Rabu, 22 Januari 2014

Demokrasi Kusir Delman

Radhar Panca Dahana

PERSOALAN utama dalam hidup bersama sebenarnya sederhana saja. Baiklah kita gunakan istilah ilmu sosial, khususnya ekonomi�yang pertama kali termaktub dalam Declaration of Independence Amerika Serikat�sebagai pursuit of happiness. Kita semua hidup di atas bumi ini untuk mencari dan meraih apa pun hal yang membuat hidup kita nyaman, bahagia.

Dalam pandangan saya, semangat atau usaha dasar manusia itu jadi fundamen filosofis dari perkembangan peradaban dunia di fase kedua setelah manusia berkutat lebih pada usaha mempertahankan (daya) hidup subspesiesnya menghadapi tantangan alam yang luar biasa. Dalam fase kedua peradaban manusia inilah dilahirkan agama, filsafat, ideologi, dan ilmu-ilmu dasar di semua bidang.

Mencapai rasa nyaman atau kebahagiaan semacam peak experience Abraham Maslow ini pun sesungguhnya juga sederhana bagi kalangan rakyat umumnya, yang secara akademik kita jorokkan dalam istilah akar rumput: terpenuhinya kebutuhan primer hingga tersier. Untuk kebutuhan ini, siapa pun rakyat, di negeri apa pun�tak peduli siapa dan apa bentuk pemerintahan atau kekuasaan yang mengendalikan hidup mereka�yang penting mereka mampu menyediakan semua kebutuhan dasar (plus pendidikan dan kesehatan) itu.

Ironi dalam perkembangan atau sejarah hidup bernegara adalah saat kebutuhan itu menjadi semacam komoditas dalam permainan kuasa (politik dan ekonomi) di kalangan elitenya. Kita paham benar, ratusan bahkan ribuan bangsa yang pernah ada di bumi ini melahirkan dan mengembangkan kebudayaan otentiknya menjawab persoalan itu. Selama puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun, kita mencatat pencapaian dari semua bangsa itu.

Kita tak bisa menafikan kebudayaan yang melahirkan peradaban luhurnya sendiri seperti Mesir, Sumeria, Babylonia, India, hingga Maya, bahkan Jawa menjadi bagian penting dari sejarah kebudayaan/peradaban dunia di atas. Adalah satu hal yang agak meremehkan, terlampau menyederhanakan, bahkan reduksi yang terasa �kurang ajar� jika sebuah produk kebudayaan dari satu kawasan tertentu diharapkan, ditawarkan, didesak, bahkan dipaksakan secara koersif untuk diterapkan atau dipraktikkan oleh bangsa dari kawasan lain yang sebenarnya juga memiliki sejarah kebudayaannya sendiri.

Yang terjadi dalam gerak kebudayaan terakhir (dalam mekanisme globalisme belakangan ini) itu dengan sendirinya akan memakan korban tradisi dan kebuda- yaan setempat karena berbagai sebab yang mudah dijelaskan. Saya kira inilah argu- mentasi awal yang menunjukkan tragik dari sebuah praksis bernegara yang bernama demokrasi dan pasar liberal atau kapitalisme (dalam rumusan teoretik dan praktik Eropa kontinental).

Kita menjadi saksi, bagaimana penetrasi kedua sistem yang diuniversalkan melalui globalisme kebudayaan itu kadang dilakukan dengan satu bentuk represi yang tak hanya memakan dunia mental dan simbolik satu bangsa/negara, tetapi juga ribuan jiwa penduduknya. Apa hasilnya? Apakah demokrasi dan kapitalisme yang dipaksakan di puluhan negara Timur Tengah atau Afrika berhasil menciptakan keadaan atau pemerintahan yang mampu memenuhi kebutuhan dasar di atas?

Jangan dustai makna

Kita tampaknya dapat bersepaham, kebutuhan lain (baru) yang dianggap juga asasi seperti berbicara, berekspresi, berserikat, memilih pejabat publik, hingga menjadi kaya atau menjadi penguasa pada esensinya hanya medium atau mungkin alat bagi sebuah bangsa bisa menyelenggarakan kebutuhan alamiah/dasariah yang disebut di bagian atas. Kebutuhan lain itu tak lain merupakan rekayasa sosial yang dihasilkan oleh ilmu dan tingkat peradaban yang dicapai satu bangsa.

Tentu saja kita tak akan merasa berhasil, tersenyum, bangga, apalagi merasa bahagia ketika semua orang memiliki mikropon dan mimbarnya sendiri-sendiri untuk bicara dan berserikat sebebasnya, sementara angka kemiskinan justru bertambah dan koefisien gini meningkat sebagaimana laporan terbaru Badan Pusat Statistik (Kompas, 3/1). Belum lagi kenyataan belakangan memperlihatkan kebutuhan dasar tergeser oleh kebutuhan mewah akibat rayuan maut pasar industri dan kapital(is) yang memosisikan luxuries atau perangkat kemodernan (ukuran gengsi dan prestise) lebih dominan dari yang dasar.

Data BPS di atas juga bukti terjadinya penurunan pengeluaran untuk makanan akibat kebutuhan nondasar membutuhkan jauh lebih banyak porsi (persentase) dari penghasilan. Artinya, sehebat apa pun pemenuhan kebutuhan addendum atau pendukung yang hasil rekayasa itu tidaklah berarti apa-apa bila kesejahteraan atau kebahagiaan tak berkembang dalam ukuran percepatan yang sama.

Maka, bila demokrasi pun harus dibincangkan, atau sistem apa pun, selaiknya kita memperhitungkan realitas eksistensial dari manusia sebagai subyek utama sebagaimana terpapar di atas. Kritik Franz Magnis-Suseno SJ (Kompas, 2/1/2014) atas opini saya terdahulu (Kompas, 12/12/2013) sangatlah menarik dan adekuat sepanjang kita hanya membahas perangkat atau alat�sebagai moda�untuk mencapai tujuan hidup manusia di atas. Kritik atau diskusi di tingkat ini pun perlu mempertimbangkan tragik dari demokrasi (juga kapitalisme sebagai saudara kembarnya, di sisi lain) dalam praksisnya secara historis di berbagai negara/bangsa.

Untuk itu, beberapa hal perlu dicermati dari kritik Magnis. Pertama, soal �lima menit� partisipasi publik dalam demokrasi yang bagi kritik di atas sebenarnya �...merupakan puncak dan penutup pembicaraan yang barangkali lama dan mendalam, di mana akhirnya diambil keputusan (dengan tanda tangan atau coblosan �5 menit� itu, pen).�

Saya setuju. Namun, tampaknya ada yang keliru secara semantik atau mungkin makna konotatif dari kalimat itu. �Pembicaraan lama dan mendalam� itu jadi benar bila rakyat�sebagai pemilik suara dan kedaulatan sejatinya�yang melakukan �negosiasi� itu. Namun, kenyataannya, proses �negosiasi� itu diambil alih (istilah lebih lunak dari �dirampas� atau �dirampok�) oleh elite politik, secara konspiratif meninggalkan semacam fait accompli berupa pilihan ganda pada rakyat. Rakyat hanyalah tukang stempel yang diombang-ambing oleh permainan pencitraan, ideologi semu, harapan kosong, dan uang tak seberapa. Kita tak bisa berdusta mengenai hal itu. Sebagaimana kita tidak bisa mendustai demokrasi sebagai sesuatu yang sakral (baca: benar), tapi ternyata tidak hanya baju, tapi hatinya pun kotor.

Jadi, yang terjadi sebenarnya bukan pendegradasian demokrasi jadi �5 menit�, tapi reduksi makna dari praksis yang ada di baliknya. Istilah dan nama bukanlah hal utama dibanding makna atau esensi yang dikandungnya. Saya kira filsafat sejak Yunani kuno sudah menyatakan hal ini. Demokrasi dengan praktik dan makna yang membusukkan itu kemudian tinggal menjadi mesin giling legitimasi bagi praktik-praktik elite yang kotor, dan menggiling semua yang mempertanyakan kata dan makna �mayoritas� dengan semacam tuduhan beraroma �anti-PKI� gaya Orde Baru: anti-demokrasi!

Itulah saya kira jawaban bagi pernyataan bahwa �rakyat senang dan taat pada aturan-aturan demokratis�. Sebuah pernyataan yang segera terbantah saat kita mengetahui betapa begitu banyaknya �aturan-aturan demokratis� itu justru disusun oleh semacam oligarki, bahkan konspirasi elite lokal ataupun asing. Bila, katakanlah dalam pilkada pemenang yang disebut �mayoritas� tapi notabene hanya didukung sekitar 20 persen pemilih nyata (dikurangi golput dan persentase kandidat lain), harus diterima oleh rakyat, tentu bukanlah karena �senang dan taat�. Tapi, mereka digiling oleh mesin legitimator demokrasi yang bersenjatakan aturan (undang-undang) hasil konspirasi elite oligarkis di atas. Saya kira bukan hanya pilkada di Indonesia, tapi kasus Bush dan Kohl di negerinya pun menyimpan kontroversi atau problemasi serupa.

Kusir delman

Demokrasi yang tergambar di atas seperti sebuah delman dengan kusir yang (selalu) gelap identitasnya. Rakyat yang berjubel di delman itu hanya bisa pasrah ketika sang kusir membawanya, entah ke mana. Mungkin ke berbagai mitos tentang mayoritas, hak-hak asasi, kedaulatan rakyat, dan sebagainya, yang sesungguhnya semua itu adalah permainan simbolik yang dimainkan oleh konspirasi elite (modal dan politik). Misal, konspirasi itu memainkan mantra �demokrasi� untuk semacam �kesetaraan� yang ternyata ilusif karena tak ada yang setara dalam kompetisi kekuasaan (politik dan ekonomi).

Aforisma Magnis yang menunjukkan kesetaraan atau respek pada minoritas, �meskipun kami tidak perlu memperhitungkan kamu, dan kamu tidak dapat mengancam kami dan sebenarnya dapat saja kami abaikan, tapi kami tetap mengakui dan menghormati kamu sebagai saudara dan manusia seharkat dengan kami�, menunjukkan kembali ironi bahkan tragik dari demokrasi itu sendiri. Liyan atau minoritas itu ternyata hanyalah sebuah �tapi�, yang secara jelas menunjukkan sub-ordinasi. Sebuah �tapi� yang perlu tiga kali ditegaskan dalam bagian awal aforisma di atas sesungguhnya �bukanlah apa-apa�. Hanya belas kasihan dari kaum dominan kepada sang liyan.

Itu menunjukkan juga dengan tepat bagaimana demokrasi sebenarnya memendam potensi otoritariannya sendiri. Penguasa (mayoritas) secara sah, legal, dan �demokratis� memiliki hak dan kapasitas untuk �mempersetankan� siapa pun yang bukan bagian darinya (partai pemenang, misalnya). Betapapun yang bernama �siapa pun� hanya selisih 2 persen, bahkan bisa jadi mayoritas mutlak di banyak kasus.

Terlebih bila penguasa (mayoritas) itu masih bersekongkol dengan penguasa/tradisi lama, maka demokrasi pun tinggal jadi legitimator murahan bagi status quo. Ini terjadi di mana-mana. Saya kira tragedi sejarah demokrasi Jerman sejak benihnya pada Hambach Festival (1832), sampai terpilihnya Bismarck dan terbentuknya imperium Germania (1871)�bahkan hingga Perjanjian Versailles (1919)�adalah bayangan demokrasi yang masih dalam ketiak kepentingan rezim kaisar Frederick. Sebagian melihat kemunculan Nazi dan Hitler pun tuah dari itu. Tuah dari bangsa Jerman yang sejak awal berpotensi kuat menjadi bangsa yang otoriter dan tidak pernah merasa nyaman dengan demokrasi (Ludwig von Moses, 1919:3), juga multikulturalisme belakangan ini.

Apa yang kita saksikan dan rasakan di negeri sendiri sebenarnya tak jauh dari itu. Tradisi dari kuasa lama masih jadi ruh dari birokrasi, bahkan cara kerja para pejabat publiknya. Menurut saya, rakyat terlalu cerdas untuk tak mengetahuinya. Mereka tahu, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena kedaulatannya sudah dirampok. Apa yang mereka lakukan? Seperti maqam dalam drama Aristotelian, semua yang tragedi akan mencapai komedi. Orang Indonesia adalah panggung drama seperti itu: dengan arif rakyat menertawakan elitenya.

Saya tertawa untuk kearifan itu dengan penuh rasa kagum. Saya tak tertawa untuk demokrasi. Ia terlalu rapuh dan menyedihkan untuk ditertawakan karena ia kini seperti lebih dari agama dalam menciptakan taqlid di kalangan pemeluknya. Ia lebih banyak diterima sebagai ilusi, sekurangnya sebagai eufemisme ideologis.

Bangsa ini tak cukup memegang acuan dengan karakter atau realitas seperti itu. Saya memikirkan demokrasi bukan hanya dengan korban ratusan ribu atau jutaan nyawa di tahun 1960-an (korban lebih besar juga dialami bangsa Jerman, Amerika, atau Timur Tengah sekarang ini), tapi korban mental dan spiritual yang justru menjadi penanda utama bagi umumnya masyarakat Nusantara ini, akibat penetrasi/paksaan sistem-sistem global itu.

Saya tak lantang mengkritik tanpa solusi. Selama satu dekade belakangan (lewat berbagai mimbar dan kertas) saya sudah menyodorkan dasar gagasan solusional itu: belajar pada cara leluhur/tradisi mengelola rakyat dan bangsanya. Saya sampai pada satu kata: bahari! Bukan antitesis tapi sebagai counter-part dari sistem kontinental/daratan. Mungkin Magnis belum sempat memeriksanya. Tapi, saya sendiri coba memeriksa dengan baik kutipan Magnis dari Winston Churchill tentang demokrasi sebagai �bentuk pemerintahan paling buruk�.

Seperti kata-kata akhir dari Churchill yang berbunyi time to time, yang berarti �dari waktu ke waktu�, sehingga penerjemahan �sewaktu-waktu� menjadi agak keliru dengan konsekuensi tak terduga. Barangkali inilah �waktu��bukan �sewaktu��bagi kita untuk mencari dan mendapatkan pilihan �bentuk pemerintahan� yang lebih baik, setidaknya cocok dengan realitas historis dan kultural kita. Sekurangnya tidak �paling buruk� seperti kata pahlawan �bercerutu� Inggris itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar