Rabu, 01 Januari 2014

Mencegah �Perampokan� Jelang Pemilu

Tim Kompas

DALAM penggeledahan di sebuah percetakan milik seseorang yang terkait perkara suap, formulir C1 palsu ditemukan. Padahal, formulir C1 ini merupakan alat konfirmasi yang menentukan untuk penentuan perolehan suara baik di pemilihan kepala daerah maupun pemilihan umum.

Ketika sistem politik mendorong partai berubah menjadi sangat pragmatis dan ideologi tidak lagi menjadi penentu arah perjuangan, pemilu bisa berubah hanya menjadi ajang masing-masing kontestan untuk berlomba meraup sebanyak-banyaknya suara untuk kepentingan sesaat. Cara-cara ilegal pun akhirnya dihalalkan.

Padahal, sejatinya pemilihan umum adalah sebuah puncak proses berdemokrasi yang �suci� karena di dalamnya merepresentasikan kedaulatan rakyat. Dalam alam demokrasi, suara rakyat diibaratkan suara Tuhan. Melalui pemilu pula, rakyat memilih wakilnya untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Rakyat memilih pemimpinnya yang dianggap bisa mewujudkan cita-cita mereka.

Sekarang ini, menjelang pemilu 2014, para konglomerat yang dulu hanya bermain di belakang layar sudah langsung terjun dan menguasai partai politik.

Sebenarnya, hal ini juga tidak lepas dari kedudukan partai politik yang luar biasa sejak era Reformasi. Melalui DPR, hampir tidak ada satu jabatan pun di negara ini yang tidak melibatkan campur tangan partai politik. Peluang itu yang kemudian ditangkap avontourir pemilik modal untuk menguasai negeri ini.

Modus perampokan uang bank menjelang pemilu juga sebenarnya telah tercium sejak penyelenggaraan pemilu pertama di era Reformasi pada tahun 1999. Sejak Pemilu 1999, ada siklus perampokan uang di bank yang selalu terjadi setahun sebelum pemilu. Tahun 1998 ada skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Sementara Pemilu 2004 menjadi penanda awal kisruh Bank Century. Merger beberapa bank bobrok yang kemudian menjadi Bank Century dimulai saat itu. Kemudian, setahun sebelum Pemilu 2009, ditandai dengan skandal pemberian dana talangan ke Bank Century yang berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan, negara merugi hingga Rp 7 triliun lebih.

Pada Pemilu 2014, tanda-tanda tersebut juga sudah terbaca. Tahun-tahun menjelang pemilu 2014 ditandai dengan pertarungan terus-menerus antara Bank Indonesia dengan Kementerian Keuangan soal otoritas percetakan uang.

Ditambah dengan isu redenominasi, yang berarti akan ada pengadaan uang baru hanya beberapa bulan menjelang pemilu, artinya akan ada banyak anggaran untuk kebutuhan tersebut. Pengadaan dalam jumlah cukup besar ini jelas rawan dikorupsi menjelang pemilu.

Ini belum termasuk cerita di luar siklus perampokan bank menjelang pemilu. Pada tahun 2014, APBN menyepakati dana optimalisasi sebesar hampir Rp 27 triliun, yang belum jelas kegunaannya untuk membiayai program kerja apa di tiap kementerian.
Mungkin karena siklus perampokan bank menjelang pemilu sudah diketahui modusnya, dan kasusnya juga disidik KPK, cara lain digunakan. Upaya mengeluarkan badan usaha milik negara dari sistem keuangan negara juga salah satunya.

Dengan tak lagi menjadi bagian sistem keuangan negara, BUMN yang kemudian dianggap sebagai korporasi murni akan lepas dari jangkauan audit Badan Pemeriksa Keuangan karena asetnya dipisahkan dari kekayaan negara. Kerugian keuangan negara yang diakibatkan salah kelola BUMN pun tidak lagi masuk delik korupsi.
Saat ini, upaya mengeluarkan BUMN dari UU Keuangan Negara tengah diujimaterikan di Mahkamah Konstitusi.

Belum dipisahkan dari kekayaan negara saja sudah ada BUMN yang berani main-main. Dalam sebuah studi KPK tentang business process pengalokasian gas untuk pabrik pupuk, KPK menemukan indikasi permainan harga.

Awalnya, ada satu perusahaan pupuk yang akan mendapatkan alokasi gas dari lapangan tertentu dengan harga murah. Entah mengapa tiba-tiba alokasi gas tersebut dialokasikan untuk perusahaan swasta. Sementara perusahaan pupuk milik negara ini mendapatkan alokasi gas dari lapangan lain dengan harga mahal.

KPK pun terpaksa main gertak terhadap para pemangku kepentingan di industri ini. Hasilnya, keputusan pengalokasian gas tersebut kembali berubah ke skema awal.

Korupsi menjadi habitus

Perilaku korup seakan memang sudah menjadi habitus. Korupsi sudah menjadi sebuah keterampilan, menjadi tindakan praktis yang tidak selalu disadari dan kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu.

Setiap orang pun dikondisikan oleh lingkungannya, diarahkan oleh rutinitas tindakan yang berulang-ulang, sehingga tidak mengenal lagi salah atau benar. Akhirnya, semua kembali ke partai politik yang menjadi pemain utama dalam sistem demokrasi.

Kini, kekayaan sumber daya alam negeri ini juga sebenarnya dalam posisi �dirampok� besar-besaran, salah satunya minyak dan gas. Di SKK Migas, setiap tahun terjadi sekitar 23.000 tender. Nilai transaksi uangnya mencapai Rp 180 triliun. Kini, blok-blok terbesarnya sedang dipercepat proses tender-tendernya sehingga kalau terjadi kebocoran, nilainya akan sangat luar biasa besar.

Ke depan, agar negara dan rakyat juga tidak dirugikan oleh ulah para koruptor, perlu didorong juga segera diratifikasinya United Nation Convention Against Corruption. DPR pun perlu mendorong pemerintah agar segera meratifikasinya. Dengan demikian, KPK pun memiliki alat untuk mengejar aset-aset hasil korupsi. Termasuk, pengembalian aset curian yang dihalangi oleh ketentuan kerahasian bank.

Pemilu sesungguhnya juga dapat menjadi alat bagi rakyat untuk menghukum pejabat negara yang korup. Sayangnya, belum seluruh rakyat menyadarinya. Sebenarnya dengan bantuan KPK yang terus menindak para perampok uang rakyat ini, rakyat seharusnya bisa jeli melihat. Mereka yang telah berperilaku korup semestinya tidak dipilih lagi dalam pemilu.

Pilihan untuk mewujudkan cita-cita hadirnya negara yang adil, makmur, dan sejahtera ada di tangan semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar