Rabu, 25 September 2013

Politik Upah Minimum

Surya Tjandra

�Hampir semua orang bisa tahan dalam penderitaan, tetapi kalau Anda mau menguji karakter seseorang, berilah ia kekuasaan.� Abraham Lincoln

Ketika Presiden Yudhoyono dikabarkan mengeluhkan kerasnya pelantang suara demonstrasi buruh yang dianggap mengganggu Istana, sesungguhnya yang terjadi tak lebih dari jeritan kaum buruh menuntut perhatian pemerintah untuk pemerataan kesejahteraan.

Tidak harus menjadi ekonom untuk menyadari bahwa kenaikan upah minimum pada tahun ini langsung tergerus kenaikan harga BBM yang memicu inflasi, ditambah lagi kenaikan beberapa harga komoditas seperti kedelai ataupun bawang putih yang sarat skandal itu.

Badan Pusat Statistik menyatakan, meski nominal meningkat signifikan, upah riil buruh industri pada kuartal pertama 2013 justru turun 1,05 persen (Bisnis Indonesia, 1/7). Sementara itu, koefisien gini pengukur tingkat kesenjangan terus meningkat hingga 0,41 tanpa ada tanda-tanda pemerintah menaruh perhatian serius untuk mengatasinya secara sistematis.

Sebelumnya, menanggapi maraknya aksi buruh menuntut kenaikan upah minimum di sejumlah daerah, Menteri Perindustrian MS Hidayat, seorang pengusaha, beberapa kali menyatakan bahwa pemerintah akan mengeluarkan instruksi presiden yang akan membatasi kenaikan upah minimum sebesar 20 persen terhadap upah minimum tahun berjalan.

Sesungguhnya isu pembatasan kenaikan upah minimum bukan hal baru karena pada tahun 2006 sudah ada Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Pemulihan Iklim Investasi, yang antara lain memuat hal sama. Instruksi ini tidak efektif karena ditolak buruh.
Dinamika politik lokal juga akan memaksa penguasa daerah menyingkirkan instruksi ini, seperti sudah sering terjadi.

Sikap lebih simpatik disampaikan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, juga berlatar pengusaha, yang menyatakan bahwa memang tuntutan buruh itu wajar saja, setidaknya untuk DKI yang memang kebutuhan hidupnya sudah tinggi. Masalahnya, menurut Basuki, adalah bagaimana menurunkan kebutuhan hidup layak (KHL) buruh agar upah minimum juga bisa ditekan.

Ini, menurut Basuki lagi, dapat dilakukan dengan mengurangi pengeluaran buruh. Itulah alasan Pemerintah DKI menyelenggarakan program Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar agar sebagian pengeluaran warga DKI, termasuk buruh, bisa dikurangi.

Selain itu, juga dengan menyediakan perumahan buruh yang dekat dengan tempat bekerja untuk menekan ongkos transportasi, �Kami mempersiapkan 400 hektar, tahun ini kami sudah beli 45 hektar menjadi rumah susun superblok di sana. Jadi, buruh ke pabrik bisa naik sepeda,� kata Basuki (Tribun Jakarta, 3/9/2013).

Di sini Basuki menunjukkan pemahamannya yang mendalam, dengan tidak begitu saja menerima atau menolak desakan buruh, tetapi memberi solusi yang bisa dilakukan melalui kekuasaan politik yang ia miliki. Solusi yang dipilihnya: memperkuat perlindungan sosial dengan pada saat sama menekan pengeluaran.

Pengalaman Brasil

Banyak studi sudah menunjukkan kaitan kebijakan kenaikan upah minimum dapat berdampak pada penurunan kesenjangan sosial di masyarakat (ILO, 2011). Strategi ini disebut dengan income-led growth strategy, strategi pertumbuhan dengan peningkatan pendapatan. Contoh paling nyata yang menerapkan strategi ini adalah Brasil pada era Presiden Lula da Silva (2002-2011). Meski tak bebas dari dampak krisis finansial dan ekonomi, dengan strategi tersebut, Brasil berhasil menunjukkan kinerja yang memuaskan dari segi ekonomi ataupun pasar buruhnya.

Berbeda dengan rezim sebelumnya, ketika Lula da Silva, berlatar buruh pabrik dan pemimpin Partai Buruh Brasil, akhirnya terpilih sebagai Presiden Brasil pada 2002 (setelah tiga kali gagal dalam pemilu), untuk mengatasi krisis ia menerapkan strategi inovatif ini. Fokus utamanya pembangunan negara kesejahteraan (sistem jaminan sosial), kebijakan menaikkan upah buruh, mendorong investasi pemerintah, dan perhatian baru pada kebijakan industri. Pernyataan pertama di hadapan publik yang disampaikan Lula: akan menaikkan upah minimum buruh secara riil sebesar 50 persen dalam lima tahun.

Pada awalnya, pengusaha jelas keberatan, tetapi hanya dalam tempo dua tahun Lula berhasil meyakinkan mereka, bahkan organisasi pengusaha di Brasil setuju membuat perjanjian: bersama dengan pemerintah dan serikat buruh melaksanakan program pemerintah tersebut.

Pemerintah memilih industri manufaktur yang paling penting di Brasil, dalam arti mempekerjakan paling banyak buruh dan mampu mendorong pertumbuhan di sektor lainnya. Pajak produk industri kemudian diturunkan sehingga harga produk murah, agar pengusaha dapat menaikkan upah buruhnya dengan pada saat sama juga mencegah terjadi pemutusan hubungan kerja.

Membelanjakan upah

Untuk mendorong konsumsi, saban hari Presiden Lula berpidato di televisi mendorong rakyatnya membelanjakan upahnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestiknya. Program perlindungan sosial juga dikembangkan. Jaminan pensiun diperluas, hingga 85,7 persen warga usia 65 ke atas menikmatinya, dengan total 34 juta penduduk yang menikmati, termasuk 8,2 juta penduduk pedesaan.

Program Bolsa Familia (semacam bantuan langsung tunai terarah) yang diberikan kepada perempuan dan untuk pendidikan anak-anak juga diperluas hingga 13 juta penduduk. Seperti dilaporkan Berg (2012), kebijakan mendorong pertumbuhan dengan peningkatan pendapatan sekaligus melindungi yang paling miskin ini bertanggung jawab pada penurunan koefisiensi gini secara kontinu (2002-2008) kekuasaan Presiden Lula dan penguatan pasar kerja dan ekonomi negeri itu. Peningkatan pendapatan buruh berdampak langsung pada penurunan 62 persen koefisiensi gini, sementara peningkatan pekerjaan formal yang dikombinasi dengan kenaikan upah minimum secara signifikan adalah pendorong utama di balik turunnya kesenjangan. Bolsa Familia secara langsung menyumbang sekitar 20 persen dari penurunan tingkat kesenjangan.

Apakah kebijakan inovatif seperti ini bisa diterapkan di Indonesia? Apakah pengusaha dan buruh akan menerima? Mengapa tidak? Pengusaha sesungguhnya �tinggal apa kata pemerintah, asal pemerintah tegas�. Selama semua dilakukan secara transparan dan masuk akal, buruh pun akan siap bernegosiasi. Gerakan serikat buruh hari ini sudah jauh berbeda dengan 10 tahun lalu pada awal reformasi. Sebagian serikat mandiri dari iuran anggotanya dengan struktur dan perangkat organisasi yang rapi di berbagai daerah.

Semua demonstrasi yang mereka lakukan pun relatif tertib dengan isu yang juga sahih: kenaikan upah, pembatasan kerja alih daya, dan pelaksanaan jaminan sosial di negeri ini yang justru terus saja dihambat pemerintah pusat sendiri.

Ketika tidak ada satu partai politik pun memperjuangkannya secara sistematis, gerakan buruh menjadi satu-satunya kekuatan sosial yang paling konsisten mendesakkan itu. Sebaliknya, selama penguasa lebih bersikap seperti pengusaha dan tidak juga mampu kreatif menawarkan solusi yang masuk akal bagi rakyatnya, selama itu pula gerakan buruh semakin kuat menyampaikan tuntutannya. Kalau perlu, dengan pelantang suara yang lebih besar. 

Surya Tjandra Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar