Selasa, 21 Januari 2014

Membangun Industri Nasional

Davy Hendri

ANJLOKNYA neraca perdagangan Indonesia merupakan masalah serius. Gara-gara terlena terus mengandalkan ekspor produk primer, neraca perdagangan Indonesia defisit sejak 2012 begitu harga komoditas anjlok dipukul krisis ekonomi global. Hal ini ditengarai lewat tekanan defisit transaksi berjalan di Indonesia yang lebih bersifat struktural.

Booming ekspor komoditas menyebabkan pemerintah lalai meningkatkan kapasitas industri dalam negeri untuk menghasilkan bahan baku.

Dari catatan data investasi asing yang masuk, sebagian besar menerjuni industri manufaktur barang akhir yang produknya dipasarkan di dalam negeri, sementara bahan bakunya didatangkan dari luar negeri karena manufakturnya tidak dibangun di sini.

Strategi industrialisasi

Fakta ini menegaskan bahwa daya saing ekonomi dan pertumbuhan terletak pada pelaksanaan industrialisasi yang kuat, dari hulu hingga hilir.

Persaingan bangsa ke depan akan ditentukan keunggulan industri manufaktur berteknologi tinggi, hingga produk menembus pasar ekspor.

Oleh karena itu, program industrialisasi yang tepat harus menjadi agenda utama. Apalagi, sumbangan sektor industri terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional kian turun (ancaman de-industrialisasi).

Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang kebijakan industri nasional pada dasarnya berfokus pada pertumbuhan kluster industri prioritas yang analisis daya saing internasional serta pertimbangan besarnya potensi (lokal) Indonesia.

Konsep ini mengintroduksi strategi pengembangan jaringan (networking) industri dengan bertumpu pada keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai (value chain) dari industri, termasuk kegiatan dari industri pendukung (supporting industries), industri terkait (related industries), industri penyedia infrastruktur, dan industri jasa penunjang lainnya.

Sebuah strategi komprehensif yang mempertimbangkan berbagai prasyarat utama menuju keberhasilan industrialisasi.

Agaknya, strategi hanya indah di atas kertas. Konsistensi dan implementasi jauh panggang dari api.

Misalnya, seharusnya saat ini Indonesia sudah menjadi eksportir utama produk cokelat olahan (bukan biji cokelat) dan turunannya, sebagai industri unggulan dalam kluster industri makanan dan minuman.

Kenyataannya, bubuk cokelat (cocoa powder) berkualitas sebagai prasyarat keterjaminan rantai pasok (supply chain) produk cokelat dan turunannya yang berorientasi ekspor tadi tidak kunjung tersedia.

Meskipun tanaman cokelat berlimpah, Indonesia �lebih memilih� menjadi eksportir biji cokelat (cacao bean) ketiga terbesar di dunia.

Kemampuan petani lokal untuk menyediakan biji kakao terfermentasi dengan kualitas baik yang nilai mentahnya dalam sebatang cokelat cuma sekitar 18 sen dollar AS dan riset serius dalam pengolahan biji cokelat sampai produk akhir berupa cokelat batangan seharga 70 sen dollar AS (Dayo Mejabi, 2012) masihmissing link sampai saat ini.

Pelajaran dari China

China dikenal ketat dalam penerapan konsep kandungan lokal untuk membangun industrinya (local contentism). Bagi China, kandungan lokal bukan hanya sekadar stempel tingkat komponen dalam negeri (TKDN) versi Indonesia seperti dalam kasus cokelat.

China telah mengembangkan peta pembangunan kandungan lokal sejak 1990-an terutama dengan bertumpu kepada pengembangan kemampuan lokal sebagai faktor penting.

China amat menyadari pertumbuhan industri merupakan hasil keterkaitan antara tuntutan kebutuhan didirikannya (demand) dan kemampuan memenuhi suatu industri (supply).

Kemampuan lokal seperti pendidikan, keterampilan dan pengembangan keahlian, transfer teknologi dan know-how, serta penelitian aktif merupakan portofolio pengembangan sektor manufaktur dan jasa dari perusahaan lokal.

Begitu pentingnya hal ini bagi China sehingga adagium yang dibangun adalah technology for market dan short-term sales for long-term competition.
Intinya, China membukakan pintu pasar domestiknya selebar-lebarnya bagi perusahaan MNC dari mana pun asal mau membagi ilmu dan teknologinya kepada buruh dan perusahaan lokal China.

Sampai hari ini, banyak perusahaan MNC telah bersedia untuk transfer teknologi di China. Mulai dari Motorola Incorporated yang menanam lebih dari 300 juta dollar AS ke 19 pusat penelitian teknologi di China.

Microsoft Corporation memiliki pusat riset di Beijing dengan mempekerjakan lebih dari 200 peneliti. Siemens AG juga menghabiskan lebih dari 200 juta dollar AS sejak tahun 1998 bekerja sama dengan lembaga akademis China untuk mengembangkan teknologi ponsel untuk pasar China (Kranhold, 2004).

Strategi kandungan lokal �abu-abu� ini menghindarkan China, yang baru bergabung sebagai anggota World Trade Organization (WTO) ke-143 pada tahun 2001, dari tudingan pelanggaran beberapa pasal di dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).

Seperti pasal mengenai perjanjian tentang Subsidies and Countervailing Measures (SCM), Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) dan Trade-Related Investment Measures (TRIMs).

China tentu bukanlah satu-satunya negara berkembang yang mendorong transfer teknologi asing. Namun, ukuran pasar yang luar biasa menjadikan perusahaan MNC �takluk di bawah kaki� China.

Taktik cerdik dan penggunaan senjata pamungkas yang sebagian besar negara lain tidak memilikinya, menjadikan China pemenang perang dagang dengan beberapa negara kompetitor dan WTO pada hari ini.

Davy Hendri, Dosen IAIN Imam Bonjol, Padang; Mahasiswa Program Doktoral pada Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar