Rabu, 18 September 2013

Politik Rasialis �Biarawan Gila�

Rene L Pattiradjawane

Pernyataan calon Menlu Australia yang baru, Julie Bishop, yang berada di bawah PM Tony Abbott mengakhiri kekuasaan Partai Buruh selama enam tahun dengan tersingkirnya Kevin Rudd, menerapkan kebijakan tanpa persetujuan Indonesia terkait manusia perahu, adalah arogansi yang tidak kita harapkan dari hubungan bilateral.

Menlu Marty Natalegawa mengatakan kebijakan itu tidak sejalan dengan kemitraan kedua negara (Kompas, 17/9). Kita pun melihat kebijakan baru �mad monk� (biarawan gila, sebutan Abbott oleh pers Australia ketika ia masih menjadi anggota parlemen karena sangat agresif) bisa merusak tatanan hubungan Indonesia-Australia.

Keputusan Abbott menggelar �Operasi Perbatasan Berdaulat� di bawah seorang jenderal bintang tiga menjadi serangan langsung kedaulatan Indonesia dengan cara membeli kapal-kapal nelayan Indonesia agar tidak bisa dipakai para pengungsi serta mengirim polisi membayar warga Indonesia yang melaporkan adanya orang asing di wilayah mereka.

Kita akan menuduh kebijakan manusia perahu yang ingin ditetapkan sebagai prioritas utama PM Abbott sebagai sangat rasialis, dan menghina Indonesia yang selama ini menganggap kedekatan hubungannya dengan Australia menjadi bagian penting dinamika geopolitik di kawasan Asia-Pasifik. Kita harus mengingatkan kembali kalau kedaulatan adalah instrumen penting dalam demokrasi yang juga dianut oleh Australia.

Pemerintah baru di Australia perlu menyadari Indonesia memiliki tanggung jawab dalam persoalan manusia perahu seperti membuka Pulau Galang ketika berakhirnya Perang Vietnam pertengahan tahun 1970-an. Dengan demikian, kita perlu menegaskan, persoalan manusia perahu tidak bisa dilakukan secara unilateral karena ada beberapa faktor memengaruhinya.

Pertama, manusia perahu berbondong-bondong ke Australia disebabkan karena perbedaan tingkat kesejahteraan yang berbeda di setiap negara. Pendapatan per kapita Australia lebih tinggi dibanding negara-negara Asia Tenggara sehingga masuk akal kalau mereka menjadikan Australia sebagai negara tujuan.

Kedua, manusia perahu berasal dari beberapa negara mulai dari Iran, Irak, Sri Lanka, Afganistan, ataupun Pakistan. Artinya, ini persoalan beberapa negara yang harus ikut diajak bicara dan tidak hanya bisa ditujukan kepada Indonesia yang menjadi tempat transit. Tanpa kerja sama negara-negara asal, transit, dan tujuan, masalah manusia perahu ini akan terus menjadi momok buat siapa saja.

Dan ketiga, pemerintah koalisi konservatif di Australia tidak terpaku pada janji kampanye dan mengabaikan ataupun mengorbankan kedaulatan negara lain seperti Indonesia. Ketegangan diplomatik di kawasan ini mengarah ambisi supranasional rasialis atas nama demokrasi, tidak akan menguntungkan Indonesia maupun Australia.


Semangat Julie Bishop tentang politik luar negeri Australia yang baru disebut not exclusively but unambiguously (tidak eksklusif tapi tegas) tidak sesuai dengan semangat kemitraan, stabilitas, dan keamanan di kawasan Asia-Pasifik ini.

Rene L Pattiradjawane  Wartawan Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar