingin dan persiapan administratif!

Lebih banyak lagi yang ditahan (menurut Sudomo seluruhnya 1,9 juta orang). Mereka dikategorikan ke dalam golongan A (yang kemudian dibawa ke pengadilan), golongan B (yang dianggap orang penting, tetapi karena tak melakukan sesuatu yang bisa dituduhkan, mereka ditahan begitu saja), dan golongan C yang kemudian dilepaskan lagi. Mereka yang dilepaskan tak dapat kembali ke kehidupan normal. Pemerintahan Soeharto menetapkan sederetan peraturan dan �kebijakan� yang menstigmatisasi lebih dari 10 juta saudara/ saudari kita �terlibat� atau �tidak bersih lingkungan�. Di masyarakat, mereka dicap �PKI� dan diasingkan dari pergaulan normal dengan tanda �ET� (eks tapol) di KTP, harus teratur lapor ke kelurahan, banyak yang kehilangan nafkah hidup dan rumah, tempat kerja tertentu tertutup bagi mereka, yang pegawai negeri dipecat.

Ratusan ribu orang golongan B ditahan lebih dari sepuluh tahun tanpa proses pengadilan. Mereka sering disiksa, perempuan-perempuan diperkosa. Puluhan ribu tahanan dibuang ke Pulau Buru yang menjadi kamp konsentrasi raksasa, hidup mereka dalam kondisi tidak manusiawi. Semua jutaan saudara-saudari kita itu hancur secara sosial.

Melepaskan kebohongan

Mari kita berani menghadapi dengan mata terbuka apa yang terjadi 50 tahun lalu itu. Kita perlu bertanya bagaimana pelanggaran HAM begitu kasar dan luas bisa sampai terjadi. Kok, bangsa yang membanggakan Pancasila dan cita-cita kemerdekaan seperti termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945�yang pada setiap kesempatan diobral Orde Baru�bisa melakukan sesuatu yang termasuk genosid paling tak berperikemanusiaan di bumi dalam 60 tahun terakhir? Bahwa pembunuhan ekstrem brutal para pahlawan 1 Oktober 1965 oleh G30S harus ditindak tegas dan ditumpas sudah jelas. Akan tetapi, bagaimana mungkin kita bersedia menerima omongan yang sampai sekarang masih dapat didengar bahwa karena �PKI membunuh jenderal-jenderal�, maka jutaan saudara dan saudari sebangsa yang sedikit pun tak terlibat dalam pembunuhan itu diburu seperti binatang, ditangkap, disiksa, diperkosa, dibunuh, hanya karena mereka secara politik berpihak pada PKI?

Maka, sebaiknya kita tidak lari dari masa lampau. Sudah waktunya kita berani melepaskan kebohongan-kebohongan seperti disuntikkan ke dalam kesadaran kolektif bangsa melalui film Pengkhianatan G30S/PKI. Sudah waktunya kita bersama-sama bersedia mengaku bahwa something went terribly wrong dalam reaksi terhadap G30S. Sekali lagi, itu tuntutan harga diri kita sendiri.

Peringatan 50 tahun G30S sebaiknya kita persiapkan. Kita harus berani menghadapi apa yang terjadi 50 tahun lalu kalau hati bangsa mau dibersihkan dari segala keterlibatan dan dosa kolektif terhadap sebagian saudara/saudari kita. Kita harus melakukannya bersama. Refleksi atas apa yang waktu itu terjadi tak boleh merupakan kegiatan beberapa LSM dan kaum intelektual saja. Kita bersama perlu melakukannya. Bukan untuk saling menyalahkan, melainkan agar kita bersama-sama dapat membersihkan hati kita. Kebanyakan mereka yang terlibat genosid 1965-1966 itu sudah menghadap Tuhan.

Maka, kesediaan pemerintah untuk mengangkat kembali kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lampau pantas dipuji. Keberanian menghadapi secara jujur, terbuka, dan etis apa yang terjadi sebagai reaksi atas G30S perlu didorong oleh pemerintah. Namun, sangat perlu DPR sebagai perwakilan rakyat juga mendukung proses itu dan melibatkan diri. Ormas-ormas agama perlu dilibatkan, universitas-universitas harus berperan, juga media dan seluruh masyarakat. Hal ini agar kesadaran akan keraksasaan kejahatan pasca G30S mempersatukan dan bukan malah memecahbelahkan kita.

Pembubaran PKI

Agar kebersamaan itu mungkin, perlu diperhatikan satu hal, yakni mengakui bahwa seharusnya pembunuhan, penghancuran eksistensi, dan stigmatisasi terhadap saudara-saudari sebangsa 50 tahun lalu tidak terjadi. Hal ini tidak berarti bahwa PKI harus direhabilitasi. Tentu orang boleh menuntutnya, tetapi tuntutan itu bersifat politis dan jangan dicampuradukkan dengan tuntutan kemanusiaan dan etika bahwa para korban pelanggaran berat HAM akhirnya mendapat keadilan.

Justru di luar negeri sekian pengkritik Indonesia mencampuradukkan dua tuntutan itu. Seakan-akan pengakuan terhadap besarnya pelanggaran hak-hak asasi para korban pembersihan pasca G30S menuntut agar keberatan-keberatan terhadap PKI dan perannya menjelang peristiwa G30S ditarik kembali. Fakta bahwa sesudah G30S terjadi pelanggaran terhadap hak asasi orang-orang yang dianggap PKI tak lalu berarti bahwa keberatan-keberatan serius terhadap PKI tak berdasar. Ada pertimbangan ideologis ataupun politis yang dapat mendukung pembubaran PKI.

Pertimbangan ideologis: PKI secara resmi mendasarkan diri atas marxisme-leninisme (PKI tak pernah menganggap diri semacam �komunis ala Indonesia�, tetapi komunis tulen, jadi memang marxis-leninis). Namun, marxisme-leninisme secara resmi mengajarkan ateisme, yang oleh PKI memang tak ditonjolkan. Marxisme-leninisme sejelas-jelasnya mengajarkan, kaum komunis harus memegang monopoli kekuasaan. Harapan Soekarno bahwa PKI dalam kerangka Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) akan bersedia menjadi hanya satu dari tiga kekuatan revolusioner bangsa Indonesia tak sesuai ideologi komunis. Di negara mana pun yang dikuasai komunis, hanya komunislah yang berkuasa.

Secara politis, tahun 1965, bangsa Indonesia sebenarnya sudah terpecah dua. Adalah terutama PKI yang dengan bahasanya yang keras-konfrontatif memecahbelahkan kesatuan bangsa menjadi kubu revolusioner dan musuh-musuhnya. PKI-lah yang mengancam para lawan mereka sebagai �tujuh setan desa� dan �kafir� yang perlu diganyang. Masyumi dan PSI terus difitnah sebagai antek Nekolim. Para pencetus Manifesto Kebudayaan dihantam habis-habisan (antara lain oleh Pramoedya Ananta Toer yang memakai bahasa yang kasar sekali), dan hanya dua hari sebelum G30S, Aidit menantang Presiden Soekarno sekali lagi untuk membubarkan HMI.

Segala kritik terhadap peran PKI diharamkan sebagai komunistofobi. Pada akhir 1964, sebanyak 20 koran anti komunis dilarang, dan seterusnya. Waktu itu, mereka yang tak termasuk kubu �progresif-revolusioner� itu diliputi ketakutan. Orang ingat akan Madiun, tetapi Madiun waktu itu tak dapat dibicarakan.

Saya berpendapat bahwa suasana yang sampai pertengahan tahun 1965 diciptakan terutama oleh PKI menjadi sedemikian konfrontatif sehingga tidak mungkin ditampung lagi dalam mekanisme pemecahan ketegangan yang tersedia dalam budaya Indonesia tradisional. Itu yang lalu terungkap sebagai �mereka atau kami� (kekhawatiran bahwa komunis akan kembali berkuasa masih terasa sampai 1966 dan saya masih ingat betapa larangan PKI oleh Jenderal Soeharto pada 12 Maret 1966 kami rasakan seperti ada beban berat diambil dari hati kami, suatu perasaan yang sekarang pun masih ada pada saya). Maka dari itu, kalau akhirnya kita berani mengakui kengerian pelanggaran hak-hak asasi mereka yang dicap �terlibat� sesudah G30S, pengakuan itu tidak berarti bahwa PKI harus direhabilitasi. Dan sebaliknya, bahwa PKI merupakan musuh yang dibenci dan ditakuti tidak membenarkan bahwa jutaan anggota masyarakat yang tertarik pada PKI secara sistematik dibunuh dan dihancurkan.

Dari kita betul-betul dituntut kebesaran hati untuk mengakui bahwa reaksi pasca G30S sama sekali keluar rel. Itu tuntutan keadilan paling dasar. Para korban perlu diakui sebagai korban. Perlu diakui, stigmatisasi mereka sebagai pengkhianat atau simpatisan pengkhianatan bangsa merupakan ketidakadilan besar. Kemanusiaan dan kewarganegaraan mereka perlu diakui kembali sepenuhnya. Itu langkah paling pertama. Dan jelas juga, pengakuan korban sebagai korban hanya jujur kalau mereka, dalam batas-batas kemungkinan, direhabilitasi dan diterimakan suatu ganti rugi (dan kepada mereka yang terpaksa melarikan diri ke luar negeri perlu ditawarkan kemungkinan untuk kembali ke Tanah Air tanpa kesulitan birokratis). Sudah sangat mendesak agar para korban mendapat keadilan. Baru sesudah itu kita boleh minta maaf.

Franz Magnis-Suseno; Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat di Jakarta

Senin, 28 September 2015

Menenun Kebaikan

Iwan Pranoto

Memang tak adil menimpakan segala permasalahan sosial di masyarakat pada sistem pendidikan. Meski demikian, sudahkah sistem pendidikan mendesain atau mereka cipta pembelajaran bagi anak untuk mengembangkan kebaikan? Juga sebaliknya, apakah masih ada bahan serta cara ajar yang justru menyemai kejahatan seperti kebencian terhadap kelompok lain atau merendahkan insan yang berbeda? Negara dan rakyat perlu yakin bahwa setiap anak belajar menenun kebaikan di dalam ruang kelasnya agar dapat serasi bermasyarakat.

Kejuangan semu

Pendidikan pada hakikatnya mengemban tugas mengembangkan nilai luhur kemanusiaan. Keserasian sosial,kedamaian, serta peduli kepada sesama diasumsikan menjiwa dalam hakikat pendidikan dan diri pelakunya. Walau mungkin bukan satu-satunya, sistem pendidikan berperan sebagai salah satu sumber kebaikan dan pembangun keteraturan sosial.

Pada praktiknya di beberapa negara, dalam pengajaran sejarah nasional, misalnya, bangsa sendiri selalu dituliskan sebagai pihak yang benar. Sebaliknya, bangsa lain ditempatkan sebagai pihak yang salah. Kami benar mutlak, liyan salah mutlak. Bangsa kami baik, bangsa asing jahat. Secara sistematis dan formal, �kebencian� terhadap kelompok asing disemai dari dalam kelas. Yang bertumbuh pada anak akhirnya patriotisme semu, kejuangan hasil indoktrinasi, bukan hasil proses bernalar.

Bagaimana pula mata pelajaran Agama? Apakah kedamaian dan keserasian antarumat manusia senantiasa dijuarakan dalam bahan ajarnya? Betapa bahaya dan ironis jika secara terprogram pendidikan nasional justru menyokong penyebaran kebencian terhadap liyan melalui mata pelajaran yang umumnya diasumsikan agung dan digadang-gadang sebagai sumber moral.

Melalui buku Education and Social Order (1932, pp 92-101), matematikawan cum filsuf Bertrand Russell sudah tegas menyatakan kritiknya pada pendidikan kepatriotan oleh sekolah Inggris di era kolonial. Russell menyatakan, kepatriotan yang diajarkan sesungguhnya bagian dari upaya Britania Raya melindungi atau mengajekkan kepentingan ekonomi dan politik di sejumlah wilayah jajahan. Patriotisme atau kejuangan yang diajarkan di sekolah tak lain upaya pembenaran untuk menjajah wilayah lain. Kejuangan jadi identik dengan melindungi kepentingan negara walau dengan ongkos mencederai nilai kemanusiaan. Kebaikan pun tak dijuarakan lagi, tetapi sekadar menjadi bahan transaksional. Kebaikan bukan hal utama dan penting lagi.

Dengan mengindoktrinasikan pengertian kejuangan semu yang diyakini banyak orang sebagai suatu kenormalan ini, bahkan lalu dianggap norma, tindakan dan pemikiran tak baik lambat laun jadi �kebenaran�. Keadaan ini akan menyokong kepandiran gerombolan. Merusak milik orang lain sampai menyakiti kelompok berkeyakinan lain jadi bukan saja �masuk akal� dan wajar, melainkan juga baik, bahkan dipuji.

Jika anggapan �kebenaran� ini dibiarkan berlanjut, benih keprimitifan, seperti kesamaan fisik, agama, dan geografis, akan saling menguatkan. Ini akan jadi pemicu pengganggu keteraturan sosial. Kini saatnya pendidikan dengan sengaja dan strategis mengikis kejahatan sekaligus menyediakan lahan subur bagi kebaikan bertumbuh di dalam kelas.

Sudah semestinya mencintai bangsa sendiri tidak ekuivalen dengan membenci bangsa lain. Menjunjung keyakinan sendiri tak ekuivalen dengan membenci kelompok berkeyakinan lain. Perkembangan nilai kejuangan dalam diri pelajar amat penting. Ini dapat dimulai dengan hal sederhana, seperti membangun hasrat mengerjakan tugas belajar sebaik-baiknya.

Dua unsur penting

Guna memungkinkan persekolahan memfasilitasi anak menenun kebaikan, perlu setidaknya membenahi dua unsur, yakni bahan ajar dan cara ajar.

Untuk unsur pertama, dapat dimulai dengan menyisipkan lebih banyak kebaikan ke dalam bahan ajar Sejarah Nasional. Misalnya, mengangkat topik bagaimana para pemuda angkatan 1920-an menggagas Indonesia dengan bernalar. Taraf kejuangan para pelajar kita bernalar tak kalah dibandingkan kegagahan mengangkat senjata. Mengulas sisi kemanusiaan atau kehidupan para pelakunya juga akan membuat pelajaran Sejarah Nasional lebih hidup, menarik, universal, dan sarat kebijaksanaan.

Kemudian, juga perlu diangkat sisi kehidupan manusia awam, seperti bagaimana dari waktu ke waktu masyarakat kita berpakaian, apa yang dimakan, bagaimana memasaknya, atau bagaimana transportasinya. Ini akan mengimbangi bahan-bahan ajar yang melulu sekitar perebutan kekuasaan, kekerasan, dan peperangan. Juga, anak akan merasa dirinya turut menulis sejarah. Sejarah sejatinya menyangkut semua kalangan manusia, tak identik dengan penguasa atau perang.

Unsur kedua, cara ajar, perlu diperkaya dengan peluang anak belajar bernalar utuh. Lebih khusus lagi, anak perlu berkesempatan belajar memahami topik dari berbagai perspektif atau sudut pandang. Anak menerampilkan diri dalam sekali-kali menggeser perspektif atau berganti sudut pandang dalam mengkaji topik, kejadian, dan pengetahuan (McTighe and Wiggins, 1998).

Cara pengajaran bermakna seperti ini tentunya mensyaratkan guru yang memahami bahan ajar dengan mendalam, bergairah belajar dan membelajarkannya, serta menghargai tiap anak. Dalam hal ini Kemdikbud perlu membangun berbagai forum sehingga para guru dapat berlatih, belajar, dan berbagi. Guru tidak dilatih atau diceramahi, tapi guru berlatih dan belajar. Jika diinginkan anak aktif belajar dan berlatih, demikian pula guru perlu aktif belajar dan berlatih. Jika diinginkan anak percaya diri, guru pun perlu pula percaya diri.

Dalam daftar kompetensi mata pelajaran Sejarah Nasional, indikator pemahaman anak perlu menambahkan komponen perspektif tadi. Ke depan, dengan indikator perspektif ini pula, evaluasi pendidikan sejarah akan mengukur pemahaman pelajar secara lebih utuh dan andal.

Dengan pembenahan dua hal di atas, anak akan membangun kecakapan bernalar. Pada akhirnya kecakapan bernalar ini akan menjadi perkakas utama anak untuk mengenali dan mengikis kejuangan semu serta yang utama terlibat menenun kebaikan.

Iwan Pranoto; Guru Besar Matematika ITB

Haji dan Politik, Indonesia dan Arab Saudi

Azyumardi Azra

Ketika musibah datang sepanjang pelaksanaan ibadah haji 1436 H/2015 M�robohnya mesin derek (crane) di Masjidil Haram, Mekkah, dan tabrakan antaranggota jemaah (stampede) di Mina yang menyebabkan lebih dari 1.100 anggota jemaah haji meninggal�ada di antara anggota jemaah haji dan kalangan pemerintah serta ulama Arab Saudi yang segera menyatakan: �Kejadian ini adalah takdir. Mereka yang wafat adalah syahid (martir)�.

Kaum beriman tentu saja wajib percaya takdir. Namun, jika kejadian berujung maut yang terus berulang sejak musibah Terowongan Mina pada 1990 yang menyebabkan 1.426 orang meninggal, orang patut bertanya apakah kejadian mengenaskan itu lebih disebabkan kelalaian dan salah urus tata kelola ibadah haji di Arab Saudi dan di negara-negara lain tempat asal jemaah haji.

Jika sementara tidak melibatkan soal takdir, sedikitnya ada tiga faktor utama penyebab musibah. Pertama, ketiadaan atau kurangnya pengaturan yang jelas (prosedur tetap) arus lalu lintas jutaan anggota jemaah haji di lokasi rawan tabrakan antaranggota jemaah dari Mekkah menuju Arafah, Muzdalifah, Mina, dan kemudian kembali ke Mekkah.

Untuk menghindari tabrakan jemaah yang pergi-pulang dari melontar jumrah (jamak: jamarat) khusus, Pemerintah Arab Saudi sepatutnya menetapkan alokasi waktu bagi jemaah negara-negara. Kalaupun ada, ketentuan itu terlihat tidak ditegakkan tegas sehingga jemaah calon haji berbondong-bondong pergi melempar jumrah di pagi hari, waktu yang dianggap paling utama.

Kedua, dalam gelombang jemaah yang sangat banyak, petugas lapangan Arab Saudi tampak tidak siap dan tidak sigap memisahkan jemaah yang pergi dan yang pulang dari jamarat. Jumlah mereka di lapangan tidak memadai untuk bisa mengendalikan jemaah dalam jumlah demikian besar.

Ketiga, banyak anggota jemaah tidak atau kurang disiplin. Jemaah berombongan cenderung tidak disiplin dan lebih mendahulukan kepentingan sendiri daripada keamanan bersama dan kekhusyukan beribadah.

Memandang berbagai penyebab musibah, jelas perlu pembenahan tata kelola pelaksanaan prosesi ibadah haji di Arab Saudi dan pengelolaan jemaah di setiap negara. Hanya dengan perbaikan tata kelola, kemungkinan musibah pada musim haji selanjutnya dapat dikurangi jika tidak dapat dihilangkan sama sekali.

Harus diakui, Pemerintah Arab Saudi sangat sensitif dalam tata kelola penyelenggaraan ibadah haji yang tidak hanya bermakna keagamaan, tetapi juga politis. Bagi Pemerintah Arab Saudi, khususnya raja, pengelolaan ibadah haji adalah hak istimewa yang tidak dapat dipersoalkan karena raja adalah �al-khadim al-haramayn�pelayan dua haram (Mekkah dan Madinah).

Bagi Arab Saudi, penyelenggaraan ibadah haji di Mekkah�yang dilengkapi ziarah dan shalat 40 waktu (shalat Arbain) di Madinah�sepenuhnya tanggung jawabnya. Oleh karena itu, Arab Saudi cenderung menutup diri dan tidak mau melibatkan negara-negara lain pengirim jemaah haji ke Tanah Suci. Bagi Arab Saudi, keikutsertaan negara lain adalah isu politik terkait posisinya vis-�-vis negara Islam atau mayoritas Muslim lain.

Penyelenggaraan ibadah haji tidak steril dari politik. Sejak akhir abad ke-19, misalnya, Mekkah dan Madinah menjadi pusat pertukaran dan penyebaran gagasan Pan-Islamisme menghadapi kolonialisme sejumlah negara Eropa terhadap banyak wilayah Muslim. Karena itu, negara kolonialis Eropa, seperti Belanda yang menjajah Indonesia, memiliki kantor konsulat di Jeddah untuk memantau jemaah calon haji dari Hindia Belanda.

Bagi Arab Saudi, ibadah haji memberikan posisi tawar penting dalam hubungan dengan dunia Muslim. Sejak 1960-an, Raja Faisal menjadikan ibadah haji sebagai kunci melobi negara-negara Muslim lain mewujudkan dan menguasai Organisasi Konferensi Islam (kini Organisasi Kerja Sama Islam/OKI).

Melalui OKI dan Rabitah �Alam Islami, Arab Saudi mendapat dukungan negara-negara Muslim lain dalam pengelolaan haji tanpa harus mengompromikan kedaulatan penuhnya atas Haramayn. Negara-negara Muslim penganut Sunni umumnya tidak mempersoalkan kedaulatan Arab Saudi atas Haramayn. Saat sama, mereka berusaha mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Arab Saudi atas jemaah masing-masing.

Seperti dicatat Robert R Bianchi dalam bukunya, Guest of God: Pilgrimage and Politics in the Islamic World (2004), Pemerintah Arab Saudi akhirnya menemukan diri harus mendengar suara negara pengirim jemaah calon haji dalam jumlah besar. Negara-negara ini�Indonesia, Turki, Malaysia, Pakistan, dan Nigeria�yang mengembangkan tata kelola haji modern dengan institusi pengelola profesional melalui lobi berhasil mendorong Pemerintah Arab Saudi meningkatkan fasilitas dan pengelolaan ibadah haji.

Kepada pihak lain, Iran (dan Libya pada masa Khadafy) sudah sejak lama menggaungkan ide tentang �internasionalisasi� tata kelola ibadah haji di Haramayn; penyelenggaraan dilaksanakan institusi khusus bentukan bersama negara-negara Muslim. Presiden Iran Mohammad Khatami pada musim haji 1997 pernah mencoba menggalang internasionalisasi pengelolaan Mekkah dan Madinah. Usaha Khatami gagal karena ditolak Arab Saudi yang didukung kebanyakan negara Muslim lain.

Namun, gagasan Iran ini tak pernah padam. Untuk menangkis manuver Iran, Arab Saudi selalu berhasil mendapat dukungan dari negara-negara yang kian penting dalam OKI dan dunia internasional, yaitu Indonesia, Turki, Malaysia, Pakistan, dan Nigeria.

Musibah Mina (24/9) kembali memberikan momentum bagi Iran untuk berargumen, Arab Saudi gagal menyelenggarakan ibadah haji secara baik, aman, dan nyaman. Kini saatnya Pemerintah Arab Saudi menerima internasionalisasi pengelolaan Mekkah dan Madinah. Sekali lagi, gagasan tersebut pasti ditolak Arab Saudi dan mayoritas negara Muslim lain, termasuk Indonesia.

Indonesia dapat memainkan peran lebih kontributif untuk perbaikan tata kelola prosesi ibadah haji di Haramayn. Indonesia memiliki leverage untuk melakukan kemaslahatan umat Islam secara keseluruhan. Penerimaan Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke Arab Saudi (11/9) secara luar biasa oleh Raja Salman dapat menjadi entri penting bagi Indonesia untuk meningkatkan diplomasi dan lobi guna perbaikan pelaksanaan ibadah haji ke depan.

Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI (2015-2020)

Rabu, 08 Juli 2015

Sulitnya Melenyapkan Perilaku Korupsi

TOPAN YUNIARTO

Ibarat virus, korupsi termasuk gampang-gampang susah dimusnahkan. Belum ada vaksin anti korupsi yang sanggup meredam penyebaran virus tersebut sampai ke akar-akarnya. Lembaga superbodi sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi pun belum mampu menghentikan budaya korupsi.


Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan dianggap wajar oleh masyarakat. Tindakan memberi hadiah kepada pejabat atau pegawai negeri, bahkan keluarganya, sebagai imbal jasa sebuah pelayanan dipandang lumrah sebagai bagian dari budaya ketimuran.

Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi di dalam UU itu dirujuk dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang lahir sebelum negara ini merdeka.

Jika merujuk UU No 31/1999 juncto UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi, kebiasaan berperilaku koruptif, yang selama ini dianggap sebagai hal wajar dan lumrah, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Pemberian gratifikasi atau pemberian hadiah kepada penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, jika tidak dilaporkan ke KPK, dapat menjadi salah satu bentuk tindak pidana korupsi.

Langkah Presiden

Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Instruksi Presiden No 7/2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Dalam inpres itu, terdapat 96 butir aksi yang harus dilaksanakan selama tahun 2015.

Inpres yang ditujukan kepada kementerian atau lembaga serta pemerintah daerah itu dimaksudkan untuk memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat dan membentengi kebijakan dari tindak pidana korupsi. Terkait hal itu, presiden berharap agar aksi dilakukan dengan sebaik-baiknya, tak sekadar formalitas. Melalui inpres itu, presiden juga meminta dihilangkannya pungutan liar dan birokrasi yang berbelit.

Persoalannya sederhana, korupsi sudah ada sejak republik ini berdiri. Perilaku koruptor sudah sangat sulit dilenyapkan karena telah mendarah daging berpuluh tahun. Mereka (koruptor) memiliki beribu modus operandi untuk menggangsir uang negara. Laiknya tindak pidana umum, pelaku korupsi selalu berada selangkah di depan penegak hukum.

Korupsi, menurut Philip (1997), adalah tingkah laku dan tindakan seseorang pejabat publik yang menyimpang dari tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengan pelaku korupsi, seperti keluarga koruptor, karib kerabat koruptor, dan teman koruptor. Pengertian ini juga mencakup kolusi dan nepotisme pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit. Pengertian korupsi oleh Philip dipusatkan pada korupsi yang terjadi di kantor publik.


Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest centered). Dikatakan, korupsi telah terjadi apabila seorang pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik melakukan tindakan-tindakan tertentu untuk orang-orang yang akan memberikan imbalan, baik itu uang atau materi lain, sehingga merusak kedudukan dan kepentingan publik.

Jaksa Agung  HM Prasetyo, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago, Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Taufiequrachman Ruki, dan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti (kiri ke kanan) saat menyampaikan keterangan pers seusai mengikuti rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri lainnya di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (19/6). Rapat membahas strategi nasional untuk mencegah dan memberantas korupsi.

Pengertian korupsi ketiga menurut Philip adalah yang berpusat pada pasar (market centered), yang diambil dari hasil analisis tentang korupsi yang dikaji menggunakan teori pilihan publik dan sosial serta pendekatan ekonomi dalam kerangka analisis politik bahwa pengertian korupsi adalah kegiatan atau aktivitas oleh lembaga ekstra-legal yang digunakan individu-individu ataupun kelompok-kelompok untuk mendapat pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Kemudian dilanjutkan bahwa pengertian korupsi berarti penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintah untuk mendapatkan tambahan pendapatan dari publik.

Inilah yang kerap menjebak seseorang yang masuk ke dunia politik. Dalam ajang pemilihan kepala daerah (pilkada), misalnya, seorang calon kepala daerah harus mengeluarkan biaya tak sedikit untuk "membeli" kendaraan politik, ongkos kampanye hingga politik uang. Pertanyaannya, dari mana seorang kepala daerah bisa mengembalikan investasi yang sudah dibenamkan saat pencalonan. Setelah menjabat, mau tak mau, ia harus kreatif mengatur proyek-proyek APBD di daerahnya. Memang, ada beberapa kepala daerah yang relatif bersih dan enggan menggerogoti keuangan negara, tetapi jumlahnya tidak banyak.

Banyak hal yang membuat republik ini subur dengan korupsi kendati terdapat tiga lembaga penegak hukum, yakni KPK, Polri, dan kejaksaan, yang memiliki kewenangan memberantas korupsi. Meski demikian, efek jera yang ditimbulkan ketiganya hingga kini belum begitu terasa. Bahkan, sebagai tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime), koruptor masih mendapat perlakuan khusus. Mulai dari tingkat penyidikan, vonis pengadilan, hingga saat menyandang status sebagai narapidana, mereka tetap memperoleh perlakuan yang lebih baik dibandingkan dengan pelaku tindak pidana khusus lainnya.

Jadi, jangan bermimpi vaksin anti korupsi akan mampu membasmi virus korupsi yang telanjur menggerogoti sel, darah, dan daging. Negara ini membutuhkan kesanggupan berbagai pihak untuk membentuk sistem, budaya, dan watak generasi yang benar-benar bersih agar virus korupsi tidak menjangkit.

(LITBANG KOMPAS)

Jabatan Komisioner KPK

EDDY OS HIARIEJ

Saat ini, Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sedang diuji di Mahkamah Konstitusi.

Secara eksplisit pasal tersebut menyatakan, �Dalam hal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.� Pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, �Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.� Pasal 32 Ayat (2) undang-undang ini cukup rentan terhadap siapa pun yang menjabat komisioner KPK untuk dicari-dicari kesalahannya.

Heijder dalam Kritieke Zones In De Strafrechtswetenschappen menulis, antara lain, bahwa metodologi dari ilmu hukum modern harus memiliki perhatian yang besar untuk hal-hal yang nyata ada. Salah satu fase pemikiran hukum pidana yang sangat fundamental, kata Heijder, adalah refleksi filsafati. Fase pemikiran ini menjadi penting dalam rangka penyusunan dan pembentukan suatu aturan hukum agar tidak menyimpang dari tujuan dan fungsi aturan hukum itu sendiri.

Konsep perlindungan hukum

Pembentukan suatu ketentuan pidana secara mutatis mutandis harus bersinergi dengan tujuan dan fungsi hukum pidana itu sendiri. Tujuan hukum pidana, selain melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan negara, juga bertujuan melindungi masyarakat dari kejahatan. Tujuan ini berpegang pada postulat le salut du people est la supreme loi yang berarti hukum tertinggi adalah perlindungan. Sementara fungsi hukum pidana, selain melindungi kepentingan hukum, juga memberi keabsahan bagi negara dalam rangka menjalankan fungsi melindungi kepentingan hukum.

Konsep perlindungan hukum dalam konteks hukum pidana dapat dilihat secara in abstracto dan in concreto. Perlindungan in abstracto mengandung makna substansi suatu kaidah hukum haruslah memberikan perlindungan. Sementara perlindungan hukum in concreto mengandung arti bahwa praktik penegakan hukum harus memberikan perlindungan.

Paling tidak ada dua parameter yang dapat dijadikan ukuran untuk menyatakan apakah perlindungan hukum in abstracto dikandung oleh suatu norma hukum. Pertama, apakah suatu norma menjamin kepastian hukum. Kedua, apakah suatu norma bersifat diskriminatif. Kedua parameter tersebut bersifat kumulatif. Artinya, jika salah satu saja parameter tidak terpenuhi, dapat dikatakan bahwa norma hukum tersebut tidak memberikan perlindungan secara in abstracto.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 32 Ayat (2) UU No 30/2002 tidaklah memberikan perlindungan hukum secara in abstracto terhadap komisioner KPK karena tidak memberikan kepastian hukum dan bersifat diskriminatif. Dasar argumentasinya adalah, pertama, penetapan tersangka berdasarkan Pasal 1 butir 14 KUHAP hanyalah berdasarkan bukti permulaan. Oleh karena itu, komisioner yang berstatus sebagai tersangka harus tetap dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila seseorang komisioner sebagai tersangka harus diberhentikan dari jabatannya, hal ini melanggar asas praduga tidak bersalah. Terlebih jika penetapan komisioner sebagai tersangka itu dilakukan atas dugaan suatu tindak pidana yang terjadi sebelum orang tersebut menjadi pimpinan KPK.

Kedua, masih berkaitan dengan kepastian hukum, seyogianya pasal ini ditafsirkan secara restriktif bahwa pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan diberhentikan sementara dari jabatannya jika dan hanya jika kejahatan tersebut dilakukan pada saat yang bersangkutan menjabat sebagai pimpinan KPK. Interpretasi yang demikian adalah logis-sistematis-historikal, sebab untuk menjabat pimpinan KPK melalui seleksi berjenjang yang sangat ketat dengan melibatkan partisipasi publik. Tentunya rekam jejak orang tersebut juga ditelusuri. Jika orang tersebut memiliki masalah hukum, semestinya panitia seleksi dan DPR tidak memilih yang bersangkutan sebagai pimpinan KPK.

Ketiga, anak kalimat yang menyatakan, �...menjadi tersangka tindak pidana kejahatan...� dalam pasal ini bersifat diskriminatif jika dibandingkan sejumlah ketentuan perundang-undangan yang mengatur pemberhentian terhadap pejabat publik yang diduga melakukan suatu tindak pidana. Tak ada pembatasan terkait tindak pidana kejahatan dalam pasal ini membawa konsekuensi tindak pidana kejahatan apa pun yang dilakukan oleh pimpinan KPK dan yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka harus diberhentikan sementara dari jabatannya.

Sebagai misal, kalau seorang pimpinan KPK tidak memberi makan hewan piaraannya secara wajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 KUHP, dan kemudian dijadikan tersangka, maka yang bersangkutan harus diberhentikan sementara dari pimpinan KPK karena Pasal 302 KUHP tersebut terdapat dalam Buku Kedua KUHP mengenai tindak pidana kejahatan meskipun hanya diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan.

Bandingkan dengan ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yang mengatur secara rinci kualifikasi tindak pidana yang dapat digunakan untuk memberhentikan seorang presiden dan wakil presiden, yakni hanya tindak pidana pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya. Demikian pula ketentuan terhadap anggota Badan Pemeriksa Keuangan dan anggota Komisi Yudisial yang diberhentikan karena melakukan suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana mati. Perbedaan lain juga jelas terlihat dalam UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan kepala daerah diberhentikan sementara jika yang bersangkutan berstatus sebagai terdakwa tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI. Perbedaan pengaturan demikian menunjukkan adanya diskriminasi karena tidak ada perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Seyogianya harus ada pembatasan terhadap tindak pidana kejahatan yang dilakukan. Lazimnya hanya sebatas tindak pidana korupsi, terorisme, pelanggaran berat hak asasi manusia dan narkotika. Hal ini karena kejahatan-kejahatan tersebut adalah kejahatan luar biasa yang memiliki sifat dan karakter sebagai kejahatan internasional. Pembatasan lain juga dapat ditujukan terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 10 tahun ke atas. Hal ini memperlihatkan tingkat keseriusan dari kejahatan tersebut. Dalam konteks KUHP, tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 10 tahun adalah tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara dan tindak pidana kejahatan terhadap nyawa.

Keempat, diskriminasi lainnya adalah bahwa dalam pasal ini tidak diatur mengenai tindakan pemolisian. Hal ini berbeda dengan sejumlah ketentuan UU terkait tindakan pemolisian terhadap pejabat publik. Tindakan pemolisian terhadap hakim agung, hakim konstitusi, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, dan anggota Komisi Yudisial dilakukan dengan perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis Presiden. Prosedur yang demikian tidak berlaku dalam hal tertangkap tangan melakukan suatu tindak pidana.

Perlu ada pembatasan

Dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap komisioner KPK yang akan datang, seyogianya Pasal 32 Ayat (2) UU No 30/2002 dibatasi dalam tiga hal. Pertama, tindak pidana kejahatan harus dipersempit hanya kejahatan korupsi, terorisme, narkotika, pelanggaran berat HAM, dan tindak pidana yang diancam pidana lebih dari 10 tahun penjara.

Kedua, komisioner KPK diberhentikan sementara dari jabatannya jika yang bersangkutan sebagai tersangka terhadap tindak pidana kejahatan sebagaimana yang disebut di atas dan jika tindak pidana kejahatan tersebut dilakukan dalam masa jabatannya.

Ketiga, jika tindak pidana kejahatan tersebut dilakukan sebelum yang bersangkutan menjabat sebagai komisioner KPK, maka proses hukum terhadapnya dilakukan setelah yang bersangkutan tidak lagi menjabat sebagai komisioner KPK. Hal ini dapat dilakukan dengan mekanisme rusten atau pembantaran daluwarsa dalam hukum pidana, dengan maksud agar yang bersangkutan masih tetap dapat diproses secara hukum setelah tidak lagi menjabat. Mekanisme rusten adalah untuk mencegah daluwarsanya penuntutan pidana dan tidak memberikan imunitas terhadap siapa pun.


Eddy OS Hiariej; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM

Mengukur Kapal Ikan

M RIZA DAMANIK

"Bener nanging ora pener� (Benar tetapi tidak tepat), begitu kelakar seorang nelayan asal Rembang, Jawa Tengah, mencermati perkembangan kebijakan perikanan Indonesia di era Poros Maritim.

�Bener� dianalogikan sebagai sebuah terobosan baik dan orisinal dari Kabinet Kerja untuk membenahi tata kelola perikanan nasional, termasuk prestasi mengungkap maraknya praktik pengurangan tonase kapal ikan. Kapal-kapal itu di antaranya memiliki tonase di atas 60 GT, tetapi selama bertahun-tahun punya izin menangkap ikan dalam kapasitasnya kurang dari 30 GT. Temuan ini jadi salah satu dasar pemerintah tidak memperpanjang izin kapal-kapal tersebut.

Sementara �ora pener� adalah akibat ketiadaan solusi komprehensif dari pemerintah untuk mengantarkan aktivitas perikanan rakyat beranjak dari persoalan menahun tadi.

Hasil studi Badan Kebijakan Fiskal (2013) memperkirakan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) tahun 2014 dari sektor perikanan dapat mencapai Rp 1,52 triliun. Celakanya, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, PNBP 2014 masih kurang dari Rp 250 miliar.

Berdasarkan PP No 19/2006 tentang Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), diketahui sederet faktor penentu besar-kecilnya pungutan hasil perikanan. Berturut-turut: ukuran tonase kapal, jenis bahan, kekuatan mesin kapal, jenis alat penangkap ikan, jumlah trip operasi penangkapan ikan per tahun, kemampuan tangkap rata-rata per trip, dan wilayah penangkapan ikan. Itu sebabnya ketakakuratan ukuran tonase kapal ikan telah berdampak langsung terhadap rendahnya penerimaan negara dari tahun ke tahun.

Tantangan lain justru disebabkan rendahnya alokasi izin kapal ikan yang tercatat di zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI). Merujuk KKP dalam Angka 2014, diketahui sebanyak 226.520 kapal atau lebih dari 98 persen dari total armada ikan Indonesia memegang izin operasi di perairan kurang dari 12 mil laut. Sementara di ZEEI, jumlahnya hanya 4.230 kapal atau tak mencapai 2 persen. Persoalannya menjadi jauh lebih rumit setelah KKP melakukan uji petik.

Hasilnya, 80 persen dari 226 sampel kapal ikan didapati melakukan manipulasi tonase kapal jadi kurang dari 30 GT. Temuan ini sekaligus memunculkan spekulasi baru: sekurang-kurangnya ada 6.000 kapal ikan Indonesia mengantongi izin dari pemerintah daerah, tetapi beroperasi di perairan ZEEI.

Komprehensif

Penegakan hukum di laut berupa penangkapan hingga penenggelaman kapal pencuri ikan telah memberi penjelasan awal bahwa kita bukanlah bangsa pandir, yang terus-menerus membiarkan bangsa lain mencuri kekayaan ikannya, sementara nelayannya sendiri dibiarkan menonton dan miskin. Pengelolaan perikanan ke depan membutuhkan solusi komprehensif.

Pertama dan paling utama, Kementerian Perhubungan perlu menuntaskan pengukuran ulang seluruh armada ikan nasional sebelum KKP mengalokasikan penambahan armada ataupun izin baru di perairan Indonesia. Khusus pada 2015, pemerintah dapat memberi insentif kepada pelaku usaha perikanan berupa pembebasan biaya pengukuran tonase kapal ikan, termasuk biaya perizinan penangkapan ikan. Diharapkan akurasi antara alokasi perizinan dengan ketersediaan sumber daya ikan dan target pendapatan negara jadi lebih baik; sejalan dengan tingginya partisipasi nelayan dan pelaku usaha mendaftarkan ulang kapalnya.

Kedua, mentransformasikan 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI jadi satuan Otoritas Pengelolaan Perikanan. Sebab, perairan Indonesia tidak saja luas, karakternya juga beragam dan dinamis. Otoritas ini nantinya dapat memberi pertimbangan periodik kepada Menteri Kelautan dan Perikanan dalam menentukan: alokasi izin penangkapan, jenis alat tangkap yang boleh digunakan, spesies dan volume ikan yang boleh ditangkap, hingga menyiapkan dan mengawal keberlanjutan sistem logistik ikan nasional. Karena itu, perlu ada wakil organisasi nelayan dan masyarakat adat, dunia usaha, LSM, perguruan tinggi, dan pemerintah daerah di dalamnya.

Apabila keduanya disegerakan, pengelolaan perikanan Indonesia menjadi lebih berkelanjutan, kapal-kapal berbendera Merah-Putih semakin berdaulat, kesejahteraan nelayan kecil dan buruh perikanan berpeluang lebih baik, bahkan aksi pencurian ikan dengan mudah ditumpas.

M Riza Damanik; Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia

Waspadai Pemerintah oleh Parlemen

W RIAWAN TJANDRA

Diskursus dan tarik ulur penganggaran dana aspirasi oleh DPR dengan kisaran jumlah anggaran Rp 11,2 triliun, akumulasi dari jumlah alokasi anggaran untuk tiap anggotaDPR Rp 15-20 miliar per tahun, memperlihatkan adanya sejumlah paradoks dalam kebijakan penganggaran. Dana aspirasi telah mengubah konsep pemisahan kekuasaan (trias politica).

Paradoks pertama terlihat dari landasan hukum tak memadai dalam usulan dana aspirasi. Kebijakan dana aspirasi akan menabrak sistem perencanaan pembangunan nasional dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 yang mewajibkan mekanisme penganggaran harus melewati mekanisme perencanaan secara bottom up melalui musyawarah perencanaan pembangunan sejak dari desa, daerah (kabupaten/kota dan provinsi) yang berpuncak pada kebijakan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Teknis/Sektoral.

Alasan sebagian anggota DPR bahwa dana aspirasi memiliki landasan hukum adalah anggota DPR harus memperjuangkan kepentingan daerah pemilihan masing-masing sebagaimana diatur dalam UU No 17/2014 tentang MD3, jelas telah menginterpretasikan UU secara salah.

Interpretasi atas perjuangan dapil dalam UU MD3 harus dikembalikan kepada tiga fungsi DPR di ranah legislasi, penganggaran, dan pengawasan, yang tentunya salah jika diartikan bahwa untuk setiap anggota DPRD harus disediakan plafon khusus dalam APBN untuk bisa menginstruksikan eksekutif agar melaksanakan program tertentu dengan komando anggota legislatif atas nama perjuangan dapil.

Di titik tersebut interpretasi secara salah mengenai kewenangan anggota legislatif itu sekaligus bisa menabrak dua kewenangan organ negara lain, yaitu eksekutif dan DPD.Kewenangan eksekutif ditabrak karena anggota DPR seolah-olah atas nama perjuangan dapil bisa mengintervensi program/kegiatan pemerintah/pemda yang sudah ditetapkan melalui mekanisme musrenbang.

Pergeseran pemerintahan

Di sinilah sejatinya telah terjadi pergeseran teori trias politica dengan terjadinya pemerintahan oleh parlemen (governing by parliament) yang mengubah konstelasi ketatanegaraan pengawas politik menjadi pemain. Hal ini bisa mengacaukan struktur ketatanegaraan dan sistem pengawasan terhadap pemerintah yang membuka celah terjadinya kolusi serta banalisasi korupsi berjemaah karena sang pengawas (baca legislatif) melebur dengan yang diawasi (baca eksekutif).

Kebijakan penganggaran dana aspirasi dengan mengatasnamakan dapil juga bisa mengacaukan konsep pembagian kekuasaan di tubuh MPR, antara DPR dan DPD. DPR telah menggerogoti wilayah kewenangan DPD dengan menembus batas yurisdiksi kekuasaan yang semestinya menjadi arena perwakilan DPD.

Di sisi lain, juga akan berbenturan dengan wilayah kewenangan DPRD yang dalam UU MD3 dan UU Pemda diatur untuk mewakili dan memperjuangkan aspirasi rakyat di daerah dalam kebijakan di setiap daerah. Dengan demikian, hal tersebut juga berpotensi mengganggu pelaksanaan otonomi daerah dan menimbulkan kekacauan kebijakan, administrasi ataupun penganggaran di setiap daerah.

Paradoks kedua dari kebijakan dana aspirasi adalah adanya modifikasi praktik-praktik buruk Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) ataupun Dana Percepatan Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPPID) yang sejatinya merupakan legalisasi permainan politik �gentong babi� (pork barrel politics). Pada masa lalu, permainan ini telah menyeret sejumlah oknum di DPR dan eksekutif akibat penggunaan dana yang membuka celah praktik-praktik kolusi dan korupsi yang masif.

Jika semula DPID/DPPID itu hanya disandarkan pada kerangka hukum (legal framework) Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu), kini justru akan dilegalisasi dalam UU APBN. Akibatnya, yang terjadi sesungguhnya adalah legalisasi atas praktik-praktik pork barrel politics yang menjadi ancaman serius bagi demokrasi dan dilarang di berbagai negara lain.

Di AS, politik gentong babi akhirnya dengan tegas dilarang setelah digunakan pada 1817 dalam Bill Bonus yang isinya penggelontoran dana untuk pembangunan jalan raya yang menghubungkan Timur dan Selatan ke Barat Amerika. Dananya akan diambil dari laba bonus Second Bank of the United States (Bank Kedua Amerika Serikat). RUU tersebut diveto oleh Presiden James Madison.

Tahun 1931, di AS juga akan diterapkan Bill Bonus kedua atas desakan para veteran yang tergabung dalam American Legion dan Veterans of Foreign Wars untuk membayar kompensasi kepada mereka yang berjuang pada Perang Dunia I. Desakan itu mendapat dukungan anggota Kongres dari Texas, John Wright Patman. Pada 1932, Patman memperkenalkan Veteran�s Bonus Bill. Tentangan Presiden Herbert Hoover akhirnya menggagalkan usaha Patman. Hal itulah yang menginspirasi pelarangan praktik politik gentong babi di negeri Paman Sam tersebut.

Kebijakan mirip dana aspirasi yang disebut dengan praktik �gentong babi� juga disebut patronage (patronase). Di Denmark, Swedia, dan Norwegia disebut election pork atau �babi pemilihan�, di mana para politisi mengumbar janji-janji sebelum pemilihan berlangsung.

Di Finlandia disebut �politik gorong-gorong� yang digunakan oleh para politisi nasional berkonsentrasi pada masalah-masalah lokal. Romania menyebutnya �sedekah pemilihan�. Sementara di Polandia disebut �sosis pemilu�. Pada prinsipnya, praktik-praktik politik gentong babi itu yang di Indonesia akan diperkenalkan sebagai dana aspirasi itu bisa merusak tata kelola pemerintahan yang baik dan sekaligus mengacaukan sistem ketatanegaraan.

W Riawan Tjandra; Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Gelembung Politik DPR

GUN GUN HERYANTO

Ruang politik kita akhir-akhir ini disesaki sejumlah isu yang memantik nalar kritis publik atas peran kelompok elite politisi berlabel wakil rakyat.

Utak-atik revisi Undang-Undang KPK yang berpotensi menjadi pintu masuk pelemahan KPK, akal nakal penggelontoran dana aspirasi, dan manuver liar tekanan politik kepada KPU soal kesiapan menggelar pilkada serentak yang dikait-kaitkan dengan hasil audit BPK. Meski beragam isu itu memiliki dinamikanya sendiri-sendiri, benang merahnya sama, prinsip bonum commune atau mengedepankan kepentingan umum tersisihkan. Inilah deretan gelembung isu politik yang ditiupkan DPR dan kini menjadi perhatian publik. Secara substansial, publik tak memperoleh kemanfaatan nyata dari isu-isu yang berhamburan itu. Wajar jika banyak yang menilai, DPR berjalan dengan logika dan kepentingannya sendiri.

Watak hegemonik

Gelembung politik di DPR menghadirkan sejumlah kontradiksi. Penentangan datang dari berbagai kalangan terutama menyangkut logika dan pertimbangan sehat di balik isu dan manuver para politisi itu. Soal revisi UU KPK, ada lima poin yang dikhawatirkan, soal pencabutan kewenangan penyadapan, penghapusan kewenangan penuntutan, pembentukan dewan pengawas KPK, pengetatan rumusan kolektif kolegial, dan kewenangan menghentikan perkara (SP3).

Soal usulan program pembangunan daerah pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi, muncul sejumlah gugatan terutama terkait mekanisme penganggaran, aspek keadilan dan pemerataan, tumpang tindih peran dan kewenangan, serta akuntabilitas publik pelaksanaan anggaran. Demikian juga dengan isu soal temuan audit BPK atas pengelolaan anggaran KPU 2013- 2014. Tak ada hubungannya antara temuan BPK itu dan tahapan pilkada serentak.

Kenyataannya, beberapa politisi DPR menggulirkan pernyataan di media massa yang menyudutkan KPU. Menurut mereka, kesiapan menyelenggarakan pilkada serentak bisa saja terganggu jika KPU belum menindaklanjuti temuan BPK. Logika liar yang seolah sedang menyatukan puzzle berbeda dalam dialektika kontekstual yang seolah-olah ada hubungannya.

Gelembung isu ini menunjukkan lemahnya koherensi karakterologis dalam membangun narasi politik. Dalam perspektif teori naratif Walter Fisher di bukunya Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value and Action (1987), salah satu hal utama yang jadi power narasi adalah dapat dipercayanya karakter para aktor yang membawakannya. Wajar kecurigaan publik terhadap politisi DPR teramat tinggi karena ada benang merah yang terbaca atau terasa sama. Banyak politisi yang jadi aktor lebih sering menunjukkan kepentingan diri dan kelompoknya daripada kepentingan rakyat.

Saat ini, ada kecenderungan terjadinya retrogresi politik atau penurunan kualitas politik yang disebabkan ulah politisi yang bekerja dengan mekanisme semata-mata mendapatkan jatah kekuasaan. Selain soal jatah, ada juga mekanisme pertahanan diri dan pengokohan oligarki di tubuh parpol. Semua ini merupakan watak hegemonik laku politik kaum elite. Politisi DPR sebagai wakil rakyat seharusnya menghadirkan komunikasi deliberatif dengan menyodorkan konsultasi, musyawarah, proses menimbang-nimbang dan terpenting lagi mendengarkan suara rakyat melalui beragam kanal. Komunikasi deliberatif berupaya meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam menyalurkan aspirasinya saat proses pembentukan kebijakan publik.

Deliberasi lewat diskursus publik ini jalan tepat guna merealisasikan konsep demokrasi regierung der regierten (pemerintahan oleh yang diperintah). Dengan demikian, ada kemauan dan kemampuan membentuk konsensus berbasis rasionalitas warga. Bukan sebaliknya, mereka meniup terus-menerus gelembung politik, sementara pilihan logika dan tindakannya tercerabut dari aspirasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.

Resonansi isu

Dalam perspektif komunikasi politik, guliran isu harus dibaca dialektika kontekstualnya. Hal ini, terhubung dengan momentum yang memang sengaja diciptakan agar mendapat resonansi atau gaung di media massa, media sosial dan perbincangan publik lainnya. Gaung politik yang ditiupkan lewat media massa bahwa revisi UU No 30/2002 tentang KPK merupakan kebutuhan mendesak sehingga harus masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2015, usulan dana aspirasi yang dikesankan prorakyat, serta memengaruhi opini soal kesiapan KPU menyelenggarakan pilkada serentak, bisa kita maknai sebagai permainan opini publik.

Sebagian besar politisi sangat paham bahwa hal dominan dalam politik adalah persepsi publik, sehingga beragam operasi mengendalikan opini dianggap sangat penting. Maxwell McCombs dan Donald L Shaw dalam tulisan klasik mereka �The Agenda Setting Function of Mass Media� yang dipublikasikan Public Opinion Quarterly pada 1972 mengungkapkan, jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, media akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.

Perspektif agenda setting memandang media massa bisa memengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Namun, nyatanya, upaya para politisi melakukan operasi pengendalian opini telah gagal! Reaksi publik tetap keras dan memandang ketiga agenda tadi sesungguhnya tak dalam bingkai prorakyat melainkan strategi mengamankan diri dan kelompok mereka semata. Konteks lain yang juga menarik dibaca adalah situasi transisi pemerintahan. Secara faktual, pergantian rezim kekuasaan dari SBY ke Jokowi masih menyisakan sejumlah persoalan. Pemerintahan Jokowi-JK belum sampai di titik keseimbangan politiknya. Meski sudah melewati fase turbulensi saat tinggal landas Kabinet Kerja, Jokowi masih dihadapkan sejumlah tekanan elite partai di dalam dan di luar koalisi.

Para politisi sangat paham, situasi acak seperti sekarang, memungkinkan mereka memasang sejumlah jerat politik atas nama konsensus. Tesis Arend Lijhart dalam Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (1999) menyebutkan, realitas masyarakat majemuk yang tak ada partai dominannya, cenderung menggunakan demokrasi model konsensus. Jeratan konsensus di banyak kasus, selain politik akomodasi dalam koalisi juga upaya menciptakan zona nyaman kekuasaan. Prinsip �semua senang, semua menang� menyebabkan pemerintah tersandera politisi.

Akankah Jokowi mengikuti irama yang didendangkan DPR? Inilah ujian nyata sekaligus pertaruhan kepemimpinan Jokowi. Posisi pemerintah sangat strategis. Jika Jokowi tak mengeluarkan surat yang isinya menugaskan menteri terkait membahas UU tentang KPK dengan DPR, revisi UU itu tak bisa dibahas meski sudah disetujui DPR dalam rapat paripurna. Jokowi harus konsisten dengan pernyataannya yang menolak rencana revisi UU KPK. Demikian juga soal dana aspirasi. Pemerintah masih mungkin menolak dengan tak mengakomodasi program ini dalam APBN 2016.

Sesuai dengan sifatnya, gelembung selalu menampakkan banyak isu yang seolah-olah realitas nyata. Saat kita serius menggapainya, gelembung itu sirna, pecah dalam tempo sesaat atau berganti dengan tiupan gelembung lain yang lebih besar. Butuh ketepatan dan kecermatan memilah antara kebijakan prorakyat dan gelembung politik para politisi.

Gun Gun heryanto; Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Sabtu, 04 Juli 2015

Barcelona-Montserrat

BRE REDANA

Tak terbayangkan Barcelona tanpa Antoni Gaudi. Karya- karya peninggalan arsitek besar yang tersebar di seluruh kota itulah yang menjadikan Barcelona berbeda dibandingkan kota-kota lain di Eropa. Tidak sanggup menemukan superlatif untuk menggambarkan kebesaran Gaudi. Melihat karya-karyanya, antara lain Sagrada Familia, menjadi optimistis bahwa media cetak tidak akan pernah mati oleh desakan media digital.

Apa hubungan arsitektur dengan media cetak?

Pertanyaan di atas pernah dilontarkan Victor Hugo lewat mulut tokoh dalam novelnya, The Hunchback of Notre-Dame. Dengan temuan buku pada zamannya, akankah intelek manusia bakal meninggalkan arsitektur? Maksudnya kira-kira, kalau ada media yang lebih gampang, yakni kertas, tinta, pena, mengapa harus bersusah payah menumpuk-numpuk batu menjadi katedral? Ini soal ekspresi kepercayaan. Katedral adalah �kitab suci dari batu�.

Ternyata, hubungan manusia dengan ruang tak bisa digantikan dengan gagasan belaka. Arsitektur menjadikan ruang sebagai hal konkret. Pada era modern di akhir abad ke-19/awal abad ke-20, Gaudi membangun Sagrada Familia. Sampai sekarang, setiap hari ribuan turis mengagumi gereja yang menakjubkan ini: wujud gagasan modernisme untuk memuliakan Ilahi.

Gaudi tidak hanya membangun penanda pusat kota bernama Sagrada Familia. Ia membangun rumah-rumah pribadi, taman, ruang publik, dan lain-lain. Rumah pribadi paling mengesankan adalah Casa Batllo, yang kini dibuka untuk umum. Banyak yang menyebut, puncak kematangan Gaudi terwujud pada Casa Batllo.

Di situ bisa dianggap terjawab teka-teki yang diajukan Hugo. Arsitektur tidak merana ditinggalkan perkembangan teks. Intensitas dan krida fisik dalam penciptaan karya arsitektur tak bisa digantikan hanya dengan otak-atik teks. Proses yang menuntut totalitas ekspresi diri, dari gagasan, krida fisik, sampai spiritualitas, telah melahirkan produk yang tahan terhadap gerusan zaman. Makin hari, karya Gaudi, seperti Candi Prambanan, bahkan tampak makin indah dan terlihat superioritasnya.

Karena apa? Karena intensitas penciptaan dan dimensi spiritualitas tadi. Teks, buku, media cetak kiranya akan mengalami perkembangan sama seperti mereka. Dunia virtual dari teknologi digital tak akan mampu menggantikan sesuatu yang konkret, berdarah-daging, apalagi kalau di situ terdapat dimensi spiritualitas.

Beruntung mendapat undangan dari pelukis kontemporer asal Irlandia, Sean Scully. Ia mengadakan jamuan makan malam untuk kalangan terbatas di Casa Batllo pekan lalu. Selain di Barcelona, Scully memiliki beberapa studio, termasuk di New York dan Muenchen.

Tertarik pada Zen, mengenai tempat berkarya dan tempat tinggal yang ada di mana-mana ia berujar, justru karena di mana-mana ia merasa tidak di mana-mana. Kadang keterpautannya dengan suatu tempat terjadi begitu saja.

Dengan Barcelona ia memiliki hubungan emosional cukup mendalam karena persahabatannya dengan seorang padri dari sebuah gereja tua di Montserrat. Montserrat sendiri daerah luar biasa indah, berbukit-bukit di ketinggian sekitar 1.250 meter di atas permukaan laut. Hawanya panas dan kering. Menjadi ingat soprano Montserrat Caballe, yang dulu suaranya pernah dipuji oleh vokalis Queen, Freddie Mercury, sebagai terbaik di dunia.

Di Montserrat, Scully membantu sang padri sahabatnya, merestorasi gereja yang cantik peninggalan abad ke-10, gereja Santa Cecilia. Inilah sebuah proyek yang coba menyatukan kedalaman spiritualitas, peninggalan sejarah, dan semangat modernisme. Hasilnya: Santa Cecilia bisa menjadi contoh di dunia sebagai produk pertemuan antara agama�dalam hal ini Katolik�dengan semangat modernisme, semangat seni avant garde.

Ah, di depan altar gereja Santa Cecilia jadi ingin berlutut sembari mengucap: dalam modernisme kumuliakan nama-Mu.

Jumat, 03 Juli 2015

Mentahnya Pembatasan Dinasti Politik

FADLI RAMADHANIL

Semangat pembatasan praktik dinasti politik dalam pemilihan kepala daerah hampir dipastikan akan mentah. Hal ini menyusul dikeluarkannya Surat Edaran No 302/KPU/VI/2015 perihal penjelasan beberapa aturan di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Kepala Daerah.

Ada beberpa butir penting di dalam surat edaran (SE) tersebut yang justru kontraproduktif dengan semangat pembatasan praktik politik dinasti yang diusung di dalam UU No 8/2015. Meskipun UU ini mempunyai kelemahan dalam substansi terkait pengaturan hubungan bakal calon dengan petahana, setidaknya KPU tidak memberikan tafsiran lain kepada ketentuan ini, yang berpotensi besar menyebabkan pengaturan petahana tidak bisa diterapkan dalam pilkada mendatang.

Regulasi tumpul

Adanya ketentuan yang coba mengatur jadwal pencalonan kepala daerah bagi petahana dengan keluarganya, tentu saja berbasiskan keinginan untuk menciptakan iklim demokrasi yang lebih sehat di daerah. Apa yang terjadi di Banten dan Bangkalan, Madura, misalnya, tentu menjadi pembelajaran bahwa dibutuhkan mekanisme dan sistem pencalonan kepala daerah yang lebih seimbang. Petahana yang memiliki akses yang lebih leluasa terhadap apa pun, telah menciptakan praktik dinasti politik di daerah.

Namun, dengan terbitnya SE KPU No 302/KPU/VI/2015, pengaturan pencalonan kepala daerah untuk keluarga petahana akan menjadi ketentuan tumpul yang tak berguna. Dalam SE tersebut, KPU menyebutkan, kepala daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran, mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir yang dilakukan sebelum masa pendaftaran, dan berhalangan tetap sebelum masa jabatan berakhir dan terjadi sebelum masa pendaftaran, tidak termasuk dengan pengertian petahana yang dimaksud KPU dalam peraturannya.

Artinya, jika petahana mengambil langkah atau berada dalam kondisi yang disebut di dalam SE KPU, maka tidak ada halangan untuk keluarga petahana mencalonkan diri sebagai kepala daerah di jabatan yang sama. Dengan batas penalaran yang wajar, bentangan aturan yang muncul di atas akan sangat mudah untuk diakali oleh bakal calon kepala daerah yang "sempat" terhalang dengan adanya larangan mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.

Langkah yang paling mudah untuk dilakukan tentu mengundurkan diri sebelum tahapan pelaksanaan pilkada sampai  pada masa pendaftaran pasangan calon. Jika merujuk tahapan pelaksanaan pilkada yang disusun KPU, pendaftaran pasangan calon dilaksanakan pada 26-28 Juli 2015. Jika berandai secara sederhana, kalaupun 269 daerah yang akan melaksanakan pilkada 2015 terdapat bakal calon yang terhalang dengan ketentuan konflik kepentingan dengan petahana, sangat mudah untuk disikapi dengan mengundurkan diri sebelum 26 Juli 2015.

Meski di dalam SE tersebut juga diwajibkan adanya surat keputusan pemberhentian dari instansi yang berwenang terhadap kepala daerah yang mengundurkan diri, tetapi semangat pengaturan untuk menghindari munculnya dinasti politik di daerah sudah mendekati kelumpuhan. Hal lain, adanya frasa di dalam SE KPU yang "mementahkan" pembatasan dinasti politik adalah, persyaratan untuk tidak punya konflik kepentingan dengan petahana, tidak berlaku bagi calon kepala daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran pasangan calon.

Artinya, bagi kepala daerah yang akhir masa jabatannya sebelum 26 Juli 2015, tidak dapat dijangkau dengan pengaturan konflik kepentingan dengan petahana. Jika merujuk data 269 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada, seperti dilansir KPU, maka 22 daerah dipastikan "terbebas" dari pengaturan konflik kepentingan dengan petahana karena masa jabatannya habis sebelum 26 Juli 2015. Masing- masing terdiri dari dua daerah provinsi, dua daerah kota, dan 18 daerah kabupaten.

Persoalan sejak awal

Potensi mentahnya pengaturan konflik kepentingan dengan petahana ini tidak berdiri sendiri. SE KPU yang diterbitkan untuk menjelaskan PKPU No 9/2015 merupakan konsekuensi sempitnya definisi petahana yang diinginkan DPR kala pembahasan PKPU No 9/2015.

Kalau memang ingin sungguh mengatur praktik dinasti politik, hal-hal prinsip semestinya diatur jelas di tingkat UU. Misalnya, soal definisi petahana. Dalam kondisi masa jabatan kepala daerah yang masih tidak bersamaan, DPR dan pemerintah haruslah mampu merumuskan norma yang dapat mengatur hal tersebut dalam pengaturan petahana.

Hal penting lainnya yang mesti diatur pada tingkat UU adalah batasan dan kondisi di mana seorang kepala daerah bisa gugur identitas petahana atas dirinya. Salah satu keadaan yang mesti diatur adalah ketika seorang kepala daerah meninggal dunia atau keadaan yang membuat yang bersangkutan berhalangan tetap lainnya. Rumusan ini tentunya juga mesti disinkronkan dengan pengaturan di UU pemda yang detail mengatur terkait masa jabatan kepala daerah.

Jawaban atas persoalan tersebut sebenarnya dapat disandarkan pada Mahkamah Konstitusi. Proses uji materi terkait ketentuan Pasal 7 huruf r UU No 8/2015 terkait dengan petahana sudah memasuki tahapan akhir pemeriksaan di MK. Sebaiknya MK segera memutuskan persoalan ini. Kita tentu berharap, putusan MK nantinya mampu menjelaskan pentingnya prinsip pengaturan konflik kepentingan dengan petahana.

Lebih dari itu, putusan MK juga diharapkan mampu secara mendalam memberikan jawaban atas kebutuhan pengaturan dan batasan dalam ketentuan bahwa bakal calon kepala daerah disyaratkan tidak punya konflik kepentingan dengan petahana.

Fadli Ramadhanil; Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)