Kamis, 06 Maret 2014

Bola Liar Kabut Asap

Posman Sibuea

KABUT asap akibat kebakaran hutan di Sumatera Utara dan Riau semakin pekat, beberapa minggu terakhir. Sejumlah penerbangan di Bandara Kualanamu, Medan, dan Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, tertunda dan bahkan ada yang dibatalkan.

Dampak sosial ekonominya sudah sangat merugikan warga. Selain kerugian materiil yang besar, ribuan warga mengalami iritasi mata dan gangguan infeksi saluran pernapasan akut, penduduk terpaksa mengungsi, aneka satwa terbakar, dan hilangnya plasma nutfah. Berbagai kerugian ini seharusnya mengingatkan pemerintah sebuah tugas sangat penting untuk tidak terlalu bersibuk ria mengurus partai menjelang Pemilu 2014.

Pembakaran hutan yang kerap berulang membuat hati miris. Kabut asap yang ditimbulkan bak bola liar yang sulit dijinakkan. Kebakaran hutan sudah menjadi kalender rutin tahunan. Padahal, sejak 1995, pemerintahan Orba sudah mengampanyekan penyiapan lahan tanpa bakar (PLTB). Intinya: melarang membuka lahan perkebunan kelapa sawit dengan cara membakar. Sayangnya, pembukaan lahan dengan paradigma lama ini masih tetap terjadi karena minimnya kesadaran lingkungan di kalangan pemilik perkebunan sawit.

Penghasil devisa

Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia, Adrien Hallet (1911), warga negara Belgia, pasti tidak menduga perkembangan tanaman penghasil minyak nabati ini sangat pesat. Perkebunan yang awalnya hanya sekitar 5.123 hektar di Tanah Deli dan Aceh kini berkembang secara signifikan sebagai tanaman primadona penghasil devisa.

Gurihnya keuntungan yang dijanjikan industri perkebunan satu ini mendorong percepatan perluasan lahan ke seluruh wilayah Tanah Air. Pada 1980, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia baru 29.560 hektar, terdapat hanya di Sumatera Utara dan Aceh. Tahun 1994, luas areal perkebunan sawit meningkat jadi 1,8 juta hektar. Sembilan belas tahun kemudian, 2013, perkembangannya amat spektakuler dengan areal sudah mencapai 9,2 juta hektar. Indonesia mampu memproduksi 26 juta ton minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Ambisi pemerintah menjadikan Indonesia penghasil minyak sawit mentah terbesar di dunia mendorong perluasan perkebunan secara masif. Pada 2006, Indonesia berhasil menggeser posisi Malaysia dari urutan pertama. Komersialisasi kelapa sawit berkembang ke arah kapitalisasi perkebunan melalui ekspansi yang masif karena dipicu oleh tingginya permintaan pasar global CPO. Namun, ekspansi ini telah mengakibatkan kerusakan hutan dan hilangnya hak hidup sebagian masyarakat sekitar hutan.

Perkebunan kelapa sawit Indonesia kini dituduh perusak lingkungan hidup. Data yang dilansir Bank Dunia, 70 persen perkebunan kelapa sawit dibangun dari lahan hutan alam dan 30 persen dari lahan gambut. Tingkat deforestasi dan perubahan lahan gambut jadi perkebunan kelapa sawit sudah mencapai angka yang mengkhawatirkan dan berkontribusi dalam proses pemanasan global. Salah satu penyebab suhu bumi yang makin panas ditengarai kian luasnya alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit di Indonesia.

Mengubah pola pikir

Kampanye negatif masyarakat Eropa atas produk minyak sawit Indonesia yang tidak bersahabat dengan lingkungan tak terbantah lagi. Pembukaan perkebunan sawit lewat pembakaran hutan dituduh sebagai penyumbang terbesar emisi gas karbon perusak lapisan ozon. Deforestasi itu dikaitkan dengan rusaknya habitat orangutan. Dua hal ini digunakan sebagai amunisi untuk membendung masuknya minyak sawit ke negara-negara Barat.

Sementara itu, pengendalian kebakaran hutan di Indonesia sampai saat ini masih terfokus pada penanganan akibat, belum pada pencegahan. Berbagai upaya pencegahan memang sudah dilakukan, tetapi belum benar-benar disadari dan didasari pemahaman yang sebenarnya. Penanggulangan kebakaran hutan pertama kali harus dilakukan terhadap manusia, yaitu mengubah pola pikir yang memandang hutan untuk dikuasai dan dieksploitasi.

Secara filosofis, manusia bertanggung jawab atas semua bencana kabut asap ini. Tidak perlu mencari kambing hitam dengan menuduh musim kemarau panjang memantik kebakaran hutan. Manusia mesti dipersalahkan karena ia sudah mendapat anugerah yang paling hebat, yakni daya akal budi. Manusia diberikan talenta untuk mampu menimbang baik dan buruk. Akal budinya memutuskan apakah baik membakar hutan atau tidak.

Manusia bersalah, tuduhan ini sah. Manusia menebang pohon semaunya untuk mengambil kayu demi keuntungan pribadi. Keseimbangan alam pun terganggu. Penyakit baru bermunculan karena udara dan air tercemar  limbah industri. Tragedi Minamata, Bhopal, dan Chernobyl adalah serpihan contoh dampak ketidakpedulian manusia pada keseimbangan alam yang menetaskan penderitaan. Romantisisme yang disuguhkan hutan yang rimbun, hijau, dan riak air mengalir hanya menjadi kenangan.

Merevitalisasi sikap bersahabat dengan alam patut digagas menjadi sebuah paradigma baru. Kepedulian terhadap lingkungan bukan sekadar wacana-wacana besar dalam pidato politik ketua partai. Ia menjadi sesuatu conditio sine qua non jika manusia ingin hidup tenang dan damai. Persahabatan dengan alam dan lingkungan hendak menekankan sebuah hubungan yang tidak saling bermusuhan. Manusia menerima alam sebagai sahabat dengan menjauhkan sikap egosentrisme dan antroposentrisme.

Meski manusia penerima mandat yang diberi kuasa untuk mengatur alam, ia bukan pemilik yang semena-mena memeras madu sumber daya alam untuk pemuas dahaga kerakusannya. Korporasi pemilik modal meraup untung besar dari hasil hutan dan perkebunan kelapa sawit. Namun, masyarakat sekitar selalu terancam bencana banjir dan kabut asap yang menyesakkan napas.

Sikap dikotomi yang melihat sumber daya alam semata sebuah obyek yang harus dieksploitasi harus ditinggalkan. Kesadaran untuk menjinakkan bola liar kabut asap patut dimulai dari gerakan masyarakat ekonomi hijau (green economy), yakni pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan harus menempatkan prinsip kelestarian lingkungan dalam setiap keputusan bisnisnya.

Peningkatan devisa  dari sektor agroindustri yang masih dibungkus dalam bingkai neoliberalism kapitalistik yang ekstraktif, dengan watak yang rakus pada sumber daya alam, sudah saatnya ditinjau ulang.

Posman Sibuea, Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas, Sumatera Utara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar