Kamis, 23 Januari 2014

Perdagangan Karbon dan Perangkap Komodifikasi

Andri G Wibisana

PERTEMUAN tahunan perubahan iklim menyisakan berbagai ketidakpastian tentang masa depan perjanjian pengganti Protokol Kyoto. Meski demikian, Sekretaris Eksekutif Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) Christiana Figueres memastikan bahwa Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) dan penurunan emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan (REDD+) memiliki peluang besar untuk dimasukkan ke dalam perjanjian tersebut.

Banyak pihak mungkin menyambut perkembangan ini sebagai hal yang mengutungkan Indonesia. Saya lebih memilih untuk bersikap hati-hati terutama jika CDM dan REDD+ diletakkan dalam kerangka perdagangan karbon.

Perlu internalisasi

Ekonom melihat pencemaran sebagai sebuah eksternalitas, yaitu biaya yang tidak dihitung dalam pengambilan keputusan sehingga menjadi biaya sosial. Karena itu, eksternalitas perlu diinternalisasi.

Dimulai di Amerika Serikat untuk pengurangan SO2 dan NOx tahun 1990-an, cap-and- trade sering dijadikan contoh keberhasilan mekanisme pasar untuk mendorong internalisasi. Dalam cap-and-trade, pemerintah menentukan besaran cap berupa kuota emisi bagi industri tertentu di wilayah tertentu.

Mereka yang berhasil menurunkan emisi memiliki sisa emisi yang bisa dijual kepada pihak lain yang emisinya melebihi kuota (Percival, et al, 2013:624-625).

Keberhasilan cap-and-trade di AS mendorong beberapa negara menerapkan metode ini dalam payments for environmental services (PES), perdagangan karbon di bawah rezim Protokol Kyoto, atau proposal pendanaan proyek REDD+. Gagasan dasarnya tetaplah sama: komodifikasi fungsi ekologis lingkungan.

Dalam sebuah artikel, Corbera menunjukkan bagaimana komodifikasi alam terjadi di dalam konteks REDD+, ditandai dengan pengisolasian fungsi ekologis alam. Fungsi hutan sebagai penyerap karbon dipisahkan dari fungsi ekologis hutan lainnya, serta diukur dalam jumlah ton CO2 yang diserap. Melalui proses monitoring, pelaporan, dan verifikasi, jumlah ton CO2 memperoleh �nilai ekonomi� sehingga dapat diperjualbelikan (Corbera, 2012: 613).

Kosoy dan Corbera menyatakan, proses isolasi fungsi lingkungan seperti ini merupakan bentuk fetisisme komoditas. Isolasi ini memungkinkan diuangkannya alam, tetapi gagal melihat kompleksitas fungsi ekologis. Hubungan manusia dengan alam pun direduksi menjadi hubungan dagang (Kosoy dan Corbera, 2010: 1231-1232). Alam tidak lagi dinilai dalam konteks fungsi sosial, budaya, dan relasi ekologisnya dengan manusia.

Logika pasar

Di samping berpotensi mereduksi fungsi ekologis alam dan relasi alam-manusia, model perdagangan karbon juga dapat mengubah motivasi konservasi menjadi sepenuhnya mengikuti logika pasar.

Akibatnya, tidak ada jaminan bahwa konservasi lingkungan akan tetap dilakukan jika harga karbon jatuh atau jika opportunity costs konservasi meningkat. Logika pasar memaksa kita untuk melakukan trade-off antara fungsi ekologis alam dan komoditas.

Di sisi lain, perdagangan karbon dicurigai hanyalah cara negara maju agar mereka dapat memenuhi target penurunan emisi dengan membeli jatah emisi atau sertifikat penurunan emisi dari negara lain, tanpa harus menurunkan emisi serta mengubah pola produksi dan konsumsi di dalam negeri.

Cara seperti ini dikhawatirkan tidak saja menimbulkan penjajahan baru, �CO2-lonialism�, tetapi juga akan menjauhkan kita dari upaya serius mencegah pemanasan global (Takacs, 2010: 570; Anderson, 2012: 7).

Perdagangan karbon pun dikhawatirkan mengabaikan aspek keadilan. Dalam konteks ini, beberapa kalangan berulangkali menyampaikan kekhawatiran bahwa jika tidak dilaksanakan secara hati-hati, proyek semacam REDD+ bisa mengukuhkan ketidakadilan sosial yang semakin memarjinalkan masyarakat adat.

Perubahan iklim

Salah satu hal yang menjadi alasan keberhasilan cap-and-trade adalah target penurunan emisi serta adanya ancaman sanksi bagi mereka yang emisinya melampaui kuota.

Penetapan kuota yang terlalu longgar akan membuat harga emisi jatuh, seperti terjadi di pasar emisi Eropa ketika harga kredit karbon turun dari 40 euro per ton karbon menjadi hampir nol hanya dalam waktu dua tahun (Hunter dan Lacasta, 2010: 584-585).

Sayangnya, baik kuota emisi yang signifikan maupun ancaman pemberian sanksi yang kredibel, justru absen dalam rezim perubahan iklim internasional.
Kuota emisi yang diharuskan oleh Protokol Kyoto atau dijanjikan oleh negara maju masih jauh dari mencukupi (UNEP, 2013). Penegakan hukum dan penjatuhan sanksi bukan pula perkara yang mudah dalam hukum internasional.

Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya sanksi hukum apa pun terhadap AS yang menolak meratifikasi Protokol Kyoto, terhadap Kanada yang menarik diri dari Protokol, atau terhadap Rusia, Jepang, dan Selandia Baru yang menolak berkomitmen menurunkan emisi pasca-2012.

CDM dan REDD+ dapat saja memiliki peranan cukup penting. Namun ketika keduanya dianggap sekadar peluang dagang, maka Arsel dan B�scher menyatakan: �Nature is dead. Long live NatureTM Inc...!� (Arsel dan B�scher, 2012: 53).

Untuk itu diperlukan rambu-rambu agar CDM dan REDD+ benar-benar berfungsi sebagai mekanisme penurunan emisi yang efektif, adil, dan jujur. Saya percaya, perubahan iklim terjadi karena kegagalan pasar. Karena itu, menjadikan pasar sebagai mekanisme utama penurunan emisi adalah tidak tepat.

Andri G Wibisana,  Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum UI; Visiting Scholar pada Center for Climate Change Law, Columbia University Law School 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar