Rabu, 14 November 2012

Ketika Bahasa Agama Rontok

Ahmad Syafii Maarif

Kemenangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 tanpa dukungan partai agama mungkin dapat juga diartikan sebagai semakin rontoknya bahasa agama untuk merebut simpati pemilih, baik pada putaran pertama maupun putaran kedua.

Apa yang disebut Pawai Ikada sehari sebelum pemilihan yang diikuti oleh tokoh-tokoh partai pendukung Fauzi Bowo- Nachrowi Ramli tidak ada pengaruhnya dalam raihan suara. Namun, itulah demokrasi dalam masa peralihan yang sedang berada dalam tahap kritikal. Rakyat Ibu Kota khususnya ingin bukti ketimbang janji sekalipun pembuktian itu masih harus ditunggu pada waktu-waktu yang akan datang.

Fenomenal dan Mengejutkan

Kemenangan di atas cukup fenomenal dan mengejutkan banyak pihak. Saya sendiri tidak terkejut karena Jakarta telah lama terpasung dalam suasana sumpek �sesak napas dan sunyi dari kegairahan �yang memang merindukan suasana baru yang lebih segar.

Ada empat masalah utama penyebab mengapa warga Jakarta sesak napas: macet, banjir, tajamnya kesenjangan sosial, dan kumuh. Itu sebabnya orang selalu mengenang Ali Sadikin karena banyak sekali terobosan dan perubahan positif yang telah dilakukan dengan penuh keberanian sebagai Gubernur DKI selama dua periode pada tahun 1970-an. Apakah Jokowi akan menjelma menjadi Ali Sadikin kedua, mari sama-sama kita tunggu kiprah selanjutnya. Jika pasangan tersebut berhasil, kepercayaan kepada kepemimpinan sipil bisa meningkat.

Karena sudah diatur sebelumnya, pada hari pemilihan gubernur DKI tersebut saya berkunjung ke Jakarta untuk menemui Jusuf Kalla (JK) di kediamannya. Kami berbincang-bincang tentang masalah-masalah bangsa dan negara, sesuatu yang biasa saya lakukan pada saat-saat tertentu. Tentang Jokowi, sekalipun hanya disinggung sambil lalu, ternyata JK-lah yang meyakinkan Megawati Soekarnoputri agar mengusung kader PDI-P itu untuk maju dalam pemilihan gubernur DKI.

Pertanyaan Mega kepada JK adalah: �Apakah Pak JK bisa menjamin Jokowi akan menang?� Dijawab: �Tidak bisa menjamin, tetapi saya yakin dia akan menang.� Dengan jawaban ini, maka muluslah jalan bagi Jokowi-Basuki untuk bertanding dalam pilkada yang mendapat sorotan publik dari dalam dan dari luar negeri itu.

Pada saat parpol-parpol Islam sedang banyak disoroti publik karena nyaris kehilangan pamor, beberapa parpol besar nasional lainnya yang sebenarnya tidak bebas dari aroma korupsi, toh menurut berbagai survei masih punya pendukung yang signifikan. Inilah di antara dilema sistem demokrasi Indonesia, yang tingkat peradabannya masih di bawah standar, karena sebagian besar politisi kita mengidap virus tuna-idealisme. Namun, kita percaya kondisi pengap semacam itu pasti pada saatnya akan menemukan jalan keluar untuk perbaikan.

Sulit kita temukan sekarang politisi yang bisa diajak berbicara dari hati ke hati tentang keindonesiaan yang masih labil, dan sangat merindukan munculnya para negarawan visioner yang mencintai bangsa ini secara tulus dan mendalam. Transaksi politik untuk menggarong APBN/APBD dan BUMN/BUMD sudah menjadi perilaku harian sebagian politisi kita. Tak terkecuali mereka yang berasal dari parpol Islam. Dalam kondisi semacam ini, tuan dan puan tak perlu kaget mengapa parpol Islam itu semakin tak diminati. Di atas itu semua, belum ada bayangan dari rahim parpol Islam akan muncul calon negarawan yang memberi harapan bagi masa depan bangsa ini.

Namun, orang jangan salah raba bahwa rakyat Indonesia benci agama. Sama sekali tidak. Secara diam-diam, di kalangan terbatas tengah berjalan proses Islamisasi kualitatif yang membesarkan hati.

Pengalaman saya baru-baru ini pada sebuah kampus yang biasa dicap sekuler, justru di sana telah muncul para doktor dan sarjana yang berhasil menangkap api Islam; ungkapan yang dulu dipopulerkan Bung Karno. Mereka sangat risau dan geram menyaksikan kultur kumuh yang terpampang jelas di panggung politik dan ekonomi. Mereka umumnya belum tentu berasal dari kultur santri, tetapi telah menangkap dengan cerdas substansi ajaran Islam yang pro-keadilan dan kebersamaan, sesuatu yang langka terlihat dalam perilaku parpol Islam. Fenomena positif itu dapat ditemukan di berbagai institusi, kampus, dan pusat-pusat industri.

Demokrasi yang semestinya bertujuan menyejahterakan rakyat banyak, yang berlaku justru kebalikannya. Para elite yang menguasai panggung demokrasi pada tingkat sekarang terlihat lebih terpasung oleh tarikan pragmatisme sesaat. Politik dijadikan lahan pengais rezeki. Alangkah hinanya! Namun, itulah fakta keras yang sedang berlaku.

Bahasa agama yang sering digunakan parpol Islam seperti telah kehabisan tenaga untuk meyakinkan rakyat agar tetap mendukung partai itu. Akan halnya sekitar 49 persen rakyat Indonesia, jika parameter penghasilan 2 dollar AS per hari per kepala digunakan yang masih berada dalam kategori miskin, tidak dapat perhatian para politisi. Dengan demikian, tak kurang 120 juta dari hampir 250 juta total rakyat Indonesia masih miskin. Angka 49 persen ini saya dapatkan dari HS Dillon, Staf Khusus Presiden untuk Pengentasan Kemiskinan, pada 16 Oktober 2012.

Keberagamaan yang Otentik

Dalam bacaan saya, hampir tidak ada parpol mana pun yang secara sungguh- sungguh mencari solusi untuk menghalau kemiskinan. Semestinya parpol Islam memahami Islam adalah agama pro-orang miskin, tetapi pada waktu yang sama anti-kemiskinan. Sekiranya mereka memahami doktrin ini dan berupaya untuk mewujudkannya dengan penuh kesungguhan dan ketulusan, maka ada harapan bahasa agama akan berwibawa kembali dan parpol Islam itu tidak perlu bernasib seperti sekarang ini.

Pendekatan spiritual inilah yang sepi dari kiprah mereka. Godaan kekuasaan dan kesenangan duniawi telah menutup mata batin mereka untuk beragama secara otentik. Akhirnya, siapa tahu Jokowi-Basuki yang tak mahir memakai bahasa agama�tetapi langsung melaksanakan pesan inti agama untuk membela mereka yang telantar dan tergusur�akan jadi fenomena baru perpolitikan Indonesia. Selamat bertugas Bung Jokowi-Bung Basuki. Harapan rakyat kepada Anda berdua sangatlah besar. Jangan kecewakan mereka.

Ahmad Syafii Maarif, Pendiri Maarif Institute

Senin, 05 November 2012

BDF dan Demokrasi Indonesia

Azyumardi Azra

Bahwa Indonesia dalam dasawarsa terakhir sering disebut sebagai negara demokratis ketiga terbesar di dunia, setelah India dan AS, tidak dipersoalkan warga Indonesia sendiri ataupun masyarakat internasional. Namun, kenyataan demokrasi Indonesia setelah 13 tahun berlaku belum terkonsolidasi sepenuhnya tak serta-merta mengurangi tanggung jawab dan peran Indonesia memajukan demokrasi secara global.

Meski masih menghadapi berbagai masalah dalam demokrasinya, Indonesia tetap berada dalam posisi lebih baik untuk lebih memainkan peran ke arah pertumbuhan dan penguatan demokrasi tingkat regional ASEAN atau Asia Pasifik, bahkan di tingkat internasional lebih luas.

Aktualisasi peran itu tak lain merupakan amanat Pembukaan UUD 1945 bahwa pemerintah negara Indonesia juga ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Sebagai negara dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan satu-satunya di kawasan
ini yang menjadi anggota G-20, Indonesia memiliki bobot dan daya tekan memainkan peran lebih besar dalam pertumbuhan dan konsolidasi demokrasi di berbagai kawasan dunia. Masalahnya kemudian, sejauh mana Indonesia telah menggunakan pengaruh itu; dan langkah yang dapat dilakukan lebih jauh untuk berdiri di depan barisan kekuatan internasional mendorong transisi dan konsolidasi demokrasi baik ke dalam maupun ke luar.

Bali Democracy Forum

Sejauh menyangkut pertumbuhan demokrasi, Indonesia jelas memiliki pretensi dan keinginan kuat untuk memainkan peran lebih besar pada tingkat internasional. Hasrat ini diwujudkan sejak 2008 ketika Bali Democracy Forum (BDF) untuk pertama kali diselenggarakan di Bali. Sejak itu BDF menjadi agenda tahunan Pemerintah Indonesia sampai penyelenggaraan yang kelima kalinya pada 8-9 November 2012.

Jelas BDF menarik kian banyak peserta. Pada BDF I hadir empat kepala negara/pemerintahan, 32 negara peserta dari kawasan Asia Pasifik, 8 negara Eropa dan Amerika, serta lembaga internasional sebagai observer. Lalu pada BDF II 2009 masing-masing empat kepala negara/pemerintahan, 35 negara peserta, 13 negara/lembaga internasional pengamat; BDF III 2010, empat kepala negara/pemerintahan, 44 negara peserta, 27 negara/lembaga internasional pengamat; BDF IV 2011, 9 kepala negara/pemerintahan, 40 negara peserta, dan 45 negara/lembaga internasional pengamat; serta BDF V 2012, 11 kepala negara/pemerintahan, 50 negara peserta, dan 13 negara/lembaga internasional pengamat.

Mengapa BDF bisa bertahan dan menjadi agenda tahunan banyak negara? Salah satu faktor adalah pendekatan inklusif BDF yang cukup unik: bahwa Indonesia tidak membatasi keikutsertaan dalam forum pada negara-negara yang benar-benar telah legitimate sebagai demokrasi, tetapi juga negara-negara yang pada dasarnya merupakan negara otoritarianisme militer atau sipil, totalitarianisme, monarki absolut, teokrasi, atau sistem satu partai tunggal. Dengan pendekatan inklusif, yang agaknya khas Indonesia, para peserta tidak dieksklusi dan merasa nyaman mengikuti percakapan tentang demokrasi dan tukar-menukar pengalaman mengenai praktik terbaik dalam demokrasi.

Pendekatan inklusif BDF baik langsung maupun tidak mengisyaratkan pengakuan Indonesia: sesungguhnya tidak ada satu model tunggal dan bentuk ideal demokrasi. Memang setiap negara demokrasi niscaya harus mengadopsi prinsip pokok demokrasi, tetapi setiap negara demokrasi juga memiliki kekhasannya yang tidak bisa begitu saja dapat diberlakukan�apalagi dipaksakan�kepada negara-negara lain.
Karena itu, demokrasi mestinya muncul dari dalam (from within), bukan dipaksakan dari luar (from without).

Lebih jauh, percakapan dalam BDF tidak terbatas pada demokrasi per se. Ini dapat terlihat dari pokok pembicaraan: �Membangun dan Mengonsolidasikan Demokrasi: Agenda Strategis Asia� (BDF I); �Mempromosikan Sinergi antara Demokrasi dan Pembangunan di Asia: Prospek Kerja Sama Regional� (BDF II); �Demokrasi dan Promosi Perdamaian dan Stabilitas� (BDF III); �Memperkuat Partisipasi di Dunia yang Tengah Berubah� (BDF IV); dan �Memajukan Prinsip-prinsip Demokrasi pada Setting Internasional� (BDF V).

Memperkuat �leverage� RI

Pembicaraan tentang demokrasi dalam kaitannya dengan berbagai tema tadi kelihatan menjanjikan. Namun, juga jelas, percakapan dalam BDF tidak instan dapat membuat demokrasi bisa terkonsolidasi di sejumlah negara Asia Pasifik. Bahkan, hingga kini transisi banyak negara�seperti di dunia Arab�berlangsung alot, pedih, dan lama sehingga masa depan demokrasi pun belum menentu.

Di tengah perkembangan belum menggembirakan itu, Indonesia sepatutnya trus memberikan inspirasi bagi penguatan demokrasi. Indonesia juga dapat meningkatkan kerja sama bilateral dengan negara-negara yang sedang transisi menuju demokrasi melalui berbagai program semacam pertukaran pengalaman (bukan menggurui), bantuan teknis kelembagaan dan lain-lain yang dilaksanakan Indonesia dalam membangun demokrasi.

Namun, agar Indonesia dapat lebih efektif memainkan peran seperti itu, yang diperlukan bukan hanya diplomasi luar negeri lebih aktif, melainkan juga pembenahan demokrasi Indonesia sendiri. Hanya dengan demokrasi yang bernas, Indonesia dapat memiliki leverage lebih kuat lagi dalam membantu transisi lebih lancar di kawasan Asia Tenggara semacam Myanmar dan juga di dunia Arab.

Karena itu, penguatan dan konsolidasi demokrasi Indonesia sangat mendesak dilakukan. Konsolidasi itu mesti diarahkan tak hanya pada pembenahan lembaga politik semacam parpol, parlemen yang kredibel dan akuntabel, pemerintahan yang menegakkan good governance, tetapi juga pada upaya keras dan sungguh-sungguh agar demokrasi dapat mewujudkan janji-janjinya untuk kesejahteraan warga melalui pembangunan.

Jika demokrasi Indonesia gagal atau terseok-seok memperbaiki kehidupan bangsa pada berbagai seginya, bisa dipastikan kian banyak warga dan kelompok kehilangan kepercayaan kepada demokrasi. Jika ini terjadi, Indonesia dapat terjerumus ke dalam kesulitan demi kesulitan.

Demokrasi memang memiliki batas dan kelemahan tertentu, termasuk di Indonesia. Namun, bagi negara-bangsa Indonesia, demokrasi tetap menjadi pilihan sis- tem politik lebih baik dibandingkan dengan sistem politik lain semacam teokrasi (dawlah Islamiyah atau khilafah Islamiyah), atau diktatorisme, atau otoritarianisme apakah sipil maupun militer.

Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Anggota Advisory Board, International IDEA, Stockholm dan BDF

Jumat, 02 November 2012

Mimpi Perlindungan TKI

Anis Hidayah

Kalau sampai hari ini masih ada yang berpikir bangsa Indonesia telah berada pada trek yang benar sebagai negara maju dan tak mungkin tersesat ke arah negara yang gagal, mungkin itu hanya para pemimpi di siang hari.

Begitu juga jika masih ada yang berbuih-buih mulutnya mengatakan pemerintah telah melakukan pelindungan yang optimal terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, itu mungkin karena mereka memang tak hendak bangkit dari tidur panjangnya. Tak usah dibangunkan, sudah terlalu boros bangsa ini membuang energi untuk membuka lebar-lebar mata mereka yang pejam permanen.

Tak aneh karenanya ketika TKI dilecehkan, mengalami berbagai macam kekerasan hingga nyawa dan kehormatan sekalipun tak mampu dipertahankan, tak pernah tebersit bahwa mereka itu saudara kita, sebangsa dan setanah air. Berasal dan memijak bumi yang sama, bumi pertiwi yang sama-sama kita cintai.

Beberapa hari terakhir, masyarakat Indonesia terenyak dengan terkuaknya iklan yang tersebar di Malaysia dengan judul �Indonesian Maids Now on Sale�. Sungguh sebuah iklan pelecehan dan penghinaan tak hanya kepada bangsa Indonesia, tetapi juga terhadap nilai-nilai kemanusiaan pada era ketika perbudakan terhadap manusia menjadi musuh bersama dalam kehidupan ini.

Diobral dengan diskon 40 persen, siapa saja di Malaysia bisa mendapatkan pekerja rumah tangga (PRT) migran Indonesia. Namun, ironisnya, tidak semua warga Indonesia yang terkejut dengan iklan ini. Dengan mekanisme penempatan dan perlindungan TKI yang karut-marut, mestinya sudah dapat diprediksi gejala-gejala bisnis semacam itu di Malaysia, khususnya selama moratorium.

Terlebih, perspektif TKI sebagai komoditas untuk menghasilkan devisa secara instan tak kunjung berubah di kalangan elite pemerintah ini.

Munculnya iklan yang mengobral TKI di Malaysia sebenarnya hanya puncak dari fenomena gunung es dari paradigma komodifikasi oleh Pemerintah Indonesia yang memberikan bobot bisnis penempatan TKI lebih dominan daripada perlindungannya. Besarnya peran swasta (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta/PPTKIS) dalam pengiriman TKI yang dilegalisasi dalam UU Nomor 39 Tahun 2004 telah memperkuat skema migrasi dengan biaya tinggi yang mengakibatkan TKI terjerat utang secara sistematis.
Situasi ini secara perlahan menggeser dimensi HAM dalam penempatan buruh migran sehingga penempatan TKI menjadi industri dan kerajaan bisnis. Sementara, Pemerintah Indonesia cenderung membiarkan praktik tersebut dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.

Untuk itu, sikap dan langkah cepat Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa yang memprotes keras iklan tersebut kepada Menlu Malaysia patut diapresiasi. Begitu juga langkah tanggap Pemerintah Indonesia yang telah mengirimkan nota protes diplomatik kepada Pemerintah Malaysia.
Sindikat �Trafficking�

Menganggap iklan ini hanya sebagai kreativitas orang-orang iseng dan berujung pada kedai potong rambut sungguh sangat memprihatinkan dan patut disayangkan. Apalagi itu diucapkan oleh seorang menteri yang semestinya berada pada garda terdepan untuk melindungi TKI. Selugu inikah bangsa ini berhadapan dengan mafia dan sindikat trafficking yang menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan keuntungan? Atau, jangan-jangan memang ada yang tak ingin sindikat perdagangan PRT migran Indonesia di Malaysia ini benar-benar terbongkar.

Kecurigaan ini wajar karena hal ini sangat berkaitan dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Sejak 29 Juni 2009, Pemerintah Indonesia memutuskan kebijakan moratorium ke Malaysia, hingga moratorium dicabut pada Desember 2011, dan penempatan PRT migran di Malaysia dibuka pada Maret 2012.

Sesungguhnya praktik penempatan tidak berhenti sama sekali. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa semasa moratorium, sekitar 22.000 permit kerja untuk PRT Indonesia diterbitkan oleh Malaysia. Dan pasca-moratorium, bulan Juli hingga September 2012, pemerintah mengaku hanya menempatkan 64 PRT migran Indonesia di Malaysia, tetapi nyatanya sekitar 14.000 permit kerja dan Job Performance Visa juga diterbitkan oleh Pemerintah Malaysia.

Sekadar gambaran, biaya penempatan (cost structure) PRT migran Indonesia di Malaysia adalah 12.000 ringgit (sekitar Rp 38.400.000) yang harus dibayar oleh majikan di Malaysia dan 3.850 ringgit (sekitar Rp 12.320.000) yang harus dibayar PRT migran Indonesia dengan cara potong gaji selama 7 bulan. Hal ini berbanding terbalik dengan gaji PRT migran di Malaysia yang hanya 550 ringgit atau sekitar Rp 1.760.000.

Oleh karena itu, dengan menganggap fiktif iklan ini, sama saja dengan menutup mata terhadap kejahatan trafficking yang jelas- jelas berada di depan mata. Atau memang sengaja menutup kasus ini agar borok dan kobobrokan yang terjadi selama moratorium tak terungkap sehingga mereka dapat terus melanjutkan mimpi-mimpinya di atas singgasana.

Bertepuk Sebelah Tangan

Tiga tahun moratorium yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tak ditanggapi secara serius oleh Pemerintah Malaysia. Betapa fakta di lapangan yang menunjukkan Pemerintah Malaysia senantiasa mengeluarkan permit kerja kepada PRT migran asal Indonesia sungguh sangat melecehkan kewibawaan bangsa ini. Posisi setara antara Pemerintah Malaysia dan Indonesia yang selalu didengungkan para pemimpi itu tampak hanya bualan dan imajinasi fiktif.

Faktanya, Pemerintah Indonesia hanya bertepuk sebelah tangan selama moratorium. Oleh karena itu, wajar kiranya jika moratorium selama ini tidak banyak meninggalkan jejak yang berarti bagi perbaikan perlindungan untuk TKI. Nota kesepahaman (MOU) yang direvisi dengan dua klausul baru, yakni paspor dipegang oleh TKI dan adanya hari libur bagi PRT migran, secara normatif menjanjikan masa depan baru bagi buruh migran. Namun, hal ini belum dapat menjamin perlindungan mereka selama komodifikasi TKI terus dilanggengkan.

Akhirnya, sudah terlalu sering bangsa Indonesia disakiti, baik oleh sikap maupun kebijakan Pemerintah Malaysia kepada para TKI di sana. Bukan rahasia lagi bila banyak TKI yang menjadi korban kekerasan di Malaysia, baik oleh majikan maupun sindikat trafficking yang menggurita hampir di setiap sel dalam institusi yang legal dan ilegal. Bahkan, tidak sedikit para TKI yang tewas dan menjadi korban kesewenang-wenangan polisi di Malaysia.

Untuk itu, bila bangsa ini, dimotori oleh presiden sebagai kepala negara, tak mau mengambil sikap tegas dan menganggap remeh pelecehan terhadap harkat dan martabat PRT migran Indonesia di Malaysia ini, sebagaimana yang dikatakan oleh pembantunya, sungguh kita sedang diajak bermimpi.

Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care

Kamis, 25 Oktober 2012

Berkorban Tak Sekadar Berkurban

A Mustofa Bisri

Akhirnya, setelah sekian lama mendambakan dan tak kunjung mempunyai anak, permohonan Nabi Ibrahim agar dianugerahi anak dikabulkan oleh Tuhannya.

Allah menganugerahinya seorang anak yang sabar. Ketika si anak sudah cukup dewasa untuk membantu ayahnya bekerja, tiba-tiba sang ayah memberitahukan bahwa ada isyarat Tuhan untuk menyembelih si anak. �Bagaimana pendapatmu?� kata sang ayah. Dengan tenang, si anak menjawab, �Ayahku, laksanakan saja apa yang diperintahkan kepada ayah. Insya Allah ayah akan mendapatkan anakmu ini tabah.�

Ketika bapak-anak itu bertekad bulat berserah diri sepenuhnya untuk melaksanakan perintah Allah dan Nabi Ibrahim telah merebahkan anak kesayangannya itu di atas pelipisnya, ketika itu pula keduanya membuktikan kepatuhan dan kebaktian mereka. Dan, Allah pun mengganti si anak dengan kurban sembelihan berupa kambing yang besar.

Meskipun ritual kurban (dengan �u�) konon sudah dilakukan sejak putra-putra Nabi Adam, Habil dan Qabil, peristiwa yang dituturkan dalam kitab suci Al Quran itulah yang jadi dasar persyaratan kurban setiap Idul Adha (Hari Raya Kurban).

Nabi Ibrahim rela mengorbankan putranya dan putranya ikhlas dijadikan kurban demi Tuhan mereka. Bagi Nabi Ibrahim dan putranya, Tuhan adalah nomor satu. Allah adalah segalanya. Siapa pun dan apa pun tidak ada artinya di hadapan-Nya. Demi dan untuk-Nya, apa pun ikhlas mereka korbankan; sampai pun anak atau nyawa sendiri.

Inti Berkurban

Jadi, inti makna kurban di Hari Raya Kurban memang berkorban. Namun, lihatlah, bahkan untuk sekadar mengorbankan hewan, banyak orang mampu yang masih �menawar-nawar� atau menitipkan kepentingan sendiri sebagai �kompensasi�.

Apakah mereka ini mengira bahwa kurban (daging ternak) itu benar yang �dituntut� Tuhan sebagai bukti kecintaan dan kebaktian? Tidak. Sama sekali bukan daging-daging dan darah-darah hewan itu yang mencapai Allah, melainkan ketakwaan. Pengorbanan. �Tidaklah darah dan daging hewan kurban itu sampai kepada Allah, tetapi ketakwaanmu yang sampai kepada-Nya� (Al Quran 22:37).

Pengorbanan tidak hanya menyembelih kurban. Pengorbanan adalah atau mestinya merupakan pantulan dari kecintaan dan kebaktian itu. Dari pengorbanan, bisa diukur seberapa dalam kecintaan dan seberapa agung kebaktian seseorang.

Kita bisa saja mengaku cinta atau mengabdi kepada pujaan kita. Kita bisa saja menyatakan hal yang mulia demi Tuhan, demi tanah air, demi rakyat, demi siapa atau apa pun yang kita cintai. Namun, tanpa kesediaan kita berkorban untuknya, pernyataan itu tidak ada artinya.

Bahkan, jika kita menawar-nawar di dalam pengorbanan kita, kata �demi�-�demi� itu hanyalah omong kosong belaka. Dalam pengorbanan, tak ada perhitungan untung-rugi atau tuntutan kompensasi apa pun. Dalam pengorbanan hanya ada ketulusan.

Hamba yang sungguh mencintai dan mengabdi kepada Allah, seperti Nabi Ibrahim dan putranya, akan siap dan rela berkorban apa pun, yang paling berharga atau yang remeh, termasuk ego dan kepentingan sendiri�bagi dan demi Tuhannya. Demi melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, hamba yang sungguh mencintai dan mengabdi Tuhannya siap dan rela mengalahkan egonya dan mengesampingkan kepentingan sendiri.

Apabila Tuhan, misalnya, melarang perbuatan merusak, hamba yang sungguh mencintai dan mengabdi Tuhannya akan menghindari perbuatan merusak meski bertentangan dengan kehendak-Nya. Dia, misalnya, tak akan melakukan perbuatan korupsi, tidak melakukan tindakan teror, tidak berurusan dengan narkoba, dan tindakan merusak lainnya, meski dirinya merasa berkepentingan untuk melakukan hal itu.

Pemimpin Berkorban

Warga negara yang sungguh mencintai dan mengabdi tanah airnya akan dengan sendirinya siap dan rela berkorban apa saja bagi dan demi tanah airnya, meski tidak pernah menyatakannya. Sebaliknya, mereka yang sering menyatakan cinta tanah air, tetapi tidak sudi mengorbankan sedikit waktu dan pikiran untuk kepentingan tanah airnya, jelas mereka pembohong besar.

Pemimpin yang selalu menyatakan diri sebagai abdi rakyat, tetapi tidak pernah rela berkorban meski sekadar waktu dan perhatian untuk rakyat, bahkan lebih sering mengorbankan rakyat, cepat atau lambat pasti akan ketahuan palsunya dan rakyat akan mencampakkannya.

Akhirnya, Idul Adha atau Hari Raya Kurban juga sering disebut Lebaran Haji. Pada saat itu memang kaum Muslimin yang mampu sedang melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci.

Satu-satunya ibadah dan rukun Islam yang di negeri ini ditangani secara �serius� oleh pemerintah. Ibadah ini pun memerlukan pengorbanan yang tidak kecil. Masih di Tanah Air, jemaah calon haji sudah harus mengorbankan waktu, harta, tenaga, pikiran, dan sering kali juga perasaan.

Dalam ritual haji, kaum Muslimin diingatkan dengan peragaan diri tentang kehambaan, kesetaraan, dan kefanaan manusia; bahkan tentang hari kemudian. Dengan demikian, jika itu semua dihayati, akan atau semestinya dapat mengubah sikap dan perilaku mereka. Konon salah satu tanda haji mabrur, yang pahalanya tiada lain: surga, ialah perubahan sikap perilaku.

Yang sebelum haji malas beribadah, misalnya, sesudahnya menjadi rajin. Sebelumnya sangar, sesudahnya santun. Sebelumnya korup, sesudahnya jujur. Demikian seterusnya. Bukan yang sebelum dan sesudah haji tetap saja sikap perilakunya atau malahan lebih buruk lagi.

Wallahu a'lam. Selamat Hari Raya Kurban, Selamat Lebaran Haji!

A Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang

Minggu, 21 Oktober 2012

Demokrasi di Persimpangan Jalan

Asrudin

Freedom House, lembaga riset dan advokasi di bidang demokrasi dan hak asasi manusia terkemuka di AS, pada 17 September 2012 memublikasikan hasil penelitiannya terkait pembangunan demokrasi di 35 negara, periode 1 April 2009-31 Desember 2011.

Hasil laporan penelitian itu diberi judul �Countries at the Crossroads 2012�. Bersama negara-negara ASEAN lain, seperti Vietnam, Malaysia, dan Kamboja, Freedom House memasukkan Indonesia dalam daftar negara-negara yang demokrasinya berada di persimpangan jalan.

Penilaian buruk terhadap demokrasi Indonesia ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Indeks Demokrasi Global dari Economist Intelligence Unit pada 2011, misalnya, juga menempatkan Indonesia sebagai negara yang cacat demokrasinya (flawed democracy).

Indonesia ditempatkan pada peringkat ke-60 dari 167 negara yang diteliti. Peringkat Indonesia masih jauh di bawah Timor Leste (42), Papua Niugini (59), Afrika Selatan (30), dan Thailand (57). Cacat ini ditandai, antara lain, oleh pemilu yang tidak bersih, pemerintahan yang korup dan ingkar janji-janji pemilu, serta keterancaman pluralisme (Latif, 2012).

Merujuk laporan Freedom House dan Indeks Demokrasi Global, patut kita bertanya: masih pantaskah negara ini berbangga dengan sebutan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan AS?
Indikator.

Pemerintah boleh saja membela diri dengan menolak hasil penelitian tersebut karena kesuksesan Indonesia dalam menjalankan pemilu legislatif dan pemilu presiden secara demokratis pada 1999, 2004, dan 2009. Bahkan, pemilu di tingkat kepala daerah pun sudah dipilih secara langsung oleh rakyat.

Pembelaan seperti itu tentu bisa dibenarkan. Namun, juga harus diingat, indikator maju atau tidaknya demokrasi tidak hanya diukur melalui sukses pemilu. Banyak indikator lain yang mesti diperhatikan.
Literatur ilmu politik kontemporer sendiri membagi demokrasi menjadi dua jenis, yaitu negara demokrasi mapan (NDM) dan negara yang sedang menuju demokrasi (NSMD). Ini untuk membedakan takaran maju atau tidaknya negara demokrasi (Snyder, 2000).

NDM adalah negara yang kebijakan pemerintahnya, baik di dalam maupun luar negeri, disusun oleh para pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum yang langsung-umum-bebas-rahasia (luber) dan jujur, adil (jurdil) serta dilakukan secara berkala. Tindakan-tindakan para pejabat dibatasi berbagai ketentuan konstitusional dan kewajiban terhadap kebebasan sipil.

Sementara itu, NSDM adalah negara yang belum sepenuhnya memenuhi prasayarat-prasyarat yang terdapat dalam kriteria NDM. Sebagai contoh, Republik Ceko dan Yugoslavia di awal 1990-an adalah jenis NSDM. Meskipun kedua negara ini telah melaksanakan pemilihan umum secara luber dan jurdil, kebebasan sipil dalam berpendapat masih dikekang.

Menurut Juan Linz dan Alfred Stepan (1996), sebuah negara dapat menjadi NDM adalah ketika telah dua kali melakukan pergantian kekuasaan untuk menandai telah terjadinya konsolidasi demokrasi. Demokrasi dipandang terkonsolidasi jika kekuasaan telah berpindah tangan sebanyak dua kali melalui proses pemilu yang luber dan jurdil.

Linz dan Stepan juga menjelaskan, demokrasi yang terkonsolidasi adalah ketika dia merupakan the only game in town. Itu berarti tidak ada lagi jalan bagi partai politik atau kelompok untuk berkuasa selain dengan memenangi pemilihan umum secara luber dan jurdil.

Jauh lebih luas dari pandangan Linz dan Stepan, organisasi Freedom House menjelaskan, jika ingin berubah menjadi NDM, negara itu harus memiliki kelembagaan dan hukum yang solid, politik yang bersifat kompetitif, pemilihan umum yang tetap, partisipasi publik yang luas, pembatasan kekuasaan eksekutif, kebebasan berbicara, dan penghormatan terhadap kebebasan sipil; termasuk di dalamnya adalah kebebasan bagi kaum minoritas.

Demokrasi Indonesia

Secara definitif, meski belum keseluruhan, Indonesia telah memenuhi prasyarat-prasyarat untuk disebut NDM. Sebutlah seperti pemilihan umum yang luber dan jurdil, partisipasi publik luas, kebebasan berbicara mulai tumbuh, media massa tak lagi terkekang, dan konsolidasi demokrasi secara damai telah berpindah tangan lebih dari dua kali. Jika mengacu pada hal itu, tentu wajar bila Indonesia dimasukan sebagai negara demokrasi mapan ketiga setelah India dan AS.

Meski begitu, Indonesia masih memiliki beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh demokrasi. Dalam kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, Indonesia dinilai gagal dalam memberi ruang kebebasan beragama bagi kaum minoritas. Sejak pemerintah menerbitkan surat keputusan bersama (SKB), 2008, tentang Ahmadiyah, kekerasan terhadap kaum Ahmadiyah semakin meningkat. Selain itu SKB juga telah membatasi kegiatan kaum Ahmadiyah di beberapa provinsi Indonesia.

Tak berhenti di situ, kekerasan atas nama agama kembali terjadi. Kali ini minoritas Syiah yang jadi korbannya. Umat Islam Syiah di kabupaten Sampang, Madura, beberapa waktu lalu mendapat perlakuan yang tidak manusiawi oleh kelompok yang menilai aliran mereka sesat. Akibatnya, dua pengikut Syiah di Sampang meninggal. Ini jelas pukulan telak bagi kita karena demokrasi Indonesia tak mampu melindungi kelompok minoritas dengan memberikan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Begitu pula kasus korupsi. Berdasarkan data Transparency International Ranking 2011, Indonesia masuk peringkat 100 indeks persepsi korupsi (IPK) dari 183 negara di seluruh dunia. Indonesia menempati skor IPK sebesar 3,0 pada 2011, naik 0,2 dibanding 2010 sebesar 2,8.

Lompatan skor itu bukanlah pencapaian besar karena Indonesia sebelumnya telah menargetkan mendapatkan skor 5,0 dalam IPK 2014. Hasil survei tersebut merupakan penggabungan hasil 17 survei yang dilakukan lembaga-lembaga internasional pada 2011. Rentang indeks didasarkan angka 0-10. Semakin kecil angka indeks menunjukkan potensi korupsi negara tersebut cukup besar. Itu artinya tidak ada perubahan yang signifikan dalam hal upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Data tersebut setidaknya menunjukkan keakuratan hasil penelitian Freedom House tentang menurunnya kualitas demokrasi Indonesia jika dilihat dari kategori hak warga negara (untuk kasus kebebasan beragama bagi minoritas) dan aturan hukum (untuk kasus korupsi).

Jika Indonesia ingin demokrasinya dinilai mapan, pemerintah disarankan bisa melindungi kelompok-kelompok agama minoritas dan pemerintah juga perlu didorong melakukan perbaikan secara menyeluruh pada institusi penegak hukum; dalam hal ini kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pengadilan. Selain itu, pemerintah juga harus berani menyelesaikan kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan politisi, mafia hukum, dan pejabat publik tingkat tinggi.

Apabila hal itu tidak juga dilakukan pemerintah, Indonesia layak dimasukkan Freedom House dalam daftar negara-negara yang sedang berada di persimpangan jalan.

Asrudin; Peneliti di Lingkaran Survei Indonesia Grup

Jumat, 19 Oktober 2012

Siapa Suruh Datang Jakarta

Acep Iwan Saidi

Akhir Februari 2012 Jokowi datang ke Jakarta dengan sebuah harapan. Bukan untuk menjadi gubernur, melainkan mengantarkan mobil Esemka mengikuti uji emisi. Dan, kita tahu, Jokowi tidak berhasil.

Terlalu naif jika mengatakan bahwa kegagalan uji emisi tersebutlah yang memotivasi Jokowi bekerja keras memenangi pencalonannya sebagai gubernur DKI. Namun, hal itu setidaknya menjadi salah satu penanda perkenalan Jokowi dengan Jakarta.

Jokowi sampai dinyatakan sebagai pemenang oleh �hitungan cepat�, selalu berkata, �Saya hanya melaksanakan tugas dari partai.� Tentu saja, barangsiapa mengikuti cara kepemimpinan Jokowi di Solo, segera akan maklum, jawaban tersebut adalah style, juga �karakter stereotip orang Jawa�. Pendek kata, jawaban itu adalah bagian dari �strategi politik berbasis tradisi Jawa�, yakni tidak boleh meletakkan ambisi pada bahasa.

Faktanya, Jokowi memang masuk ke Jakarta melalui pintu �metabahasa�. Ia mulai dengan baju kotak-kotak. Lepas dari siapa yang menggagas kostum politik tersebut, Jokowi-lah yang memakainya. Orang boleh menciptakan konotasi kotak-kotak sebagai �pengotak-kotakan� warga, tetapi �serangan semantik� ini lebih terasa bernuansa kampanye penghitaman (black compaign).

Dalam perspektif kebudayaan, dan ini lebih terasa ideologis, kotak-kotak adalah penanda keramaian sekaligus kekumuhan. Baju kotak-kotak adalah kostum lapangan, berbanding terbalik dengan safari (birokrat), jas (eksekutif), juga baju takwa (religius islam) yang putih dan bersih.

Dengan kostum demikian, untuk menjelaskan Jakarta yang karut-marut Jokowi tidak perlu membuat jargon �Jakarta Berkumis� yang justru jadi ironis ketika yang mengatakannya berpenampilan perlente. Jokowi mengabstraksi kekumuhan dan menawarkan solusinya dengan memasuki kekumuhan itu sendiri. Terbukti, �jargon ideologis� kostum kotak-kotak itu tidak bisa digusur oleh serangan negasi bahasa konotasi �pengotak-kotakan�. Merujuk Louis Althusser (1984), kostum kotak-kotak Jokowi telah berhasil menginterpelasi warga Jakarta. Ia memanggil massa untuk menjadikannya subyek sekaligus obyek.

Begitulah seharusnya politik yang ideologis bekerja. Namun, jangan disimpulkan Jokowi berhasil karena baju kotak-kotak yang baru diciptakan dan dipakainya semata. Ideologi tidak bisa dibuat dalam sekejap. Kostum kotak-kotak Jokowi hanya satu varian artikulasi dari strategi politiknya yang telah lama dibangun. Kita tahu, sejak jauh-jauh hari Jokowi telah menanamkan strategi demikian dalam kepemimpinannya di Solo. Dengan bahasa lokalnya, di Solo Jokowi mengembangkan konsep kepemimpinan ngewongke uwong (memanusiakan manusia).

Kota Tak Bertuan

Tentu saja Jakarta bukan Solo, bahkan juga bukan Betawi. Sebagai metropolitan, Jakarta adalah kota yang tak dipertuan, sekaligus juga tidak bertuan. Dalam kompleksitas kebudayaan urban, beranalogi pada Strinati (1995), warga Jakarta sesungguhnya �anonim� satu sama lain. Mereka umumnya tidak saling mengenal kecuali dalam relasi kepentingan yang lebih sering bersifat sesaat dan materialistik. Kedatangan penduduk, yang kemudian menetap menjadi warga Jakarta, adalah kedatangan dalam konteks kepentingan demikian. Jakarta bukan �ibu kandung� kebudayaan kebanyakan warganya.

Itu sebabnya, pada saat tertentu seperti Lebaran, Jakarta ditinggalkan. Sebagian besar warga Jakarta dipanggil oleh ibu kandung kebudayaannya yang tersebar di berbagai pelosok negeri. Dari sini kiranya bisa dikatakan bahwa penduduk Jakarta umumnya adalah �warga seolah-olah�: seolah-olah terikat, padahal tidak memiliki hubungan batin, baik terhadap sesama warga maupun, apalagi, terhadap tanah. Jakarta bukan �tanah pusaka�, bukan �tuan kebudayaan�.

Di sisi lain, orang Betawi yang secara kebudayaan memiliki ikatan batin dengan Jakarta, mau tidak mau, suka tidak suka, harus menerima kenyataan bahwa Betawi adalah sejarah. Kota Tua, yang tidak dirawat itu, menjadi semacam metafora tentang kebudayaan yang terdorong ke sudut sejarah. Ia bahkan dikategorikan sebagai entitas langka yang harus dilindungi (cagar budaya). Itu sebabnya isu kebetawian tidak bisa dijadikan alat untuk melegitimasi calon pemimpin Jakarta. Dalam konteks budaya, Jakarta adalah kota yang tidak memiliki tuan.

Masyarakat Mengambang

Lantas, bagaimana Jakarta harus dikelola? Konsep ngewongke uwong Jokowi di Solo kiranya tidak bisa serta-merta diterapkan di Jakarta. Jokowi boleh saja, misalnya, menggeser sedikit permukiman kumuh ke sebelah kiri, tetapi di bagian lain orang bisa mendesak ke kanan. Dengan kata lain, menjadi manusia di Jakarta tidak sama dengan menjadi manusia di Solo.

Masyarakat urban adalah sosok yang dapat berubah dengan cepat, berganti wujud sampai pada titik terekstrem. Media massa, terutama televisi, yang menciptakan budaya massa, yang terus-menerus mengelola pikiran massa sebagai bahan baku industrinya, adalah lembaga yang kerap menjadi acuan masyarakat urban. Dalam perspektif ini, warga Jakarta umumnya adalah masyarakat yang mengambang.

Namun, justru karena itu masyarakat demikian menjadi sangat merindukan panutan. Mereka, setidaknya, membutuhkan pemimpin yang menyejukkan, yang mampu memahami dirinya yang telah anonim itu. Jokowi, saya pikir, harus mampu menjadi �jantung bagi heterogenitas� masyarakat sedemikian.

Kita berharap Jokowi mampu menyelami situasi demikian. Ia sudah merasakan ditolak Jakarta dengan mobil Esemka-nya. Ia lantas membalikkan posisi menguasainya. Namun, ia tetap harus bertaki-taki. Jika tidak, sangat mungkin Jokowi akan menjadi korban mitos lagu lama: �siapa suruh datang Jakarta�.

Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB

Minggu, 14 Oktober 2012

Biarkan Kepala Negara Bicara

Radhar Panca Dahana

Ketika saya melaksanakan gagasan untuk mengoordinasi seniman dan budayawan dan pergi ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, seorang seniman bertanya secara retoris: �Apakah momennya masih tepat?� Pertanyaan itu tentu bertalian dengan pidato Presiden tentang penyelesaian kisruh antara KPK dan Polri pada Senin malam, 8 Oktober 2012, sehari sebelum 20-an seniman dan budayawan menyambangi KPK.

Bahkan ada budayawan yang menyatakan, �KPK sudah menang 2-0!� Artinya, buat apa kita menambah gol untuk pertempuran yang sudah dimenangi? Saya tidak merenung dengan pernyataan dan pertanyaan retoris itu. Saya segera menyatakan, persoalan mutakhir di seputar korupsi di negeri ini bukanlah soal kemenangan temporer, setelak apa pun, apalagi jika hanya ditujukan pada �pertempuran� antara dua lembaga yang memiliki wewenang penyidikan korupsi itu.

Persoalan juga bukan soal momen yang tepat atau tidak. Pemberantasan korupsi adalah momen yang tepat sepanjang tindak pelanggaran kemanusiaan atau kriminalitas luar biasa itu tetap terjadi, terlebih secara massif dan sebagian mengalami internalisasi dalam diri publik. Pemberantasan korupsi adalah upaya eternal, terus-menerus, sebagaimana kejahatan itu memang abadi sejak kebudayaan berdiri.

Karena itu, semua upaya pemberantasan korupsi, termasuk pelembagaannya dalam KPK, tidak lagi bisa bersifat ad hoc atau temporer. Perlawanan terhadap kedegilan manusia, yang memang integral dalam diri manusia, yang memang jadi sisi lain dari mata uang kebudayaan yang sama, haruslah permanen. Upaya ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kerja kebudayaan, yang pada intinya ingin mempertahankan keluhuran budi dan kebaikan dalam tindakan.

Maka, tidak ada argumentasi yang bisa menghalangi apabila kebudayaan harus terus bekerja melawan semua tindakan manusia yang coba mengikir, apalagi menghancurkan budi dan kebaikan itu. Mestinya, tak ada kekuatan atau kepentingan apa pun yang kita permisikan untuk menghalangi, memperlemah, apalagi menghancurkan kerja apa pun yang dilakukan KPK.

KPK telah menjadi sebuah kerja kebudayaan dari bangsa yang ingin tetap memelihara hati dan nuraninya, yang terus memperjuangkan sisi positif, konstruktif dan produktif dari kebudayaan melawan sisi lain yang menegasi atau memeranginya. Ini adalah pertarungan abadi kebudayaan, dan sesungguhnya pertarungan abadi manusia, hingga di tingkat pribadi: jihad akbar, manusia memerangi sisi buruk dari diri dirinya sendiri.

Itulah alasan mengapa seniman dan budayawan harus ikut bicara, memasang badan dan karya-karyanya mendukung KPK, sebagai satu simbol dari perang di atas. Tidak ada urusannya dengan Polri, kemenangan telak, bahkan tak ada hubungannya dengan pidato A dan retorika B, yang bisa jadi hanya ingin mengambil profit politik yang menjadi penumpang gelap dari penyelesaian kasus ini.

Bukan Presiden

Saya tidak ingin mengatakan pidato Presiden SBY Senin malam lalu ditumpangi secara gelap oleh kepentingan tertentu, atau jadi parfum yang menebarkan aroma harum bagi pencitraan (partai) politiknya. Bersama banyak kalangan saya juga memberikan apresiasi kesimpulan, keputusan dan tindakan yang akan dilakukan Presiden berkait dengan kasus �cicak-buaya� episode dua ini.

Apa yang paling saya apresiasi dari pidato itu adalah bagian yang menampilkan sosok SBY sebagai kepala negara, bukan sekadar sebagai kepala pemerintahan. Di bagian awal, seperti biasa, dengan retorikanya yang defensif, SBY dengan tekun dan�berusaha�meyakinkan bahwa ia dan kabinetnya �benar-benar bekerja, lho� dalam semua urusan, apalagi yang dianggap kritis oleh masyarakat. Sebuah cattenaccio yang tidak perlu untuk seorang yang akan aman dan selamat di periode akhir kekuasaannya.

Dalam bagian berikutnya, SBY tidak lagi memosisikan diri sebagai �presiden yang tidak bisa mengintervensi proses hukum�, tapi berdiri sebagai pemimpin negara atau bangsa yang meng-atas-i seluruh lembaga kebangsaan dan kenegaraan untuk mengatasi situasi yang bisa memancing krisis kehidupan berbangsa dan negara. Ia pun membuat �sabda� berkait Polri maupun KPK yang notabene�menurut presiden sendiri�tidaklah di dalam atau di bawah otoritas pemerintahannya. Itulah antara lain tugas dan fungsi kepala negara.

Persoalan ini perlu dieksplisitkan lantaran terjadi kekaburan dan kerancuan yang hampir imanen dalam diri kita, antara peran seorang presiden dan kepala negara dalam diri seseorang yang kita serahi dua tugas dan peran itu sekaligus. Presiden memang tak bisa mengintervensi kerja lembaga-lembaga negara independen, tapi kepala negara punya otoritas untuk menyentuh apa pun dan siapa pun ketika sebuah krisis memanggil segenap bangsa dan aparatus negara untuk meresponsnya.

Persoalannya, tak ada ketentuan tegas dalam undang-undang, bahkan konstitusi, yang mengatur kapan seseorang�dengan tugas-ganda itu�harus memainkan peran satu atau yang lainnya. Tumpang tindih ini mengakibatkan seorang pemimpin dapat saja sibuk tiada habisnya untuk memenuhi portofolio kabinet atau pribadinya, dan melalaikan tugasnya yang di-�atas�-itu.

Sistem yang Memasung

Peran seorang presiden dapat dilakukan oleh seorang politikus ulung plus manajer yang andal. Tapi peran seorang kepala negara tak bisa tidak harus dilakukan oleh seorang yang melampaui kualifikasi itu, untuk kemudian kita, seluruh bangsa, menobatkannya sebagai seorang negarawan: stateman bukan man of state.

Dalam dunia yang secara global menghadapi berbagai krisis akut, di bidang energi, keamanan, moneter, perdagangan, politik, hingga lingkungan dan kebudayaan ini, tentu saja dibutuhkan pemimpin yang memiliki visi jauh ke depan, kreatif dalam menyiasati keadaan, juga keteguhan atau keberanian dalam implementasi kebijakan.

Dengan kepercayaan dan dukungan dari hampir seperempat miliar penduduk negeri ini, pemimpin yang tidak memiliki kapasitas seperti itu lebih baik dikandangkan atau berlatih memimpin dulu dengan simulator, yang tidak murahan karena dikorupsi.

Persoalannya kemudian, apakah sistem politik dan mekanisme perekrutan atau kaderisasi pemimpin kita saat ini memungkinkan lahirnya pemimpin dengan kapasitas seperti di atas? Menyaksikan cara bagaimana para �calon� pemimpin kita saat ini bermunculan, lewat pencitraan kosong via media massa dan media sosial, lewat politik uang yang menggelikan sekaligus memalukan, lewat rekayasa karakter dari ambisi-ambisi personal yang over-estimate dalam refleksi-dirinya, rasanya kita bersama harus pesimistis.

Sistem dan mekanisme yang kita pilih sendiri ini ternyata hanya menjadi field�- nya Bourdieu yang mempertarungkan juragan-juragan modal dalam sebuah pertandingan semu di antara segelintir adipati di kerajaan elite negeri ini. Pertandingan semu, yang di baliknya terjadi �dagang sapi� sebagaimana jadi sejarah dan �tradisi� politik kita, memberi izin terjadinya konspirasi oligarkis para (adipati) elite politik kita, yang lewat regulasi�produk mereka sendiri�memasung secara dini potensi tumbuhnya pemimpin nasional sejati, bahkan dari tingkat bibit.

Situasi ini tentu memberikan ancaman bagi kita, bagi bangsa dan negara kita, dalam usaha mencapai cita-cita ideologis maupun praktisnya. Tak akan lahir pemimpin yang visioner, budayawan dan negarawan, tidak akan pernah kita dapatkan kepala negara yang bekerja bukan di momen tertentu saja, atau karena �tidak sengaja�. Tidak perlu seperempat miliar manusia, pantai terpanjang dunia, kepulauan terluas di atas bumi, atau kebudayaan mendapat respek sepanjang sejarah, bahkan negeri sekecil Singapura dan Timor Timur pun membutuhkan seorang negarawan.

Negarawan alias kepala negara inilah yang mampu bertindak dan mencegah kedegilan-kedegilan manusia yang diakibatkan sisi negatif dari manusia itu sendiri. Menjadi pembela dan pejuang kebudayaan�yang mengintegrasikan ambisi politik, ekonomi, hukum, hingga artistik�untuk mencapai keluhurannya tertinggi, meraih martabat puncaknya, meninggikan hingga optimum kemanusiaannya, dan akhirnya menjadi panglima bagi bangsanya guna memenangi masa depan.

Maka, biarkanlah (para kandidat) kepala negara saat ini bicara.

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Minggu, 07 Oktober 2012

Negeri Tawuran

Azyumardi Azra

Tawuran antara SMA Negeri 70 dan SMA Negeri 6 yang mengorbankan jiwa peserta didik, belum lama ini, hampir dipastikan hanyalah gejala dari penyakit akut yang terus dan bahkan kian diderita negeri ini. Lihatlah, sebelumnya seorang mahasiswa Universitas Muslim Indonesia Makassar juga tewas karena tawuran antarfakultas.

Pada saat yang sama, tawuran antarkampung dan antardesa juga terus terjadi di berbagai tempat dari waktu-waktu. Kejadian mengenaskan yang hampir selalu mengakibatkan hilangnya nyawa terjadi tidak hanya di desa-desa yang jauh dari jangkauan aparat keamanan, juga di perkotaan�seperti Jakarta�yang lengkap dengan personel Polri yang semestinya dapat bergerak cepat.

Sementara itu, berbagai �tawuran� dalam bentuk lain juga pada lapisan atas, misalnya adanya semacam �tawuran politik� antara kalangan Polri dan lingkungan DPR pada satu pihak dengan KPK pada pihak lain. Meski �tawuran� ini tidak melibatkan kekuatan fisik, pergumulan kekuatan jelas terlihat dalam ranah publik, yang menimbulkan kekacauan.

Kepengapan Pendidikan

Tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa, selain merupakan cerminan kesumpekan masyarakat, sekaligus mengindikasikan kepengapan dunia pendidikan kita. Memang berlebihan jika tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa dikatakan sebagai cerminan kegagalan pendidikan. Tetapi jelas, gejala tak sehat ini indikasi dari berbagai masalah serius yang dihadapi lingkungan sekolah dan kampus perguruan tinggi (PT) yang membuat dunia pendidikan kita secara keseluruhan menjadi sangat pengap.

Salah satu sumber kepengapan itu adalah lingkungan sekolah dan kampus yang tidak kondusif. Banyak sekolah dan kampus PT tidak memiliki fasilitas memadai, khususnya untuk olahraga, kesenian, dan berbagai medium penyaluran bakat lain. Padahal, fasilitas-fasilitas seperti ini sangat esensial tidak hanya untuk menyalurkan bakat dan minat, tetapi juga guna melepas energi berlebih dan gejolak emosional yang bisa terus meningkat dalam diri remaja dan anak muda.

Penyebab kepengapan lainnya adalah beban kurikulum sangat berat mulai dari tingkat SD, SMA, hingga PT. Setiap semester, para siswa dan mahasiswa harus mengambil 8-11 mata pelajaran/mata kuliah. Dengan beban berat seperti ini, sekolah dan PT tidak lagi menjadi lokus pembelajaran dan pembudayaan, tetapi tempat �penyiksaan� peserta didik. Tidak heran kalau mereka menjadi sumpek dan bete, yang kemudian mereka lampiaskan ke dalam berbagai bentuk penyimpangan, termasuk tawuran.

Karena itu, penyediaan fasilitas sekolah dan kampus yang lebih memadai dan kondusif untuk pemberadaban peserta didik merupakan kebutuhan sangat mendesak. Dana amat besar, minimal 20 persen dari anggaran belanja negara (pusat dan daerah), untuk pendidikan sudah saatnya dikelola secara lebih bertanggung jawab sehingga tidak ada lagi sekolah dan kampus yang reyot, yang dalam istilah Profesor Winarno Surakhmad seperti �kandang kambing�.

Pada saat yang sama, beban kurikulum yang menyiksa mestilah dikurangi. Mata pelajaran/mata kuliah yang menurut Profesor Malik Fadjar hanya �recehan� harus dikembalikan kepada rumpun ilmunya. Dengan cara itu, setiap semester, peserta didik dapat mengambil 4-5 mata pelajaran/mata kuliah dengan bobot SKS lebih besar. Melalui cara ini, peserta didik dapat memiliki ruang lebih besar bagi imajinasi dan kreativitas.

Tawuran Sosial-Politik

Citra Indonesia sebagai �negeri tawuran� agaknya menjadi sempurna ketika dari waktu ke waktu publik disuguhi berbagai tawuran sosial-politik. Ada tawuran sosial di antara kelompok keagamaan berbeda karena lenyapnya toleransi yang digantikan fanatisme mazhab dan aliran, yang masing-masing merasa paling benar sendiri. Tawuran semacam ini kian menjadi-jadi karena kegagalan aparat negara menegakkan hukum dan sikap partisannya kepada pihak tertentu yang bertikai.

Lalu, lihat pula tawuran politik yang sering terjadi seputar waktu pilkada. Pilkada DKI Jakarta yang aman dan damai belum lama ini merupakan pengecualian daripada gejala umum. Banyak pilkada lain di Tanah Air berujung pada tawuran, yang selain menimbulkan kerusakan fasilitas umum juga korban nyawa. Tawuran politik ini tidak lain adalah ekses dari fragmentasi dan kontestasi di antara para elite politik yang belum juga menunjukkan tanda penyelesaian.

Kini yang tidak kurang serunya adalah �tawuran� politik antara kalangan Polri dan DPR pada satu pihak dengan KPK pada pihak lain. �Tawuran� yang memang tidak melibatkan kekuatan fisik ini jelas merupakan buah dari perseteruan yang berlangsung lama di antara pihak-pihak yang �bertikai�. Pihak pertama merasa sangat terganggu dengan kiprah pihak kedua dalam membongkar kasus korupsi yang melibatkan �oknum� petinggi Polri dan kalangan anggota DPR. Kini tawuran ini mengambil �perang daya tahan� (war of attrition) yang meningkatkan ketidakpercayaan dan skeptisisme publik kepada kedua pihak pertama.

Revitalisasi Mediasi

Jika upaya penyelesaian tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa melibatkan terutama para praktisi pendidikan terkait dan orangtua, sebaliknya tawuran sosial-politik memerlukan mediasi lebih kompleks. Penyelesaian tidak bisa hanya diusahakan para pihak yang terlibat langsung dalam tawuran, tetapi juga harus melibatkan elite politik lokal dan pusat, civil society, dan kepemimpinan puncak negeri ini.

Sejauh ini, keterlibatan civil society dapat mengurangi peningkatan intensitas dan proliferasi tawuran sosial-politik. Indonesia diberkahi kekayaan civil society keagamaan dan NGO (LSM) advokasi, yang selalu siap merapatkan barisan untuk mencegah negeri ini terjerumus ke tubir kekacauan sosial-politik dan disintegrasi. Tetapi, sebagai kekuatan moral, mereka memiliki keterbatasan tertentu sehingga tidak selalu dapat efektif dalam penyelesaian tawuran sosial-politik.

Karena itu, mediasi harus dilakukan kepemimpinan puncak negara ini, Presiden SBY, yang memiliki berbagai wewenang untuk memaksakan berakhirnya tawuran sosial-politik. Oleh sebab itu, Presiden SBY semestinya tidak membiarkan berbagai bentuk tawuran terus berlanjut. Sebaliknya, memerintahkan aparat yang berada di bawah wewenangnya�seperti Inspektur Jenderal Djoko Susilo, petinggi Polri�untuk mematuhi ketentuan hukum. Berlanjutnya kebisuan, apologi, dan ketidaktegasan Presiden hanya akan membuat negeri ini terus terombang-ambing dalam berbagai bentuk tawuran.

Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah; Anggota Advisory Board, International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Stockholm
KOMPAS, 8 Oktober 2012

Jumat, 05 Oktober 2012

Ketoprak yang Tidak Lagi Lucu

Franz Magnis-Suseno

Menurut para ahli, jumlah orang �PKI� dan �terlibat� yang dibunuh pada Oktober 1965-Februari 1966 minimal setengah juta dan maksimal 3 juta orang. Angka terakhir disebut oleh Sarwo Edhie, Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat yang berperan menumpas PKI kala itu.

Kalaupun kita mengasumsikan angka korban terkecil (500.000 orang), pembunuhan itu masih termasuk empat pembantaian paling mengerikan yang pernah dilakukan umat manusia dalam bagian kedua abad ke-20.

Yang pertama adalah kematian 30 juta orang atau lebih di China akibat �kebijaksanaan� politik Mao Zedong. Kedua, pembunuhan 2 juta orang oleh rezim Pol Pot di Kamboja.
Ketiga, pembunuhan 800.000 orang Tutsi dalam aksi genosida di Rwanda.

Sempat muncul omongan pemerintah mau minta maaf. Namun, sekarang justru mereka yang dibunuh dan jutaan korban lain yang ditahan, disiksa, diperkosa, tanpa jelas apa kesalahannya, yang disuruh minta maaf lebih dahulu!

Peristiwa Kelam

Betul, saya sepakat bahwa komunisme adalah ideologi jahat dan PKI merupakan ancaman serius. Saya pun merasa lega ancaman PKI tidak ada lagi.

Dalam Peristiwa Madiun 1948 dikatakan bahwa para pemberontak yang dipimpin Muso membunuh sekitar 4.000 orang, banyak di antaranya ulama dan tokoh agama lokal. Bisa dimengerti bahwa ingatan terhadap peristiwa itu tidak padam.

Jelas juga, saya mengalami dan turut merasakan, pada 1965 suasana begitu serius. Ada semacam perasaan �kami atau mereka�. Dalam udara, bau akan terjadi perang Bharatayudha begitu kuat.

Semua itu menjadi latar belakang mengapa sesudah Gerakan 30 September bergerak, suatu pemecahan damai� yang didambakan Presiden Soekarno, jauh dari apa yang membara dalam masyarakat�sepertinya tidak mungkin.

Mari kita urutkan lagi. Peristiwa tahun 1948 korbannya 4.000 orang, kemudian antara 1948-1965 korban mati akibat keganasan PKI masih bisa dihitung dengan jari dua tangan, dan terakhir peristiwa 1965. Sepanjang 1965-1966 ada 500.000 orang dibunuh, hampir 2 juta orang ditangkap (angka yang pernah disebutkan Sudomo, Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Kopkamtib 1978-1988), dan ratusan ribu ditahan lebih dari 10 tahun tanpa pengadilan, sering dalam keadaan amat tidak manusiawi.

Ini belum termasuk 10 juta orang yang distigmatisasi, dihancurkan identitasnya sebagai warga negara, dihina, dipersetan. Dan, sekarang mereka yang harus minta maaf? Bagaimana itu?

Perlu diperhatikan, pembunuhan yang melibatkan masyarakat�biasanya ormas pemuda� terjadi tidak hanya di Jawa Timur, tetapi juga di Bali, Flores, Sumatera Utara, dan beberapa tempat lain. Artinya, pembunuhan itu bukan urusan satu golongan atau kelompok saja. Yang jelas, yang bertanggung jawab atas kejahatan itu adalah militer. Adalah tidak mungkin rakyat terlibat dalam pembunuhan tanpa mendapat petunjuk dan angin oleh militer.

Sekarang dikatakan bahwa pembunuhan dalam ukuran genosida itu perlu karena �kalau peristiwa itu tak terjadi, negara kita tak akan seperti sekarang�.

Memang, pernyataan itu ada benarnya. Tanpa Gerakan 30 September, Jenderal Soeharto tidak akan menjadi Presiden RI dan seluruh sistem Orde Baru tidak akan ada. Namun, mengatakan bahwa bangsa Indonesia hanya bisa selamat setelah membunuhi ratusan ribu warga dan mencelakakan puluhan juta lainnya, sungguh keterlaluan. Saya jadi ngeri. Siapa lagi yang lantas perlu dibunuh agar bangsa ini bisa lebih maju lagi?

Omong Kosong Besar

Tentu saja ada nonsense, omong kosong, besar dalam ucapan itu. Nonsense yang mudah dimengerti alasannya. Nonsense itu seenaknya mencampurkan tiga tahap pasca-G30S. Pertama, penumpasan pasukan yang terlibat dalam penculikan dan pembunuhan di Jakarta dan Yogyakarta pada 1 Oktober 1965.

Kedua, pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang PKI yang baru mulai tiga minggu kemudian di Jawa Tengah sesudah Sarwo Edhie Wibowo sampai dengan pasukan RPKAD-nya.

Tahap ketiga dimulai sesudah Soeharto pada 11 Maret mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno. Terjadilah penangkapan, penahanan, dan penghancuran basis kehidupan lewat stigmatisasi sebagai pengkhianat bangsa dan penghinaan besar-besaran (ingat fitnah kotor terhadap Gerwani) yang sepenuhnya terjadi pada era Soeharto.

Yang betul adalah bahwa andai kata sesudah 1 Oktober 1965 PKI oleh militer dinyatakan dibekukan, lalu semua kantor PKI ditutup/diduduki (sebagaimana memang terjadi), dan organisasi-organisasi yang dianggap berafiliasi dengan PKI dilarang, selesailah ancaman komunis. Tak perlu seorang pun dibunuh (kecuali yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 pantas dihukum sesuai peran mereka).

Dengan mencampurkan tiga tahap di atas, seakan-akan kejahatan tahap kedua dan ketiga bisa ditutup-tutupi. Maka, yang kita saksikan sekarang bak ketoprak di pasar malam, tetapi tidak ada lucunya. Sungguh ini zaman edan, zaman kalabendu, di mana para korban disuruh minta maaf hanya karena ingin sedikit keadilan.

Tuhan ampunilah kita semua.

Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Emeritus STF Driyarkara

Kamis, 04 Oktober 2012

Negara tanpa "Recht"

Mochtar Pabottingi

Apa yang kita sebut krisis multidimensi sebetulnya bersimpul satu, yaitu tiadanya Rechtsstaat. Kata recht di sini menghimpun semua kebajikan atau moralitas publik: benar, adil, beradab, patut, sah, dan berharkat. Para pemikir politik mulai dari Aristoteles, Rousseau-Kant-Hegel, hingga ke John Rawls, Ian Shapiro, dan Michael Sandel selalu menekankan moralitas ini.

Sejak pengujung abad ke-18, moralitas publik bertumpu pada kolektivitas politik egaliter bernama bangsa atau nasion yang lahir dari solidaritas kesejarahan dan kesatuan cita-cita besar politik. Serempak, moralitas publik juga lahir dari tuntutan peradaban akan niscayanya menghormati harkat setiap individu warga nasion. Perpaduan antara rasa bernasion dan penekanan pada harkat tiap warga nasion inilah yang melahirkan negara dengan sistem demokrasi. Aktualisasi sistemik dari moralitas publik ini kemudian juga dikukuhkan di atas prinsip transparansi dan akuntabilitas, begitu pula prinsip pemisahan kekuasaan dan kesetaraan di depan hukum. Sejak pengujung abad ke-18 itu, negara-negara nasion pelopor demokrasi modern di Amerika dan Eropa Barat kurang lebih berkiprah, bertumbuh maju, dan bersinar dengannya.

Baik moralitas publik maupun negara hukum sama sekali bukanlah milik eksklusif peradaban Barat. Jepang sedari awal peradabannya dan terlepas dari sejumlah kekurangannya adalah contoh cemerlang dari tangguhnya akar serta kiprah moralitas publik menurut kaidah-kaidah kulturalnya sendiri. Di zaman kita, pancaran sinar moralitas publik di Jepang mungkin adalah yang paling cemerlang di dunia.

Di Nusantara, prinsip �raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah� adalah bagian sentral dari moralitas yang sama�sebab �raja� adalah otoritas pertama dan utama dari semua urusan publik. Merujuk pada kesaksian Profesor Mattulada dan Profesor Anthony Reid, berabad sebelum kuku-kuku kolonial mencengkeram Sulawesi Selatan pada awal abad ke-20, pangngadereng dalam kultur politik Bugis jelas merupakan bangunan moralitas publik dan sekaligus bangunan hukum yang sangat berwibawa.

Rechtsstaat lazim diterjemahkan sebagai negara konstitusional atau negara hukum. Ia representasi dari bersatu dan bersenyawanya politik dan hukum. Di sini politik dan hukum adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Persenyawaan ini niscaya lantaran konstitusi yang merupakan pedoman dan/atau rangkaian patokan politik tertinggi negara sekaligus menjadi hukum tertinggi. Ia menjadi tiang pancang sebab tujuan utamanya memang tak lain dari pemihakan dan penjunjungan nyata pada upaya bersama menuju kesejahteraan, kemajuan, dan kebahagiaan sebangsa.

Lazimnya, entitas ataupun ideal-ideal Rechtsstaat merupakan kepanjangan dari ideal-ideal nasion dan demokrasi. Dan konstitusi, prasyarat utama Rechtsstaat, adalah cetak biru nasion dan demokrasi sekaligus. Konstitusi adalah maklumat nasion, bukan maklumat negara. Itulah sebabnya maka JS Mill menekankan bahwa konstitusi haruslah disusun oleh the best minds of the nation.

Nasion tegak di atas prinsip-prinsip solidaritas, inklusivisme, keadaban, kesalingpercayaan, dan pluralitas. Demokrasi bertumpu pada prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan, kebebasan, rasionalitas politik, dan supremasi hukum. Kuatnya kohesi, afinitas, bahkan ketumpangtindihan antara prinsip-prinsip nasion dan prinsip-prinsip demokrasi membuat nasion dan demokrasi dengan sendirinya terjalin ke dalam suatu hubungan simbiosis-konstruktif. Begitulah, maka tiap demokrasi sehat bertujuan untuk memelihara berlakunya kesepuluh prinsip di atas agar semua warga negara bisa terus melangkah maju guna mewujudkan ideal-ideal kemerdekaan dan peradabannya. Dengan konstitusi, nasion mengontrol dan mengarahkan negara ataupun masyarakat.

Janji yang Diingkari

Pada zaman kita sulit membayangkan konstitusi atau Rechtsstaat di luar konteks nasion dan demokrasi. Toh kerap dilupakan bahwa baik negara (Staat) maupun hukum (Recht) sama-sama berinduk pada dan merupakan derivat nasion dalam paradigma demokrasi.

Sejatinya, kedaulatan negara hanyalah pinjaman dari kedaulatan nasion. Bisa dikatakan bahwa negara melangkah maju atau terpuruk mundur secara berbanding lurus dengan pasang-surut penyantunan serempaknya atas nasion dan demokrasi.

Atas dasar nalar ini, suatu negara berhenti menjadi Rechtsstaat manakala para pelaksana negara dan/atau aparat hukum tak lagi mengindahkan nasion dalam paradigma demokrasi. Tanpa berpatokan pada nasion dalam konteks itu, bukan hanya yang Recht akan lenyap, melainkan Staat sendiri pun akan kehilangan induk dan tujuan dasarnya.

Tanpa induk dan tujuan dasar, negara akan menjadi liar dan seketika menjadi mangsa para perakus kuasa dan harta di dalam pemerintahan. Ia juga menjadi mangsa para pemodal besar nasional ataupun internasional yang semata-mata didikte oleh hasrat menggaruk untung sebesar-besarnya tanpa memedulikan akibat-akibat buruknya pada negara, masyarakat, dan negeri di mana mereka berkiprah.

Ketika para pelaksana negara mencampakkan nasion induknya, ketika itu pulalah negara konstitusional batal. Di situ negara kehilangan pijakan untuk memihak dan menjunjung ideal-ideal berbangsa. Begitu konstitusionalitas lenyap, kinerja politik dan hukum pun ikut meliar. Keterpaduan antara keduanya sirna. Sebab, di bawah negara tak berinduk dan nihil moralitas, baik praktik politik maupun praktik hukum tak lagi bertumpu pada Recht.

Dari sini tinggal dua opsi yang menunggu negara: Machtstaat atau hukum rimba!
Rapor atau kinerja seluruh rezim dan/atau pemerintahan di Tanah Air sejak Proklamasi Kemerdekaan bisa diukur dan dijelaskan dari penalaran dan patokan-patokan

Rechtsstaat di atas, termasuk rezim Orde Reformasi yang kemurnian cita-citanya telah dipelintir sedari awal. Dari sini kita mengetahui bahwa satu-satunya rezim yang menegakkan Rechtsstaat hanyalah apa yang disebut Herb Feith, Demokrasi Konstitusional. Itu berlangsung hanya sekitar delapan tahun. Rechtsstaat mulai dikhianati sejak Demokrasi Terpimpin.

Kita juga tahu bahwa pengkhianatan terbesar atas Rechtsstaat berlaku pada Orde Baru dan Orde Reformasi. Tsunami nasional dari ketiadaan hukum bermula di bidang politik pada 1965 saat negara kita menjelma Machtstaat. Hingga akhir Orde Baru, gelombang besarnya yang berulang berkali-kali juga melanda bidang ekonomi. Lalu tsunami itu pecah lagi secara jauh lebih luas di awal Orde Reformasi. Ini menggerogoti sendi-sendi politik, hukum, dan ekonomi secara sama masifnya. Sebab, dipelintir sedari awal hingga kini, Orde Reformasi benar-benar mendekati situasi hukum rimba�total lawlessness�terlepas dari pernak-pernik perubahan sistem pemerintahan di permukaan.

Kesalahan terbesar selanjutnya adalah dijadikannya gerilya diktum impunitas sebagai patokan Orde Reformasi hingga kini. Dalam konteks inilah Munir�pahlawan nasional sejati pembela rakyat kecil�dibantai begitu biadab. Di sini kesalahan terbesar Presiden SBY adalah penolakan umumnya untuk melakukan terobosan-terobosan eksekutif di tengah realitas negara dalam keadaan semidarurat. Padanya hingga kini tak kita temukan gut kepemimpinan. Lakunya ingkar janji dan sama sekali tidak presidensial di tengah-tengah kerinduan nasional untuk mengakhiri kondisi lawlessness dan kegilaan korupsi.

Itikad Baik Pemimpin

Di sini pulalah kita mempertanyakan itikad baik pimpinan dan para anggota DPR yang secara licik berusaha melemahkan KPK lewat revisi undang-undang dengan alasan konyol. Mereka mencampakkan kenyataan betapa parahnya kanker korupsi di Tanah Air dan betapa ia tiada hentinya dilemahkan dari atas dengan pelbagai muslihat selama ini. Ibarat para psikopat, orang-orang yang mengaku terhormat di DPR buru-buru mengusung dalih kembali ke sistem hukum normal sementara negara kita masih tetap kental diharu biru oleh korupsi sebagai extraordinary crime dari para extraordinary bastards!

Sikap yang sama juga kita tujukan kepada jajaran pimpinan kepolisian. Bagaimanakah mereka bisa memelihara wibawa aparat penegak hukum jika mereka sendiri pun menempatkan diri di atas hukum lewat tindakan duplikasi penyidikan yang siapa pun tahu bersifat pengecut? Ke manakah ditaruh butir ketiga misi Polri untuk �menegakkan hukum secara profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia menuju pada adanya kepastian hukum dan rasa keadilan�? Di sini perilaku kalangan DPR dan saudara-saudara kita di kepolisian tak ubahnya dengan pepatah: �Tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempiskan!�

Dalam kaitan ini, apresiasi tulus mesti kita berikan kepada pimpinan Mahkamah Konstitusi ketika menegaskan bahwa upaya pelemahan KPK lewat revisi undang-undang sama sekali tak bisa dibenarkan. Sama halnya, kita pun sungguh merasa terwakili oleh suara resi KH Said Aqil Siroj, pemimpin Nahdatul Ulama, yang baru-baru ini memberikan peringatan kepada instansi perpajakan serta mencanangkan imbauan �hukuman mati� bagi para koruptor kakap di Tanah Air. Pada peringatan dan imbauan itu tebersitlah kerinduan kita bersama bagi kebangkitan harkat bangsa dalam rangka mewujudkan ideal-ideal kemerdekaan kita.

Kita mensyukuri integritas, kompetensi, keberanian, dan keterpaduan jajaran pimpinan KPK. Bisa dikatakan bahwa KPK dibentuk untuk mengakhiri praktik diktum impunitas pada Orde Reformasi. Para pemimpinnya sedang berjuang keras untuk menegakkan Rechtsstaat pada titik sentral.

Semua komponen masyarakat beradab di Tanah Air wajib bahu-membahu mendukung tugas suci KPK untuk memberantas para penggila korupsi sistemik di tubuh negara kita hingga ke akar-akarnya. Di negara mana pun, wabah korupsi adalah maha-kutukan!

Sangatlah mendesak bahwa seluruh energi nasional haruslah pertama-tama dikerahkan pada pemberantasan kejahatan luar biasa ini. Untuk itu, kita kembali harus menegaskan eksistensi nasion serta kemutlakannya sebagai induk dan junjungan negara.

Kita tahu bahwa hampir semua pelanggaran Rechts atau penyalahgunaan kekuasaan yang menciptakan krisis multidimensi bermuara pada korupsi. Maka, pemberantasan korupsi merupakan cara paling efektif bukan hanya untuk mengakhiri krisis multidimensi itu, melainkan juga untuk menegakkan negara hukum�Rechtsstaat�dalam arti kata yang sesungguhnya. Tanpa negara hukum, nasion takkan bermartabat. Dalam konteks kehalusan tutur kata pada kultur Jawa, peringatan dan imbauan para pemimpin NU sesungguhnya laik dibaca sebagai seruan teramat keras kepada kawanan extraordinary bastards intranegara yang terus bersekongkol menggarong dana Republik kita: �Kami sudah lama jijik pada kalian! Enough is enough!�. Dan secara tegas, kita semua beserta mereka.

Mochtar Pabottingi; Profesor Riset LIPI

Selasa, 25 September 2012

Gus Dur dan Republik

Akhmad Sahal

Negara Indonesia, kita tahu, berbentuk republik dan berasaskan Pancasila. Bukan negara Islam yang berlandaskan syariah. Lantas, apa dasar syar�i-nya bahwa umat Islam di negeri ini mesti loyal terhadapnya? Mengapa mereka mesti taat terhadap konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?

Pertanyaan di atas menjadi relevan buat kita mengingat akhir-akhir ini muncul dua macam gejala yang muaranya memosisikan NKRI seakan nasibnya sedang di ujung tanduk. Gejala pertama, maraknya kekerasan dan diskriminasi terhadap minoritas atas nama Islam. Kedua, adanya sebagian kalangan Islam yang memvonis NKRI sebagai kafir dan thoghut, serta wajib diganti dengan negara syariah.

Untuk mengurai pokok masalahnya, izinkan saya mengutip Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam artikelnya, �NU dan Negara Islam�, Gus Dur menolak ide negara Islam karena itu memberangus heterogenitas Indonesia. Ia juga memaparkan sikap NU yang menerima keabsahan NKRI bersandar pada keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama tahun 1935 di Banjarmasin bahwa kawasan Hindia Belanda wajib dipertahankan secara agama. Alasannya, kaum Muslim bisa bebas menjalankan ajaran Islam. Atas dasar itulah NU menyatakan komitmennya kepada republik kita, yang berdasarkan Pancasila dan bukan Islam.

Hal yang menarik, Muktamar NU 1935 tak langsung mengecap Hindia Belanda sebagai kawasan kafir (darul kufr). Rupanya ulama NU menyadari, status hukum segala sesuatu tak bisa ditentukan hanya dengan semata-mata memetik teks agama (nash) begitu saja. Konteks (al-waqi�) juga mesti diperhitungkan.

Kesadaran tentang konteks inilah yang mesti diperhitungkan untuk menilai status hukum NKRI dari sudut pandang syariah, dan kenapa kita wajib loyal kepadanya. Ini berarti, kita mesti tahu dulu apa sejatinya makna kata �republik� yang dilekatkan pada �Indonesia�.

Sederhananya, republik adalah tatanan politik di mana negara menjadi urusan publik. Publik di sini jadi sumber legitimasi politik, tetapi sekaligus jadi tujuannya. Karena itu, sistem republik sering kali dilawankan dengan monarki yang berbasis kekuasaan personal sang raja. Juga dipertentangkan juga dengan negara jajahan yang berbasis pada kuasa kolonial.

Republik adalah sistem yang menjamin setiap warga terbebas dari dominasi, yang tak lain adalah kekuasaan sewenang-wenang dari pihak luar diri sang warga tadi. Entah itu dominasi dari individu yang lain, negara, atau kelompok masyarakat.

Dengan demikian, pemerintahan republik�mengutip Hatta dalam Ke Arah Indonesia Merdeka (1932)��senantiasa takluk pada kemauan rakyat�. Artinya, aturan yang mengatur rakyat ditentukan sendiri oleh mereka. Dalam republik, yang berlaku adalah kedaulatan rakyat, yang didefinisikan oleh Hatta begini: �Rakyat itu daulat alias raja bagi dirinya sendiri. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil saja yang memutuskan nasib bangsa, melainkan rakyat sendiri.�

Komitmen Kebangsaan

Dengan kata lain, inti dari republik adalah kemauan rakyat yang berkehendak untuk bebas dari dominasi apa pun. Artinya, pemerintahan yang memimpin dan hukum yang mengatur mereka mesti berdasarkan pada persetujuan, kesepakatan, atau perjanjian di antara mereka sendiri. Secara kelembagaan, hal ini diwujudkan melalui demokrasi di mana rakyat memerintah dirinya sendiri (self-rule).

Menurut paparan di atas, anggapan bahwa NKRI adalah sistem kafir yang haram untuk ditaati dengan telak bisa dirontokkan berdasarkan argumen berikut.

Pertama, sebagaimana dinyatakan Gus Dur dalam artikelnya, NKRI memang bukan negara Islam. Namun, tidak berarti hukum Islam tidak ditegakkan di situ. Buktinya, masyarakat Muslim bisa dengan bebas menjalankan ajaran Islam tanpa melalui tangan negara. Mengutip Gus Dur, �Mendirikan negara Islam tidak wajib bagi kaum Muslimin, tetapi mendirikan masyarakat yang berpegang pada ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib.�

Dengan kata lain, dalam kerangka sistem republik, kaum Muslim tetap mendapatkan keleluasaan untuk menerapkan syariah. Namun, penerapannya berlangsung secara sukarela dan atas kesadaran sendiri, bukan melalui paksaan dari negara. Ini tentunya sejalan dengan prinsip republik yang anti terhadap dominasi dalam berbagai bentuknya.

Kedua, tuduhan NKRI identik kekafiran mencerminkan kegagalan memahami hakikat tatanan republik, yakni sebagai negara perjanjian atau kesepakatan antar-pelbagai elemen bangsa demi melawan dominasi dalam berbagai bentuknya.

Pada titik ini, ada baiknya saya kutipkan keputusan Tanwir Muhammadiyah tentang NKRI pada Juni lalu di Bandung. Menurut Muhammadiyah, Indonesia yang berdasarkan Pancasila merupakan negara perjanjian atau kesepakatan (darul �ahdi), negara kesaksian atau pembuktian (darus syahadah), serta negara yang aman dan damai (darussalam). Keputusan tanwir itu diperkuat pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin bahwa komitmen terhadap Pancasila adalah manifestasi komitmen untuk menepati janji, sesuatu yang diperintahkan dalam Islam.

Ketiga, taruhlah benar bahwa NKRI adalah negara kafir. Lalu apa konsekuensinya bagi warga negara Indonesia yang Muslim? Di Indonesia, kaum Muslim mendapatkan jaminan keamanan penuh dan bebas menjalankan agamanya. Ini berarti, NKRI bukanlah Darul Harbi yang mesti diubah menjadi Darul Islam.

Dari sudut pandang hukum Islam, orang Islam yang tinggal dan menjadi warga negara di negara kafir yang tidak memerangi umat Islam sesungguhnya terikat kontrak dengan negara itu. Dengan begitu, jika ia melanggar konstitusi negara itu, apalagi berupaya menggantinya dengan yang lain, ia sesungguhnya menjadi pengkhianat kontrak.

Ibnu Qudamah, ulama mazhab Hanbali, menulis dalam Al Mughni: �Muslim yang tinggal di negara kaum kafir dalam keadaan aman haruslah mematuhi kontraknya terhadap negara itu karena mereka memberikan jaminan keamanan semata-mata karena adanya kontrak bahwa si Muslim tak akan berkhianat. Ketahuilah, pengkhianatan terhadap kontrak (ghadr) adalah tindakan yang dilarang dalam Islam.� Nabi bersabda: �Al muslimun �inda syuruthihim�kaum Muslim terikat dengan perjanjian yang telah mereka sepakati.� Dan, kata Nabi: �Sesiapa mengkhianati suatu kesepakatan, maka pada hari kiamat nanti anusnya akan ditancapi bendera sehingga perbuatan khianatnya akan ketahuan secara terbuka.�

Mungkin karena tahu akan kerasnya kecaman Nabi terhadap pengkhianatan terhadap suatu kesepakatan (ghadr), maka Gus Dur tak henti-hentinya menyerukan kaum Muslim Indonesia untuk memegang teguh komitmen mereka terhadap NKRI.

Akhmad Sahal, Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada

Senin, 24 September 2012

Seribu Hari Gus Dur

Salahuddin Wahid

Pendeta Dr Wismoady Wahono pada tahun 1974 mendapat tamu. Memperkenalkan diri sebagai Abdurrahman Wahid dari Pesantren Tebuireng, tamu itu minta dikenalkan dengan para tokoh Gereja Kristen Jawi Wetan.

Maka Pendeta Wismoady mengajak Gus Dur ke sejumlah kota di Jawa Timur untuk bertukar pikiran tentang berbagai masalah dan apa yang bisa dilakukan bersama.

Itulah awal dari dialog positif tokoh lokal umat Islam dengan tokoh lokal umat Kristen. Saat itu Gus Dur tinggal di Pesantren Denanyar Jombang dan menjadi Sekretaris Pesantren Tebuireng. Prakarsa Gus Dur menjadi lebih penting dan strategis mengingat pada akhir 1960-an beredar info bahwa pihak Kristen akan meningkatkan kristenisasi. Tampak pandangan Gus Dur yang jauh ke depan dan keberaniannya untuk menentang arus besar umat dan tokoh Islam saat itu.

Kini, empat puluh tahun setelah Gus Dur memulainya, kita menyaksikan bahwa dialog antaragama sudah meluas, tetapi kita juga masih menyaksikan penolakan terhadap gagasan pluralisme yang diusung Gus Dur. Banyak pihak menyamakan pluralisme dengan pluralisme agama yang oleh Majelis Ulama lndonesia (MUI) diartikan bahwa semua agama adalah benar.

Pembela Kelompok Lemah

Pertengahan 1990-an, Gus Dur pernah menjadi saksi ahli di pengadilan negeri (PN) mengenai sepasang pemeluk Konghucu yang pernikahan berdasar agamanya tidak diakui. Gus Dur menyatakan bahwa hak sipil pemeluk agama apa pun harus diakui dan dilindungi oleh negara. PN dan pengadilan tinggi (PT) menolak gugatan pemeluk Konghucu itu. Saat Gus Dur menjadi Presiden, Mahkamah Agung memenangkan si penggugat.

Gus Dur juga pernah menjadi saksi ahli yang meringankan dalam persidangan di PN Malang terkait kasus shalat dua bahasa yang dilakukan Roy Yusman. Saksi ahli yang memberatkan, antara lain KH Hasyim Muzadi. Dalam persidangan, Gus Dur mengatakan bahwa pernyataan MUI sebagai pegangan mengajukan Roy ke pengadilan, bertentangan dengan UUD. Roy tidak bisa dikenai pasal penodaan agama. Kalau tindakan Roy dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, perlu ditunjukkan kitab fikih mana yang menyatakan begitu. Akhirnya Roy dijatuhi hukuman tidak jauh beda dengan masa penahanan, tidak kena pasal penodaan agama.

Pembelaan lain terhadap kelompok lemah adalah pembelaan terhadap hak hidup warga Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Saking jengkelnya, pernah terlontar niat Gus Dur untuk membubarkan MUI dan mengatakan bahwa Menteri Agama kurang paham UUD terkait sikapnya kepada warga JAI. Saya hadir dalam acara peringatan HUT Gus Dur di Ciganjur pada 2005, yang dikemas menjadi forum pembelaan Ahmadiyah.

Bersama Dawam Rahardjo, Musdah Mulia, Maman Imanul Haq, dan beberapa pihak lain, pada 2009 Gus Dur mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama. Setelah Gus Dur wafat, MK menolak gugatan pembatalan tersebut, tetapi menyetujui sedikit perubahan.

Pembelaan lain Gus Dur ialah terhadap warga korban tindak kekerasan 1965. Gus Dur selaku Ketua Umum PBNU menyampaikan permintaan maaf karena banyak warga NU yang terpaksa terlibat. Perlu keberanian untuk meminta maaf karena banyak yang tidak setuju.

Menurut saya, permintaan maaf itu positif. Syaratnya harus ditegaskan bahwa permintaan maaf ditujukan kepada korban yang tidak bersalah dan keluarganya, bukan kepada PKI. Dulu Gus Dur meminta maaf bukan sebagai presiden. Sudah saatnya presiden meminta maaf. Apalagi Presiden SBY adalah menantu dari Jenderal Sarwo Edhie yang menjadi salah satu tokoh utama peristiwa hitam tahun 1965 itu.

Mencabut Diskriminasi

Saat menjabat Presiden, Gus Dur melontarkan gagasan pencabutan Ketetapan MPRS No XXV/1966. Menurut saya, langkah Gus Dur ini menambah ketidaksukaan TNI AD dan sejumlah partai kepada Gus Dur.

Pencabutan Ketetapan MPRS No XXV/1966 menyangkut tiga hal, yaitu mengakhiri diskriminasi terhadap keluarga korban yang diduga sebagai anggota atau terkait PKI dan organisasi onderbouw, pelarangan ajaran komunis, dan pelarangan terhadap PKI. Menurut saya, kebanyakan dari kita setuju mengakhiri perlakuan diskriminatif ini.

Penyebaran ajaran komunis dilarang oleh Tap MPRS dan UU KUHP hasil revisi (1999), tetapi tidak efektif. Kalau mau menginformasikan keburukan dan bahaya komunisme, harus terbit buku ataupun tulisan tentang itu. Apalagi di luar negeri komunisme sudah banyak ditinggalkan.

Kebanyakan dari kita setuju bahwa Partai Komunis Indonesia tetap dilarang di Indonesia. Ketua MK Mahfud MD, saat ditanya Kanselir Jerman Angela Merkel, menjawab, orang komunis tidak melanggar hukum. Yang melanggar hukum adalah menyebarkan paham komunis.

Sejak 1971, sampai puluhan tahun, Gus Dur mengajar dan mengisi pengajian. Dalam sehari bisa beberapa kali di tempat yang berjauhan. Gus Dur adalah pembicara hebat. Ia bisa menjelaskan hal yang rumit dengan bahasa sederhana. Gus Dur pandai menyelipkan humor. Bisa dipahami kalau Gus Dur hidup dalam hati rakyat hingga ke pelosok.

Gus Dur mulai masuk struktur PBNU dengan menjadi Katib Syuriyah PBNU pasca-Muktamar 1979, mengikuti perintah kakeknya, Rais Aam PBNU KH Bisri Syansuri. Setelah pindah ke Jakarta, Gus Dur bergabung dengan sekelompok anak muda NU yang kemudian mengusung gagasan kembali ke khitah NU.

Berkat dukungan para kyai di bawah pimpinan KH As�ad Syamsul Arifin, Muktamar NU 1984 di Asem Bagus memilih Gus Dur sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU. Pada masa bakti kedua, Gus Dur amat kritis terhadap Pak Harto. Upaya pemerintah membendung Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU tiga kali pada Muktamar Cipasung 1994 gagal.

Jejak perjuangan Gus Dur membuatnya menjadi tokoh nasional. Seorang jenderal mengatakan bahwa pada 1990-an ada semacam survei mencari tahu siapa tokoh Indonesia yang dianggap sebagai pemimpin selain Pak Harto. Yang muncul ialah Gus Dur dan Megawati. Sejarah membuktikan, upaya Pemerintah Orde Baru membendung kedua tokoh itu tidak berhasil. Gus Dur dan Megawati sebagai Presiden ke-5 dan ke-6 RI.

Catatan Akhir

Perjuangan Gus Dur mewujudkan Indonesia yang bermartabat, menghargai keragaman, melindungi hak-hak asasi manusia, dan menyejahterakan manusia Indonesia secara lahir batin berlangsung puluhan tahun. Hal yang sama dilakukan oleh para pendahulu Gus Dur: pemimpin generasi KH Hasyim Asy�ari, KH Ahmad Dahlan, HOS Tjokroaminoto, dan generasi Bung Karno, Bung Hatta. Mereka berjuang untuk sebuah cita-cita dengan penuh pengorbanan, bukan untuk meraih kekuasaan.

Kita akan bisa memperbaiki bangsa dan negara Indonesia hanya dengan pemimpin yang punya rekam jejak panjang memperjuangkan rakyat, bukan pemimpin yang lebih memperjuangkan keluarga atau partainya. Dibutuhkan pemimpin yang punya kejujuran, keberanian, dan rasa kemanusiaan tanpa memandang agama, suku, dan etnis.

Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng

Minggu, 23 September 2012

Kembalikan Olahragaku

Radhar Panca Dahana

Sebagai manusia, selain mensyukuri diri sebagai salah satu mukjizat Tuhan di antara 6,5 miliar umat lain, dengan berkah ajaib berupa badan, pikiran, dan perasaan, saya merasa menjadi manusia yang sangat�oh, sangat�berbahagia.

Berbahagia karena hidup di masa yang melahirkan tokoh-tokoh atau atlet olahraga dengan prestasi terbesar sepanjang abad. Hidup menjadi begitu indah dan sangat berharga diperjuangkan ketika mengapresiasi sukses dan disiplin hidup tokoh-tokoh besar itu, dari Michael Schumacher, Garry Kasparov, Paolo Rossi, Manuel Pacquiao, Michael Phelps, Usain Bolt, Tiger Woods, Roger Federer, hingga Sergei Bubka.

Tentu saja saya tidak mengabaikan LAM Cuccitini alias le saint atau �The Saint� Messi (25), pesepak bola terhebat�yang masih akan terus mencetak rekor� dunia dan diyakini akan menempati puncak sejarah sepak bola, menggusur dua legenda hidup: Pele dan Maradonna.

Messi bukan sekadar kisah sukses anak buruh pabrik besi dan ibu pembersih rumah yang kemudian menjulang dengan kekayaan Rp 1 triliun, tetapi juga sukses seorang anak yang dengan gigih mengatasi penyakit defisiensi hormon pertumbuhan menjadi prestasi membanggakan seorang anak jalanan.

Lionel alias �Leo� kini pemilik yayasan dunia yang membantu anak-anak dengan kesulitan fisik. Ia menjadi puisi di tengah prosa sepak bola yang dipadati tenaga, kecepatan, dan kekerasan. Ia yang selalu tengadah penuh syukur di setiap golnya.

Tak hanya Messi, semua nama di atas adalah inspirasi, teladan, dan acuan siapa pun yang memiliki ambisi dan ingin meraih prestasi. Juga kita, para pencinta, penikmat, dan pekerja olahraga Indonesia. Namun mengapa, di zaman saat kecerdasan, teknologi, sains, dan uang tersedia untuk memungkinkan lahirnya atlet-atlet besar, kita justru menyaksikan atlet-atlet di cabang-cabang unggulan dan populer kita runtuh satu per satu?

Kita menyaksikan berkali-kali penyelenggaraan pesta olahraga yang sangat buruk, penyia-nyiaan atlet, perseteruan antar-pengurus, hingga keterlibatan politik dan militer yang berbeda passion dalam kepengurusan olahraga.

Degradasi Percaya Diri

Tampaknya, selain banyak hal yang harus dihidupkan kembali dengan keras dan sungguh-sungguh, ada banyak hal juga yang harus kita sudahi.

Untuk persoalan pertama, kita tampaknya sepakat menghidupkan kembali apa yang belakangan meredup dalam kehidupan berolahraga nasional kita: rasa bangga, kepercayaan diri sebagai manusia dan bangsa Indonesia. Sebuah persoalan yang berkait dengan kinerja, dengan kualitas dan puncak-puncak pencapaian (prestasi) bangsa dan negara.

Selama sekitar tiga dekade, sejak dasawarsa kedua pemerintahan Soeharto, kita mengalami semacam degradasi moral karena kenyataan dalam negeri seolah memojokkan diri kita ke sudut gelap kerendahan diri. Eksistensi dan integrasi diri begitu rapuh, tak tegak, bahkan hanya untuk menghadapi harapan.

Para pemimpin dan elite negeri ini tidak menjalankan obligasinya, tetapi malah mengkhianati, memperdaya, dan mengeksploitasi publik yang telah memberi kepercayaan dan fasilitas hidup melimpah. Maka rakyat, juga atlet, tidak lagi memiliki passion, gairah, untuk �memeras keringat�, apalagi �bertumpah darah� menciptakan prestasi untuk negeri. Apalagi jika prestasi itu kemudian dimanipulasi untuk kepentingan portofolio para pemimpin yang korup.

Rasa rendah diri yang meluas ini mesti disudahi, rasa bangga dan percaya diri mesti dipulihkan. Apa boleh buat, pemimpin dan elite yang menjadi �biang kerok� harus berubah. Dalam slogan pendek: jadilah pemimpin sejati, bukan pencuri. Pencuri yang merampok wewenang, hak, bahkan harta rakyat untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Di samping dunia seni/hiburan, olahraga adalah bidang hidup yang sangat seksi, yang dengan cepat dan mudah mengisap perhatian publik. Ia adalah senjata, arsenal kebudayaan yang ampuh, bahkan untuk menaklukkan pesaing (negara lain) dalam nilai, moralitas, bahkan eksistensi.

Kemunduran, apalagi kebobrokan prestasi dan kepengurusan dunia olahraga sebenarnya menjadi salah satu cermin dari realitas prestasi bangsa ini. Lihatlah Olimpiade London kemarin, atau sebelumnya di Seoul, Beijing, atau penyelenggaraan hampir semua Piala Dunia sepak bola. Semua hajatan sportif itu bukan hanya milik komunitas sportif, melainkan juga seluruh elemen bangsa. Menjadi tugas utama negara dan pemerintah.

Sebuah hajatan sportif, lepas dari unsur finansial-komersial, bahkan catatan rekor yang diraih, berposisi sebagai teras terdepan representasi kualitas bangsa. Penyelenggaraan dan kepengurusan yang sembrono, dengan konflik kepentingan antar-pengurus atau keterlibatan politik yang banci, identik dengan pengkhianatan terhadap sejarah dan kebudayaan yang ribuan tahun dibangun nenek moyang dan menjadikan kita bangsa.

Introspeksi

Bercermin dari pencapaian dalam Olimpiade London, SEA Games di Palembang, dan penyelenggaraan PON di Riau, kita bersama makin tak punya alasan adekuat untuk tegak berdiri di teras depan rumah kita. Tidak ada muka untuk berhadapan dengan tetangga atau tamu yang datang.

Olahraga mungkin sudah mendapat porsi perhatian selayaknya dengan adanya satu pos kementerian dalam beberapa kabinet belakangan ini. Maka, jika olahraga terus-menerus menjadi sumber kekecewaan kita, tidak lain bukan karena kekurangan atlet hebat, bukan pula karena kurangnya pendukung yang dahsyat. Namun, semata karena manajemen buruk oleh orang-orang yang tidak layak di tempat itu.

Salah satu penyebab adalah tradisi peralihan kuasa organisasi olahraga yang masih mengikuti pola Orde Baru: didominasi pejabat politik dan militer. Dalam proses pemilihan Ketua Umum PBSI saat ini, misalnya, disinyalir semacam konspirasi politik-militer saat Djoko Suyanto (jenderal dan Menko Polhukam) dengan mudah mewariskan jabatan kepada rekan kabinetnya, Gita Wirjawan (Menteri Perdagangan). Seolah jabatan sportif itu kongruen dengan posisi dalam organisasi politik terkait kekuasaan dan uang.

Olahraga harus dikembalikan kepada profesional. Satu hal yang saya kira justru ada dalam militer. Organisasi militer apa pun, mau menyerahkan kerja dan prestasi profesional di bawah pimpinan nonmiliter, atlet apalagi? Marilah kita sportif dan jujur.

Organisasi ulama harus dipimpin ulama, organisasi ilmiah oleh akademisi, kesenian oleh seniman. Lalu, kenapa olahraga tidak bisa dipimpin oleh pekerja olahraga (atlet dan pelatih) yang gairah, darah, dan air matanya tumpah hanya untuk olahraga?

Saya bukan pendukung Icuk Sugiarto dalam kasus PBSI. Namun, nama terakhir itu menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk bulu tangkis. Ia berpengalaman dalam organisasi, tahu benar seluk-selingkuh olahraga, bulu tangkisnya. Semua hanya untuk perbandingan dengan Gita Wirjawan, yang mohon maaf, bukan bandingan profesional macam Icuk, Utut Adianto di catur, dan Lukman di angkat berat.

Tentu saja dibutuhkan kapasitas lain untuk menjadi pemimpin organisasi olahraga: kemampuan manajerial, diplomasi, koneksi, dan finansial. Namun, kapasitas-kapasitas terakhir ini ternyata tidak bermakna dalam mendongkrak prestasi olahraga tanpa diintegrasikan dengan kualitas-kualitas sportif pekerja olahraga. Apa yang terjadi belakangan dalam dunia olahraga menjadi pelajaran.

Roh Berbeda

Olahraga sudah menjadi permainan politik, bahkan untuk kepentingan politik itu sendiri. Menjadi kacau karena roh dan geregetnya berbeda. Olahraga tidak bisa dikelola dengan manajemen politik di mana konflik menjadi salah satu kepastiannya. Seperti dinyatakan Vicente del Bosque, sukses sepak bola Spanyol karena ia dipraktikkan dengan semangat kekeluargaan.

Siapa tak memahami, jika semangat kekeluargaan pula yang sesungguhnya menjadi identitas kita sebagai bangsa. Maka, melihat kegagalan kita, dengan semangat kekeluargaan, kejernihan, dan kejujuran, saya merasa tepat meminta penanggung jawab politik utama dalam kerja ini, Menteri Pemuda dan Olahraga, untuk mundur saja. Segera.

Dalam kekeluargaan memang ada pemakluman, sedikit permisif, dan toleransi. Namun, dalam keluarga juga ada adekuasi, kekesatriaan, kejujuran, dan keikhlasan.

Maka, Saudara Menpora, juga para elite kepengurusan olahraga yang hanya mementingkan diri dan golongan sendiri, cukuplah bagi bangsa ini berterima kasih. Silakan mundur dengan kesatria agar harkat dan martabat Anda tetap mulia.

Izinkanlah yang lebih profesional dan berhasrat kuat memikul tanggung jawab yang sesungguhnya tidak lebih remeh dibandingkan kementerian lain.

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Rabu, 19 September 2012

Maskin, Ketimpangan, dan Globalisasi

Arianto A Patunru
19 September 2012

Eric Maskin, pemenang Nobel Ekonomi 2007, beberapa waktu lalu berada di Jakarta dalam acara Human Development and Capability Association.

Presentasinya mengenai mengapa pasar global belum mampu mengurangi ketimpangan di negara miskin. Pertumbuhan ekonomi di dunia telah mengangkat banyak penduduk bumi dari kemiskinan, tetapi ketimpangan ternyata justru bertambah.

Hal ini tampak bertentangan dengan prediksi ekonom Inggris klasik, David Ricardo, dua abad lalu. Teori keunggulan komparatif mengatakan, jika ada dua negara dengan tingkat keterampilan pekerja yang berbeda saling berdagang, pola perdagangannya akan mencerminkan perbedaan tersebut.

Jika negara pertama memiliki banyak pekerja dengan tingkat keterampilan tinggi (sebutlah tingkat A) dan negara kedua didominasi pekerja berketerampilan rendah (D), secara alamiah perdagangan terjadi di mana negara pertama akan berspesialisasi pada produk yang menggunakan pekerja terampil dan negara kedua pada produk yang relatif tak membutuhkan tenaga kerja terampil. Tiap negara mendapatkan kedua barang dengan lebih murah. Total kesejahteraan sosial akan lebih tinggi dibandingkan jika masing-masing memproduksi kedua barang tanpa perdagangan.

Salah satu implikasinya, seperti yang dijelaskan dalam model Heckscher-Ohlin, ketimpangan di negara miskin (baca: negara kedua) berkurang karena permintaan akan pekerja kurang terampil di negara tersebut meningkat. Upahnya pun meningkat. Hal sebaliknya terjadi pada pekerja terampil di negara tersebut. Teori ini sukses menjelaskan fenomena perdagangan dunia paling tidak sampai paruh kedua abad ke-19.

Namun, mengapa saat ini ketimpangan global tidak kunjung berkurang, bahkan di beberapa tempat justru meningkat? Dalam studinya bersama Michael Kremer, Maskin memodifikasi model Ricardo-Heckscher-Ohlin agar dapat mengakomodasi perkembangan perdagangan dewasa ini: maraknya jejaring produksi lintas negara, semakin beragamnya tingkat keterampilan, serta semakin kompleksnya pembagian tugas dalam rantai nilai.

Modifikasi mereka sederhana, tetapi implikasinya cukup signifikan. Alih-alih dua tipe, mereka membagi pekerja menjadi empat tipe keterampilan: A, B, C, dan D; dengan A paling terampil. Pekerja tipe A dan B tinggal di negara maju, tipe C dan D di negara berkembang. Didorong oleh ketiga fenomena perdagangan mutakhir di atas, pekerja tipe B dan C bergabung dan bekerja sama. Mereka menjadi penghubung antarnegara.

Implisit dalam model mereka, tipe A tidak �bersedia� bergabung dengan B karena kualifikasi mereka terlalu tinggi untuk upah tipe B. Tipe B butuh tipe C untuk menjalankan jejaring mereka. Tipe C senang bergabung dengan tipe B karena upahnya tertarik ke atas. Namun, tipe D tidak mampu bergabung dengan tipe C karena keterampilan yang terbatas. Maka, globalisasi bisa membuat tipe D ketinggalan. Celakanya, di negara berkembang dan terutama negara miskin, tipe D-lah yang dominan. Ini menjelaskan kenapa ketimpangan belum berkurang pada era globalisasi.

Perbaiki Kualitas Pekerja

Bagaimana solusinya? Sebagian orang mungkin menyarankan menahan globalisasi demi melindungi tipe D di negara miskin. Argumennya: jika globalisasi ditutup, tipe C mau tak mau akan bekerja sama dengan tipe D. Maka kesejahteraan tipe D (yang mayoritas) akan terangkat.

Ini muskil. Pertama, menutup globalisasi berarti menghalangi kesempatan bagi tipe C (dan tipe B dari negara maju) mencapai skala yang menguntungkan kedua negara. Kedua, menahan globalisasi berarti menerima saja bahwa tipe D tidak akan pernah maju seperti tipe C. Ketiga, globalisasi sendiri niscaya tak akan bisa ditahan, kecuali dengan biaya yang sangat besar (misalnya hilangnya akses transportasi dan komunikasi yang mudah).

Sebaliknya, Maskin menegaskan, jika teorinya benar, langkah yang tepat bukan menghentikan globalisasi, melainkan memperbaiki kualitas pekerja tipe D agar mereka juga bisa menikmati globalisasi: bergabung dengan B dan C serta menikmati manfaat perdagangan. Maskin menganjurkan investasi dalam SDM berupa pendidikan dan pelatihan.

Oleh siapa? Mungkin bukan oleh pengusaha/pemberi kerja (karena pelatihan butuh biaya, dan ketika keterampilan pekerja meningkat, upah pun meningkat, yang berarti beban tambahan bagi pengusaha). Juga bukan oleh pekerja sendiri (terlalu miskin untuk meningkatkan kualitas dengan cara swadaya). Karena itu, ada ruang bagi pemerintah, LSM, serta pihak swasta. Swasta juga dapat terlibat melalui mekanisme insentif yang pas (misalnya pengurangan pajak untuk jumlah tertentu pelatihan tenaga kerja).

Ada dua isu yang relevan untuk kita. Pertama, kita pun masih menyaksikan naiknya ketimpangan di Indonesia belakangan ini. Betul bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih kuat, angka kemiskinan dan pengangguran terus menurun. Namun, ketimpangan meningkat bukan hanya dalam hal pendapatan, juga dalam dimensi non-pendapatan (ketimpangan horizontal). Sebutlah seperti akses pada pendidikan dasar, kesehatan dasar, sanitasi layak, dan air bersih.

Kedua, selain investasi dalam SDM, pasar kerja juga berperan. Tipe D didominasi oleh pekerja informal yang mungkin sulit menembus pasar formal, seperti halnya tipe C. Dengan pasar kerja yang terlalu kaku, pemberi kerja tak punya insentif mempekerjakan lebih banyak buruh lewat sistem formal. Mereka lebih memilih subkontrak atau tenaga alih daya. Akibatnya, kepastian kerja bagi tipe D makin rendah.

Lebih parah lagi jika tipe C justru menghalangi akses tipe D untuk naik. Ini bisa terjadi secara tak sengaja ketika pekerja tipe C memperjuangkan nasib mereka sendiri, tetapi justru membuat tipe D makin terpinggirkan.

Arianto A Patunru, Fellow Australian National University