Senin, 05 Maret 2012

BDF dan Demokrasi Indonesia

Azyumardi Azra

Bahwa Indonesia dalam dasawarsa terakhir sering disebut sebagai negara demokratis ketiga terbesar di dunia, setelah India dan AS, tidak dipersoalkan warga Indonesia sendiri ataupun masyarakat internasional. Namun, kenyataan demokrasi Indonesia setelah 13 tahun berlaku belum terkonsolidasi sepenuhnya tak serta-merta mengurangi tanggung jawab dan peran Indonesia memajukan demokrasi secara global.

Meski masih menghadapi berbagai masalah dalam demokrasinya, Indonesia tetap berada dalam posisi lebih baik untuk lebih memainkan peran ke arah pertumbuhan dan penguatan demokrasi tingkat regional ASEAN atau Asia Pasifik, bahkan di tingkat internasional lebih luas.

Aktualisasi peran itu tak lain merupakan amanat Pembukaan UUD 1945 bahwa pemerintah negara Indonesia juga ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Sebagai negara dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan satu-satunya di kawasan
ini yang menjadi anggota G-20, Indonesia memiliki bobot dan daya tekan memainkan peran lebih besar dalam pertumbuhan dan konsolidasi demokrasi di berbagai kawasan dunia. Masalahnya kemudian, sejauh mana Indonesia telah menggunakan pengaruh itu; dan langkah yang dapat dilakukan lebih jauh untuk berdiri di depan barisan kekuatan internasional mendorong transisi dan konsolidasi demokrasi baik ke dalam maupun ke luar.

Bali Democracy Forum

Sejauh menyangkut pertumbuhan demokrasi, Indonesia jelas memiliki pretensi dan keinginan kuat untuk memainkan peran lebih besar pada tingkat internasional. Hasrat ini diwujudkan sejak 2008 ketika Bali Democracy Forum (BDF) untuk pertama kali diselenggarakan di Bali. Sejak itu BDF menjadi agenda tahunan Pemerintah Indonesia sampai penyelenggaraan yang kelima kalinya pada 8-9 November 2012.

Jelas BDF menarik kian banyak peserta. Pada BDF I hadir empat kepala negara/pemerintahan, 32 negara peserta dari kawasan Asia Pasifik, 8 negara Eropa dan Amerika, serta lembaga internasional sebagai observer. Lalu pada BDF II 2009 masing-masing empat kepala negara/pemerintahan, 35 negara peserta, 13 negara/lembaga internasional pengamat; BDF III 2010, empat kepala negara/pemerintahan, 44 negara peserta, 27 negara/lembaga internasional pengamat; BDF IV 2011, 9 kepala negara/pemerintahan, 40 negara peserta, dan 45 negara/lembaga internasional pengamat; serta BDF V 2012, 11 kepala negara/pemerintahan, 50 negara peserta, dan 13 negara/lembaga internasional pengamat.

Mengapa BDF bisa bertahan dan menjadi agenda tahunan banyak negara? Salah satu faktor adalah pendekatan inklusif BDF yang cukup unik: bahwa Indonesia tidak membatasi keikutsertaan dalam forum pada negara-negara yang benar-benar telah legitimate sebagai demokrasi, tetapi juga negara-negara yang pada dasarnya merupakan negara otoritarianisme militer atau sipil, totalitarianisme, monarki absolut, teokrasi, atau sistem satu partai tunggal. Dengan pendekatan inklusif, yang agaknya khas Indonesia, para peserta tidak dieksklusi dan merasa nyaman mengikuti percakapan tentang demokrasi dan tukar-menukar pengalaman mengenai praktik terbaik dalam demokrasi.

Pendekatan inklusif BDF baik langsung maupun tidak mengisyaratkan pengakuan Indonesia: sesungguhnya tidak ada satu model tunggal dan bentuk ideal demokrasi. Memang setiap negara demokrasi niscaya harus mengadopsi prinsip pokok demokrasi, tetapi setiap negara demokrasi juga memiliki kekhasannya yang tidak bisa begitu saja dapat diberlakukan�apalagi dipaksakan�kepada negara-negara lain.
Karena itu, demokrasi mestinya muncul dari dalam (from within), bukan dipaksakan dari luar (from without).

Lebih jauh, percakapan dalam BDF tidak terbatas pada demokrasi per se. Ini dapat terlihat dari pokok pembicaraan: �Membangun dan Mengonsolidasikan Demokrasi: Agenda Strategis Asia� (BDF I); �Mempromosikan Sinergi antara Demokrasi dan Pembangunan di Asia: Prospek Kerja Sama Regional� (BDF II); �Demokrasi dan Promosi Perdamaian dan Stabilitas� (BDF III); �Memperkuat Partisipasi di Dunia yang Tengah Berubah� (BDF IV); dan �Memajukan Prinsip-prinsip Demokrasi pada Setting Internasional� (BDF V).

Memperkuat �leverage� RI

Pembicaraan tentang demokrasi dalam kaitannya dengan berbagai tema tadi kelihatan menjanjikan. Namun, juga jelas, percakapan dalam BDF tidak instan dapat membuat demokrasi bisa terkonsolidasi di sejumlah negara Asia Pasifik. Bahkan, hingga kini transisi banyak negara�seperti di dunia Arab�berlangsung alot, pedih, dan lama sehingga masa depan demokrasi pun belum menentu.

Di tengah perkembangan belum menggembirakan itu, Indonesia sepatutnya trus memberikan inspirasi bagi penguatan demokrasi. Indonesia juga dapat meningkatkan kerja sama bilateral dengan negara-negara yang sedang transisi menuju demokrasi melalui berbagai program semacam pertukaran pengalaman (bukan menggurui), bantuan teknis kelembagaan dan lain-lain yang dilaksanakan Indonesia dalam membangun demokrasi.

Namun, agar Indonesia dapat lebih efektif memainkan peran seperti itu, yang diperlukan bukan hanya diplomasi luar negeri lebih aktif, melainkan juga pembenahan demokrasi Indonesia sendiri. Hanya dengan demokrasi yang bernas, Indonesia dapat memiliki leverage lebih kuat lagi dalam membantu transisi lebih lancar di kawasan Asia Tenggara semacam Myanmar dan juga di dunia Arab.

Karena itu, penguatan dan konsolidasi demokrasi Indonesia sangat mendesak dilakukan. Konsolidasi itu mesti diarahkan tak hanya pada pembenahan lembaga politik semacam parpol, parlemen yang kredibel dan akuntabel, pemerintahan yang menegakkan good governance, tetapi juga pada upaya keras dan sungguh-sungguh agar demokrasi dapat mewujudkan janji-janjinya untuk kesejahteraan warga melalui pembangunan.

Jika demokrasi Indonesia gagal atau terseok-seok memperbaiki kehidupan bangsa pada berbagai seginya, bisa dipastikan kian banyak warga dan kelompok kehilangan kepercayaan kepada demokrasi. Jika ini terjadi, Indonesia dapat terjerumus ke dalam kesulitan demi kesulitan.

Demokrasi memang memiliki batas dan kelemahan tertentu, termasuk di Indonesia. Namun, bagi negara-bangsa Indonesia, demokrasi tetap menjadi pilihan sis- tem politik lebih baik dibandingkan dengan sistem politik lain semacam teokrasi (dawlah Islamiyah atau khilafah Islamiyah), atau diktatorisme, atau otoritarianisme apakah sipil maupun militer.

Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Anggota Advisory Board, International IDEA, Stockholm dan BDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar