Jumat, 10 Januari 2014

Golkar Bersaing dalam Satu Ceruk

Bestian Nainggolan

DALAM kurun waktu setahun terakhir, penetrasi politik Partai Golkar pada massa pemilih melambat. Namun, dibandingkan dengan partai lain, hanya Golkar yang menghasilkan paling banyak calon presiden, yang kini satu sama lain bersaing ketat.

Survei pemilih Kompas menunjukkan kecenderungan stagnasi dukungan kepada Golkar. Jika pada Desember 2012 Golkar masih menguasai posisi puncak, dengan dukungan 15,4 persen pemilih, belakangan mulai tersalip Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Saat ini, dukungan terhadap Golkar diperkirakan 16,5 persen.

Jika kondisi demikian tetap berlangsung, hal itu akan menjadi batu sandungan bagi Golkar dalam Pemilu 2014. Padahal, dari sisi potensi massa pemilih, jika Golkar dapat ditafsirkan sebagai induk genealogi partai-partai politik nasionalis �tengah� yang saat ini berkiprah, ceruknya lebar dan dalam.

Apabila proporsi dukungan yang kini dikuasai Golkar dipadukan dengan karakter dukungan yang dimiliki Partai Nasdem, Hanura, atau Gerindra yang para pemimpinnya pernah memiliki peran di Golkar, tidak kurang dari 41 persen massa pendukung yang terkuasai. Proporsi sebesar itu jelas menjadi ceruk dukungan yang sulit ditandingi oleh kekuatan mana pun.

Ceruk tersebut diisi kalangan beragam latar belakang. Hasil survei ini menunjukkan, baik dari sisi jenis kelamin, jenjang pendidikan, status ekonomi, perimbangan agama, maupun perimbangan geopolitik Jawa-luar Jawa, semua mencerminkan miniatur populasi masyarakat negeri ini. Agak membedakan dengan ceruk kekuatan politik lainnya jika dilakukan pemilahan psikografik.

Berdasarkan dikotomi pragmatis-idealis, misalnya, warna pragmatisme mendominasi para pemilih di ceruk ini. Di sisi lain, kecenderungan para pemilih yang bersifat konservatif agak kuat melekat ketimbang mereka yang berkarakter progresif. Para pendukungnya tampak lebih banyak yang mengagungkan nilai kesetaraan dalam struktur sosio-politik masyarakat daripada yang bersifat hierarkis.

Namun, faktanya, ceruk dukungan itu terkoyak. Terpecah, membentuk kelompok-kelompok dukungan dalam naungan beberapa partai. Pengelompokan dapat diidentikkan dengan sosok yang membangun partai itu.

Fakta historis menunjukkan, pada saat sosok-sosok dominan merasa tidak sejalan satu sama lain, saat itu pula partai baru dibentuk. Persoalan semacam ini seolah sudah menjadi rumusan baku dari genealogi partai politik di negeri ini.

Pendukung rapuh

Ancaman stagnasi dukungan bisa jadi kini tengah dihadapi Golkar. Namun, di sisi lain dalam kontestasi politik, perebutan kursi kepresidenan masih berkilau. Empat dari enam deretan atas popularitas calon presiden terkuasai oleh sosok Golkar atau sosok yang pernah bersentuhan dengan partai ini.

Selain Aburizal Bakrie yang dicalonkan Golkar sebagai presiden, sosok mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla masih menjadi rujukan dukungan para pemilih. Adapun mereka yang kini berada di luar Golkar antara lain Prabowo Subianto, pendiri Gerindra, yang sebelumnya pernah berkontestasi dalam konvensi calon presiden Golkar pada 2004. Terdapat pula Wiranto, yang pernah menjadi calon presiden dari Golkar pada 2004, yang kini lekat dengan Partai Hanura. Kedua sosok itu berada di papan atas dengan perolehan dukungan cukup signifikan. Di luar deretan papan atas, masih ada sosok Surya Paloh, juga peserta konvensi presiden Golkar pada 2004, yang kini sosoknya identik dengan Partai Nasdem.

Dominasi jumlah sosok dalam papan atas dukungan calon presiden mengindikasikan betapa produktifnya rumah Golkar melahirkan petarung politik kelas wahid di negeri ini.

Persoalannya, Golkar sebagai partai dengan begitu banyak jumlah calon presiden yang dihasilkan tidak dengan sendirinya semakin mengefektifkan gerak penguasaan partai ataupun setiap sosok dalam meningkatkan besaran dukungan. Yang terjadi, justru pada momen menjelang Pemilu 2014 kali ini, Golkar ataupun calon-calon presiden yang diproduksinya dihadapkan pada situasi rapuhnya pola dukungan.

Pertama, belum solidnya pemilih partai ini dapat dilihat dari loyalitas pemilih dari waktu ke waktu. Hasil survei menunjukkan, setidaknya baru separuh (54 persen) pemilih Golkar yang tergolong loyal (Grafik). Yang berpindah dukungan masih tergolong besar.

Di satu sisi, daya tarik PDI- P mampu mengalihkan hingga 9 persen pendukung semula Golkar. Di sisi lain, Hanura, Gerindra, dan Nasdem bahkan mampu mengambil alih hingga 21 persen pendukung Golkar.

Namun, kehilangan dukungan Golkar masih terbalaskan dalam jumlah yang relatif sama dari para pendukung baru yang juga berasal dari Hanura, Gerindra, Nasdem, ataupun dalam jumlah yang lebih besar diperoleh dari masuknya para pendukung Demokrat. Hanya saja, secara total sekalipun sirkulasi dukungan tidak defisit, Golkar dihadapkan pada angka pertambahan yang relatif sedikit dengan mobilitas pemilih besar.

Sosok Aburizal menguat

Kedua, rapuhnya dukungan yang terjadi terkait dengan kualitas sosok yang diusung partai ini sebagai presiden. Hasil survei terbaru memang menunjukkan, Aburizal Bakrie, ketua umum partai yang diusung sebagai calon presiden, saat ini masih terbesar pendukungnya. Dari semua responden survei yang mengaku memilih Golkar, sebesar 40 persen memilih Aburizal. Dibandingkan dengan survei sebelumnya (35 persen), tidak terbantahkan jika belakangan ini terjadi penguatan sosok Aburizal dalam tubuh pemilih Golkar. Demikian pula hasil survei menunjukkan, kadar resistansi pemilih terhadap sosok Aburizal relatif menurun sekalipun kurang signifikan.

Akan tetapi, hasil survei juga menunjukkan loyalitas dukungan Aburizal masih rapuh. Hanya 45 persen yang tergolong loyal. Kehadiran sosok Jokowi, misalnya, mampu menyedot 29 persen pendukung Aburizal.

Keberadaan Wiranto, Prabowo, dan Jusuf Kalla juga tidak dapat diremehkan. Tidak kurang dari 14 persen pendukung Aburizal teralihkan oleh ketiga sosok tersebut. Bahkan, ancaman terbesar saat ini justru semakin meningkatnya penetrasi Wiranto bersama Hanura, yang mampu mengalihkan hingga 8 persen pendukung Aburizal.

Yang terjadi pada Golkar dan Aburizal Bakrie sebenarnya juga berlangsung mirip dengan yang terjadi pada para pendukung Partai Hanura, Nasdem, dan Gerindra. Barisan pendukung partai juga tergolong rapuh. Dari sisi luar partai, tarikan magnet Jokowi mampu mengalihkan pendukung Aburizal-Golkar, Wiranto-Hanura, Prabowo-Gerindra, dan juga Nasdem.

Sementara dari sisi internal, setiap sosok calon presiden dihadapkan pada derasnya mobilitas dukungan. Pada akhirnya, partai-partai itu pun berkutat dengan perebutan pengaruh di antara setiap sosok hingga cenderung mempertontonkan kondisi �saling memakan� dalam ceruk yang sama.

Ketika diperhadapkan pada kalkulasi politik pemilu mendatang, fenomena yang kini berlangsung pada tubuh Golkar menunjukkan betapa terjal jalan yang harus dihadapi.

Bestian Nainggolan, Litbang Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar