Kamis, 13 Maret 2014

Kelompok Kohesif dan Capres

Ikrar Nusa Bhakti

PERTAMA kali dalam sejarah politik Indonesia pasca 1945, seorang perempuan�bukan ibu negara, melainkan politikus sungguhan�begitu berpengaruh dalam menentukan bukan saja masa depan partainya, melainkan juga bangsa dan negaranya.

Politikus perempuan itu adalah Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Hingga kini keputusan politiknya masih ditunggu bukan saja oleh para simpatisan partainya, partai-partai pesaingnya, para calon pemilih di seluruh Indonesia, melainkan juga oleh dunia internasional. Sesuai mandat yang diberikan Musyawarah Nasional III PDI-P di Bali, 2010, Megawati memiliki hak prerogatif untuk menentukan siapa yang akan diajukan menjadi calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2014. Penentuan nama ini amat penting untuk mendongkrak perolehan suara partainya pada Pemilu Legislatif 9 April 2014 dan juga menang-kalahnya capres/cawapres yang diusung PDI-P pada Pemilu Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014.

Pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDI-P di Ancol, Jakarta, 6-8 September 2013, di kalangan PDI-P masih terpecah antara mereka yang pro Mega dan pro Jokowi sebagai capres. Secara simbolik, sebenarnya Mega telah mengisyaratkan dukungannya kepada Jokowi ketika Jokowi diminta membacakan penggalan surat Bung Karno, �Dedication of Life�, yang ditulis 10 September 1966. Isinya:

Saya adalah manusia biasa. Saya dus tidak sempurna. Sebagai manusia biasa saya tidak luput dari kekurangan dan kesalahan.

Hanya kebahagiaanku ialah dalam mengabdi kepada Tuhan, kepada Tanah Air, kepada Bangsa. Itulah Dedication of Life-ku.

Jiwa pengabdian inilah yang menjadi falsafah hidupku, dan menghikmati serta menjadi bekal hidup dalam seluruh gerak hidupku.

Tanpa jiwa pengabdian ini saya bukan apa-apa. Akan tetapi dengan jiwa pengabdian ini, saya merasakan hidupku bahagia dan manfaat.

Sampai detik ini, pertarungan di internal PDI-P masih terus berlangsung. Di kalangan pro Mega, ada pandangan bahwa Mega masih memiliki kans untuk menang. Jika Mega menang, ada manfaat bagi PDI-P dan dinasti Soekarno, baik dari segi politik maupun materi. Bagi pendukung Jokowi, hingga kini elektabilitas Jokowi melampaui Megawati. Kans Jokowi memenangi Pilpres 2014 jauh lebih besar ketimbang Megawati. Jokowi memang tak akan memberikan keuntungan materi bagi PDI-P, tetapi ia dapat mendongkrak suara PDI-P yang berarti memberi keuntungan politik dan kursi legislatif bagi PDI-P.

Kesalahan politik fatal

Megawati adalah tokoh sentral yang amat berpengaruh, disegani, bahkan mungkin ditakuti di PDI-P. Ia dikelilingi dua kelompok kecil orang, kalangan anggota DPP PDI-P dan kelompok kecil lain gabungan anggota partai dan kalangan cendekiawan nonpartai. Di dua kelompok itu tentunya ada yang pro Mega dan pro Jokowi. Setiap saat mereka terus-menerus memantau hasil survei dari berbagai lembaga survei, yang menurut Sekjen PDI-P Tjahjo Kumolo jumlahnya bisa mencapai 29 survei. Kedua kelompok ini secara terpisah memiliki kohesivitas masing-masing, baik dari segi ideologi maupun latar belakang pendidikan. Keputusan penting yang dibuat kelompok-kelompok kecil bisa amat fatal jika kohesivitasnya begitu tinggi, sang pemimpin begitu berpengaruh dan individu anggota kelompok kehilangan nalar sehatnya.

Irving Janis dalam bukunya, Victims of Groupthink: A Psychological Study of Foreign Decisions and Fiascoes (1972), memadukan disiplin psikologi, politik, sejarah, dan komunikasi kelompok untuk menganalisis beberapa keputusan politik penting yang salah. Ia berupaya melacak kembali dan menganalisis enam peristiwa sejarah yang terkait politik internasional, yaitu keputusan Presiden John Fitzgerald Kennedy untuk menginvasi Kuba (Insiden Teluk Babi), ketidaksiapan AS atas serangan Jepang ke Pearl Harbour, eskalasi Perang Vietnam, Perang Korea, krisis misil Kuba, dan Marshall Plan.

Proses analisis Groupthink sedikit rumit. Ada beberapa butir penting yang patut diketahui. Pertama, pengambilan keputusan dibuat oleh para pembuat keputusan yang merupakan kelompok kohesif. Kedua, secara struktural, kelompok ini amat terisolasi, tidak memiliki tradisi kepemimpinan yang imparsial, tiadanya norma-norma yang membutuhkan prosedur metodologi; dari segi sosial dan ideologi, kelompok ini amat homogen. Ketiga, mereka juga terprovokasi dan tertekan oleh ancaman-ancaman luar sehingga tiada solusi tandingan selain yang berasal dari pemimpin kelompoknya. Setiap anggota tidak memiliki keberanian untuk mengutarakan pandangan pribadinya yang berbeda dengan pemimpin dan kelompoknya karena takut dikucilkan atau dikeluarkan dari kelompok.

Keempat, tekanan-tekanan faktor eksternal juga menyebabkan kelompok mengalami ilusi kehancuran, kepercayaan pada moralitas kelompok yang inheren, cara berpikir sempit yang tertutup, memandang adanya ancaman-ancaman dari luar, sensor diri yang kuat, ilusi bahwa keputusan harus didukung bersama, terjadi tekanan terhadap mereka yang beda pandangan, dan adanya orang yang begitu berpengaruh menelurkan gagasan-gagasan dirinya yang kadang tidak masuk akal.

Kelima, lebih buruk lagi bila keputusan tersebut dibuat atas dasar alternatif survei yang tak lengkap, kurangnya analisis mengenai tujuan, kegagalan untuk menguji risiko atas pilihan politik yang diambil, kegagalan untuk mendiskusikan kembali pilihan-pilihan alternatif yang ditolak sebelumnya, miskinnya upaya untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, bias dalam menganalisis informasi, kegagalan untuk membuat rencana-rencana kontinjensi, dan sebagainya. Akibatnya, hasil yang diputuskan bisa salah. Keenam, kesalahan pengambilan keputusan dapat dihindari bila pemimpin kelompok menangguhkan pengambilan keputusan, mendorong kritik atas program atau keputusan yang diusulkan, mengundang ahli dari luar, dan ada seseorang dari dalam kelompok yang berperan sebagai devil�s advocate guna menantang pandangan mayoritas, dan keputusan politik dibuat secara bertahap dan tidak sekaligus.

Hasil survei

Hasil survei CSIS yang dilakukan 13-20 November 2013 menunjukkan elektabilitas Jokowi 34,7 persen, jauh di atas Prabowo Subianto (10,7), Aburizal Bakrie (9), Jusuf Kalla (3,7), Mahfud MD (1,8), dan Hatta Rajasa (0,6). Dari sisi elektabilitas partai, PDI-P masih di peringkat atas dengan 17,6 persen, disusul Partai Golkar (14,8 persen), Gerindra (8,6 persen), Demokrat (7 persen), PKB (4,6 persen), PPP (3,5 persen), PAN (3,3 persen), PKS (3,3 persen), Hanura (2,4 persen), Nasdem (2 persen), dan PBB serta PKPI yang masing-masing mendapatkan 0,5 persen.

Hasil survei yang sama juga menunjukkan 42,7 persen basis massa Demokrat mendukung Jokowi, 20,6 persen massa Gerindra lebih memilih Jokowi ketimbang Prabowo, dan hanya 63,6 persen massa PDI-P mendukung Jokowi. Survei-survei lain seperti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG), dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) juga menempatkan Jokowi pada peringkat teratas survei secara berturut-turut dengan angka 20,2 persen,  45,8 persen, dan 22,3-35,6 persen. Hasil survei Pusat Data Bersatu (PDB) yang dirilis 21 Februari 2014 menempatkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla pada peringkat teratas, yakni 22,3 persen, disusul Prabowo-Hatta (10,2 persen), Megawati-Jokowi (8,1 persen), Jokowi-Hatta (6,8 persen), Dahlan Iskan-Chairul Tanjung (5,7 persen), Jokowi-Puan (4,9 persen), Aburizal-Mahfud MD (2,9 persen), tak menjawab 24,8 persen.

Tekanan-tekanan dari luar agar Megawati maju jadi capres dan Jokowi tidak maju sebagai capres datang bertubi-tubi dari dalam dan luar PDI-P. Kini tergantung Megawati untuk memutuskannya. Jika teori Groupthink dari Irving Janis benar-benar terjadi pada kelompok-kelompok kohesif di PDI-P tanpa diimbangi adanya devil�s advocate atau kelompok ahli dari luar untuk menantang keputusan politik kelompok, hasilnya akan sangat fatal bagi PDI-P. PDI-P akan kehilangan modal sosial dan modal politik yang sudah dibangun sejak 10 tahun lalu. Masa depan bangsa dan negara juga dipertaruhkan.

Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar