Jumat, 04 April 2014

Kampanye yang Mencerdaskan

Ikrar Nusa Bhakti                                                              
                                                             
�Jika rakyat pergi. Ketika penguasa berpidato. Kita harus hati-hati. Barangkali mereka putus asa/Kalau rakyat sembunyi. Dan berbisik bisik. Ketika membicarakan masalahnya sendiri. Penguasa harus waspada dan belajar mendengar/ Dan bila rakyat tidak berani mengeluh. Itu artinya sudah gawat. Dan bila omongan penguasa. Tidak boleh dibantah. Kebenaran pasti terancam/ Apabila usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversi dan menggangu keamanan. Maka hanya satu kata : LAWAN! (Solo: 1986)

Puisi karya Wiji Thukul berjudul �Peringatan� itu begitu memukau para pengunjung saat dibacakan oleh Sosiawan Leak, penyair asal Solo, pada pembukaan ASEAN Literary Festival di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 21 Maret 2014.

Wiji Thukul, penyair dan aktivis sosial, adalah satu dari belasan aktivis pro demokrasi yang diculik oleh oknum-oknum �Tim Mawar� dari satuan khusus militer pada 1997/1998. Meski akhirnya komandan satuan khusus itu diberhentikan dari ketentaraan lewat putusan Dewan Kehormatan Perwira, tetapi hingga kini nasib belasan aktivis pro demokrasi itu belum diketahui rimbanya. Inilah salah satu sejarah kelam rezim Orde Baru, selain pembunuhan, penghilangan paksa, dan pemenjaraan orang tanpa pengadilan.

Kini, Partai Golkar berkampanye bahwa era Soeharto adalah �Zaman Normal�: harga-harga murah, stabilitas politik terjaga, dan politik amat tenang tanpa kegaduhan. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) tak malu ataupun takut untuk mengutip slogan di berbagai kaus bergambar Soeharto: �Piye kabare? Luwih penak jamanku to?� (Bagaimana kabarnya, lebih enak zamanku, kan?). Kampanye politik semacam ini memang hak politik Partai Golkar walau sungguh menyesatkan dan tidak mencerdaskan bangsa karena tidak menggambarkan kondisi pada era Orde Baru secara utuh.

Padahal, pada awal reformasi, Golkar di bawah Akbar Tandjung berupaya menarik garis dengan Orde Baru melalui slogan �Golkar Baru� agar Golkar tetap eksis di era reformasi. Zaman memang sudah berubah sejak jatuhnya rezim Soeharto, 16 tahun lalu. Mereka yang dulu bagian dari rezim kini tak takut unjuk gigi karena saat ini memang masa akhir yang tersedia bagi mereka untuk meraih kejayaan kembali.

Kampanye hitam

Kampanye pada Pemilu 2014 juga penuh dengan kampanye hitam untuk menghancurkan nama baik orang dan/ atau partai yang akan berkontestasi dalam Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Salah seorang yang terkena kampanye hitam tersebut adalah ARB, bakal capres dari Partai Golkar. Entah dari mana asalnya, kini beredar video dan foto-foto ARB dan dua kakak beradik (artis) saat mereka berlibur ke Maladewa. Di negara seperti Inggris dan AS, persoalan yang masuk kategori privat bisa menjadi urusan publik. Namun, di Australia, jika penulis tidak salah, ada pemisahan antara kehidupan pribadi seseorang dan aktivitas politiknya.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga tak luput dari kampanye hitam yang menggambarkan foto mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, di depannya ada foto gadis berpakaian amat tak seronok dan di belakangnya ada foto sapi. Ini terkait dengan kasus korupsi sapi impor asal Australia yang sempat menggemparkan politik Indonesia pada 2013. Prabowo Subianto juga mendapatkan serangan hebat dari para pedagang asongan yang berjualan di Gelora Bung Karno (GBK) karena mereka, katanya, dijanjikan dibayar lunas makanan dan minumannya saat Partai Gerindra berkampanye di GBK pada 23 Maret 2014. Ternyata, kata para pedagang asongan, mereka hanya dibayar Rp 100.000 dan rugi besar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga, katanya, mendapatkan kampanye hitam dari Anas Urbaningrum.

Bakal calon presiden dari PDI-P, Joko Widodo (Jokowi), adalah orang yang paling banyak mendapat serangan dari kampanye hitam yang berlangsung selama ini. Badannya yang kerempeng dan wajahnya yang ndeso (orang desa) menyebabkan salah seorang tokoh PKS menyebutnya orang yang tidak memiliki tampang untuk menjadi presiden. Ada juga kampanye negatif yang menyebutkan Jokowi didukung oleh kelompok agama minoritas dan ras minoritas, suatu kampanye yang bukan saja tidak bermartabat, melainkan juga membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Mereka lupa bahwa Indonesia merdeka, yang dibangun oleh para pendiri bangsa, bukan negara agama atau negara suku/ras, melainkan negara kebangsaan.

Satu hal yang menarik, jika semasa awal menjadi Gubernur DKI Jakarta Jokowi ibarat media darling, sejak Jokowi dideklarasikan sebagai capres PDI-P pada 14 Maret 2014, tampaknya jadi media enemy dari jaringan media pers milik para tokoh politik yang juga akan maju sebagai capres atau cawapres atau yang partai barunya berupaya masuk parlemen. Bahkan, ada televisi yang mengampanyekan Jokowi sebagai public enemy (musuh publik) tanpa menjelaskan publik yang mana di Jakarta yang memusuhinya dan apakah yang mengatasnamakan publik itu benar-benar mewakili warga Jakarta.

Ada juga seorang ilmuwan politik yang menyebut Jokowi �kutu loncat� karena berpindah-pindah dari Wali Kota Solo menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan kini jadi capres dari PDI-P, tanpa menyelesaikan masa tugasnya. �Kutu loncat� dalam terminologi politik adalah politisi yang berpindah-pindah partai dan ideologi atau berpindah tempat dari oposisi ke pemerintah dan sebaliknya. Pengamat ini tak menjelaskan bahwa Ahmad Heryawan juga tidak menyelesaikan tugasnya sebagai pimpinan DPRD di DKI Jakarta ketika ia maju sebagai cagub Jawa Barat. Irwan Prayitno juga meninggalkan posisinya sebagai anggota DPR ketika ia maju pertama kali sebagai calon gubernur Sumatera Barat. Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin juga hanya cuti dan tidak mundur dari jabatannya ketika maju sebagai cagub DKI Jakarta pada 2012 dari Golkar.

Ada juga pengamat yang mengibaratkan Jokowi belum menyelesaikan kuliah tetapi sudah akan mengambil titel kesarjanaan yang lebih tinggi. Pengamat ini lupa bahwa sistem di sekolah negeri atau swasta di Indonesia, seorang murid yang kepandaiannya istimewa bisa naik kelas tanpa harus menyelesaikan sekolah sampai akhir tahun. Seorang mahasiswa program master by research di Australia bisa dinaikkan (upgrade) ke program doktor jika proposal penelitiannya sangat baik. Namun, juga bisa diturunkan (downgrade) dari program doktor ke master atau dari master ke diploma sarjana jika ia dianggap tak mampu menyelesaikan kuliahnya.

Kampanye bermartabat

Sudah 16 tahun kita menikmati era demokrasi dan 10 tahun memiliki presiden yang dipilih secara langsung. Pada masa ini seharusnya demokrasi Indonesia sudah naik kelas dari transisi demokrasi ke konsolidasi demokrasi atau bahkan ke kedewasaan demokrasi. Pada Pemilu 2014 ini pula seharusnya kampanye-kampanye politiknya benar-benar mencerdaskan kehidupan bangsa dan bermartabat.

Bentuk-bentuk kampanye negatif seharusnya sudah digantikan dengan kampanye yang adu program. Kita juga tak perlu menghina jika ada seorang yang berwajah desa dan tidak memiliki presidential look maju sebagai calon presiden. Demokrasi memberi kesempatan kepada siapa pun untuk menjadi capres atau terpilih sebagai Presiden RI. Itulah esensi yang hakiki dari demokrasi.

Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI

Jumat, 21 Maret 2014

Suara

Acep Iwan Saidi

SECARA etimologis, kata suara berasal dari bahasa Sanskerta, swara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, suara diartikan sebagai bunyi yang keluar dari mulut manusia, binatang, perkakas, dan sebagainya.

Di samping itu, suara bisa bersifat filosofis. John Cage, seorang musisi kontemporer, menyebut keheningan sebagai musik, sebagai suara. Jauh sebelum Cage, manusia sebenarnya sudah meyakini adanya sebuah suara lain yang subtil di dalam diri, yakni suara hati, suara sunyi.

Mengacu kepada semiotika Charles Sanders Peirce (dalam T L Short, 2007), suara bisa disebut tanda yang mengirim pesan tertentu. Secara spesifik, di sini suara dapat terkategori sebagai indeks, yakni tanda yang menunjuk pada referen tertentu.

Pintu yang dibanting, misalnya, bisa merupakan indeks kemarahan seseorang yang membantingnya. Berdasarkan taksonominya, mula-mula suara pintu yang dibanting dengan pesan demikian disebut qualisign, yakni tanda pada tahap dugaan (belum terwujud). Saat didekati, ketika terlihat seorang laki-laki muncul dengan wajah ketus dari balik pintu tadi, kemarahan sebagai pesan tanda jadi sinsign (peristiwa sebagai proses mewujudkan). Terakhir, saat kita masuk ke dalam ruangan, mendapati seorang perempuan menangis, dan mengatakan ia baru saja bertengkar dengan suaminya, suara pintu dibanting sebagai tanda kemarahan menjadi legisign (terwujud, definitif).

Sejarah suara

Usia suara sebagai tanda sudah sangat tua, sejak manusia pertama diciptakan. Mekanisme  pengenalan dunia yang diajarkan Tuhan kepada Adam bukankah juga melalui suara. Adam mengeja benda-benda yang diperlihatkan Tuhan kepadanya.

Firman Tuhan itu sendiri pada mulanya adalah suara. Jibril tak membawa wahyu Tuhan kepada Muhammad dalam bentuk tertulis (kitab), tetapi dengan suara (lisan) meski isi pesannya perintah untuk membaca.

Walter J Ong, dalam Orality and Literacy (1982), menjelaskan, sebelum mengenal tulisan, yakni ketika masih dalam tradisi lisan primer, manusia hidup dalam suara. Jika kepada manusia lisan primer disampaikan kata politik, misalnya, tidak akan pernah muncul dalam imajinasi mereka rangkaian huruf p-o-l-i-t-i-k. Yang akan mereka bayangkan adalah perilaku manusia yang sering dengan segala cara merebut kekuasaan�jika fenomena politiknya seperti di Indonesia. Politik adalah medan liar bagi mata pencaharian.

Dengan kata lain, bagi masyarakat lisan primer, suara adalah fenomena atau peristiwa itu sendiri. Suara adalah energi kehidupan.

Khusus dalam bidang politik, suara sebagai energi sedemikian nyata, masih terus bertahan hingga kini. Demokrasi, yang mendalilkan rakyat sebagai rohnya, sebenarnya bukan rakyat dalam pengertian �tubuh yang berjiwa�, melainkan sebagai bahasa. Dengan kata lain, yang diambil dari �tubuh rakyat� adalah bahasanya, suaranya. Putusan akhir demokrasi adalah suara terbanyak.

Karena itu, yang diperebutkan dalam demokrasi adalah suara. Siapa mendapat suara terbanyak dari rakyat, dialah pemenangnya. Kekuatan suara dalam demokrasi adalah jumlah (kuantitas). Ia tidak ditentukan oleh sumber (subyek) pemberi suara (kualitas). Kalkulasi suara terbanyak rakyat sedemikian lantas dimistifikasi�jika tidak mau disebut dipolitisasi�sebagai suara Tuhan (vox populi vox dei). Mistifikasi ini kemudian berlanjut pada pendefinisian partai politik sebagai representasi rakyat. Tak pelak suara partai politik dianggap sebagai suara Tuhan.

Kini kita sedang masuk dalam siklus lima tahunan perebutan suara secara eksplisit, yakni kampanye pemilu. Sebagai kompetisi perebutan suara, kampanye selalu identik kegaduhan. Karena pada dasarnya rakyat tak suka situasi ini, usaha meredam kampanye pun dilakukan, antara lain dengan aturan pembatasan waktu, ruang, dan penjadwalan untuk setiap kontestan.

Selain itu, melalui bahasa, yakni dengan berbagai penamaan, seperti kampanye damai, kampanye berintegritas, dan kampanye berkualitas. Namun, karena obyek kampanye adalah suara, kebisingan dus keliaran tidak pernah terhindarkan. Inilah pesta demokrasi: pesta suara.

Matinya suara

Lantas, kapan suara itu mereda? Dalam sejarah peradaban manusia, suara mulai mengendur ketika manusia mulai mengenal tulisan. Apa yang diproduksi mulut berpindah ke tangan dan alat tulis. Pemindahan ini juga diajarkan di lembaga pendidikan. Di SD, pelajaran menulis dibarengi ajaran membaca dalam hati. Kelas tidak boleh bising. Siswa harus fokus urusan masing-masing. Suara kelompok (kelas) diredam atau teredam jadi suara individu. Tidak ada kepentingan kelompok, yang tersisa adalah kepentingan individu.

Sejarah itu kiranya berbanding lurus dengan alur silsilah suara dalam demokrasi kita. Suara rakyat hilang ketika telah dikalkulasi di atas kertas. Hal ini dimulai ketika rakyat mencoblos gambar di tempat pemilihan suara. Sejatinya pemilu adalah proses menjadikan suara rakyat jadi suara Tuhan. Namun, setelah pemilu dan kalkulasi suara selesai dilaksanakan, terjadi pembalikan alur. Suara rakyat yang telah dijumlahkan sehingga jadi suara Tuhan itu justru mencair jadi suara partai sebagai institusi, bahkan tidak jarang menjadi suara individu di dalam partai.

Jika sudah begitu�dan kita bersaksi sejauh ini memang selalu begitu�rakyat dan Tuhan hanya akan diposisikan menjadi penonton yang berada di luar panggung. Sebagai penonton, rakyat dan Tuhan hanyalah pemilik suara, yang berteriak-teriak, yang bising, yang karena itu tidak perlu didengar.

Tentu ke depan hal demikian tidak boleh lagi terjadi. Karena itu, kita harus mengawal suara yang akan diberikan pada 9 April nanti, minimal sampai lima tahun berikutnya. Jangan sampai subyek rakyat lenyap tepat ketika ia menyelinap ke bilik suara. Jangan sampai pemilu kali ini kembali menjadi ajang penghilangan suara, menjadi pesta perpisahan dengan rakyat dan Tuhan!

Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan, ITB

Sabtu, 15 Maret 2014

Deklarasi untuk Indonesia

Jaleswari Pramodhawardani

SEMUA pertanyaan dan spekulasi itu terjawab sudah. Tanpa perayaan, jauh dari hiruk-pikuk simbol kepolitikan Jakarta, PDI Perjuangan mengumumkan Joko Widodo alias Jokowi sebagai calon presiden 2014.

Melalui perintah harian yang ditulis tangan oleh Megawati Soekarnoputri, yang disampaikan Ketua DPP PDI-P Puan Maharani, Jumat (14/3), Megawati selaku pemegang mandat melalui Kongres III PDI-P 2010 untuk memilih capres partainya menyerahkan kembali mandat tersebut kepada rakyat Indonesia untuk memastikan Jokowi menjadi presiden RI melalui Pemilu 2014. Walaupun sudah diduga sebelumnya, pernyataan ini tetap jadi kejutan politik, setidaknya bagi kubu lawan yang masih berharap Megawati diajukan menjadi capres. Bukan untuk mendukung, melainkan menyisakan harapan bagi kemenangan mereka.

Selain itu, di luar dugaan orang, cara deklarasi capres ini dilakukan dengan tidak menggunakan cara-cara konvensional. Ketika banyak partai tampil dengan banyak warna, penuh gambar, penuh gaya, dan kebesarannya, PDI-P justru sebaliknya. Ia tampil dengan dominasi warna putih, simbol Jokowi, yang memancarkan kemurnian dan daya tarik universal. PDI-P mengesankan tidak sedang menawarkan apa pun atau tidak sedang berupaya menjejali publik dengan kemegahan kampanye deklarasi.

Pilihan untuk sederhana, tak mengandalkan media utama�dan menabrak kaidah-kaidah marketing dan advertising sekaligus�menjadikan kesederhanaan sebagai sesuatu yang hebat dan bermanfaat bagi banyak orang. Hal ini terbukti dengan ajakan mereka untuk mengunduh, menggunakan, dan memanfaatkan simbol-simbol Jokowi melalui lamannya untuk disebarluaskan. Kesukarelaan dan kegotongroyongan ingin didorongkan di sini. Bahkan, ketika deklarasi capres tersebut dibacakan, Jokowi menerima mandat tersebut ketika blusukan di daerah Marunda saat di Masjid Si Pitung.

Menyelami politik Megawati

Jika mencermati isi pidato ataupun pernyataan politik Megawati selama ini, ia memiliki sikap politik yang jelas sejak awal. Ia telah melewati hamparan sejarah panjang, melewati fase-fase kritis pergulatan Indonesia sebagai bangsa dan PDI-P sebagai kekuatan politik. Bersama PDI-P yang ia pimpin, Mega telah mengalami evolusi, penajaman dan kontekstualisasi dari gagasan dasar Bung Karno mengenai nasionalisme kerakyatan, pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, dan Tri-Sakti. Jalan ideologis yang dipilih partainya sebagai hasil pergulatan politiknya selama ini.

Namun, di sisi lain harus diakui, sungguh tak mudah jadi pemimpin perempuan di tengah mayoritas budaya masyarakat patriarkis dan feodalisme yang belum sepenuhnya luntur dari kultur Indonesia. Kedua hal ini sering memberikan stigmatisasi terhadap keputusan dan gaya politiknya yang dianggap tidak sesuai dengan arus utama selama ini.

Melalui deklarasi ini pula memperlihatkan banyak pihak cabut lotre yang salah tentang dirinya. Tuduhan bahwa ia masih menginginkan jabatan presiden untuk dirinya sendiri tak terbukti. Prasangka bahwa ia menyiapkan penggantinya berdasarkan �darah biru� trah Soekarno, sebagai bagian dari politik dinasti, terpatahkan sudah. Megawati bukan tidak tahu kritikan pedas yang ditujukan kepadanya. Partainya kerap dituduh beraroma feodalisme yang hanya menyandarkan suara pada fanatisme pemilihnya dan hubungan darah Soekarno. Di beberapa forum, ia bahkan bertanya balik: apa yang salah dengan politik dinasti? Mengapa fanatisme pemilih dianggap buruk?

Ia mengatakan, tentu tak semua politik dinasti buruk. Beberapa di antaranya membangun keberlangsungan mereka pada meritokrasi dan dukungan rakyat yang nyata. Di sisi lain Megawati juga paham ekses buruk dari politik dinasti, yaitu jebakan peluang untuk korupsi, kolusi dan nepotisme. Menurut Mega, kejahatan itulah yang perlu diwaspadai dan dicarikan mekanisme untuk pencegahannya.

Transformasi kepemimpinan

Deklarasi yang meloloskan Jokowi melenggang dalam Pilpres 2014 memunculkan interpretasi menarik. Pertama, inilah kemenangan politik Megawati sesungguhnya. Sejak Kongres III PDI-P 2010, Megawati senantiasa menyosialisasikan pentingnya menegaskan dan mengukuhkan kembali ideologi sebagai jalan perjuangan partai. Untuk menguatkan hal itu, Megawati dan PDI-P rela menapaki jalan sunyi sebagai partai politik oposisi satu dekade untuk konsolidasi dan mematangkan basis partai. Ia memiliki kesempatan untuk melakukan perekrutan dan kaderisasi partai di semua level.

Kedua, Jokowi merupakan representasi dari transformasi kepemimpinan baru, sekaligus memperlihatkan keberhasilan kaderisasi di tubuh partai. Ia diharapkan jadi pelopor kepemimpinan kaum muda, yang kuat dan teguh di tengah tantangan kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan yang terus membengkak; di tengah-tengah frustrasi sosial masyarakat yang tak berdaya melihat masa depan yang lebih baik. Tantangan ini jelas tidak ringan. Ia perlu mengembangkan demokrasi matang yang mampu me�m�be�ri arah kesejahteraan bagi rakyat. Karena itu, ia selalu menegaskan, unsur kepemimpinan sangat penting dimiliki seorang presiden. Menjadi presiden mudah, jadi pemimpin jauh lebih sulit.

Ketiga, melalui deklarasi ini Megawati membangun kepolitikan baru dengan menunjukkan bahwa parpol bertanggung jawab menghasilkan kader-kader terbaiknya mengelola bangsa dan negara ini. Partai tak bisa lagi berpangku tangan, tetapi ikut bertanggung jawab terhadap sepak terjang kader partainya. Karena itu, ideologi kerja menjadi bagian dari praktik keseharian pengelolaan partai dan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan negara. Hal itu merupakan wujud kerangka hubungan dinamis antara negara dan rakyat yang membuat penguatan partai menjadi agenda krusial dan sebuah keharusan.

Deklarasi capres PDI-P mungkin hanya langkah kecil dari perjalanan panjang Jokowi menuju RI-1. Tentu akan banyak pertanyaan yang diajukan publik kepadanya tentang komitmen dan kerja nyata untuk kebaikan bangsa ini. Yang jelas, Jokowi dan PDI-P tidak boleh gagal mencoba mempertahankan kepercayaan rakyat yang telah memilihnya. Jokowi akan dihadapkan pada tuntutan tentang pemerintahan baru, yang membutuhkan inovasi, imajinasi, kebijakan, dan visi baru mengelola bangsa dan negara ini.

Perjalanan 16 tahun reformasi membutuhkan sebuah kepemimpinan bukan sekadar keahlian diplomasi, dan satu-satunya tes yang valid dari kepemimpinan adalah kemampuan untuk memimpin, yaitu memimpin dengan penuh semangat dan tidak cepat berpuas diri dalam kerja nyata untuk rakyat. Singkatnya, Jokowi akan dihadapkan pada tantangan pembuktian kepemimpinan generasi baru untuk mengatasi masalah-masalah baru dan peluang baru. Jokowi tentu saja tidak sendiri. Di seluruh dunia, khususnya di negara-negara baru, banyak orang muda yang merengkuh puncak kekuasaan, yang tidak terikat oleh tradisi masa lalu, yaitu orang-orang yang tidak dibutakan oleh kekhawatiran dan membenci persaingan, orang muda yang dapat membuang slogan lama; delusi dan kecurigaan. Jokowi memang harus membuktikan bahwa pilihan dan mandat Megawati terhadapnya tepat.

Jaleswari Pramodhawardani, Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI

Megawati dan Deklarasi Marunda

Sukardi Rinakit

SAYA terharu dengan jiwa besar Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P. Kini terbukti sudah bahwa Megawati memang anak biologis dan ideologis Bung Karno. Bukan kekuasaan untuk diri sendiri yang direngkuh, melainkan nasib bangsa Indonesia.

Sebagai ibu, demi harapan terwujudnya Indonesia Raya, Megawati selama ini bekerja dalam diam. Ia membesut para kader muda PDI-P, mengonsolidasi partai, serta menerima kritikan dan ejekan lawan politik tanpa berkata-kata. Hingga Jumat 14 Maret 2014, ia akhirnya mengeluarkan perintah harian yang berwibawa dan terasa sakral karena ditulis dengan tangan.

�Saya Ketua Umum Partai Demokrat Indonesia Perjuangan. Kepada seluruh rakyat Indonesia yang mempunyai mata hati keadilan dan kejujuran di mana pun kalian berada! Dukung Bapak Joko Widodo sebagai capres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Jaga dan amankan jalannya pemilu legislatif�terutama di TPS-TPS dan proses penghitungan yang berjalan dari segala bentuk kecurangan dan intimidasi, teguh dan tegarkan hati dalam mengawal demokrasi di Republik Indonesia tercinta.�

Makna kultural

Perintah harian itu segera disambut oleh rakyat dengan kegembiraan dan rasa syukur. Keikhlasan Megawati menggendong dan menuntun Joko Widodo alias Jokowi untuk menyeberang jalan dengan selamat membuktikan bahwa sebagai pribadi Megawati memang sudah �duduk� (resolved).

Ia ibarat bunga bakung dan matahari, selalu meneduhi dan memberi energi bagi terwujudnya Indonesia Raya yang ditegakkan dengan ketiga pilar Trisakti Bung Karno (berdaulat secara politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan).

Dengan konstruksi seperti itu, ambisi politik Megawati sejatinya bukan lagi sekadar urusan kontestasi kekuasaan dan hak-hak istimewa politik dan ekonomi, melainkan menyaksikan rakyat Indonesia bisa mesem (tersenyum). Cukup pangan, sandang, papan, serta biaya pendidikan dan kesehatan yang terjangkau. Apalagi jika rakyat bisa gemuyu (tertawa).

Maknanya, selain kebutuhan dasar tersebut, mereka juga mempunyai tabungan dan bisa piknik. Pendeknya, dalam batas-batas tertentu, secara teoretis Megawati boleh disebut sudah post-materialist.

Sementara itu, di rumah panggung yang dulunya milik si Pitung di Marunda, Jakarta Utara, Jokowi, yang mendapat mandat dari Megawati Soekarnoputri, dengan santun mendeklarasikan diri sebagai calon presiden dari PDI-P.

Secara kultural, Deklarasi Marunda tersebut penuh makna. Salah satunya adalah kuatnya narasi perjuangan untuk menegakkan keadilan, membebaskan diri dari kemiskinan dan ketakutan, serta menggalang keberanian dan optimisme bersama.

Ini berkaitan dengan kondisi Marunda yang selama ini terbelit kekumuhan dan suara-suara kemiskinan. Jokowi berkehendak bukan saja membebaskan beban berat mereka, melainkan juga seluruh bangsa Indonesia.

Komunikasi politik kultural                                                   

Merenungkan hal tersebut, saya teringat kata-kata Emak, 18 Agustus 2013. Katanya, pada saat yang tepat, Megawati pasti akan mengumumkan Jokowi sebagai calon presiden. Sejatinya, Megawati perasaannya halus dan bisa membaca �tanah punya mau� (gerak sejarah).

Lebih dari itu, Emak juga mengatakan, menurut gugon tuhon (kepercayaan) orang-orang tua dulu, Raja Jayabaya dari Kerajaan Kadiri pernah menulis dalam bukunya yang berjudul Musasar.
                                                                   
Salah satu isinya: �Pada suatu masa nanti bekas kerajaan Majapahit akan lebih adil dan makmur apabila dipimpin oleh anak yang lahir di dekat Gunung Lawu, rumahnya pinggir sungai, masa kecilnya susah tukang cari kayu, badannya kurus seperti Kresna, wataknya keras kepala seperti Baladewa, kalau memakai baju tidak pantas, ada tahi lalat di pipi kanannya, dan mempunyai pasukan yang tidak kelihatan�.

Mendengar cerita itu, saya langsung tertawa. Tanpa berpikir pun, mudah ditebak, ilustrasi tersebut mirip dengan Jokowi. Agar Emak tidak tersinggung, penulis menahan tawa dan pura-pura batuk.

Meski penulis menekuni pendekatan budaya politik, sejauh ini bangunan teoretisnya berpijak pada sejarah kampung dan bukan gugon tuhon. Preferensi politik masyarakat ditentukan oleh lingkungan tempat dia dibesarkan. Mereka yang tumbuh di lingkungan pertanian padi, misalnya, mempunyai preferensi politik berbeda dengan mereka yang tumbuh di perkebunan tebu.

Alam bawah sadar masyarakat yang tumbuh di lingkungan pertanian padi secara umum lebih percaya pada klenik. Mungkin karena terlalu banyak upacara tradisional di sini.

Sebaliknya, mereka yang tumbuh di perkebunan tebu lebih terikat pada ideologi. Ini bisa dilihat dari sejarah republik di mana pemberontakan komunis umumnya terjadi di daerah perkebunan, terutama perkebunan tebu. Konflik kelas antara petani dan pihak pabrik (tebu) menjadi medan sosialisasi ideologi kritis bagi mereka yang tumbuh di lingkungan tersebut.

Akan tetapi, setelah Deklarasi Marunda ini saya berpikir dari kacamata komunikasi politik kultural. Jika ibu saya saja meyakini gugon tuhon itu, berapa banyak orang Jawa yang juga mempercayainya?

Terlepas dari kontroversi yang mungkin timbul, apabila hal itu dikapitalisasi secara tepat, ia bisa menjadi mesin optimisme. Orang akan bersedia bekerja keras, prihatin, hidup sederhana, membangun, dan bergotong-royong mengikuti panduan Jokowi.

Hormat saya kepada Megawati Soekarnoputri!

Sukardi Rinakit, Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate

Kamis, 13 Maret 2014

Kelompok Kohesif dan Capres

Ikrar Nusa Bhakti

PERTAMA kali dalam sejarah politik Indonesia pasca 1945, seorang perempuan�bukan ibu negara, melainkan politikus sungguhan�begitu berpengaruh dalam menentukan bukan saja masa depan partainya, melainkan juga bangsa dan negaranya.

Politikus perempuan itu adalah Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Hingga kini keputusan politiknya masih ditunggu bukan saja oleh para simpatisan partainya, partai-partai pesaingnya, para calon pemilih di seluruh Indonesia, melainkan juga oleh dunia internasional. Sesuai mandat yang diberikan Musyawarah Nasional III PDI-P di Bali, 2010, Megawati memiliki hak prerogatif untuk menentukan siapa yang akan diajukan menjadi calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2014. Penentuan nama ini amat penting untuk mendongkrak perolehan suara partainya pada Pemilu Legislatif 9 April 2014 dan juga menang-kalahnya capres/cawapres yang diusung PDI-P pada Pemilu Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014.

Pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDI-P di Ancol, Jakarta, 6-8 September 2013, di kalangan PDI-P masih terpecah antara mereka yang pro Mega dan pro Jokowi sebagai capres. Secara simbolik, sebenarnya Mega telah mengisyaratkan dukungannya kepada Jokowi ketika Jokowi diminta membacakan penggalan surat Bung Karno, �Dedication of Life�, yang ditulis 10 September 1966. Isinya:

Saya adalah manusia biasa. Saya dus tidak sempurna. Sebagai manusia biasa saya tidak luput dari kekurangan dan kesalahan.

Hanya kebahagiaanku ialah dalam mengabdi kepada Tuhan, kepada Tanah Air, kepada Bangsa. Itulah Dedication of Life-ku.

Jiwa pengabdian inilah yang menjadi falsafah hidupku, dan menghikmati serta menjadi bekal hidup dalam seluruh gerak hidupku.

Tanpa jiwa pengabdian ini saya bukan apa-apa. Akan tetapi dengan jiwa pengabdian ini, saya merasakan hidupku bahagia dan manfaat.

Sampai detik ini, pertarungan di internal PDI-P masih terus berlangsung. Di kalangan pro Mega, ada pandangan bahwa Mega masih memiliki kans untuk menang. Jika Mega menang, ada manfaat bagi PDI-P dan dinasti Soekarno, baik dari segi politik maupun materi. Bagi pendukung Jokowi, hingga kini elektabilitas Jokowi melampaui Megawati. Kans Jokowi memenangi Pilpres 2014 jauh lebih besar ketimbang Megawati. Jokowi memang tak akan memberikan keuntungan materi bagi PDI-P, tetapi ia dapat mendongkrak suara PDI-P yang berarti memberi keuntungan politik dan kursi legislatif bagi PDI-P.

Kesalahan politik fatal

Megawati adalah tokoh sentral yang amat berpengaruh, disegani, bahkan mungkin ditakuti di PDI-P. Ia dikelilingi dua kelompok kecil orang, kalangan anggota DPP PDI-P dan kelompok kecil lain gabungan anggota partai dan kalangan cendekiawan nonpartai. Di dua kelompok itu tentunya ada yang pro Mega dan pro Jokowi. Setiap saat mereka terus-menerus memantau hasil survei dari berbagai lembaga survei, yang menurut Sekjen PDI-P Tjahjo Kumolo jumlahnya bisa mencapai 29 survei. Kedua kelompok ini secara terpisah memiliki kohesivitas masing-masing, baik dari segi ideologi maupun latar belakang pendidikan. Keputusan penting yang dibuat kelompok-kelompok kecil bisa amat fatal jika kohesivitasnya begitu tinggi, sang pemimpin begitu berpengaruh dan individu anggota kelompok kehilangan nalar sehatnya.

Irving Janis dalam bukunya, Victims of Groupthink: A Psychological Study of Foreign Decisions and Fiascoes (1972), memadukan disiplin psikologi, politik, sejarah, dan komunikasi kelompok untuk menganalisis beberapa keputusan politik penting yang salah. Ia berupaya melacak kembali dan menganalisis enam peristiwa sejarah yang terkait politik internasional, yaitu keputusan Presiden John Fitzgerald Kennedy untuk menginvasi Kuba (Insiden Teluk Babi), ketidaksiapan AS atas serangan Jepang ke Pearl Harbour, eskalasi Perang Vietnam, Perang Korea, krisis misil Kuba, dan Marshall Plan.

Proses analisis Groupthink sedikit rumit. Ada beberapa butir penting yang patut diketahui. Pertama, pengambilan keputusan dibuat oleh para pembuat keputusan yang merupakan kelompok kohesif. Kedua, secara struktural, kelompok ini amat terisolasi, tidak memiliki tradisi kepemimpinan yang imparsial, tiadanya norma-norma yang membutuhkan prosedur metodologi; dari segi sosial dan ideologi, kelompok ini amat homogen. Ketiga, mereka juga terprovokasi dan tertekan oleh ancaman-ancaman luar sehingga tiada solusi tandingan selain yang berasal dari pemimpin kelompoknya. Setiap anggota tidak memiliki keberanian untuk mengutarakan pandangan pribadinya yang berbeda dengan pemimpin dan kelompoknya karena takut dikucilkan atau dikeluarkan dari kelompok.

Keempat, tekanan-tekanan faktor eksternal juga menyebabkan kelompok mengalami ilusi kehancuran, kepercayaan pada moralitas kelompok yang inheren, cara berpikir sempit yang tertutup, memandang adanya ancaman-ancaman dari luar, sensor diri yang kuat, ilusi bahwa keputusan harus didukung bersama, terjadi tekanan terhadap mereka yang beda pandangan, dan adanya orang yang begitu berpengaruh menelurkan gagasan-gagasan dirinya yang kadang tidak masuk akal.

Kelima, lebih buruk lagi bila keputusan tersebut dibuat atas dasar alternatif survei yang tak lengkap, kurangnya analisis mengenai tujuan, kegagalan untuk menguji risiko atas pilihan politik yang diambil, kegagalan untuk mendiskusikan kembali pilihan-pilihan alternatif yang ditolak sebelumnya, miskinnya upaya untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, bias dalam menganalisis informasi, kegagalan untuk membuat rencana-rencana kontinjensi, dan sebagainya. Akibatnya, hasil yang diputuskan bisa salah. Keenam, kesalahan pengambilan keputusan dapat dihindari bila pemimpin kelompok menangguhkan pengambilan keputusan, mendorong kritik atas program atau keputusan yang diusulkan, mengundang ahli dari luar, dan ada seseorang dari dalam kelompok yang berperan sebagai devil�s advocate guna menantang pandangan mayoritas, dan keputusan politik dibuat secara bertahap dan tidak sekaligus.

Hasil survei

Hasil survei CSIS yang dilakukan 13-20 November 2013 menunjukkan elektabilitas Jokowi 34,7 persen, jauh di atas Prabowo Subianto (10,7), Aburizal Bakrie (9), Jusuf Kalla (3,7), Mahfud MD (1,8), dan Hatta Rajasa (0,6). Dari sisi elektabilitas partai, PDI-P masih di peringkat atas dengan 17,6 persen, disusul Partai Golkar (14,8 persen), Gerindra (8,6 persen), Demokrat (7 persen), PKB (4,6 persen), PPP (3,5 persen), PAN (3,3 persen), PKS (3,3 persen), Hanura (2,4 persen), Nasdem (2 persen), dan PBB serta PKPI yang masing-masing mendapatkan 0,5 persen.

Hasil survei yang sama juga menunjukkan 42,7 persen basis massa Demokrat mendukung Jokowi, 20,6 persen massa Gerindra lebih memilih Jokowi ketimbang Prabowo, dan hanya 63,6 persen massa PDI-P mendukung Jokowi. Survei-survei lain seperti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG), dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) juga menempatkan Jokowi pada peringkat teratas survei secara berturut-turut dengan angka 20,2 persen,  45,8 persen, dan 22,3-35,6 persen. Hasil survei Pusat Data Bersatu (PDB) yang dirilis 21 Februari 2014 menempatkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla pada peringkat teratas, yakni 22,3 persen, disusul Prabowo-Hatta (10,2 persen), Megawati-Jokowi (8,1 persen), Jokowi-Hatta (6,8 persen), Dahlan Iskan-Chairul Tanjung (5,7 persen), Jokowi-Puan (4,9 persen), Aburizal-Mahfud MD (2,9 persen), tak menjawab 24,8 persen.

Tekanan-tekanan dari luar agar Megawati maju jadi capres dan Jokowi tidak maju sebagai capres datang bertubi-tubi dari dalam dan luar PDI-P. Kini tergantung Megawati untuk memutuskannya. Jika teori Groupthink dari Irving Janis benar-benar terjadi pada kelompok-kelompok kohesif di PDI-P tanpa diimbangi adanya devil�s advocate atau kelompok ahli dari luar untuk menantang keputusan politik kelompok, hasilnya akan sangat fatal bagi PDI-P. PDI-P akan kehilangan modal sosial dan modal politik yang sudah dibangun sejak 10 tahun lalu. Masa depan bangsa dan negara juga dipertaruhkan.

Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI

Jumat, 07 Maret 2014

Konsumsi dan Korupsi

Jakob Sumardjo

PESTA pora korupsi di Indonesia adalah akibat dari pendidikan sikap konsumtif bangsa ini. Sikap konsumtif yang berbalikan dengan sikap produktif.
Pada waktu saya masuk Sekolah Rakyat tahun 1945 di kota Klaten, kelas 3, guru lulusan sekolah kolonial, mulai mengajar kami ilmu bumi.

Kami disuruh menggambar peta kelas kami dengan fokus di mana bangku tempat saya duduk. Kemudian disuruh menggambar peta sekolah kami.

Dan, terakhir disuruh menggambar peta di mana letak sekolah kami di antara sungai, jalan, gereja, masjid, rumah penduduk, dan sekolah lain.

Pengetahuan dimulai dari kenyataan, yakni cara melihat kenyataan menurut pandangan kami masing-masing. Inilah pendidikan produktif.

Kami menghasilkan pengetahuan dari kenyataan untuk kenyataan. Pengetahuan bukan kemewahan kepemilikan yang patut kita sombongkan. Pengetahuan baru disebut pengetahuan kalau berhubungan dengan kenyataan hidup kita sendiri.

Penelitian Zaini Alif di Baduy memperkuat arti pendidikan produktif ini. Di sana tidak ada lembaga sekolah, setiap orangtua adalah guru bagi anak-anaknya. Tidak dikenal permainan anak-anak, yang terjadilah adalah pekerjaan anak-anak (pagawean barudak). Permainan adalah pekerjaan.

Anak-anak membuat �mainan� sendiri, misalnya baling-baling dari daun kelapa yang
dapat mengeluarkan bunyi.

Ternyata ini berhubungan dengan kewajiban orang-orang dewasa yang harus terampil membikin kolencer (baling-baling bambu yang berbunyi di tengah sawah) mengikuti kepercayaan mereka.

Tentu saja kita tidak mau kembali ke primitif, tetapi filosofi pendidikan primitif ini masih dapat kita pertimbangkan, yakni pendidikan produktif bukan pendidikan konsumtif.
Sejak taman kanak-kanak sampai pendidikan tinggi, kita diajari bagaimana �tahu banyak� dari kerja orang lain, tentang realitas orang lain pula.

Pengetahuan yang memenuhi rak-rak buku kita adalah kerja produktif dari penulis-penulisnya yang membaca realitas seperti masa sekolah rakyat saya.

Bangsa penikmat

Kita ini bangsa penikmat dunia. Mengulangi pidato pelantikan Presiden John Kennedy, kita dapat bertanya: bukan apa yang dapat disumbangkan dunia kepadamu, tetapi apa yang dapat kamu sumbangkan bagi dunia.

Sumbangan bangsa ini untuk dunia ternyata berasal dari kerja produktif nenek moyang kita, berupa candi-candi, wayang, gamelan, sastra-mitologis, angklung.
Semua diakui UNESCO sebagai warisan dunia. Sekarang ini apa yang dapat kita sumbangkan? Boro-boro menyumbang, kita hanya dapat menerima, menerima, dan menerima belaka, yang mengkristal menjadi sikap bangsa.

Contoh konkret antipoda ini adalah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Dia blusukan ke wilayah Ibu Kota seperti kami dahulublusukan menyisir sungai dan kampung tempat sekolah kami berdiri.

Joko Widodo membaca realitas untuk menyelesaikan realitas. Cara kerja yang ndeso ala Thukul ini mendapatkan banyak kecaman dari mereka yang bersikukuh pada cara berpikir dan konsumtif.

Bukan proses kerjanya yang dinilai, tetapi produknya, seperti kebiasaan mereka menikmati produk-produk jadi apa pun dari luar negeri.

Cara berpikir kita yang �tinggal pakai� di semua bidang kehidupan ini tidak sabaran menunggu kerja gubernur yang seharusnya dewa-batara bimsalabim, begitu ingin langsung terjadi.

Cara berpikir konsumtif bangsa ini menanamkan potensi bahwa setiap orang berkemungkinan menjadi koruptor begitu kesempatan ada.

Etika produktif tidak pernah kita tanamkan, tidak seperti masyarakat �primitif� Baduy mendidik anak-anak mereka. Pikiran mereka hanya bekerja dan menghasilkan untuk kehidupan.

Itulah sebabnya anak usia 11 tahun sudah bertindak seperti orang dewasa di masyarakat tersebut.

Pendidikan konsumtif kita menghasilkan lulusan pendidikan tinggi mirip anak-anak, dan ketika menduduki jabatan penting tetap bermain-main dengan uang negara.
Indonesia ini ruang permainan, ruang bersenang-senang, just for fun, semua uang yang tersedia itu buat permainan bukan pekerjaan (pegawean).

Mentalitas konsumtif

Kita sudah jauh dari mentalitas masyarakat Baduy yang tidak mengenal permainan, tetapi hanyalah pekerjaan.

Mentalitas demikian itu samar-samar masih hidup di kampung-kampung, yang ketika kepala desa mengawinkan anaknya dan menanggap wayang, maka penduduk sekitarnya mengatakan bahwa pak lurah sedang punya kerja.

Mentalitas konsumtif ini merambah ke mana-mana, mulai dari acara-acara televisi yang tinggal menjiplak produk asing, komik Jepang, penyanyi Korea, Cluster Eropa-Amerika, sampai referensi disertai yang melarang dirujuknya karya ilmiah 10 tahun ke belakang.

Semuanya berorientasi pada fashion dunia mutakhir. Yang tidak demikian dinamain jadul atau jaman dahulu yang berupa zombie budaya yang menjijikkan.

Rupanya mentalitas demikian itu pula yang menghinggapi calon-calon wakil rakyat bahwa jabatan itu menjanjikan permainan konsumtif, bukan kerja produktif.

Apa dan berapa yang dapat diberikan negara padaku? Bukan apa yang dapat saya kerjakan untuk negara dan bangsa ini?

Untuk itu diperlukan pengetahuan realitas yang menjadi tanggung jawabnya dan memecahkannya dengan cara berpikir produktif dan otentik.

Nelson Mandela itu menjadi milik dunia karena hanya fokus pada Afrika Selatan. Dia tidak menjiplak pemimpin mana pun. Mentalitas konsumtif menyuburkan korupsi, plagiat, nyontek, yang tinggal menikmati tanpa kerja (keras).

Jakob Sumardjo, Budayawan

Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan

Musdah Mulia

Membaca laporan Indeks Demokrasi Indonesia selama tiga tahun terakhir terlihat kualitas demokrasi yang masih rendah.

Indikasi paling menonjol adalah meningkatnya kasus kekerasan di banyak wilayah Indonesia, baik oleh masyarakat dalam bentuk tindakan anarkistis dan main hakim sendiri maupun oleh aparat pemerintah dan penegak hukum berupa tindakan represif dan otoriter.

Akibatnya, demokrasi belum banyak membawa keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat seperti dijamin dalam Pancasila dan konstitusi Indonesia. Hal itu jelas mengindikasikan adanya kesenjangan (diskrepansi) antara tuntutan demokrasi berupa nilai-nilai keadaban publik yang luhur dan perilaku demokrasi yang cenderung tidak beretika sebagaimana dipertontonkan secara nyata, baik oleh aparat pemerintah maupun masyarakat luas.

Gunung es kekerasan

Perilaku kekerasan mencakup makna yang amat luas, di dalamnya ada bentuk khusus, yaitu kekerasan terhadap perempuan (KTP). Data kasus KTP di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat drastis. Jika pada 2012 ada lebih dari 600 kasus, pada 2013 tercatat 992 kasus, yang dominan adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 372 kasus dan kasus kekerasan dalam pacaran berjumlah 59 kasus (data resmi LBH APIK Jakarta).

Sebuah peningkatan jumlah yang signifikan dan mengerikan. Namun, bagaikan gunung es, kasus yang terdata hanya sedikit sekali. Itu pun bukan data dari lembaga negara, melainkan dari lembaga swadaya masyarakat (NGO) yang peduli terhadap isu perempuan. Ketiadaan data membuktikan betapa negara masih abai dan belum serius menangani kasus KTP. Padahal, dalam berbagai dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa, KTP dinyatakan sebagai kejahatan hak asasi manusia yang sistemik dan berdampak luas.

Bentuk KTP secara umum dapat dikelompokkan dalam dua kategori: kekerasan di ranah domestik (di dalam rumah tangga) dan kekerasan di ranah publik (di luar rumah tangga).

KDRT dapat pula dibagi ke dalam empat jenis: penganiayaan fisik, seperti tamparan, pukulan, tendangan; penganiayaan psikis, seperti ancaman, hinaan, cemoohan; dan penganiayaan seksual dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual, baik dalam pernikahan maupun di luar pernikahan. Jenis keempat adalah pengabaian kewajiban memberikan nafkah materi kepada istri atau mengontrol uang belanja.

KDRT merupakan masalah yang sangat kompleks dan jumlah kasusnya amat besar. Namun, karena kejahatan ini terjadi di dalam rumah tangga, sering kali sulit dipantau dan kemudian terabaikan. Yang lebih menyedihkan, ada anggapan bahwa KDRT hanyalah urusan internal keluarga dan merupakan aib jika dibicarakan dengan orang luar. Akibatnya, KDRT menjadi sesuatu yang dipandang lumrah di masyarakat. Merespons anggapan sesat ini, dalam Konferensi Internasional di Vienna muncul semboyan �the personal is political.� Persoalan pribadi sekalipun jika membawa bahaya bagi orang banyak, harus dibawa ke ruang publik. Tujuannya, menghindarkan orang lain mengalami bahaya dan penderitaan serupa.

Menarik untuk dicermati, pelaku KTP dari 992 kasus yang disebutkan di awal, ternyata bukan orang biasa, melainkan terdapat juga aparatur negara yang seharusnya berkewajiban melindungi masyarakat. Terdapat 14 kasus yang pelakunya aparatur negara:  TNI dan Polri, serta pejabat dari institusi lain.

Bentuk KTP yang dilakukan aparatur negara cukup beragam, seperti ingkar janji, pemerkosaan, penelantaran ekonomi, perselingkuhan, dan penganiayaan fisik. Fatalnya, proses hukum 14 kasus tersebut berjalan sangat lambat. Ada banyak faktor berkelindan di dalamnya, seperti kurangnya sensitivitas jender dalam penyidikan, selain masalah birokrasi yang berbelit-belit.

Minim rujukan hukum

Problem lain yang dihadapi, minimnya rujukan hukum bagi kasus KTP. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur dua jenis kekerasan seksual terhadap perempuan yang masuk ranah tindak pidana, yaitu pemerkosaan dan pencabulan, padahal ada begitu banyak jenis KTP. Betul, sudah ada UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, dan UU Trafficking, tetapi implementasinya masih berjalan tertatih-tatih. Bahkan, sebagian aparat penegak hukum (APH) belum tahu keberadaan undang-undang tersebut, apalagi implementasinya.

Selain terkait materi hukum, juga problem terkait struktur hukum dan budaya hukum yang masih sangat kuat. Tidak jarang korban harus berhadapan dengan aparatur yang sinis, tidak ramah, serta cenderung membela pelaku  dan menyalahkan korban. Tambahan pula, budaya hukum patriarki yang masih kental, membuat korban enggan dan sangat malu untuk melapor. Alih-alih mereka dilindungi dan diperlakukan sebagai korban yang memerlukan welas asih dan dukungan, mereka malah mendapat cemoohan serta stigma sebagai perempuan nakal dan tidak taat aturan.  

Begitu pula proses penyidikan dalam kasus kekerasan seksual seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual. Laporan korban  cenderung tidak dipercayai. Bahkan, sering kali penyidik mencurigai dan menyalahkan korban. Lebih parah lagi, korban justru dipersalahkan sebagai pemicu kekerasan. Akibatnya, dalam berbagai kasus kejahatan pemerkosaan, penyidik dan publik masih cenderung menganggap pemerkosaan sebagai bentuk hubungan wajar atas dasar suka sama suka. Ini sangat mengerikan!

Kesimpulannya, sangat perlu membangun sistem hukum yang adil (fair trial) sehingga siapa pun yang menjadi korban kekerasan akan terpenuhi haknya  memperoleh peradilan yang adil. Sebaliknya, siapa pun pelaku kekerasan terhadap perempuan akan diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Bukankah keadilan sosial merupakan tujuan utama dari Pancasila, landasan pijak kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Akhirnya, dalam rangka memperingati  Hari Perempuan Sedunia (International Women�s Day), 8 Maret, kami kelompok perempuan yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Korban Kekerasan Terhadap Perempuan memilih tema sentral, �Akhiri Kekerasan Sekarang Juga!� Perempuan Indonesia sebagai warga negara penuh dan manusia seutuhnya berhak hidup damai dan sejahtera tanpa kekerasan dalam bentuk apa pun agar mereka dapat menyumbangkan partisipasi dan kontribusi positif dan konstruktif secara optimal dalam seluruh bidang pembangunan bangsa. Selamat Hari Perempuan.

Musdah Mulia, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah; Direktur Eksekutif Megawati Institute

Pilkada Asimetris dan Tafsir Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945

Ridwan Mukti

Pembahasan RUU Pemilihan Kepala Daerah yang berlangsung di DPR baru-baru ini, bagaimanapun, sangat penting dalam mengukur kapasitas demokrasi kita. Apakah keputusan akhir pembahasan itu mampu menjawab berbagai soal krusial yang selama ini jadi kritik keras terhadap model pemilihan langsung secara seragam? Sejauh yang kami amati, perkembangannya masih tetap terbelah: apakah kepala daerah dipilih langsung rakyat atau malah dipilih DPRD.

Iramanya tetap pada penyeragaman, bukan keberagaman (asimetris), yang justru menjadi titik lemah utama dalam penyelenggaraan pilkada dan bertentangan dengan fakta keberagaman Indonesia.

Pluralitas adalah keniscayaan. Karena itu, pilkada seyogianya beragam. Pelaksanaan pilkada langsung memperlihatkan bahwa dari awal hingga saat ini lebih banyak menimbulkan ekses negatif. Pilkada langsung menjadi bumerang melalui penafsiran seragam terhadap makna frasa �dipilih secara demokratis� dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 dan UU Pemerintahan Daerah.

Harus beragam model

Sebagai seorang kepala daerah yang juga merupakan produk perundang-undangan terkait pilkada langsung yang seragam, saya merasakan sendiri berbagai kelemahan model pilkada itu. Seharusnya ini direnungkan anggota DPR saat ini.

Saya berharap ada kesadaran baru mencari model pilkada yang merupakan koreksi terhadap model pemilihan langsung ataupun model sebelumnya, yakni dipilih DPRD. Sebuah model yang disesuaikan dengan karakteristik daerah diharapkan mampu mencegah polarisasi pemilih emosional dan transaksional, serta memperkuat NKRI.

Berdasarkan hasil penelitian saya untuk disertasi di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, frasa �dipilih secara demokratis� untuk pilkada dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 bertujuan agar bersifat fleksibel. Menurut saya, pasal itu telah ditafsirkan secara tidak tepat, parsial, dan restriktif oleh UU No 32/2004.

UU No 32/2004 melakukan tafsir secara parsial terhadap Pasal 18 Ayat (4) karena tidak mempertimbangkan 16 pasal lain dalam UUD 1945. Karena itu, pilkada diselenggarakan secara langsung dan diseragamkan. UU itu dibentuk terburu-buru dan setengah diam-diam.
Pembuat UU dapat menentukan sistem pilkada yang sesuai dengan kondisi daerah tertentu (langsung atau melalui DPRD) sebagai penghargaan konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat antardaerah yang berbeda.

Pada hemat saya, penting sekali jika dalam membahas RUU Pilkada digali model yang paling tepat penerapannya di Indonesia tanpa menafikan pergaulan internasional (globalisasi) dan kearifan lokal dalam wadah NKRI. Disertasi saya menyimpulkan bahwa model pilkada ke depan merupakan conditio sine qua non, harus beragam, yang mencerminkan kebinekaan dalam kerangka NKRI.

Model itu bukan untuk meniadakan pilkada langsung dan pemilihan melalui DPRD, melainkan memungkinkan untuk  menambahkan model lain. Sebagai contoh, menggabungkan antara pilkada langsung dan tidak langsung melalui sistem pemilihan langsung bertingkat yang dipersempit (popular vote). Konkretnya, pilkada dapat dipilih DPRD, dipilih langsung, atau dipilih sistem campuran, yakni: (a) pemilihan oleh DPRD diperluas; (b) pemilihan langsung dipersempit; atau (c) pemilihan oleh adat.

Jika ingin melihat berdasarkan daerah, hasil penelitian saya menunjukkan, model pilkada langsung paling tepat dilaksanakan di Pulau Jawa dan Sumatera (kecuali untuk Kepulauan Riau, yang cocok menggunakan sistem perwakilan diperluas, dan Provinsi Aceh yang cocok dengan sistem pilkada langsung dipersempit). Model pilkada dengan sistem perwakilan diperluas cocok dilaksanakan di Pulau Bali, Sulawesi, dan Kalimantan, termasuk DKI Jakarta mengusulkan sistem perwakilan diperluas.

Adapun model forum adat wilayah cocok diterapkan di Kabupaten Buleleng (Bali), Kabupaten Bau-Bau (Pulau Buton), Provinsi DI Yogyakarta, dan kabupaten-kabupaten di Provinsi Papua. Model pilkada dengan sistem perwakilan DPRD cocok diterapkan di Sumatera Selatan, termasuk untuk Provinsi Papua.

Semua responden di setiap daerah yang berhasil dikumpulkan sepakat untuk tetap menjadikan prinsip-prinsip dalam Pancasila, terutama sila ke-4, diterapkan dalam menengahi demokratisasi liberal dengan tetap mempertahankan kearifan lokal.

Desentralisasi hukum

Pertanyaannya adalah bagaimana aturan hukumnya? Menurut saya, pengaturan pilkada ke depan dilakukan melalui UU yang bersifat umum dan dilaksanakan secara teknis oleh perda masing-masing provinsi atau kabupaten/kota. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pilkada, baik di pusat maupun daerah didesain secara efektif dan efisien.

Perundang-undangan itu dirumuskan dalam kerangka pokok untuk mendukung penguatan sistem politik demokrasi Indonesia, penguatan negara hukum Pancasila, penguatan kekuasaan pemerintahan di bawah presiden, tujuan pembangunan berkelanjutan dalam rangka pembentukan masyarakat demokratis Pancasila, memantapkan konsensus bahwa NKRI adalah harga mati, menghasilkan akuntabilitas tertinggi dari sebuah legitimasi sosial di daerah, dan mengedepankan kearifan lokal. Akan tetapi, ia tetap responsif terhadap perkembangan global.

Penempatan perda sebagai landasan hukum dapat dilihat dari perjalanan sejarah desentralisasi. Pada Orde Lama hingga akhir Orde Baru dapat terlihat hubungan antara pusat dan daerah hanya sebatas hubungan administratif atau hanya ditempatkan sebagai obyek pusat. Di era Orde Reformasi, dalam UU No 22/1999 dan UU No 32/2004, dalam konteks pilkada, peran daerah meningkat sebagai subyek. Di sini daerah yang menyelenggarakan, memilih, dan menetapkan hasil pilkada. Artinya, terjadi pergeseran paradigma dari desentralisasi administratif ke desentralisasi politik, selanjutnya mengarah ke desentralisasi hukum, yaitu pengaturan pilkada melalui perda.

Berdasarkan gejala pergeseran peran tersebut, dicermati pula bahwa otonomi administratif telah bergeser jadi otonomi dalam pengaturan pilkada. Namun, tetap dalam koridor UU yang mengatur pokok-pokok pilkada untuk mengikat perda yang berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. Bagaimanapun pengaturan pilkada tetap dalam format sistem politik nasional.

Pertanyaan berikutnya: bagaimana posisi KPU dan wakil kepala daerah? Menurut saya, posisi wakil kepala daerah sebaiknya dihilangkan atau diatur sesuai kebutuhan. Untuk penyelenggara pilkada beragam tidak harus KPUD. Pengaturan KPUD sebagai penyelenggara pilkada dalam UU Pemilu harus dikeluarkan karena sudah tidak relevan. Lembaga penyelenggara pilkada beragam tak harus seragam, tetapi harus memiliki kredibilitas tinggi serta bersifat ad hoc dan on call. Lembaga penyelenggara juga tak perlu berkantor secara permanen.

Ridwan Mukti,  Bupati Musi Rawas, Sumsel; Doktor Hukum FH Universitas Sriwijaya

Kinerja Riset Perguruan Tinggi Kita

Hendra Gunawan                                                               
                                                                                                           
Seorang teman menulis pepatah: jika ingin membangun kota, dirikanlah sekolah; jika ingin membangun negeri, dirikanlah universitas. Saya menambahkan: jika ingin membangun negeri yang maju, dirikanlah universitas yang bermutu.

Saat ini, terdapat sekitar 3.500 perguruan tinggi (PT) di Indonesia, tapi tak lebih dari 100 yang dapat dikategorikan bermutu. Bahkan, jika produktivitas riset jadi ukuran utama, angkanya lebih sedikit lagi. Berdasarkan data Scopus, yang merekam produktivitas PT dan lembaga lainnya dalam riset, hanya sekitar 10 PT kita yang layak diperhitungkan.

Terkait rendahnya produktivitas PT kita dalam riset, baru-baru ini Forum Rektor Indonesia (FRI) mengusulkan pembentukan suatu kementerian yang menangani pendidikan tinggi, riset, dan teknologi. Pro-kontra pun terjadi. Daoed Joesoef (Kompas, 18/2/2014) termasuk yang tidak setuju. Sementara Azyumardi Azra (Kompas, 26/2/2014) mendukung gagasan FRI. Namun, satu hal yang diamini oleh kedua belah pihak adalah bahwa kinerja riset PT kita memang rendah dan perlu ditingkatkan.

Mencoba untuk tidak terjebak dengan pro-kontra terhadap usulan FRI, melalui tulisan ini saya ingin mengajak semua pihak untuk melihat masalahnya secara jernih, dengan melupakan terlebih dahulu kementerian mana yang selayaknya mengelola PT di negara kita.

Pertama, rendahnya produktivitas riset PT kita adalah masalah serius, mengingat kita berada di era ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan itu, daya saing bangsa dipertaruhkan. Peran PT, khususnya universitas dan institut, dalam pengembangan ilmu pengetahuan memang sangat dinantikan.

Kedua, tentu kita juga sepakat masalah ini harus segera diatasi. Namun, sebelum menawarkan solusi, kita perlu mengetahui dengan baik akar masalahnya. Daoed Joesoef menyoroti tidak terbangunnya komunitas ilmiah di PT kita sebagai masalah utama. Sementara Azyumardi Azra risau dengan mayoritas dosen yang terpaku pada salah satu misi PT saja, yaitu pengajaran.

Mencoba mendalami permasalahan ini, kita patut bertanya: apa memang setiap �PT� yang ada di Indonesia punya kapasitas melaksanakan Tri Dharma PT? Sebagaimana kita ketahui, yang disebut �PT� di Indonesia terdiri dari universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, dan akademi, termasuk sang pendatang baru, yaitu �akademi komunitas�.

Apabila saya mengibaratkan ilmu pengetahuan sebagai buah kelapa, dan PT penghasil ilmu pengetahuan sebagai pohon kelapa, apakah betul semua bentuk �perguruan tinggi� tadi pohon kelapa yang akan berbuah kelapa? Menurut saya, sebagian di antaranya memang mirip pohon kelapa, tapi bukan pohon kelapa. Apakah kemudian fair menuntut pohon palem yang mirip pohon kelapa untuk berbuah kelapa? Juga, apakah memindahkan pohon palem akan membuatnya berbuah kelapa? Tidak, kan?

Karena itu, marilah kita fokus pada �pohon kelapa� saja, khususnya universitas dan institut, yang seharusnya memang melaksanakan Tri Dharma PT secara utuh. Dalam hal ini, saya sepakat ada masalah dengan mutu dosen dan budaya akademik sekalipun di kedua jenis PT ini. Namun, mengapa ini terjadi?

Saya sepakat dengan Azyumardi Azra: saat ini ada masalah dalam perekrutan dan promosi dosen. Namun, di balik ini, negeri ini memang kekurangan orang yang mumpuni untuk jadi dosen, sebagaimana yang diharapkan Azyumardi Azra dan kita semua. Hal ini diperparah dengan masalah inbreeding dan ketertutupan PT dalam perekrutan dosen serta sistem promosi yang belum berbasis merit.

Berbicara tentang riset, kita pun tidak bisa melupakan berapa besarnya dana yang tersedia untuk itu. Di PTN, yang anggarannya diatur oleh APBN, anggaran untuk riset sangat minim, rata-rata masih di bawah Rp 10 miliar per tahun per PT. Di PTS, situasinya jauh lebih parah.

Dua pertanyaan kemudian menggelitik saya. Pertama, jika dibentuk kementerian baru yang menangani secara khusus pendidikan tinggi dan riset, apakah anggaran akan bertambah? Rasanya tidak, APBN kita tidak akan naik secara signifikan. Kedua, jika kita tiba-tiba mempunyai anggaran yang besar, apakah dana tersebut akan kita kucurkan untuk riset atau untuk membangun manusianya terlebih dahulu?

Belajar dari Korea Selatan dan China, beberapa puluh tahun silam mereka mengirimkan puluhan, bahkan mungkin ratusan ribu, sarjana untuk mengambil program doktor di negara-negara maju, sebelum akhirnya mereka kembali dan membangun negeri mereka. Kita pernah melakukan hal serupa, tetapi tidak cukup untuk mencapai massa kritis (critical mass).

Apabila kita ingin meningkatkan produktivitas riset PT, khususnya di universitas dan institut, barangkali kita perlu mengupayakan tercapainya massa kritis itu. Apabila kita memang ingin membangun sebuah negara yang maju, bangunlah PT bermutu, dan untuk itu bangunlah terlebih dahulu manusianya!

Hendra Gunawan, Guru Besar FMIPA ITB

Mengkhawatirkan Masa Depan

Mohammad Abduhzen                                                       
                                                                                                           
Di antara kesimpulan yang dapat ditarik dari Programme for International Student Assessment 2012 dan berbagai penilaian lain sebelumnya adalah: murid-murid kita sebenarnya tidaklah bodoh meski lemah pada penalaran. Mereka menunjukkan kemampuan yang baik dalam kognisi tingkat rendah, seperti mengingat (menghafal). Namun, mereka mengalami kesukaran ketika harus menganalisis dan menggunakan pengetahuannya untuk memecahkan masalah.

Kenyataan itu menunjukkan ada yang kurang dalam desain dan pembelajaran di sekolah, kecuali jika kita mendefinisikan bahwa kecerdasan sebatas hebat mengingat. Namun, masalahnya, kehidupan insani meniscayakan penalaran agar dapat survive, berkembang, dan beradab. Lebih-lebih menghadapi masa depan dalam abad ke-21 yang problemnya konon banyak yang tak dapat diprediksi, juga belum ada pola pemecahannya sehingga memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi.

Sementara itu, para pemuka negeri ini asyik meniup gelembung mimpi yang tinggi tentang masa depan. Dalam berbagai kesempatan, Menko  Perekonomian Hatta Rajasa�mengutip Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)�menyatakan, bangsa Indonesia akan jadi satu di antara 10 negara besar ekonomi  dunia pada 2025 dan satu di antara enam negara besar dunia pada 2050.

 Serupa dengan Hatta, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan beserta jajarannya mengimpikan tentang generasi emas 2045. Dengan premis-premis terkait bonus demografi�yang rada fatalistik�bahwa pada 2045 produk domestik bruto per kapita kita di atas  12.000 dollar AS; rata- rata lama sekolah 12,35-14,05 tahun; angka harapan hidup 77-80 tahun; dan semua penduduk berusia 15-59 tahun melek aksara.

Pada 100 tahun usia kemerdekaan itu, jumlah penduduk Indonesia berkisar 317 juta orang, di antaranya terdiri dari 89,48 juta orang berusia 35 sampai 54 tahun. Jumlah ini baru dihitung dari mereka yang  berusia 0-19 pada 2010.  Mereka merupakan bagian dari apa yang disebut bonus demografi karena dalam rentang waktu menjelang 2045 berada dalam usia produktif dengan jumlah yang sangat besar.

Persoalan bangsa

Untuk menyongsong kejayaan itu, dalam periode jendela bonus demografi 2010-2035, Kemdikbud melaksanakan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) dan Kurikulum 2013, menyelenggarakan pendidikan tinggi berkualitas dan berdaya saing, pendidikan dasar berkualitas dan merata, pendidikan karakter, serta memastikan semua penduduk usia sekolah bersekolah.

Program-program Kemdikbud menyangkut kualitas seperti ujian nasional (UN) sejak 2004, pendidikan karakter mulai 2009, dan Kurikulum 2013 terbukti tak mampu memperbaiki mutu dan tak meyakinkan dapat membekali para murid untuk mencapai cita-cita bangsa di masa depan. Program-program kualitatif yang diselenggarakan, selain dikuasai gagasan evolusionisme tentang daya saing, logika saudagar, juga tampak sangat politis dan terburu-buru sehingga  kebanyakan program tak secara tepat menjawab kebutuhan dan permasalahan bangsa.

Tugas utama pemerintah mendatang adalah membenahi kondisi ini secara total, fundamental, dan gradual. Jika tidak, khawatir bangsa ini jadi pengidap megalomania. Setelah mimpi �jembatan emas 1945�, kini mimpi �generasi emas 2045�.

Sudah sangat dipahami bahwa kita memiliki kekayaan alam dan budaya melimpah serta penduduk yang besar. Namun, mengapa bangsa ini sengsara?

Dulu, kita sengsara disangka karena penjajah. Maka, Soekarno berpidato berapi-api �...bahwa kemerdekaan, tak lain dan tak bukan, suatu jembatan emas� di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat�, masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi.�

Kini, setelah 68 tahun, jembatan itu bagai mengapung, bangsa Indonesia bukan saja tak kunjung  gagah, kuat, dan sehat, melainkan seperti kembali tak jadi tuan di rumahnya sendiri. Sumber-sumber kekayaannya sebagian besar dikuasai asing, pemerintahannya tampak tak berdaulat secara otonom, dan rakyat tetap menderita.  Ini terjadi karena adanya dekadensi akal pikiran. Kemunduran akal budi, menurut Bung Karno (Indonesia Menggugat, 1956: 129, 132), merupakan bencana batin yang paling besar karena membuat karakter bangsa jadi lemah. Kelemahan jiwa itulah yang kita saksikan dewasa ini sehingga kandungan Ibu Pertiwi tak memberikan kemaslahatan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sarana penalaran

 Meski berpikir bukanlah representasi keseluruhan dari kemanusiaan, kekuatan jiwa terletak pada kemampuan berpikir. �Pikir itu pelita hati�, kata peribahasa Melayu kuno. Ketika pikiran tak menerangi jiwa, bukan saja kekayaan akan tak maslahat, lebih daripada itu  daya-daya manusia akan jadi destruktif.

Pendidikan kita selama ini lebih banyak mengisi pikiran ketimbang  mengajarkan berpikir. Walhasil, murid-murid kita jadi lemah penalarannya.  Inilah inti persoalan sumber daya manusia (SDM) kita. Ini pula masalah utama bangsa dalam menyongsong masa depan.

Mengajarkan berpikir bukanlah dominasi satu atau beberapa mata pelajaran, melainkan menuntut keterlibatan seluruh komponen sekolah sebagai sarana penalaran. Sebenarnya setiap mata pelajaran secara implisit memfasilitasi model berpikir tertentu.  Ketika belajar sains, misalnya, murid lebih dituntun berpikir pola induktif, sementara saat mendalami matematika dan bahasa, mereka lebih dibawa ke alam berpikir deduktif (Mohammad Abduhzen, Kompas, 5/11/2007). Namun, mengandalkan pengaruh  logis saja dari setiap mata pelajaran tak akan membuat murid (istilah Iwan Pranoto) �kasmaran� belajar dan berpikir.

Pengembangan nalar membutuhkan strategi  pembelajaran yang terintegrasi dalam desain pendidikan nasional. Ini sangat penting karena kemampuan menalar sangat dekat dengan kecerdasan yang jadi tujuan utama pendidikan kita.

Mengajarkan berpikir seharusnya dengan berpikir. Seperti berenang, murid tak hanya mendengarkan pikiran guru, tetapi juga diceburkan secara aktif ke dalam aliran ide-ide. Socrates, filsuf Yunani kuno, menunjukkan peran guru seperti bidan yang menolong proses persalinan.

Itulah sebabnya perhatian utama dalam perbaikan pendidikan kita seharusnya pada metode, bukan kurikulum. Metode melekat pada perilaku guru sehingga pembaruan metode inheren dengan pengembangan kualitas guru. Sejarah pendidikan kita menunjukkan bahwa pergantian kurikulum tak selalu diikuti dengan perubahan metode pembelajaran.

Pembaruan pendidikan Indonesia seyogianya menyentuh aspek paling mendasar dari kualitas SDM kita, yaitu kemampuan menalar. Mengabaikan hal ini, membuat masa depan kita mengkhawatirkan.

Mohammad Abduhzen, Direktur Eksekutif Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI

Kamis, 06 Maret 2014

Pajak dan UMKM

Fany Inasius

PERANAN usaha mikro, kecil, dan menengah terhadap perekonomian Indonesia belakangan jadi menarik dan ramai diperbincangkan mengingat jumlah lapangan kerja yang besar di sektor ini. Selain itu, tentu saja karena kontribusi yang besar terhadap produk domestik bruto.

Sebagaimana usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di banyak negara, UMKM Indonesia juga memainkan peranan signifikan bagi perekonomian nasional. Di Indonesia, jumlah UMKM mencapai  56 juta unit dan menyumbang sekitar 60 persen dari total GDP dan menampung 97 persen dari total tenaga kerja pada tahun 2012.

Meski UMKM berperan dominan terhadap perekonomian nasional, apabila dikaitkan dengan  pemenuhan kewajiban perpajakan, terlihat bahwa kepatuhan pajak UMKM masih belum memadai. Meski jumlah UMKM di atas 50 juta unit, jumlah pembayar pajak �orang pribadi� yang memiliki NPWP masih sekitar 20 juta. Mengapa tingkat kepatuhan pajak tersebut masih rendah?

Perpajakan UKM

Ada beberapa alasan mengapa pembayar pajak UMKM belum maksimal berkontribusi dalam penerimaan pajak. Pertama, usaha dengan karakteristik tersebut mengalami kendala utama dalam bidang administrasi. Sebab, secara umum perkembangan UMKM dimulai dari usaha perorangan, yang jika berkembang, berbentuk badan dengan skala kecil menengah. Beban administrasi yang kompleks akan meningkatkan biaya kepatuhan pajak yang dapat menurunkan daya saing UMKM. Hal ini berdampak terhadap tingkat kepatuhan pajak yang rendah.

Kedua, tarif pajak yang tidak kompetitif bagi pembayar pajak UMKM untuk berkompetisi dengan non-UMKM. Sebagai contoh, bagi para pelaku UMKM pajak merupakan komponen biaya dalam penghitungan sederhana. Jika tingkat keuntungan sebelum pajak 10 persen dengan Pajak Penghasilan (PPh) 1 persen dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 3 persen , akan dihasilkan keuntungan 6 persen.

Dengan penghitungan sederhana ini, para pengusaha UMKM akan mudah melaksanakan pemenuhan kewajiban pajaknya, di samping�tentu saja�memprediksi keuntungan yang dapat direalisasikan. Sebaliknya jika tarif pajak terlalu tinggi, misalnya total PPN dan PPh 11 persen, dengan tingkat keuntungan yang sama, memungkinkan timbulnya ketidakpatuhan karena cost dan revenue sudah tidak matching.

Ketiga, etika dan pengaruh lingkungan terhadap tingkat kepatuhan pembayar pajak UMKM. Hal ini dapat disebabkan ketidakjujuran wajib pajak (WP) UMKM atau pengaruh keluarga dan lingkungan. Keempat, kemungkinan untuk terdeteksi aparat pajak. Dengan adanya kemungkinan diperiksa atau terdeteksi atas kewajiban pajak yang ada, berdampak terhadap tingkat kepatuhan pembayar pajak.

Perpajakan atas UKM terdiri atas dua jenis pajak utama yang memiliki peran signifikan, yaitu PPh dan PPN, dengan PPh sebagai pajak dominan. Berdasarkan PP No 46/2013, wajib pajak dengan peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dikenakan PPh 1 persen dari total peredaran usaha  dan bersifat final. Pelaku UMKM tak harus menghitung secara tepat berapa keuntungan yang dihasilkan karena pajak tersebut bersifat final sehingga tidak dipengaruhi oleh jumlah keuntungan yang dihasilkan.

Ini berarti pembayar pajak di sektor ini dipermudah, baik dari segi administrasi maupun tarif yang kompetitif. Namun, PPN masih jadi kendala mengingat kewajiban sebagai pengusaha kena pajak (PKP) dengan peredaran usaha di atas Rp 600 juta.

Apabila merujuk peraturan yang berlaku, yakni UMKM dengan peredaran di bawah Rp 4,8 miliar wajib memungut PPN 10 persen, bagi UMKM hal ini jadi beban. Di sini tarif pajak dan kesederhanaan administrasi jadi isu utama yang dapat berimplikasi terhadap ketidakpatuhan wajib pajak UMKM, belum lagi ketidakjujuran pembayar pajak.

Di pengujung 2013, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197 yang mulai berlaku pada awal 2014 meningkatkan batasan wajib PKP jadi Rp 4.8 miliar per tahun. Hal ini bagaikan memberi angin segar dengan semakin memberi kemudahan bagi pelaku usaha di sektor ini. Ini berarti bagi UMKM hanya ada satu pajak utama yang jadi beban dalam komponen penghitungan keuntungan, yaitu PPh 1 persen.

Implikasi terhadap UKM

Terkait kebijakan dalam PP No 46/2013  dan PMK No 197/2013, tidak saja membawa angin segar bagi pelaku UMKM dengan tarif yang kompetitif, tetapi juga kesederhanaan dalam pemenuhan kewajiban pelaporan pajak tahunan. Karena itu, kombinasi tentang PPh 1 persen dan peningkatan batasan untuk jadi PKP adalah solusi yang selaras menunjang tingkat kepatuhan wajib pajak UMKM.

Sebagai contoh, wajib pajak UMKM yang memiliki usaha di atas 600 juta dan di bawah Rp 4,8 miliar tidak punya beban untuk dikenai PPN 10 persen karena dapat memilih untuk tak menjadi PKP. Mengingat secara umum pelaku UMKM kesulitan dalam administrasi, PPN yang seharusnya dibebankan kepada pembeli akan menjadi beban penjual.

Dengan logika sederhana, dapat dipahami bahwa pada jumlah keuntungan yang sama dengan pajak yang harus dibayar akan sulit didapatkan kejujuran dari pembayar pajak. Hal ini dapat berpotensi meningkatkan ketakpatuhan pembayar pajak dari sektor UMKM karena PPN tidak berfungsi sebagai credit method tetapi menjadi bagian dari harga pokok penjualan. Dengan demikian, kedua peraturan tersebut tidak saja dapat meningkatkan tax compliance pembayar pajak UMKM, tetapi juga meningkatkan daya saing UMKM yang berarti menunjang perekonomian nasional.

Akhirnya, pengawasan atas kewajiban pajak UMKM serta kebijakan yang pro UMKM akan menekan tax compliance cost dan mendorong kepatuhan pembayar pajak. Peningkatan kepatuhan pembayaran pajak berarti peningkatan penerimaan pajak dan penurunan tingkat ketidakjujuran pembayar pajak.

Dengan demikian, diharapkan akan meningkatkan jumlah penerimaan pajak serta daya saing UMKM yang memberikan kontribusi besar bagi PDB nasional dan penciptaan lapangan kerja.

Fany Inasius, Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bina Nusantara Jakarta

Bola Liar Kabut Asap

Posman Sibuea

KABUT asap akibat kebakaran hutan di Sumatera Utara dan Riau semakin pekat, beberapa minggu terakhir. Sejumlah penerbangan di Bandara Kualanamu, Medan, dan Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, tertunda dan bahkan ada yang dibatalkan.

Dampak sosial ekonominya sudah sangat merugikan warga. Selain kerugian materiil yang besar, ribuan warga mengalami iritasi mata dan gangguan infeksi saluran pernapasan akut, penduduk terpaksa mengungsi, aneka satwa terbakar, dan hilangnya plasma nutfah. Berbagai kerugian ini seharusnya mengingatkan pemerintah sebuah tugas sangat penting untuk tidak terlalu bersibuk ria mengurus partai menjelang Pemilu 2014.

Pembakaran hutan yang kerap berulang membuat hati miris. Kabut asap yang ditimbulkan bak bola liar yang sulit dijinakkan. Kebakaran hutan sudah menjadi kalender rutin tahunan. Padahal, sejak 1995, pemerintahan Orba sudah mengampanyekan penyiapan lahan tanpa bakar (PLTB). Intinya: melarang membuka lahan perkebunan kelapa sawit dengan cara membakar. Sayangnya, pembukaan lahan dengan paradigma lama ini masih tetap terjadi karena minimnya kesadaran lingkungan di kalangan pemilik perkebunan sawit.

Penghasil devisa

Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia, Adrien Hallet (1911), warga negara Belgia, pasti tidak menduga perkembangan tanaman penghasil minyak nabati ini sangat pesat. Perkebunan yang awalnya hanya sekitar 5.123 hektar di Tanah Deli dan Aceh kini berkembang secara signifikan sebagai tanaman primadona penghasil devisa.

Gurihnya keuntungan yang dijanjikan industri perkebunan satu ini mendorong percepatan perluasan lahan ke seluruh wilayah Tanah Air. Pada 1980, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia baru 29.560 hektar, terdapat hanya di Sumatera Utara dan Aceh. Tahun 1994, luas areal perkebunan sawit meningkat jadi 1,8 juta hektar. Sembilan belas tahun kemudian, 2013, perkembangannya amat spektakuler dengan areal sudah mencapai 9,2 juta hektar. Indonesia mampu memproduksi 26 juta ton minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Ambisi pemerintah menjadikan Indonesia penghasil minyak sawit mentah terbesar di dunia mendorong perluasan perkebunan secara masif. Pada 2006, Indonesia berhasil menggeser posisi Malaysia dari urutan pertama. Komersialisasi kelapa sawit berkembang ke arah kapitalisasi perkebunan melalui ekspansi yang masif karena dipicu oleh tingginya permintaan pasar global CPO. Namun, ekspansi ini telah mengakibatkan kerusakan hutan dan hilangnya hak hidup sebagian masyarakat sekitar hutan.

Perkebunan kelapa sawit Indonesia kini dituduh perusak lingkungan hidup. Data yang dilansir Bank Dunia, 70 persen perkebunan kelapa sawit dibangun dari lahan hutan alam dan 30 persen dari lahan gambut. Tingkat deforestasi dan perubahan lahan gambut jadi perkebunan kelapa sawit sudah mencapai angka yang mengkhawatirkan dan berkontribusi dalam proses pemanasan global. Salah satu penyebab suhu bumi yang makin panas ditengarai kian luasnya alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit di Indonesia.

Mengubah pola pikir

Kampanye negatif masyarakat Eropa atas produk minyak sawit Indonesia yang tidak bersahabat dengan lingkungan tak terbantah lagi. Pembukaan perkebunan sawit lewat pembakaran hutan dituduh sebagai penyumbang terbesar emisi gas karbon perusak lapisan ozon. Deforestasi itu dikaitkan dengan rusaknya habitat orangutan. Dua hal ini digunakan sebagai amunisi untuk membendung masuknya minyak sawit ke negara-negara Barat.

Sementara itu, pengendalian kebakaran hutan di Indonesia sampai saat ini masih terfokus pada penanganan akibat, belum pada pencegahan. Berbagai upaya pencegahan memang sudah dilakukan, tetapi belum benar-benar disadari dan didasari pemahaman yang sebenarnya. Penanggulangan kebakaran hutan pertama kali harus dilakukan terhadap manusia, yaitu mengubah pola pikir yang memandang hutan untuk dikuasai dan dieksploitasi.

Secara filosofis, manusia bertanggung jawab atas semua bencana kabut asap ini. Tidak perlu mencari kambing hitam dengan menuduh musim kemarau panjang memantik kebakaran hutan. Manusia mesti dipersalahkan karena ia sudah mendapat anugerah yang paling hebat, yakni daya akal budi. Manusia diberikan talenta untuk mampu menimbang baik dan buruk. Akal budinya memutuskan apakah baik membakar hutan atau tidak.

Manusia bersalah, tuduhan ini sah. Manusia menebang pohon semaunya untuk mengambil kayu demi keuntungan pribadi. Keseimbangan alam pun terganggu. Penyakit baru bermunculan karena udara dan air tercemar  limbah industri. Tragedi Minamata, Bhopal, dan Chernobyl adalah serpihan contoh dampak ketidakpedulian manusia pada keseimbangan alam yang menetaskan penderitaan. Romantisisme yang disuguhkan hutan yang rimbun, hijau, dan riak air mengalir hanya menjadi kenangan.

Merevitalisasi sikap bersahabat dengan alam patut digagas menjadi sebuah paradigma baru. Kepedulian terhadap lingkungan bukan sekadar wacana-wacana besar dalam pidato politik ketua partai. Ia menjadi sesuatu conditio sine qua non jika manusia ingin hidup tenang dan damai. Persahabatan dengan alam dan lingkungan hendak menekankan sebuah hubungan yang tidak saling bermusuhan. Manusia menerima alam sebagai sahabat dengan menjauhkan sikap egosentrisme dan antroposentrisme.

Meski manusia penerima mandat yang diberi kuasa untuk mengatur alam, ia bukan pemilik yang semena-mena memeras madu sumber daya alam untuk pemuas dahaga kerakusannya. Korporasi pemilik modal meraup untung besar dari hasil hutan dan perkebunan kelapa sawit. Namun, masyarakat sekitar selalu terancam bencana banjir dan kabut asap yang menyesakkan napas.

Sikap dikotomi yang melihat sumber daya alam semata sebuah obyek yang harus dieksploitasi harus ditinggalkan. Kesadaran untuk menjinakkan bola liar kabut asap patut dimulai dari gerakan masyarakat ekonomi hijau (green economy), yakni pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan harus menempatkan prinsip kelestarian lingkungan dalam setiap keputusan bisnisnya.

Peningkatan devisa  dari sektor agroindustri yang masih dibungkus dalam bingkai neoliberalism kapitalistik yang ekstraktif, dengan watak yang rakus pada sumber daya alam, sudah saatnya ditinjau ulang.

Posman Sibuea, Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas, Sumatera Utara

Kilang Minyak Asing Melanggar Konstitusi

Kurtubi

RENCANA mengerahkan atau mengundang investor asing untuk membangun kilang bahan bakar minyak bertentangan dengan konstitusi dan, oleh karena itu, harus dibatalkan. Pasal 33 Ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 berbunyi, cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Tak ayal lagi, bahan bakar minyak (BBM) merupakan cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga yang berkewajiban membangun kilang BBM adalah negara c/q Pertamina.

Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1971, Pertamina diwajibkan memenuhi kebutuhan BBM nasional sehingga ia berkewajiban membangun kilang BBM. Pada 1980-an Pertamina bahkan direncanakan tidak hanya membangun kilang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk ekspor guna memetik nilai tambah.

Sejak UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas diberlakukan, status Pertamina diubah menjadi PT Persero yang sama dan sejajar dengan perusahaan asing.

Tak lagi diwajibkan

Dengan UU Migas, Pertamina tidak lagi diwajibkan memenuhi BBM nasional. Tanggung jawab pemenuhan kebutuhan BBM diambil alih pemerintah melalui BPH Migas. Di sini jelas terlihat bahwa konsep pemenuhan kebutuhan BBM akan 100 persen diserahkan kepada pasar. Pasalnya, mustahil pemerintah dan BP Migas bisa membangun kilang BBM. Pasti pembangunan kilang BBM akan diserahkan kepada asing karena nilai investasi yang sangat besar.

Selain karena Pertamina dalam era UU Migas tak lagi berkewajiban memenuhi kebutuhan BBM rakyat, Pertamina juga diarahkan hanya sebagai salah satu operator yang ditunjuk pemerintah. Dengan sangat gampang pemerintah �mengarahkan� Pertamina untuk tidak bersedia membangun kilang BBM (meski secara finansial amat mampu) dengan alasan margin yang kecil.

Mereka lupa bahwa meski marginnya kecil (dibandingkan dengan usaha hulu), kilang BBM mustahil rugi dan dengan adanya kilang, kedaulatan BBM sepenuhnya di tangan negara, di samping dapat menciptakan lapangan kerja. Jadi, sumber masalah mengapa dalam belasan tahun terakhir kita tak ada tambahan kapasitas kilang lebih karena sistem tata kelola migas yang salah yang didasarkan atas UU No 22/ 2001.
                                                     
Pemerintah jangan memaksakan diri menyerahkan pembangunan kilang kepada investor asing karena ini menyangkut cabang produksi yang diatur UUD. Sebaiknya serahkan tugas membangun kilang BBM kepada pemerintahan baru yang kita harapkan lebih memahami cara penyelenggaraan negara yang konstitusional.

Kurtubi, Alumnus CSM (AS) dan ENSPN (Perancis)

Melanjutkan Dinasti Politik

Robert Endi Jaweng

PANITIA Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah DPR akhirnya menolak usulan pemerintah perihal jeda sementara satu periode bagi kerabat petahana untuk dicalonkan sebagai kepala daerah (klausul pembatasan dinasti politik). Sebagaimana diputuskan dalam pembahasan akhir Februari lalu, mereka hanya bersepakat mengatur syarat wajib bagi setiap kandidat mengikuti uji publik terkait dengan kompetensi dan integritasnya (Pasal 31 Ayat 1 RUU Pilkada).

Tampaknya, DPR meyakini proses uji publik tersebut bisa menjadi kesempatan tepat bagi publik menilai kepatutan pencalonan seseorang, termasuk jika dia berasal dari trah petahana setempat. Namun, tanpa lebih jauh mengatur bentuk dan mekanismenya�terutama soal daya pengaruh hasil uji publik terhadap otoritas partai yang memegang kata akhir�wajar jika kita menganggap klausul versi DPR tersebut sebagai normatif, basa-basi.

Bukankah kompetensi dan integritas selalu secara normatif diwajibkan bagi setiap kandidat, apa pun asal-usul keturunannya, di antara sederet daftar persyaratan yang selama ini dibuat?

Dengan rumusan tersebut, dinasti politik dipersilakan berlanjut. Seriusnya keprihatinan publik atas fakta keras dinasti yang amat problematik, bahkan destruktif, di aras lokal tersebut ternyata tak berpengaruh apa pun atas sikap politik DPR. Mereka bergeming, sambil menyitir argumentasi hak politik setiap warga negara untuk dicalonkan serta mewanti-wanti akan adanya gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi jika klausul dinasti diatur dalam undang-undang (UU).

Cara berpikirnya legalistik, tanpa menelaah lebih kritis konsep keadilan politik dan akses politik bagi warga yang justru tersumbat secara sistematis oleh kehadiran �hak politik� trah dinasti yang manipulatif itu. Selain itu, sindrom rabun jauh membatasi horizon politisi dalam melihat bahaya dinasti secara mendasar dalam jangka panjang. Titik masalahnya jelas tak berhenti pada soal pilkada, tetapi lebih jauh adalah tergerusnya keadilan dan akses kesejahteraan rakyat (alokasi sumber daya, APBD) lantaran gurita dinasti akan mengisap segala sendi sistem kehidupan publik kita. Favoritisme kepada kandidat dari trah dinasti, diskriminasi struktural terhadap demos, sirkulasi kekuasaan yang tak berbasis meritokrasi, rusaknya iklim demokrasi, dan lain-lain yang terjadi dalam pilkada jelas membuka jalan bagi hadirnya pasar gelap kekuasaan saat berlangsungnya pemerintahan.

Meretas jalan buntu

Tampaknya merawat struktur oligarkis dalam parpol dan menyuburkan ruang operasinya dalam arena politik lokal menjadi segala-galanya yang wajib diperjuangkan at all cost. Dengan itu, formasi lokal tetap bisa  disusun dalam hubungan berlapis: di tengah adalah inti (kerabat penguasa), dilingkari jejaring bisnis dan politik yang menggumpal sebagai oligarki, lalu mengeliling di luarnya elemen publik kritis serta kaum profesional.

Sisanya�yang tak membuat genap atau ganjil formasi yang ada�massa rakyat yang mengambang bebas atau bahkan terlempar ke luar arena. Hanya dengan terus memastikan sirkulasi kekuasaan dalam lingkaran tertutup, elite dominan bisa terus melanggengkan (status quo) relasi-kuasa yang timpang antar-lapisan.

Selain itu, tak diaturnya jeda sementara dapat menjadi humus baru bagi suburnya dinasti di lain tempat. Wilayah edar dinasti yang hari ini terjadi di 57 daerah berpotensi bertambah. Model dominannya yang hari ini  berpola �regenerasi� (menggilir jabatan yang sama seperti arisan keluarga) kelak kian variatif karena meluasnya model �beda kamar� (berbagi jabatan inti di eksekutif dan legislatif), model �silang daerah� (berkuasa di daerah berlainan dalam satu provinsi), serta model �antarlevel pemerintahan� (jabatan di kabupaten/kota dan provinsi). Pendalaman dan transformasi demikian diperkirakan masih terus menggelinding ke seantero Nusantara karena struktur sosial, karakter transisi politik, dan kerangka hukum kita memang mendukungnya.

Repotnya, ruang bagi kontra-aksi atas pilihan legal policy para pembentuk UU tadi terasa kian terbatas. Kita nyaris mentok dengan kemungkinan jalur legislasi yang justru memilih tidak mengaturnya lantaran para pembentuk UU lihai menutup pintu di UU Parpol dan kini RUU Pilkada; secara licik menyamarkan rumusannya dalam formula normatif. Opsi untuk mewajibkan parpol memberlakukan demokrasi internal dalam pencalonan (konvensi, primary-election, dan lain-lain) tampaknya juga sulit terwujud, sementara opsi pemilu serentak masih diragukan efektivitasnya sebagai instrumen pengendali dinasti dalam politik elektoral.

Uji materi di MK

Jalur yudisial lewat uji materi di MK tampaknya membersitkan sedikit peluang. MK diharapkan menjadi positive-legislature untuk membawa masuk klausul pembatasan dinasti ke dalam revisi UU Pilkada nantinya. Di sini, melampaui justifikasi legalistik ihwal hak politik seorang trah dinasti, alasan konstitusional terkait keadilan politik demos dan akses kesejahteraan (bonum commune) yang terbukti kuat banyak dibajak trah dinasti selama ini jelas sudah merupakan perkara yang jauh lebih fundamental. Tafsir hak dasar/konstitusional yang patut diusung tentu tidak boleh lepas dari segala prinsip keutamaan dalam kehidupan publik, bukan kacamata kuda (legalistik) yang memang dalam dirinya sudah mengandung niat tipu-tipu (manipulasi).

Tahapan advokasi berikutnya bisa dilakukan dalam kerangka pengadilan sengketa pilkada. Kasus-kasus konkret terkait kemenangan kandidat dari trah dinasti harus diperbesar tingkat posibilitasnya untuk diuji dalam sidang MK. Deliknya adalah perihal pelanggaran proses dan hasil uji publik yang diatur UU Pilkada tadi ataupun penyelewengan kekuasaan petahana (politisasi birokrasi dan jabatan, korupsi APBD, manipulasi program, dan lain-lain) sebagai rekayasa demi �memengaruhi hasil akhir� bagi kemenangan pewarisnya. Segala terobosan hukum progresif mesti terus didorong untuk mengimbangi superioritas para politisi yang memanipulasi peranti legislasi dan menafikan segala keutamaan publik demi kepentingan sempit mereka.

Akhirnya, dalam jangka menengah ke depan, berlapis ikhtiar lain wajib digarap. Pertama, gerakan sosial. Dalam konteks pilkada, orientasinya adalah penyadaran rakyat akan bahaya politik transaksional dan idola-isme yang sering menjadi aksi manipulatif kandidat dinasti. Dalam kebutuhan fundamental, gerakan ini menjadi jalan membangun democratic-citizenship, suatu kesadaran demos sebagai subyek kekuasaan politik dalam bernegara.

Kedua, memperkuat sistem integritas sektor publik agar desentralisasi uang/kuasa bisa terkelola secara akuntabel. Birokrasi, yang hari ini dijamin UU No 5/ 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, tak boleh terus merawat loyalitas buta terhadap kepala daerah yang seronok menyimpangkan kekuasaannya; mesti mulai berani menolak tunduk pada atasan lalim. Sejauh bersih dan profesional, di bawah UU baru, nasib aparatur sipil tak bergantung kepada kepala daerah, tetapi berdasarkan penilaian tersentralisasi dan relatif obyektif di manajemen kepegawaian pusat.

Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta

Persidangan Century

Hifdzil Alim

SETELAH lebih dari empat tahun, dugaan kasus korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek dan penyertaan modal sementara ke Bank Century akhirnya dimejahijaukan.

Maklum, setelah DPR menggelar rapat pengambilan keputusan hasil pemeriksaan panitia khusus, 3 Maret 2010, skandal korupsi perbankan tersebut mengalami masa naik-turun. Tak jelas apakah akan mengarah ke persidangan atau tidak.

Nuansanya sangat panas dan suhunya meninggi pada pengujung 2009 hingga awal 2010. Kala itu, isu persetujuan atas hasil investigasi panitia khusus (pansus) ditandingi kasak-kusuk rencana kabinet. Sebaliknya, setelah pengambilan suara di Sidang Paripurna DPR yang kemudian memuluskan opsi C�pilihan untuk setuju ada pelanggaran dalam kasus Bank Century�tampaknya gemuruh niat dalam membongkar kasus ini perlahan mereda.

Antiklimaks.

Sekarang, hasrat menggali siapa menanggung akibat hukum atas korupsi Century muncul kembali. Kalau tak ada aral, persidangan pertama digelar pada Kamis, 6 Maret 2014 (Kompas, 4/3). Pertanyaannya, apakah persidangan Century kali ini mampu membuka hitam-putih kasus yang merampok uang negara lebih dari Rp 6,7 triliun itu?

Persidangan politik

Ada pengalaman yang menyesakkan tatkala membahas perkembangan kasus Century di persidangan politik DPR. Pendulum bergerak tak tentu. Kadang kuat ke arah transaksi politik. Namun, pernah�untuk tak menyebut sering�mengarah ke magnet hukum yang memiliki daya tarik kuat agar kasus ini diselesaikan.

Pansus DPR antara akhir 2009 dan awal 2010 telah mengundang saksi dan ahli ke persidangan politik yang digelar untuk mencari tahu siapa yang paling bersalah atas bocornya uang negara dalam FPJP dan PMS Bank Century. Ketika pemeriksaan politik semakin digali lebih dalam, pendulum politik semakin kuat mengarah ke jarum transaksi.

Entah kebetulan atau tidak, seperti ada upaya untuk melenyapkan kasus Century. Sekadar mengingatkan, pindahnya mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani ke Bank Dunia, menguatnya posisi Aburizal Bakrie sebagai Ketua Harian Sekretariat Gabungan Koalisi, dan melemahnya sikap Partai Golkar atas tuntutan pemeriksaan menyeluruh skandal Century, seperti sebuah teka-teki. Faktanya ada, tapi susah dibuktikan keterkaitannya. Nyatanya, umur kasus ini sudah lebih dari empat tahun, tetapi tak kunjung terpampang siapa yang �sebenar-benar�-nya salah dan �sebenar-benar�-nya benar.

Meski memperoleh banyak informasi, persidangan politik terbukti gagal mengurai karut-marut kasus korupsi perbankan ini. Sampai batas masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014 berakhir, rasa-rasanya sengkarut politik di seputar pengungkapan kasus Century masih terus bergulir. Pansus masih ngotot memanggil Wakil Presiden Boediono ke Senayan. Bukankah kasus ini sudah dilimpahkan ke penegak hukum? Lalu, mengapa DPR masih cari-cari kesempatan untuk menggelar ulang persidangan politik?

Sedikit kegagalan persidangan politik sebenarnya dapat ditutup dengan persidangan hukum. Boleh jadi langkah hukum adalah pilihan yang tepat untuk mengurai benang kusut Century. Lagi-lagi, perlu diingatkan, sekira tiga setengah tahun lalu auditor negara sudah menerbitkan laporan forensiknya. Setidaknya, ada empat temuan dugaan pelanggaran hukum pada kasus Century (Kompas, 6/6/2010).

Pertama, pelanggaran batas maksimum pemberian kredit. Kedua, penerbitan letter of credit fiktif. Ketiga, rekayasa dalam menentukan capital adequacy ratio. Keempat, penyerahan Bank Century ke LPS pada 21 November 2008 tak mempunyai landasan hukum. Empat potensi pelanggaran ini menabrak aturan internal Bank Indonesia dan Undang-Undang Perbankan.

Persidangan hukum pertama kali atas salah satu tersangka kasus korupsi Bank Century, Budi Mulya, semestinya menjadi penanda putusnya hubungan persidangan politik di kasus a quo. Sangat mudah mencari justifikasi atas tanda putus ini.

Pertama, walau kadang diterpa isu tak sedap, KPK sering bisa keluar dari tekanan dalam menyidangkan kasus korupsi big fish. KPK rasanya tak memiliki tendensi politik kecuali politik rakyat. Lembaga negara antikorupsi ini bertugas menyelidik, menyidik, dan menuntut tersangka korupsi untuk melindungi harapan rakyat demi memiliki negeri yang bebas dari korupsi. Kedua, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta masih duduk di peringkat peradilan yang mampu mengadili koruptor tanpa pandang bulu.

Dua hal itu sudah lebih dari cukup untuk menjustifikasi persidangan hukum Century bakal sedikit memberi lampu hijau atas terangnya kasus yang hampir lima tahun tak kunjung benderang. Akan tetapi, bukan berarti persidangan hukum ini tak butuh perlindungan. Ia tetap butuh dilindungi. Selalu ada rasa pesimistis di samping optimistis, begitu pula sebaliknya.

Jadi ritual formil?

Hasil maksimal dari persidangan hukum Century adalah terungkap siapa dalangnya? Ke mana duit triliunan rupiah mengalir? Siapa yang ambil untung? Apakah ada keterlibatan partai politik?

Sebaliknya, hasil paling minim dari persidangan itu cuma bicara soal kasus Century dan keterlibatan internal BI dan/atau KSSK, tanpa merunut sampai ujung muara kasus itu sendiri. Persidangan hukum menjadi sekadar ritual formil bahwa ada kasus korupsi yang disidangkan dan mesti diputus.

Bagaimanapun, keberhasilan membongkar kasus Century bergantung pada sterilnya penegakan hukum dari intervensi politik. Dukungan pemerintah dan parlemen dibutuhkan dengan bentuk tak mengumbar umpan politik di luar persidangan Century. Independensi penegak hukum sudah dibuktikan oleh KPK. Sekarang tinggal kehendak politik pemimpin. Jika ini tak ada, jangan sekali-kali berharap akan terbongkar siapa yang �sebenar-benar�-nya salah dan siapa yang sebenar-benarnya benar dalam kasus Century.

Hifdzil Alim, Peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM; Ketua Bidang Nonlitigasi LPBH PWNU DIY

Keterwakilan Pemilu 2014

Lambang Trijono                                                               
                                                     
PEMILU 2014 sebentar lagi digelar. Sementara itu, berbagai masalah bangsa membutuhkan solusi, di antaranya soal kemandirian ekonomi, kohesivitas sosial, keterwakilan politik, dan keterpilihan pemimpin secara demokratis.

Hampir semua dari kita menyadari solusi semua itu tergantung pada terselenggaranya Pemilu 2014 secara demokratis. Namun, tak sedikit yang pesimistis. Keterpilihan pemimpin dan keterwakilan politik yang akan datang jadi soal paling krusial sebab hal itu jadi penentu solusi masalah lain yang dihadapi bangsa.

Menghadapi tantangan ini, kita perlu mempertajam solusi melalui keterwakilan politik dalam Pemilu 2014. Keterwakilan berarti terdapat pihak yang mewakili berdiri untuk yang diwakili. Itulah makna sesungguhnya dari keterwakilan politik dalam lembaga perwakilan rakyat (Majelis dan Dewan), yang menurut UUD 1945 disebut penjelmaan rakyat, yang dalam UUD 1945 hasil amandemen disebut kepemimpinan politik yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu.

Dalam arti ini, wakil rakyat di lembaga perwakilan dan kepala pemerintahan terpilih sangat menentukan nasib bangsa ke depan. Mau dibawa ke mana pembangunan bangsa ini dan bagaimana hal itu dijalankan melalui keterwakilan politik merupakan hal paling menentukan.

Memastikan keterwakilan

Untuk memastikan berlangsungnya keterwakilan politik itu diperlukan kejelasan setidaknya tentang tiga hal: siapa yang akan mewakili, apa (agenda siapa) yang diwakili, dan bagaimana keterwakilan itu dilangsungkan. Pesimisme dan apatisme terhadap pemilu sering kali muncul karena ketidakjelasan soal ini.

Kita tentu berharap masalah ini akan makin terang dalam Pemilu 2014. Selama ini, muncul keraguan banyak kalangan akan ketepatan dari sistem perwakilan dijalankan, yang perlu segera mendapat solusi. Banyak dikeluhkan partai politik atau wakil rakyat hanya mementingkan diri sendiri dan mengabaikan keterwakilan kepentingan luas di masyarakat.

Ketika krisis keterwakilan partai itu berlangsung, sering muncul gagasan kembali ke sistem keterwakilan golongan atau kelompok fungsional sebagaimana di era Orde Baru. Namun, banyak pihak meragukan sistem itu karena pengalaman di masa lalu menunjukkan hal itu menciptakan problem politik kooptasi: cenderung meminggirkan keterwakilan rakyat yang tersebar luas di masyarakat.

Selain itu, sering muncul gagasan kembali ke sistem keterwakilan langsung melalui partai berbasis massa, seperti pada 1945-1947 ketika PNI masih menjadi satu-satunya partai politik. Juga hal itu dipraktikkan pada 1948-1959 ketika partai politik berbasis aliran, yaitu nasionalis, agama, komunis, dan sosialis, mengemuka dalam politik, yang kemudian dilanjutkan Orde Baru dengan melakukan fusi partai menjadi tiga partai berbasis kekaryaan atau dwi-fungsi ABRI, nasionalis, dan agama.

Namun, keterwakilan partai berbasis massa itu dinilai institusionalis akan mengganggu stabilitas pembangunan. Karena itu, di era reformasi muncul gagasan alternatif perlunya keterwakilan substansial nilai seperti diyakini banyak kalangan selama ini.

Keterwakilan strategis

Semua lontaran ide dan gagasan itu merupakan ikhtiar untuk memastikan berlangsungnya sistem perwakilan. Namun, semua itu tampaknya belum sepenuhnya mampu menjawab krisis keterwakilan politik yang sedang berlangsung. Termasuk keterwakilan substansial nilai karena tidak mudahnya hal itu dijalankan secara deliberatif di tengah berkembangnya beragam pandangan nilai, ideologi, dan kepentingan yang begitu plural.

Pandangan terkini tentang perlunya keterwakilan strategis mungkin bisa dipertimbangkan. Sistem keterwakilan akan semakin sempurna bila yang mewakili semakin dekat dan berdiri atas nama yang diwakili. Dan, ketika berbagai pandangan nilai, ideologi, dan kepentingan yang begitu plural itu makin mengemuka menjadi tuntutan demokratis, maka diperlukan kemampuan strategikal untuk menggalang tuntutan itu menjadi kehendak umum atau kepentingan publik.

Dalam bekerjanya politik keterwakilan strategis ini, ke depan pengarusutamaan berbagai pandangan itu penting dilakukan. Masalahnya, apakah kita akan tetap menjalankan politik aliran lama ataukah lebih menyederhanakannya jadi dua partai utama dengan aliran politik demokratis yang jelas? Misalnya, dengan menjadikan partai yang memiliki akar sejarah kemerdekaan, seperti PNI yang kini dilanjutkan PDI-P, dan partai yang memiliki akar politik reformasi, seperti dimiliki Partai Demokrat.

Menghadapi permasalahan ini, partai politik merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk menjawab tuntutan itu. Kemampuan keterwakilan strategikal partai menggalang kehendak umum dan mengartikulasikan serta merepresentasikannya dalam pengambilan kebijakan demokratis merupakan suatu hal yang didamba republik ini.

Lambang Trijono, Dosen Fisipol UGM