Rabu, 27 Februari 2013

Memudarnya Partai Islam

Salahuddin Wahid

Sejak 1945, banyak ormas Islam tergabung dalam Partai Masyumi. Pada 1952, Nahdlatul Ulama beralih dari ormas Islam menjadi partai Islam.

Partai Syarikat Islam Indonesia melanjutkan kiprah politik Syarikat Islam yang didirikan HOS Tjokroaminoto. Pada Pemilu 1955, kekuatan politik partai Islam berkisar pada angka 43 persen. Masyumi menjadi partai terbesar kedua, sedangkan Partai NU menjadi partai ketiga.

Pada Pemilu 1971, kekuatan politik partai Islam menurun. Hanya Partai NU yang lumayan suaranya. Golkar mendapat sekitar 62 persen suara. Pada 1973, partai-partai Islam didorong bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai-partai non-Islam didorong bergabung ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pemenang pemilu 1977-1997 adalah Golkar karena didukung pemerintah dengan berbagai cara. Pemenang kedua, PPP, jauh dari perolehan suara Golkar.

Pemilu 1999 adalah pemilu kedua terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Dari 48 peserta pemilu, terdapat belasan partai Islam atau berbasis massa Islam. Yang menjadi pemenang adalah PDI-P (sekitar 34 persen). Kedua, Partai Golkar (sekitar 21 persen). Ketiga, PKB (sekitar 12 persen). Keempat, PPP (sekitar 10 persen). Kelima, PAN (sekitar 7 persen).

PKB didirikan oleh tokoh-tokoh utama NU. Struktur NU di banyak tempat mendukung PKB. Namun, sejumlah tokoh NU, terutama di daerah, bergabung dengan PPP, Golkar, dan partai kecil yang didirikan tokoh-tokoh NU. Jelas, dukungan struktur NU itu mendongkrak perolehan suara PKB. PAN didirikan Amien Rais, Ketua Umum PP Muhammadiyah yang baru saja mengundurkan diri. Banyak tokoh Muhammadiyah yang aktif di PAN. Saat itu, PAN identik Muhammadiyah.

Pemenang Pemilu 2004 adalah Golkar. Perolehan suara PDI-P menurun belasan persen. Perolehan PKS meningkat secara mencolok. Sementara perolehan PKB, PPP, dan PAN sedikit turun. Muncul pendatang baru yang tiba-tiba melejit, Partai Demokrat, yang mengandalkan ketokohan SBY.

Pasca-2004, sebagian tokoh PKB mendirikan Partai Kebangkitan Nasional Ulama dan sebagian tokoh PAN mendirikan Partai Matahari Bangsa. Kedua partai itu tak memperoleh kursi di DPR. PKB terbelah menjadi kubu Muhaimin dan kubu Gus Dur. Maka, perolehan suara PKB pada 2009 anjlok sekitar 50 persen dibanding 2004. Suara PPP juga anjlok. PKS tetap bertahan. Partai Demokrat meroket menjadi pemenang pertama. Golkar dan PDI-P menjadi pemenang kedua dan ketiga. Muncul partai baru yang bukan partai Islam, yaitu Partai Gerindra dan Partai Hanura. Belakangan sejumlah survei menunjukkan partai Islam dan berbasis massa Islam mengalami penurunan. PKS mengalami pukulan akibat ditangkapnya Presiden PKS dengan tuduhan suap terkait impor daging sapi. Tentu ada pertanyaan, mengapa partai Islam atau berbasis massa Islam makin menurun perolehan suaranya? Menurut Komaruddin Hidayat, partai Islam akan menerima sanksi lebih berat dibanding bukan partai Islam jika tokohnya korupsi.

Jaringan Ormas Islam

Kita perlu melakukan pendekatan berbeda, yaitu melalui aspek keterkaitan ormas Islam/tokohnya terhadap parpol Islam atau berbasis massa Islam. Juga pendekatan melalui aspek mencairnya politik aliran sejak 1973 hingga kini.

Pada Pemilu 1955, semua ormas Islam mendukung partai-partai Islam. Muhammadiyah dan semua organisasi afiliasinya mendukung Partai Masyumi. HMI dan PII juga begitu. Karena ormas NU menjadi parpol, semua organisasi afiliasinya mendukung Partai NU. Pada Pemilu 1971, sudah ada ormas Islam yang mendukung Golkar, yaitu GUPPI. Setelah itu, sejumlah tokoh pesantren di Jawa Timur bergabung dengan Golkar. Kemudian tokoh-tokoh HMI, PII, Muhammadiyah banyak yang menjadi aktivis Golkar termasuk di daerah.

Pada Muktamar 1984, NU menerima asas Pancasila dan menyatakan akan menjaga jarak yang sama terhadap semua parpol yang ada. Maka, banyak tokoh NU yang menjadi aktivis Golkar. Bahkan, Gus Dur juga menjadi anggota MPR dari FKP. Tokoh-tokoh ormas Islam yang dulu aktif di Golkar hampir semua tetap berkiprah di Partai Golkar. Perubahan sikap NU yang dulu memperjuangkan negara berdasar Islam dan kini menerima asas Pancasila, membawa perubahan mendasar dalam diri anak-anak muda NU. Perubahan yang sama mungkin juga terjadi di dalam Muhammadiyah dan ormas Islam lain.

Ketika Aburizal Bakrie menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar, terlihat peran tokoh HMI dalam DPP Partai Golkar mulai menurun, tetapi di tingkat daerah jaringan mereka masih cukup kuat. Anas Urbaningrum mampu meraih posisi Ketua Umum DPP Partai Demokrat. Itu bisa dicapai berkat kemampuan jaringan alumni HMI menyusun kekuatan di dalam struktur Partai Demokrat. Badai politik yang menerjang Anas tidak mengurangi kekuatan jaringan HMI di dalam Demokrat. Alumni PMII juga ada di Golkar dan Partai Demokrat, tetapi tidak sekuat alumni HMI.

Kekuatan jaringan tokoh ormas Islam di Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Hanura merupakan daya tarik bagi pemilih dari kalangan Islam. Kini, sudah cukup banyak alumni HMI dan PMII dan aktivis NU yang masuk ke dalam PDI-P melalui Baitul Muslimin Indonesia.

Aliran Islam

Saat pembahasan RUU Perkawinan (1973) terjadi penolakan kuat terhadap sejumlah pasal dalam RUU itu. Visi kenegarawanan Pak Harto membuat Golkar dan ABRI menerima usul perubahan dari PPP, yang membuat UU Perkawinan jadi UU pertama yang menerima ketentuan syariat Islam yang partikular. Hanya PDI yang menolak. Peristiwa yang sama terulang saat DPR menerima UU Peradilan Agama. Golkar, ABRI, dan PPP menerima UU itu, sedangkan PDI menolak.

Pengalaman di atas menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat bahwa Golkar ternyata tak anti-Islam seperti terlihat pada Pemilu 1971. Saat itu, pemerintah dan Golkar memang gigih melawan partai-partai Islam yang belum menerima asas Pancasila. Pengalaman membuktikan, Golkar selalu memihak kalangan Islam dalam pembahasan UU yang mengandung pasal-pasal yang menimbulkan pro-kontra kuat terkait masalah keagamaan. Misalnya, UU Sisdiknas dan UU Pornografi. Kalau mau ditarik ke awal, Partai Demokrat dan Partai Hanura tak banyak berbeda ideologinya dengan Golkar. Mungkin Gerindra dan Nasdem juga demikian. Jadi tidak ada garis batas atau pembeda yang tegas antara Partai Golkar dan turunannya dengan partai-partai Islam dan partai berbasis massa Islam dalam masalah hubungan agama dan negara.

Jadi, berdasar dua aspek itu�jaringan ormas Islam dan kemiripan dalam visi hubungan agama dan negara antara partai-partai tengah dengan partai Islam dan partai berbasis massa Islam�dapat dipahami bahwa sebagian besar pemilih dari ormas Islam memilih partai-partai tengah itu. Partai Islam akan mempunyai nilai lebih di mata pemilih bila mampu mengambil prakarsa dan mewujudkan UU dan kebijakan yang islami dalam masalah ekonomi, dalam pengertian lebih memperhatikan pemerataan daripada pertumbuhan. Juga kalau berhasil mengegolkan kebijakan dalam memperluas akses kepada masyarakat dalam memperoleh pendanaan untuk usaha.

Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng

Kamis, 07 Februari 2013

Mencari Pemimpin

Salahuddin Wahid

Pertemuan bertema �Indonesia Mencari Pemimpin� digelar sebuah media. Pihak lain, Gerakan Indonesia Memilih, juga melakukan upaya yang sama. Lembaga Survei Indonesia melakukan survei terhadap 200 pemimpin opini dari seluruh Indonesia untuk mengetahui siapa tokoh-tokoh yang dianggap layak memimpin Indonesia.

Gerakan untuk mencari tokoh-tokoh yang dianggap layak memimpin bangsa dan negara itu dilakukan karena nama-nama yang sudah ditampilkan sejumlah partai dianggap kurang memenuhi syarat. Tiga nama dari partai sudah beredar, yaitu Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, dan Megawati yang baru saja menyatakan siap untuk maju lagi dalam Pemilihan Presiden 2014. Survei terhadap pemimpin opini oleh LSI menampilkan lima nama, yakni Mahfud MD, Jusuf Kalla, Dahlan Iskan, Sri Mulyani Indrawati, dan Hidayat Nur Wahid. Di samping itu ada tokoh partai yang diduga punya minat untuk menjadi calon presiden/calon wakil presiden, yaitu Hatta Rajasa. Tentu ada nama lain yang akan muncul pada 2013 yang merupakan tahun penentuan bagi siapa pun yang ingin tampil dalam Pilpres 2014.

Kemunculan Pemimpin

Bung Karno tidak dicari. Beliau muncul sendiri secara alamiah melalui perjuangan dalam waktu panjang untuk menggugah kesadaran warga supaya berjuang menjadi bangsa dari negara merdeka. Pidato Indonesia Menggugat masih tetap menjadi bacaan anak-anak bangsa sampai kapan pun. Pidato yang mengangkat Pancasila akan tetap menjadi naskah kesejarahan kita. Pak Harto muncul secara tiba-tiba di tengah kemelut luar biasa dan di saat penuh ketidakpastian. Pada awal Oktober 1965, Pak Harto berani mengambil alih kendali, yang dipegangnya sampai Mei 1998.

Enam kali pemilihan presiden selama era Orde Baru dilakukan MPR yang sebenarnya di bawah kendali Pak Harto. Golkar tidak lain adalah kepanjangan tangan Pak Harto. MPR juga tidak mampu membatasi masa jabatan presiden maksimal dua kali sesuai aturan UUD yang rumusannya plastis implisit. Pak Habibie adalah tokoh yang dipersiapkan Pak Harto meskipun tidak semua tokoh di sekeliling Pak Harto mendukungnya. Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Ibu Mega bukan pemimpin yang dicari-cari, tetapi muncul secara alamiah karena berani menentang pemerintah Orde Baru. Gus Dur sejak lama menjadi pejuang demokrasi dan hak asasi manusia yang menjadi penganjur pluralisme. Masyarakat Tionghoa dan non-Islam amat merasakan pengayoman Gus Dur.

Ada perubahan besar pada era Reformasi setelah Pemilihan Presiden 2004 dilakukan secara langsung. Banyak tokoh menampilkan diri. Pada Pemilihan Presiden 2004 ada 3 mantan jenderal/mantan menteri, 3 ketua umum partai, 2 pengusaha/politisi, dan 2 tokoh ormas yang maju sebagai capres dan cawapres. Ternyata, tokoh partai dan tokoh ormas tidak bisa menandingi idola sebagian besar masyarakat saat itu, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

SBY adalah pemimpin yang muncul dalam situasi yang relatif tenang dibandingkan 1945, 1965, dan 1998. Saya menduga, persiapan untuk bisa menampilkannya telah cukup lama dilakukan dengan cara yang tepat. Bukan partai yang menentukan kemenangan, tetapi SBY.

Pada 2009, persyaratan jumlah kursi untuk bisa mengajukan capres/cawapres dinaikkan menjadi 20 persen. Maka, hanya tiga pasang calon yang bertanding. Kembali SBY tampil sebagai pemenang. Pada 2014, SBY tidak bisa maju lagi sebagai capres. Karena belum ada tokoh yang dianggap ideal oleh masyarakat dan punya peluang besar untuk menang, artinya tokoh yang tampil secara alamiah, tokoh-tokoh yang populer didorong untuk maju sebagai capres/cawapres, misalnya Rhoma Irama.

Suka atau tidak suka, tampaknya salah satu syarat utama untuk maju sebagai capres adalah mempunyai dana dalam jumlah amat besar, bukan kemampuan dan karakter yang bertumpu pada integritas. Tidak heran mereka yang sudah tampil dan yang akan tampil sebagai peminat untuk menjadi capres adalah pengusaha. Mereka tidak muncul secara alamiah. Namun, fenomena Jokowi dalam Pilkada DKI menunjukkan akan ada pihak yang bersedia membantu dana kalau calonnya memberi harapan besar dalam meraih suara pemilih.

Pemimpin Seperti Apa?

Dari berbagai survei, pemimpin yang diinginkan adalah pemimpin yang punya integritas, tegas, berani, dan pemimpin yang efektif. Tentu masih banyak lagi persyaratan lain, seperti rasa keadilan, cepat mengambil keputusan, dekat dengan rakyat, dan memihak pada rakyat. Kita juga membutuhkan pemimpin yang memahami dengan baik perjalanan kesejarahan bangsa baik di dalam negeri maupun di dunia internasional.

Juga pemimpin yang memahami dan menghargai keberagaman yang merupakan fitrah bangsa Indonesia. Kita perlu pemimpin yang menghargai hak asasi manusia, menyadari bahwa RI belum menjadi negara hukum, dan harus berjuang mewujudkannya.

Kita membutuhkan kombinasi pemimpin berjenis man of action, yaitu manusia petindak atau eksekutor dengan pemimpin berjenis man of ideas, manusia pemikir. Bung Karno dulu mengangkat Ir Juanda sebagai menteri pertama yang merupakan semacam perdana menteri yang bertanggung jawab kepada presiden. Menteri pertama itulah yang menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Presiden adalah kepala negara yang menunjukkan arah ke mana bangsa dan negara menuju dengan visi jangka panjang.

Pak Harto adalah man of action yang punya visi jangka panjang. Namun, Orde Baru tidak menghormati hak asasi manusia dan tidak berhasil mewujudkan negara hukum. Pendekatan kekerasan terlalu diutamakan. Terlalu lamanya Pak Harto menjadi pemimpin membuat beliau kurang peka terhadap tuntutan yang dihadapi seiring perubahan zaman.

Pak Harto adalah presiden yang amat kontroversial, banyak pengagumnya, tetapi banyak juga yang tidak suka bahkan membenci, seperti korban tindak kekerasan Orde Baru.
Pak Habibie, meski hanya menjabat 17 bulan, mampu menyelesaikan masalah berat yang dihadapi, yakni menaikkan nilai rupiah terhadap dollar AS secara signifikan, memberi kebebasan pers, dan membuka pintu demokrasi dengan mengizinkan berdirinya partai baru untuk ikut Pemilu 1999 yang menjadi pemilu terbaik setelah 1955. Hal tersebut menunjukkan Habibie adalah eksekutor yang baik.

Terlepasnya Timor Timur dari wilayah RI membuat laporan pertanggungjawaban Habibie tidak diterima MPR. Karena itu, Habibie tidak bersedia maju sebagai calon presiden. Ahmad Syafii Maarif bersama saya ikut mencoba membujuk Habibie supaya mau dicalonkan, tetapi tidak berhasil.

Besar sekali harapan masyarakat terhadap duet Gus Dur dan Ibu Mega. Sayang sekali, Gus Dur tidak berhasil menyelesaikan masa jabatannya, hanya bertahan selama 21 bulan, karena kurang berhasil menjaga keutuhan pemerintah sehingga terpaksa membubarkan DPR/MPR yang berakibat pada pelengserannya.

Megawati meneruskan masa jabatan Gus Dur selama 39 bulan dan belum banyak prestasi yang signifikan. Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah kombinasi antara man of ideas (SBY) dan man of action (JK). SBY adalah pemimpin yang memikirkan masalah kebijakan jangka panjang, dan JK memikirkan implementasi kebijakan itu dalam operasionalisasi sehari-hari seperti kombinasi Bung Karno dan Ir Juanda. Kita mencatat cukup banyak keberhasilan duet SBY-JK.

Saat ini belum ada tokoh dengan tingkat keterpilihan tinggi yang muncul secara alamiah. Mungkin yang punya potensi seperti itu saat ini adalah Jokowi, tetapi terlebih dahulu harus membuktikan keberhasilan sebagai Gubernur DKI. Karena itu, tokoh tersebut harus dicari dan diperkenalkan kepada publik. Kita juga sulit menemukan satu tokoh yang sekaligus pemikir dan petindak. Maka, kita bisa mencari kombinasi dari kedua jenis pemimpin di atas. Kalau yang satu pengusaha (mungkin man of action), pasangannya jangan pengusaha. Bisa tokoh yang memahami dengan baik perjalanan kesejarahan Indonesia. Kita jangan memilih pemimpin yang punya beban masalah masa lalu. Integritas adalah syarat yang tidak boleh diabaikan.

Salahuddin Wahid,  Pengasuh Pesantren Tebuireng

Rabu, 06 Februari 2013

Politik dan Uang

Ahmad Syafii Maarif

Pernah terjadi perdebatan panjang pada kurun 1930-an tentang hubungan politik dan agama, antara elite santri nasionalis dan elite nasionalis non-santri. Gaung perdebatan itu masih dirasakan sampai tahun 1950-an. Isu pokok yang diperdebatkan berpusat pada masalah apakah politik itu kotor atau tidak.

Non-santri bersikukuh, politik itu selamanya kotor sehingga agama yang suci jangan dibawa-bawa ke dalamnya. Santri lalu membalik formulanya, justru karena politik itu kotor perlu dibersihkan dengan agama.
Jadi, memang terdapat persamaan pandangan antara santri dan non-santri, politik itu kotor. Bedanya, bagi santri, agar politik itu tidak kotor, politik jangan dipisahkan dari agama. Non-santri menjawab, agama akan menjadi kotor jika bercampur-aduk dengan politik.

Agama dan Politik

Begitulah caranya elite bangsa tempo dulu memandang hubungan politik dan agama, masing-masing tetap bertahan pada pendiriannya. Jika substansi perdebatan ini kita baca dengan menggunakan kaca mata hari ini, fenomena sangat menarik jelas terlihat di depan mata kita.

Jika dulu tokoh santri sangat menjaga martabat dirinya agar tidak terkontaminasi oleh politik yang kotor, sebagian generasi santri sekarang justru dengan bangga berkubang dalam lumpur politik yang kotor itu.

Kondisi semacam inilah yang sangat memprihatinkan mereka yang masih menyimpan nilai-nilai luhur agama dan Pancasila. Nilai-nilai ini sekarang di dunia politik kita telah dibuang ke limbo�tempat pembuangan atau pengasingan�sejarah demi memburu uang dan kekuasaan yang tidak pernah merasa puas. Ibarat menghirup air laut, semakin dihirup semakin dahaga.

Tentu, di ranah pragmatisme politik yang keras dan kejam, siapa yang masih hirau dengan ungkapan-ungkapan bijak yang terdapat dalam semua tradisi di berbagai unit peradaban yang pernah dikenal sejarah umat manusia? Nyaris tidak ada. Tujuan mulia politik untuk kesejahteraan rakyat telah dikorbankan sedemikian rupa untuk memuaskan nafsu pragmatisme para elite yang kini sedang berburu harta dan kekuasaan. Akibatnya, simbol-simbol agama yang sering digunakan untuk mencari pendukung dan pengikut menjadi hambar dan kecut.

Di tangan mereka inilah sekarang demokrasi benar-benar tersandera sehingga tujuan mulia kemerdekaan untuk kesejahteraan bersama semakin menjauh saja. Politisi telah kehilangan kepekaan nurani, pengaruh uang demikian dahsyat. APBN/APBD/BUMN/BUMD terus saja diincar.

Inilah sebuah negeri yang dikatakan beragama, tetapi kelakuan warganya alangkah busuknya.
Dan ironisnya, teman separtai langsung berkomentar, politisi bukan malaikat. Sebuah komentar naif, defensif, dan reaktif, tetapi diucapkan tanpa beban moral yang semestinya terlihat pada diri seorang santri.

Jika demikian faktanya, perdebatan lama di atas masih cukup relevan untuk diungkap kembali. Atau, agar hidup ini tidak kepalang tanggung, buang saja simbol-simbol agama itu, langsung saja berenang dalam lautan politik yang kotor dan busuk itu bersama pihak lain yang juga punya filosofi serupa.

Partai Moralis

Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, kita mengenal dua partai moralis, yakni Masyumi dan Partai Katolik. Sekalipun berbeda agama, tokoh-tokoh kedua partai ini sangat terlihat ketat dalam mengawal moralitas anggotanya yang bergerak dalam politik. Mereka menjadikan agama sebagai ajaran moral yang wajib dipedomani dalam mengawal perilaku politik anggotanya. Sebab, tanpa moral, politik pasti merusak (destruktif).

Kerusakan inilah yang kini sedang mengepung kehidupan bangsa ini, pelopornya tidak lain adalah politisi yang tunamoral, tetapi hebatnya tidak kehilangan senyum saat memberi keterangan kepada wartawan. Alangkah hina dan kejinya tontonan serupa ini.

Di era modern, sistem demokrasi memang tidak dapat dipisahkan dengan kehadiran partai yang memang menjadi pilar utama sistem itu. Di sinilah kesulitannya sebab partai di Indonesia pasti menjadi sarangnya politisi. Sistem ini akan dapat berfungsi dengan baik manakala politisinya belajar menjadi negarawan yang lebih memikirkan persoalan bangsa dan negara secara keseluruhan, bukan terpaku dan terpukau oleh godaan kekuasaan sesaat yang menyebabkan orang kehilangan keseimbangan untuk berpikir jernih.

Sebuah partai yang berlagak suci jika suatu saat kesandung musibah moral, reaksi publik terhadapnya pasti akan sangat keras, dan tidak mustahil brutal, yang dapat menyebabkan partai itu kehilangan wibawa dan kepercayaan. Yang akan menjadi korban adalah konstituen partai ini yang sebelumnya punya kebanggaan dan kepercayaan tinggi kepada sosok pemimpin yang ternyata tidak banyak berbeda dengan politisi korup lain.

Akhirnya, sebuah ungkapan dalam Al Quran dalam Surat Al-Hasyr Ayat 2 yang maknanya, �Maka ambillah pelajaran moral, wahai orang-orang yang punya penglihatan tajam,� mungkin perlu direnungkan kembali dalam suasana serba tidak pasti seperti sekarang ini.

Ahmad Syafii Maarif, Pendiri Maarif Institute

Senin, 04 Februari 2013

Teori Konspirasi

Azyumardi Azra

�Konspirasi�. �Persekongkolan�. Istilah ini kembali menyeruak ke depan publik persis akhir Januari 2012 pascapenahanan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena dugaan terlibat suap bersama tiga tersangka lain yang diduga juga terlibat rasuah.
Para petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) umumnya menyatakan, penahanan Luthfi adalah sebuah konspirasi di antara berbagai kekuatan dalam dan luar negeri untuk menghancurkan PKS menjelang Pemilu 2014. Sementara PKS sudah memasang target untuk meningkatkan perolehan suara, menjadi salah satu dari tiga kekuatan politik terbesar di negeri ini.

Bagi banyak kalangan publik Tanah Air dan juga kalangan asing yang mengamati perkembangan politik Indonesia, mekanisme pertahanan diri PKS dengan menggunakan kepercayaan pada �teori adanya konspirasi� merupakan upaya kontra produktif. Bagi mereka, cara berpikir seperti ini, alih-alih dapat memperbaiki kerusakan yang telah terjadi, sebaliknya justru membuat citra PKS kian pudar. Apakah presiden baru PKS, Anis Matta, berhasil dalam �pertobatan nasional�, konsolidasi partai, dan bakal mampu mencapai target Pemilu 2014, masih harus ditunggu.

Kelatenan Teori Konspirasi

Adanya kepercayaan dan teori konspirasi yang dipegang individu ataupun kelompok masyarakat bukan hal baru. Gejala semacam ini sudah ada sejak lama. Orang dan kelompok yang percaya pada konspirasi ini ada baik dalam masyarakat yang masih primitif, masyarakat berkembang, maupun masyarakat maju sekalipun. Pikiran konspirasi laten dalam masyarakat dan negara mana pun, dan dapat muncul ke permukaan publik sewaktu-waktu.

Berbagai teori dan kepercayaan tentang adanya konspirasi tertentu beredar dalam masyarakat, mulai dari tingkat lokal, nasional, hingga internasional. Pikiran dan persepsi yang dikuasai teori konspirasi juga ada pada berbagai bidang kehidupan, tidak hanya politik, tetapi juga ekonomi, agama, sosial, budaya, kesenian, dan bahkan olahraga. Di kalangan bangsa Yahudi ada teori tentang persekongkolan berbagai kalangan internasional sejak abad pertengahan yang mencapai puncaknya di zaman Hitler dengan holocaust untuk menghancurkan mereka. Di kalangan masyarakat Muslim juga ada teori dan kepercayaan tentang adanya konspirasi Dunia Barat untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin.

Di dunia sepak bola, lazim adanya pikiran dan persepsi tentang konspirasi di kalangan para wasit dan hakim garis untuk memastikan Manchester United, Real Madrid, atau Juventus untuk terus memegang dominasi dan hegemoni dalam pertarungan di liga nasional masing-masing. Karena adanya konspirasi semacam itu, hampir tidak mungkin bagi tim-tim sepak bola lain untuk menjadi juara.

Kenapa dan dari mana munculnya kepercayaan terhadap pada teori konspirasi tertentu di kalangan masyarakat tertentu? Karena kelatenan teori konspirasi, para psikolog, sejarawan, antropolog, dan ahli politik telah lama pula berusaha menjawab fenomena tersebut. Mereka antara lain berkesimpulan, sikap percaya orang atau kelompok tertentu pada adanya konspirasi jahat yang mengorbankan mereka pada hakikatnya merupakan masalah psikologis. Lebih jauh, dalam kesimpulan banyak ahli tersebut, teori konspirasi merupakan manifestasi dari kegoyahan persepsi diri, histeria, delusional dan bahkan paranoia individu dan masyarakat terkait.

Lebih jauh, kepercayaan pada adanya konspirasi juga bersumber dari bias kognitif yang menimbulkan distorsi penilaian terhadap gejala realitas pahit yang mereka hadapi. Dengan pikiran yang sudah dirasuki teori konspirasi, individu dan kelompok bersangkutan tetap bertahan dengan kepercayaan konspiratif itu meski banyak bukti dan indikasi membantah adanya persekongkolan tersebut.

Meminjam kerangka Tim Melley dalam masterpiece-nya, Empire of Conspiracy (2000), cara berpikir tentang konspirasi bersumber dari sedikitnya dua faktor; pertama, ketika seseorang atau kelompok memegang sangat kuat nilai individualistis dan in-group belaka; kedua, ketika individu dan kelompok seperti itu kehilangan sense of control sehingga mengalihkan masalah internalnya kepada pihak lain.

Teori Konspirasi dan Kepercayaan

Apakah teori konspirasi semacam itu benar dan berdasar? Bagi mereka yang terkuasai pikiran dan psikologi konspiratif, hal itu tentu saja benar. Mereka merasa adanya semacam konspirasi melalui semacam spekulasi berkenaan dengan keadaan atau situasi tertentu yang merugikan kepentingan mereka. Namun, ketika diminta bukti-bukti memadai, mereka umumnya tidak dapat memberikannya. Pengujian ilmiah-akademis tentang berbagai teori konspirasi yang beredar dalam masyarakat umumnya mengungkapkan, dugaan persekongkolan selalu hampir tidak berdasar dan tidak bisa dibuktikan. Sebaliknya, justru terdapat banyak indikasi dan bukti yang membantah berbagai teori konspirasi itu.

Sebab itulah, dalam berbagai kajian ilmiah akademis, pikiran dan teori konspirasi muncul dari diri seseorang atau kelompok karena ketidakmampuan mereka sendiri untuk menjelaskan hal-hal yang dalam persepsi pribadi susah mereka pahami secara logis dan rasional. Misalnya, bagi kalangan internal pihak yang tercekoki pikiran konspiratif, tidak masuk akal seorang figur pimpinan yang terlanjur sudah tepersepsikan sebagai pribadi bersih dan memiliki integritas kemudian dapat menjadi tersangka dalam kasus suap, gratifikasi, atau bentuk-bentuk KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) lain.

Dengan demikian, pikiran tentang adanya konspirasi sekaligus mencerminkan ketidakmampuan individu dan kelompok untuk menerima dan memahami kesenjangan di antara persepsi diri tadi dengan realitas pahit yang tiba-tiba muncul. Padahal, realitas itu sendiri masih harus diuji dan dibuktikan secara cermat dalam proses berikutnya, yakni apakah itu merupakan realitas hakiki atau semu belaka.

Karena itu, teori konspirasi lazimnya lebih merupakan mekanisme pertahanan diri yang memperlihatkan sikap apologetis dan defensif belaka. Teori konspirasi juga mencerminkan sikap melemparkan kesalahan dan tanggung jawab internal kepada pihak luar. Dalam konteks kehidupan berbangsa-bernegara dan berjamaah- berumat, percaya kepada konspirasi tertentu jelas tidak menolong, sebaliknya dapat mengikis sikap saling percaya, mutual trust, yang justru sangat penting dan urgen bagi adanya modal sosial. Dan, modal sosial amatlah mutlak bagi masyarakat, umat, dan bangsa untuk mencapai kohesi sosial demi kemajuan.

Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Anggota Council on Faith, World Economic Forum, Davos