Rabu, 01 Januari 2014

Menghitung UMK Pekerja Nonformal

Sjamsoe�oed Sadjad

HARIAN Kompas, November 2013 lalu, memuat penetapan upah minimum kabupaten/kota, dikenal sebagai UMK-, di sejumlah daerah. UMK untuk Surabaya, misalnya, diusulkan Rp 2,2 juta, sedangkan di Bali ditetapkanRp 1,325 juta. Katakan itu upah sebulan kerja, upah per hari di Surabaya yang diharapkan adalah Rp 70.000 dan di Bali Rp 40.000.

Kalau batas garis kemiskinan 2 dollar AS per hari atau sekitar Rp 20.000, UMK di dua daerah itu telah menunjukkan upaya pengentasan orang miskin. Namun, sektor nonformal mungkin belum terjangkau UMK. Katakan upah minimum pekerja di rumah tangga atau pekerja tani.

Dalam penentuan UMK sektor nonformal perlu dipertimbangkan faktor kultural, kemanusiaan, atau risiko alami. Saya mencoba hitung apakah upah bulanan yang dibayarkan kepada pekerja rumah tangga (PRT) sudah mendekati UMK. PRT suami-istri di tempat bekerja bertugas empat hari seminggu atau rata-rata 17 hari sebulan, berarti 55 persen per bulan, sedangkan sehari hanya sekitar tiga jam atau 43 persen per hari. Kedua angka itu kalau saya jadikan fungsi hitungan upah pekerja nonformal terhadap upah pekerja formal menjadi 23,65 persen.

Kalau UMK sebagaimana saya kemukakan di atas untuk Surabaya dan Bali Rp 70.000 dan Rp 40.000 saya jadikan rujukan, UMK yang harus dibayarkan adalah Rp 16.555 dan Rp 9.460 per hari atau Rp 496.650 dan Rp 283.800 per bulan. Jika upah PRT ini Rp 350.000 sebulan, UMK Surabaya-Bali tidak terlalu dekat dengan garis kemiskinan. Apalagi, selain uang bulanan, setiap hari setelah bekerja, PRT juga membawa pulang nasi dan lauk-pauk. Suami PRT juga membantu mengurusi kebersihan halaman dan kebun dan menerima gaji bulanan sama dengan istrinya. Menjelang Lebaran, suami-istri PRT itu selalu mendapat gaji ke-13 dan pakaian baru.

Buruh tani

Dari contoh upah untuk PRT, saya coba menghitung upah minimum pekerja di pertanian. Saya merujuk data jumlah jam kerja tani padi sawah dari Vademekum Pertanian yang diterbitkan Pusat Jawatan Pertanian Rakyat tahun 1957. Dengan demikian, pengerjaannya masih serba tradisional. Misalnya, membalik tanah dengan tenaga sapi atau kerbau dan panenan yang mengandalkan tenaga perempuan.

Dalam tabloid Sinar Tani, media yang diterbitkan Kementerian Pertanian Edisi 16-22 Oktober 2013 Nomor 3528, ada rubrik Agriwacana tentang penghasilan minimum petani. Pekerjaan tani padi sawah banyak variasinya, misalnya jenis tanah, sistem pengairan, pemupukan, pengelolaan, dan jenis padinya. Kesimpulan saya, betapa rumit menentukan upah minimum untuk pekerja tani di sawah meski pengupahan tradisional bisa jadi pegangan.

Kalau petani pemilik lahan tidak bersedia mengolah padi sawahnya, ia lalu menyerahkan kepada petani lain sebagai penggarap dengan upah separuh hasil. Sementara upah pekerja tani perempuan yang memanen seperlima hasil panen. Inilah yang disebut faktor kultural.

Bertolak dari model fungsi persentase jumlah jam kerja sehari dan persentase jumlah hari kerja seminggu, mungkin UMK untuk pekerja nonformal bisa saya hitung. Menurut catatan buku Vademekum Pertanian, jumlah tenaga kerja untuk pengelolaan padi sawah di Malang, Jawa Timur, adalah tenaga laki-laki 563 jam dan perempuan 1.464 jam.

Kalau tenaga perempuan dihargai setengah tenaga laki-laki dalam perhitungan upah, jumlah tenaga laki-laki yang diperlukan 563 + � x 1.464 = 1.295 dan jumlah tenaga perempuan 2 x 563 + 1.464 = 2.590. Misalnya produk beras yang dihasilkan 3 ton dan setengahnya sebagai upah tenaga laki-laki, dengan harga beras Rp 6.000 per kilogram, diperoleh Rp 9 juta. Dengan demikian, upah per jam laki-laki adalah Rp 6.949 dan tenaga perempuan Rp 3.474. Upah ini termasuk upah petani sebagai manajer merangkap pekerja tani, bukan upah pekerja tani saja.

Petani manajer

Saya perhitungkan dari data Vademekum Pertanian ada 27-33 persen tenaga laki-laki. Kalau upah petani sebagai manajer tidak diperhitungkan dan hanya pekerja tani laki-laki yang membantu, UMK pekerja tani laki-laki Rp 2.700.000 dan UMK upah pekerja tani perempuan adalah Rp 1.350.000.

Perbedaannya, pekerja industri formal bekerja saban hari dan menerima gaji bulanan, sedangkan pekerja tani nonformal hanya bekerja beberapa hari dalam satu musim. Akibatnya, upah yang diterima petani untuk periode empat bulan sama dengan pekerja industri satu bulan. Dengan kata lain, upah kerja pekerja tani hanya menjamin kehidupan satu bulan. Untuk yang tiga bulan, mereka harus mencari penghasilan yang lain sehingga perlu program industrialisasi pedesaan.

Tanpa itu, pekerja tani laki-laki dan perempuan akan mengalir ke kota atau ke luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia.

Sjamsoe�oed Sadjad,  Guru Besar Emeritus Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar