Selasa, 29 Mei 2012

Corby dan Gaga

Acep Iwan Saidi

Di tengah lalu lalang politikus busuk, di antara gentayangan perampok negara di sejumlah instansi pemerintah, dan di sela-sela persoalan lain yang membukit di negeri ini, dalam pergaulan internasional di manakah kita akan menyimpan muka?

Lihatlah, muka kita tercoreng kontroversi Lady Gaga dan ratu narkoba Corby. Pada saat yang sama, tangan Taufik Hidayat cs dipatahkan Jepang sehingga mimpi menggapai prestasi dan prestise bulu tangkis remuk sudah. Hemat ungkap: isu Gaga membuat bangsa ini seolah tak punya budaya, kekalahan Taufik bikin martabat olahraga terjun ke jurang, dan grasi SBY untuk Corby menggenapkan kita sebagai bangsa yang hina.

Lantas, bagaimanakah semua itu mesti diurai? Sepertinya kita telah susah mencari bahasa. Kita sudah melakukan banyak cara, mulai dari yang santun hingga paling kasar. Pagar Gedung MPR/DPR/DPD telah diruntuhkan, foto presiden telah acap dibakar, beberapa orang telah rela dipenjara, yang lain bahkan mengorbankan diri dalam api (ingat kasus aktivis Sondang Hutagalung!).

Mungkinkah kita sampai pada apa yang ditulis Chairil Anwar: �Ini kali tidak ada yang mencari cinta/di antara gudang, rumah tua, pada cerita/tiang serta temali/Kapal, perahu tiada berlaut/menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut�.

Kiranya kita memang sudah tidak bisa lagi menyusun kontrak dengan raja seperti dilakukan Chairil: �Ayo, Bung Karno, kasi tangan mari kita bikin janji!�

Kini semua janji telah diingkari. Kita tinggal rangka. Selebihnya, meminjam ungkapan tokoh Oscar Yakob dalam drama Lawan Catur karya Kenneth Arthur, kita hanya melihat �dusta dari puncak hingga ke dasar!�

Metafora Kejahatan

Kesabaran ada batasnya, demikian ungkapan klise, �metafora mati�, kata Paul Ricoeur (1978). Namun, kiranya kini kita memang sudah tidak bisa merangkai �metafora hidup�. Kita sudah kehilangan imajinasi. Tidak ada lagi dalam ingatan tentang tabiat penguasa yang ajek, apalagi teladan. Tidak ada dalam kepala, sejarah politikus dan aparatur negara yang amanah, apalagi sebagai panutan.

Rakyat hanyalah lahan mata pencarian yang dikelola dengan mengatasnamakan penyelamatan ekonomi, penjaminan demokrasi, bahkan penegakan hukum. Sebagai alibi, semuanya mati dalam bahasa. Dan, pada titik inilah, pada saat kita tak mampu lagi menyusun metafora hidup, metafora mati menjadi bumerang. Pada batasnya, kesabaran akan bangkit menjadi vampir yang liar: people power!

Tentu kita tidak mau terus-menerus terpuruk dalam jurang kenistaan, sekaligus menghindari penyelesaian oleh �vampir kesabaran�. Namun, bersamaan dengan hal itu, jika hanya berdiam diri menyaksikan kebebalan demi kebebalan, kita pun ikut bebal. Hal paling mengerikan dari tindak kejahatan adalah ketika aura kejahatannya hilang. Pun ketika kita melihat kebebalan sebagai hal biasa.

Oleh sebab itu, di samping tindakan konkret melalui lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dua hal harus terus-menerus dilakukan. Pertama, selalu mengartikulasikan kejahatan dan kebebalan agar auranya terus terbarukan. Aura kejahatan korupsi, misalnya, akan hilang jika tindakan itu terus-menerus disebut korupsi. Perlu diterakan metafora lain, seperti perampok atau garong.

Kedua, ketika negara dalam keadaan harus ditolong seperti sekarang, yang pertama mesti dilakukan adalah membantu penguasa mendudukkan kepalanya pada posisi yang sehat.

Pada kasus grasi untuk Corby, misalnya, SBY mungkin memiliki �nalar jual beli bilateral� sehingga dengan itu grasi yang ia berikan tidak gratis: ini sebuah transaksi yang boleh jadi menguntungkan. Namun, SBY lupa�dan ini yang mesti diingatkan�bahwa di atas nalar jual beli tersebut terdapat nalar lain yang jauh lebih penting, yakni nalar moralitas dan martabat hidup berbangsa. Nalar ini memang tidak serta-merta membuahkan �fulus�, tetapi pemilihannya adalah investasi tidak terbatas untuk jangka panjang.

Pemimpin besar pastilah akan memilih nalar ini. Sayang, SBY memilih nalar instan�yang bernafsu memanen padi petang hari atas benih yang ditanam pagi harinya�menunjukkan bahwa ia bukan pemimpin demikian.

Karakter Berbangsa

Lantas Gaga. Sampai esai ini ditulis, sang Lady belum lagi tiba di sini. Namun, kita tahu efek psikologisnya telah meledak jauh-jauh hari. Mesti dipahami, kasus Gaga bukan melulu soal show artis populer. Bukan pula sekadar isu pornografi dan pertunjukan hasrat di atas panggung. Ini juga bukan cuma soal ketersinggungan agama. Ini soal karakter dan sikap mental hidup berbangsa.

Kita boleh menyusun sejuta argumen tentang budaya kontemporer, tetapi kita tetap tidak bisa mengelak bahwa identitas berbangsa itu penting dan karenanya politik identitas menjadi harus. Jadi, mula-mula soalnya bukan mengizinkan atau melarang, melainkan bagaimana sebagai bangsa�melalui ketegasan pemimpinnya�kita memiliki sikap yang jelas dan berwibawa untuk menerima atau menolak.

Berkali-kali dan oleh sejumlah pihak telah disampaikan bahwa kita butuh pemimpin yang kuat, cerdas, berwibawa, dan bebas dari kepentingan politik sesaat. Kini, lihatlah, tanpa pemimpin demikian, negara tidak lagi memiliki ideologi sehingga tidak jelas ke mana langkah mengarah. Bagaimana mau ajek berdiri jika tidak punya fondasi. Jangankan membangun karakter, ngurus bulu tangkis saja tidak mampu.

Mesti dipahami, kalahnya Taufik cs oleh Jepang pada perempat final Piala Thomas dan Uber bukan serta-merta kekalahan kompetisi olahraga bulu ayam itu, melainkan representasi dari terus-menurus terpuruknya pengelolaan kehidupan berbangsa. Ingatlah juga, bulu tangkis adalah monumen yang telah susah payah dibangun sejarah.

Potret Taufik di Kompas, 24/5, adalah tragedi. Berjalan membelakangi kamera, Taufik melambaikan tangan. Ia seperti sedang berkata, �Selamat jalan prestasi, selamat berpisah prestise, terpuruklah negeriku!�

Lantas, ke manakah Taufik (kita) melangkah? Sepanjang tidak punya pemimpin berkualitas, kita hanya akan bersimpuh di kaki peradaban yang dibangun orang lain: macam Corby dan Gaga!

Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB

Kamis, 24 Mei 2012

Belum (Sepenuhnya) Menjadi Indonesia

Salahuddin Wahid

Bangsa Indonesia adalah hasil perjuangan bersama warga bernasib sama di wilayah Nusantara: dijajah oleh Belanda. Mereka hidup miskin, tidak mendapat pendidikan, tidak mempunyai hak sama dengan warga Belanda dan kaum priayi.

Kekayaan alam Indonesia diisap oleh Belanda selama ratusan tahun. Dengan cultuurstelsel, Belanda memanfaatkan tanah di Nusantara untuk menghasilkan produk-produk yang dikirim ke Belanda, lalu dijual dan menghasilkan uang yang amat besar. Menurut Bung Karno, mengutip dari Prof van Gelderen, Kepala Central Kantoor voor de Statistiek, dalam pidato �Indonesia Menggugat� (1930), kekayaan yang diangkut dari Indonesia per tahun setidaknya mencapai 1,5 miliar gulden (dalam nilai sekarang mungkin 50 miliar euro atau sekitar Rp 600 triliun).

Mantan anggota Dewan Hindia Pruys van der Hoeven dalam buku Veerteg Jaren Indische Dienst menulis, �Nasib orang Jawa dalam 40 tahun terakhir ini tidak banyak diperbaiki. Di luar kaum ningrat dan beberapa hamba negeri, hanya ada rakyat yang �sekarang makan besok tidak�.

Mantan Asisten Residen HEB Schmalhausen di dalam buku Over de Java en de Javanen menulis, �Saya melihat dengan mata sendiri, bagaimana orang-orang perempuan sesudah berjalan beberapa jam, sampai di tempat yang dituju tidak bisa ikut mengetam padi karena terlalu banyak pekerja. Kami menghitung bahwa harga padi yang mereka terima sebagai upah paling banyak 0,09 gulden per hari.�

Kalau nilai gulden dulu ekuivalen 50 kali nilai euro kini, upah tersebut ekuivalen Rp 50.000 per hari. Kalau nilainya 20 kali, upah tersebut ekuivalen Rp 20.000 per hari. Itu sedikit lebih tinggi daripada standar Bank Dunia bahwa yang punya pendapatan di bawah 2 dollar AS per hari tergolong miskin. Dengan standar tersebut, jumlah kelompok miskin 50 persen penduduk Indonesia atau di atas 120 juta orang. Bandingkan dengan Malaysia yang kelompok miskinnya sekitar 7 persen dari jumlah penduduk. Padahal, alam Indonesia lebih kaya dibandingkan dengan Malaysia.

Fitrah manusia yang tinggal di wilayah Nusantara ialah bahwa mereka terdiri dari berbagai suku, etnis, dan ras. Ada ratusan suku hidup di wilayah itu. Mereka juga majemuk dalam hal agama. Ada sejumlah agama penduduk asli di sejumlah tempat.

Perjuangan panjang sporadis secara militer melawan Belanda di beberapa daerah telah gagal. Muncullah kesadaran bahwa perjuangan merebut kemerdekaan harus dilakukan bersama-sama dalam bidang politik.

Syukur ada cukup banyak pemuda yang mendapat pendidikan tinggi dari berbagai suku dan agama. Mereka berjuang mempersatukan warga Nusantara dengan beragam latar belakang.

Ikatan Kebersamaan

Menurut Bung Karno, Bapak Nasionalisme Indonesia adalah EFE Douwes Dekker (Setiabudi). Bersama Dr Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat, Setiabudi telah berpikir tentang suatu bangsa yang bukan diikat oleh sentimen primordial, kesamaan agama atau geografis, melainkan proklamasi sederhana tentang rasa kesetiakawanan bangsa yang membebaskan.

Bung Hatta dan kawan-kawan melalui Perhimpunan Indonesia di Belanda pada 1924 menerbitkan jurnal Indonesia Merdeka. Mahasiswa Jawa di Al-Azhar Kairo pada 1922 bergabung dalam Kesejahteraan Mahasiswa Jawa Al-Azhar. Mereka juga membaca jurnal Indonesia Merdeka.

Pernyataan prinsip Perhimpunan Indonesia perlu kita catat: �Masa depan bangsa Indonesia hanya terletak pada didirikannya satu bentuk pemerintahan yang bertanggung jawab pada amanat rakyat karena hanya bentuk pemerintahan itulah yang bisa diterima. Hanya Indonesia yang bersatu dan mengesampingkan perbedaan yang mampu mematahkan kekuatan penguasa yang menjajah. Tujuan bersama Perhimpunan Indonesia berdasar pada kesadaran dan bertumpu pada kekuatan aksi massa nasionalistis�.

Kongres Pemuda 1928 menjadi wadah bagi sejumlah pemuda terpelajar sebagai representasi dari ratusan suku di seluruh Nusantara untuk bersumpah bahwa mereka mempunyai tanah tumpah darah yang satu, yaitu Indonesia; mempunyai bangsa yang satu, yaitu bangsa Indonesia; dan mempunyai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Pencapaian bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia adalah suatu capaian luar biasa.

Para pendiri bangsa menyadari realitas kebinekaan tersebut dan menetapkan Pancasila menjadi landasan bersama yang mempersatukan warga multimajemuk menjadi suatu bangsa. Masalah hubungan agama (Islam) dan negara dapat diselesaikan untuk sementara pada 1945 dan diselesaikan tuntas secara formal pada 1984 setelah NU menghasilkan dokumen Hubungan Islam dan Pancasila yang diikuti ormas dan orpol Islam.

Indonesia gagasan ideal

Roh keindonesiaan termaktub dalam Pembukaan UUD yang mengandung Pancasila. Untuk bisa mewujudkan cita-cita bangsa, didirikan negara Republik Indonesia yang tujuannya dijelaskan di dalam Pembukaan UUD. Negara secara konkret diwakili pemerintah dan lembaga negara lain. Gagasan itu terasa ideal sehingga oleh Benedict Anderson dianggap sebagai �the imagined community�.

Ada beberapa aspek yang bisa menjadi ukuran sejauh mana kita telah menjadi Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Juga mengelola secara baik keragaman agama, suku, etnis, dan ras.

Banyak contoh bahwa kita tidak mampu melindungi warga negara yang terpaksa bekerja di luar negeri karena sulitnya mencari pekerjaan di Tanah Air.

Masalah hubungan antarsuku sudah tidak jadi masalah. Perkawinan antarsuku sudah amat biasa. Namun, yang sekarang kita saksikan ialah munculnya sentimen kedaerahan dalam kaitan politik. Sentimen anti-Tionghoa sudah jauh berkurang dan budaya Tionghoa bahkan menjadi bagian dari budaya kita setelah Imlek diakui sebagai hari libur.

Namun, ada masalah dalam hubungan antarumat beragama dan antarumat Islam. Yang masih hangat ialah masalah GKI Yasmin di Bogor, warga anggota jemaah Ahmadiyah Indonesia di sejumlah tempat, dan pengikut Syiah di Sampang.

Banyak umat Islam dan tokoh-tokohnya tidak mampu memisahkan atau membedakan antara masalah keagamaan dan masalah kenegaraan. Kasus yang menimpa warga Syiah di Sampang menunjukkan bahwa warga hanya memakai hukum Islam (menurut tafsiran mereka) sebagai dasar tindakan, tanpa mau tahu bahwa warga pengikut Syiah itu warga negara Indonesia yang punya hak untuk hidup.

Keadilan belum hadir di Indonesia, baik dalam masalah hukum maupun sosial ekonomi. Kita semua tahu bahwa lembaga penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan, sulit diharapkan.

Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Pencuri sandal jepit dan buah tidak berharga diadili, tetapi koruptor banyak yang dibebaskan. Hukum kalah oleh uang, kalah oleh kekuasaan, dan kalah oleh tekanan massa. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dibandingkan dengan empat sila lain, adalah yang paling sedikit mendapat perhatian.

Cerdaskan Bangsa

Yang harus dicerdaskan kehidupan bangsa, bukan sekadar orang per orang. Mencerdaskan kehidupan bangsa berarti menghilangkan sikap bangsa terjajah, sikap inlander yang terbelenggu oleh keterjajahan, tidak punya harga diri, minder, dan fatalis. Kehidupan bangsa yang cerdas tentu mensyaratkan adanya harga diri, harkat, martabat, kejujuran, rasa saling percaya, kemandirian, kepandaian, sikap tidak mudah menyerah, produktif, hemat, dan keadilan. Kehidupan bangsa yang cerdas akan membuat kita menjadi bangsa kuat.

Tujuan itu dicapai dengan pelaksanaan dari kebijakan pendidikan yang ditujukan bagi seluruh warga negara Indonesia. UUD Pasal 28C angka (1) menjelaskan bahwa �setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan manusia.

Pasal 11 Ayat 1 dari UU No 20/2003 tentang Sisdiknas mengamanatkan bahwa �Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi�.

Sampai kini ada sekitar 20 juta anak usia 7-15 tahun yang belum tersentuh pendidikan dasar. Ada sekitar 8 juta anak usia 16-20 tahun yang tidak dapat menikmati pendidikan menengah. Sekitar 3 juta tamatan sekolah menengah tidak bisa meneruskan ke perguruan tinggi. Dua pertiga tenaga kerja hanya tamat SMP.

Hasil uji kompetensi awal guru yang akan ikut sertifikasi pada 2012 (10 persen dari jumlah guru) menunjukkan bahwa rata-rata untuk SD mencapai angka 36,86; untuk SMP 46,15; SMA 51,35. Kompetensi yang rendah dari para guru membuat siswa tidak siap menghadapi ujian nasional sehingga mereka stres.

Pendidikan adalah kunci untuk menyiapkan anak bangsa sebagai aset sesungguhnya dari bangsa Indonesia. Jumlah penduduk usia produktif yang lebih besar dari penduduk usia non-produktif harus dimanfaatkan dengan baik. Kita harus memperbaiki kesejahteraan dan meningkatkan mutu guru, termasuk guru swasta yang berjumlah hampir 1 juta orang.

Dengan melihat beberapa fakta di atas, menurut saya kita baru 15 persen menjadi Indonesia. Kenyataan pahit itu terjadi karena maraknya korupsi dalam arti luas (penyalahgunaan kekuasaan) dan kebijakan yang tidak prorakyat.

Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang

Minggu, 06 Mei 2012

Kejayaan Itu dari Timur

Radhar Panca Dahana

Bagaimana saya harus mengungkapkan perasaan ini? Ketika mengunjungi beberapa anak negeri di kawasan Nusa Tenggara Timur, saya merasa seperti manusia kecil yang dapat berkah luar biasa bagi kebodohan dan kemiskinan pengetahuan saya.

Di bagian timur negeri tercinta ini hanya keindahan, kekaguman, dan rasa bahagia serta syukur tiada habis yang saya rasakan untuk apa yang saya dengar, rasakan, lihat, dan baru ketahui. Di belahan kepulauan dengan sejarahnya yang purba ini, hidup begitu indah. Semua orang menari dan menyanyi dengan rileks, ekspresif, dan berbahagia dalam keseharian mereka.

Di Larantuka, misalnya, hanya untuk persoalan berladang atau menanam padi, setiap tahun tak kurang 16 pesta adat diselenggarakan dengan meriah. Setiap bagian dari kegiatan pertanian itu dilakukan dengan tarian dan nyanyian, plus doa-doa penuh gairah dan kekhusyukan. Di Kupang, hampir semua restoran menyediakan musik hidup. Begitu pun rata-rata angkutan kota dilengkapi peralatan musik yang tidak sekadar bunyi. Hidup dengan alam dan tuntutan modern yang begitu keras mereka hadapi tanpa harus kehilangan kegembiraan, persaudaraan yang hangat, dan kesantunan yang wajar.

Apa yang lebih membahagiakan, sungguh begitu banyak bakat, potensi kuat dalam seni vokal (dengan kerongkongan yang ajaib, kata dramawan Putu Wijaya), lentur dan ekspresifnya tubuh anak-anak muda, dalam seni tradisi hingga hip hop bergaya mutakhir. Aktor-aktor teater dengan suara bulat, bening, dan artikulatif, tubuh yang ulet dan �bicara� sebelum ia mendapatkan latihan teater yang sesungguhnya.

Di balik kerasnya sikap dan pertahanan adat mereka, kita mendapatkan kelembutan dan keramahan yang mengharukan. Ini membuat semua fenomena kekerasan belakangan ini jadi keganjilan dan kemustahilan bagi negeri dengan puluhan etnik dan 61 bahasa berbeda ini. Betapa kedegilan dan keangkaran sungguh mereka buktikan tidak lain adalah ekses dari modernitas dan tata hidup yang mengikutinya.

Di mana Bangsa Bermula

Tentu saja saya tak ingin mengatakan bahwa hanya di NTT, kelebihan, bakat-bakat hebat, potensi alam, serta adat yang kuat dan santun di atas dan menjadi ciri negeri ini. Saya mengerti, bahkan mungkin secara dekat, semua kondisi itu ada di banyak wilayah lain. Namun, di bagian timur Indonesia ini, termasuk di Kepulauan Maluku dan Papua, saya merasakan getar yang berbeda, unik, dan purba. Ia seolah gema yang terpantul dari kejauhan waktu, yang tak terjamah oleh kesadaran kita, intelektualitas, dan modernitas yang kita klaim dalam kemodernan ini.

Semua itu seperti berintegrasi dan bertemu titik dengan fakta-fakta (ilmiah) baru yang menyatakan bagaimana negeri bagian timur sesungguhnya adalah asal dari semua etnik dan subkultur�bahkan mungkin kebudayaan masa depan�bangsa ini. Di wilayah inilah ditemukan sisa peradaban paling purba manusia, seperti sistem perladangan, domestikasi binatang, hingga peran perempuan yang (cukup) dominan (menurut Bung Karno) dalam penciptaan kerja, pembagian tugas dengan lelaki, hingga penyusunan hukum-hukum paling awal dari kebudayaan manusia.

Lebih dari itu, di kawasan inilah kita menemukan bukti paling awal, bahkan sejak 5000 tahun SM, terjadinya pelayaran yang mengarungi samudra-samudra besar, menjadi nenek moyang�genetik, linguistik hingga kultural�dari berbagai masyarakat kuno di Kepulauan Polinesia, Mekronesia, hingga Selandia Baru, bahkan sisi timur Afrika. Bahkan, sebagian ahli meyakini, ia sudah mendahului keberadaan bangsa Dravida atau Tamil, yang dibuktikan dalam kitab-kitab kuno mereka, sebagaimana temuan lama menunjukkan hal serupa untuk mereka yang hidup di Seychelles dan Madagaskar.

Tak heran jika kemudian beberapa antropolog maritim menyatakan bahwa diaspora pertama dan terbesar di atas muka bumi ini, mencakup sekurangnya setengah dunia, dilakukan oleh mereka yang dahulu hidup dan berkembang di wilayah�terutama antara Maluku dan Papua�ini. Dalam persebaran inilah, di tingkat lokal, dalam perjumpaan yang tak terkira intensitas dan jumlahnya dengan penghuni-penghuni yang datang berikutnya, lahir keragaman luar biasa, dalam etnik/ras, adat-budaya, dan bahasa. Kenyataan ini hanya menciptakan kekaguman, rasa heran, serta ketakmengertian para ahli tentang bagaimana itu semua tercipta.

Di mana Masa Depan?

Hal yang ironis dari realitas di atas: ternyata bukan kaum ahli atau masyarakat ilmiah modern yang mengalami kegamangan, masyarakat asli pemilik semua sejarah dan kekayaan luar biasa itu juga mengalami kerancuan untuk memahaminya. Mengapa?

Ketika fakta sejarah, adab, dan budaya yang mengisinya kita pahami hanya dengan perangkat akal (rasional), bisa dipastikan ia akan menuju jalan buntu. Peradaban dan kebudayaan Indonesia tidaklah diciptakan melulu hanya dengan satu modus rasional misalnya. Ada keterlibatan emosional (naluri, insting) dan spiritual, di sisi keterlibatan kultur badan (fisikal) dalam proses yang integral itu. Artinya, tanpa juga melibatkan daya mental-spiritual dan fisikal, kita akan selalu gagal memahami kebudayaan dan jati diri bangsa ini.

Kebudayaan tidak bisa hanya dimengerti, tetapi juga dialami dan dilakoni. Dengannya kita akan mendapatkan pemahaman yang menyeluruh hingga di tingkat transenden dan imanen. Semua yang merasa bertanggung jawab pada bangsa dan negara ini harus mampu mengintegrasikan dirinya, pengetahuan modern, hingga praksis profesionalnya dengan modus pembudayaan dan pemberadaban di atas.

Jika diperkenankan, saya anjurkan selain para elite juga masyarakat luas melakukan semacam �penemuan ulang� dari realitas adab�yang mungkin primordial itu�mereka sebaiknya juga melangkah ke bagian timur negeri ini. Di mana, dengan modus pemberadaban di atas, keseluruhan diri kita akan mendapatkan sebuah �pengalaman� ajaib dan mengharukan tentang apa, siapa, dan dari mana sebenarnya kita bermula.

Inilah yang juga harus menjadi �kesadaran baru� bagi rakyat di kawasan timur Indonesia. Bahwa, kekuatan mereka sebenarnya bukanlah pada sisi material, melainkan justru pada sisi kultural. Di wilayah inilah saudara-saudara kita sesungguhnya memiliki kapasitas terbaik untuk menunjukkan kekuatan terbesar dari bangsa Indonesia: kebudayaan!

Maka, tepatlah jika pada Hari Pers Nasional beberapa waktu, Presiden SBY menyatakan respek dan dukungannya pada bagian timur ini. Ia bahkan menjanjikan dana Rp 5 triliun sebagai bantuan pembangunan. Sayang, janji yang baik itu belum dilaksanakan.

Presiden harus merealisasi janji itu segera. Bukan karena alasan nostalgis dan romantis, melainkan pada realitas mutakhir yang ada, jati diri dan identitas kita yang masih samar saat ini�kejayaan negara-bangsa berkebudayaan di masa depan�akan terbit cahayanya dari timur.

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Rabu, 02 Mei 2012

Masalah Buruh Migran

Anis Hidayah
2 Mei 2012

Peringatan Hari Buruh Sedunia merupakan momentum kebangkitan gerakan buruh di seluruh dunia.

Di Indonesia, peringatan Hari Buruh kembali menegaskan pembiaran negara terhadap penindasan buruh pada berbagai level, mulai dari praktik outsourcing, union busting, diskriminasi buruh perempuan, hingga upah. Tidak berbeda dengan nasib buruh di dalam negeri, buruh migran Indonesia juga masih mengalami eksploitasi, diskriminasi, perbudakan, dan pelanggaran HAM serius.

Beberapa hari terakhir Pemerintah Indonesia bahkan kalang-kabut menyikapi tuntutan keluarga tiga buruh migran asal Nusa Tenggara Barat yang jadi korban penembakan polisi Malaysia. Upaya Kementerian Luar Negeri mengirim tim ke Malaysia untuk mengumpulkan informasi�padahal Kedubes RI di Kuala Lumpur sejak 3 April sudah menerima informasi kematian tiga buruh migran tersebut�ditambah proses otopsi yang lambat, kian menunjukkan sikap pemerintah yang reaktif, sporadis, dan selalu tak tuntas dalam menghadapi persoalan buruh migran.

Dianggap Musibah

Kalau tidak ada tuntutan keluarga, mungkin saja Pemerintah Indonesia tidak mengupayakan protes kepada Malaysia, apalagi mengusut penembakan tiga warga negaranya. Sungguh ini sebuah kelalaian fatal yang tidak hanya berdampak pada hilangnya penghormatan negara lain terhadap buruh migran Indonesia, tetapi juga melecehkan martabat dan kedaulatan bangsa.

Ironis memang! Kematian buruh migran selalu saja dilihat sebagai musibah semata. Setidaknya itulah salah satu pernyataan dari pejabat Kemenlu RI saat menerima keluarga tiga buruh migran, Koslata, dan Migrant Care pada 23 April 2012. Padahal, dalam ketentuan UU No 39/2004 Pasal 73 Ayat (2) tentang penempatan dan perlindungan TKI, aturan tentang prosedur tetap penanganan buruh migran yang meninggal di luar negeri sangat jelas.

Pertama, kewajiban untuk memberitahukan kematian TKI kepada keluarganya paling lambat 3 x 24 jam sejak kematiannya diketahui. Kedua, mencari informasi tentang sebab-sebab kematian. Ketiga, memulangkan jenazah TKI ke tempat asal secara layak serta menanggung semua biaya, termasuk biaya penguburan. Keempat, memberikan perlindungan terhadap seluruh harta TKI untuk kepentingan anggota keluarga. Kelima, mengurus pemenuhan hak-hak TKI yang seharusnya diterima.

Mengikuti penjelasan di atas, tampaklah kelalaian KBRI Kuala Lumpur dalam menangani ketiga buruh migran tersebut. Pemulangan jenazah diurus oleh perusahaan jasa di Malaysia dan masing-masing keluarga harus membayar Rp 13 juta.

Melalui surat KBRI Nomor 0817-0818-0819/SK-JNH/04/2012 yang ditandatangani Heru Budiarso, sekretaris kedua konsuler, dinyatakan bahwa KBRI, karena kondisi yang tidak memungkinkan, tidak melakukan pengecekan atas sebab-sebab kematian.

Diplomasi Tidak Tegas

Ini bukan kali pertama polisi Diraja Malaysia bertindak represif terhadap buruh migran Indonesia. Tindakan tersebut adalah kelanjutan dari stigmatisasi Malaysia terhadap buruh migran Indonesia sebagai kriminal dan terus-menerus menyebut buruh migran Indonesia dengan sebutan �indon�. Sikap Pemerintah Indonesia yang terlalu lembek dan toleran sesungguhnya menjadi akar dari terus berulangnya kejadian yang sama. Menurut catatan Migrant Care, selama pemerintahan SBY terjadi tiga peristiwa penembakan terhadap buruh migran yang proses penegakan hukumnya tidak tuntas.

Pada 9 Maret 2005, polisi Diraja Malaysia menembak empat buruh migran, yakni Gaspar, Dedi, Markus, dan Reni di Sungai Buloh, Selangor, atas dugaan kriminalitas. Lima tahun berikutnya, 16 Maret 2010, tiga buruh migran asal Sampang, yakni Musdi, Abdul Sanu, dan Muklis, ditembak polisi Malaysia di Danau Putri dengan dugaan serupa. Lalu, pada 24 Maret 2012, tiga buruh migran asal NTB, yakni Herman, Abdul Kadir Jaelani, dan Mad Noor juga ditembak.

Peristiwa yang sama bisa saja terjadi lagi selama Pemerintah Indonesia tetap mempertahankan diplomasi lembek menghadapi Malaysia. Kasus ini sudah selayaknya menjadi bahan evaluasi terhadap model diplomasi RI dengan Malaysia.

Penanganan persoalan buruh migran yang masih berlangsung seperti sekarang akan kontraproduktif terhadap komitmen Pemerintah Indonesia yang baru saja meratifikasi International Convention 1990 on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families pada Sidang Paripurna DPR, 12 April 2012.

Konvensi tersebut sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip dasar penegakan HAM buruh migran, yakni tanggung jawab negara, nondiskriminasi, kesamaan di hadapan hukum, dan kesetaraan dalam penerimaan hak. Dengan demikian, tidak relevan mempersoalkan status keimigrasian ketiga buruh migran yang tidak berdokumen.

Tindak Lanjuti Ratifikasi

Komitmen ratifikasi harus segera ditindaklanjuti dengan implementasi konkret untuk perlindungan hak-hak buruh migran. Setidaknya ada tiga langkah penting yang harus dilakukan pemerintah.

Pertama, mengkaji ulang dan mengevaluasi seluruh kebijakan yang ada di Indonesia terkait perlindungan buruh migran. Kebijakan yang tidak selaras harus diganti kebijakan baru, termasuk UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. UU adalah regulasi paling utama yang isinya harus disesuaikan dengan konvensi karena UU ini merupakan payung hukum dalam penempatan dan perlindungan buruh migran.

Kedua, meninjau ulang semua kelembagaan yang relevan dengan tugas pokok dan fungsi perlindungan buruh migran, terutama Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Salah satu ketentuan dalam konvensi: negara pihak harus membentuk badan-badan yang layak untuk memastikan implementasi konvensi.

Ketiga, membangun mekanisme perlindungan bagi buruh migran pada keseluruhan tahapan migrasi dari pra-, selama bekerja, hingga purnamigrasi.

Pemerintah juga harus memperbaiki sumber daya manusia. Sebaik apa pun aturan dan sistemnya, tanpa sumber daya manusia yang jujur dan berdedikasi, nasib buruh migran tidak akan pernah menjadi lebih baik. Presiden SBY perlu berani mengevaluasi kinerja birokrasi secara fundamental. Hal ini penting untuk mengurangi beban dan derita masyarakat karena birokrasi yang tidak mendukung.

Akhirnya, semoga Hari Buruh kali ini tidak hanya menjadi milik buruh, tetapi juga negara yang berani ambil bagian secara aktif untuk memperbaiki politik ketenagakerjaan di Indonesia, baik perbaikan nasib buruh di dalam maupun di luar negeri.

Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care