Rabu, 25 September 2013

Golput dan Krisis Pemimpin

Agus Sudibyo 

Hasil hitung cepat beberapa lembaga survei menunjukkan angka golongan putih dalam Pilkada Jawa Timur yang baru berakhir: 40 persen. Dengan kata lain, tingkat partisipasi masyarakat Jawa Timur dalam hajatan lima tahunan itu hanya 60 persen.

Kenyataan ini kian menegaskan kegelisahan tentang rendah-nya minat masyarakat terhadap suksesi kepemimpinan. Apalagi, Pilkada Jawa Timur tak sendirian dalam mencetak tingginya golongan putih (golput). Pilkada Jawa Tengah beberapa bulan lalu menghasilkan golput 48 persen. Pilkada Jawa Barat Februari 2013 dimenangi pemilih golput dengan 36 persen. Yang paling fenomenal tentu saja Pilkada Sumatera Utara: golput 60 persen.

Tren rendahnya partisipasi warga dalam sejumlah pilkada dianggap sebagai alarm tentang rendahnya kualitas kehidupan politik atau kualitas demokrasi di suatu wilayah. Tanpa langkah antisipasi yang memadai, tren serupa dikhawatirkan akan mewarnai Pemilu 2014.

Langkah antisipasi tentu harus didahului pertanyaan, apakah penyebab utama fenomena golput? �Buruknya sosialisasi tentang tahap dan tata cara pilkada serta rendahnya perhatian masyarakat terhadap masalah politik�, inilah jawaban baku yang sering dikemukakan. Namun, benarkah perhatian warga terhadap politik rendah? Benarkah penyebab golput adalah apatisme masyarakat terhadap kehidupan politik?

Apatisme politik semestinya dipahami sebagai ketakpedulian terhadap dunia politik yang terekspresikan dalam sikap tak acuh terhadap proses-proses politik dan terhadap siapa pun yang menjadi pemimpin formal. Apatisme ini muncul pada kelompok masyarakat yang menganggap politik sebagai urusan orang lain, katakanlah urusan partai politik dan para politisi. Bertolak dari pengertian ini, yang melatari rendahnya partisipasi masyarakat dalam sejumlah pilkada dewasa ini, sesungguhnya bukan sebentuk apatisme politik.

Mari menyimak hasil jajak pendapat Kompas sepekan sebe- lum Pilkada Jawa Timur (Kompas, 30/8/2013). Jajak pendapat ini menunjukkan warga Jawa Timur tidak berminat mengikuti coblosan karena tak percaya kepada calon (19 persen), tak terdaftar (12 persen), menganggap pilkada tak bermanfaat (11 persen), belum mengenal calon (11 persen), kendala waktu dan keperluan lain (24 persen). Warga Jawa Timur memilih atau terpaksa menjadi golput bukan karena apatis terhadap politik, melainkan karena alasan teknis dan alasan politis-rasional.

Kategori pemilih apatis jelas tak dapat diberikan kepada warga yang tak mengikuti coblosan karena tak percaya kepada calon, belum mengenal calon, atau merasa tak mendapatkan manfaat dari pilkada. Alasan ini justru menunjukkan kalkulasi logis orang-orang yang melek-politik. Mereka sadar bahwa sebelum menentukan pilihan politik, mereka harus mengetahui benar rekam jejak para kandidat: bagaimana kualitas, kredibilitas, dan kepribadiannya.

Tidak bermakna

Dalam konteks ini, gejala golput bukan karena persoalan rendahnya keterlibatan atau ketertarikan masyarakat kepada politik, melainkan karena keyakinan masyarakat bahwa pilkada tak bermakna apa-apa karena tak ada kandidat yang secara meyakinkan menjanjikan perubahan dan perbaikan kondisi.
Gejala golput dalam pengertian ini jelas tak dapat dilihat sebagai �aib� dari penyelenggaraan pemilu, sebagai parameter rendahnya kualitas demokrasi.

Kita dapat membayangkan kondisi yang sebaliknya. Apakah pemilu lebih berkualitas jika, misalnya, angka golput rendah, tetapi banyak orang asal coblos ketika di TPS tanpa mengenal betul calon yang mereka coblos, bagaimana kualitas dan keberpihakannya? Apakah pemilu jadi bermakna jika warga berbondong-bondong ke TPS bukan karena kesadaran sendiri, melainkan karena dimobilisasi dengan sarana tertentu?

Bukan berarti dengan demikian lantas gejala golput dibiarkan begitu saja. Tak pula golput kemudian direkomendasikan sebagai pilihan politik. Yang perlu ditekankan: kita harus melihat gejala golput bukan sebagai problem rendahnya kesadaran politik masyarakat, melainkan sebagai problem kegagalan partai politik dalam menampilkan calon pemimpin yang populer, memikat, dan meyakinkan masyarakat.
Kita harus berhenti menyalahkan warga terkait dengan tingginya gejala golput karena pokok masalahnya bukan pada kesadaran politik masyarakat, melainkan kepada krisis calon pemimpin yang terjadi pada tingkat partai politik.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pamor partai politik di mata warga telah menu- run. Daya tarik utama pemilu dan pilkada bukan lagi partai politik dengan berbagai atributnya, melainkan kandidat individu yang diusung partai politik. Preferensi politik masyarakat sudah banyak beralih dari institusi ke figur.

Warga akan antusias mengikuti coblosan jika mereka menemukan figur-figur yang populer, meyakinkan, atau berkualitas dalam daftar kandidat. Sebaliknya, warga akan enggan datang ke TPS jika dihadapkan kepada pilihan figur yang itu-itu saja, yang tidak menumbuhkan optimisme dan harapan, atau lebih absurd lagi yang relatif tidak dikenal masyarakat.

Tanpa bermaksud mengesampingkan faktor lain, yang perlu diperbaiki dalam rangka mengurangi angka golput dengan demikian adalah kemampuan dan keluwesan partai politik dalam menampilkan calon pemimpin yang mengena di hati masyarakat. Popularitas, akseptabilitas, dan kredibilitas calon pemimpin semestinya lebih dipertimbangkan daripada masalah loyalitas terhadap partai atau persoalan kedekatan terhadap ketua partai.

Yang dihadapi partai politik saat ini notabene bukanlah warga yang pasif dan mudah dimobili- sasi, melainkan masyarakat yang semakin selektif, menuntut, dan kritis. Warga yang memiliki banyak saluran komunikasi dan informasi. Warga yang sadar punya banyak pilihan politis, termasuk pilihan tidak memilih mana kala dihadapkan kepada kelangkaan figur pemimpin yang populer dan berprestasi.

Agus Sudibyo Direktur Indonesia Research Centre Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar