Jumat, 10 Januari 2014

Politik Pesisir 2014

Arif Satria

DI pengujung 2013 akhirnya revisi UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil disahkan.

Pro-kontra menyertai proses revisi tersebut. Melanjutkan tulisan saya (Kompas, 16/11/ 2013), ada sejumlah catatan terkait pasal-pasal kontroversial dalam revisi UU tersebut dan bagaimana implementasinya pada 2014.

Rezim izin

Pada Pasal 16 ditegaskan bahwa setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki izin lokasi, yang menjadi dasar pemberian izin pengelolaan.
Pertama, ternyata izin lokasi wajib bagi semua pengguna, termasuk masyarakat tradisional, kecuali  masyarakat hukum adat. Ini untuk menciptakan akuntabilitas pemanfaatan pesisir.

Pola pengaturan izin lokasi seperti ini menggunakan prinsip kesetaraan: masyarakat dan pengusaha punya status hukum yang sama, yakni pemegang izin lokasi. Tapi ada pepatah: �equality is not always justice�. Ada kekhawatiran, pengusaha dan masyarakat tak mungkin setara. Keduanya punya akses dan kemampuan administratif berbeda.

Mestinya izin lokasi memang hanya bagi pengguna yang eligibel mendapatkan izin usaha dan masyarakat tradisional dapat diperlakukan secara khusus melalui instrumen registrasi yang lebih ringan. Tapi, karena revisi UU ini sudah disahkan, dalam peraturan pemerintah nanti perlu ada mekanisme afirmatif yang berbeda untuk masyarakat tradisional. Mereka harus diperlakukan khusus sehingga akses untuk pemanfaatan pesisir tak terganggu.

Kedua, terminologi izin pengelolaan dalam UU ini ternyata dimaknai sebagai izin untuk pemanfaatan. Ini agak rancu. Secara saintifik, terminologi pengelolaan lebih bermakna pada pembuatan dan pelaksanaan aturan main. Tampaknya penyusun UU ini memilih terminologi �izin pengelolaan� untuk mengganti istilah �izin pemanfaatan� yang dianggap berkonotasi eksploitasi, meski sebenarnya merupakan istilah saintifik yang netral.

Sasaran tembak lain terhadap revisi UU ini tentang investasi asing, yang kini mulai diatur. Kekhawatiran sebagian LSM terhadap pasal ini sangat beralasan, mengingat pada kenyataannya pelaku usaha asing di pesisir, khususnya wisata bahari, sering menimbulkan konflik dengan masyarakat nelayan tradisional. Ini terjadi karena akses pada lahan di pulau kecil selalu diikuti klaim pada wilayah perairan terdekatnya dan nelayan sering ditutup aksesnya, baik untuk menangkap ikan maupun sekadar menambatkan perahu di pantai.

Dalam kajian agraria, kasus ini bisa disebut �pencaplokan� pesisir dan dalam ekologi-politik Bryant dan Bailey (2000) tergolong �tragedi pemagaran�. Hal ini menjadikan nelayan sekadar tamu di lautnya sendiri.

Namun, tampaknya UU ini juga menyadari realitas itu sehingga persyaratan untuk investasi asing tidak semudah yang dibayangkan. Pasal 26A menegaskan, pemanfaatan pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin menteri setelah ada rekomendasi bupati/wali kota. Syaratnya, pihak asing tersebut: a) merupakan badan hukum berbentuk perseroan terbatas, b) menjamin akses publik, c) di lokasi tidak berpenduduk, d) belum ada pemanfaatan oleh masyarakat lokal, d) bekerja sama dengan peserta Indonesia, e) melakukan pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia, f) melakukan alih teknologi, dan g) memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan.

Persyaratan tersebut merupakan bentuk kompromi dari pro-kontra investasi asing di wilayah pesisir. Tantangannya adalah bagaimana syarat-syarat tersebut bisa diterapkan sehingga asing tidak merajalela.

Implementasi 2014

Bagaimana implementasi hasil revisi UU ini? Pertama, hal yang penting bukan pada pengaturan pemanfaatan pesisir yang akan datang, melainkan justru pada bagaimana membereskan kasus-kasus saat ini yang bertentangan dengan UU. Hal ini karena pengaplingan pesisir secara ilegal telah terjadi, khususnya oleh pengusaha asing wisata bahari yang saat ini masih dominan. Begitu pula budidaya mutiara oleh pihak asing yang apabila beroperasi di wilayah perikanan tradisional dan bermasalah dengan masyarakat, menurut UU ini mestinya direlokasi ke wilayah perairan yang tidak ada aktivitas nelayan lokal.

Sementara itu, dalam menyikapi membeludaknya budidaya rumput laut oleh masyarakat yang juga berpotensi menimbulkan �pengaplingan�, lokasinya perlu ditata bersama-sama mereka supaya usaha ekonominya terlindungi dan akses publik tetap terjaga. Di sinilah urgensi hadirnya organisasi lokal yang kuat sehingga mampu bersama mengelola wilayah pesisir sebagai wilayah komunal dan bukan wilayah individual mereka.

Kedua, pada tahun 2014 perlu sosialisasi publik yang intensif kepada pemangku kepentingan dan semua pemerintah daerah. Sebab, sangat sedikit daerah yang sudah memiliki rencana strategis dan rencana zonasi pesisir meski diamanatkan UU. Padahal dokumen perencanaan ini merupakan dasar pengelolaan pesisir yang di dalamnya diatur soal izin lokasi dan pemanfaatan.

Ketiga, mekanisme perlindungan akses masyarakat terhadap pemanfaatan dan pengelolaan pesisir perlu diperkuat. Hal ini karena pengelolaan pesisir bukan semata untuk kelestarian lingkungan dan estetika, melainkan juga harus menyejahterakan masyarakat. Spirit ini mestinya mewarnai peraturan pemerintah yang harus selesai awal 2014.

Arif Satria, Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB; Anggota Dewan Kelautan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar