Kamis, 09 Januari 2014

Konvensi Belum Mendongkrak Demokrat

Bambang Setiawan

PARTAI Demokrat, sementara ini, tak lagi menjadi partai yang populer untuk dipilih seperti pada Pemilu 2009. Konvensi pun belum mampu menahan laju kemerosotan. Mengapa?

Suara Partai Demokrat diperkirakan turun cukup jauh dibandingkan dengan pada Pemilu 2009. Pada pemilu sebelumnya itu, Demokrat tercatat sebagai partai fenomenal. Suaranya terus melesat, dari partai papan menengah yang meraih 7,45 persen pada Pemilu 2004 kemudian menduduki posisi puncak perolehan suara dengan 20,85 persen dukungan pada Pemilu 2009.

Kepercayaan masyarakat yang sangat tinggi terhadap ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi kunci kesuksesan partai penguasa itu meraih dukungan luas dalam pemilu.

Akan tetapi, empat bulan menjelang Pemilu 2014, Partai Demokrat diprediksi menjadi sebuah partai yang mengalami kemerosotan tajam. Hasil survei Litbang Kompas, yang dilaksanakan enam bulan sekali, menunjukkan, Demokrat tak akan bertahan sebagai partai papan atas. Angka psikologis di atas 10 persen tampaknya makin jauh dari harapan.

Hasil survei terkini menunjukkan, Demokrat hanya meraih 7,2 persen suara, menyamai posisi awal kiprah partai ini, kembali ke pusaran partai papan menengah. Tren suaranya pun cenderung turun. Survei setahun sebelumnya tercatat 11,1 persen dan enam bulan lalu menjadi 10,1 persen. Tren ini, jika konsisten terus turun, akan melesakkan posisi partai ini makin jauh ke bawah pada saat pemilu nanti.

Gonjang-ganjing partai, setelah sejumlah kadernya terjerat kasus korupsi dan ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berpengaruh besar terhadap penurunan suara Demokrat. Bahkan, sekarang Demokrat menjadi partai yang paling tidak diinginkan untuk menang. Suara yang tidak menginginkan Demokrat menang sekarang 17 persen. Sementara yang menginginkan Demokrat menang hanya separuhnya, sekitar 8 persen.

Resistansi juga tak beranjak turun dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya, bahkan menunjukkan gejala menguat. Pada survei setahun lalu masih 12,2 persen, lalu menjadi 16,1 persen pada enam bulan lalu. Derajat penolakan yang membesar tampaknya telah menjepit partai ini dari segala upaya, termasuk usaha perbaikan lewat konvensi calon presiden.

Konvensi partai

Konvensi Partai Demokrat, yang mulai memperkenalkan 11 kandidat sejak September lalu, belum memiliki daya tarik yang signifikan untuk menopang kemerosotan suara. Cara yang mirip dilakukan Partai Golkar pada Pemilu 2004 itu tak membuat Demokrat mampu membangkitkan harapan baru.

Ada sejumlah hal yang membuat konvensi partai berlambang segitiga berlian tersebut tidak mampu menggerus resistansi masyarakat. Hal pertama adalah popularitas yang rendah dari tokoh-tokoh yang diikutkan dalam konvensi.

Dari 11 nama kandidat, hanya Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan yang cukup dikenal publik, itu pun tidak terlalu menonjol. Hanya 59,1 persen masyarakat yang mengenalnya.

Adapun tingkat pengenalan calon-calon lain berada di bawah 50 persen, malahan ada yang hanya 12,8 persen. Dengan tingkat pengenalan yang rata-rata rendah, sulit membuat konvensi Partai Demokrat menarik perhatian untuk ditonton sebagai pergelaran demokrasi.

Hal kedua adalah kualitas kepemimpinan peserta konvensi yang dinilai belum mencukupi untuk menjadi calon presiden. Bahkan, pada mereka yang mengenalnya, kualitas tokoh-tokoh yang disajikan hanya dinilai mendekati rata-rata, yakni skor 5,5. Tertinggi adalah Dahlan Iskan dengan rata-rata skor 6,39.

Penilaian yang cukup rendah terhadap kualitas kepemimpinan mereka membuat konvensi kurang gereget. Terlebih, di luar peserta konvensi beredar sejumlah nama yang ketokohannya dinilai lebih berkualitas oleh publik, dan menarik minat untuk diikuti perkembangannya.

Sulit bagi mereka untuk mengejar popularitas nama-nama seperti Joko Widodo (Jokowi), Prabowo Subianto, Jusuf Kalla, dan Megawati Soekarnoputri.
Apakah tahap debat kandidat antar-peserta konvensi yang mulai dilaksanakan awal Januari ini akan berpengaruh terhadap kekuatan Partai Demokrat pada hari-hari ke depan, sangat tergantung dari situasi politik secara keseluruhan.

Namun, menilik karakteristik pemilih Demokrat yang saat ini tersisa, kecil kemungkinan akan melahirkan sebuah gerakan moral untuk kembali mendukung partai ini.

Partai Demokrat sudah ditinggalkan pemilih yang progresif. Berdasarkan hasil analisis psikografis pemilih, yang tersisa pada simpatisan Demokrat lebih didominasi oleh pemilih dengan karakter konservatif (66,7 persen).

Mereka cenderung menginginkan status quo, atau mempertahankan nilai-nilai, keadaan, dan kondisi yang sudah ada, daripada menerima perubahan. Mereka tak tertarik kepada partai baru dan memilih pemimpin yang sudah pernah menjabat.

Yang cukup fatal dari karakter mereka adalah tidak menyukai pemimpin yang menawarkan ide baru. Meskipun memilih Demokrat, mereka belum tentu setia mengikuti acara konvensi yang mempertontonkan ide-ide baru.

Demokrat saat ini juga didukung kalangan yang memiliki kepentingan yang lebih pragmatis daripada idealis. Sebanyak 69,3 persen dari pemilih Demokrat mendukung partai ini karena didasarkan pada perhitungan untung-rugi. Janji atau pemberian yang langsung bermanfaat bagi kepentingan mereka menjadi daya tarik utama.

Kurang loyal

Idealisme yang coba dibangun sebagai partai yang demokratis tampaknya kini menemui jalan terjal. Partai Demokrat kurang dipandang sebagai sebuah entitas organ politik, tempat orang menggapai cita-cita berbangsa, tetapi sebagai kelompok yang dapat memberi manfaat seketika.

Mereka memilih partai ini lebih karena hubungan dengan calon daripada keterikatan ideologis kepada lembaga, sebagaimana dinyatakan 84,2 persen responden pemilih Demokrat.

Sikap kurang loyal juga ditunjukkan 62,7 persen pemilih partai tersebut. Mereka cenderung tidak akan mengajak orang lain untuk memilih partai pilihan mereka dan tidak melakukan pembelaan ketika partainya dipermalukan.

Dalam ranah kepribadian pemilih yang demikian, masyarakat luas juga sekarang makin ragu, apakah Partai Demokrat lebih cenderung sebagai partai yang demokratis ataukah paternalistis. Pendapat ini terbelah sama kuatnya.

Lewat konvensi seharusnya Demokrat menyajikan pertunjukan demokrasi. Namun, kuatnya pengaruh lembaga dewan pembina membuat partai ini diragukan akan menghasilkan sebuah keputusan demokratis.

Bergerak dalam ruang paternalistis, jangan sampai konvensi sekadar menjadi tarian demokrasi.

Bambang Setiawan,  Litbang Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar