Rabu, 22 Januari 2014

Masa Depan Mesir Pascareferendum

Mohamad Guntur Romli

RAKYAT Mesir baru selesai memberikan pilihan atas konstitusi baru yang diajukan dalam referendum, 14-15 Januari lalu.

Menurut KPU Mesir melalui website resmi  (www.elections.eg), sebanyak 98,1 persen rakyat Mesir memilih muwafiq (setuju), sedangkan sisanya menolak. Partisipasi pemilih hanya 38,6 persen atau 20 juta lebih yang memberikan suaranya dari 53 juta pemilih yang terdaftar (18/1).

Pertanyaan yang penting diajukan: apakah referendum ini merupakan arus balik dari proses demokratisasi di Mesir yang sem- pat diintervensi militer Mesir atau hanya arus pendorong bagi suksesnya calon pemimpin militer yang disebut-sebut berpotensi diktator seperti Jenderal Abdel Fattah Sisi yang menggulingkan Presiden Muhammad Mursi pada Juli 2013?

Untuk waktu yang pendek, hasil referendum ini tidak mengubah kondisi psiko-politik Mesir yang tetap dalam pusaran �harap dan cemas�. Meski ada harapan referendum ini bisa menghentikan konflik berdarah dan korban jiwa yang terus berjatuhan, kecemasan tetap saja menghantui karena partisipasi pemilih yang rendah tak akan menjanjikan banyak pada legitimasi dan stabilitas pemerintahan.

Namun, rendahnya partisipasi rakyat Mesir dalam referendum konstitusi bukan hanya pada tahun ini saja. Apalagi referendum ini tengah diboikot kubu oposisi: kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) dan pendukung Muhammad Mursi, presiden yang dimakzulkan.

Jika kita membandingkan hasil Referendum 2014 dengan Referendum Konstitusi 2012 yang digelar pada era Mursi, hasilnya lebih dua kali lipat.  Dalam referendum kala itu, partisipasi pemilih hanya 32 persen atau hanya 17 juta rakyat Mesir yang memilih dari 52 juta orang yang punya hak suara. Hasilnya: 10 juta (63 persen) mendukung, 6 juta lebih (36 persen) menolak. Adapun pada Referendum 2014 hampir 20 juta orang rakyat Mesir setuju.

Rendahnya partisipasi pada Referendum 2012 dan kecilnya jumlah pendukung Presiden Mursi, yang berarti hanya 10 juta (20 persen) dari 52 juta rakyat Mesir yang punya hak suara, membuat kepemimpinan Mursi pada posisi titik nadir. Akhirnya ia dan kelompoknya, IM, terpental dari kursi kekuasaan.

Kita bisa membandingkan hasil Referendum 2014 dengan Referendum 2011, saat itu rakyat Mesir masih bersatu dan mengalami euforia dengan tumbangnya rezim Mubarak. Partisipasi rakyat Mesir hanya 41,9 persen. Geliat partisipasi rakyat Mesir baru terlihat pada pemilu legislatif  (54 persen) dan pemilihan presiden (51,8 persen).

Bagi kubu pendukung penggulingan Mursi yang kini memilih �setuju� untuk konstitusi baru, hasil referendum ini dimaknai sebagai pencerabutan legitimasi pemerintahan Mursi dan kelompok IM. Menurut Nadir Bakar, juru bicara Partai an-Nur yang salafi dan oportunis, hasil referendum ini menunjukkan kekalahan politik kelompok IM dan ia pun meminta agar mereka melakukan introspeksi dan koreksi (al-Ahram, 18/1).

Alaa Aswany, seorang novelis dan aktivis yang paling vokal, mengkritik pemerintahan Mursi dalam sebuah kolomnya di almasryalyoum.com (13/1). Ia
menyatakan bahwa pilihan �setuju� pada Referendum 2014 tidak hanya setuju pada Konstitusi baru, tetapi juga dukungan pada penggulingan Mursi yang hakikatnya berasal dari gerakan rakyat Mesir dan bukan kudeta militer.

Mencemaskan

Namun, kondisi ini sekaligus mencemaskan. Dengan popularitas Jenderal Abdel Fattah Sisi, Menteri Pertahanan, Panglima Angkatan Bersenjata Mesir, dan Wakil Perdana Menteri  yang semakin moncer, tidakkah ini tanda munculnya pemimpin militer yang diktator seperti presiden-presiden Mesir sebelumnya?

Inilah tantangan ke depan bagi kelompok prodemokrasi di Mesir untuk terus mengawal revolusi Mesir agar tidak terjatuh kembali pada kepemimpinan diktator, baik atas nama agama�dengan tergulingnya Mursi dan IM�maupun dalam bentuk militerisme.

Bagi Alaa Aswany, tidak ada pilihan bagi Jenderal Sisi jika hendak maju sebagai presiden: harus mengundurkan diri dari militer. Ia juga harus mengikuti prosedur pemilihan: menyatakan mencalonkan, menyiapkan program, menawarkan kepada rakyat, dan bersedia menjadi pelayan rakyat. Sisi tidak bisa bersikap munafik seperti Mubarak dulu, pura-pura tidak bersedia mencalonkan sebagai presiden setelah masa baktinya purna dengan membangun kerumunan dukungan massa dengan cap darah (yang kemudian terbongkar darah itu dari ayam, bukan jempol manusia).

Konstitusi Mesir yang baru pun memberikan jaminan tidak akan muncul diktator baru. Selain masa jabatan presiden dibatasi hanya dua periode, kewenangannya tidak sebesar seperti era Mursi sebelumnya. Presiden tidak memiliki kewenangan membubarkan parlemen atau memutuskan sebuah referendum kecuali atas persetujuan parlemen.

Sebaliknya parlemen bisa mengajukan mosi tidak percaya kepada presiden dan menuntut pemilihan dini. Aturan ini tidak ada dalam Konstitusi 2012.  Melalui konstitusi baru, sistem pemerintahan Mesir menjadi semipresidensial. Presiden pun berbagi kekuasaan tidak hanya dengan lembaga legislatif dan yudikatif, tetapi juga dengan perdana menteri.

Pengalaman rakyat Mesir yang berkali-kali dipimpin diktator tampaknya menjerikan mereka dengan menyusun sebuah konstitusi yang tidak memberikan kesewenangan yang absolut kepada penguasa.

Dengan kondisi psiko-politik Mesir yang masih rawan dan konstitusi baru yang tidak memberi kekuasaan mutlak pada presiden serta gelombang protes rakyat Mesir yang mudah pasang, Jenderal Sisi atau siapa pun yang akan mencalonkan diri sebagai presiden Mesir nanti akan menemui jalan buntu jika ingin menjadi seorang diktator.

Mohamad Guntur Romli, Pengamat Politik Timur Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar