Senin, 16 September 2013

Percepatan Pembangunan Pertanian

Posman Sibuea 

Pengertian urbanisasi dinyatakan sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pemahaman migrasi internal ini sejalan dengan peribahasa ada gula ada semut. Ketika kehidupan di desa kian pahit, kota yang menjanjikan kehidupan lebih manis akan menarik �semut� untuk datang.

Fenomena kian masifnya urbanisasi bisa dilihat dari makin besarnya gelombang arus mudik saat Lebaran. Urbanisasi merajalela karena ada faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor). Penduduk desa terdorong pindah ke kota sebab desa sulit diandalkan untuk sandaran hidup. Pembangunan yang menumpuk di kota menjadi magnet kuat menarik kaum urban.

Kemiskinan

Penyelesaian urbanisasi yang menjadi masalah klasik tahunan di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, belum menyentuh kemiskinan sebagai akar masalah. Sulitnya mendapatkan pekerjaan di desa dan besarnya kesenjangan tingkat pendapatan antara warga desa dan kota membuat arus urbanisasi semakin deras.

Jumlah warga miskin dan berpotensi jadi miskin di Indonesia masih tinggi meski pemerintah menyebut angka kemiskinan turun setiap tahun. Sekadar menyebut contoh, tahun 2012 angka kemiskinan turun menjadi 11,66 persen dari 12,36 persen pada 2011. Dari segi jumlah, penduduk yang kategori miskin berkurang dari 29,89 juta (2011) menjadi 28,59 juta dengan garis kemiskinan (pengeluaran per orang per bulan) sebesar Rp 259.520.

Kinerja pemerintahan SBY memerangi kemiskinan memang tergolong kurang dahsyat. Selama kepemimpinannya, SBY belum mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Saat Kabinet Indonesia Bersatu jilid satu mengawali roda pemerintahan pada 2004, angka kemiskinan nasional bertengger di posisi 16 persen. Artinya, dalam sembilan tahun pemerintahannya, angka kemiskinan hanya turun 4,34 persen. Padahal, kemampuan anggaran negara jauh lebih besar dibandingkan pada masa-masa sebelumnya.

Rapor merah Pemerintah Indonesia dalam mengurangi jumlah kemiskinan dan mengatrol tingkat pendapatan masyarakat desa semakin jelas jika disandingkan dengan prestasi negara lain. China, misalnya, jumlah penduduk dengan pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari 36,3 persen (Bank Dunia, 2005). Indonesia, yang memulai pembangunan ekonomi lebih awal, pada 2009 jumlah penduduk dengan pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari masih 50,9 persen (Saparini, 2013).

Jurus jitu Pemerintah China dalam memerangi kemiskinan adalah dengan menggenjot percepatan pembangunan pertanian yang melibatkan penduduk miskin di pedesaan.

Kebangkitan pertanian

Menurut Badan Pusat Statistik, dampak makanan terhadap garis kemiskinan masih amat besar. Sekitar tiga perempat pengeluaran orang miskin dialokasikan untuk membeli makanan. Implikasinya, jika masyarakat miskin bisa memproduksi kebutuhan pangan keluarga, pasti mereka dapat keluar dari lingkaran kemiskinan. Namun, jika harus membeli, apalagi sumbernya dari impor, mereka akan mengalami proses pemiskinan yang makin buruk di tengah inflasi dan kian mahalnya harga pangan.

Pada Juli 2013, inflasi nasional mencapai 3,29 persen. Sumbangan terbesar berasal dari kenaikan harga BBM diikuti laju kenaikan harga bahan makanan. Selama tahun terakhir, inflasi bahan makanan relatif tinggi. Warga miskin, meski hampir 65 persen tinggal di desa, sebagian besar adalah buruh tani yang memenuhi kebutuhan bahan pangan dengan membeli.

Pertanyaannya, adakah yang salah dengan pembangunan pertanian kita? Mengapa kebijakan pembangunan pertanian tetap memiskinkan petani? Di tengah usia kemerdekaan yang sudah 68 tahun, pemerintah masih gagal menyejahterakan petani dan mereka harus bereksodus ke kota untuk mengais rezeki. Dalam periode sepuluh tahun terkahir, jumlah petani gurem meningkat 12,51 persen dari 40,73 persen menjadi 53,29 persen. Keterpurukan ini membawa konsekuensi logis, yakni rapuhnya ketahanan pangan.

Banjir impor

Di tengah kian miskinnya petani, Indonesia dibanjiri buah impor, beras impor, jagung impor, daging impor, bawang impor, dan pangan impor lainnya. Kita terjebak dalam ruang dan sistem pangan impor yang amat mahal. Hampir 75 persen dari kebutuhan pangan di dalam negeri kini dipenuhi dari impor dan devisa negara terkuras sekitar Rp 125 triliun-, berarti 8 persen dari APBN, -setiap tahun untuk membeli pangan impor. Suatu jumlah yang sangat besar dan bisa digunakan untuk membangun 1.250.000 gedung SD di berbagai daerah di Tanah Air. Kita menghuni negeri yang dipuja subur dan makmur, tetapi tidak mampu memproduksi pangan untuk rakyat.

Oleh karena itu, �Gerakan Kembali ke Sawah� yang pernah saya usulkan (Kompas, 27/2/2007) patut terus dikampanyekan pemerintah pusat ke seluruh provinsi dan kabupaten sebagai model percepatan pembangunan desa berbasis pertanian. Gerakan ini harus diiringi dengan sinergi kebijakan yang diformat secara komprehensif dan terintegrasi dari semua pemangku kepentingan.

Dengan gerakan ini, sektor pertanian akan mampu menyediakan lapangan kerja baru sekaligus membendung arus urbanisasi. Namun, seperti mobil butuh mesin, bangsa ini perlu para pemimpin sejati sebagai motor kebangkitan pertanian.

Posman Sibuea  Guru Besar Tetap Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas, Sumatera Utara; Direktur Center for National Food Security Research

Tidak ada komentar:

Posting Komentar