Kamis, 05 November 2009

AS Ubah Kebijakan soal Myanmar

Kita punya banyak catatan yang memperlihatkan selama ini Amerika Serikat menganut kebijakan yang tegas terhadap Myanmar.

Dalam berbagai kesempatan, negara adidaya ini bicara tentang perlunya rezim di Myanmar berubah atau menghadapi pengucilan internasional yang makin luas. Selain AS, negara-negara Eropa pun menempuh garis serupa. ASEAN pun memperlihatkan perkembangan sikap ke arah makin blakblakan. Namun, sejauh ini, rezim militer bergeming.

Apakah hal itu lalu memicu AS untuk mengubah kebijakannya? Untuk menjawabnya, kita perlu menganalisis lebih dalam. Namun, yang jelas, pekan ini AS mengirimkan satu delegasi pejabat tinggi ke Myanmar. Mereka telah bertemu dengan penguasa militer pada hari Selasa, dan juga dengan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi hari Rabu kemarin. Inilah pembicaraan tingkat tinggi pertama antara AS dan junta dalam 14 tahun terakhir.

Lawatan dua hari oleh Asisten Menlu AS Kurt Campbell dan wakilnya, Scot Marciel, jelas menyimbolkan perubahan kebijakan dari pemerintahan George W Bush ke Barack Obama. Jika Bush cenderung pada kebijakan isolasi, Obama lebih memilih pembicaraan langsung, tingkat tinggi, dengan rezim militer.

Sasaran dari kebijakan menjalin dialog dengan junta ini tampaknya adalah untuk mendesakkan pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil tahun depan. Pengamat lain, seperti dikutip kantor berita Reuters, menyebutkan, perubahan kebijakan yang bernuansa mendekat kembali (rapprochement) itu tak lepas dari pertimbangan geopolitik, yang memperhitungkan meningkatnya pengaruh regional China. Sementara juru bicara Deplu AS, Ian Kelly, menyebut lawatan ini �pada dasarnya bersifat misi penemuan fakta� yang ditujukan untuk memajukan dialog yang belum lama ini disepakati di antara kedua negara.

Melalui lawatan pejabat Deplu ini, diharapkan AS bisa mendapatkan gambaran mengenai seberapa serius para jenderal di Myanmar memandang perlunya reformasi demokrasi. Sekadar catatan, prakarsa menjalin dialog dengan Myanmar muncul setelah Campbell bertemu dengan Menteri Sains, Teknologi, dan Tenaga Kerja Myanmar di New York, September lalu.

Kita melihat kedatangan dua pejabat tinggi AS di Myanmar merupakan sinyal awal dari satu perubahan kebijakan. Bagaimana kelanjutannya, hal itu masih perlu waktu untuk menyimpulkannya.

Pertanyaannya, apakah hasilnya akan membuat Myanmar mau membuka diri atau malah menjadikan itu sebagai penambah legitimasi bagi junta? Sekarang ini ketidaksediaan jenderal senior Than Shwe untuk bertemu dengan Campbell sudah menjadi ukuran bahwa junta tak siap untuk berkompromi.

TAJUK RENCANA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar