Selasa, 10 September 2013

Demokratisasi Negara Hukum

Lambang Trijono

Praktik demokrasi di Indonesia saat ini dijalankan begitu dangkal. Diwarnai praktik penggunaan kekuasaan hanya didasarkan aspek legalitas hukum formal, bukan pada legitimasi bersumber dari moralitas politik dan norma hukum publik yang mendalam.

Permasalahan ini mencuat ke permukaan, akhir-akhir ini, dalam kontroversi seputar pengangkatan hakim konstitusi Mahkamah Konstitusi yang baru oleh Presiden, yang digugat Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK karena dinilai tak transparan dan demokratis, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang MK.
Paradoks politik hukum ini menambah deret ketegangan hubungan antarlembaga tinggi negara. Bukan hanya antara lembaga yudikatif dan eksekutif, melainkan juga antara lembaga yudikatif dan kekuatan-kekuatan politik di lembaga legislatif, seperti terjadi dalam kasus sengketa pilkada. Sejumlah paradoks itu menimbulkan komplikasi tersendiri pada praktik demokrasi, terutama terkait independensi MK, independensi lembaga pemilu, proses legislasi di parlemen, dan penentuan pejabat publik di lembaga pemerintahan.
Gugatan koalisi masyarakat sipil itu memberikan arti positif bagi demokratisasi penggunaan kekuasaan dan praktik hukum di Indonesia. Gugatan itu bisa dimaknai bukan hanya sebagai gugatan hukum semata, melainkan juga kontrol masyarakat sipil terhadap kecenderungan penggunaan kekuasaan berlebih�dalam hal ini otoritas Presiden�agar tidak terlalu masuk ke ranah yudikatif atau memengaruhi produk yurisprudensi.

Semakin heterogen

Sejak demokratisasi berlangsung, Indonesia menghadapi permasalahan baru bagaimana menjalankan praktik negara hukum secara demokratis. Demokratisasi telah memecah konsentrasi kekuasaan. Jika dulu, pada masa Orde Baru, lembaga eksekutif/presiden sepenuhnya mengendalikan pengambilan keputusan di DPR/MPR dan memengaruhi produk hukum dan proses peradilan, kini jadi tersebar ke sejumlah lembaga tinggi, terutama legislatif, searah dengan kedaulatan rakyat yang kian menguat sejak demokratisasi.
Konsekuensinya, sejak itu produk hukum jadi makin heterogen. Selain secara signifikan ditandai dengan penguatan lembaga legislatif memproduksi hukum legislasi, hingga hampir mendekati karakter, di sisi lain juga memperkuat lembaga eksekutif, sebagai konsekuensi pemilihan langsung presiden dengan segala otoritas yang dimilikinya.
Pergeseran kekuasaan ini menyebabkan praktik negara hukum di Indonesia mengalami guncangan, belum menemukan titik keseimbangan hubungan kekuasaan yang baru. Prinsip negara hukum, bahwa negara didasarkan pada hukum dan bukan pada kekuasaan semata, tidak bisa dijalankan secara sederhana karena mendapat tentangan heterogenitas norma hukum.
Di tengah heterogenitas norma hukum, makna negara hukum itu sendiri tidak lagi tunggal. Ia mengalami pergeseran. Dari kacamata hukum legislasi, negara hukum berarti hukum yang memerintah, bukan person, otoritas, atau kepala negara. Dari sudut hukum birokrasi pemerintahan, seperti dikatakan Max Weber, negara hukum berarti otoritas rasional atau fakta empiris administrasi yang memerintah.
Perubahan konsentrasi kekuasaan itu tak jarang menimbulkan ketegangan hubungan antara lembaga legislatif dan presiden. Oleh karena itu, diperlukan penguatan lembaga yudikatif melalui pembentukan MK dengan kekuasaan yurisprudensi khusus, mewakili negara yurisdiksi, berperan mengatasi konflik kedua lembaga tinggi negara.
Pergeseran kekuasaan itu sesungguhnya memberikan sinyal positif. Hanya, masalahnya, terletak pada bagaimana mencapai titik keseimbangan baru dalam hubungan kekuasaan di tengah silang pengaruh kekuatan politik dan benturan kekuasaan antarlembaga tinggi yang semakin mengemuka sejak demokratisasi.
Intervensi etik

Praktik hukum di negara demokratis menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ini agar penggunaan kekuasaan tidak berlebih atau bertubrukan, dan produktif menghasilkan keputusan demi kemaslahatan bangsa. Di balik itu, penggunaan kekuasaan harus berpijak pada norma hukum valid disepakati bersama dan jadi rujukan dalam kehidupan berbangsa.


Masalahnya, tak mudah membentuk norma hukum valid disepakati bersama, atau hukum konstitusi publik, di tengah realitas norma hukum semakin heterogen itu. Untuk itu, intervensi etika politik penuh tanggung jawab secara terus-menerus perlu dilakukan. Nilai-nilai etis demokrasi, seperti kedaulatan di tangan rakyat, kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan seluruh warga perlu terus-menerus dihidupkan dan diinvestasikan dalam setiap momen dan langkah pengambilan kebijakan. 
Lambang Trijono   Dosen Fisipol UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar