Sabtu, 19 Januari 2013

Saatnya Pengarang Bersinergi

Radhar Panca Dahana

Tidak sedikit, bahkan mungkin masih mayoritas, seniman berpendapat bahwa organisasi atau tertib dan keteraturan berbahaya bagi kreativitas. Dalam cara kerja seniman yang intuitif, emosional, atau moody,tertib dan disiplin organisasi seperti menjadi ancaman (bahkan) pembunuhan manusia kreatif.

Seniman itu �eksentrik�, �urakan�, �susah diatur�, �semau gue�, dan sebutan-sebutan lain yang memberi semacam privilese atau �kejaizan� untuk keluar atau melanggar tertib sosial, baik secara yuridis, normatif, manajerial, maupun adat. Sebuah otoritas yang kemudian dipahami secara keliru sebagai bagian dari licentia poetica.

Cara kerja�bahkan cara hidup�yang diyakini seperti itu, dianggap oleh banyak kalangan memungkinkan seniman memperoleh pikiran atau gagasan yang segar, aneh, alternatif, lain dari yang lain, yang nonlinier, yang out of the box. Dengan cara itu pula kreativitas bisa terjadi dan berlangsung secara dinamik, bahkan sebagian lain menganggapnya sebagai conditio sine qua non bagi keberadaan seorang seniman.

Kondisi, cara berpikir, hingga pola hidup seperti itu sudah saatnya kita pertimbangkan kembali untuk tidak mengatakan: stop! Apa yang menjadi selimut dari cara berpikir, bersikap, hingga bertindak di atas tidak lain adalah sebuah romantisme yang agak psikotik tentang posisi dan peran seniman yang �berbeda� dari elemen-elemen sosial lainnya. Berbeda dengan kaum akademisi, politik, pedagang, agamawan, dan sebagainya. Seniman adalah makhluk atau manusia khas yang dilahirkan untuk �beda� dari manusia yang lain.

Saya belum meneliti, dari mana anggapan emosional atau praasumsi ini bisa muncul. Bisa jadi romantisme ini muncul dari riwayat hidup banyak seniman besar pada masa lalu, di dalam ataupun di luar negeri yang diisi oleh banyak kejadian unik, avonturisme besar, hingga tabiat atau perilaku senimannya yang membuat masyarakat umum atau mainstream terkejut dan merasa aneh. Dan masyarakat umum pun seperti memberi permakluman atau permisivitas yang cukup tinggi, ketika keanehan, bias bahkan deviasi itu dikaitkan dengan (ke)seniman(an).

Romantisme itu menjadi semacam kuman yang menular saat seorang seniman atau calon seniman membaca riwayat penuh penderitaan dari seniman besar macam Moliere, Dostoyevski, hingga Pramoedya, atau seniman avontur yang penuh kelas seperti Picasso, Hemingway, Baudellaire, hingga Raden Saleh dan Chairil Anwar, atau seniman urakan bahkan patetik yang selalu rapi, dan tampil flamboyan seperti Riviera, Mozart, hingga WS Rendra, dan seterusnya.

Idealisasi romantik semacam ini mengundang banyak persoalan, apalagi ketika ia berproses dan menuju pada sebuah anggapan umum seniman itu adalah semacam stranger in a town. Lebih-lebih bila itu menjadi sebuah sikap yang menolak organisasi, manajemen, disiplin, dan ketertiban sebagai racun bahkan lawan dari kesenimanan dan kreativitas. Ada sekurangnya lima alasan yang bisa disebut untuk itu.

Kekeliruan kreatif

Pertama, kita keliru bila mengambil acuan sikap kesenimanan atau kreatif dari nama-nama besar di atas untuk kita terapkan sebagai gaya atau pola hidup kita sehari-hari, tanpa impuls apa pun yang khas dari hidup sehari-hari itu. Apa yang terjadi dalam hidup para seniman besar di atas bukanlah gaya yang mereka bentuk dengan sengaja, melainkan semacam sikap atau respons dari realitas atau kenyataan kontemporer mereka. Dan sikap itu muncul dari sebuah renungan, dari efek yang mereka dapat atau rasakan, dari pendirian intelektual-filosofis bahkan spiritual yang mereka bangun.

Sifatnya situasional. Jauh dari romantisme apalagi kegenitan dalam cara berbusana, penggunaan aksesori, panjang rambut, hingga cara berbicara dan berbahasa tubuh yang artifisial atau dibuat-buat. Ada argumentasi yang kuat katakanlah dari �rambut gondrong�, �baju hitam�, atau �celana penuh sobekan� dari para seniman historis di atas ketimbang sekadar impuls murahan hanya untuk dikatakan �berbeda�.

Kedua, sikap romantik di atas dapat menjadi kerugian personal bahkan komunal. Terutama jika ia terjadi melalui proses peniruan atau semacam epigonisme. Termasuk di antaranya pemeo menggelikan di kalangan seniman�kebanyakan sastrawan�yang menyatakan, �Adalah kesalahan mencuri buku, tetapi dosa besar bila mengembalikan buku yang dipinjam.� Akibatnya, banyak buku di perpustakaan yang pindah ke rak buku pengarang, sampai tak kurang dari 1.000 judul buku hilang dari perpustakaan pribadi saya. Ini bukan lagi sekadar romantisme, melainkan sudah menjadi vandalisme.

Ketiga, eksentrisitas dan urakanisme kalaupun itu ada sebenarnya bukanlah milik sah atau privilese dari kaum seniman saja. Sikap semacam itu juga ada pada pemikir-filosof Michel Foucault, diktator macam Hitler dan Stalin, fisikawan Albert Einstein, bahkan pada pemimpin politik macam Abraham Lincoln dan Soekarno. Ini adalah sebuah sikap yang menolak kemapanan, menolak sistem yang berlaku (established), atau sikap revolusioner saat menentang rezim lama (dalam politik, ekonomi, bahkan ilmu pengetahuan). Dia bukan cara hidup yang harus kita praktikan bahkan selebrasi ketika realitas sekitar kita tak memberi alasan untuk itu, bahkan mungkin tersenyum geli karenanya.

Keempat, hal yang sangat penting, kesenian adalah sebuah bidang atau jalan hidup yang menempatkan disiplin secara integral di dalam dirinya. Tak ada karya yang baik dapat diproduksi secara kreatif tanpa sebuah disiplin yang keras berproses di baliknya. Dan, mungkin tidak banya disadari, disiplin adalah kata dasar dari apa yang kemudian kita sebut sebagai organisasi, manajemen, atau sistem di mana tertib dan keteraturan menjadi buah yang ditanaknya.

Tak ada kesenian baik tanpa disiplin, tak ada kesenian bagus tanpa organisasi. Apa pun cabang kesenian yang dipilih seseorang, organisasi sudah menjadi prakondisi untuk melahirkan sebuah karya. Bukankah sebuah organisasi yang disiplin untuk menyusun bab, bagian-bagian cerita, plot, karakter, hingga opening dan ending dari sebuah novel? Bukankah sebuah lukisan tidak lain adalah organisasi luar biasa dari titik, garis, bidang dan warna? Bukankah larik atau bait adalah organisasi kata-kata yang disusun dengan ketat dan penuh disiplin? Dan bagaimana Anda bicara tentang sebuah pertunjukan, teater, musik atau tari? Apa tidak keseluruhannya adalah kerja disiplin organisasi yang berlapis?

Vitalitas organisasi

Organisasi bukan saja tak terhindarkan, tetapi ia adalah sebuah realitas natural dari kesenian. Penolakan atas nama romantisme sudah saatnya diakhiri saat ini. Tidak akan muncul sebuah karya yang baik, yang besar, yang beramplitudo dan bermagnitud tinggi, yang kanonik, tanpa disiplin, tanpa organisasi. Seni dan seniman Indonesia sudah hampir setengah abad menyampingkan, menafikan atau alergi terhadap hal ini. Mungkin ini salah satu penyebab stagnasi kualitas dari karya-karya sastra mutakhir kita.

Situasi di atas menunjuk pada hal kelima, di mana organisasi di tingkat komunal pun dianggap sebagai ancaman yang membahayakan para seniman. Selain alasan-alasan individual di atas, alasan komunal ini sebenarnya juga artifisial bahkan cenderung psikosis. Alasan itu tidak berdasarkan pada realitas yang rasional dan faktual, tetapi lebih pada realitas historis yang traumatis bahkan patologis. Realitas historis itu muncul dari pengalaman para seniman, pengarang terutama, pada masa tahun 50-an dan 60-an. Masa di mana para seniman dan pengarang dikotak-kotak oleh berbagai organisasi yang menjadi onderbouw atau sayap kepentingan kelompok atau partai politik tertentu.

Ini saatnya bagi seniman, mereka pengarang-pengarang terbaik dan terpenting yang berkumpul dalam Pertemuan Pengarang Indonesia 2012 di Makassar, November lalu, untuk berani melucuti diri�baik secara personal maupun komunal�dari stigma, trauma, juga romantisme yang menyesatkan bahkan justru mengancam di atas. Ini pula saatnya kita, para pengarang, memulihkan kesatuan di masa perjuangan republik dulu, memadatkan kekuatan kolektif serta membentuk sinergi yang memungkinkan kesusastraan Indonesia mengeluarkan kemampuan terbaiknya.

Kemampuan yang sebenarnya terpendam menjadi potensi karena dikubur oleh hal-hal di atas. Kemampuan sinergis yang mestinya memberi peluang kesusastraan dan kesenian pada umumnya untuk mengambil peran historis dan kultural yang ada padanya�secara natural dan nurtural�dalam dinamika atau proses perkembangan/pembangunan bangsa yang sedang berjalan. Sinergi dan peran sosiokultural yang selaiknya mempertinggi posisi tawar kesusastraan dalam berhadapan dengan stakeholders atau elemen-elemen sosial lainnya.

Asosiasi pengarang pada akhirnya adalah sebuah kekuatan besar yang akan mempertahankan dan membela semua kepentingan pengarang di luar persoalan artistik yang menjadi domain eksklusif setiap pengarang. Namun, semacam asosiasi ini, akan memperjuangkan kebutuhan, kepentingan, hingga martabat setiap pengarang pada semua masalah, dari ekonomi (pajak, royalti, honor, gaji, dan sebagainya) hingga masalah politik (hak, kebebasan, pendapat, dan sebagainya) sampai masalah yuridis (pelanggaran hak, urusan keamanan, penuntutan, dan sebagainya).

Inilah momen sejarah di mana pengarang menetapkan secara sadar peran dan kekuatannya, bukan dalam romantisme masa lalu, melainkan dalam optimisme ke masa depan. Selain karya yang bagus, pengarang masa kini juga mendapatkan peluang memberi warisan kepada generasi berikut tentang visi dan orientasi kebudayaan yang memberi arah dan acuan ke mana sebuah bangsa akan ditujukan. Pada saat yang bersamaan, kita mengobati dan menyembuhkan luka-luka sejarah yang tertinggal menjadi koreng bahkan tumor yang mengganggu metabolisme tubuh kreatif kita.

Atau kita masih menunggu lagi? Hingga bila? Sambutlah tangan ini, kita bersama, berorganisasi, berasosiasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar