Rabu, 01 Januari 2014

Presiden, GBHN, dan Masa Depan

Jannus TH Siahaan

DAPATKAH seseorang menentukan masa depan orang lain? Dapatkah seorang presiden menentukan masa depan bangsanya?

Beberapa orang butuh alasan teologis untuk menjawab pertanyaan di atas, tetapi beberapa lainnya melihat masa depan sebagai keniscayaan hidup. Kepercayaan kepada ketetapan Tuhan yang absolut adalah alasan teologis kenapa seseorang tak dapat menentukan masa depan orang lain. Karena kepercayaan akan adanya kehendak bebas Tuhan, maka manusia bisa ambil bagian menentukan masa depan.

Dalam konteks inilah, sebagai bangsa kita sepakat membuat begitu banyak konsensus untuk begitu banyak kepentingan dalam kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan. Konsensus dibuat atas dasar kesamaan pandang dengan mengeliminasi sejauh mungkin perbedaan pandang. Kesamaan pandang adalah nilai universal yang jauh dari egosentrisme, sedangkan perbedaan pandang adalah pengejawantahan lain dari egosentrisme. Kita teguhkan yang pertama, kita abaikan yang kedua.

�Pulau idaman�

Guna mencapai cita-cita hidup berbangsa bernegara, kita pilih seorang presiden. Karena amanah yang diembannya, seorang presiden tentulah sosok yang istimewa di antara yang sedikit. Di seluruh dunia, jumlah presiden bisa dihitung dengan jari. Mereka representasi Tuhan di pentas kehidupan. Di tangan presiden, masa depan bangsa dipertaruhkan. Jika ia amanah, masa depan bangsa terjaga, tetapi jika khianat, masa depan tergadai. Tanggung jawab seorang presiden sifatnya dunia dan akhirat.

Kekuasaan presiden di negara mana pun, juga Indonesia, sifatnya tak terbatas. Ia bisa melakukan apa saja atas nama rakyat: mengeksplorasi kekayaan tambang di bumi Indonesia; menguasai udara, samudra, dan lautan luas. Ia pun bisa menjalin hubungan dengan bangsa lain atas nama rakyat, sebagaimana ia bisa memutuskan hubungan diplomatik dengan negara lain atas nama bangsa. Ia berdiri di podium PBB atas nama bangsa.

Ia berkuasa mengirim pasukan tentara perdamaian di luar negeri atas nama bangsa. Ia juga bisa menerjunkan pasukan perang untuk menumpas pemberontakan di dalam negeri atas nama rakyat. Karena tanggung jawabnya kepada bangsa, Soekarno pernah menarik keanggotaan Indonesia di PBB. Atas nama bangsa pula, Soekarno menggagas Konferensi Asia Afrika. Begitu pula Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Ketika berkuasa, rakyat belum sempat memberi Soekarno garis kebijakan agar dapat mengelola kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat dengan benar. Rakyat hanya berharap Soekarno memimpin mereka menggapai masa depan. Karena situasi dan gaya kepemimpinannya, Soekarno nyaris tak bisa dikontrol, sampai akhirnya gerakan politik menjatuhkannya. Soeharto punya cara pandang dan cara kelola negara yang berbeda. Ia rapi, detail, tetapi koersif dan dingin. Di bawah Soeharto, Indonesia membeku.

Namun, rakyat berharap Soeharto memimpin bangsa menuju masa depan yang lebih baik. Agar tidak seperti Soekarno, Soeharto dikontrol dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Karena gaya kepemimpinannya yang otoriter, Soeharto juga tak terkontrol. Ia berkuasa kurang lebih 32 tahun, melampaui Soekarno. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Soeharto pandai mengelabui, mengubah UU sesuai kepentingan kekuasaannya, serta menyiasati agar GBHN dapat disusun sesuai ambisinya.

Ketika Habibie menggantikannya, Soeharto satu di antara sedikit penguasa senior Asia Tenggara yang tersisa. Habibie yang jago teknologi dan seorang teknokrat hanya memimpin di masa transisi. Rakyat belum sepenuhnya percaya Habibie akan mampu menjadi nakhoda kapal pecah menuju pulau harapan masa depan. Rakyat tak mau era Soekarno kembali dan traumatis terhadap era Soeharto. Hingga akhirnya Habibie terjatuh, hanya ada dua diktum yang membara di memori rakyat: enyahkan Orde Lama dan Orde Baru.

Yang mereka inginkan cuma satu: Orde Reformasi. Orde yang mengamanatkan restorasi semua konsensus, termasuk mengamandemen beberapa pasal krusial dalam UUD 1945, sebuah tindakan berbau tabu di era Orde Baru. Banyak ayat dan pasal hilang dan dihilangkan atas nama tuntutan reformasi. Bahkan, GBHN yang semangatnya untuk mengontrol kekuasaan yang eksesif sekalipun diamendemen, tak lagi dijadikan pedoman bagi seorang presiden dalam memperjuangkan cita-cita bangsa.

Presiden Abdurrahman Wahid yang moralis humanis, Presiden Megawati yang politikus proletar, dan Presiden Yudhoyono yang jenderal produk dwifungsi ABRI dan berbau Orde Baru tak bisa berbuat banyak. Mereka hanya diberi satu kata: masa depan. Kepada mereka tak diberikan GBHN. Mereka diminta berjalan lurus ke depan, jangan menoleh ke belakang, bawalah rakyat menuju �Pulau Idaman�. Mereka adalah representasi pemimpin-pemimpin yang diamanahi banyak hal, tetapi tak dibekali aturan yang jelas dan mengikat.

Keniscayaan hidup

Konsekuensinya, mereka bertiga jadi bulan-bulanan. Bahkan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur jadi tumbal reformasi. Ia dijatuhkan dengan alasan yang hingga kini tidak jelas landasan konstitusionalnya. Pemerintahan Megawati dan Yudhoyono juga mengalami problem dalam berbagai hal.

Kini, setelah dua dekade terombang-ambing dalam lautan ketidakpastian, suara-suara yang menginginkan GBHN kembali muncul. Mereka berdalih, cukuplah masa depan kita yang tidak tergadai, tetapi anak cucu bangsa ini harus tetap memiliki masa depan.

Hanya dalam hitungan hari, kita akan meninggalkan tahun 2013 untuk menghadapi tahun 2014. Demikianlah keniscayaan hidup. Tidak ada masa depan tanpa ada masa lalu. Masa lalu biasa dijadikan oleh sebagian di antara kita sebagai kaca bening tempat mengetahui jati diri agar dapat melakukan yang lebih baik di masa depan, tapi sebagian lainnya berkutat dengan masa lalu sehingga menampik kedatangan masa depan.

Beruntung kita karena Tuhan menganugerahkan masa depan dengan hitungan hari. Seandainya masa depan datang kepada kita dalam hitungan �setahun� utuh, betapa beratnya hidup ini.

Jannus TH Siahaan,  Doktor Sosiologi; Tinggal di Pinggiran Bogor, Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar