Selasa, 14 Januari 2014

Distorsi Kekuasaan Demokratis

Novri Susan

SELAMA 2013, demokrasi Indonesia masih terdistorsi, antara lain ditandai dengan korupsi akut, kualitas pelayanan publik rendah, dan masalah kemiskinan.

Pemimpin politik�pusat dan daerah�merupakan penanggung jawab paling depan. Sebab mereka memiliki sumber daya kekuasaan, yaitu kewenangan dan struktur pemerintahan untuk mengorganisasi berbagai kebijakan. Sumber daya kekuasaan itu semestinya didistribusikan berbasis pada prinsip demokrasi, seperti transparansi, kompetensi, dan penegakan hukum.

Namun, praktik distribusi sumber daya kekuasaan telah dibajak oligarki politik keluarga. Praktik tersebut variabel mendasar yang memengaruhi bagaimana fungsi kekuasaan demokrasi terdistorsi dari pelayan kepentingan umum jadi pelayan kepentingan keluarga.

Distorsi kekuasaan demokrasi merupakan kondisi yang diciptakan secara sistematis oleh kepentingan seksional elite politik. Kepentingan seksional, yaitu kepentingan yang mengutamakan diri dan segelintir orang terdekat, berakar kuat pada imajinasi elitisme identitas dan hasrat kekayaan. Elitisme identitas merupakan posisi istimewa dalam struktur sosial, diperoleh melalui justifikasi moral historis seperti trah raja atau tokoh besar.

Hasrat kekayaan merupakan akar kepentingan seksional selanjutnya yang lazim dijumpai pada masyarakat manusia. Meskipun demikian, ketika hasrat kekuasaan bersekutu dengan elitisme identitas, karakter politik predatoris yang serakah dan menghalalkan segala cara pun lebih mungkin terlahir.

Elitisme identitas dan hasrat kekayaan menemukan jejaring kerja kekuasaan yang paling efektif melalui ikatan keluarga, seperti oligarki keluarga Soeharto pada era Orde Baru. Politik berbasis pada ikatan keluarga menciptakan jejaring kerja sama yang diikat oleh kepercayaan dan ikatan emosional untuk mengamankan kepentingan seksional. Karakter politik predatoris diwujudkan dalam praktik pendistribusian kekuasaan strategis terhadap anggota-anggota keluarga. Jejaring tersebut merupakan oligarki keluarga yang kuat dan determinan terhadap roda pemerintahan.

Pada konteks demokrasi Indonesia, oligarki keluarga selalu ditandai oleh praktik mengontrol posisi kunci dalam kekuasaan, seperti kepala pemerintahan dan ketua partai. Oleh sebab itu, beberapa anggota keluarga selalu maju sebagai kandidat bupati, wali kota, atau gubernur dan sekaligus menjadi elite dalam partai politik.

Oligarki keluarga dalam demokrasi Indonesia makin tumbuh merata. Sebagaimana catatan Mendagri Gemawan Fauzi, sedikitnya ada 56 praktik politik berbasis keluarga selama periode demokrasi Indonesia. Oligarki keluarga dengan politik predatorisnya menjadi sumbu distorsi kekuasaan demokrasi. Akibatnya, demokrasi hanyalah pakaian luar, yang di dalamnya adalah kuasa oligarki keluarga yang terlalu peduli pada kepentingan seksional. Program-program pembangunan tidak pernah mencapai titik ideal sebab oligarki keluarga mengorupsinya habis-habisan.

Perlawanan proletariat

Saat ini DPR sedang merevisi UU Pilkada terkait wacana antipolitik dinasti. Salah satu wacana dalam naskah tersebut adalah pembatasan pencalonan anggota keluarga petahana ikut maju dalam pilkada.

Namun, pelarangan anggota keluarga petahana berkompetisi dalam proses pilkada masih belum cukup. Oligarki keluarga dengan sumber daya kuat yang telah terbangun memiliki kemampuan mencurangi berbagai regulasi. Terlebih lagi, oligarki keluarga merupakan kelas borjuasi politik yang telah menjadi bagian dari proses pembentukan sistem dan perundangan itu sendiri. Alhasil, UU Pilkada tidak akan cukup menjinakkan kepentingan-kepentingan seksional mereka. Pada kondisi inilah oligarki keluarga tidak cukup diregulasi, tetapi harus dilawan.

Perlawanan itu tentu dari kelas masyarakat bawah yang sesungguhnya tereksploitasi, tetapi tidak sadar. Karl Marx menggunakan istilah kelas proletariat. Kelas yang selalu dieksploitasi dalam hubungan produksi ekonomi kapitalisme.

Pada konteks demokrasi Indonesia, oligarki keluarga sebagai borjuasi politik mengeksploitasi kelas proletariat politik melalui sistem kebijakan pembangunan. Menurut saya, proletariat politik adalah seluruh masyarakat yang tidak mendapatkan kesetaraan politik dan keadilan selama pengoperasian kekuasaan demokrasi.

Susan Mendus (2007) dalam Impartiality in Moral and Political Philosophy  menyikapi secara kritis bagaimana demokrasi (liberal) hanya menjadi cara sekelompok politik dominan mendapatkan kekuasaan negara melalui pemilu. Selanjutnya kekuasaan dioperasikan berdasar pada kepentingan para elite tanpa pelibatan rakyat. Kekuasaan yang berasal dari rakyat tersebut tidak dikembalikan dalam bentuk keadilan hukum, perlindungan keamanan, dan keterlibatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan pembangunan. Kondisi itulah yang dipandang sebagai bentuk-bentuk ketidaksetaraan politik dan ketidakadilan di kalangan masyarakat bawah.

Apa yang disikapi secara kritis oleh Mendus, dalam konteks Indonesia, berakar dari menguatnya oligarki keluarga dalam pendistorsian kekuasaan demokratis. Oleh sebab itu, perlawanan kelas proletariat politik merupakan manifestasi tak terelakkan dari kepentingan publik menyelamatkan demokrasi. Langkah mendasar perlawanan proletariat adalah kehadiran para pemimpin politik  yang konsisten membela dan melibatkan masyarakat bawah ke dalam proses pengoperasian kekuasaan. Sebuah laku pemimpin yang tidak alergi berbaur dengan keringat kemiskinan demi menyerahkan kembali kekuasaan kepada rakyat.

Dengan begitu, pembangunan sungguh-sungguh merupakan produk dan hak milik rakyat. Rakyat harus ikut gerbong para pemimpin politik yang teruji sebagai bagian perlawanan kelas proletariat politik. Paling tidak, sebagai gelombang pertama, perlawanan proletariat harus memenangi Pemilu 2014.

Novri Susan, Sosiolog Universitas Airlangga, Direktur Proyeksi Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar